• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan bagi Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (Franchise) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Usaha Roti Cappie Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan bagi Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (Franchise) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Usaha Roti Cappie Medan)"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A.

SEJARAH PERLINDUNGAN KONSUMEN

Untuk membahas masalah perlindungan konsumen , kita juga perlu

memahami bagaimana sejarah gerakan perlindungan konsumen, baik ketika awal

mula berdiri hingga pada perkembangannya saat ini. Dengan melihat sejarah ini, kita

akan bisa mencermati bagaimana pergulatan sosial, ekonomi, dan politik ketika itu

mendesak masalah perlindungan konsumen muncul ke permukaan wacana publik.11

1. Tahapan I

Secara umum, sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat dibagi dalam

empat tahapan.

Kurun waktu ini titik awal munculnya kesadaran masyarakat untuk

melakukan gerakan perlindungan konsumen. Pemicunya, histeria massal

novel karya Upton Sinclair berjudul The Jungle, yang menggambarkan cara kerja pabrik pengolahan daging di Amerika Serikat yang sangat tidak

memenuhi syarat-syarat kesehatan.

2. Tahapan II (1920-1940)

11

(2)

Pada kurun waktu ini muncul pula buku berjudul Your Money’s Worth

karya Chase dan Schlink. Karya ini mampu menggugah konsumen atas

hak-hak mereka dalam jual beli.

3. Tahapan III (1950-1960)

Pada dekade 1950-an ini muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan

perlindungan konsumen dalam lingkup internasuional. Dengan diprakarsai

oleh wakil-wakil gerakan konsumen dari Amerika Serikat, Inggris,

Belanda, Australia, dan Belgia, pada 1 April 1960 beridirilah International

Organization of Consumer Union.

4. Tahapan IV (pasca-1965)

Pasca-1965 sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen,

baik ditingkat regional maupun internasional. Sampai saat ini dibentuk

lima kantor regional, yakni di Amerika Latin dan Karibia berpusat di Cile,

Asia Pasifik berpusat di Malaysia, Afrika berpusat di Zimbabwe, Eropa

Timur dan Tengah berpusat di Inggris, dan negara-negara maju juga

berpusat di London, Inggris.12

Ada dua sejarah gerakan perlindungan konsumen yang akan dibahas dalam

skripsi ini, pertama gerakan perlindungan konsumen yang ada diluar negeri dan

gerakan yang ada di Indonesia.

12

(3)

A. Sejarah Gerakan Perlindungan Konsumen di Luar Negeri

Perkembangan hukum konsumen di dunia berawal dari adanya gerakan

perlindungan konsumen pada abad ke-19, dimana hal ini ditandai dengan munculnya

gerakan perlndungan konsumen (consumers movement) yang terjadi di America Serikat). Negara Amerika Serikat merupakan suatu negara yang sangat banyak

memberikan sumbangan dalam masalah perlindungan konsumen.

Secara historis ada tiga fase atau gelombang gerakan perlindungan

konsumen. Gelombang pertama, yaitu diawal abad ke-19. Di New York pada tahun

1891 terbentuk Liga Konsumen yang pertama kali di dunia, Kemudian pada tahun

1898 di tingkat nasional (The National Consumer’s Leangue). Organisasi i ini kemudian tumbuh dan berkembang dengan pesat sehingga pada tahun 1903 Liga

Konsumen Nasional di Amerika Serikat telah berkembang menjadi 64 cabang yang

meliputi 20 negara bagian.13

13

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 13

Pada tahun 1906 lahirlah undang-undang tentang perlindungan konsumen dan

(4)

Gelombang yang kedua yaitu pada tahun 1914. Pada tahun ini, terbentuklah

sebuah komisi yang bergerak dibidang perlindungan konsumen, atau disebut dengan

FTC (Federal Trade Comission). Pada waktu itu, keberadaan program pendidikan konsumen dirasakan perlu sekali untuk menumbuhkan kesadaran kritis bagi

masyarakat konsumen. Selanutnya, pada tahun 1930-an mulai dipikirkan urgensi dari

pendidikan konsumen. Mulailah penulisan buku-buku tentang konsumen dan

perlindungan konsumen dengan dilengkapi riset-riset yang mendukungnya.

Gelombang ketiga terjadi pada tahun 1960-an, yang melahirkan era hukum

perlindungan konsumen dengan lahirnya suatu cabang hukum baru, yaitu hukum

konsumen (consumer law).14

14

Happy Susanto, Op. Cit, hal. 6

Jika kita lihat, sejarah perlindungan konsumen berawal dari kondisi yang

terjadi di Amerika Serikat. Perlindungan ha-hak konsumen ini dapat berjalan seiring

dengan perkembangan demokrasi yang ada dalam suatu negara. Dalam suatu negara

yang menjunjung tinggi demokrasi, hak daripada warga negara, termasuk

hak-hak dari masyarakat konsumen harus dihormati dan juga harus dilindungi. Antara

produsen dengan konsumen mempunyai posisi yang seimbang dikarnakan keduanya

dimata hukum adalah sama.

(5)

Jika melihat kemajuan perkembangan gerakan perlindungan konsumen di

Amerika Serikat, tentu kita bertanya tentang bagaimana dengan sejarah awal mula

munculnya gagasan hukum konsumen dan beridirinya gerakan-gerakan perlindungan

konsumen di Indonesia? Masalah perlindungan konsumen di Indonesia terjadi pada

tahun 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen

Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973.

Pada waktu itu, gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas

kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti

pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen.

YLKI ini merupakan salah lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat (LPKSM) pertama muncul di Indonesia. Adapun tujuan didirikannya

lembaga ini ialah untuk melindungi hak-hak masyarakat konsumen dari peredaran

barang-barang yang dibawah standar dan dapat menyebabkan kerugian kepada

konsumen. Di samping itu, YLKI juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran

kiritis kepada konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga konsumen

dapat melindungi dirinya sendiri dan juga lingkungannya.

Keberadaan YLKI ini sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran

(6)

pengujian, penerbitan, dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga mengadakan

upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan.15

Sebenarnya, kalau kita melihat kebelakang dimana awal mula berdirinya

YLKI ini karna bentuk keprihatinan sekelompok masyarakat pada saat itu yang

melihat perkembangan masyarakat Indonesia yang lebih menyukai produk-produk

dari luar negeri dibandingkan dengan produk dalam negeri. Munculnya YLKI tidak

lepas dari kampanye “cinta produk dalam negeri” yang saat itu krisis terhadap

barang/jasa yang tidak aman atau tidak bagus untuk dikonsumsi. Adapun upaya

pertama YLKI ialah mendesak produsen susu kental manis untuk mencantumkan

label “Tidak Cocok Untuk Bayi” dalam kemasan susu kental manis, dikarnakan susu

tersebut lebih banyak mengandung gula daripada susu.

Selama ini praktek yang terjadi dilapangan dimana upaya hukum yang

dilakukan oleh konsumen untuk menggugat produsen, baik yang berbentuk swasta

maupun pemerintah, tidak banyak membuahkan hasil yang positif kepada konsumen.

16

Sejak dekade 1980-an, upaya untuk mewujudkan sebuah peraturan

perundang-udangan tentang perlindungan konsumen sangatlah sulit. Dimana langkah

tersebut mendapat rintangan yang begitu besar dikarnakan pihak pemerintah dan

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki greget yang begitu besar untuk

mewujudkannya, hal ini dapat kita lihat dimana pengesahan Rancangan Undang.

15

Shidarta, Op. Cit, hal. 51 16

(7)

Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen (RUUPK) itu

bisa diterima pada masa pemerintahan Bj Habibie, yaitu pada tanggal 20 April 1999.

Hal ini tentunya menjadi angin segar bagi semua gerakan-gerakan yang menyuarakan

perlindungan konsumen dan khususnya bagi para masyarakat konsumen, dikarnakan

melalui RUUPK tersebut jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen di Indonesia

diharapkan dapat terpenuhi dengan baik.

Seiring perkembangan waktu, gerakan-gerakan konsumen banyak tumbuh dan

berkembang di Tanah Air. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat

(LPSKM), sebagai lembaga yang bertugas untuk melindungi hak-hak konsumen,

menjamur dimana-mana. Perkembangan tersebut patut disambut secara positif.17

17

Ibid hal. 11

B. PENGERTIAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Didalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen yaitu di dalam pasal 1 ayat (1) terdapat pengertian perlindungan

konsumen. Dalam pasal tersebut dijelaskan, sebagai berikut:

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”

Dan menurut para ahli memberikan pandangan tentang pengertian hukum

(8)

1. Menurut Mochtar Kusumaatmaja, hukum perlindungan konsumen adalah

keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi

konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau

jasa konsumen.

2. Menurut A. Z Nasution, hukum perlindungan konsumen adalah memuat asas-asas

atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi

kepentingan konsumen.

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa antara perlindungan

konsumen dengan hukum perlindungan konsumen sebenarnya mempunyai tujuan

yang sama yaitu mengarah kepada untuk melindungi segala kepentingan-kepentingan

konsumen semata.

Menurut saya antara hukum perlindungan konsumen dengan perlindungan

konsumen mempunyai hubungan yang erat, dalam arti bahwa perlindungan

konsumen tersebut adalah bagian dari hukum perlindungan konsumen. Hukum

perlindungan konsumen adalah peraturan-peraturan yang mengatur tentang

perlindungan konsumen itu sendiri, sedangkan perlindungan konsumen adalah bentuk

pengaflikasian dari peraturan tersebut.

C. TUJUAN DAN MANFAAT PERLINDUNGAN KONSUMEN

Dalam undang-undang perlindungan konsumen pasal 3, disebutkan bahwa

(9)

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri.

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya

dari ekses negatif pemakaian barang/jasa.

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan

informasi.

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam

berusaha.

6. Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha

produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan

keselamatan konsumen.18

Ada beberapa manfaat dari perlindungan konsumen tersebut, diantaranya

ialah:

Manfaat Perlindungan Konsumen

18

(10)

1. Menyeimbangkan Kedudukan (Balancing Position)

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan konsumen. Dengan diterapkannya

perlindungan konsumen, maka keuntungan sebesar-besarnya, kini menjadi subjek

yang sejajar dengan pelaku usaha.

Dengan adanya undang-undang perlindungan konsumen, maka

praktek-praktek yang merugikan konsumen tersebut akan dikenakan sanksi. Dengan kondisi

demikian, maka kepentingan konsumen dapat terlindungi dari praktek-praktek yang

merugikan pihaknya melalui gak gugat yang dimiliki konsumen.

Sementara dengan dipatuhinya ketentuan-ketentuan dalam perlindungan

konsumen, maka konsumen ditempatkan sebagai subjek di dalam bisnis, yang

mempunyai hak-hak yang seimbang dengan pelaku usaha.

Dengan posisi yang demikian, maka akan tercipta kondisi pasar yang sehat

dan tentunya saling menguntungkan, baik bagi pihak konsumen karena yang sehat

dan tentunya produk-produk yang berkualitas sebagaimana yang diharapkan maupun

dari pihak konsumen karena tetap mendapatkan kepercayaan pasar yang tentunya

akan mendukung kelangsungan usahanya di masa mendatang.

(11)

Faktor utama yang menjadi kelemahan daripada konsumen ialah tingkat

kesadaran masyarakat konsumen akan hak-haknya yang masih rendah. Hal ini

terutama disebabkan oleh tingkat pendidikan konsumen yang masih rendah. Oleh

karna itu undang-undang perlindungan konsumen memberikan landasan baru bagi

pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.

Proses pemberdayaan sebagaimana dimaksud harus dilaksanakan secara

integral, baik melibatkan peran aktif dari pemerintah, lembaga perlindungan

konsumen swadaya masyarakat maupun dari kemauan masyarakat konsumen itu

sendiri untuk mengetahui hak-haknya.

Jika kesadaran konsumen akan hak-haknya semakin baik, maka konsumen

dapat ditempatkan pada posisinya yang sebenarnya, yaitu sebagai pasangan yang

saling membutuhkan dan saling menguntungkan.

3. Meningkatkan Profesionalisme Pelaku Usaha

Dengan perkembangan dunia bisnis yang terus berubah dengan cepat di satu

sisi dan di sisi lain kesadaran konsumen yang semakin baik, maka pelaku usaha tidak

mungkin lagi untuk bertahan dengan cara-cara yang tradisional. Pelaku usaha dituntut

untuk menjalankan usahanya secara profesional.

Pelaku usaha juga harus mengubah orientasi usahanya yang selama ini

(12)

memperdaya konsumen, yang dalam jangka panjang hal itu justru akan memetikan

usahanya.

Untuk itu profesionalisme pelaku usaha merupakan tuntutan yang harus

dipenuhi untuk saat ini dan tidak dapat ditawar-tawar lagi jika pelaku usaha ingin

tetap eksis dalam menjalankan usahanya.19

19

Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen

(Bandung: Citra Aditya, 2003), hal. 89

Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen terdapat asas-asas yang mempunyai hubungan dengan manfaat

perlindungan konsumen tersebut. Adapun asas-asas tersebut ialah :

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat

sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan

secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha

untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiiil ataupun

(13)

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan

jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,

pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen

menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan

konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.20

“Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik

bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan

tidak untuk diperdagangkan”.

Asas-asas tersebut merangkul semua kepentingan-kepentingan antara pelaku

usaha dengan konsumen, Tidak ada satu asaspun yang memihak kepada kepentingan

sepihak semata baik itu konsumen ataupun pelaku usaha. Dengan adanya

Undang-undang Perlindungan Konsumen ini bukan semata-mata mementingkan kepentingan

konsumen saja, akan tetapi undang-undang tersebut juga merangkul semua hak-hak

konsumen serta pelaku usaha.

D. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN

Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan

Konsumen, memberikan pengertian konsumen, sebagai berikut:

21

20

(14)

Sebagai suatu konsep, konsumen telah diperkenalkan beberapa puluh tahun

lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki

undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada konsumen

termasuk penyediaan sarana peradilannya. Sejalan dengan perkembangan itu,

berbagai negara telah pula menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai

landasan pengaturan perlindungan kepasa konsumen.22

Pada dasarnya jika berbicara soal hak dan kewajiban, maka kita harus kembali

kepada undang-undang. Undang-undang ini, dalam hukum perdata, selain dibentuk

oleh pembuat undang-undang (lembaga legislatif), juga dapat dilahirkan dari

perjanjian antara pihak-pihak yang berhubungan hukum satu dan yang lainnya. Baik

perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak maupun undang-undang yang

dibuat oleh pembuat undang-undang, keduanya itu membentuk perikatan diantara

para pihak yang membuatnya. Perikata tersebutlah yang menentukan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam

perikatan.23

Sebenarnya kita semua tahu, bahwa hubungan hukum antara antara pelaku

usaha dengan konsumen selama ini sangat sering terjadi hanya sebatas kesepatan

lisan mengenai “harga” dan “barang dan/atau jasa”, tanpa diikuti atau ditindaklanjuti

21

Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen 22

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hal. 22 23

(15)

dengan suatu bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang

bersangkutan.

Pada ketentuan umum mengenai perjanjian yang diatur dalam Kitab

Undang-undang Hukum Perdata, suatu perjanjian memang tidak diharuskan untuk dibuat

secara tertulis, kecuali untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang secara khusus

diisyaratkan adanya formalitas ataupun perbuatan tertentu. Dalam ketentuan pasal

1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata secara tegas dikatakan bahwa suatu

perjanjian adalah sah jika:

1. Dibuat berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak yang membuat

suatu perjanjian, tanpa ada unsur paksaan, kekhilafan maupun penipuan;

2. Dibuat oleh mereka yang sudah cakap untuk bertindak dalam hukum,

dalam arti sudah cukup umur, sehat akal dan tidak dibawah pengampuan

orang lain;

3. Memiliki objek perjanjian yang jelas;

4. Didasarkan pada suatu klausula yang halal.24

Selanjutnya, didalam ketentuan pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang

Hukum Perdata ditegaskan setiap perjanjian yang sudah dibuat secara sah, dalam arti

telah memenuhi syarat sah perjanjian menurut pasal 1320 diatas, maka perjanjian

tersebut telah mengikat bagi para pihak yang membuatnya, bahkan ketentuan

mengikatnya sama dengan mengikatnya suatu undang-undang yang dibuat oleh

24

(16)

pemerintah. Persetujuan tersebut tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan oleh

salah satu pihak dalam perjanjian, kecuali jika hal tersebut memang dikehendaki

secara bersama oleh kedua belah pihak, atau berdasarkan alasan yang dianggap cukup

oleh undang-undang.

Artinya, selama terjadi kesepakatan antara para pihak mengenai “harga” yang

harus dibayar oleh konsumen dan “barang dan/atau jasa” yang wajib disediakan oleh

pelaku usaha, maka perjanjian telah mengikat, baik untuk konsumen maupun pelaku

usaha, kecuali terdapat suatu paksaan, kekhilafan maupun penipuan atas diri

konsumen.25

25

Ibid hal. 27

Hak dan Kewajiban Konsumen Menurut Undang-undang Perlindungan

Konsumen

A. Hak-hak Konsumen

Istilah Perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh

karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang

mendapat perlindungan itu bukan hanya sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih

hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen

sesungguhnya identik dengan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.

(17)

1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);

2. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)

3. hak untuk memilih (the right to choose)

4. hak untuk didengar (the right to be heard)

Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya,

organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Namun, tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak

tersebut. Mereka bebas untuk menerima semua atau sebagian. YLKI, misalnya,

memutuskan untuk menambahkan satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar

konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga

keseluruhannya dikenal sebagai puncak hak konsumen.26

26

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit, hal. 31

Setelah itu, Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985

(18)

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan

keamanannya;

b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan

kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan

kebutuhan pribadi;

d. Pendidikan konsumen;

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

f. Kebebasa untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya

yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk

menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang

menyangkut kepentingan merekan.27

Berikut ini adalah hak-hak konsumen menurut Undang-undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen, yaitu terdapat dalam pasal 5 dikatakan

bahwa:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa, serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi, serta jaminan

yang dijanjikan;

27

(19)

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur serta tidak

diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau

tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.28

Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan diatas, terlihat bahwa

masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang

paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa

penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau

membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam

masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin suatu barang dan/atau jasa dalam

28

(20)

penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen

penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa

yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan

jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar,

memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti

rugi.29

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi

yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai

gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan

dengan berbagai cara, seperti lisan kepada kepada konsumen, melalui iklan di

berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang).

Akhirnya, jika semua hak-hak yang disebutkan itu disusun kembali secara

sistematis (mulai dari yang diasumsikan paling mendasar), akan diperoleh

urutan-urutan sebagai berikut.

a. Hak Konsumen Mendapatkan Keamanan

Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang danjasa yang

ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika

dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani.

b. Hak untuk Mendapatkan Informasi yang Benar

29

(21)

Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan banyak informasi

yang lebih relevan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun lalu. Alasannya, saat

ini:

1. terdapat lebih banyak produk, merek, dan tentu saja penjualnya

2. daya beli konsumen makin meningkat

3. lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak

diketahui oleh semua orang

4. model-model produk lebih cepat berubah

5. kemudahan transfortasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar

kepada bermacam-macam produsen atau penjual.

c. Hak untuk Didengar

Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak

untuk didengar. Ini disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak yang

berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk

itu konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.

d. Hak untuk Memilih

Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan

(22)

bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi pembeli, ia juga bebas

menentukan produk mana yang akan dibeli.

e. Hak untuk Mendapatkan Produk Barang dan/atau Jasa Sesuai dengan Nilai Tukar

yang Diberikan

Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang

tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi harus sesuai dengan nilai tukar uang yang dibayar sebagai penggantinya.

Namun, dalam ketakbebasan pasar, pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan

menaikkan harga, dan konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan. Konsumen

dihadapkan pada kondisi : take it or leave it. Jika setuju silakan beli, jika tidak silakan mencari tempat yang lain (padahal di tempat lain pun pasar sudah dikuasainya).

Dalam situasi demikian, biasanya konsumen terpaksa mencari produk alternatif (bila

masih ada), yang boleh jadi kualitasnya malahan lebih buruk.

f. Hak untuk Mendapatkan Ganti Kerugian

Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/jasa yang

dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar uang yang diberikannya, ia berhak

mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti kerugian itu tentu

saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan

(23)

Untuk menghindar dari kewajiban memberikan ganti kerugian, sering terjadi

pelaku usaha mencantumkan klausul-klausul eksonerasi di dalam hubungan hukum

antara psodusen/penyalur produk dan konsumennya. Klausul seperti “barang yang

dibeli tidak dapat dikembalikan” merupakan hal yang lazim ditemukan pada

toko-toko. Pencantuman secara sepihak demikian tetap tidak dapat menghilangkan hak

konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian.

g. Hak untuk Mendapatkan Penyelesaian Hukum

Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi

daripada hak pelaku usaha (produsen/penyalur produk) untuk membuat klausul

eksonerasi secara sepihak. Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak

mendapat tanggapan yang layak dari pihak-pihak terkait dalam hubungan hukum

dengannya, maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk

advokasi. Dengan kata lain, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum

dari pihak-pihak yang dipandang merugikan karena mengkonsumsi produk itu.

h. Hak untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat

Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang

diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen

di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas, dan setiap

mahkluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup

(24)

i. Hak untuk Dilindungi dari Akibat Negatif Persaingan Curang

Persaingan curang atau dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999 disebut

dengan “persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha

menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau

memperluas penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana

yang bertentangan dengan iktikat baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian.

Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak persaingan

itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen memperoleh

keuntungan. Sebaliknya, jika persaingan curang konsumen pula yang dirugikan.

Kerugian itu boleh jadi dirasakan dalam jangka pendek tetapi cepat atau lambat pasti

terjadi.

j. Hak untuk Mendapatkan Pendidikan Konsumen

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru.

Oleh karena itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari

hak-haknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dimungkiri sejalan dengan kesadaran

hukum. Makin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi

(25)

tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat melewati media

massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat.30

4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara

patut.

B. Kewajiban Konsumen

Selain memperoleh hak tersebut, sebagai balance, konsumen juga diwajibkan untuk:

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

31

Hal ini dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimum

atas perlindungan konsumen dan/atau kepastian hukum bagi dirinya.32

30

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, hal. 33-40 31

Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 Tentang Perlindungan Konsumen 32

Gunawan Widjaja dan Ahmat Yani, Op. Cit, hal. 31

E. HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA

Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan

(26)

“Pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk

badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri

maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam

berbagai bidang ekonomi”.33

33

Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen

1. Hak Pelaku Usaha

Untuk menciptakan kenyamanan barusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai

keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada para pelaku

usaha diberikan hak sebagaimana diatur pada Pasal 6 UUPK.

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai

kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum

sengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

(27)

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.34

Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah disebutkan

pada uraian terdahulu, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula

kewajiban-kewajiban sebagai berikut:

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan

nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku

usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/jasa yang diberikan

kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada

umumnya atas barang dan/jasa yang sama. Dalam praktik yang biasa terjadi, suatu

barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa,

maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian yang

dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.

2. Kewajiban Pelaku Usaha

35

34

Ibid Pasal 6 35

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 33

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan

(28)

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak

diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan

berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesepakatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang

dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang

dibuat dan/atau diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau jasa penggantian apabila barang dan/atau

jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.36

36

Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha

merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan iktikad

baik ini diatur dalam pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Begitu pentingnya iktikad

baik tersebut, sehingga dalam perjanjian antara para pihak, kedua belah yang

membuat perjanjian harus mempunyai iktikad baik.

Dalam UUPK pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan

kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam

(29)

Dalam UUPK tampak bahwa iktikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha,

karena meliputi semua tahapan dalam melakukankegiatan usahanya, sehingga dapat

diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang

dirancang/diproduksi sampai pada tahap penjualan, sebaliknya konsumen hanya

diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.

Hal ini tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen

dimulai sejak barang drancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan

bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat

melakukan tranksasi dengan proddusen.37

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan

ketentuan peraturan perundang-udangan;

Disamping hak dan kewajiban pelaku usaha diatas, ada beberapa

larangan-larangan bagi pelaku usaha dalam menjalan usahanya. Larangan tersebut diatur dalam

pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 12, pasal 13 dan pasal 17 UUPK. Namun, ketentuan

pasal 8 merupakan satu-satunya ketentuan umum, yang berlaku secara genaral bagi

kegiatan usaha dari para pelaku usaha di negara Republik Indonesia. Adapun

larangan-larangan tersebut ialah:

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau

jasa yang:

37

(30)

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam

hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang

tersebut;

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan

menurut ukuran yang sebenarnya;

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran

sebagaimana dinyatakan dalamlabel, etiket atau keterangan barang da/atau

jasa tersebut;

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolaan, gaya,

mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau

keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,

iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan

“halal” yang dicantumkan dalam label;

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama

barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal

pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan

(31)

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam

bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang

berlaku.38

Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam pasal 8 Undang-undang

tersebut dapat kita bagi ke dalam dua larangan pokok, yaitu:

1. larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar

yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen;

2. larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang

menyesatkan konsumen.

Larangan mengenai kelayakan produk, baik itu berupa barang dan/atau jasa

pada dasarnya berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang dan/atau

jasa yang diperdagangkan tersebut. Kelayakan produk tersebut merupakan “standar

minimum” yang harus dipenuhi atau dimiliki oleh suatu barang dan/atau jasa tertentu

sebelum barang dan/atau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi oleh

masyarakat luas.39

38

Pasal 8 Ayat (10) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 39

Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung: Nusa Media, 2008), Hal. 41

Untuk itu, informasi menjadi suatu hal yang penting bagi

konsumen. Informasi yang demikian tidak hanya datang dari pelaku usaha

(32)

dipertanggungjawabkan sehingga pada akhirnya konsumen tidak dirugikan, dengan

membeli barang dan/atau jasa yang sebenarnya tidak layak untuk diperdagangkan.40

a. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga

khusus, standar mutu tertentu, gaya atau metode tertentu, karakteristik

tertentu,sejarah atau guna tertentu;

Selain ketentuan-ketentuan larangan yang diatur dalam pasal 8 UUPK

tersebut, ada beberapa ketentuan lain yang melarang bagi pelaku usaha dalam

menjalankan usahanya. Ketentuan tersebut dikhususkan kepada pelaku usaha

periklanan, untuk memberikan informasi yang jelas kepada konsumen supaya

konsumen dapat memilih dengan baik barang dan/atau jasa yang cocok untuk

dikonsumsi.

Pasal 9 melarang setiap pelaku usaha untuk menawarkan, mempromosikan,

mengiklankan maupun memperdagangkan suatu barang dan/atau jasa secara tidak

benar, dan/atau seolah-olah:

b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;

c. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor,

persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau

aksesori tertentu;

d. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai

sponsor, persetujuan atau afiliasi;

40

(33)

e. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

f. Barang tersebut tidak mengadung cacat tersembunyi;

g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

h. Barang tersebut berasaldaridaerah tertentu;

i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;

j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak

mengandung resiko atau efek samping tanpa keterangan yang lengkap;

k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Dalam pasal 10 UUPK, pelaku usaha yang mewarkan barang dan/atau jasa

yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang untuk menawarkan, mempromosikan,

mengiklankan, atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan

mengenai:

a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;

b. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang

dan/atau jasa;

d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;

e. Bahaya penggunaan barang dan atau jasa.

Pasal 12 berhubungan dengan larangan yang dikenakan bagi pelaku usaha

(34)

dengan harga atau tarif khusus dalam suatu waktu dan dalam jumlah tertentu, jika

pelaku usaha tersebut sesungguhnya tidak bermaksud untuk melaksanaknnya sesuai

dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diklankan tersebut.

Selanjutnya, ketentuan pasal 13 melarang pelaku usaha untuk menawarkan,

mempromosikan, atau mengiklankan:

a. Suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa

barang dan/atau jasa lain secara Cuma-Cuma dengan maksud tidak

memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana dijanjikannya;

b. Obat-obat tradisional, suplemen makanan, alat-alat kesehatan, dan jasa

pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa

barang dan/atau jasa lain.

Pasal 17 secara khusus memberlakukan larangan bagi pelaku usaha periklanan

untuk memproduksi iklan yang :

a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan

harga barang dan/atau tarif jasa, serta ketetapan waktu penerimaan barang

dan/atau jasa;

b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;

c. Membuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang

(35)

d. Mengeksploitasi kajadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang

atau persetujuan yang bersangkutan;

e. Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai

periklanan.41

41

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini membahas tentang pengelompokan jumlah daerah yang terjangkit demam berdarah dengue (DBD) berdasarkan provinsi. Metode yang digunakan adalah Data mining K-

Berdasarkan uraian tersebut, maka suatu pernikahan yang walinya berpindah dari wali nasab (karena ketiadaannya) ke wali hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 23

(2) Kinerja guru Pendidikan Agama Islam dalam kompetensi pedagogik dalam pelaksanaan pembelajaran media yang digunakan ialah buku paket sebagai media yang utama dalam

 Jumlah penumpang domestik yang berangkat dari Sumatera Utara melalui Bandara Internasional Kuala Namu selama bulan Maret 2015 mencapai 240.988 orang, atau naik sebesar 8,05

Administrasi merupakan salah satu tolak ukur berkembangnya suatu organisasi dengan pesat. Administrasi berkaitan erat dengan pengolahan data yang saat ini sesuai

merupakan Sistem operasi berbasis Debian yang dapat bebas dioptimalkan untuk perangkat keras Raspberry Pi , yang dirilis pada bulan Juli 2012.. Gambar 2.2 Diagram blok arsitektur

Dalam hal ini dikembangkan aplikasi kamus untuk telepon selular (ponsel), dimana dengan aplikasi ini penggunanya dapat menterjemahkan istilah kedokteran ke arti dari istilah

[r]