• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Pada Holdingisasi Bumn Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Pada Holdingisasi Bumn Chapter III V"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PEMBENTUKAN HOLDING COMPANY BUMN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM

A. Tinjauan Mengenai Badan Usaha Milik Negara

1. Pengaturan dan Definisi Badan Usaha Milik Negara

(2)

Juni 2003.186 Dalam undang-undang tersebut pasal 1 angka 1 mendefinisikan BUMN sebagai:187

Sedangkan menurut Keputusan Menteri Keuangan RI No. 740/KMK 00/1989 yang dimaksud dengan BUMN adalah Badan usaha yang seluruh modalnya dimiliki negara (pasal 1 ayat (2) a), atau badan usaha yang tidak seluruh sahamnya tidak dimiliki negara tetapi statusnya disamakan dengan BUMN yaitu (pasal 1 ayat (2) b):

“Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.”

188

a. BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dengan pemerintah daerah.

b. BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dengan BUMN lainnya.

c. BUMN yang merupakan badan-badan usaha patungan dengan swasta nasional/asing dimana negara memiliki saham mayoritas minimal 51%. Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa BUMN termasuk perusahaan karena yang disebut badan usaha itu yang dimaksudkan adalah perusahaan. Sebagai perusahaan BUMN juga bertujuan untuk mendapatkan keuntungan seperti perusahaan pada umumnya

186

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 169.

187

Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Pasal 1 angka 1.

188

(3)

2. Sejarah Badan Usaha Milik Negara

Pada masa penjajahan Belanda untuk kepentingan pemerintah jajahan waktu itu Belanda mendirikan berbagai perusahaan di berbagai bidang kehidupan antara lain perusahaan pertambangan, perusahaan jasa angkutan (darat, laut, dan udara), perusahaan perkebunan, perusahaan perbankan, perusahaan pertenunan atau tekstil, dan masih banyak yang lainnya. Semua perusahaan itu didirikan untuk kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan pertahanan, karena kehidupan dinegara jajahan tidak mungkin dapat dipasok terus menerus dari asalnya, apalagi alat transportasi masih sederhana dan harus dapat mempertahankan diri dari serangan negara lain yang akan mengambil alih Indonesia.189

Ketika Jepang menjajah Indonesia pada tahun 1942-1945 perusahaan-perusahaan milik Belanda tersebut dikuasai oleh pemerintah jajahan Jepang. Dengan kekalahan Jepang dari sekutu dalam perang dunia II, negara kita memproklamasikan kemerdekaannya.190

Setelah kemerdekaan sudah tidak ada lagi penjajah yang berkuasa, perusahaan-perusahaan yang ditinggalkan oleh penjajah yang dulu didirikan oleh

189

Gatot Supramono, Op.Cit, hlm. 28. 190

(4)

Belanda kemudian dikuasai oleh pemerintah Indonesia. Mengambilalih semua perusahaan-perusahaan tersebut waktu awal berdirinya negara kita merupakan persoalan yang tidak mudah untuk melakukan pengelolaan, karena sebagai negara baru belum memiliki kekuatan disegala bidang. Pemerintah belum stabil, ekonomi belum kuat, sumber daya manusia belum mendukung, perubahan kondisi sosial masih berjalan.191

Meskipun demikian pemerintah Indonesia sempat melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Usaha pemerintah untuk menasionalisasi perusahaan asing di Indonesia pertama kali dimulai sekitar tahun 1958. Nasionalisasi adalah proses pengalihan hak milik atas harta kekayaan dari orang asing kepada Indonesia atau kepada warga negara Indonesia menjadi milik bangsa atau negara, biasanya diikuti dengan penggantian yang merupakan kompensasi. Pada saat awal kemerdekaan jumlah perusahaan negara hasil nasionalisasi mencapai 600 perusahaan. Sederetan perusahaan Belanda dinasionalisasi seperti PT Kereta Api atau Djawatan Kereta Api, PT Pos (Djawatan Pos), PT Garuda Indonesia Airways. Perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi dilakukan berdasarkan Undang-Undang No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda dengan memberikan ganti kerugian atau kompensasi. Perusahaan-perusahaan asing tersebut adalah perusahaan-perusahaan yang didirikan berdasarkan Indonesische Bedrijvenwet (Staatsblad Tahun 1927 No 419) dan setelah dinasionalisasi menjadi perusahaan

191

(5)

milik negara tetap berlaku peraturan tersebut karena Indonesia waktu itu belum memiliki peraturan atau undang-undang yang mengatur perusahaan milik negara.192

Setelah melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda, pada tahun 1960-an Indonesia juga mendirikan sejumlah perusahaan negara dengan membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 19 Prp Tahun 1960 Tentang Perusahaan Negara. Perusahaan-perusahaan yang didirikan dengan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) antara lain:193

a. Perusahaan Negara Angkasapura “Kemayoran” (PP No. 33 Tahun 1962) b. Perusahaan Negara Dana Tabungan dan Asuransi Pegarai Negeri (PP No. 15

Tahun 1963)

c. Perusahaan Negara Asuransi Kerugian Jasaraharja (PP No. 08 Tahun 1965) d. Perusahaan Negara Pos dan Giro ( PP No. 29 Tahun 1965)

e. Perusahaan Negara Telekomunikasi (PP No. 30 Tahun 1965) f. Perusahaan Negara Asuransi Jiwasyara (PP No. 40 Tahun 1965) g. Perusahaan Negara Hasil Laut (PP No. 2 Tahun 1966)

h. Perusahaan Negara Aneka Tambang (PP No. 22 Tahun 1968)

Perusahaan-perusahaan yang didirikan tersebut hanya ada satu bentuk, yaitu perusahaan negara sesuai dengan kehendak Undang-undang Nomor 19 Prp Tahun

192

Ibid, hlm. 29-31. 193

(6)

1960. Adapun tugas perusahaan negara saat itu tidak dengan tegas disebutkan untuk mencari keuntungan melainkan tugasnya meliputi tiga macam, yaitu:194

a. Memberi jasa

b. Menyelenggarakan kemanfaatan umum c. Memupuk pendapatan

Modal perusahaan negara berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN, akan tetapi kekayaan perusahaan negara masih terikat dengan sistem keuangan negara, karena harta kekayaan perusahaan negara ini merupakan kekayaan milik negara. Perusahaan negara yang didirikan dengan undang-undang tersebut modalnya tidak terbagi atas saham, sehingga tidak berlaku peraturan perseroan terbatas yang waktu itu masih diatur didalam KUHD. 195

Disamping masih terikat oleh sistem keuangan negara, perusahaan negara pengelolaannya belum mandiri karena negara masih campur tangan, dimana pengurus atau direksinya diangkat dan diberhentikan pemerintah, bukan oleh keputusan pemilik modal. Para direksi pada umunya berasal dari kalangan yang dekat dari penguasa saat itu. Kekuasaan direksi selain mengurus, juga menguasai kekayaan perusahaan negara.196

194

Ibid, hlm. 31-32. 195

Ibid, hlm. 32 196

(7)

Perusahaan negara yang didirikan pada saat itu berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Prp Tahun 1960, namun ada beberapa perusahaan negara yang didirikan dengan Indonesische Bedrijvenwet jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1955, kemudian yang didirikan berdasarkan KHUD (Perseroan Terbatas) dan yang didirikan berdasarkan Undnag-Undang Nomor 29 Tahun 1960. Dengan keadaan tersebut pemerintah mengalami kesulitan untuk mengurus dan menguasai perusahaan-perusahaan negara dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 secara materill sehingga dirasakan secara ekonomis tidakefisien. Oleh karena itu untuk dapat mengantisipasi masalahnya dibuat Undang-Undang Nomor 1 Prp Tahun 1969 tentang Bentuk Usaha Negara. Di dalam Undang-undang ini diatur bahwa bentuk hukum perusahaan negara terdapat 3 (tiga) macam, yaitu : PERJAN (Peerusahaan Jawatan), PERUM (Perusahaan Umum), dan PERSERO (Perusahaan Perseroan).197

Berdasarkan ketiga macam bentuk perusahaan tersebut, maka bagi perusahaan yang didirikan dengan Undang-undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 supaya dialihkan dalam bentuk PERJAN dan PERSERO. Beberapa perusahaan negara yang mengaihkan bentuk hukumnya, Perusahaan Negara Kereta Api menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api, Perusahaan Negara Telekomunikasi menjadi Perusahaan Umum Telekomunikasi, kemudian dengan adanya pengalihan bentuk hukum, berakibat terhadap kekayaan negara yang telah tertanam dalam perusahaan negara yang bentuk

197

(8)

hukumnya diganti dapat dilanjutkan kegunaannya langsung dalam perushaan penggantinya itu.198

Memperhatikan perjalanan kehidupan perusahaan negara diatas sejak kemerdekaan sampai dengan digunakaannya 3 (tiga) bentuk badan hukum tersebut dalam kurun waktu lebih kurang 58 (lima puluh delapan tahun) yaitu 1945 sampai 2003, tampak bahwa perusahaan negara keberadannya terletak dipemerintahan karena berada didalam struktur organisasi pemerintah (dibawah Departemen atau Kementrian) pengelolaan perusahaan negara terikat oleh sistem keuangan negara, dan pengangkatan pengurusnya dilakukan oleh pemerintah. Disini negara tidak meletakkan perusahaan negara pada proporsi yang sebenarnya karena perusahaan negara itu bukan negara melainkan badan hukum perdata, sehingga keberadannya harus diluar organisasi negara dan memperlakukan perusahaan negara sebagaimana perusahaan pada umumnya.199

Negara sebagai pendiri dan pemegang modal tidak perlu campur tangan langsung kedalam pengelolaan perusahaan negara. Perusahaan negara diberi kebebasan untuk mengelola kehidupannya sendiri. Negara memberi kesempatan kepada warga negara Indonesia yang cakap dan memiliki kemampuan untuk menajdi pengurus dan pengawas perusahaan negara. Pengurus maupun pengawas perusahaan

198 Ibid. 199

(9)

diangkat oleh pemerintah/negara tetapi dalam kapasitasnya sebagai pemegang modal/RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).200

Pada tahun 2003 pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, selain mencabut peraturan-peraturan yang menyangkut perusahaan negara yang berlaku sebelumnya, Undang-undang BUMN memberikan kedudukan kepada perusahaan negara atau BUMN sebagaimana perusahaan lainnya. Undang-undang BUMN hanya mengenal dua macam bentuk hukum BUMN, yaitu Persero dan Perum. Keberadaan BUMN bukan sebagai lembaga negara atau lembaga pemerintah tetapi sebagi badan hukum perdata.

201

Walaupun modalnya berasal dari kekayaan yang dipisahkan, dan sejalan dengan kedudukannya sebagai badan hukum perdata, pengelolaan BUMN tidak terikat sistem keuangan negara melainkan dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Pengurus dan pengawas BUMN tidak diangkat oleh pemerintah melainkan diangkat rapat pemegang modal/RUPS. Kalaupun modal/sahamnya 100% milik negara, jika mengambil keputusan tindakan negara dalam kapasitasnya sebagai pemegang modal/RUPS. Pengurus maupun pengawas BUMN sebelum diangkat diwajibkan mengikuti kelayakan dan kepatutan (fit and

200 Ibid. 201

(10)

proper test). Mereka yang menjadi pengurus atau pengawas dapat berasal dari dalam atau dari luar BUMN.202

3. Tujuan Pendirian Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Tujuan pendirian BUMN yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003, yaitu sebagai berikut:203

a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan Negara pada khususnya. BUMN diaharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat sekaligus memberikan kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan dapat membantu penerimaan keuangan negara.

b. Mengejar keuntungan. Meskipun maksud dan tujuan Persero adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan playanan umum, Persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan yang sehat. Dengan demikian, pemguasaan pemerintah harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkab perhitungan bisnis atau komersial, sedangkan untuk Perum yang tujuannya menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum, dalan pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.

202 Ibid. 203

(11)

c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan jasa yang bermutu tinggi serta memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Dengan maksud dan tujuan seperti ini, setiap hasil usaha dari BUMN, baik barang maupun jasa, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan

oleh sektor swasta dan koperasi. Kegiatan perintisan merupakan suatu kegiatan usaha untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat, namun kegiatan tersebut belum dapat dilakukan oleh swasta dan koperasi karena secara komersial tidak menguntungkan. Oleh karena itu, tugas tersebut dapat dilakukan melalui penguasaan kepada BUMN. Dalam hal adanya kebutuhan masyarakat luas yang mendesak, pemerintah dapat pula menugasi suatu BUMN yang mempunyai fungsi pelayanan kemanfaatan umum untuk melaksanakan program kemitraan dengan pengusaha golongan ekonomi lemah.

e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.

(12)

mengutamakan kebutuhan rakyat dan ketentraman serta kesenangan kerja dalam perusahaan, menuju masyarakat yang adil dan makmur materill dan spirituil. Dalam bagian penjelasan Pasal 4 ayat (2) dikatakan bahwa perusahaan negara tersebut dalam menunaikan tugasnya selalu memperhatikan daya guna yang sebesar-besarnya dengan tidak melupakan tujuan perusahaan untuk ikut serta membangun ekonomi nasional sesuia dengan ekonomi terpimpin.204

a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian negara pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya

Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP No. 30 Tahun 1963 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan BUMN disebutkan maksud dan tujuan pendirian BUMN, yaitu:

b. Mengadakan pemupukan keuntungan pendapatan

c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa barang dan jasa yang bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak

d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi

e. Menyelenggarakan kegiatan usaha yang bersifat melengkapi kegiatan swasta dan koperasi dengan anatara lain menyediakan kebutuhan masyarakat, baik dalam bentuk barang maupun dalam bentuk jasa dengan memberikan pelayanan yang bermutu dan memadai.

f. Turut aktif memberikan bimbingan kegiatan kepada sektor swasta khususnya pengusaha golongan ekonomi lemah dan sektor koperasi.

g. Turut aktif melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah dibidang ekonomi dan pembangunan pada umumnya. Dari penjabaran mengenai tujuan BUMN diatas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya BUMN yang sifatnya memberikan jasa dan menyelenggarakan kemanfaatan umum serta memupuk pendapatan, maka dapat dilihat adanya perbedaan mendasar dengan usaha swasta dan koperasi yang menjadikan pemupukan

204

(13)

keuntungan sebagai suatu hal yang utama. Selain itu perumusan ketentuan tersebut dimaksudkan untuk membangun tatanan ekonomi nasional dengan mengutamakan kebutuhan rakyat.

4. Bentuk Usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Pasal 9 Undang-undang BUMN mengatakan bahwa BUMN terdiri dari Persero dan Perum saja, dengan kata lain Perjan yang ada pada peraturan sebelumnya telah dihapuskan. Maka bentuk BUMN saat ini terdiri dari:

a. Perusahaan Perseroan (Persero)

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 mendefinisikan pengertian Persero yakni: 205

Saham kepemilikan persero sebagian besar atau setara 51% harus dikuasai oleh pemerintah, karena persero diharapkan dapat memberi laba yang besar, maka otomatis persero dituntut harus dapat memberikan produk barang maupun jasa yang terbaik agar barang maupun jasa yang dihasilkan tetap laku dan dapat terus-menerus memupuk keuntungan.

“Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang bertujuan mengejar keuntungan.”

205

(14)

Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Mengingat Persero pada dasarnya merupakan Perseroan Terbatas, semua ketentuan-ketentuan dalam UUPT, termasuk pula segala peraturan pelaksanannya, berlaku juga bagi BUMN Persero.206

Tujuan pendirian persero adalah menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat, serta mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. Persero sebagai salah satu pelaku ekonomi nasional dituntut untuk dapat memenuhi permintaan pasar melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat, baik di passar dalam negeri maupun internasional. Hal tersebut dapat meningkatkan keuntungan dan nilai persero yang bersangkutan sehingga akan memberikan manfaat yang optimal bagi pihak-pihak yang terkait.207

2. Perusahaan Umum (Perum)

Organ Persero terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebagai organ yang memgang kekuasaan tertinggi dalam persero, Dewan Komisaris, dan Direksi. Beberapa contoh Persero yakni: PT PLN (Persero), PT. Bank Mandiri (Persero), PT. Telkom (Persero), dan PT. Jasarmarga (Persero).

206

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit. hlm.179. 207

(15)

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 mendefinisikan Perum sebagai berikut: 208

Pendirian Perum diusulkan oleh menteri kepada presiden disertai dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri Keuangan. Pendirian perum, antara lain harus memenuhi kriteria berikut:

Perusahaan umum yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.

209

a. Bidang usaha atau kegiatannya berkaitan dengan kepentingan orang banyak. b. Didirikan tidak semata-mata untuk mengejar keuntungan (cost

effectiveness/cost recovery)

c. Nerdasarkan pengkajian memenuhi syarat ekonomis yang diperlukan bagi berdirinya suatu badan usaha (mandiri)

Tujuan perum adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Untuk mendukung kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan perum,

208

Indonesia, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Pasal 1 ayat (3)

209

(16)

dengan persetujuan menteri, perum dapat melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain.210

5. Restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Perum dibedakan dengan perusahaan perseroan karena sifat usahanya. Perum dalam usahanya lebih berat pada pelayanan demi kemanfaatan umum, baik pelayanan maupun penyediaan barang dan jasa. Namun demikian, sebagai badan usaha diupayakan untuk tetap mandiri dan untuk itu perum perlu mendapat laba agar dapat hidup berkelanjutan. Penyertaan modal perum berdasarkan pasal 36 UU BUMN adalah penyertaan langsung perum dalam kepemilikan saham pada badan usaha yang berbetuk perseroan terbatas, baik yang sudah berdiri maupun yang akan didirikan. Organ perum terdiri dari Menteri, Direksi dan Dewan Pengawas. Beberapa contoh Perum yaitu: Perum Pergadaian, Perum Damri, dan Perum Perhutani.

Restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN sebagai salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki kinereja dan meningkatkan nilai perusahaan.211

210

Indonesa, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Pasal 36.

211

Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Pasal 1 ayat (1)

(17)

beroperasi secara efisien, transparan, dan profesional. Tujuan restrukturisasi adalah sebagai berikut:212

a. Meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan;

b. Memberikan manfaat berupa deviden dan pajak kepada negara;

c. Menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif kepada konsumen;

d. Memudahkan pelaksanaan privatisasi;

Dalam rangka restrukturisasi, terdapat dua cara yang dominan dilakukan oleh Kementrian BUMN yaitu Privatisasi dan Rightzing.

a. Privatisasi

Pengertian privatisasi berdasarkan pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) sebagimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2009, yaitu:213

212

Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Pasal 72 ayat (1) dan (2)

213

Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero), PP No. 33 Tahun 2005 Jo. PP No. 59 Tahun 2010, Pasal 1 angka 2.

(18)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut maka cara untuk melakukan privatisasi adalah:214

1) Penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal; 2) Penjualan saham secara langsung kepada investor;

3) Penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan persero yang bersangkutan.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005, tentang Tata Cara Privatisasi, jo Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2009, maka prosedur privatisasi meliputi: Penyusunan Program Tahunan Privatisasi (PTP), pembahasan PTP untuk mendapatkan Arahan Komite Privatisasi dan Rekomendasi Menteri Keuangan, Konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapatkan persetujuan, sosialiasi PTP serta Pelaksanaan PTP.215

b. Righsizing

Righsizing BUMN adalah membuat jumlah dan skala usaha BUMN dalam komposisi yang tepat (right). Strateginya bermacam-macam, namun intinya mengupayakan posisi BUMN berada padalevel yang tepat. Mengacu pada Masterplan

214

Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero), PP No. 33 Tahun 2005 Jo. PP No. 59 Tahun 2010, Pasal 5.

215

(19)

BUMN, terdapat 5 (lima) strategi dasar dalam konteks righsizing yaitu: Merger/Konsolidasi, Stand Alone, Divestasi, Likuidasi, dan Holding Company.

1) Merger/Konsolidasi

Merger adalah aksi korporasi yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 sebagai tindakan Penggabungan, yaitu:216

Kebijakan ini dilakukan untuk mencapai struktur yang prospektif bagi BUMN yang berada dalam sektor bisnis yang sama dengan pasar yang identik dan kepemilikan pemerintah 100%.

“Perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.”

217

Secara garis besar kriteria untuk BUMN-BUMN yang akan di-merger atau konsolidasi adalah sebagai berikut:218

a) Jenis usaha dan segmen pasar sama; b) Kompetisi tinggi;

c) Mayoritas saham dimilik pemerintah;

d) Going Concern diragukan, namun masih memiliki potensi untuk digabung dengan BUMN lain

216

Indonesia, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 angka 9.

217

Kementrian BUMN, Master Plan Kementrian BUMN, Periode 2010-2014, hlm. 53. 218

(20)

2) Stand Alone

Kebijakan stand alone (BUMN seperti sediakala) diterapkan untuk mempertahankan keberadaan BUMN-BUMN tertentu utamanya yang memiliki salah satu kriteria sebagai berikut:219

a) Market share cukup signifikan dan mengandung unsur keamanan; b) Single player atau masuk sebagai pemain utama;

c) Belum memiliki potensi untuk di-merger ataupun holding;

d) Keberadaannya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan umumnya captive market.

3) Divestasi

Kebijakan ini diutamakan bagi investor dalam negeri atau melalui proses akuisisi dan/atau merger/konsolidasi oeleh BUMN lain dengan kriteria tambahan berupa:220

a) Berbentuk persero

b) Berada pada sektor usaha atau industri yang kompetitif atau unsur teknologinya cepat berubah

c) Bidang usahanya menurut Undang-undang tidak secara khusu harus dikelola oleh BUMN

d) Tidak bergerak disektor pertahanan dan keamanan;

219

Ibid, hlm. 52. 220

(21)

e) Tidak mengelola sumber daya alam yang menurut ketentuan peraturan perundangan tidak boleh diprivatisasi;

f) Tidak bergerak disektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;

g) Memenuhi ketentuan/peraturan pasar modal apabila privatisasi dilakukan melalui oasar modal.

4) Likuidasi

Kebijakan likuidasi dilakukan untuk BUMN-BUMN yang tidak memiliki kewajiban Public Service Obligation (PSO), berada dalam sektor yang kompetitif, skala usaha kecil, mengalami kerugian selama beberapa tahun dan mempunyai ekuitas yang negatif.221

5) Holding Company

Pembentukan holding menjadi pilihan yang rasional untuk BUMN yang berada dalam sektor yang sama namun memiliki produk maupun sasaran pasar yang berbeda, tingkat kompetisi yang tinggi, prospek bisnis yang cerah dan kepemilikan Pemerintah yang masih dominan.222 Beberapa kriteria utama BUMN-BUMN yang akan di-holding adalah sebagai berikut:223

221 Ibid. 222

Ibid. 223

(22)

a) Sektor usaha sama;

b) Jenis usaha dan segmen pasar berlainan; c) Kompetisi tinggi;

d) Masih ada prospek/ bisnis prospektif; e) Pemerintah merupakan pemilik mayoritas.

B. Pengertian dan Konsep Holding Company

Holding Company merupakan suatu bentuk dari perkembangan yang timbul di perseroan terbatas di Indonesia. Akan tetapi hukum perusahaan di Indonesia belum mengatur secara yuridis mengenai holding company. Oleh karenanya belum ada pengertian resmi mengenai holding company. Namun terdapat beberapa istilah yang diartikan sama dengan holding company seperti perusahaan grup, perusahaan induk, atau parent company. Apabila mengacu pada terminologi yang digunakan pada Public Utility Holding Company Act di Amerika Serikat, definisi holding company adalah:224

“Holding company adalah perusahaan yang dimiliki oleh induk perusahaan atau beberapa induk perusahaan yang bertugas untuk mengawasi, “A corporation formed for the express purpose of controlling other corporations by the ownership of a majority of theri voting capital stock. In common usage, the term is applied to any corporation which does in fact control other corporations commonly referred to as subsidiaries.”

Sementara itu, Ray August menyatakan bahwa:

224

(23)

mengkoordinasikan, dan mengendalikan kegiatan usaha anak anak perusahannya. Pegertian serupa juga dikemukakan oleh Garner, yaitu perusahaan holding adalah suatu perusahaan yang dibentuk untuk mengontrol perusahaan lainnya, biasanya dalam membatasi perannya untuk menguasai saham dan mengelola manajerial.”225

Pengertian holding comopany yang berbeda terdapat pada Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1960 mengenai Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan N.V. Semarangsche Stoomboot En Prauwen Veer (S.S.P.V) dan N.V. Semarang Veer di Semarang. Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1960 menyatakan bahwa S.S.P.V. dipecah-pecah menjadi beberapa perusahaan berbentuk badan hukum yang berdiri sendiri untuk memudahkan pengoperasiannya kepada perusahaan-perusahaan nasional, sedangkan S.S.P.V. sebagai holding company memegang seluruh saham N.V-N.V baru itu, yang terdiri dari N.V. Semarang Veer dan N.V. Semarang Dock Works.226

Analisis terhadap berbagai perbedaan pengertian yuridis mengenai holding company atau perusahaan grup menunjukkan bahwa keterkaitan induk dan anak perusahaan dalam konstruksi perushaan grup memiliki tiga karakteristik berikut:227

1. Perusahaan grup merupakan susunan induk dan anak perusahaan yang merupakan badan hukum yang mandiri yang saling terkait erat.

2. Fakta pengendalian induk terhadap anak perusahaan dari realitas bisnis perusahaan grup.

225 Ibid. 226

Ibid, hlm. 25 227

(24)

3. Perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi.

Suatu perusahaan dikatakan menjadi pemegang kendali atas perusahaan lainnya apabila perusahaan tersebut dimiliki lebih dari setengah dari keseluruhan nilai nominal saham yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan lainnya, atau apabila perusahaan memiliki kewenangan untuk menentukan komposisi Direksi suatau perusahaan lainnya.228 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 menganut prinsip hukum “separate legal enitiy” (badan hukum terpisah), artinya perseroan merupakan badan hukum yang terpisah dari pemegang sahamnya, terlepas misalnya pemegang saham memiliki 99,99% saham dalam perseroan.229

Holding Company adalah suatu perusahaan yang mengendalikan atau menentukan organ kepentingan dan memegang lebih dari setengah dari total jumlah saham yang dikeluarkan oleh perusahaan lain.

Karena holding company di Indonesia adalah dalam bentuk Perseroan Terbatas, maka holding company di Indonesia tunduk pada aturan Undang-undang Perseroan Terbatas.

230

228

Dea Claudia “Aspek Hukum Holding Company dalam Perusahaan dengan Status Badan Usaha Milik Negara”. (Skripsi Sarjana UI, Depok, 2012). Sebuah kutipan dari Company Law (London: Blackstone Press limited, 1989) hlm. 28

229

Pheo Marojahan Hutabarat, “Beberapa Ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas Terkait dengan Organisasi Perusahaan: Suatu Tinjauan Praktek”

http://pkpabhi.files.wprdpress.com/2008/organisasi-perusahaan-pheo-m-h.pdf, diakses pada tanggal 27 Desember pukul: 23:08 WIB.

230

Fahmy Hossein, “Pengawasan Manajemen Perusahaan Induk Terhadap Bank Sebagai Perusahaan Anak Dalam Kerangka Holding Company”, (Skripsi Sarjana UI, Depok, 1995). Sebuah kutipan dari Accounting Amodern Approach (London: McGraw Hill,1980), hlm. 196.

(25)

perusahaan.231 Sedangkan definisi anak perusahaan dapat dilihat dalam Keputusan Menteri BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara Pasal 1 huruf e anak perusahaan diartikan sebagai:232

1. Memiliki lebih dari 50% (lima puluh persen) hak suara berdasarkan perjanjian dengan pemegang saham pemilik modal lain;

Anak Perusahaan adalah Perseroan Terbatas yang dikendalikan oleh BUMN secara langsung atau tidak langsung melalui anak perusahaan dengan memiliki lebih dari 50% (lima puluh persen) saham dengan hak suara, atau memiliki 50% (lima puluh persen) saham dengan hak suara atau kurang dari 50% (lima puluh satu persen) saham dengan hak suara memenuhin ketentuan sebagai berikut:

2. Memiliki hak untuk menentukan kebijakan dibidang keuangan dan operasional perusahaan berdasarkan Anggaran Dasar atau perjanjian; 3. Mempunyai kemampuan untuk mengangkat atau memberhentikan

mayoritas anggota Direksi dan Komisaris/Dewan Pengawas, dan atau; 4. Mempunyai kemampuan untuk mengendalikan mayoritas suara dalam

rapat Direksi dan Komisaris/Dewan Pengawas perusahaan.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa keberadaan Holding Company akan selalu disertai dengan keberadaan satu atau lebih perusahaan lain dibawah kendalinya yang disebutb sebagai anak perusahaan (subsidary company).

Ditinjau dari kegiatan perusahaan induk, holding company dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu:233

a. Investment Holding Company

231

Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 83.

232

Keputusan Menteri BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara Pasal 1 huruf e

233

(26)

Pada investment holding company induk perusahaan hanya melakukan penyertaan saham pada anak perusahaan, tanpa melakukan kegiatan pendukung ataupun kegiatan operasional. Induk perusahaan memperoleh pendapatan hanya dari deviden yang diberikan oleh anak perusahaan.

b. Operating Holding Company

Pada operating holding company, induk perusahaan menjalankan kegiatan usaha dan mengendalikan anak perusahaan. Kegiatan usaha induk perusahaan biasanya akan menentukan jenis izin usaha yang harus dipenuhi oleh induk perusahaan tersebut.

1. Latar Belakang Pendirian Holding Company

(27)

disebut perusahaan holding.234

Berkembangnya grup-grup usaha konglomerat di Indonesia sejak dasawarsa tujuh puluhan, maka pengendalian usaha lewat perusahaan holding sudah merupakan trend dan kebutuhan bisnis yang tidak dapat/ tidak perlu dihindari.

Holding Company di Indonesia atau yang dikenal juga dengan perusahaan grup contohnya: Sinar Mas Group, Salim Group, Bakrie Group, Lippo Group, dan lain sebaginya.

235

Perkembangan terkini menunjukkan bahwa perusahaan grup menjadi bentuk usaha yang banyak dipilih oleh pelaku usaha di Indonesia. Pembentukan atau pertumbuhan perusahaan grup ini tidak dapat dilepaskan dari realitas bisnis yang terjadi, ketika pengelolaan usaha melalui perusahaan grup dianggap lebih memberikan manfaat ekonomi dibandingkan dengan perusahaan tunggal. Perubahan dari perusahaan tunggal menjadi perusahaan grup merupakan implikasi dari perubahan strategi dan struktur suatu perusahaan.236

Berikut adalah dua alasan utama pembentukan atau pengembangan perusahaan grup:237

a. Upaya mengakomodasi peraturan perundangan-perundangan.

Peraturan perundang-undangan, yang berimplikasi kepada terbentuknya perusahaan grup biasanya melibatkan kepentingan ekonomi pengelolaan kekayaan

234

Munir Fuady, Op.Cit hlm. 83. 235

Ibid. 236

Sulistiowati 1, Op.Cit, hlm. 2-3. 237

(28)

negara/daerah dari badan usaha milik negara atau daerah. Peraturan perundang-undangan yang berimplikasi kepada terbentuknya perusahaan grup antara lain:

1) Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1960 tentang Nasionalisme Semarangsche Stoomboot En Prauwen Veer (S.S.P.V) dan Semarang Veer yang berimplikasi kepada terbentuknya perusahaan grup melalui pemisahan usaha S.S.P.V sebagai Holding Company yang memegang seluruh saham-saham dari N.V. Semarang Veer dam N.V Semarang Dock Works. Pembentukan Holding Company S.S.P.V dicapai melalui pemisahan usaha. 2) Surat Menteri Keuangan No/ 5-326/MK.016/1995 mengenai konsolidasi tiga

pabrik semen milik pemerintah yaitu PT. Semen Tonasa, PT. Semen Padang, dan PT. Semen Gresik. Konsolidasi terhadap ketiga pabrik semen milik pemerintah berimplikasi kepada terbentuknya Grup Semen Gresik yang terdiri dari PT Semen Gresik sebagai induk perusahaan, sedangkan PT Semen Tonasa dan PT Semen Padang sebagai anak perusahaan.

3) Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1997 mengenai pengalihan kepemilikan seluruh saham Pemerintah pada industri pupuk PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur Tbk., PT Petrokimia Gresik yang dialihkan kepemilikannya kepada PT Pupup Sriwidjaja (Persero).

(29)

Alasan kedua yang mendorong pembentukan atau pengembangan perusahaan grup adalah bagian strategi perusahaan untuk memperoleh manfaat ekonomi atas pembentukan atau pengembangan perusahaan grup. Pembentukan atau pengembangan konstruksi perusahaan grup merupakan artikulasi strategi perusahaan melalui ekspansi usaha bagi tercapainya penguasaan ekonomi dalam skala yang lebih besar atau menjamin ketersediaan penyediaan bahan yang lebih kontinu.238

2. Tujuan Pendirian Holding Company

Selain itu, alasan ekonomi pembentukan perusahaan grup atau holding comopany antara lain meliputi upaya mendorong proses penciptaan nilai, mensubtitusi definisi manajemen di anak-anak perusahaan, mengoordinasikan angkah untuk menembus akses ke pasar internasonal, mencari sumber pendapatan yang lebih murah, mengalokasikan modal dan melakukan investasi yang strategis, dan mengembangkan kemampuan manajemen puncak.

Apapun yang menajdi alasan pembentukan holding company/perusahaan grup diatas, tidak menghilangkan tujuan pembentukan perusahaan grup untuk memperoleh manfaat ekonomi atau tergabungnya induk dan anak-anak perusahaan.

Pada umumnya tujuan pendirian Holding Company pada umumnya adalah untuk menciptakan suatu kelompok usaha yang kuat, stabil, dan dapat memupuk keuntungan bagi perusahaan dengan satu induk pemilik saham mayoritas sehingga dapat mengontrol dan mengarahkan kegiatan anak perusahaan. Munir Fuady dalam

238

(30)

bukunya yang berjudul Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis mengungkapkan keuntungan dari keberadaan suatu holding company, yaitu:239

a. Kemandirian risiko

Karena masing-masing anak perusahaan merupakan badan hukum berdiri sendiri yang secara legal terpisah satu sama lain, maka pada prinsipnya setiap kewajiban, risiko dan klaim dari pihak ketiga terhadap suatu anak perusahaan tidak dapat dibebankan kepada anak perusahaan yang lain, walaupun masing-masing anak perusahaan tersebut masih dalam suatu grup usaha, atau dimiliki oleh pihak yang sama. Namun demikian, prinsip kemandirian anak perusahaan ini dalam beberapa hal dapat diterobos.

b. Hak pengawasan yang lebih besar

Kadangkala perusahaan holding dapat melakukan kontrol yang lebih besar terhadap anak perusahaan, sungguhpun misalnya memiliki saham di anak perusahaan kurang dari 50%. Hal seperti ini dapat terjadi antara lain dalam hal-hal sebagai berikut:

1) Eksistensi perusahaan holding dalam anak perusahaan sangat diharapkan oleh anak perusahaan. Bisa jadi disebabkan karena perusahaan holding dan/atau pemiliknya sudah sangat terkenal.

2) Jika pemegang saham lain selain perusahaan holding tersebut banyak dan terpisah-pisah.

239

(31)

3) Jika perusahaan holding diberi hak veto. c. Pengontrolan yang lebih mudah dan efektif

Perusahaan holding dapat mengontrol seluruh anak perusahaan dalam suatu grup usaha, sehingga kaitannya lebih mudah diawasi.

d. Operasional lebih efisien

Dapat terjadi bahwa atas prakarsa dari perusahaan holding, masing-masing anak perusahaan dapat saling bekerja sama, saling membantu satu sama lain, saling meinjam sumber daya manusia dan sebaginya. Disamping itu, kegiatan masing-masing anak perusahaan tidak overlapping, sehingga dapat meningkatkan efisiensi perusahaan.

e. Kemudahan sumber modal

Karena masing-masing anak perusahaan lebih besar dan lebih bonafid dalam suatu kesatuan dibandingkan jika masing-masing lepas satu sama lain, maka kemungkinan mendapatkan dana oleh anak perusahaan dari pihak ketiga relatif lebih besar. Disamping itu, perusahaan holding maupun anak perusahaan lainnya dalam grup yang bersangkutan dapat memberikan berbagai jaminan hutang terhadap hutangnya anak perusahaan yang lain dalam grup yang bersangkutan.

f. Keakuratan keputusan yang diambil

(32)

dapat memperbandingkan dengan anak perusahaan lain dalam grup yang sama, bahkan mungkin belajar dar pengalaman anak perusahaan lain tersebut, walaupun begitu, manfaat seperti ini tidak dipunyai perusahaan dalam grup konglomerat investasi.

3. Syarat Pendirian Holding Company di Indonesia

Pendirian Holding Company di Indonesia pada dasarnya belum memiliki aturan yang pasti, karena belum ada ditetapkan mengenai undang-undang tentang holding company di Indonesia sampai saat ini. Karena bentuk holding company di Indonesia pada umumnya berbentuk Perseroan Terbatas maka syarat dan ketentuan pendirian holding company tunduk kepada aturan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam mendirikan Perseroan Terbatas harus lebih dahulu dipenuhi persyaratan yang terdapat di dalam pasal 7 undang-undang Perseroan Terbatas, yaitu:240

1) Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

2) Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan.

3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak berlaku dalam rangka Peleburan.

4) Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.

5) Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.

240

(33)

6) Dalam hal jangka waktu segaimana dimaksud pada ayat 5 telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari dua (dua) orang, pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan Tersebut.

7) Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan oada ayat (5) serta ayat (6) tidak berlaku bagi:

a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki negara atau;

b. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kriling, dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian dan lembaga sebagimana diatur dalam undang- undang tentang Pasar Modal.

Berdasarkan isi pasal diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mendirikan suatu holding company yang berbentuk perseroan terbatas harus memiliki dua atau lebih pemegang saham, kecuali perusahaan holding dimiliki oleh negara atau lembaga-lembaga sebagimana yang diatur dalam Undang-undang Pasar Modal. Perusahaan yang didirikan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Perseroan Terbatas.

Dari bunyi pasal 2 Undang-undang Perseroan Terbatas dapat disimpulkn bahwa keberadaan bentuk investment holding company adalah bentuk holding company yang tidak diperbolehkan di Indonesia karena investmen holding company karena perusahaan induk tidak menjalankan kegiatan usaha. Maka dari itu bentuk

(34)

Perusahaan induk dan perusahaan anak merupakan dua entitas hukum yang berbeda dan terpisah namun memiliki keterkaitan dalam segi ekonomi. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas maka hubungan antara induk dengan anak perusahaan akan dibahas oleh sub-bab dibawah ini:

a. Keterkaitan antara Holding Company dengan anak perusahaannya

Kepemilikan suatu perseroan atas saham pada perseroan lain melahirkan keterkaitan induk perusahaan dan anak perusahaan sehingga induk perusahaan dapat menggunakan hak suara dalam RUPS anak perusahaan, mengangkat anggota direksi dan/atau dewan komisaris anak perusahaa, ataupun melakukan mengalihkan pengendalian terhadap anak perusahaan kepada perseroan lain melalui kotrak pengendalian. Keterkaitan antara induk terhadap anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan kelompok disebabkan oleh adanya hal-hal berikut ini:241

1) Kepemilikan induk perusahaan atas saham anak perusahaan

Kepemilikan induk atas saham anak perusahaan dalam jumlah signifikan memberikan kewenangan kepada induk perusahaan untuk bertindak sebagai pemimpin sentral yang mengendalikan anak-anak perusahaan sebagai kesatuan manajemen. Salah satu fungsi kepemilikan saham induk perusahaan pada anak perusahaan adalah zeggenschapsfunctie. Zeggenshapsfunctie kepemilikan saham pada anak perusahaan memberikan hak suara kepada induk perusahaan untuk mengendalikan anak perusahaan melalui berbagai mekanisme pengendalian yang ada

241

(35)

seperti rapat umum pemegang saham untuk mendukung beleggingsfunctie dari konstruksi perusahaan kelompok sebagai kesatuan ekonomi.

2) Rapat Umum Pemegang Saham

Induk perusahaan memiliki kewenangan untuk mengendalikan anak peusahaan melalui mekanisme RUPS anak perusahaan. Dalam RUPS anak perusahaan, induk perusahaan dapat menetapkan hal-hal stratejik yang dapat mendukung pencapaian tujuan perusahaan kelompok sebagai kesatuan ekonomi, antara lain melalui penetapan sasaran jangka panjang perusahaan dalam bentuk business plan selama lima tahun yang dikenal dengan rencana stratejik. Dalam rencana stratejik ini, direksi induk perusahaan menetapkan kebijakan dasar perusahaan yang terdiri dari visi, misi, budaya serta sasaran strategi perusahaa. Kebijakan dasar induk perusahaan ini diikuti oleh semua anak perusahaan dalam menyusun perencanaan jangka masing-masing.

3) Penempatan anggota direksi dan/atau dewan komisaris anak perusahaan

(36)

4) Keterkaitan melalui Perjanjian Hak Bersama

Keterkaitan induk dan anak perusahaan juga dapat terjadi karena perjanjian hak bersuara yang dilakukan antara pemegang saham pendiri, yang menyepakati bahwa penunjukan direksi dan dewan komsaris ditentukan oleh salah satu pemegang saham pendiri. Perjanjian semacam ini terjadi pada perusahaan kelompok yang merupakan badan usaha milik negara, yang sering disebut dengan saham merah putih dan disebut dengan Saham seri A.

5) Keterkaitan melalui kontrak

Perseroan dapat menyerahkan kendali atas manajemen kepada perseroan melalui Perjanjian Pengelolaan Perusahaan.

Keterkaitan induk dan anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan tidak menghapuskan pengakuan yuridis terhadap status badan hukum induk dan anak perusahaan sebagai subjek hukum mandiri. Keterkaitan induk dan anak perusahaan memberi kewenangan kepada induk perusahaan untuk bertindak sebagai pemimpin sentral yang megendalikan anak perusahaan dalam mendukung tujuan perusahaan sebagai suatu kesatuan ekonomi.

b. Kemandirian Badan Hukum Induk dan Anak Perusahaan

(37)

yang mandiri. Sebagai badan hukum, maka anak perusahaan merupakan penyandang hak dan kewajiban sendiri dan juga mempunyai kekayaan sendiri, yang terpisah secara yuridis dengan harta pemegang sahamnya.242

Terhadap induk dan anak perusahaan yang berbadan hukum mandiri, berlaku prinsip hukum yang menjadi pondasi dasar perseroan terbatas yang meliputi pengesahan badan hukum, status badan hukum perseroan sebagai subjek hukum mandiri atau separate legal entity dan limited liability. Kemandirian yuridis anak perusahaan tidaklah menghalangi kewenangan induk perusahaan untuk mengendalikan anak perusahaan. Sebaliknya, pengendalian induk perusahaan tidak menghapuskan kemandirian yuridis status badan hukum anak perusahaan. Berdasarkan prinsip kemandirian badan hukum tersebut, maka pada prinsipnya secara hukum, maka perusahaan holding dalam kedudukannya sebagai induk perusahaan tidak punya kewenangan hukum untuk mencapuri manajemen dan policy anak perusahaan.243

Menurut teori ilmu hukum (yang konvensional), maka keterlibatan perusahaan holding terhadap bisnisnya anak perusahaan yang hanya dimungkinkan dalam hal-hal sebagai berikut:244

242

Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 133. 243

Sulistiowati 2, Op.Cit, hlm. 98. 244

(38)

1) Melalui direktur dan komisaris yang diangkat oleh perusahaan holding sebagai pemegang saham, sejauh tidak bertentangan dengan anggaran dasar perusahaan.

2) Melalui hubungan yang kontraktual. Juga sejauh tidak bertentangan dengan anggaran dasar perusahaan.

c. Tanggung jawab hukum holding company dan anak perusahaan dalam perusahaan grup

Konstruksi hukum antara Perusahaan induk dengan Anak Perusahaan dalam UUPT yang menggunakan prinsip hukum mengenai kemandirian badan hukum induk dan anak perusahaan untuk bertindak sebagai subyek hukum mandiri dan berhak melakukan perbuatan hukum sendiri. Berdasarkan prinsip hukum tersebut maka berimplikasi :245

1) Induk perusahaan tidak bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh anak perusahaan.

2) Berlakunya prinsip limited liability (prinsip keterbatasan tanggung jawab) yang melindungi perusahaan induk sebagai pemegang saham anak perusahaan untuk tidak bertanggungjawab melebihi nilai investasi atas ketidakmampuan anak perusahaan menyelesaikan tanggung jawab hukum dengan pihak ketiga.

245

(39)

Prinsip limited liability (prinsip keterbatasan tanggung jawab) kepada induk perusahaan sebagai pemegang saham anak perusahaan sesuai mengacu pada ketentuan Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dimana dinyatakan bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimilikinya.

Namun Induk perusahaan akan bertanggungjawab terhadap permasalahan hukum anak perusahaan dalam hal-hal :246

1) Induk Perusahaan turut menandatangani perjanjian yang dilakukan anak perusahaan dengan pihak ketiga anak perusahaan

2) Induk Perusahaan bertindak sebagai corporate guarantee atas perjanjian anak perusahaan dengan kreditor

3) Induk perusahaan melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga dari anak perusahaan.

Pada prinsipnya induk perusahaan dapat dikenakan tanggung jawab hukum sebagai akibat dominasi induk perusahaan terhadap pengurusan anak perusahaan yang menjalankan instruksi induk perusahaan, namun hukum perseroan kita masih mempertahankan pengakuan yuridis terhadap status badan hukum induk dan anak perusahaan sebagai subjek hukum mandiri. Hukum perseroan memberikan perlindungan kepada induk perusahaan sebagai pemegang saham anak perusahaan dengan berlakunya prinsip limited liability atas ketidakmampuan anak perusahaan menyelesaikan seluruh tanggung jawab hukum pada pihak ketiga. Keterkaitan induk

(40)

perusahaan dan anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup menyebabkan induk perusahaan memiliki peran ganda sebagai pemegang saham anak perusahaan sekaligus pimpinan sentral perusahaan grup. Kedudukan induk perusahaan sebagai pemegang saham anak perusahaan menyebabkan induk perusahaan tidak hanya bertanggungjawab sebesar nilai saham mengingat peran ganda perusahaan induk. Tanggung jawab ini diarahkan kepada perluasan tanggung jawab hukum induk perusahaan sebagai pemegang saham sekaligus sebagai pimpinan sentral perusahaan grup dengan menerapkan prinsip Piercing the corporate veil dan prinsip keseimbangan yang berkeadilan antara hak dan kewajiban induk perusahaan sehingga induk perusahaan memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab atas segala akibat hukum yang muncul dari hubungan tersebut.247

5. Prosedur Pembentukan Holding Company

Setidak-tidaknya proses pembentukan perusahaan holding dapat dilakukan dengan 3 (tiga) prosedur, yaitu: prosedur residu, prosedur penuh, prosedur terprogram.248

a. Prosedur residu

247 Ibid. 248

(41)

Dalam hal ini, perusahaan asal dipecah-pecah sesuai dengan masing-masing sektor usaha. Perusahaan yang dipecah-pecah tersebut telah menjadi perusahaan yang mandiri,sementara sisanya (residu) dari perusahaan asal dikonversi menjadi perusahaan holding, yang juga memegang saham pada perusahaan pecahan tersebut dan perusahaan-perusahaan lainny jika ada.

b. Prosedur penuh

Prosedur penuh ini sebaiknya dilakukan jika sebelumnya tidak terlalu banyak terjadi pemecahan/pemandirian perusahaan, tetapi masing-masing perusahaan dengan kepemilikan yang sama/berhubungan saling terpencar-pencar, tanpa terkonsentrasi dalam suatu perusahaan holding. Dalam hal ini, yang menjadi perusahaan holding bukan sisa dari perusahaan asal seperti pada proses residu, tetapi perusahaan penuh dan mandiri. Perusahaan mandiri calon perusahaan holding ini dapat berupa:

1) Dibentuk perusahaan baru, ataupun

2) Diambil alih dari suatu perusahaan yang sudah ada tetapi masih dalam kepemilikan yang sama atau berhubungan, ataupun

3) Diakuisisi perusahaan lain yangg sudah terlebih dahulu ada, tetapi dengan kepemilikan yang berlainan dan tidak mempunyai keterkaitan satu sama lain. c. Prosedur terprogram

(42)

didirikan dalam grup nya adalah perusahaan holding. Kemudian untuk setiap bisnis yang dilakukan, akan dibentuk atau diakuisisi perusahaan lain, dimana perusahaan holding sebagai pemegang saham biasanya bersama-sama dengan pihak lain sebagai partner bisnis. Demikian, maka jumlah perusahaan baru sebagai anak perusahaan dapat terus berkembang jumlahnya seirama dengan perkembangan bisnis dari grup usaha yang bersangkutan.249

C. Pengaturan Holding Company dalam Hukum Perusahaan.

Dalam peraturan perundang-perundangan di Indonesia, tidak ada yang mengatur secara spesifik mengenai holding company atau parent company atau perusahaan induk.

Di Inggris, berdasarkan Section 736 dan 736 A, 1989 Act, ada tiga cara untuk mendirikan subsidiary dengan acuan sebagai berikut:250

a. Satu Perseroan (A) pemegang hak suara mayoritas (hold a majority of the voting rights) pada Perseroan lain (B), dan hal itu disebut Perseroan A memegang “kontrol suara” (voting control) atas Perseroan B.

b. Apabila satu Perseroan (A) pemegang saham pada Perseroan lain (B), dan Perseroan (A) tadi dapat menunjuk dan memberhentikan anggota Direksi Perseroan (B), dalam hal itu Perseroan (A) sebagai Perseroan Induk dan

249

Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 88. 250

(43)

Perseroan (B) sebagai Perseroan Anak dimana Perseroan (A) sebagai Perseroan induk “mengontrol Direksi” (director control) atas Perseroan (B). c. Apabila satu Perseroan A, merupakan pemegang saham atas Perseroan lain

(B) dan Perseroan (A) mengontrol sendirian atau berdasar kesepakatan dengan pihak pemegang saham yang memiliki hak suara mayoritas terhadap Perseroan (B), maka dalam hal ini Perseroan (A) disebut mengontrol Perseroan (B) berdasar kesepakatan (contract control).

M. Yahya Harahap, S.H. menjelaskan, bahwa di Amerika, ada juga yang mengatur dan mendefiinisikan Parent Company atau Holding Company, Subsidiary dan Affiliate. Menurut Yahya, Parent atau Holding Company merupakan penciptaan Perseroan yang khusus disiapkan memegang saham Perseroan lain untuk tujuan investasi baik tanpa maupun dengan “kontrol” yang nyata (without or with actual control).251

Lebih lanjut, M. Yahya Harahap menjelaskan apa yang dikemukakan pada Section 736 dan 736 A 1989 Act Inggris maupun definisi di Amerika, hampir sama dengan pengertian yang dikemukakan pada Penjelasan Pasal 29 mengatakan, yang dimaksud dengan “Perusahaan Anak” (subsidiary) adalah

251

(44)

Perseroan yang mempunyai hubungan khusus dengan Perseroan lainya yang dapat terjadi karena:252

a. lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh induk perusahaannya;

b. lebih dari 50% (lima puluh persen) suara dalam RUPS dikuasai oleh induk perusahaannya; dan atau

c. kontrol atas jalannya perseroan, pengangkatan, dan pemberhentian Direksi dan Komisaris sangat dipengaruhi oleh induk perusahaannya.

Dengan demikian, apa yang dikemukakan pada Penjelasan Pasal 29 UUPT 1995 masih dianggap relevan sebagai landasan memahami dan menerapkan Perseroan Induk (Parent atau Holding Company) dan Perseroan Anak (Subsidiary). Berbeda dengan Undang- Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 yang memuat sedikitnya lima pasal yang mengatur mengenai relasi antara induk dan anak perusahaan, yaitu diantaranya Pasal 30 yang berbunyi:

“Perseroan dapat membeli kembali saham yang telah dikeluarkan dengan ketentuan :

a. Dibayar dari laba bersih sepanjang tidak menyebabkan kayaan bersih perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.

b. Jumlah nilai nominal seluruh saham yang dimiliki perseroan bersama dengan yang dimiliki oleh anak perusahaan dan gadai saham yang

252

(45)

dipegang, tidak melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan.

D. Pembentukan Holding Company BUMN dalam Perspektif Hukum Perusahaan.

Pembentukan Holding company pada BUMN dilakukan untuk meningkatan daya saing melalui restrukturisasi, peningkatan efisiensi dan ekspansi bisnis. Pengelompokan unit-unit usaha BUMN dilakukan dengan berdasarkan sektor dan karakteristik usaha murni bisnis atau pelayanan publik. Pembentukan holding terfokus (focused holding) adalah untuk menciptakan sinergi yang maksimum dari BUMN yang mempunyai bisnis yang sama. Pembentukan holding yang merupakan penyesuaian strategi (strategy aligment) dan pembentukan sinergi (sinergy creation) menjadi pilihan yang rasional untuk BUMN yang berada dalam sektor yang sama tetapi memiliki produk maupun sasaran pasar yang berbeda, tingkat kompetisi yang tinggi, prospek bisnis yang cerah dan kepemilikan pemerintah yang masih dominan.253

UU BUMN mengenal adanya tiga kepemilikan saham yang dapat mengakibatkan adanya Holding Company yaitu penggabungan, peleburan dan pengambilalihan dan pemisahan. Pasal 65 UU BUMN menyatakan bahwa ketentuan mengenai penggabungan, peleburan atau pengambilalihan diatur dengan Peraturan

253

(46)

Pemerintah. Peraturan pemerintah tersebut yaitu Peraturan Pemenerintah No. 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan Pembubaran BUMN.

Berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2005, tata cara penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan BUMN persero diatur di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas pembentukan holding dapat dilakukan dengan cara penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan pemisahan. UU PT memberikan definisi dari penggabungan sebagai:

Perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk mengabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.

Dari pengertian penggabungan diatas maka dapat disimpulkan bahwa penggabungan merupakan merger dari dua perseroan atau lebih menjadi satu perseroan dan perseroan yang menggabungkan diri dengan perseroan lain berakhir atau bubar demi hukum. Aktiva dan pasiva perseroan yang menggabungkan diri karena hukum beralih sepenuhnya kepada perseroan yang menerima penggabungan.

Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,

pasal 1 Ayat (11) dijelaskan bahwa Pengambilalihann (Akuisisi) adalah perbuatan

(47)

mengambilalih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas

Perseroan tersebut.

Terdapat dua macam akuisisi yaitu akuisisi yuridis dan akusisi ekonomis.

Akuisis yuridis adalah pengambilalihan perusahaan melalui pengambilalihan saham

dari perusahaan yang bersangkutan, sedangkan akuisisi ekonomis adalah

pengambilalihan aset dari perusahaan yang diambil alih hanya semata-mata

asetnya.254

Dari definisi diatas dapat ditarik elemen pokok pemisahan yaitu:

Pemisahaan (spin off) juga merupakan juga merupakan salah satu cara pembentukan holding company. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pasal 1 Ayat (12) dijelaskan bahwa Pemisahan adalah sebagai

perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang

mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2

(dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena

hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih.

255

1. Pemisahan merupakan persetujuan perseroan yang memisahkan dengan yang

menerima pemisahan

2. Yang dipisahkan adalah objek usaha perseroan. Objek perbuatan hukum

pemisahan adalah “usaha” perseroan yang melakukan pemisahan

254

Rudhi Prasetya, Perseroan Terbatas Teori dan Praktek, (Jakarta: 2011, Sinar Grafika) hlm. 141.

255

(48)

3. Akibat hukum pemisahan adalah beralihnya aktiva dan pasiva perseroan

yang melakukan pemisahan.

UUPT membedakan Pemisahan kedalam 2 (dua) jenis pemisahan yaitu

Pemisahan murni dan Pemisahan tidak murni. Pemisahan murni adalah Pemisahan

yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum

kepada 2 (dua) Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan

yang melakukan Pemisahan tersebut berakhir karena hukum. Sedangkan pada

Pemisahan tidak murni atau spin off adalah Pemisahan yang mengakibatkan sebagian

aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan lain atau

lebih yang menerima peralihan dan Perseroan yang melakukan Pemisahan tetap ada.

(49)

anak usaha BUMN terkait dengan penyertaan modal dari negara kepada BUMN dan anak usahanya.256

256

(50)

BAB IV

ANALISIS YURIDIS PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK PADA HOLDINGISASI BUMN

A. Kewajiban Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada BUMN

(51)

Krisis di Indonesia Tahun 1998, menjadi awal masuknya konsep Good Corporate Governance (GCG) yang diperkenalkan oleh Pemerintah Indonesia dan IMF dalam rangka pemulihan ekonomi pasca krisis. Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur, manajer, pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.129

Reformasi pengelolaan perusahan melalui penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) di BUMN ditegaskan dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri BUMN No. Kep-103/MBU/2002 tentang pembentukan komite audit bagi Badan Usaha Milik Negara pada tanggal 4 Juni 2002. Komite audit ini bertugas untuk membantu dan bertanggung jawab langsung kepada komisaris atau dewan pengawas. Komite Audit bertanggungjawab untuk memastikan bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku dan etika, melaksanakan pengawasan secara efektif terhadap benturan kepentingan dan kecurangan yang dilakukan oleh karyawan perusahaan. Peraturan tentang komite audit tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan memberlakukan Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada BUMN yang mencabut Keputusan Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN No. Kep-23/M-PM.PBUMN/2002 tanggal 31 Mei 2000 tentang Pengembangan Praktek Good Corporate Governance (GCG) dalam Perusahaan Perseroan. Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada

129

(52)

BUMN mewajibkan BUMN untuk menerapkan good governance secara konsisten dan/atau menjadikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) sebagai landasan operasionalnya. Pada tahun 2003, pemerintah telah meratifikasi Undang-Undang BUMN, yang didalamnya telah terkandung prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG).130

Dalam rangka menerapkan kelima prinsip dasar tersebut diatas, BUMN harus berpedoman pada Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tanggal 01 Agustus 2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara ini dengan tetap memperhatikan ketentuan, dan norma yang berlaku serta anggaran dasar BUMN. Penerapan GCG harus dilengkapi dengan penyusunan GCG Code yang diantaranya dapat memuat board manual, manajemen risiko manual, sistem pengendalian intern, sistem pengawasan intern, mekanisme pelaporan atas dugaan penyimpangan pada BUMN yang bersangkutan, tata kelola teknologi informasi, dan pedoman perilaku etika (code of conduct).

Kemudian Keputusan Menteri tersebut disempurnakan kembali dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-01/MB /2011 tanggal 01 Agustus 2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara harus senantiasa berlandaskan pada lima prinsip dasar yaitu transparansi (transparency), akuntabilitas

(accountability), pertanggungjawaban (responsibility), kemandirian (independency), kewajaran (fairness).

BUMN wajib menerapkan prinsip-prinsip GCG tersebut secara konsisten dan berkelanjutan dalam setiap

kegiatan usaha dan seluruh jenjang organisasi, mulai dari RUPS, Dewan Komisaris dan Direksi sampai

dengan pegawai pelaksana.

131

130

http://bumn.go.id/jasatirta1/berita/687 diakses pada tanggal 30 Januari 2017 pukul: 17:19 WIB

(53)

Untuk memastikan penerapan GCG diperlukan keberadaan seorang anggota Direksi yang ditunjuk oleh Rapat Direksi sebagai penanggung jawab dalam penerapan dan pemantauan GCG di BUMN yang bersangkutan.132 Dipihak lain, peran pengawasan Dewan Komisaris harus ditingkatkan dalam memantau dan memastikan bahwa GCG telah diterapkan secara efektif dan berkelanjutan, baik pada lingkup Manajemen dan Direksi maupun Dewan Komisaris dan Pemegang Saham (RUPS).133 Dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas penerapan GCG, BUMN wajib melakukan pengukuran terhadap penerapan GCG.134

1. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Nomor Kep-133/M-PBUMN/1999 tentang Pembentukan Komite Audit bagi BUMN.

Implementasi GCG di BUMN dapat dilihat dengan adanya peraturan-peraturan yang mendukungnya seperti :

2. Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 Tentang Pedoman umum pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN.

3. Keputusan Menteri BUMN No. 09A/MBU/2005 Tentang Proses Penilaian Fit & Proper Test Calon Anggota Direksi BUMN

4. SE Menteri BUMN No. 106 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri BUMN No. 23 Tahun 2000 mengatur dan merumuskan pengembangan praktik good corporate governance dalam perusahaan perseroan.

132 Lihat Pasal 19 ayat (2) Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik (good corporate governance) pada Badan Usaha Milik Negara

133 Lihat Pasal 12 ayat (7) Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik (good corporate governance) pada Badan Usaha Milik Negara

(54)

5. Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tanggal 01 Agustus 2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara.

6. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/4/PBI/2006 tentang GCG yang dirubah dengan PBI No. 8/14/GCG/2006.

7. Keputusan Bersama Dewan Komisaris dan Direksi Nomor: KEP.448/UM.004/X/AP II-2007 dan Nomor: KEP.02.03.01/00/10/II-2007 461 tentang Pedoman Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) dan Pedoman Perilaku (Code of Conduct) di Lingkungan PT Angkasa Pura II (Persero).

8. Keputusan Bersama Dewan Komisaris dan Direksi PT Pos Indonesia (Persero) Nomor: 288/Dekom/0714 dan Nomor: KD. 44 /DIRUT/0714 tanggal 01 Juli 2014 tentang Panduan Penerapan Good Corporate Governance di PT Pos Indonesia (Persero), khususnya yang tercantum dalam Bab VIII, yaitu Kebijakan Perusahaan tentang Pedoman Etika Bisnis dan Tata Perilaku (code of conduct).

B. Proses Pembentukan Holding BUMN

(55)

Dalam proses pembentukan holding BUMN tidak perlu izin dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam pembentukan holding akan diikuti perpindahan aset pemerintah berupa saham BUMN ke BUMN lain yang menjadi induk peusahaan. Proses perpindahan ini lah yang tidak memerlukan persetujuan DPR.135

135

http://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3306961/bikin-holding-bumn-tak-perlu-persetujuan-dpr

Mengenai hal tersebut pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 yang mempertegas bahwa proses pembentukan holding BUMN tidak memerlukan izin dari DPR. Hal tersebut terdapat pada Pasal 2A ayat (1) yang menyatakan :

Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(56)

Contohnya seperti pengalihan aset yang pernah dilakukan pemerintah pada saat membentuk holding PT Perkebunan Nusantara (PTPN), pembentukan tersebut sama sekali tidak melibatkan DPR.136

Berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2005, tata cara penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan BUMN persero diatur di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas pembentukan holding dapat dilakukan dengan cara penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan pemisahan. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal Pasal 126 UUPT menyatakan bahwa:

UU BUMN mengenal adanya tiga kepemilikan saham yang dapat mengakibatkan adanya Holding Company yaitu penggabungan, peleburan dan pengambil alihan. Pasal 65 UU BUMN menyatakan bahwa ketentuan mengenai penggabungan, peleburan atau pengambilalihan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan pemerintah tersebut yaitu Peraturan Pemenerintah No. 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan Pembubaran BUMN.

Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2005, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan BUMN diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Keuangan. Pengkajian terhadap rencana penggabungan BUMN dapat mengikutsertakan Menteri Teknis dan/atau menteri lain dan/atau pimpinan lain yang dipandang perlu dan/atau menggunakan konsultan independen.

137

136 Ibid. 137

(57)

Perseroan dalam melaksanakan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan Pemisahan wajib memperhatikan:

1. Perseroan, Pemegang saham minoritas, karyawan perseroan. 2. Kreditor dan mitra usaha lainnya dari perseroan.

3. Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

Pembentukan holding BUMN dengan cara penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan pemisahan berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah sebagai berikut:

1. Penggabungan

Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 1 Ayat (9)

dijelaskan bahwa penggabungan ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau

lebih untuk mengabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva

dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan

yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang

menggabungkan diri berakhir karena hukum.

Berikut adalah tahap-tahap yang harus dilaksanakan Perseroan yang akan melakukan

penggabungan :

a. Rancangan Penggabungan

Direksi perseroan yang akan menggabungkan diri harus menyusun rancangan

penggabungan sesuai dengan Pasal 123 Ayat (1) UUPT. Dimana ketentuan mengenai rancangan

Penggabungan diri perseroan telah dijelaskan pada Pasal 123 Ayat (2), dijelaskan bahwa

rancangan penggabungan sekurang-kurangnya memuat:

Referensi

Dokumen terkait

Gejala klinis dari ISSHL yang disebabkan oleh iskemik arteri vertebrobasilar tergantung dari letak lesi yang mengalami infark seperi sindrom, AICA, sindrom PICA,

Variabel yang dipergunakan terbatas pada lima variabel yaitu reliability, responsiveness, assurance, empathy, tangibles sehingga menyebabkan penelitian hanya menyoroti masalah

Conclusion: ​ Current smoker, very severe level of the disease and depression could lead to a worse quality of life.. Medication management programs should

Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan FK USU, Ketua TKP-PPDS FK USU, dan Ketua Program Studi Magister Kedokteran FK USU yang telah memberikan kesempatan

informasi dari bidan mengenai kondisi kehamilan, ibu hamil  bersedia ke puskesmas. Bidan berperan penting  untuk memengaruhi ibu hamil dalam memilih tempat persalinan 

Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara status H.pylori CagA dengan derajat inflamasi kronik, derajat infiltrasi neutrofil dan derajat atrofi.. Tidak

memahami seluruh cakupan materi matakuliah ini paling sedikit dengan 80 % benar. Seluruh cakupan

study we reported the effect of combination between preoperative and intraoperative methylprednisolone administration as well as the use of hemoilter on the incidence of