• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Nilai Mean Platelet Volume (MPV) Dengan Skor Apache II Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Nilai Mean Platelet Volume (MPV) Dengan Skor Apache II Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SEPSIS 2.1.1 Epidemiologi

Sepsis dalam 20 tahun terakhir meningkat di Amerika Serikat, diperkirakan

jumlah kasus sepsis 400.000 – 500.000 setiap tahunnya. Data di Amerika Serikat

menunjukkan pada tahun 1979 tercatat 164.000 kasus sepsis (87,2/100.000 populasi),

sedangkan pada tahun 2000 tercatat 600.000 kasus (240,4/100.000 populasi) sehingga

terjadi peningkatan insiden pertahun 8,7% (Oncel et.al., 2012). Sepsis merupakan

penyebab terbanyak kematian di ruang rawat intensif pada seluruh dunia dengan

angka mortalitas 28.6% untuk sepsis, 32.2% sepsis berat dan 54% syok sepsis. Di

Amerika Serikat, sepsis merupakan penyebab kematian utama pada pasien jantung

yang dirawat di UPI (Pittet et.al., 1995, Kauss et.al., 2010, Artero et.al., 2012 ).

Dalam penelitian lain, para peneliti menguji hubungan antara umur dan sepsis dan

menunjukkan bahwa pada usia 65, resiko relatif untuk sepsis bagi mereka lebih tua

dari 65 tahun adalah 13,1 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang lebih muda dari

65 tahun. Secara keseluruhan, individu ≥ 65 tahun menyumbang 64,9% dari total

kasus sepsis(Danai et.al., 2006). Menariknya, ada 215.000 kematian selama periode

penelitian, yang sebenarnya mewakili 9,3% dari semua kematian di Amerika Serikat.

Insiden sepsis meningkat karena populasi umur tua, bertambahnya jumlah pasien

immunocompromised, dan meningkatnya tindakan prosedur invasif dan antibiotik

yang resisten terhadap kuman. Di Amerika Serikat, hampir 17 miliar dolar dihabiskan

untuk mengobati pasien sepsis. Meskipun terdapat kemajuan dalam hal perawatan,

lebih dari 210.000 pasien meninggal dengan sepsis berat tiap tahunnya. Dan terdapat

perbandingan insiden dan mortalitas sepsis berat dengan penyakit lain (gambar 2.1)

(2)

Gambar 2.1 Perbandingan insiden dan mortalitas sepsis berat dengan penyakit lain

(Angus, 2001).

Pasien dengan keganasan yang terdiagnosis dengan sepsis, memiliki resiko

relatif peningkatan sampai 10 kali lipat bila dibandingkan dengan mereka yang

tidak terkena kanker. Kanker pankreas memiliki resiko yang terkait sepsis dengan

angka tertinggi, diikuti oleh multipel myeloma, leukemia, dan kanker paru-paru,

sedangkan kanker saluran cerna dan keganasan payudara berhubungan dengan

kecenderungan yang jauh lebih rendah untuk sepsis (Tabel 2.1) (Danai et.al.,

2006).

Tabel 2.1 Subtipe Kanker dan Kejadian Sepsis(Danai et.al., 2006).

Malignancy Risk, Cases Per 1.000 Patients

Pancreatic 144,7

Multiple Myeloma 106,0

Leukemia 105,0

Lung 46,0

Lymphoma 37,6

GI 19,4

Breast 3,2

Incidence of Severe Sepsis Mortality of Severe Sepsis

AIDS* Colon Breast cancer

CHF Severe sepsis

AIDS* Breast cancer

(3)

2.1.1 Definisi

Di bawah ini akan dipaparkan definisi penyakit yang berkaitan dengan

sepsis menurut jurnal dari Lancet tahun 2005 (tabel 2.2) (Annane et.al., 2005).

Tabel 2.2 Definisi Penyakit (Annane et.al., 2005).

Systemic

 Laju nafas > 20 kali per menit atau PaCO2 < 32 mmHg atau membutuhkan ventilasi mekanik

 Jumlah sel darah putih > 12000/mm3 atau 4000/mm3 atau bentuk immature> 10%

Sepsis

Systemic inflammatory respone syndrome dan ada infeksi (kultur atau gram stain of blood, sputum, urin atau cairan tubuh yang normalnya steril positif terhadap mikroorganisme patogen ; atau fokus infeksi diidentifikasi dengan penglihatan seperti : ruptured bowel dengan free air atau bowel contents didapati pada abdomen saat pembedahan, luka dengan purulent discharge)

Severe sepsis

Sepsis dengan minimal satu tanda dari hipoperfusi atau disfungsi organ :

Areas of mottled skin

Capillary refilling time ≥ 3detik

 Urin output < 0.5mL/kg dalam 1 jam atau renal replacement therapy

 Laktat > 2mmol/L

 Perubahan kesadaran tiba-tiba atau electroencephalogram tidak normal

 Jumlah trombosit < 100000/mL atau disseminated intravascular coagulation

Acute lung injury - acute respiratory distress syndrome

Cardiac disfunction (echocardiography)

Septic shock

Severe sepsis dan salah satu :

Systemic mean blood pressure < 60mmHg (< 80mmHg jika ada hipertensi sebelumnya) setelah pemberian 20-30 mL/kg starch atau 40-60 mL/kg normal salin, atau pulmonary capillary wedge pressure antara 12 dan 20 mmHg

 Butuh dopamin > 5µg/kg per menit atau norepinephrine atau epinephrine < 0.25 µg/kg per menit untuk mempertahankan mean blood pressure diatas 60 mmHg ( 80 mmHg jika ada hipertensi sebelumnya )

Refractory septic shock

Butuh dopamin > 15µg/kg permenit atau norepinephrine atau

(4)

2.1.2 Patofisiologi SEPSIS

Sepsis merupakan puncak dari interaksi yang kompleks antara organisme

penyebab infeksi dan host imun. Kedua hal yakni respon host dan karakteristik

dari organisme penyebab infeksi mempengaruhi outcome sepsis. Pada sepsis

diawali dengan aktivasi sistem imun bawaan, sebagai respon terhadap infeksi,

melalui pengenalan terhadap benda asing yakni endotoksin bakteri

(Lipopolisakarida dan Peptidoglikan). Mekanisme ini antara lain pelepasan

sitokin, aktivasi neutrofil, monosit dan makrofag dan sel endotel serta aktivasi

komplemen, koagulasi, fibrinolitik, dan sistem kontak (O’Reilly et.al., 1999,

Balk, 2000).

Toll-like receptors (TLR) mengatur mekanisme pertahanan tubuh dan

berperan penting dalam aktivasi imun bawaaan. TLR adalah reseptor pada

permukaan sel yang mengenali komponen molekuler dari mikroorganisme. Pada

fase awal dari infeksi, TLR mengaktivasi sistem imun bawaan dan

menghancurkan patogen dari makrofag, natural killer cells dan sistem

komplemen. Pada fase kedua, TLR mengaktivasi sistem imun didapat dengan

mengaktivasi limfosit T dan B. Disini produksi sitokin berperan penting.

Makrofag dan monosit yang teraktivasi adalah sel yang utama yang menghasilkan

sitokin, tapi fibroblast, neutrofil dan sel endotel juga dapat menghasilkan sitokin

(O’Reilly et.al., 1999, Balk, 2000). TLR-4 mengenali LPS bakteri gram negatif, TLR-2 mengenali peptidoglikan bakteri gram positif. Ikatan TLR dengan epitop

pada mikroorganisme akan mengaktifkan jalur transduksi sinyal intraseluler yang

mengaktifkan cytosolic nuclear factor kB (NF-kB). NF-kB meningkatkan

transkripsi sitokin. Sitokin akan mengaktifkan sel endotel dengan meningkatkan

ekspresi molekul permukaan dan memperkuat adhesi neutrofil dan endotel di

tempat infeksi. Sitokin juga menyebabkan cedera sel endotel melalui induksi

neutrofil, monosit, makrofag dan trombosit yang melekat pada sel endotel

(O’Reilly et.al., 1999, Balk, 2000, Hotchkiss, 2003).

Sitokin juga melepaskan mediator seperti protease, oksidan, prostaglandin,

dan leukotrien. Protease, oksidan, prostaglandin, dan leukotrien, akan merusak sel

endotel, menimbulkan peningkatan permeabilitas, vasodilatasi dan perubahan

(5)

koagulasi. Selain itu endotel yang teraktivasi akan melepaskan nitric oxide (NO),

suatu bahan vasodilator poten yang berperan pada syok sepsis.

Sitokin dibedakan menjadi proinflamasi dan anti inflamasi, tergantung

fungsinya. Tumor Necrosing Factorα (TNF-α), Interleukin 1ß(IL-1ß), IL-6, IL-8,

IL-12 adalah sitokin proinflamasi utama yang berperan dalam aktivasi awal dari

respon inflamasi sistemik pada sepsis. TNF-α terutama diproduksi oleh monosit

dan makrofag, dan bekerja merangsang produksi molekul adhesi pada sel endotel

serta sistem koagulasi dan komplemen. IL-1 terutama dihasilkan oleh monosit dan

makrofag. IL-1ß dan TNF-α mempunyai efek sinergik. IL-1ß merangsang

produksi IL-6, IL-8 dan TNF-α dan dapat menyebabkan perubahan hemodinamik

sama seperti syok sepsis. Pada banyak penelitian didapat bahwa kadar IL-1ß tidak

berhubungan dengan beratnya penyakit, sedangkan TNF-α berhubungan dengan

beratnya penyakit pada beberapa studi (O’Reilly et.al., 1999, Balk, 2000,

Hotchkiss, 2003, Sharma, 2003).

Sepsis juga mengaktifkan produksi dan pelepasan sitokin anti inflamasi.

Antagonis reseptor IL-1 (IL-1ra) menghambat IL-1, yang berikatan secara

kompetitif dengan reseptor IL-1 dan menghambat kerja IL-1. IL-1ra dihasilkan

terutama oleh makrofag. Beberapa studi gagal membuktikan bahwa pemberian IL-

1ra pada sepsis dapat memperbaiki mortalitas pada sepsis.35,36 IL-10 adalah sitokin anti inflamasi utama. Sitokin ini menghambat produksi TNF-α, IL-1ß,

IL-6, IL-8. Sitokin ini juga menekan pelepasan radikal bebas dan aktifitas NO serta

produksi prostaglandin. Beberapa sel yang dapat memproduksi IL-10 adalah

CD-4, CD-8, makrofag, monosit, limfosit B, sel dendrit dan sel epitel. Pada syok

sepsis, monosit merupakan sumber utama dari sitokin ini. IL-10 tidak hanya

membatasi beratnya respon inflamasi, tapi juga mengatur proliferasi sel T, sel B,

natural killer cells, antigen precenting cells, sel mast dan granulosit. Sitokin ini

berperan dalam supresi imun, sebagai stimulator imunitas bawaan. Beberapa studi

mendapatkan bahwa pada keadaan sepsis .kadar sitokin IL-10 meningkat dan

lebih meningkat lagi pada syok sepsis (Jilma et.al., 1999, sharma, 2003,).

IL-6 merupakan sitokin yang paling banyak diteliti pada sepsis dan

palingsering ditemukan meningkat. Kadarnya meningkat lebih lama dibandingkan

(6)

dan sel endotel dan berhubungan dengan derajat beratnya sepsis sehingga

peningkatan yang persisten berhubungan dengan perkembangan multiple organ

failure (MOF) dan prognosis buruk. Sitokin ini mengatur diferensiasi dari sel

limfosit B dan T. Sitokin ini adalah pirogen endogen dan demam pada pasien

sepsis disebabkan oleh sitokin ini. Sitokin ini juga bersifat anti inflamasi yang

menghambat produksi sitokin pro-inflamasi lainnya (Cohen, 2002, Nasronudin,

2007).

Gambar 2.2 Respon imun terhadap infeksi organisme (Nasronudin, 2007).

IL-8 berfungsi mengaktivasi dan sebagai kemotaksis neutrofil ke tempat

inflamasi. Konsentrasi tinggi dari sitokin ini dapat merangsang infiltrasi neutrofil,

merusak endotel, kebocoran plasma dan cedera jaringan lokal. Sebaliknya sitokin

ini juga menghambat migrasi neutrofil apabila berada dalam sirkulasi, sehingga

(7)

Patogenesis sepsis adalah kompleks, meskipun kemajuan yang bermakna,

masih tetap tidak dimengerti. Utamanya, sepsis adalah hasil dari interaksi antara

mikroorganisme dan/atau produk mereka dan respon tuan rumah akibat

dikeluarkan sitokin dan mediator lainnya.

Gambar 2.3 Patogenesis terjadinya Multiple Organ Failure dan Syok pada Sepsis

(Cohen, 2002).

Komponen terpenting dari respon tuan rumah adalah berkembangnya

mekanisme alami awal untuk memproteksi organisme dari kerusakan. Akan tetapi

pada sepsis, respon imun itu sendiri yang menimbulkan respon kaskade sekunder

dimana mencetuskan disfungsi organ bahkan kematian, selain eradikasi dari invasi

(8)

terkontrol juga gabungan dari disregulasi dari anti-inflamasi, koagulasi dan jalur

penyembuhan luka (Annane et.al., 2005, Rello, 2008).

Gambar 2.4 Respon prokoagulasi pada sepsis (Annane et.al., 2005).

2.1.4 Disfungsi Mikrosirkulasi Pada Sepsis

Gangguan mikrosirkulasi merupakan petanda terjadinya sepsis. Jejaring

dari pembuluh darah terkecil berdiameter < 100um, tempat terjadinya pelepasan

oksigen ke jaringan dan termasuk arteriol, kapiler serta venula. Jejaring ini

memiliki 10 miliar kapiler dan permukaan endotel lebih dari 0,5 km2. Jenis sel utama dalam mikrosirkulasi diantaranya sel endotel, sel otot polos, sel darah

merah, leukosit dan trombosit.Sel endotel memiliki peran penting dalam

(9)

imunologi serta pelepasan NO dalam menanggapi adanya kerusakan-kerusakan

dinding pembuluh darah atau hipoksia. NO mengatur resistensi diameter

pembuluh darah (relaksasi sel-sel otot polos di proksimal arteriol), reologi darah

(mengatur kelenturan sel darah dan leukosit), interaksi antara elemen darah dan

dinding pembuluh darah (mengatur adhesi leukosit-endotel dan adhesi/agregasi

trombosit) serta mengatur volume darah (meningkatkan permeabilitas selama

terjadinya endotosemia).

Sepsis menyebabkan terjadinya inflamasi sistemik dengan mengakitifkan

leukosit yang memproduksi reactive oxygen species (ROS) .ROS dapat membantu

melawan patogen, tetapi juga berdifusi dan mengaktifkan sel-sel endotel,

menyebabkan migrasi P-selectin ke dalam membran endotel. Sitokin

pro-inflamasi dapat langsung mengaktifkan sel-sel endotel dan mencetuskan produksi

ROS oleh mitokondria, xanthine oxidase (XO), dan NADPH oxidase

(NADPH-ox), ROS bisa juga secara langsung merangsang migrasi cadangan P-selectin ke

dalam membran sel atau mengaktifkan nuclear factor- kappa B ( NF-kB). Adhesi

protein expression (P-selectin dan E selectin,intercellular adhesion molecule -1

[ICAM-1], dan vascular adhesion molecule – 1 [VCAM-1] menyebabkan adhesi

leukosit yang memproduksi ROS secara lokal. Produksi ROS intraselular dapat

menetralkan NO dan menurunkan ketersediaannya yang mengaktifkan ganguan

tonus pembuluh darah.Lagi pula ROS dapat mempengaruhi keseimbangan antara

prostanoid vasokonstriktor dan vasodilator dengan memodifikasi aktifitas

cyclooxygenase (COX). Kadar glutathione (GSH) menurun selama sepsis

demikian juga superoxide dismutase (SOD), akibatnya akan terjadi berkurangnya

kemampuan detoksifikasi.

Adhesi leukosit, adhesi/agregasi trombosit, edema endotel semuanya

menyebabkan oklusi kapiler. Sebetulnya oklusi kapiler merupakan mekanisme

adaptasi bahkan mekanisme proteksi untuk membendung penyebaran infeksi

sistemik, namun akibat oklusi ini terjadi gangguan distribusi oksigen dan glukosa

ke dalam sel yang didalamnya terdapat mitokondria yang berfungsi sebagai

pemasok oksigen serta berperan dalam oxygen sensing dan pengaturan jalur

(10)

2.1.5 Disfungsi Mitokondria dan Proses Apoptosis Pada Sepsis

Mitokondria ada pada semua sel berinti. Peran utama mitokondria adalah

menghasilkan energi sel dalam bentuk adenosin trifosfat (adenosine triphospate,

ATP) dengan proses yang disebut fosforilasi oksidatif. Fosforilasi oksidatif yang

efisien dalam menghasilkan ATP dikatakan berpasangan ketat. Bila mitokondria

kurang efisien dalam menghasilkan ATP, akan tidak berpasangan sebagian dan

akan menghasilkan panas. Dengan demikian sistem fosforilasi oksidatif

mitokondria harus diatur dengan ketat agar tercapai keseimbangan antara produksi

ATP untuk energi dan produksi panas untuk mempertahankan suhu tubuh.

Beberapa mediator inflamasi yang dilepaskan selama sepsis menghambat proses

fosforilasi oksidatif. Gangguan multi organ yang terjadi pada sepsis belum terlalu

dimengerti, tetap itu ada hubungannya dengan ambilan oksigen di dalam sel

walaupun perfusi jaringan cukup adekuat.

Gambar 2.5 Perbedaan metabolisme aerobik dan anaerobik

(11)

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa mitokondria berfungsi untuk

menjaga homeostasis sel, namun demikian mitokondria juga memegang peranan

penting dalam pengaturan program kematian sel, atau apoptosis. Apoptosis

dicetuskan oleh jalur intrinsik dan ekstrinsik. Stress oksidatif dapat menginduksi

jalur intrinsik dari apoptosis. Zat-zat berbahaya menyebabkan mitokondria

melepaskan sitokrom c dan protein pro-apoptosis lainnya ke dalam sitosol,

akhirnya terjadi pengaktifan kaspase apoptosis semakin diperkuat. Oleh karena

metabolisme sel tergantung pada produksi ATP, kerusakan mitokondria, akan

mempengaruhi fungsi respirasi dan dapat mempengaruhi kemampuan hidup sel

(Sri, 2011).

2.1.6 SURVIVING SEPSIS CAMPAIGN

Pada tahun 2005, Surviving Sepsis Campaign (SSC) bersama dengan

Institute for Health-care Improvement (IHI) menyusun panduan pengelolaan

pasien sepsis berat dan syok sepsis yaitu Severe Sepsis Bundles yang terdiri dari

dua bundle. Pertama, The Sepsis Resusitation Bundle, resusitasi yang harus segera

dimulai dan diselesaikan dalam 6 jam pertama sejak pasien didiagnosis sepsis

berat atau syok sepsis. Kedua, The Sepsis Management Bundle, harus segera

dimulai dan selesai dalam 24 jam pada pasien dengan sepsis berat atau sepsis

berat. Berikut dilampirkan kriteria diagnostik untuk pasien sepsis menurut

Surviving Sepsis Campaign (SSC).

Untuk mengetahui partisipasi pelaksanaan sepsis bundle dan dampaknya

terhadap angka mortalitas rumah sakit, SSC mengumpulkan data kepatuhan

melaksanakan sepsis bundle pada UPI di 165 rumah sakit dengan 15.022 pasien,

pada periode januari 2005 sampai dengan Maret 2008. Kesimpulan dari penelitian

ini adalah bahwa penurunan angka kematian rumah sakit terjadi bila ada

kepatuhan pengguna sepsis bundle pada pengelolaan pasien dengan sepsis berat

dan syok sepsis. Pada tahun 2008 SSC kembali melakukan revisi panduan dengan

menggunakan sistem GRADE (Grade of Recommendation, Assessment,

Development and Evaluation) (Sri, 2011). Pada saat ini SCC 2012 yang

(12)

pula Surviving Sepsis Campaign Bundles yang harus diselesaikan dalam waktu 3

jam dan 6 jam (Dellinger et.al., 2012).

Tabel 2.3 Kriteria Diagnostik (Dellinger et.al, 2008).

Infection, documented or suspected, and some of the following :

General Variables Fever (>38.3oC)

Hypothermia (core temperature < 36oC)

Heart rate > 90/min-1 or more than two so above the normal value for age Tachypnea

Altered mental status

Significant edema or positive fluid balance (>20mL/kg over 24 hr)

Hyperglycemia (plasma glucose > 140 mg/dL or 7.7 mmol/L) in the absence of diabetes

Inflammatory variables

Leukocytosis (WBC count > 12.000 μL-1 )

Leukopenia (WBC count < 4.000 μL-1 )

Normal WBC count with greater than 10% immature forms

Plasma C-reactive protein more than two so above the normal value Plasma procalcitonin more than two so above the normal value Hemodynamic variables

Arterial hypotension (SBP < 90 mmHg, MAP < 70 mmHg, or an SBP decrease > 30 mmHg in adults or less than two so below normal for age) Organ dysfunction variables

Arterial hypoxemia (PaO2/FiO2 < 3)

Acute oliguria (urine output < 0.5 mL/kg/hr for at least 2 hrs despite adequate fluid resuscitation)

Creatinine increase > 0.5 mg/dL or 44.2 μmol/L

Coagulation abnormalities (INR > 1.5 or APTT > 60 s) Ileus (absent bowel sounds)

Thrombocytopenia (platelet count < 100.000 μL-1 )

Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4 mg/dL or 70 μmol/L)

Tissue perfusion variables

(13)

Tabel 2.4 Kriteria Sepsis Berat (Dellinger et.al, 2008).

Severe sepsis definition = sepsis-induced tissue hypoperfusion or organ

dysfunction (any of the following thought to be due to the infection)

Sepsis-induced hypotension

Lactate above upper limits laboratory normal

Urine output < 0.5 ml/kg/hr for more than 2 hours despite adequate fluuid

resuscitation

Acute lung injury with PaO2/FiO2 < 250 in the absence of the pneumonia as

infection source

Acute lung injury with PaO2/FiO2 < 200 in the presence of the pneumonia as

infection source

Creatinine > 2.0 mg/dL (176.8 μmol/L)

Bilirubin > 2 mg/dL (34.2 μmol/L)

Platelet count < 100.000 Μl

Coagulopathy (international normalized ratio > 1.5)

(14)

(a)

(b)

Gambar 2.6 Kepatuhan penggunaan bundle dan perbaikan angka mortalitas

(15)

a. Perubahan persentase kebutuhan pasien dengan resuscitation bundle (garis

putus-putus) dan management bundle (garis tebal) selama 2 tahun

pengumpulan data (*p<0,01 dibandingkan kuartal 1).

b. Perubahan angka kematian rumah sakit selama 2 tahun pengumpulan data

(*p<0,01 dibandingkan kuartal 1) (Sri, 2011).

2.2 TROMBOSIT

2.2.1 Produksi Trombosit

Trombosit, dihasilkan dari megakariosit sumsum tulang, sebuah sel

raksasa (megakariosit) yang memiliki 8-32 inti hasil dari pembelahan inti tanpa

disertai pembelahan sel yang memiliki ukuran 1-2µm (Ferreiro et.al., 2010).

Prekursor megakariosit, megakarioblast, muncul melalui proses

diferensiasi dari sel induk hemopoetik. Megakariosit mengalami pematangan

dengan replikasi inti endomitotik yang sinkron, memperbesar volume sitoplasma

sejalan dengan penambahan lobus inti menjadi kelipatanduanya.Pada berbagai

stadium dalam perkembangannya (paling banyak pada stadium inti delapan),

sitoplasma menjadi granular dan trombosit dilepaskan. Produksi trombosit

mengikuti pembentukan mikrovesikel dalam sitoplasma sel yang menyatu

membentuk membran pembatas trombosit. Tiap sel megakariosit menghasilkan

1000-1500 trombosit. Sehingga diperkirakan akan dihasilkan 35.000/ul trombosit

per hari. Interval waktu semenjak diferensiasi sel induk sampai produksi

trombosit berkisar sekitar 10 hari (Kauhansky, 2004, Italiano, 2008, ADA 2010).

Trombopoetin adalah pengatur utama produksi trombosit, dihasilkan oleh

hati dan ginjal. Trombopoetin meningkatkan jumlah dan kecepatan maturasi

megakariosit (Miller, 2007, Ikeda et.al., 2008, ADA, 2010).

Jumlah trombosit normal adalah sekitar 250 x 109/l (rentang 150-400 x 109/l) dan lama hidup trombosit yang normal adalah 7-10 hari. Hingga sepertiga dari trombosit produksi sumsum tulang dapat terperangkap dalam limpa yang

normal, tetapi jumlah ini meningkat menjadi 90% pada kasus splenomegali berat

(16)

2.2.2 Morfologi

Glikoprotein permukaan sangat penting dalam reaksi adhesi dan agregasi

trombosit. Adhesi pada kolagen difasilitasi oleh glikoprotein Ia (GPIa).

Glikoprotein Ib dan IIb/IIIa penting dalam perlekatan trombosit pada von

Willebrand factor (VWF) dan vaskular subendotel. Reseptor IIb/IIIa juga

merupakan reseptor untuk fibrinogen yang penting dalam agregasi trombosit (Jurk

and Kehrel, 2005, Miller, 2007, Ikeda et.al., 2008).

Gambar 2.7. Gambaran Skematik Morfologi Trombosit

(Ostermann and Van de Loo, 1986).

Membran plasma berinvaginasi ke bagian dalam trombosit untuk

membentuk suatu sistem membrane (kanalikular) terbuka yang menyediakan

permukaan reaktif yang luas tempat protein koagulasi plasma diabsorbsi secara

selektif. Fosfolipid membran (faktor trombosit 3) sangat penting dalam konversi

faktor X menjadi Xa dan protrombin (faktor II) menjadi trombin (faktor Iia) (Jurk

(17)

Di bagian dalam trombosit terdapat kalsium, nukleotida (terutama ADP,

ATP dan serotonin) yang terkandung dalam granula padat.Granula alfa

mengandung antagonis heparin, Platelet Derived Growth Factor (PDGF), β

-tromboglobulin, fibrinogen, vWF. Organel spesifik lain meliputi lisosom yang

mengandung enzim hidrolitik, dan peroksisom yang mengandung katalase.

Selama reaksi pelepasan, isi granula dikeluarkan ke dalam sistem kanalikular

(Jurk and Kehrel, 2005, Miller, 2007, Ikeda et.al., 2008).

2.2.3 Fungsi Trombosit

Fungsi utama trombosit adalah pembentukan sumbat mekanik selama

respon hemostasis normal terhadap cedera vaskular (fungsi koagulasi).Tanpa

trombosit, maka dapat terjadi kebocoran darah spontan. Reaksi trombosit dapat

berupa adhesi, sekresi, agregasi dan fusi serta aktivitas prokoagulannya sangat

penting untuk fungsinya (Calverley and Maness, 2004, Jurk and Kehrel, 2005,

Brass and Stalker, 2008).

2.2.4 Pembentukan Sumbat Trombosit

Agar dapat terjadi hemostasis primer yang normal, dan agar trombosit

memenuhi tugasnya membentuk sumbat trombosit inisial, maka harus terdapat

trombosit dalam jumlah memadai di dalam sirkulasi, dan trombosit tersebut harus

berfungsi normal. Fungsi hemostasis normal memerlukan peran serta trombosit

yang berlangsung secara teratur, yang penting dalam pembentukan sumbat

hemostatik primer. Hal ini melibatkan, pada awalnya, adhesi trombosit, agregasi

trombosit dan akhirnya reaksi pembebasan trombosit disertai rekrutmen trombosit

(18)

Gambar 2.8. Fungsi normal trombosit (Cox, 2005).

2.2.4.1 Adhesi Trombosit

Setelah cedera pembuluh darah, trombosit melekat pada jaringan ikat

subendotel yang terbuka. Trombosit menjadi aktif apabila terpajan ke kolagen

subendotel dan bagian jaringan yang cedera. Adhesi trombosit melibatkan suatu

interaksi antara glikoprotein membran trombosit dan jaringan yang terpajan atau

cedera. Adhesi trombosit bergantung pada faktor protein plasma yang disebut

faktor von Willebrand, yang memiliki hubungan yang integral dan kompleks

dengan faktor koagulasi antihemofilia VIII plasma dan reseptor trombosit yang

disebut glikoprotein Ib membrane trombosit. Adhesi trombosit berhubungan

dengan peningkatan daya lekat trombosit sehingga trombosit berlekatan satu sama

lain serta dengan endotel atau jaringan yang cedera. Dengan demikian, terbentuk

sumbat hemostatik primer atau inisial. Pengaktifan permukaan trombosit dan

rekrutmen trombosit lain menghasilkan suatu massa trombosit lengket dan

dipermudah oleh proses agregasi trombosit (Calverley and Maness, 2004,

(19)

2.2.4.2 Agregasi Trombosit

Agregasi adalah kemampuan trombosit melekat satu sama lain untuk

membentuk suatu sumbat. Agregasi awal terjadi akibat kontak permukaan dan

pembebasan ADP dari trombosit lain yang melekat ke permukaan endotel. Hal ini

disebut gelombang agregasi primer. Kemudian, seiring dengan makin banyaknya

trombosit yang terlibat, maka lebih banyak ADP yang dibebaskan sehingga terjadi

gelombang agregasi sekunder disertai rekrutmen lebih banyak trombosit. Agregasi

berkaitan dengan perubahan bentuk trombosit dari diskoid menjadi bulat.

Gelombang agregasi sekunder merupakan suatu fenomena ireversibel, sedangkan

perubahan bentuk awal dan agregasi primer masih reversibel (Calverley and

Maness, 2004, Michelson and Furman, 2005).

In vitro, agregasi dapat dipicu dengan reagen ADP, trombin, epinephrine,

serotonin, kolagen atau antibiotik ristosetin.

Agregasi in vitro juga terjadi dalam dua fase; agregasi primer atau

reversible dan agregasi sekunder atau ireversibel.

Pengikatan ADP yang dibebaskan dari trombosit aktif ke membran

trombosit akan mengaktifkan enzim fosfolipase, yang menghidrolisis fosfolipid di

membran trombosit untuk menghasilkan asam arakidonat. Asam arakidonat

adalah prekursor mediator kimiawi yang sangat kuat baik pada agregasi maupun

inhibisi agregasi yang terlibat dalam jalur prostaglandin. Melalui proses ini, asam

arakidonat diubah di sitoplasma trombosit oleh enzim siklooksigenase menjadi

endoperoksida siklik. Stimulator kuat untuk agregasi trombosit, senyawa

tromboksan A2, dihasilkan oleh kerja enzim tromboksan sintetase pada berbagai

endoperoksidase siklik ini. Tromboksan A2 adalah senyawa yang sangat aktif,

tetapi tidak stabil yang mengalami penguraian menjadi tromboksan B2 yang stabil

dan inaktif. Tromboksan A2 juga merupakan vasokonstriktor kuat yang akan

mencegah pengeluaran darah lebih lanjut dari pembuluh yang rusak (Calverley

and Maness, 2004, Cox, 2005, Michelson and Furman, 2005, Watson and

(20)

2.2.4.3 Reaksi Pembebasan

Pemajanan kolagen atau kerja trombin menyebabkan sekresi isi granul

trombosit yang meliputi ADP, serotonin, fibrinogen, enzim lisosom, β -tromboglobulin dan faktor trombosit. Kolagen dan trombin mengaktifkan sintesis

prostaglandin trombosit. Terjadi pelepasan diasil gliserol (yang mengaktifkan

fosforilasi protein melalui protein kinase C) dan inositol trifosfat (menyebabkan

pelepasan ion kalsium intrasel) menyebabkan terbentuknya tromboksan A2

(Calverley and Maness, 2004, Michelson and Furman, 2005, Brass and Stalker,

2008).

Agregasi primer melibatkan perubahan bentuk trombosit dan disebabkan

oleh kontraksi mikrotubulus. Gelombang agregasi trombosit sekunder melibatkan

terutama pelepasan mediator-mediator kimiawi yang terdapat di dalam granul

padat. Pelepasan ini melengkapi fungsi utama ketiga trombosit, yaitu reaksi

pembebasan.Reaksi pembebasan diperkuat oleh peningkatan kalsium intrasel,

yang semakin mengaktifkan dan meningkatkan pembebasan tromboksan

A2.Tromboksan A2 memperkuat agregasi trombosit serta mempunyai aktivitas

vasokonstriksi yang kuat. Reaksi pelepasan dihambat oleh zat-zat yang

meningkatkan kadar cAMP trombosit, salah satunya adalah prostasiklin (PGI2)

yang disintesis oleh sel endotel vaskular. Prostasiklin merupakan inhibitor

agregasi trombosit yang kuat dan mencegah deposisi trombosit pada endotel

vaskular normal (Calverley and Maness, 2004, Michelson and Furman, 2005,

Brass and Stalker, 2008).

2.2.4.4 Aktivitas Prokoagulan Trombosit

Setelah agregasi trombosit dan reaksi pelepasan, fosfolipid membran yang

terpajan (faktor trombosit 3) tersedia untuk 2 jenis reaksi dalam kaskade

koagulasi. Kedua reaksi yang diperantarai fosfolipid ini bergantung pada ion

kalsium. Reaksi pertama (tenase) melibatkan faktor IXa, VIIIa dan X dalam

pembentukan faktor Xa. Reaksi kedua (protrombinase) menghasilkan

pembentukan trombin dari interaksi faktor Xa, Va dan protrombin. Permukaan

(21)

protein-protein tersebut yang penting (Michelson and Furman, 2005, Brass and Stalker,

2008).

2.2.4.5 Agregasi Trombosit Irreversibel

Konsentrasi ADP yang tinggi, enzim yang dilepaskan selama reaksi

pelepasan dan protein kontraktil trombosit menyebabkan fusi yang ireversibel

pada trombosit yang beragregasi pada lokasi cedera vaskular. Trombin juga

mendorong terjadinya fusi trombosit, dan pembentukan fibrin memperkuat

stabilitas sumbat trombosit yang terbentuk (Michelson and Furman, 2005, Brass

and Stalker, 2008).

2.2.5 Fisiologi Koagulasi

Sistem hemostasis dipertahankan oleh interaksi antara sel endotel, protein

koagulasi, dan trombosit sebagai tiga unsur utama untuk menjaga fluiditas darah

pada keadaan normal. Pada keadaan cedera, ketiga unsur utama tersebut

bekerjasama dalam sistem koagulasi. Sel endotel merupakan lapisan dalam

pembuluh darah yang non trombogenik. Fungsi sel endotel dalam sistem

hemostasis (Gambar 2.9) antara lain mensintesis tissue factor (TF), tempat

penyimpanan faktor von Willebrand, berperan pada sistem fibrinolisis dengan

menghasilkan plasminogen activator inhibitor (PAI-I) dan memiliki reseptor

trombomodulin. Apabila PAI-I berikatan dengan trombin dapat mengaktivasi

thrombin activatable fibrinolytic inhibitor (TAFI), dan berperan pada sistim

antikoagulan dengan menghasilkan tissue factor pathway inhibitor (TFPI), tissue

plasminogen activator (tPA), Prostacyclin (PGI), mengaktivasi protein C. Pada

permukaan sel endotel terdapat heparin-like material yang merupakan kofaktor

antitrombin. Trombosit merupakan sel yang sangat berperan pada proses

koagulasi. Trombosit berinteraksi dengan komponen matriks ekstrasel disaat

terjadinya cedera sehingga terbentuk plak trombsit sebagai penutup lesi pembuluh

darah. Trombosit yang teraktivasi juga menghasilkan berbagai agonis trombosit

(22)

Gambar 2.9 Fungsi endotel pada prokoagulasi dan antikoagulasi

(Faranita et.al., 2011).

Sejak tahun 1960-an diperkenalkan kaskade koagulasi melalui jalur

intrinsik dan jalur ekstrinsik. Model kaskade koagulasi memberi kesan bahwa

kedua jalur tersebut bekerja terpisah, namun manifestasi klinis menyangkal

konsep tersebut. Sekitar lima belas tahun yang lalu timbul hipotesis baru untuk

memahami proses hemostasis. Model koagulasi berbasis sel (cell-based model of

coagulation) menyatakan bahwa koagulasi muncul pada tahapan yang

(23)

Gambar 2.10 Model koagulasi berbasis sel (Faranita et.al., 2011).

Tahap inisiasi dimulai pada sel yang dapat mengekspresikan tissue factor

(TF). membentuk kompleks dengan faktor VIIa dan mengaktivasi faktor IXa dan

Xa. Faktor Xa berikatan dengan faktor Va pada permukaan sel dan menghasilkan

trombin dengan jumlah sedikit. Faktor Xa segera diinhibisi sehingga tidak dapat

bergerak ke sel yang lain. Tahap amplifikasi dimulai setelah munculnya cedera,

trombosit keluar dari pembuluh darah sehingga terjadi perlekatan trombosit

dengan trombin yang dihasilkan pada tahap inisiasi. Trombin mengaktivasi

trombosit sehingga terjadi perubahan permukaan dan pengeluaran faktor V yang

sebagian aktif. Trombin juga mengaktivasi kofaktor V dan VIII, serta

mengaktivasi faktor XI menjadi faktor XIa. Tahap propagasi berlangsung pada

permukaan trombosit yang teraktivasi. Pada tahap ini FIXa berikatan dengan

VIIIa, jumlah FIXa bertambah dari hasil ikatan trombosit dengan FXIa. Kompleks

FIXa/VIIIa mengaktivasi FXa pada trombosit dan segera berikatan dengan FVa

sehingga mengubah protrombin menjadi trombin, selanjutnya pembentukan

trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Setelah bekuan fibrin terbentuk,

(24)

bekuan saat cedera sembuh. Untuk mengontrol pembentukan bekuan fibrin

terdapat tiga mekanisme yaitu TFPI, mekanisme antitrombin-heparin, dan jalur

antikoagulan protein C. Sedangkan yang bertanggung jawab dalam pelepasan dan

degradasi bekuan fibrin adalah sistem fibrinolisis. Plasmin berperan penting pada

fibrinolisis dan dikatalisasi oleh tPA atau urokinase-type plasminogen activator

(uPA). Inhibitor pada sistem fibrinolisis adalah PAI-1 dan antiplasmin (Faranita

et.al., 2011).

2.2.6 Trombosis

Pembuluh darah yang normal dilapisi oleh sel endotel. Dalam keadaan

yang utuh sel endotel bersifat antikoagulan dengan menghasilkan inhibitor

trombosit (nitrogen oksida, prostasiklin, ADPase), inhibitor bekuan darah/lisis

(heparin, tissue plasminogen activator, urokinase plasminogen aktivator,

trombomodulin, inhibitor jalur faktor jaringan). Sel endotel ini dapat terkelupas

oleh berbagai rangsangan seperti asidosis, hipoksia, endotoksin, oksidan, sitokin

dan stress oksidatif. Endotel pembuluh darah yang tidak utuh akan menyebabkan

vasokonstriksi lokal, menghasilkan faktor koagulasi (tromboplastin, faktor

vonWillebrand, aktivator dan inhibitor protein C, inhibitor aktivator plasminogen

tipe1), terbukanya jaringan ikat subendotel (serat kolagen, serat elastin dan

membran basalis) yang menyebabkan aktivasi dan adhesi trombosit serta

mengaktifkan faktor XI dan XII (Setiabudi, 2009).

Trombosis adalah pembentukan suatu massa abnormal di dalam sistem

peredaran darah yang berasal dari komponen-komponen darah dan salah satu

komponen yang berperan adalah trombosit. Trombosis terjadi karena adanya

ketidakseimbangan antara faktor trombogenik dengan mekanisme proteksi sebagai

akibat dari meningkatnya stimulus trombogenik atau penurunan mekanisme

proteksi, misalnya cedera jaringan pada sepsis yang melepaskan berbagai

mediator inflamasi, sitokin dan terjadinya disfungsi endotel. Pada tahun 1845

Virchow pertama kali mengemukakan adanya 3 faktor utama yang berperan

dalam patofisiologi trombosis (Triad of Virchow’s) yaitu kelainan endotel

pembuluh darah, perubahan aliran darah yang melambat/stasis dan perubahan

(25)

2.2.7 Hubungan Trombosis dan Sepsis

Komplikasi perdarahan yang sering terjadi pada sepsis dapat disebabkan

oleh gangguan vaskuler, koagulasi dan gangguan fibrinolitik. Trombosis

intravaskuler merupakan petanda respon inflamasi lokal untuk membatasi ruang

gerak invasi mikroorganisme. Terjadinya deposit fibrin intravaskuler, trombosis

dan koagulasi intravaskuler disseminata (KID) merupakan manifestasi respon

sistemik terhadap infeksi dan sepsis. Pada sepsis berat terjadi berbagai peristiwa

seperti leukosit yang mengalami hiperresponsif persisten, jejas endotel vaskuler

yang luas, KID, disfungsi multi organ dan trombosis yang menunjukkan prognosis

yang jelek. Pada sepsis terjadi gangguan hemostasis, gangguan keseimbangan

faktor prokoagulan dan antikoagulan dan juga terjadi peningkatan aktivitas

hemostatik yang berlebihan untuk mengatasi jejas vaskuler yang luas. Pelepasan

sitokin proinflamasi pada sepsis seperti TNF-α, IL-1, IL-2, IL-6 dan IL-8 akan

menginduksi monosit dan sel endotel vaskuler serta mengaktivasi jalur intrinsik

dan ekstrinsik, gangguan fungsi protein-C, menghambat jalur protein-S dan

menurunkan antitrombin. Fibrinolisis dapat dihambat melalui peningkatan

activator inhibitor-1 plasminogen dalam plasma. Akibatnya terjadi deposisi fibrin

intravaskuler, trombosis, perdarahan dan KID yang menyebabkan disfungsi

multiorgan maupun syok. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan kondisi

status hiperkoagulasi, hipokoagulasi dan trombositopenia yang pada akhirnya

menyebabkan KID dimana bisa terjadi trombosis dan perdarahan. Jika proses ini

terus berlanjut akan terjadi kegagalan fungsi organ multipel dan menyebabkan

kematian (Yaguchi et.al., 2004, Pohan, 2005, Woth et.al., 2010, Wang et.al.,

(26)

Gambar 2.11. Patogenesis Trombosis pada Sepsis (Cohen, 2002).

2.2.8 Kelainan Trombosit Pada Sepsis

Keterlibatan trombosit dalam patofisiologi sepsis sebagai petanda

yang sering dijumpai adalah trombositopenia. Pada sepsis dapat terjadi aktivasi

trombosit, yang dapat secara langsung oleh endotoksin atau sitokin proinflamasi.

Trombosit juga dapat teraktivasi oleh faktor koagulasi seperti trombin, aktivasi ini

terjadi akibat sekresi protein proinflamasi dan growth factors yang berkontribusi

pada proses inflamasi. Komponen permukaan dinding sel dari organisme gram

negatif (endotoksin) dan gram positif (peptidoglycans dari Staphylococcus

aureus) dapat memicu terjadinya Koagulasi Intravaskular Disseminata, kemudian

peningkatan konsumsi trombosit yang mengakibatkan trombositopenia.Trombosit

dapat menjadi sangat aktif pada sepsis. Hal ini ditandai dengan meningkatnya

aktivitas trombosit dalam fungsinya mengalami agregasi dan adhesi yang lebih

reaktif dibandingkan pada keadaan bukan sepsis. Aktivasi ini disebabkan oleh

endotoksin (lipopolisakarida) dan sitokin inflamasi ataupun aktivasi langsung dari

faktor koagulasi. Pada sepsis berat endotel mikrovaskuler dapat mengalami

kerusakan oleh berbagai faktor, termasuk perfusi jaringan yang buruk, hipoksia,

(27)

peningkatan aktivasi, agregasi dan konsumsi trombosit. Sehingga pada sepsis

rangkaian interaksi yang kompleks tersebut sering pada akhirnya meningkatkan

terjadinya trombositopenia dan sering dikaitkan juga dengan perubahan ukuran

trombosit atau Mean Platelet Volume. Perubahan ukuran trombosit ini

dihubungkan dengan supresi sumsum tulang dan pengaruh sitokin inflamasi pada

set kromosom trombosit serta terganggunya fungsi trombopoetin dalam maturitas

trombosit itu sendiri. Pada sepsis ini akan disekresikan trombosit dengan ukuran

besar dengan fungsi yang lebih reaktif akibat proses inflamasi yang terus berlanjut

sejalan dengan peningkatan konsumsi dan destruksi dari trombosit, sehingga pada

perjalanannya akan mempengaruhi proses pembentukan trombosit itu sendiri pada

tingkat megakariosit dimana akan menyebabkan terganggunya maturitas inti

trombosit sebagai kompensasi untuk mencapai keseimbangan hemostasis terhadap

reaksi inflamasi yang semakin berat. Selain itu sitokin yang diekspresikan pada

sepsis akan mempengaruhi juga pembentukan set kromosom trombosit pada

tingkat megakariosit, sehingga juga sangat berperan dalam perubahan morfologi

dari trombosit itu sendiri (Faranita et.al., 2011).

2.3 Mean Platelet Volume (MPV)

Begitu eratnya korelasi antara kejadian sepsis dengan aktivasi trombosit

sebagai kompensasi keseimbangan hemostasis menimbulkan banyaknya

penelitian yang mengambil komponen trombosit sebagai marker ataupun

prediktor prognosis pasien sepsis. Ukuran penilaian tidak hanya dilihat dari

jumlah trombosit namun juga dinilai dari variasi volume trombosit yang muncul

sebagai gambaran terhadap fungsi trombosit. Mekanisme kontrol yang utama

yang berhubungan dalam menentukan ukuran trombosit masih belum dapat

dipahami sepenuhnya, namun proses hematopoiesis dalam status tetap, jumlah

dari trombosit ditentukan oleh jumlah megakariosit dan jumlah dari set kromosom

dari megakariosit secara langsung berhubungan dengan MPV. Hubungan ini juga

dibuktikan pada status penyakit yang berbeda, jadi pasien dengan hipoplasia

sumsum ulang atau reaktif trombositosis (MPV rendah) juga mengalami

pengurangan set kromosom dan pasien dengan kerusakan imunitas dari trombosit

(28)

perubahan yang cepat dari ukuran trombosit dan ukuran megakariosit, jumlah set

kromosom, yang terjadi secara akut yang diakibatkan oleh trombositopenia telah

didokumentasikan secara jelas. Pemberian anti trombosit antibodi pada tikus,

diikuti oleh peningkatan MPV dalam 8 jam dan kemudian terjadi peningkatan

pada jumlah set kromosom megakariosit pada sumsum tulang. Volume

megakariosit juga meningkat, namun peningkatan volume sitoplasma yang

didokumentasikan tidak terjadi setelah 24 jam setelah induksi akut

trombositopenia. Perubahan ukuran maksimal terjadi setelah 48 jam, juga

peningkatan dari jumlah set kromosom megakariosit. Modal set kromosom

meningkat dari 16n ke 32n dengan produksi trombosit yang lebih besar dan

peningkatan heterogenitas dari trombosit pada darah perifer (Jackson and Carter,

1993).

Mean Platelet Volume (MPV) adalah rerata ukuran trombosit di sirkulasi

darah tepi dan merupakan salah satu variabel biologi yang penting dari trombosit.

MPV merupakan penanda fungsi trombosit dan berhubungan dengan penunjuk

aktivitas trombosit yang meliputi agregasi dan pelepasan tromboksan A2, platelet

factor 4, dan tromboglobulin. Ukuran trombosit ditentukan pada waktu

pembentukan dan perusakan trombosit yang meningkat. Trombosit yang besar

mempunyai butiran padat lebih banyak dan lebih kuat daripada yang kecil dan

lebih bersifat trombogenik. Trombosit memainkan peran utama dalam menjaga

integritas pembuluh darah melalui hemostatik. Efisiensi sel-sel hemostatik yang

beredar secara langsung tergantung pada beberapa faktor vasoaktif dan agen

protrombotik termasuk tromboksan A2, dan serotonin yang dikeluarkan dari

butiran trombosit. Jelas bahwa trombosit yang lebih besar mengandung lebih

banyak butiran dan karena memproduksi dan mengeluarkan jumlah yang lebih

besar dari stimulator ini. Pada kenyataannya, volume trombosit dikaitkan dengan

waktu perdarahan yang lebih pendek, dan volume trombosit rata-rata ( MPV )

telah dianggap sebagai penentu untuk tingkat aktivitas trombosit. Trombosit yang

beredar dalam sirkulasi dalam ukuran heterogen, kepadatan dan aktivitas. MPV,

adalah penilaian dari ukuran trombosit yang tersedia di setiap pemeriksaan sel

darah lengkap. MPV diakui sebagai penanda penting dari aktivitas trombosit.

(29)

trombogenik, dan lebih mungkin untuk terjadi agregasi dibandingkan dengan

trombosit yang lebih kecil (Rosmiati et.al., 2012).

Seperti diketahui pada penelitian sebelumnya mengenai Mean Platelet

Volume, ukuran trombosit ditentukan pada tingkat sel progenitor (yaitu

megakariosit) dan sepsis sangat berpengaruh pada tingkat sel ini. Pada sepsis

terjadi konsumsi trombosit yang berlebihan dan gangguan pembentukan trombosit

pada level kromosom sehingga sangat berpengaruh terhadap produksi trombosit

dan kompensasi yang terjadi. Pada suatu penelitian menunjukkan bahwa sitokin

seperti interleukin -3 dan interleukin-6 pada sepsis mempengaruhi ploidi

megakariosit dan menyebabkan produksi trombosit yang belum matur serta

berukuran lebih besar tetapi berfungsi lebih reaktif. Trombosit ini yang secara

langsung akan mengalami proses adhesi, agregasi, dan pembebasan sebagai

respon terhadap inflamasi. (Debili et.al., 1993, Oncel et.al., 2013).

Ada juga penelitian lain yang menjelaskan tentang hubungan MPV dengan

sepsis, antara lain penelitian oleh Becci C dkk melaporkan bahwa MPV lebih

tinggi pada kondisi sepsis berat dari pada sepsis saja. Mereka juga melaporkan

bahwa nilai MPV pada saat diagnosis sepsis >9.7 fL (nilai normal 7.0 – 8,0)

berhubungan dengan tiga kali lipat peningkatan mortalitas (OR=3,04; p<0,05).

Menurut Thompson, perubahan trombosit pada sepsis terjadi karena pelepasan

faktor pertumbuhan pada sumsum tulang yang memacu produksi trombosit dalam

ukuran besar sebagai mekanisme kompensasi (Thompson et.al., 1983). Dastugue

dkk dan Van der Lelie dkk menyatakan bahwa terdapat peningkatan MPV pada

pasien dengan sepsis dan syok septik. Peningkatan MPV menunjukkan terjadinya

infeksi invasif atau infeksi yang tidak responsif dengan pemberian antibiotik,

sehingga menimbulkan mortalitas yang tinggi pada sepsis (Dastugue and

Picheloup, 1982, Van der Leile and Von dem Borne, 1983). Alshorman A dkk

yang melakukan penelitian pada sepsis neonatorum melaporkan terjadinya

peningkatan MPV seiring dengan terjadinya trombositopenia terutama infeksi

yang disebabkan oleh kuman gram negatif (Alshorman et.al., 2008). Studi-studi

sebelumnya juga melaporkan hal yang sama seperti studi yang dilakukan Connor

dkk menemukan bahwa MPV dapat digunakan sebagai pemeriksaan tambahan

(30)

negatif (O’Connor et.al., 1993). Bessman dkk menyatakan bahwa MPV dapat

digunakan sebagai prediktor pemulihan trombositopenia yang disebabkan supresi

sumsum tulang pada sepsis, dapat mendeteksi gangguan trombosit lebih awal

walaupun jumlah trombosit masih normal, serta dapat membedakan penyebab

trombositopenia (Bessman et.al., 1985). Cho SY dkk melaporkan bahwa MPV

meningkat seiring dengan peningkatan procalcitonin >1,0 ng/mL walaupun secara

statistik tidak signifikan dan menyimpulkan bahwa peningkatan MPV

menunjukkan adanya pro-inflamasi dan kondisi trombosis yang melibatkan

sejumlah mediator inflamasi, sitokin dan disfungsi endotel (Cho et.al., 2013).

Eberhardt A dkk melaporkan penelitian yang melibatkan 183 pasien sepsis bahwa

MPV mempunyai korelasi positif yang signifikan dengan terjadinya bakteremia

dan kematian sehingga MPV dapat digunakan sebagai biomarker untuk menilai

beratnya derajat sepsis dimana semakin tinggi nilai MPV maka prognosisnya

semakin buruk (9.6 vs 9.19fL ; P=0.031) (Eberhardt et.al., 2013). Kukukardali Y

dkk juga menemukan korelasi positif yang signifikan antara MPV dan skor

APACHE dalam menilai beratnya sepsis (r=0,34), namun tidak didapati korelasi

yang signifikan antara MPV dengan kematian pada pasien sepsis yang dirawat di

ICU (Kukukardali et.al., 2010). Sebaliknya, studi yang dilakukan Sadaka F (2014)

dan Wilar R dkk tidak menemukan hubungan yang signifikan antara MPV dengan

mortalitas (Wilar et.al., 2010, Sadaka et.al.,2014). Guclu E dkk melaporkan

bahwa nilai MPV >8 fL (rujukan normal 7,0-8,0 fL) memiliki sensitifitas 53,47%,

spesifisitas 87,41% dan positive predictive value (PPV) 81,1% dalam menegakkan

diagnosa sepsis sepsis (Guclu et. al., 2013). Beberapa studi juga melaporkan

bahwa peningkatan MPV, trombositopenia dan peningkatan PDW (Platelet Width

Distribution) dapat digunakan sebagai indikator langsung terjadinya disfungsi

organ pada sepsis (Patrick and Lazarchick, 1990, Aydin et.al., 2012). Sementara

Patrick CH dkk yang melakukan studi pada sepsis neonatorum melaporkan

bahwa spesifisitas MPV dan PDW dalam mendeteksi adanya bakterimia

masing-masing adalah 95% dan 79% (Patrick and Lazarchick, 1990, Aydin et.al., 2012).

Menurut beberapa penelitian sepsis menyebabkan peningkatan destruksi

trombosit dan supresi dari sumsum tulang yang akibatnya mempengaruhi

(31)

immatur dengan fungsi yang lebih reaktif. Mean Platelet Volume (MPV) adalah

marker dari variasi ukuran dan volume trombosit yang beredar pada sirkulasi, dan

dapat digunakan untuk melihat aktivitas dan fungsi trombosit. Nilai Normal MPV

adalah 7,0-8,0 fL. Pengukuran MPV telah dilakukan sejak tahun 1970 an dan

sekarang telah menjadi pemeriksaan rutin, namun masih jarang dipelajari dalam

hubungannya dengan sepsis (Becchi et.al., 2006, Levi and Lowenberg, 2008,

Oncel et.al., 2013). Pada populasi sehat, MPV mempunyai hubungan terbalik

dengan jumlah trombosit.

MPV dan trombosit dihitung menggunakan automated blood cells counter

yang menggunakan teknologi aperture-impedance untuk mengukur trombosit. Di

samping itu, sel-sel difokuskan melewati celah kecil secara hidrodinamik, dan

gelombang listrik yang sesuai dengan ukuran dan volume sel dihasilkan. Pemisah

autodiscriminators” yang bergerak memisahkan antara machine noise pada bagian bawah dan sel darah merah pada bagian atas dari setiap distribusi volume

trombosit. MPV dihitung dengan menggunakan rumus: MPV (fL)=Pct

(%)x1000 Plt (x103/µL), dimana Plt adalah jumlah trombosit dan jumlah partikel diantara pemisah atas dan bawah, Pct merupakan trombosit crit dan dihitung

secara elektronik dari data histogram.

2.4 SISTEM SKOR DI UNIT PERAWATAN INTENSIF

Perkembangan teknologi kesehatan yang sangat pesat terutama di bidang

terapi intensif akhir-akhir ini telah membuat pelayanan di UPI membutuhkan

sumber daya dan biaya operasional yang cukup tinggi, sehingga UPI hanya

diperuntukkan bagi pasien-pasien yang akan mendapatkan manfaat dari terapi

intensif dengan resiko kematian yang rendah. Untuk itu diperlukan instrumen

objektif yang dapat menentukan keparahan penyakit dan menilai prediksi

mortalitas pasien yang masuk UPI (Palazzo, 2003).

Selama 3 dekade terakhir ini telah dikembangkan beberapa sistem skor

atau model prognostik UPI. Sebagian besar sistem skor mempunyai fokus

keluaran angka kematian rumah sakit dan sebagian lagi memperkirakan besarnya

disfungsi organ (Palazzo, 2003). Gangguan fisiologis, proses patologis dan

(32)

stasistik. Keluaran yang umumnya diukur adalah mortalitas di UPI atau mortalitas

pada 28 hari atau 30 hari (mortalitas rumah sakit). Mortalitas rumah sakit

merupakan keluaran yang paling sering dipakai karena dapat digunakan sebagai

diskriminator dan mudah diamati (Bion, 1996).

Pada awal pengembangan sistem skor, pemilihan variabel klinik dan

fisiologik sebagai variabel-variabel prediksi berdasarkan penilaian subjektif dari

hasil konsensus para klinisi serta tinjauan pustaka. Selanjutnya teknik model

regresi logistik ganda digunakan untuk memilih variabel prediksi dari sistem skor

(Palazzo, 2003).

2.4.1 Definisi

Sistem skor adalah suatu alat atau instrumen untuk menentukan

probabilitas mortalitas pasien.

2.4.2 Tujuan Penggunaan Sistem Skor

Sistem skor dapat digunakan untuk berbagai hal. Pada penelitian uji acak

terkendali (randomized controlled trial) dan penelitian klinik lainnya digunakan

untuk menentukan sampel penelitian. Pada manajemen rumah sakit sistem skor

digunakan sebagai dasar pertimbangan kebijakan administrasi sistem pelayanan

kesehatan dan rumah sakit seperti menentukan alokasi sumber daya. Pada

pengelolaan UPI, sistem skor digunakan untuk menilai tampilan UPI dan

membandingkan kualitas pengelolaan pasien pada beberapa UPI yang berbeda,

atau pada UPI yang sama dengan waktu yang berbeda-beda. Sistem skor dapat

digunakan untuk menilai pengaruh keluaran pasien terhadap perencanaan

pengelolaan UPI, seperti penambahan jumlah tempat tidur, rasio staf dan jasa

medis. Sistem skor digunakan juga untuk menilai prognosis pasien secara individu

sebagai data objektif dalam berkomunikasi dengan keluarga pasien, perusahaaan

asuransi kesehatan atau pengelola kesehatan dalam membuat keputusan tentang

perawatan di UPI. Selain itu sistem skor digunakan untuk mengevaluasi pantas

atau tidaknya pasien mendapatkan novel therapy, seperti menggunakan sistem

(33)

protein C (drotrecogin alfa) pada pasien sepsis berat/syok septik (Knaus et.al.,

1985, Bion, 1996, Husain et.al., 2003, Palazzo, 2003).

2.4.3 Klasifikasi Sistem Skor

Secara umum sistem skor yang digunakan di UPI dapat digolongkan

menjadi sistem skor model prognostik dan skor disfungsi organ. Ada 4 generasi

sistem skor prognostik. Generasi pertama adalah Acute Physiologic and Chronic

Health Evaluation I ( APACHE I ). Generasi kedua terdiri dari APACHE II,

Simplified Acute Physiology Score I ( SAPS I) dan Mortality Probability Model I (

MPM I ). Generasi ketiga adalah APACHE III, SAPS II, dan MPM II. Generasi

terakhir adalah APACHE IV, SAPS III, dan MPM III.Sedangkan sistem skor

disfungsi organ adalah Multipel Organ Dysfunctiopn Score (MODS), Logistic

Organ Dysfuction Score (LODS), dan Sequential Organ Failure Assessment

(SOFA) Score (Palazzo, 2003).

2.5 SKOR ACUTE PHYSIOLOGY AND CHRONIC HEALTH

EVALUATION II (APACHE II)

Dasar dari pengembangan APACHE II yang merupakan penyederhanaan

dari APACHE I sebelumnya, adalah hipotesis bahwa derajat keparahan suatu

penyakit akut dapat diukur dengan melakukan kuantifikasi derajat penyimpangan

dari berbagai variabel fisiologi yang dapat diukur secara objektif. Knaus dkk. pada

tahun 1985, menggunakan 12 variabel pengukuran fisiologis (acute physiologic

score, APS) yaitu : suhu tubuh, tekanan darah arteri rata-rata, laju nadi, laju

nafas, oksigenasi, pH arteri, natrium serum, kalium serum, kreatinin serum,

hematokrit, leukosit, skala koma Glasgow, ditambah umur dan penyakit kronik

dengan bobot nilai tertentu yang dinilai dalam 24 jam pertama pada sejumlah

5815 pasien yang masuk UPI dari 13 rumah sakit di Amerika Utara (Bion, 1996,

(34)

2.5.1 Definisi

Skor APACHE II adalah hasil penjumlahan dari APS , umur dan riwayat

penyakit kronik . Skor APACHE II bervariasi dari 0 – 71, untuk APS maksimal

60, skor umur maksimal 6, dan untuk skor riwayat penyakit kronik maksimal 5.

Pada kasus paska bedah, nilai variabel pH dan kreatinin serum sering

dianggap normal. Pada kasus pasien dengan sedasi, bantuan ventilasi mekanik,

nilai variabel skor koma Glasgow dianggap 15 , bila masalah neurologi tidak ada .

Pasien yang menjalani bedah jantung atau yang berumur <16 tahun dikeluarkan

dari analisis APACHE II.

2.5.2 Aplikasi Skor APACHE II

Skor APACHE II telah banyak dilaporkan dapat memprediksi mortalitas

pasien kritis, dengan alasan ini maka sistem skor ini paling banyak digunakan.

Penggunaan sistem skor ini terutama pada pasien dengan infeksi, uji klinis,

pemanfaatan sumber daya, peraturan pelayanan kesehatan, dan pada Surviving

Sepsis Campaign (Dellinger et.al., 2008).

Tabel 2.6 Skor APACHE II dan tingkat mortalitas pada 5.185 pasien UPI (Knaus

et.al., 1985).

APACHE II Score and Mortality in 5,185 ICU Patients

APACHE II Score Hospital Mortality (%)

Nonoperative Postoperative

0-4 4 1

5-9 6 3

10-14 12 6

15-19 22 11

20-24 40 29

25-29 51 37

30-34 71 71

(35)
(36)

2.7 KERANGKA KONSEP

keterangan:

Variabel bebas : Nilai MPV

Variabel tergantung : Skor APACHE

Gambar

Gambar 2.1 Perbandingan insiden dan mortalitas sepsis berat dengan penyakit lain
Tabel 2.2 Definisi Penyakit (Annane et.al., 2005).
Gambar 2.2  Respon imun terhadap infeksi organisme (Nasronudin, 2007).
Gambar 2.3 Patogenesis terjadinya Multiple Organ Failure dan Syok pada Sepsis (Cohen, 2002)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya penerapan sistem penjualan ini informasi yang diperlukan dapat disajikan dengan lengkap dan akurat mengenai data barang berupa stock pulsa, ketika proses

[r]

Dengan membuat suatu aplikasi Informasi Perawatan Kendaraan Bermotor 4TAK menggunakan Macromedia Flash MX, diharapkan dapat menjadikan solusi memberikan informasi bagi masyarakat

Kemudian silahkan klik pada bagian , sehingga akan terlihat tampilan sebagai berikut ini:..

Upaya Pengelolaan Retribusi Parkir dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Sungai Penuh menurut Perspektif. Hukum

Masalah yang akan dipecahkan adalah bagaimana bagian keuangan pada Unit Pelayanan Teknik Dinas Pendidikan Kecamatan Kuala dapat memanfaatkan aplikasi penggajian ini,

Pihak Cakra Kusuma Yogyakarta telah efektif dalam mengin- formasikan dan memberitahukan pelanggan apa saja program yang dibuat oleh Hotel Cakra Kusu- ma Yogyakarta melalaui

sebagai Framework PHP nya.Tujuan dari pembuatan website ini adalah untuk mempermudah proses penggajian di Unit Pelayanan Teknik Dinas Pendidikan Kecamatan Kuala