• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNOLOGI PENGINDRAAN JAUH DAN SISTEM IN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TEKNOLOGI PENGINDRAAN JAUH DAN SISTEM IN"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNOLOGI PENGINDRAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI

GEOGRAFIS DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

INBIMA KASIRI

Program Pascasarjana Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu Jalan WR. Supratman, Kandang Limun Bengkulu 38371 A. Indonesia . Telp/ Fax +62-736-21170/+62-736-22105, EmailKasiriinbima@gmail.com

ABSTRAK

Penginderaan jauh, citra foto, citra satelit dapat dimanfaatkan sebagai sumberdata lingkungan abiotik (sumberdaya alam), lingkungan biotik (flora dan fauna), serta lingkungan budaya (bentuk penggunaan lahan). Dalam citra penginderaan jauh terdapat banyak informasi yang dapat direkam antara lain untuk pendekatan ekologikal, pendekatan spasial, serta pendekatan kompleksitas kewilayahan.Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk perencanaan wilayah dapat melengkapi informasi peta yang sudah ada dan untuk menambahkan informasi terbaru, mengingat perkembangan suatu wilayah relatif berlangsung cepat sehingga sangat memerlukan data untuk monitoring dan evaluasi terhadap implementasi rencana tata ruang. Sistem penginderaan jauh (remote sensing) sudah berkembang dengan pesat seiring kemajuan teknologi. Penginderaan jauh merupakan akuisisi data sebuah objek oleh sebuah alat seperti Satelit Landsat yang secara fisik tidak melakukan kontak dengan objek tersebut. Citra yang dihasilkan dari penginderaan jauh merupakan citra multispektral. Citra multispektral dapat membedakan karakteristik objek- objek yang ditangkap berdasarkan spektrum elektromagnetik yang dipantulkan oleh objek- objek tersebut. Salah satu penggunaan citra multispektral adalah untuk identifikasi terumbu karang.

Kata Kunci . Teknologi Pengindraan jauh, Sistem Informasi Geografis, terumbu Karang.

PENDAHULUAN

Sistem penginderaan jauh (remote sensing) sudah berkembang dengan pesat seiring kemajuan teknologi. Penginderaan jauh merupakan akuisisi data sebuah objek oleh sebuah alat seperti Satelit Landsat yang secara fisik tidak melakukan kontak dengan objek tersebut. Citra yang dihasilkan dari penginderaan jauh merupakan citra multispektral. Citra multispektral dapat membedakan karakteristik objek- objek yang ditangkap berdasarkan spektrum elektromagnetik yang dipantulkan oleh objek- objek tersebut. Salah satu penggunaan citra multispektral adalah untuk identifikasi terumbu karang.

Terumbu karang merupakan laboratorium alam yang unik untuk berbagai penelitian yang dapat mengungkapkan penemuan yang berguna bagi kehidupan manusia. Jumlah terumbu karang mencapai ribuan di seluruh dunia dengan jenis yang berbeda- beda. Saat ini Sistem Informasi Geografi (SIG) hanya mampu memetakan hasil alam seperti: padang lamun, kelapa sawit, minyak bumi, dan kontur tanah, namun masih belum dapat memetakan jenis terumbu karang yang jumlahnya banyak karena kesulitan dalam mengindentifikasi jenis terumbu karang. Kesulitan dalam mengidentifikasi disebabkan karena permasalahan tutupan atmosfer sehingga harus diperbaiki dengan metode koreksi radiometrik yang tepat. Proses identifikasi terumbu karang merupakan proses dasar yang perlu dilakukan sebelum

memetakan terumbu karang yang dapat dilakukan oleh aplikasi SIG.

Pengelolaan wilayah pesisir harus dilakukan secara cepat dan tepat dengan memanfaatkan data yang kontinyu dan teknologi yang mampu menggambarkan wilayah pesisir dengan baik. Integrasi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan salah satu cara untuk mengelola wilyah pesisr dengan data yang kontinyu dan sebaran spasial yang bisa menampilkan secara sederhana bentuk kawasan peisisir. Secara sederhana intergrasi antara penginderaan jauh dan SIG dapat memetakan kondisi wilayah pesisir sehingga dapat dipantau kondisinya.

Berdasarkan uraian di atas, artikel ini akan membahas mengenai teknologi pengindraan jauh dan sistem informasi geografis dalam pengelolaan terumbu karang , dengan harapan artikel ini bermanfaat untuk semua pihak yang peduli terhadap terumbu karang di Indonesia.

METODE PENELITIAN

Daerah Study

(2)

seperti Kepulauan Spermonde di Selat Makassar, Kepulauan Taka Bonerate di Laut Flores dan Kepulauan Sembilan di Teluk Bone. Ketiga Kepulauan ini masih banyak dijumpai terumbu karang yang masih asli (alami). Kepulauan Spermonde adalah merupakan salah satu wilayah penyebaran terumbu karang yang cukup luas. Jumlah pulaunya sekitar 120 pulau dengan luas sekitar 150 km (Moka, 1995).

Permasalahannya sekarang ini adalah potensi tersebut banyak mengalami kerusakan akibat pemanfaatan yang tidak terkendali oleh manusia/masyarakat yang ada disekitarnya. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk meminimasi kerusakan tersebut dari pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan ke pemanfaatan yang menganut kaidahkaidah pelestarian, sehingga sumberdaya terumbu karang tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Prosedur Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan data satelit hasil rekaman satelit Landsat_TM pada tanggal 29 Maret 1997 dan Tanggal 29 Maret 2002. Data diperoleh dari Bank Data Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (PUSPATJA-LAPAN) Pekayon, Jakarta yang tersimpan dalam bentuk CD. Alat yang digunakan untuk pengolahan data Citra adalah Komputer dengan software Ermapper 6.1 dan ArcView 3.2. Alat yang digunakan untuk pengamatan in situ antara lain GPS, speed boat, alat dasar selam dan scuba, roll meter, sabak dan alat tulis menulis, kamera bawah air dan secchi disk. Peta yang diperlukan dalam kegiatan pemetaan luas dan sebaran terumbu karang dilokasi penelitian ini adalah peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dan Peta Bathimetri, masing-masing dengan skala 1 : 50.000

Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini dibagi kedalam 5 tahap, yaitu :

Tahap I : Pengolahan Citra Awal

Empat bagian utama yang harus dilakukan untuk pengolahan awal citra satelit Landsat_TM, yaitu pembatasan wilayah penelitian (cropping citra), penajaman citra (image enhancement), koreksi radiometrik dan koreksi geometrik dengan menggunakan software Ermapper 6.1.

Tahap II: Transformasi Citra

Pengolahan ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi obyek dasar perairan, karena informasi yang didapat dari citra awal masih tercampur dengan informasi lain seperti kedalaman air, kekeruhan, dan pergerakan permukaan air. Pengolahan ini meliputi penghilangan efek air, ekstraksi informasi obyek dasar

laut dengan menggunakan metode yang didasari oleh “Model Pengurangan Eksponensial” (Exponential Attenuation Model) oleh Lyzengga (1978).

Liz = Li^ + (0,54 LibLi^)exp2 kiz

Penurunan dari persamaan ini telah menghasilkan persamaan berikut (Lysengga, 1981; Engel, 1988 dan Siregar (1995) :

Y = ln (TM1) + ki/kj . ln (TM2)

Tahap III: Klasifikasi Citra

Klasifikasi merupakan suatu proses untuk mendapatkan citra yang telah dikelompokkan dalam kelas-kelas tertentu berdasarkan nilai reflektansi tiap-tiap objek, sehingga memudahkan dalam analisis dan pengecekan dilapangan. Adapun tahapan untuk melakukan proses klasifikasi citra yang dilakukan adalah penentuan training area, analisis ketelitian training area, dan klasifikasi.

Tahap IV: Survei Lapangan

Dua kegiatan pokok yang dilakukan dalam survey lapangan, yaitu penentuan stasiun dan pengambilan data. Dalam penentuan stasiun dan lokasi penelitian didasarkan pada pengamatan kualitatif, yaitu dengan melihat keragaman penutupan karang yang dilakukan secara visual pada hasil pengolahan citra awal. Hasil pengolahan citra awal dapat diperoleh gambaran tentang kondisi dan penyebaran terumbu karang secara umum, sehingga dapat ditentukan daerah yang tepat untuk dijadikan stasiun/lokasi pengamatan. Informasi tentang distribusi dan kondisi terumbu karang pada kedalaman sekitar 0– 10 meter dapat dilakukan dengan pengamatan bawah air secara langsung melalui metode transek garis (line transect

method) (English, et all, 1994). Kegiatan transek yang

dilakukan sejajar dengan garis pantai pada kedalaman yang berbeda, yaitu 1-3 m, 3-5 m dan 5-10 m sebanyak 36 transek dengan panjang transek masing-masing 30 meter.

Tahap V: Pengolahan Akhir

Pada dasarnya tahap ini hampir sama dengan tahap pengolahan citra awal, hanya saja dalam interpretasi citra dan identifikasi suatu objek harus dikonfirmasikan

dengan data lapangan, artinya klasifikasi tersebut harus didasarkan pada data lapangan dengan posisi yang sudah dicatat sebelumnya. Analisa lanjutan inilah yang disebut analisa dengan klasifikasi supervised, yaitu klasifikasi yang didasarkan pada data lapangan yang sudah ada (klasifikasi terbimbing).

(3)

PT = (JK/PT) x 100

Data kondisi presentase total penutupan karang hidup yang diperoleh dikatagorikan berdasarkan Gomes dan Yap (1988) seperti pada Tabel 1 berikut : Tabel 1. Kriteria Penilaian Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Berdasarkan Persentase Penutupan Bentuk Karang Penyusun Terumbu Karang

Persentasi Penutupan (%) Kriteria Persentase Kriteria

0 - 24,9 Buruk

25 - 49,9 Sedang

50 - 74,9 Baik

75 - 100 Sangat Baik

Analisis citra untuk validasi klasifikasi dilakukan dengan membuat matrik kontingensi), yang biasa disebut dengan matrik kesalahan (Confusion Matrix). Jumlah seluruh piksel yang terdapat pada setiap baris dan kolom merupakan jumlah total piksel yang diuji. Jumlah piksel yang di uji didapat dari training area pada proses klasifikasi, kemudian dilakukan operasi tabulasi dan korelasi silang dengan citra hasil pengolahan dari setiap algoritma (Hasim, 2001).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Distribusi dan kondisi penutupan dasar perairan khususnya terumbu karang dapat diketahui melalui nilai luasan obyek dan presentase penutupannya dari hasil nalisis citra terklasifikasi. Berdasarkan hasil analisis visual dan digital dari citra Landsat_TM tahun 1997 dan 2002di Kepulauan Spermonde, ditentukan enam kelas penutupan dasar perairan, antara lain kelas karang hidup, karang mati, pasir, lamun, daratan kepulauan dan kelas laut. Hasil perhitungan luasan penutupan dasar perairan tersebut memberikan indikasi bahwa dalam kurung waktu lima tahun terjadi perubahan luasan pada masing-masing kelas, dimana perubahannya ada yang bertambah dan juga ada yang berkurang. Khusus untuk kelas terumbu karang, terjadi pengurangan luasan dari 7.554,44 ha menjadi 6.054,58 ha bagi karang hidup dan sebaliknya terjadi

peningkatan luasan dari 3.284,37 ha menjadi 5.540,76 ha bagi terumbu karang mati.

KESIMPULAN

1. Kemampuan citra satelit Landsat_TM dalam mendeteksi objek dasar perairan di Kepulauan Spermonde maksimum 10 m.

2. Distribusi dan kondisi terumbu karang di Kepulauan Spermonde berdasarkan katagori life

form, secara umum masih dalam kondisi baik

dengan rata-rata penutupan 50,98% (terbatas pada 0–10 meter).

3. Tingkat kerusakan terumbu karang yang terjadi di Kepulauan Spermonde dalam kurung waktu 5 tahun mencapai 1.499,86 Ha atau sekitar 299,97ha/tahun.

4. Aktivitas pemanfaatan terumbu karang sebagai penyebab utama terjadinya kerusakan terumbu karang di Kepulauan Spermonde adalah penangkapan ikan-ikan karang dengan menggunakan bahan peledak (bom), bius atau bahan kimia beracun (potassium sianida), linggis (mini muroami) dan pengambilan karang untuk bahan bangunan serta untuk komersial (eksport).

DAFTAR PUSTAKA

Sulistyo, Bambang. 2007. Uji Ketelitian dan Identifiksi Penyebarn Terumbu Karang Berdasarkan Lansad TM. (Studi Kasus di Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara). Majalah Geografi Indonesia Vol 21 No 2 September 2007. 191-203.

Yusuf dan Abdul Rauf. 2004. Studi Distribusi dan Terumbu Karang Dengan Menggunakan Teknologi Pengindraan Jauh di Kepulauan Supermonde Sulawesi Selatan. Ilmu Kelautan. Juni 2004. Vol. 9 (2) : 74 - 81ISSN 0853 - 7291

Fachruddin Syah. 2010. Penginderaan Jauh Dan Aplikasinya Di Wilayah Pesisir Dan Lautan. Jurnal kelautan, Volume 3, No.1 April 2010. ISSN : 1907-9931.

Referensi

Dokumen terkait

Tetapi dalam pelaksanaannya Seksi Penagihan memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak untuk melunasi kewajibannya, sehingga Surat Teguran yang

ANALISIS DAN INTERPRETASI MODEL Berdasarkan hasil pengolahan yang didapatkan faktor yang paling mempengaruhi pengelompokkan apakah pengunjung akan sering atau jarang

Energia Valkuainen Kivennäiset ja vitamiinit RV 100-110 g/kg ka ü   Vasikoiden elinvoimaisuus ü   Ternimaidon laatu ü   Lisää vieroituspainoa ü  

Untuk mengatasi permasalahan tersebut penulis memberi solusi penerapan aplikasi pengelolaan nilai berbasis WAP ( Wireless Application Protocol ), suatu teknologi yang

Adapun nilai skin factor sebesar +13,35 dan flow efficiency sebesar 0,47 menunjukkan bahwa daerah di sekitar lubang sumur diindikasikan telah mengalami kerusakan.Untuk

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Pengungkapan Corporate social responsibility secara parsial berpengaruh terhadap nilaiperusahaan perkebunan, (2) Profitabilitas secara

PENAWARAN MATA KULIAH SEMESTER GASAL TAHUN AKADEMIK 2012/2013 JURUSAN TARBIYAH PRODI PAI. PROGRAM KUALIFIKASI S1 (LULUSAN D2)

Steinberg, Wittmann, Redish (1996) menyebutkan bahwa tutorial adalah seperangkat bahan pembelajaran yang dimaksudkan untuk melengkapi buku pegangan standar. Bahan