BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Hewan
Teripang (Holothurioidea, Echinodermata) merupakan salah satu kelompok biota laut yang spesifik dan mudah dikenal.Bentuk tubuh teripang secara umum adalah silindris, memanjang dari ujung mulut ke arah anus (orally-aborally). Mulut terletak di ujung bagian depan (anterior), dan anus di ujung bagian belakang (posterior). Seperti pada Echinodermata umumnya, tubuh teripang adalah berbentuk simetri lima belahan menjari (pentamerous radial symmetry) dengan sumbu aksis mendatar (horizontal). Namun bentuk simetri tersebut termodifikasi oleh lempeng tegak (dorsoventral plane) sehingga nampak sebagai belahan simetri (bilateral symmetry). Seperti halnya Echinodermata lain, selain radial simetri tersebut, karakteristik lain adalah adanya bentuk skeleton dan sistem saluran air (water-vascular system). Skeleton pada teripang termodifikasi dalam bentuk spikula yang mikroskopis dan tersebar dalam seluruh dinding tubuh.Bentuk spikula tersebut sangat penting dalam identifikasi jenis teripang (Darsono, 2007).
Di pasaran internasional, semua jenis teripang tersebut dikenal dengan namateat fish. Nama-nama teripang di tiap-tiap negara juga berbeda-beda, di Indonesia nama lokalnya adalah teripang (timun laut), Malaysia namanya trepang atau gamat, Hongkong namanya haisom, India namanya attai dan Jerman namanya seegueke (Martoyo, dkk., 2006). Identifikasi teripang yang diteliti hasil Pusat Penelitian Oseanografi (Puslit Oseanografi LIPI) adalah sebagai berikut: (Tehranifard dan Rahimibashar, 2012)
Filum : Echinodermata
Sub-filum : Echinozoa
Kelas : Holothuroidea
Sub-kelas : Aspidochoritacea
Bangsa : Aspidochirotida
Suku : Holothuriidae
Marga : Holothuria
Jenis : Holothuria atra
Bengkulu, Bangka, Riau dan sekitarnya, Belitung, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Timor dan kepulauan seribu (Martoyo, dkk., 2006).
Di China, teripang telah dimanfaatkan sebagai pengobatan sejak zaman dinasti Ming sebagai obat untuk penyakit ginjal, konstipasi, kurang darah (anemia), kencing gula (diabetes), dan sebagainya. Organ dalam (viscera) diketahui memiliki fungsi untuk mengobati penyakit ayan (epilepsi) dan untuk pencegahan luka (tukak) (Anonim, 1991).Kandungan zat aktif yang terdapat pada Holothuria atra adalah Steroidal sapogenins, (Phosphate-buffered saline [PBS]), Sulfated triterpene glycosides [Hemoiedemosides A dan B], Triterpene glycoside [patagonicoside A], Triterpene glycoside [holothurin B (saponin)], Holostan-type triterpene glycosides [marmoratoside A, impatienside A dan bivittoside D], Bioactive peptides (Sara, et al, 2011). Meskipun banyak zat-zat berkhasiat obat berasal dari beberapa organisme laut telah diketahui ratusan tahun, tapi eksplorasi laut sebagai sumber obat-obatan hampir tidak pernah berlanjut (Darsono, 1993).
Dari sekian banyak asam lemak tak jenuh rantai panjang yang berasal dari teripang, asam arachidonat merupakan zat prekursor dari eicosanoid dan komponen utama dalam pembentukan sel. Hal tersebut sangat membantu untuk
pembentukan jaringan dan pembekuan darah yang berguna dalam proses penyembuhan luka. Hal ini mendukung tradisi dari penduduk Asia yang
Gambar 2.1 Hemoiedemosides A Gambar 2.2 Hemoiedemosides B
Gambar 2.3 Patagonicoside A Gambar 2.4 Holothurin B
menggunakannya sebagai obat tradisional untuk luka sayat dan luka bakar. Ditambah lagi dengan adanya kandungan EPA dan DHA yang cukup tinggi sehingga sangat membantu mengurangi resiko koroner jantung.(Sara, et al, 2011)
Ekstrak alkohol dari Holothuria atra terbukti menghambat bakteri patogen yang umumnya menyerang manusia, seperti: K. pneumonia, E. coli, L. monocytogenes and S. aureus. Hal ini mungkin disebabkan oleh kandungan triterpen glikosida yang terdapat pada teripang. (Isaac dan Lipton, 2014)
2.2 Kitosan
Kitin adalah polisakarida yang paling melimpah di alam, yang kedua setelah selulosa. Monomer-monomer N-asetilglukosamin dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosida. Biopolimer polikationik ini merupakan komponen eksoskleton krustasea dan serangga, serta pada beberapa fungi. Sumber utama kitin untuk industri adalah limbah kulit udang, lobster, dan kepiting, yang mana limbah-limbah tersebut mengandung senyawa kitin sebanyak 70% (Felt, et al., 1998)
Turunan kitin yang diperoleh dengan cara diasetilasi kitin dinamakan kitosan. Dikarenakan kitosan memiliki sifat biologi yang disukai seperti: tidak toksik, biokompatibilitas dan biodegradabilitas, sehingga kitosan menarik perhatian yang besar dalam bidang farmasetikal dan biomedis. Secara biomedis, kitosan dilaporkan memiliki sifat-sifat farmakologi seperti aksi hipokolesterolemik, antasida dan aktivitas antiulkus. Sebagai tambahan, karakter polikationik memberikan kitosan kemampuan untuk mengikat dengan kuat beberapa sel-sel mamalia (Felt, et al., 1998)
Kitosan belakangan ini telah digunakan untuk berbagai keperluan didalam berbagai bidang seperti bidang pertanian, industri, dan juga pengobatan (Suzuki, et al, 1986).Kitosan ditemukan dapat digunakan untuk meningkatkan aktivitas biologis seperti meningkatkan kekuatan jahitan pada daerah luka pada tikus dan juga kelinci.(Nakajima, et al, 1985). Hal ini menunjukkan bahwa kitosan dapat digunakan untuk mempercepat penyembuhan luka, dan yang lebih penting, secara umum tidak ditemukan adanya efek samping yang merugikan (Sapelli et al, 1986)
Kitosan adalah polisakarida yang berasal dari turunan kitin yang memiliki aktivitas antibakteri spektrum luas terhadap bakteri gram negatif. Terdapat tiga teori yang menjelaskan mekanisme kerja kitosan sebagai antibakteri, diantaranya adalah:
• Interaksi antara molekul muatan positif kitosan dengan sel mikroba yang
bermuatan negatif
• Pengikatan kitosan dengan DNA mikroba
• Pembentukan chelat dan pengikatan terhadap nutrisi esensial bagi pertumbuhan
mikroba
Dari ketiga teori diatas, yang paling diterima secara umum adalah teori interaksi antara molekul muatan positif kitosan dengan sel mikroba yang bermuatan negatif. Teori ini menjelaskan bahwa interaksi terjadi karena adanya gaya elektrostatik antara gugus NH+ dengan bagian negatif dari dinding sel mikroba. Hal ini mungkin terjadi dikarenakan oleh kompetisi yang terjadi dengan Ca2+ untuk berikatan dengan bagian elektronegatif pada permukaan membran. Interaksi ini menyebabkan dua kemungkinan yang akan terjadi:
• Terjadinya perubahan permeabilitas pada dinding membran sehingga
mengacaukan keseimbangan osmotis didalam sel.
• Terjadinya hidrolisis peptidoglikan pada dinding sel mikroorganisme sehingga
memicu bocornya kandungan elektrolit intraseluler. (Rejane, et al, 2009)
2.3 Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler.Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit, Langerhans dan merkel.Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki.Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit.Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu. Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) :
1. Stratum Korneum. Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti. 2. Stratum lusidum. Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal
3. Stratum granulosum. Ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. Terdapat sel langerhans.
4. Stratum spinosum. Terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan tonofibril, dianggap filamen-filamen tersebut memegang peranan penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi.
5. Stratum basale (stratum germinativum). Terdapat aktivitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan (Harien,2010).
Luka dapat terjadi pada trauma, pembedahan, neuropatik, vaskuler, penekanan dan keganasan. Luka dapat diklasifikasikan dalam 2 bagian :
1. Luka akut : merupakan luka trauma yang biasanya segera mendapat penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan. Contoh : Luka sayat, luka bakar, luka tusuk, luka operasi 2. Luka kronik : luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali (rekuren)
dimana terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor dari penderita. Pada luka kronik, luka gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk timbul kembali. Contoh : ulkus diabetik, Ulkus venous, dll.
Pada fase inflamasi atau fase satu, fase ini ditandai dengan adanya eritrema, hangat pada kulit, udema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4 setelah terjadinya luka.terjadi peningkatan aliran darah ke daerah luka. Bersamaan dengan aliran darah, terjadi juga aliran fibrin untuk menutup pembuluh darah yang luka dan melindungi adanya infeksi bakteri.Pada fase ini, juga terjadi pengerahan sel darah putih, monosit, dan makrofag yang berfungsi untuk memakan mikroorganisme dan sisa sel-sel yang mati.Fase berikutnya adalah fase proliferasi (perlekatan).Fase ini umumnya berlangsung pada hari ke-5 sampai ke-20.Pada fase ini fibroblas membentuk kolagen dan jaringan ikat. Di sini juga terjadi pembentukan kapiler baru yang dimulai saat terjadi peradangan (Dewi, dkk., 2013). Proses ini sangat penting, karena tidak ada jaringan baru yang dapat dibentuk tanpa suplai oksigen dan nutrient yang dibawa oleh pembuluh darah yang baru (Boyle, 2009). Proses ini menandakan terjadinya kesembuhan yang dimulai dari adanya pertumbuhan kapiler dan pertumbuhan jaringan granula yang dimulai dari dasar luka. Proses granulasi berjalan seiring dengan proses reepitelisasi. Sampai pada tahap akhir proses ini akan terjadi proses epitelisasi pada permukaan luka. Luka akan berkembang menjadi keropeng yang terdiri dari plasma yang bercampur dengan sel-sel mati (Dewi, dkk., 2013).
Fase selanjutnya adalah fase pematangan atau fase diferensiasi atau fase
remodeling
yang dapat berlangsung di atas 21 hari sampai lebih dari 2 bulan
bahkan beberapa tahun setelah luka. Pada fase ini terjadi ikatan kolagen yang
mengawetkan jaringan bekas luka dan proses epitelisasi yang melapisi kulit
(Dewi, dkk., 2013).
2.4 Gel
Gel umumnya merupakan suatu sediaan semipadat yang jernih, tembus
kekuatan yang disebabkan oleh jaringan yang saling berikatan pada fase
terdispersi (Ansel, 1989). Zat-zat pembentuk gel digunakan sebagai pengikat
dalam granulasi, koloid pelindung dalam suspensi, pengental untuk sediaan oral
dan sebagai basis supositoria. Secara luas sediaan gel banyak digunakan pada
produk obat-obatan, kosmetik dan makanan juga pada beberapa proses industri.
Pada kosmetik yaitu sebagai sediaan untuk perawatan kulit, sampo, sediaan
pewangi dan pasta gigi (Herdiana, 2007). Gel satu fase adalah gel yang
makromolekulnya tersebar keseluruh bagian cairan hingga tidak terlihat ada batas
diantaranya. Jika masa gel terdiri dari kelompok-kelompok partikel kecil yang
berbeda, maka gel ini dikelompokkan dalam sistem dua fase (Ansel, 1989).
Polimer-polimer yang biasa digunakan untuk membuat gel-gel farmasetik
meliputi gom alam tragakan, pektin, karagen, agar, asam alginat, serta
bahan-bahan sintetis dan semisintetis seperti metil selulosa, hidroksietilselulosa,
karboksimetilselulosa, dan karbopol yang merupakan polimer vinil sintetis dengan
gugus karboksil yang terionisasi. Gel dibuat dengan proses peleburan, atau
diperlukan suatu prosedur khusus berkenaan dengan sifat mengembang dari gel
(Lachman., dkk, 1994).
Dasar gel yang umum digunakan adalah gel hidrofobik dan gel hidrofilik.
1. Dasar gel hidrofobik
Dasar gel hidrofobik umumnya terdiri dari partikel-partikel anorganik,
bila ditambahkan ke dalam fase pendispersi, hanya sedikit sekali interaksi antara
kedua fase. Berbeda dengan bahan hidrofilik, bahan hidrofobik tidak secara
spontan menyebar, tetapi harus dirangsang dengan prosedur yang khusus (Ansel,
2. Dasar gel hidrofilik
Dasar gel hidrofilik umumnya terdiri dari molekul-molekul organik yang
besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase pendispersi.
Istilah hidrofilik berarti suka pada pelarut. Sistem koloid hidrofilik biasanya lebih
mudah untuk dibuat dan memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel, 1989). Gel
hidrofilik umummnya terdiri dariair, bahan pengembang, humektan dan bahan
pengawet (Voigt, 1994).
2.5 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut tertentu. Proses ekstraksi akan menghasilkan ekstrak. Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan (Depkes, 2000). Penguapan ekstrak dilakukan dengan penguapan vakum putar pada suhu tidak lebih dari 40ºC dalam suasana tekanan dikurangi (Harborne, 1987)
Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu :
A. Cara dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar.
2. Perkolasi
B. Cara panas
1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas dengan adanya pendingin balik.
2. Digesti
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan , yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40 - 50ºC.
3. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
4. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih temperatur terukur 96 - 98ºC) selama waktu tertentu (15 – 20 menit)
5. Dekok