• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Supervisory Training untuk Supervisor PT X

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Supervisory Training untuk Supervisor PT X"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A.EFEKTIVITAS

1. Definisi Efektivitas

Menurut Steers (1997), efektivitas yang berasal dari kata efektif, yaitu

suatu pekerjaan dikatakan efektif jika suatu pekerjaan dapat menghasilkan satu

unit keluaran (output). Suatu pekerjaan dikatakan efektif jika suatu pekerjaan dapat diselesaikan tepat pada waktunya sesuai dengan rencana yang telah

ditetapkan. Efektivitas suatu hal diartikan sebagai keberhasilan dalam

pencapaian target atau tujuan yang telah ditetapkan. Hal senada juga

dikemukakan oleh Bernard (1992, dalam Strees, 1997) bahwa efektivitas

adalah tercapainya sasaran yang telah disepakati bersama.

Efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan operasional

dalam melaksanakan program-program kerja yang sesuai dengan tujuan yang

telah ditetapkan sebelumnya. Secara komprehensif, efektivitas dapat diartikan

sebagai tingkat kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat

melaksanakan semua tugas-tugas pokoknya atau untuk mencapai sasaran yang

telah ditentukan sebelumnya (Campbell, 1977). Sementara itu, menurut Steers

(1997), efektivitas merupakan suatu tingkatan kemampuan organisasi untuk

(2)

Menurut Campbell (1977), pengukuran efektivitas secara umum dan yang

paling menonjol adalah :

1. Keberhasilan program

2. Keberhasilan sasaran

3. Kepuasan terhadap program

4. Tingkat input dan output

5. Pencapaian tujuan menyeluruh

Dari beberapa uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa efektivitas

merupakan kemampuan untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas suatu lembaga

secara fisik dan non fisik untuk mencapai tujuan serta meraih keberhasilan

maksimal.

2. Pendekatan Terhadap Efektivitas

Pendekatan efektivitas dilakukan dengan acuan berbagai bagian yang

berbeda dari organisasi, dimana organisasi mendapatkan input atau masukan berupa berbagai macam sumber dari lingkungannya. Beberapa pendekatan

yang dilakukan untuk mendapatkan efektivitas adalah sebagai berikut (dalam

Price, 1968) :

a) Pendekatan sasaran (Goal Approach)

Pendekatan ini mengukur sejauh mana suatu program berhasil

merealisasikan sasaran yang hendak dicapai. Pendekatan sasaran dalam

pengukuran efektivitas dimulai dengan identifikasi sasaran organisasi dan

(3)

tersebut. Sasaran penting yang harus diperhatikan dalam pengukuran

efektivitas dengan pendekatan ini adalah sasaran yang realistis untuk

memberikan hasil maksimal dengan memperhatikan permasalahan yang

ditimbulkannya, dengan memusatkan perhatian terhadap aspek output

yaitu dengan mengukur keberhasilan program dalam mencapai tingkat

output yang direncanakan. Dengan kata lain, pendekatan ini mencoba mengukur sejauh mana organisasi atau lembaga berhasil merealisasikan

sasaran yang hendak dicapai.

b) Pendekatan Sumber (System Resource Approach)

Pendekatan sumber mengukur efektivitas melalui keberhasilan suatu

program dalam mendapatkan berbagai macam sumber yang

dibutuhkannya. Suatu lembaga atau organisasi harus dapat memperoleh

berbagai macam sumber dan juga memelihara keadaan dan sistem agar

dapat menjadi efektif. Pendekatan ini didasarkan pada teori mengenai

keterbukaan sistem suatu lembaga terhadap lingkungannya, karena

lembaga mempunyai hubungan yang merata dalam lingkungannya dimana

dari lingkungan diperoleh sumber-sumber yang terdapat pada lingkungan

seringkai bersifat langka dan bernilai tinggi.

c) Pendekatan Proses (Internal Process Approach)

Pendekatan proses menganggap sebagai efisiensi dan kondisi kesehatan

dari suatu lembaga internal. Pada lembaga yang efektif, proses internal

berjalan dengan lancar dimana kegiatan bagian-bagian yang ada berjalan

(4)

melainkan memusatkan perhatian terhadap kegiatan yang dilakukan

terhadap sumber-sumber yang dimiliki lembaga, yang menggambarkan

tingkat efisiensi serta kesehatan lembaga.

3. Masalah dalam Pengukuran Efektivitas

Efektivitas diukur berdasarkan prestasi, produktivitas dan laba.

Pengukuran efektivitas dengan menggunakan sasaran yang sebenarnya dan

memberikan hasil daripada pengukuran efektivitas berdasarkan sasaran resmi

dengan memperhatikan masalah yang ditimbulkan oleh beberapa hal berikut

(dalam Steers, 1997) :

a. Adanya macam-macam output

Berbagai macam output yang dihasilkan menyebabkan pengukuran efektivitas dengan pendekatan sasaran menjadi sulit untuk dilakukan.

Pengukuran juga semakin sulit jika ada sasaran yang saling bertentangan

dengan sasaran lainnya.

Selain itu, masalah itu juga muncul karena adanya bagian-bagian dalam

suatu organisasi yang mempunyai sasaran yang berbeda-beda secara

keseluruhan, sehingga pengukuran efektivitas seringkali terpaksa

dilakukan dengan memperhatikan bermacam-macam secara simultan. Hal

lain yang sering dipermasalahkan adalah frekuensi penggunaan kriteria

dalam pengukuran efektivitas seperti yang dikemukakan oleh Steers

(1997) yaitu bahwa kriteria dan penggunaan hal-hal tersebut dalam

(5)

i. Adaptabilitas dan Fleksibilitas

ii. Produktifitas

iii. Keberhasilan

iv. Keterbukaan dalam berkomunikasi

v. Keberhasilan pencapaian program

vi. Pengembangan program

b. Subjektifitas penelitian

Pengukuran efektivitas dengan menggunakan pendekatan sasaran

seringkali mengalami hambatan, karena sulitnya mengidentifikasi sasaran

yang sebenarnya dan juga karena kesulitan dalam pengukuran keberhasilan

dalam mencapai sasaran. Hal ini terjadi karena sasaran yang sebenarnya

dalam pelaksanaan. Untuk itu ada baiknya bila meninjau pendapat England

(1967) bahwa perlu masuk ke dalam suatu organisasi untuk mempelajari

sasaran yang sebenarnya. Untuk sasaran yang dinyatakan dalam bentuk

kuantitatif, unsur subjektif itu tidak berpengaruh tetapi untuk sasaran yang

harus dideskripsikan secara kuantitatif, informasi yang diperoleh akan

sangat tergantung pada subjektifitas dalam suatu lembaga mengenai

sasarannya. Hal ini didukung oleh pendapat Steers (1997) bahwa

lingkungan dan keseluruhan elemen-elemen kontekstual berpengaruh

terhadap informasi organisasi dan menentukan tercapai tidaknya sasaran

(6)

4. Efektivitas Pelatihan

Menurut Hardjana (2001) agar sebuah pelatihan menjadi efektif maka

perusahaan harus melakukan penilaian terhadap kebutuhan pelatihan.

Kebutuhan pelatihan tersebut dapat ditemukan melalui teknik wawancara,

mengedarkan kuesioner, mengadakan tes atau audit lembaga pada unitunit

dengan mempelajari kegiatan, masukan, keluarga, biaya atau efisiensi dan

efektivitas masingmasing. Basri dan Rivai (2005) menyatakan bahwa pelatihan

tersebutefektif apabila :

1. Pelatih memahami bahwa perannya akan membantu karyawan untuk

mendapat tambahan pengetahuan.

2. Karyawan termotivasi untuk belajar. Mereka harus menyadari bahwa

tingkat keterampilan, pengetahuan atau perilaku mereka perlu ditingkatkan

dalam melaksanakan pekerjaan.

3. Karyawan diberi bimbingan tentang yang harus mereka pelajari dan

umpan balik atas apa yang mereka sedang lakukan.

4. Pelajaran adalah suatu proses aktif.

5. Pelatih mendengarkan karyawan untuk memahami apa yang mereka

inginkan dan perlukan.

6. Pelatihan mengadopsi suatu pendekatan bersifat membangun, berdasarkan

kekuatan dan pengalaman.

Kirkpatrick (2005) menyatakan bahwa efektivitas pelatihan dapat dilihat

(7)

 Level 1 : Reaksi. Level ini mengukur bagaimana reaksi peserta

pelatihan terhadap program pelatihan. Reaksi yang positif terhadap

program pelatihan menunjukkan bahwa mereka puas terhadap

program dan perlatihan yang diberikan.

 Level 2 : Belajar. Level ini bertujuan mengetahui seberapa jauh

peserta bertambah pengetahuan, meningkatnya keterampilan atau

berubah sikap setelah mengikuti pelatihan.

 Level 3 : Perilaku. Level ini menentukan seberapa jauh perubahan

dalam perilaku telah terjadi setelah peserta mengikuti pelatihan.

Keberhasilan level 3 dipengaruhi oleh iklim organisasi atau sikap

atasan.

 Level 4 : Hasil. Level ini merupakan hasil akhir yang terjadi setelah

peserta mengikuti program pelatihan. Hasil ini dapat berupa

meningkatnya produksi, perbaikan kualitas, menurunnya biaya

produksi, menurunnya turnover dan lain-lain.

B.PELATIHAN

1. Definisi Pelatihan

Noe (2002) mendefinisikan pelatihan sebagai upaya terencana yang

dibuat oleh perusahaan untuk memfasilitasi pembelajaran kompetensi

(8)

knowledge, skill or behavior yang berguna bagi kesuksesan performa kerja karyawan. Menurut Laird (1985), pelatihan adalah kegiatan memperoleh

teknologi yang memungkinkan karyawan menampilkan kinerja sesuai

standar. Pelatihan menurut Nitisemito (1989) adalah suatu kegiatan dari

perusahaan yang bermaksud untuk dapat memperbaiki dan

memperkembangkan sikap, tingkah laku, keterampilan dan pegetahuan

dari karyawan sesuai dengan yang diinginkan oleh perusahaan yang

bersangkutan. Sedangkan menurut Manullang (2000), pelatihan adalah

pemberian bantuan kepada karyawan agar karyawan dapat berkembang ke

tingkat kecerdasan, pengetahuan dan kemampuan yang lebih tinggi.

Pelatihan bersifat penerapan segera daripada pengetahuan da keahlian, jadi

lebih bersifar praktis.

Dari pengertian ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan

adalah suatu kegiatan yang diberikan untuk memfasilitasi proses belajar

karyawan dalam rangka meningkatkan kompetensi mereka dalam hal

knowledge, skills atau berhavior agar dapat diterapkan dalam menjalankan tugas sehari-hari.

2. Tujuan Pelatihan

Tujuan pelatihan menurut Noe (2002) adalah untuk meningkatkan

pengetahuan, keterampilan atau perilaku yang ditekankan pada program

(9)

Wexley dan Latham (1991) menjelaskan tujuan pelatihan adalah (1)

meningkatkan self-awareness; (2) meningkatkan lebih banyak lagi keterampilan dan keahlian yang dimiliki; dan (3) meningkatkan motivasi

kerja. Dan menurut Sikula (1976, dalam Ulfa 2007) tujuan pelatihan untuk

meningkatkan produktivitas, meningkatkan mutu, meningkatkan ketepatan

dalam perencanaan sumber daya manusia, meningkatkan semangat kerja,

menarik dan menahan tenaga kerja yang baik, menjaga kesehatan dan

keselamatan kerja, menghindari keusangan (obsolence), serta menunjang pertumbuhan pribadi (personal growth).

3. Penanggungjawab Pelatihan

Penanggungjawab pelatihan berbeda-beda, tergantung pada

masing-masing perusahaan. Dalam perusahaan menengah hingga perusahaan

besar, pelatihan biasanya menjadi tanggungjawab profesional SDM atau

menjadi tanggungjawab suatu fungsi pengembangan sumber daya manusia

atau fungsi pengembangan organisasi (Ulfa, 2007). Siapapun yang

bertanggungjawab atas pelatihan, jika perusahaan ingin pelatihan yang

dilaksanakan berjalan sukses, maka semua pihak harus memiliki “rasa

(10)

4. Tahapan Penyusunan Program Pelatihan

Menurut Kirkpatrick (2005), penyusunan program pelatihan terdiri

dari beberapa tahap, yaitu:

Tahap 1 : Identifikasi Kebutuhan Pelatihan atau Studi Pekerjaan

Untuk mengidentifikasi kebutuhan pelatihan perlu dilaksanakan

dua kegiatan utama, yaitu : melaksanakan job study dan mengadakan assessmen tenaga kerja. Salah satu metode yang

dapat dilakukan adalah dengan melakkan observasi dan

wawancara.

Tahap 2 : Menetapkan Sasaran Pelatihan

Sarana pelatihan dibedakan dalam sasaran umum (tujuan) dan

sasaran khusus. Sasaran umum dirinci ke dalam suatu uraian

yang mempergunakan perilaku-perilaku yang dapat diamati dan

dapat diukur, seperti perilaku apa yang diharapkan akan

ditampilkan untuk mencapai hasil di atas? Atau pengetahuan,

keterampilan dan sikap seperti apa yang ingin peserta pelajari

dalam program pelatihan tersebut?

Tahap 3 : Menentukan Isi Subjek

Trainer berusaha menentukan topik yang akan dipresentasikan

untuk memenuhi kebutuhan peserta sesuai dengan kebutuhan

(11)

Tahap 4 : Memilih Peserta

Dalam memilihi peserta, ada beberapa pertanyaan yang harus

dijawab, yaitu: (1) siapa yang akan mendapat keuntungan dari

pelatihan ini?; (2) apakah pelatihan harus diberlakukan secara

sukarela atau atas permintaan perusahaan?; (3) apakah peserta

harus dipisahkan berdasarkan level di organisasi atau berbagai

level akan disatukan dalam kelas yang sama?

Tahap 5 : Membuat Jadwal yang Baik

Jadwal pelatihan yang baik akan mempertimbangkan waktu

yang paling baik untuk trainer, atasan dan kondisi yang paling

baik untuk belajar.

Tahap 6 : Memilih Fasilitas yang Memadai

Fasilitas yang digunakan harus nyaman dan sesuai dengan

kebutuhan pelatihan. Hal ini disebabkan bahwa kondisi ruangan

akan mempengaruhi motivasi peserta pelatihan untuk belajar.

Tahap 7 : Memilih Instruktur yang Sesuai

Trainer memegang peranan penting untuk mecapai kesuksesan

pelatihan. Kualifikasi yang dimiliki harus mencakup

pengetahuan subjek yang akan diajarkan, keinginan untuk

mengajar, kemampuan komunikasi, dan keterampilan dalam

(12)

Tahap 8 : Memilih dan Menyiapkan Bantuan Peralatan Audiovisual

Bantuan peralatan audiovisual mempunyai dua tujuan, yaitu

membantu menjaga agar peserta tetap berminat dan sebagai alat

bantu komunikasi.

Tahap 9 : Melakukan Koordinasi

Sebaiknya perusahaan memiliki staf yang membantu memenuhi

kebutuhan peserta pelatihan dan trainer. Ia bertugas melakukan

koordinasi pelaksanaan pelatihan seperti memberikan kata

pembuka dan penutup pelatihan atau membantu menyediakan

handout.

Tahap 10 : Melakukan Tahap Evaluasi Program

Setelah melakukan pelatihan, perlu dilakukan evaluasi pelatihan

untuk mengetahui efektivitas pelatihan bagi peserta dan

memperoleh umpan balik yang berguna untuk penyempurnaan

pelatihan dikemudian hari. Level evaluasi pelatihan menurut

Kirkpatrick adalah sebagai berikut:

 Level 1 : Reaksi. Level ini mengukur bagaimana reaksi

peserta pelatihan terhadap program pelatihan. Reaksi yang

positif terhadap program pelatihan menunjukkan bahwa

(13)

 Level 2 : Belajar. Level ini bertujuan mengetahui seberapa

jauh peserta bertambah pengetahuan, meningkatnya

keterampilan atau berubah sikap setelah mengikuti pelatihan.

 Level 3 : Perilaku. Level ini menentukan seberapa jauh

perubahan dalam perilaku telah terjadi setelah peserta

mengikuti pelatihan. Keberhasilan level 3 dipengaruhi oleh

iklim organisasi atau sikap atasan.

 Level 4 : Hasil. Level ini merupakan hasil akhir yang terjadi

setelah peserta mengikuti program pelatihan. Hasil ini dapat

berupa meningkatnya produksi, perbaikan kualitas,

menurunnya biaya produksi, menurunnya turnover dan lain-lain.

C.SUPERVISOR

1. Pengertian Supervisor

Kossen (1981) menyatakan bahwa supervisor adalah orang-orang

yang bertanggungjawab meyakinkan bahwa kebijakan dan prosedur

perusahaan terlaksana. Collins et al (1976) berpendapat bahwa supervisor

merupakan manager yang dapat melakukan dan menyelesaikan sesuatu

melalui usaha orang lain. Sedangkan supervisor menurut Dharma (2003)

(14)

melalui pengarahan dan balikan (feedback) yang efektif dan efisien. Supervisor berhubungan langsung dengan para karyawan. Pendapat lain

yang dikemukakan oleh Ulfa (2007) bahwa supervisor merupakan salah satu

elemen dalam hierarki manajerial yakni manajer yang berada pada tingkat

dasar, bekerja dengan para pegawai non manajerial untuk mencapai tujuan

organisasi dan berfungsi membawa kebijakan dan petunjuk dari manager

puncak dan madya melalui interaksi tatap muka secara langsung dengan

pekerja operasional yang menjadi bawahannya.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

supervisor adalah manager tingkat pertama yang berhubungan langsung

dengan para pekerja operasional dimana mereka bertanggungjawab

memastikan bahwa kebijakan dari top management dan prosedur perusahaan dijalankan sebagaimana semestinya.

2. Tingkatan Supervisor

Dharma (2003) mengelompokkan tingkatan manajerial menjadi 3 bagian,

yaitu:

a. Kelompok Eksekutif atau manajer puncak

Para eksekutif ini menangani hubungan perusahaan dengan lingkungan

luarnya serta menangani persoalan-persoalan yang berkaitan dengan

(15)

b. Kelompok Manajer Menengah

Kelompok ini memusatkan perhatian pada perencanaan dan menjaga

pengoperasian sistem dan prosedur perusahaan

c. Kelompok Manajer Supervisi (Supervisor)

Supervisor berurusan dengan pelaksanaan pekerjaan secara langsung

dengan mengkoordinasikan pelaksanaan tugas melalui pengarahan dan

balikan (feedback) yang efektif dan efisien.

Kossen (1981) juga membagi tingkatan manajerial menjadi 3 bagian,

yaitu : (1) First-line Manager, yang biasa juga disebut dengan supervisor atau di beberapa perusahaan disebut sebagai foreman; (2) Middle Management yang posisinya berada satu level di atas supervisor. Middle Management juga biasa disebut sebagai department head; dan (3) Senior Management sebagai manajemen puncak dalam hierarki. Posisi ini meliputi

senior executive, vice president, atau president.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa supervisor

merupakan tingkatan dasar dalam manajerial yang langsung berhubungan

dengan para pekerja operasional dalam perusahaan. Sebagai lini yang

langsung berhubungan dengan pekerja operasional, peran supervisor sangat

penting karena dapat mempengaruhi hidup matinya produktifitas perusahaan

(16)

3. Keterampilan Esensial Supervisor

Agar supervisor dapat menjalankan tugasnya dengan efektif ada

keterampilan yang harus dimiliki. Dharma (2003) menjelaskan ada 2 (dua)

keterampilan yang diperlukan seorang supervisor, yaitu:

a. Keterampilan Teknis

Keterampilan ini meliputi pengetahuan mengenai segi-segi teknis dari

pekerjaan yang dilaksanakan. keterampilan ini penting dalam

merencanakan, menyusun jadwal, mengevaluasi kinerja

(performance) dan mengambil keputusan.

b. Keterampilan Interaksi

Keterampilan ini mencakup semua teknik yang digunakan untuk

berhubungan dengan bawahan dalam mengarahkan,

mengikutsertakan, mendelegasikan, melancarkan dan memantau.

Kossen (1981) membagi 3 (tiga) keterampilan yang harus dimiliki

oleh seorang supervisor, yaitu: (1) Technical Skills, kemampuan dalam mengaplikasikan teknik, proses, dan prosedur dalam menjalankan tugas; (2)

Human Relations Skills, yaitu kemampuan bekerja secara efektif dengan orang lain. Hal utama yang harus diperhatikan dalam Human Relations Skills adalah emphaty, sensitivity, perceptual skill, communication skills,

motivational skills, serta tolerance and understanding. Terakhir adalah

(17)

berpikir abstrak, membuat perencanaan, mengorganisasikan, mengontrol

serta mengkoordinasi baik manusia, material maupun mesin.

Sedangkan Ivanchevich et al (1984) menyatakan ada 3 keterampilan

yang harus dimiliki supervisor dalam menjalankan tugasnya, yaitu:

a. Keterampilan Teknis

Kemampuan dalam menggunakan peralatan, prosedur dan teknis pada

bidang spesialisasi masing-masing. Kemampuan ini termasuk segi

teknis dari pekerjaan yang dilakukan bawahan.

b. Keterampilan Konseptual

Kemampuan dalam memahami seluruh aktivitas dan minat pada

organisasi serta pemahaman tentang bagaimana suatu organisasi

berfungsi sebagai suatu keseluruhan dan bagaimana masing-masing

bagian saling tergantung dan berhubungan satu dengan lainnya.

c. Keterampilan Menangani Manusia (Human Skills)

Kemampuan bekerja dan mampu mengerti orang lain. supervisor

harus mampu berpartisipasi secara efekftif dengan orang lain.

Menurut Kossen (1981) kemampuan dalam menjalin hubungan

dengan orang lain lebih penting dibandingkan kemampuan teknis. Hal ini

disebabkan karena supervisor harus berinteraksi lancar baik ke pekerja

(18)

kurang terampil dalam menjalin hubungan yang baik dengan orang lain.

Derajat kepentingan keterampilan supervisor tergantung posisi seseorang

dalam hierarki manajerial (dalam Collin et al, 1976). Keterampilan teknis

sangat dibutuhkan sebagai modal menjadi supervisor yang baik, human skill, dibutuhkan oleh semua level yang ada, sedangkan keterampilan konseptual berguna bagi level manajerial yang lebih tinggi.

4. Fungsi Supervisor

Fungsi supervisor menurut Dharma (2003) adalah sebagai berikut:

a. Perencanaan

Hal ini berkaitan dengan penetapan tujuan, memutuskan cara

pencapaian tujuan, menetapkan arah tindakan serta menetapkan

kebijakan dan prosedur.

b. Pengorganisasian

Hal ini meliputi penetapan pembagian tugas, penugasan kerja,

pengelompokan pekerjaan, koordinasi serta menetapkan wewenang

dan tanggungjawab.

c. Pendayagunaan SDM

Menyeleksi orang yang akan melaksanakan pekerjaan, menetapkan

(19)

mempertahankan dan menjaga karyawan yang berpotensi, melatih dan

menilai kinerja karyawan.

d. Pembinaan

Hal ini berkaitan dengan memotivasi dan memberdayakan karyawan.

Supervisor juga berupaya menciptakan lingkungan kerja yang

kondusif bagi karyawan, menangani keluhan karyawan, empati dan

juga mendisiplikan karyawan.

e. Pengendalian

Menghimpun informasi tentang pencapaian hasil, membandingkan

dengan standar/rencana, melakukan tindakan perbaiki.

Hal senada juga dikemukakan oleh Collin et al (1976) bahwa

supervisor menjalankan 5 fungsi, yaitu (1) planning; (2) organizing; (3)

staffing; (4) directing; dan (5) controlling. Fungsi supervisor yang dikemukakan oleh Dharma (2003) dan Collin et al (1976) hampir sama.

Namun pada bagian Pengendalian (Dharma, 2003) atau controlling (Collin et al, 1976), Collin et al (1976) menekankan bahwa kontrol yang baik dari

(20)

5. Tanggungjawab Supervisor

Tanggungjawab utama supervisor adalah mencapai hasil sebaik mungkin

dengan mengkoordinasikan sistem kerja pada unit kerjanya secara efektif

(Dharma, 2003). Sedangkan menurut Collin et al (1976) tanggungjawab

seorang supervisor dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu:

a. Tanggungjawab terhadap pemiliki perusahaan

Mengoperasikan departemen yang menjadi tanggungjawabnya dengan

baik untuk dapat menghasikan keuntungan yang bersifat jangka

panjang.

b. Tanggungjawab terhadap pegawainya

Mengelola karyawan dan menciptakan kondisi kerja yang sesuai

berdasarkan kemampuan dan minat karyawan yang bersangkutan dan

suasana kerja yang kondusif.

c. Tanggungjawab terhadap pelanggan

Supervisor harus menjaga integritas produk perusahaan dan

membantu perusahaan membuat produk yang berkualitas seperti apa

yang diinginkan pelanggan dengan harga yang pantas.

d. Tanggungjawab terhadap masyarakat dan pemerintah

Perusahaan berlangsung karena pemerintah dan masyarakat memberi

(21)

baik maka supervisor bertanggungjawab mematuhi segala aturan dan

ketentuan yang ada pada suatu lokasi, daerah, kota atau negara.

6. Supervisor yang Efektif

Kepemimpinan merupakan aspek penting dari pekerjaan supervisor.

Supervisor bertanggungjawab atas kinerja karyawan yang dipimpinnya.

Oleh sebab itu, kemampuan memimpin sangat diperlukan untuk

mengemban tanggungjawab tersebut. Selain itu, kepemimpinan merupakan

salah satu faktor penentu bagi berhasil tidaknya pencapaian tujuan.

Kemampuan supervisor memimpin bawahannya akan sangat mempengaruhi

produktivitas unit kerjanya. Menurut Dharma (2003), efektifitas

kepemimpinan supervisor diukur oleh 2 (dua) faktor utama, yaitu (1) faktor

keluaran yang meliputi produktivitas, kualitas, profitability dan efisiensi; dan (2) faktor manusia yang meliputi antusiasme dalam bekerja, jumlah dan

jenis komunikasi, komitmen terhadap tujuan perusahaan serta tingkat

konflik antarpribadi dan antarkelompok.

Agar dapat memimpin secara efektif, seorang supervisor harus mampu

berkomunikasi dengan jelas, mengharapkan yang terbaik dari

orang-orangnya, berpegang pada tujuan dan berusaha memperoleh komitmen.

Supervisor yang efektif memegang 4 (empat) prinsip, yaitu:

Prinsip 1. Kejelasan Komunikasi. Komunikasi merupakan prinsip

(22)

penunjang. Taktik dasar yang harus diperhatikan adalah menggunakan

kata-kata atau istilah yang mudah dimengerti, langsung, ringkas dan menghidari

pesan yang bertolak belakang.

Prinsip 2. Harapkan yang Terbaik. Biasanya orang akan melakukan

sesuatu sesuai dengan hal yang diharapkan kepadanya. Jika supervisor

mengharapkan hal-hal yang realistik terhadap bawahannya, mereka akan

berusaha untuk mencapai hal tersebut. Namun ada hal yang perlu

diperhatikan, yaitu hargai martabat bawahan, menyampaikan harapan

melambung, menekankan pada kebutuhan masa yang akan datang.

Prinsip 3. Berpegang pada Tujuan. Bentuk komunikasi yang paling

efektif adalah komunikasi yang terendali dan terpusat pada tugas yang

dihadapi. Agar dapat berpegang pada tujuan, maka hal yang perlu

diperhatikan adalah fokus pada satu topik, mengdorong adanya perilaku

yang mengarah pada tujuan dan membatasi adanya interupsi.

Prinsip 4. Mendapatkan Komitmen. Tujuan utama supervisi adalah

memperoleh komitmen bagi keikutsertaan dan keterlibatan dalam hal-hal

yang diputuskan.

7. Keterampilan Manajerial Supervisor

Seorang supervisor adalah seorang pemimpin di lini terdepan.

(23)

dalam menjalinkan fungsi manajer. Seorang supervisor membutuhkan

keterampilan manajerial dengan porsi yang berbeda-beda sesuai dengan

pekerjaan masing-masing (Mulianto, Cahyadi & Widjajakusuma, 2006).

Salah satu contoh keterampilan manajerial yang dibutuhkan oleh

Supervisor dalam menjalankan tugasnya adalah yang dikemukakan oleh

Sujak (1990). Ia merumuskan bahwa untuk melaksanakan tugasnya, seorang

supervisor harus memiliki 6 (enam) keterampilan manajerial, yaitu :

a. Keterampilan Kepemimpinan

Kemampuan ini meliputi kemampuan mempengaruhi, menggerakkan

dan mengarahkan suatu tindakan pada diri seseorang atau sekelompok

orang untuk mencapai tujuan tertentu pada situasi tertentu.

Kepemimpinan merupakan salah satu aspek kunci dalam kehidupan

organisasi. Kepemimpinan ini akan membedakan antara karakteristik

satu perusahaan dengan perusahaan lainnya.

b. Memotivasi Bawahan

Kemampuan manajerial yang ini harus dimiliki dan dikuasai oleh

setiap level manajerial organisasi. Supervisor memiliki

tanggungjawab untuk membantu bawahan melaksanakan tugasnya

dengan efektif dan efisien. Jika supervisor berhasil memotivasi

bawahan, maka hal itu akan membantu bawahan dalam mencapai

(24)

c. Pengambilan Keputusan

Kemampuan supervisor dalam menguasai teknik pengambilan

keputusan akan dapat mengurangi keputusan yang salah,

mempertinggi bobot keakuratan keputusan yang diambil serta

meningkatkan kualitas organisasi.

d. Keterampilan Komunikasi

Seluruh tingkat manajerial tidak dapat menghindari komunikasi dalam

menjalani tugasnya. Pentingnya peranan komunikasi bagi para

manager tampak sangat jelas apabila mengacu pada pendapat

Mitzberg bahwa pekerjaan manager menuntut tiga kecakapan, yaitu

kecakapan dalam komunikasi interpersonal, kecakapan teknis dan

kecakapan konseptual.

e. Teamwork

Seorang manajer harus mampu menciptakan kondisi yang dapat

memenuhi rasa aman, puas, persaudaraan dan kebersamaan dalam

kelompok yang dipimpinnya dengan tujuan meningkatkan

produktivitas. Tim yang solid dapat menjaga organisasi agar tetap

kondusif dalam rangka mencapai tujuan visi, misi, dan tujuan

perusahaan.

(25)

f. Manajemen Konflik

Setiap bawahan memiliki perbedaan karakterisktik psikis, pola pikir,

dan gaya komunikasi. Tugas manajerial adalah mengatasi masalah

tersebut agar mereka dapat menyadari tugas, fungsi, dan

tanggungjawab masing-masing. Keberhasilan supervisor dalam

menangani masalah ini ditunjukkan dari problem penyebab konflik,

keterampilan dalam memilih pendekatan yang sesuai untuk mengatasi

konflik serta kemampuan dalam menerapkan pemecahan masalah

tersebut.

D.TRAINING SUPERVISORY

1. Bagian-bagian Training Supervisory

Konten dari Training Supervisory harus meliputi aspek teknikal dan manajerial dari pekerjaan si supervisor (Kirkpatrick, 1983). Pada aspek

teknikal, Supervisor butuh mempelajari mengenai penggunakan komputer,

mesin otomatis, quality control, persetujuan pabrik, penggunaan bahan mentah, proses produksi, dan hal-hal teknis lainnya yang berhubungan

dengan pekerjaan dan departemennya. Sedangkan untuk aspek manajerial,

(26)

Seiring dengan meningkatnya peran supervisor dalam perusahaan, maka

meningkat pula kebutuhan supervisor yang harus ditingkatkan

(Kirkpatrick, 1983). Pada aspek teknikal, kebutuhan akan pemahaman

dalam menggunakan komputer, pemograman, PERT (program evaluation and review technique) serta budgeting harus ditingkatkan. Sedangkan untuk aspek manajerial ada penambahan dalam hal motivasi, komunikasi,

dan pengembangan subordinate.

2. Penanggungjawab Training Supervisory

Menurut Kirkpatrick (1983), ada 3 level yang berbeda dalam perusahaan

yang harus bertanggungjawab dalam pelaksanaan Training Supervisory, yaitu:

a. Supervisor

Supervisor memiliki tanggungjawab dalam pekerjaannya. Namun, ia

juga harus bertanggungjawab dan rela meluangkan waktu dan

pekerjaannya untuk meningkatkan kemampuannya. Supervisor

sebagai first-line dalam perusahaan memiliki tanggungjawab yang besar sehingga ia harus mengembangkan kemampuan dalam bekerja.

b. Atasan Supervisor

Umumnya, atasan bertanggungjawab terhadap performa bawahannya,

(27)

kepada bawahannya. Oleh karena itu, para atasan memiliki

tanggungjawab dalam memberika pelatihan dan pengembangan

kemampuan bagi bawahannya untuk meningkatkan kemampuan

bawahannya.

c. Top Management

Para Top Management memiliki kebijakan penting dalam perusahaan untuk membuat pelatihan dan pengembangan khususnya bagi para

supervisor. Mereka harus menyediakan iklim pertumbuhan dan

pengembangan bagi para karyawannya, serta menyediakan waktu dan

uang untuk membuat program pengembangan dan pelatihan.

3. Penentuan Kebutuhan Training Supevisory

Setidaknya ada 5 (lima) level jabatan yang berbeda yang dapat membantu

menentukan kebutuhan dan program yang dibutuhkan oleh supervisor

(Kickpartick, 1983), yaitu:

a. Manajemen Tertinggi

Pendekatan paling umum yang digunakan bahwa dalam sebuah

perusahaan, majamen tertinggi membuat keputusan apakah kebutuhan

para supervisor mereka dapat ditanggunglangi dalam bentuk pelatihan

atau pengembangan keterampilan. Hal ini berdasarkan atas pendapat

(28)

yang sedang dihadapi oleh perusahaan saat ini, maupun

kriteria-kriteria yang subjektif maupun yang objektif menurut atasan.

b. Staff

Pendekatan lainnya adalah orang dari departemen pelatihan dan

pengembangan menentukan apa yang dibutuhkan oleh supervisor

dalam menjalankan pekerjaannya berdasarkan apa yang telah terjadi di

dalam perusahaan, program atau kegiatan apa yang cocok diberikan

kepada para supervisor terkait pekerjaan mereka, maupun berdasarkan

penilaian kinerja para supervisor.

c. Supervisor itu sendiri

Supervisor akan merasa lebih nyaman jika mengungkapkan kebutuhan

mereka sendiri. Mereka akan merasa didengarkan dan merasa terbantu

untuk membantu meningkatkan performa mereka. Oleh karena itu

tidak heran jika di sebuah perusahaan membuat suatu program seperti

wawancara ataupun kuesioner untuk menanyakan kebutuhan para

supervisor.

d. Bawahan Supervisor

Meskipun para bawahan merupakan orang yang mengerti kelemahan

dan kebutuhan supervisor, namun pendapat mereka sering diabaikan

dan tidak didengarkan. Banyak para supervisor yang tidak mendengar

(29)

e. Pihak Luar

Semakin besar perusahaan, maka semakin mereka menggunakan

pihak luar, seperti konsultan atau psikolog, untuk menentukan

kebutuhan pelatihan yang ditujukan kepada para supervisor. Para

konsultan ini menggunakan sistem elaborasi melalui wawancara dan

kuesioner.

Program pelatihan dan pengembangan harus didasarkan pada kebutuhan

yang dibutuhkan para supervisor pada saat ini dan di saat masa yang akan

datang. Program tidak hanya difokuskan pada pekerjaan saat ini, namun

juga pada keterampilan, pengetahuan dan perilaku para supervisor.

4. Kelebihan Training Supervisory

Menurut Kirkpatrick (1983), program pelatihan ini dirancang untuk

mendapatkan beberapa keuntungan, yaitu:

a. Keuntungan terhadap Individual

i. Meningkatkan pengetahuan, pilosofi dan prinsip-prinsip

manajemen.

ii. Meningkatkan manajemen keterampilan.

iii. Meningkatkan kesempatan dalam hal promosi, peningkatan

(30)

b. Keuntungan terhadap Organisasi

i. Meningkatkan perilaku, pengetahuan dan keterampilan

individu dalam menghasilkan manajemen yang lebih baik.

ii. Meningkatkan keuntungan karena manajemen yang lebih baik.

iii. Meningkatkan image perusahaan sehingga menarik perhatian para kandidat yang akan memasuki berbagai level posisi di

perusahaan.

E.PROFIL PT X

1. Sejarah Perusahaan

PT X didirikan pada tahun 1972 dengan Mr. B.C, almarhum Mr. C. B.

B., dan almarhum Mr. W. T. PT X merupakan perusahaan kotak karton yang

pertama di Sumatera Utara dan yang ketiga di Indonesia. Dengan

perkembangan pembangunan yang berkelanjutan hampir 40 tahun, sekarang

PT X telah dikenal baik sebagai perusahaan yang menghasilkan produk kotak

di Indonesia. Produk yang dihasilkan PT X berupa folding carton dan

corrugated carton.

Pada awal beroperasi, PT X hanya merupakan perusahaan kecil dengan

karyawan sekitar 40-50 orang. Seiring perkembangan yang cukup pesat, pada

saat ini PT X telah memiliki karyawan sekitar 500 orang karyawan. Dengan

(31)

sebagai produsen terkemuka produk kemasan di Indonesia. Dukungan dan

kepercayaan konsumen merupakan pertumbuhan yang sangat berarti bagi PT

X. Dengan berkomitmen pada kepuasan konsumen, PT X tidak hanya

berfokus pada volume penjualan namun memfokuskan diri pada kreatifitas

dan fleksibilitas bagi konsumennya. Sebagai bukti akan komitmen menuju

mutu dan servis, di tahun 1997 PT X memperoleh sertifikasi ISO 9002 oleh

Badan Sertifikasi TUV dan dilanjutkan oleh Badan Sertifikasi Lloyd. Pada

tahun 2007 PT X kembali memperpanjang sertifikasi ISO 9001 untuk Sistem

Manajemen Mutu dari SGS.

Pada bulan Juni 2001, PT X memperluas wilayah usahanya dengan

membangun perusahaan yang menghasilkan folding-carton untuk mempermudah dalam menyediakan kebutuhan terhadap kotak inner dan outer

yang efektif untuk konsumen. Seiring dengan semangat dan dedikasi, PT X

menyediakan pelanggan berbagai kemasan, misalnya kemasan bagian dalam

dan pencetakan halus.

Sistem di PT X juga telah disesuaikan dengan sebaik mungkin. PT X

menggunakan kelas kaca corrugators terbaik dari Jerman dan mesin terbaik sekelas Speedmaster CD102-5 & XL 105-5L dari Heidelberg.

Dengan semangat tanpa henti, PT X berusaha memberikan pelayanan

terbaik bagi pelanggan. Hal ini tercermin oleh banyak penghargaan selama

bertahun-tahun. PT X bekerja sama dengan para pemasok dari produsen mesin

(32)

seperti AFTA (Asian Flexographic Teknis Association) yang bergerak dibidang evaluasi design dan kualitas flexographic printing.

2. Kualitas Dan Servis

“Kepuasan Konsumen” merupakan fokus perusahaan. PT X senantiasa

bekerja untuk memahami kebutuhan dan priotitas konsumen dengan lebih

melibatkan diri dalam berbagai program berkelanjutan untuk meningkatkan

performance produk seperti halnya menghemat biaya untuk konsumen dengan tidak mengurangi mutu produk tersebut.

3. Sasaran Mutu PT X

PT X menetapkan beberapa sasaran mutu yang sangat diperhatikan

dalam setiap kegiatan perusahaan. Sasaran mutu yang dimaksud adalah:

1. Output (tonase pengiriman) 2. Waste pabrik

3. NCR komplain

4. Delivery on time

5. Pemakaian bahan penolong

6. Jam kerja hari Minggu/hari Besar

7. Pemakaian kertas yang tidak wajar

8. Pemakaian energi (listrik, gas)

9. Biaya maintenance repair operasional

(33)

4. Jumlah Tenaga Kerja

PT X dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu bagian operasional (pabrik)

dan bagian administrasi (kantor). Jumlah karyawan yang bekerja di bagian

administrasi sebanyak 50 orang. Karyawan ini biasa disebut dengan Staff.

Bagian operasional (pabrik) memiliki kurang lebih 479 orang karyawan yang

terdiri dari karyawan tetap dan karyawan harian lepas.

Jumlah karyawan yang begitu besar berarti masalah yang dihadapi oleh

PT X juga semakin banyak. Salah satu masalah yang paling jelas terlihat di PT

X adalah turnover. Data pengunduran diri karyawan di PT X tahun 2012 menunjukkan angka sebagai berikut:

Sumber : HRD Department PT X, Oktober 2012

5. Jam Kerja Karyawan

Kegiatan operasional PT X dibagi menjadi dua bagian, yaitu

operasional (pabrik) dan kantor. Kegiatan kantor lebih bersifat administratif,

Bulan Karyawan Harian Lepas Jumlah

Januari 0 0 0

Febuari 0 0 0

Maret 3 13 16

April 5 8 13

Mei 3 15 18

Juni 3 12 15

Juli 1 7 8

Agustus 2 15 17

September 2 17 19

TOTAL 19 87 106

(34)

seperti pemasaran, pembelian, kasir, HRD, dan IT. Para karyawan yang

bekerja di kantor memiliki jam kerja 8 jam 30 menit dalam sehari dengan

masa kerja Senin hingga Jumat dimulai pukul 08.30 – 17.00 WIB, sedangkan

pada hari Sabtu bekerja semalam 5 jam 30 menit dimulai pada pukul 08.30

hingga 14.00 WIB. Artinya para karyawan bekerja selama 48 jam per minggu.

Bagi karyawan operasional, jam kerja dibagi menjadi 3 (tiga) shift, dengan masing-masing jam kerja 8 jam perhari, yaitu pada pukul 07.00-15.00

WIB, 15.00-23.00 WIB dan 23.00-07.00 WIB. Shift bertukar setiap seminggu sekali. Ketiga shift memiliki waktu istirahat masing-masing selama 30 menit.

Para pekerja di bagian opersional bekerja selama 6 (enam) hari dalam

seminggu. Kegiatan lembur hanya akan dilakukan jika ada perintah dari atasan

masing-masing mesin. Jika tidak ada perintah dari atasan, namun para pekerja

masih tetap bekerja padahal masa jam kerja sudah habis, maka mereka tidak

dihitung lembur.

6. Struktur Perusahaan

PT X diketuai oleh seorang Presiden Komisaris. Presiden Komisaris

membawahi seorang Presiden Direktur. Presiden Direktur membawahi 3

Direktur, yaitu Direktur Keuangan, Direktur Operasional (Pabrik) dan

Direktur Pengembangan Bisnis. Kemudian masing-masing Direktur ini

membawahi beberapa Manajer yang berlokasi di masing-masing pabrik.

(35)

Referensi

Dokumen terkait

 Other telecommunications services revenue, which comprises mainly of leased towers, leased lines and national roaming, decreased by 35% to Rp514 billion mainly

Setelah itu kami akan kembali memeriksa tinja dari anak Bapak / Ibu pada minggu I, II, III, dan IV untuk melihat efektivitas obat tersebut terhadap kecacingan, sehingga

Aturan-aturan yang hasilnya tidak terklasifikasi disebabkan karena semua atribut atau variabel yang terdefinisikan, seperti: kategori, tingkat perekonomian, tingkat

Metode Penelitian menggunakan Metode Eksperimen dan Action Research, diawali dengan pengembangan rancang bangun, pembuatan, pengujian dan perbaikan prototipe Portable

gml:derivationUnit rdf:type rdfs:Property; rdfs:range gml:UnitExponent; rdfs:domain gml:DerivedUnit; rdfs:domain gml:ConventionalUnit. gml:UnitExponent

[r]

Defining artificial intelligence isn’t just difficult; it’s impossible, not the least because we don’t really understand human intelligence?. Paradoxically, advances in AI will

PERUSAHAAN, UKURAN DEWAN KOMISARIS, KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, LEVERAGE, DAN PROFITABILITAS TERHADAP PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PADA PERUSAHAAN