BAB II
LANDASAN TEORI
A.EFEKTIVITAS
1. Definisi Efektivitas
Menurut Steers (1997), efektivitas yang berasal dari kata efektif, yaitu
suatu pekerjaan dikatakan efektif jika suatu pekerjaan dapat menghasilkan satu
unit keluaran (output). Suatu pekerjaan dikatakan efektif jika suatu pekerjaan dapat diselesaikan tepat pada waktunya sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan. Efektivitas suatu hal diartikan sebagai keberhasilan dalam
pencapaian target atau tujuan yang telah ditetapkan. Hal senada juga
dikemukakan oleh Bernard (1992, dalam Strees, 1997) bahwa efektivitas
adalah tercapainya sasaran yang telah disepakati bersama.
Efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan operasional
dalam melaksanakan program-program kerja yang sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya. Secara komprehensif, efektivitas dapat diartikan
sebagai tingkat kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat
melaksanakan semua tugas-tugas pokoknya atau untuk mencapai sasaran yang
telah ditentukan sebelumnya (Campbell, 1977). Sementara itu, menurut Steers
(1997), efektivitas merupakan suatu tingkatan kemampuan organisasi untuk
Menurut Campbell (1977), pengukuran efektivitas secara umum dan yang
paling menonjol adalah :
1. Keberhasilan program
2. Keberhasilan sasaran
3. Kepuasan terhadap program
4. Tingkat input dan output
5. Pencapaian tujuan menyeluruh
Dari beberapa uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa efektivitas
merupakan kemampuan untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas suatu lembaga
secara fisik dan non fisik untuk mencapai tujuan serta meraih keberhasilan
maksimal.
2. Pendekatan Terhadap Efektivitas
Pendekatan efektivitas dilakukan dengan acuan berbagai bagian yang
berbeda dari organisasi, dimana organisasi mendapatkan input atau masukan berupa berbagai macam sumber dari lingkungannya. Beberapa pendekatan
yang dilakukan untuk mendapatkan efektivitas adalah sebagai berikut (dalam
Price, 1968) :
a) Pendekatan sasaran (Goal Approach)
Pendekatan ini mengukur sejauh mana suatu program berhasil
merealisasikan sasaran yang hendak dicapai. Pendekatan sasaran dalam
pengukuran efektivitas dimulai dengan identifikasi sasaran organisasi dan
tersebut. Sasaran penting yang harus diperhatikan dalam pengukuran
efektivitas dengan pendekatan ini adalah sasaran yang realistis untuk
memberikan hasil maksimal dengan memperhatikan permasalahan yang
ditimbulkannya, dengan memusatkan perhatian terhadap aspek output
yaitu dengan mengukur keberhasilan program dalam mencapai tingkat
output yang direncanakan. Dengan kata lain, pendekatan ini mencoba mengukur sejauh mana organisasi atau lembaga berhasil merealisasikan
sasaran yang hendak dicapai.
b) Pendekatan Sumber (System Resource Approach)
Pendekatan sumber mengukur efektivitas melalui keberhasilan suatu
program dalam mendapatkan berbagai macam sumber yang
dibutuhkannya. Suatu lembaga atau organisasi harus dapat memperoleh
berbagai macam sumber dan juga memelihara keadaan dan sistem agar
dapat menjadi efektif. Pendekatan ini didasarkan pada teori mengenai
keterbukaan sistem suatu lembaga terhadap lingkungannya, karena
lembaga mempunyai hubungan yang merata dalam lingkungannya dimana
dari lingkungan diperoleh sumber-sumber yang terdapat pada lingkungan
seringkai bersifat langka dan bernilai tinggi.
c) Pendekatan Proses (Internal Process Approach)
Pendekatan proses menganggap sebagai efisiensi dan kondisi kesehatan
dari suatu lembaga internal. Pada lembaga yang efektif, proses internal
berjalan dengan lancar dimana kegiatan bagian-bagian yang ada berjalan
melainkan memusatkan perhatian terhadap kegiatan yang dilakukan
terhadap sumber-sumber yang dimiliki lembaga, yang menggambarkan
tingkat efisiensi serta kesehatan lembaga.
3. Masalah dalam Pengukuran Efektivitas
Efektivitas diukur berdasarkan prestasi, produktivitas dan laba.
Pengukuran efektivitas dengan menggunakan sasaran yang sebenarnya dan
memberikan hasil daripada pengukuran efektivitas berdasarkan sasaran resmi
dengan memperhatikan masalah yang ditimbulkan oleh beberapa hal berikut
(dalam Steers, 1997) :
a. Adanya macam-macam output
Berbagai macam output yang dihasilkan menyebabkan pengukuran efektivitas dengan pendekatan sasaran menjadi sulit untuk dilakukan.
Pengukuran juga semakin sulit jika ada sasaran yang saling bertentangan
dengan sasaran lainnya.
Selain itu, masalah itu juga muncul karena adanya bagian-bagian dalam
suatu organisasi yang mempunyai sasaran yang berbeda-beda secara
keseluruhan, sehingga pengukuran efektivitas seringkali terpaksa
dilakukan dengan memperhatikan bermacam-macam secara simultan. Hal
lain yang sering dipermasalahkan adalah frekuensi penggunaan kriteria
dalam pengukuran efektivitas seperti yang dikemukakan oleh Steers
(1997) yaitu bahwa kriteria dan penggunaan hal-hal tersebut dalam
i. Adaptabilitas dan Fleksibilitas
ii. Produktifitas
iii. Keberhasilan
iv. Keterbukaan dalam berkomunikasi
v. Keberhasilan pencapaian program
vi. Pengembangan program
b. Subjektifitas penelitian
Pengukuran efektivitas dengan menggunakan pendekatan sasaran
seringkali mengalami hambatan, karena sulitnya mengidentifikasi sasaran
yang sebenarnya dan juga karena kesulitan dalam pengukuran keberhasilan
dalam mencapai sasaran. Hal ini terjadi karena sasaran yang sebenarnya
dalam pelaksanaan. Untuk itu ada baiknya bila meninjau pendapat England
(1967) bahwa perlu masuk ke dalam suatu organisasi untuk mempelajari
sasaran yang sebenarnya. Untuk sasaran yang dinyatakan dalam bentuk
kuantitatif, unsur subjektif itu tidak berpengaruh tetapi untuk sasaran yang
harus dideskripsikan secara kuantitatif, informasi yang diperoleh akan
sangat tergantung pada subjektifitas dalam suatu lembaga mengenai
sasarannya. Hal ini didukung oleh pendapat Steers (1997) bahwa
lingkungan dan keseluruhan elemen-elemen kontekstual berpengaruh
terhadap informasi organisasi dan menentukan tercapai tidaknya sasaran
4. Efektivitas Pelatihan
Menurut Hardjana (2001) agar sebuah pelatihan menjadi efektif maka
perusahaan harus melakukan penilaian terhadap kebutuhan pelatihan.
Kebutuhan pelatihan tersebut dapat ditemukan melalui teknik wawancara,
mengedarkan kuesioner, mengadakan tes atau audit lembaga pada unitunit
dengan mempelajari kegiatan, masukan, keluarga, biaya atau efisiensi dan
efektivitas masingmasing. Basri dan Rivai (2005) menyatakan bahwa pelatihan
tersebutefektif apabila :
1. Pelatih memahami bahwa perannya akan membantu karyawan untuk
mendapat tambahan pengetahuan.
2. Karyawan termotivasi untuk belajar. Mereka harus menyadari bahwa
tingkat keterampilan, pengetahuan atau perilaku mereka perlu ditingkatkan
dalam melaksanakan pekerjaan.
3. Karyawan diberi bimbingan tentang yang harus mereka pelajari dan
umpan balik atas apa yang mereka sedang lakukan.
4. Pelajaran adalah suatu proses aktif.
5. Pelatih mendengarkan karyawan untuk memahami apa yang mereka
inginkan dan perlukan.
6. Pelatihan mengadopsi suatu pendekatan bersifat membangun, berdasarkan
kekuatan dan pengalaman.
Kirkpatrick (2005) menyatakan bahwa efektivitas pelatihan dapat dilihat
Level 1 : Reaksi. Level ini mengukur bagaimana reaksi peserta
pelatihan terhadap program pelatihan. Reaksi yang positif terhadap
program pelatihan menunjukkan bahwa mereka puas terhadap
program dan perlatihan yang diberikan.
Level 2 : Belajar. Level ini bertujuan mengetahui seberapa jauh
peserta bertambah pengetahuan, meningkatnya keterampilan atau
berubah sikap setelah mengikuti pelatihan.
Level 3 : Perilaku. Level ini menentukan seberapa jauh perubahan
dalam perilaku telah terjadi setelah peserta mengikuti pelatihan.
Keberhasilan level 3 dipengaruhi oleh iklim organisasi atau sikap
atasan.
Level 4 : Hasil. Level ini merupakan hasil akhir yang terjadi setelah
peserta mengikuti program pelatihan. Hasil ini dapat berupa
meningkatnya produksi, perbaikan kualitas, menurunnya biaya
produksi, menurunnya turnover dan lain-lain.
B.PELATIHAN
1. Definisi Pelatihan
Noe (2002) mendefinisikan pelatihan sebagai upaya terencana yang
dibuat oleh perusahaan untuk memfasilitasi pembelajaran kompetensi
knowledge, skill or behavior yang berguna bagi kesuksesan performa kerja karyawan. Menurut Laird (1985), pelatihan adalah kegiatan memperoleh
teknologi yang memungkinkan karyawan menampilkan kinerja sesuai
standar. Pelatihan menurut Nitisemito (1989) adalah suatu kegiatan dari
perusahaan yang bermaksud untuk dapat memperbaiki dan
memperkembangkan sikap, tingkah laku, keterampilan dan pegetahuan
dari karyawan sesuai dengan yang diinginkan oleh perusahaan yang
bersangkutan. Sedangkan menurut Manullang (2000), pelatihan adalah
pemberian bantuan kepada karyawan agar karyawan dapat berkembang ke
tingkat kecerdasan, pengetahuan dan kemampuan yang lebih tinggi.
Pelatihan bersifat penerapan segera daripada pengetahuan da keahlian, jadi
lebih bersifar praktis.
Dari pengertian ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan
adalah suatu kegiatan yang diberikan untuk memfasilitasi proses belajar
karyawan dalam rangka meningkatkan kompetensi mereka dalam hal
knowledge, skills atau berhavior agar dapat diterapkan dalam menjalankan tugas sehari-hari.
2. Tujuan Pelatihan
Tujuan pelatihan menurut Noe (2002) adalah untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan atau perilaku yang ditekankan pada program
Wexley dan Latham (1991) menjelaskan tujuan pelatihan adalah (1)
meningkatkan self-awareness; (2) meningkatkan lebih banyak lagi keterampilan dan keahlian yang dimiliki; dan (3) meningkatkan motivasi
kerja. Dan menurut Sikula (1976, dalam Ulfa 2007) tujuan pelatihan untuk
meningkatkan produktivitas, meningkatkan mutu, meningkatkan ketepatan
dalam perencanaan sumber daya manusia, meningkatkan semangat kerja,
menarik dan menahan tenaga kerja yang baik, menjaga kesehatan dan
keselamatan kerja, menghindari keusangan (obsolence), serta menunjang pertumbuhan pribadi (personal growth).
3. Penanggungjawab Pelatihan
Penanggungjawab pelatihan berbeda-beda, tergantung pada
masing-masing perusahaan. Dalam perusahaan menengah hingga perusahaan
besar, pelatihan biasanya menjadi tanggungjawab profesional SDM atau
menjadi tanggungjawab suatu fungsi pengembangan sumber daya manusia
atau fungsi pengembangan organisasi (Ulfa, 2007). Siapapun yang
bertanggungjawab atas pelatihan, jika perusahaan ingin pelatihan yang
dilaksanakan berjalan sukses, maka semua pihak harus memiliki “rasa
4. Tahapan Penyusunan Program Pelatihan
Menurut Kirkpatrick (2005), penyusunan program pelatihan terdiri
dari beberapa tahap, yaitu:
Tahap 1 : Identifikasi Kebutuhan Pelatihan atau Studi Pekerjaan
Untuk mengidentifikasi kebutuhan pelatihan perlu dilaksanakan
dua kegiatan utama, yaitu : melaksanakan job study dan mengadakan assessmen tenaga kerja. Salah satu metode yang
dapat dilakukan adalah dengan melakkan observasi dan
wawancara.
Tahap 2 : Menetapkan Sasaran Pelatihan
Sarana pelatihan dibedakan dalam sasaran umum (tujuan) dan
sasaran khusus. Sasaran umum dirinci ke dalam suatu uraian
yang mempergunakan perilaku-perilaku yang dapat diamati dan
dapat diukur, seperti perilaku apa yang diharapkan akan
ditampilkan untuk mencapai hasil di atas? Atau pengetahuan,
keterampilan dan sikap seperti apa yang ingin peserta pelajari
dalam program pelatihan tersebut?
Tahap 3 : Menentukan Isi Subjek
Trainer berusaha menentukan topik yang akan dipresentasikan
untuk memenuhi kebutuhan peserta sesuai dengan kebutuhan
Tahap 4 : Memilih Peserta
Dalam memilihi peserta, ada beberapa pertanyaan yang harus
dijawab, yaitu: (1) siapa yang akan mendapat keuntungan dari
pelatihan ini?; (2) apakah pelatihan harus diberlakukan secara
sukarela atau atas permintaan perusahaan?; (3) apakah peserta
harus dipisahkan berdasarkan level di organisasi atau berbagai
level akan disatukan dalam kelas yang sama?
Tahap 5 : Membuat Jadwal yang Baik
Jadwal pelatihan yang baik akan mempertimbangkan waktu
yang paling baik untuk trainer, atasan dan kondisi yang paling
baik untuk belajar.
Tahap 6 : Memilih Fasilitas yang Memadai
Fasilitas yang digunakan harus nyaman dan sesuai dengan
kebutuhan pelatihan. Hal ini disebabkan bahwa kondisi ruangan
akan mempengaruhi motivasi peserta pelatihan untuk belajar.
Tahap 7 : Memilih Instruktur yang Sesuai
Trainer memegang peranan penting untuk mecapai kesuksesan
pelatihan. Kualifikasi yang dimiliki harus mencakup
pengetahuan subjek yang akan diajarkan, keinginan untuk
mengajar, kemampuan komunikasi, dan keterampilan dalam
Tahap 8 : Memilih dan Menyiapkan Bantuan Peralatan Audiovisual
Bantuan peralatan audiovisual mempunyai dua tujuan, yaitu
membantu menjaga agar peserta tetap berminat dan sebagai alat
bantu komunikasi.
Tahap 9 : Melakukan Koordinasi
Sebaiknya perusahaan memiliki staf yang membantu memenuhi
kebutuhan peserta pelatihan dan trainer. Ia bertugas melakukan
koordinasi pelaksanaan pelatihan seperti memberikan kata
pembuka dan penutup pelatihan atau membantu menyediakan
handout.
Tahap 10 : Melakukan Tahap Evaluasi Program
Setelah melakukan pelatihan, perlu dilakukan evaluasi pelatihan
untuk mengetahui efektivitas pelatihan bagi peserta dan
memperoleh umpan balik yang berguna untuk penyempurnaan
pelatihan dikemudian hari. Level evaluasi pelatihan menurut
Kirkpatrick adalah sebagai berikut:
Level 1 : Reaksi. Level ini mengukur bagaimana reaksi
peserta pelatihan terhadap program pelatihan. Reaksi yang
positif terhadap program pelatihan menunjukkan bahwa
Level 2 : Belajar. Level ini bertujuan mengetahui seberapa
jauh peserta bertambah pengetahuan, meningkatnya
keterampilan atau berubah sikap setelah mengikuti pelatihan.
Level 3 : Perilaku. Level ini menentukan seberapa jauh
perubahan dalam perilaku telah terjadi setelah peserta
mengikuti pelatihan. Keberhasilan level 3 dipengaruhi oleh
iklim organisasi atau sikap atasan.
Level 4 : Hasil. Level ini merupakan hasil akhir yang terjadi
setelah peserta mengikuti program pelatihan. Hasil ini dapat
berupa meningkatnya produksi, perbaikan kualitas,
menurunnya biaya produksi, menurunnya turnover dan lain-lain.
C.SUPERVISOR
1. Pengertian Supervisor
Kossen (1981) menyatakan bahwa supervisor adalah orang-orang
yang bertanggungjawab meyakinkan bahwa kebijakan dan prosedur
perusahaan terlaksana. Collins et al (1976) berpendapat bahwa supervisor
merupakan manager yang dapat melakukan dan menyelesaikan sesuatu
melalui usaha orang lain. Sedangkan supervisor menurut Dharma (2003)
melalui pengarahan dan balikan (feedback) yang efektif dan efisien. Supervisor berhubungan langsung dengan para karyawan. Pendapat lain
yang dikemukakan oleh Ulfa (2007) bahwa supervisor merupakan salah satu
elemen dalam hierarki manajerial yakni manajer yang berada pada tingkat
dasar, bekerja dengan para pegawai non manajerial untuk mencapai tujuan
organisasi dan berfungsi membawa kebijakan dan petunjuk dari manager
puncak dan madya melalui interaksi tatap muka secara langsung dengan
pekerja operasional yang menjadi bawahannya.
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
supervisor adalah manager tingkat pertama yang berhubungan langsung
dengan para pekerja operasional dimana mereka bertanggungjawab
memastikan bahwa kebijakan dari top management dan prosedur perusahaan dijalankan sebagaimana semestinya.
2. Tingkatan Supervisor
Dharma (2003) mengelompokkan tingkatan manajerial menjadi 3 bagian,
yaitu:
a. Kelompok Eksekutif atau manajer puncak
Para eksekutif ini menangani hubungan perusahaan dengan lingkungan
luarnya serta menangani persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
b. Kelompok Manajer Menengah
Kelompok ini memusatkan perhatian pada perencanaan dan menjaga
pengoperasian sistem dan prosedur perusahaan
c. Kelompok Manajer Supervisi (Supervisor)
Supervisor berurusan dengan pelaksanaan pekerjaan secara langsung
dengan mengkoordinasikan pelaksanaan tugas melalui pengarahan dan
balikan (feedback) yang efektif dan efisien.
Kossen (1981) juga membagi tingkatan manajerial menjadi 3 bagian,
yaitu : (1) First-line Manager, yang biasa juga disebut dengan supervisor atau di beberapa perusahaan disebut sebagai foreman; (2) Middle Management yang posisinya berada satu level di atas supervisor. Middle Management juga biasa disebut sebagai department head; dan (3) Senior Management sebagai manajemen puncak dalam hierarki. Posisi ini meliputi
senior executive, vice president, atau president.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa supervisor
merupakan tingkatan dasar dalam manajerial yang langsung berhubungan
dengan para pekerja operasional dalam perusahaan. Sebagai lini yang
langsung berhubungan dengan pekerja operasional, peran supervisor sangat
penting karena dapat mempengaruhi hidup matinya produktifitas perusahaan
3. Keterampilan Esensial Supervisor
Agar supervisor dapat menjalankan tugasnya dengan efektif ada
keterampilan yang harus dimiliki. Dharma (2003) menjelaskan ada 2 (dua)
keterampilan yang diperlukan seorang supervisor, yaitu:
a. Keterampilan Teknis
Keterampilan ini meliputi pengetahuan mengenai segi-segi teknis dari
pekerjaan yang dilaksanakan. keterampilan ini penting dalam
merencanakan, menyusun jadwal, mengevaluasi kinerja
(performance) dan mengambil keputusan.
b. Keterampilan Interaksi
Keterampilan ini mencakup semua teknik yang digunakan untuk
berhubungan dengan bawahan dalam mengarahkan,
mengikutsertakan, mendelegasikan, melancarkan dan memantau.
Kossen (1981) membagi 3 (tiga) keterampilan yang harus dimiliki
oleh seorang supervisor, yaitu: (1) Technical Skills, kemampuan dalam mengaplikasikan teknik, proses, dan prosedur dalam menjalankan tugas; (2)
Human Relations Skills, yaitu kemampuan bekerja secara efektif dengan orang lain. Hal utama yang harus diperhatikan dalam Human Relations Skills adalah emphaty, sensitivity, perceptual skill, communication skills,
motivational skills, serta tolerance and understanding. Terakhir adalah
berpikir abstrak, membuat perencanaan, mengorganisasikan, mengontrol
serta mengkoordinasi baik manusia, material maupun mesin.
Sedangkan Ivanchevich et al (1984) menyatakan ada 3 keterampilan
yang harus dimiliki supervisor dalam menjalankan tugasnya, yaitu:
a. Keterampilan Teknis
Kemampuan dalam menggunakan peralatan, prosedur dan teknis pada
bidang spesialisasi masing-masing. Kemampuan ini termasuk segi
teknis dari pekerjaan yang dilakukan bawahan.
b. Keterampilan Konseptual
Kemampuan dalam memahami seluruh aktivitas dan minat pada
organisasi serta pemahaman tentang bagaimana suatu organisasi
berfungsi sebagai suatu keseluruhan dan bagaimana masing-masing
bagian saling tergantung dan berhubungan satu dengan lainnya.
c. Keterampilan Menangani Manusia (Human Skills)
Kemampuan bekerja dan mampu mengerti orang lain. supervisor
harus mampu berpartisipasi secara efekftif dengan orang lain.
Menurut Kossen (1981) kemampuan dalam menjalin hubungan
dengan orang lain lebih penting dibandingkan kemampuan teknis. Hal ini
disebabkan karena supervisor harus berinteraksi lancar baik ke pekerja
kurang terampil dalam menjalin hubungan yang baik dengan orang lain.
Derajat kepentingan keterampilan supervisor tergantung posisi seseorang
dalam hierarki manajerial (dalam Collin et al, 1976). Keterampilan teknis
sangat dibutuhkan sebagai modal menjadi supervisor yang baik, human skill, dibutuhkan oleh semua level yang ada, sedangkan keterampilan konseptual berguna bagi level manajerial yang lebih tinggi.
4. Fungsi Supervisor
Fungsi supervisor menurut Dharma (2003) adalah sebagai berikut:
a. Perencanaan
Hal ini berkaitan dengan penetapan tujuan, memutuskan cara
pencapaian tujuan, menetapkan arah tindakan serta menetapkan
kebijakan dan prosedur.
b. Pengorganisasian
Hal ini meliputi penetapan pembagian tugas, penugasan kerja,
pengelompokan pekerjaan, koordinasi serta menetapkan wewenang
dan tanggungjawab.
c. Pendayagunaan SDM
Menyeleksi orang yang akan melaksanakan pekerjaan, menetapkan
mempertahankan dan menjaga karyawan yang berpotensi, melatih dan
menilai kinerja karyawan.
d. Pembinaan
Hal ini berkaitan dengan memotivasi dan memberdayakan karyawan.
Supervisor juga berupaya menciptakan lingkungan kerja yang
kondusif bagi karyawan, menangani keluhan karyawan, empati dan
juga mendisiplikan karyawan.
e. Pengendalian
Menghimpun informasi tentang pencapaian hasil, membandingkan
dengan standar/rencana, melakukan tindakan perbaiki.
Hal senada juga dikemukakan oleh Collin et al (1976) bahwa
supervisor menjalankan 5 fungsi, yaitu (1) planning; (2) organizing; (3)
staffing; (4) directing; dan (5) controlling. Fungsi supervisor yang dikemukakan oleh Dharma (2003) dan Collin et al (1976) hampir sama.
Namun pada bagian Pengendalian (Dharma, 2003) atau controlling (Collin et al, 1976), Collin et al (1976) menekankan bahwa kontrol yang baik dari
5. Tanggungjawab Supervisor
Tanggungjawab utama supervisor adalah mencapai hasil sebaik mungkin
dengan mengkoordinasikan sistem kerja pada unit kerjanya secara efektif
(Dharma, 2003). Sedangkan menurut Collin et al (1976) tanggungjawab
seorang supervisor dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu:
a. Tanggungjawab terhadap pemiliki perusahaan
Mengoperasikan departemen yang menjadi tanggungjawabnya dengan
baik untuk dapat menghasikan keuntungan yang bersifat jangka
panjang.
b. Tanggungjawab terhadap pegawainya
Mengelola karyawan dan menciptakan kondisi kerja yang sesuai
berdasarkan kemampuan dan minat karyawan yang bersangkutan dan
suasana kerja yang kondusif.
c. Tanggungjawab terhadap pelanggan
Supervisor harus menjaga integritas produk perusahaan dan
membantu perusahaan membuat produk yang berkualitas seperti apa
yang diinginkan pelanggan dengan harga yang pantas.
d. Tanggungjawab terhadap masyarakat dan pemerintah
Perusahaan berlangsung karena pemerintah dan masyarakat memberi
baik maka supervisor bertanggungjawab mematuhi segala aturan dan
ketentuan yang ada pada suatu lokasi, daerah, kota atau negara.
6. Supervisor yang Efektif
Kepemimpinan merupakan aspek penting dari pekerjaan supervisor.
Supervisor bertanggungjawab atas kinerja karyawan yang dipimpinnya.
Oleh sebab itu, kemampuan memimpin sangat diperlukan untuk
mengemban tanggungjawab tersebut. Selain itu, kepemimpinan merupakan
salah satu faktor penentu bagi berhasil tidaknya pencapaian tujuan.
Kemampuan supervisor memimpin bawahannya akan sangat mempengaruhi
produktivitas unit kerjanya. Menurut Dharma (2003), efektifitas
kepemimpinan supervisor diukur oleh 2 (dua) faktor utama, yaitu (1) faktor
keluaran yang meliputi produktivitas, kualitas, profitability dan efisiensi; dan (2) faktor manusia yang meliputi antusiasme dalam bekerja, jumlah dan
jenis komunikasi, komitmen terhadap tujuan perusahaan serta tingkat
konflik antarpribadi dan antarkelompok.
Agar dapat memimpin secara efektif, seorang supervisor harus mampu
berkomunikasi dengan jelas, mengharapkan yang terbaik dari
orang-orangnya, berpegang pada tujuan dan berusaha memperoleh komitmen.
Supervisor yang efektif memegang 4 (empat) prinsip, yaitu:
Prinsip 1. Kejelasan Komunikasi. Komunikasi merupakan prinsip
penunjang. Taktik dasar yang harus diperhatikan adalah menggunakan
kata-kata atau istilah yang mudah dimengerti, langsung, ringkas dan menghidari
pesan yang bertolak belakang.
Prinsip 2. Harapkan yang Terbaik. Biasanya orang akan melakukan
sesuatu sesuai dengan hal yang diharapkan kepadanya. Jika supervisor
mengharapkan hal-hal yang realistik terhadap bawahannya, mereka akan
berusaha untuk mencapai hal tersebut. Namun ada hal yang perlu
diperhatikan, yaitu hargai martabat bawahan, menyampaikan harapan
melambung, menekankan pada kebutuhan masa yang akan datang.
Prinsip 3. Berpegang pada Tujuan. Bentuk komunikasi yang paling
efektif adalah komunikasi yang terendali dan terpusat pada tugas yang
dihadapi. Agar dapat berpegang pada tujuan, maka hal yang perlu
diperhatikan adalah fokus pada satu topik, mengdorong adanya perilaku
yang mengarah pada tujuan dan membatasi adanya interupsi.
Prinsip 4. Mendapatkan Komitmen. Tujuan utama supervisi adalah
memperoleh komitmen bagi keikutsertaan dan keterlibatan dalam hal-hal
yang diputuskan.
7. Keterampilan Manajerial Supervisor
Seorang supervisor adalah seorang pemimpin di lini terdepan.
dalam menjalinkan fungsi manajer. Seorang supervisor membutuhkan
keterampilan manajerial dengan porsi yang berbeda-beda sesuai dengan
pekerjaan masing-masing (Mulianto, Cahyadi & Widjajakusuma, 2006).
Salah satu contoh keterampilan manajerial yang dibutuhkan oleh
Supervisor dalam menjalankan tugasnya adalah yang dikemukakan oleh
Sujak (1990). Ia merumuskan bahwa untuk melaksanakan tugasnya, seorang
supervisor harus memiliki 6 (enam) keterampilan manajerial, yaitu :
a. Keterampilan Kepemimpinan
Kemampuan ini meliputi kemampuan mempengaruhi, menggerakkan
dan mengarahkan suatu tindakan pada diri seseorang atau sekelompok
orang untuk mencapai tujuan tertentu pada situasi tertentu.
Kepemimpinan merupakan salah satu aspek kunci dalam kehidupan
organisasi. Kepemimpinan ini akan membedakan antara karakteristik
satu perusahaan dengan perusahaan lainnya.
b. Memotivasi Bawahan
Kemampuan manajerial yang ini harus dimiliki dan dikuasai oleh
setiap level manajerial organisasi. Supervisor memiliki
tanggungjawab untuk membantu bawahan melaksanakan tugasnya
dengan efektif dan efisien. Jika supervisor berhasil memotivasi
bawahan, maka hal itu akan membantu bawahan dalam mencapai
c. Pengambilan Keputusan
Kemampuan supervisor dalam menguasai teknik pengambilan
keputusan akan dapat mengurangi keputusan yang salah,
mempertinggi bobot keakuratan keputusan yang diambil serta
meningkatkan kualitas organisasi.
d. Keterampilan Komunikasi
Seluruh tingkat manajerial tidak dapat menghindari komunikasi dalam
menjalani tugasnya. Pentingnya peranan komunikasi bagi para
manager tampak sangat jelas apabila mengacu pada pendapat
Mitzberg bahwa pekerjaan manager menuntut tiga kecakapan, yaitu
kecakapan dalam komunikasi interpersonal, kecakapan teknis dan
kecakapan konseptual.
e. Teamwork
Seorang manajer harus mampu menciptakan kondisi yang dapat
memenuhi rasa aman, puas, persaudaraan dan kebersamaan dalam
kelompok yang dipimpinnya dengan tujuan meningkatkan
produktivitas. Tim yang solid dapat menjaga organisasi agar tetap
kondusif dalam rangka mencapai tujuan visi, misi, dan tujuan
perusahaan.
f. Manajemen Konflik
Setiap bawahan memiliki perbedaan karakterisktik psikis, pola pikir,
dan gaya komunikasi. Tugas manajerial adalah mengatasi masalah
tersebut agar mereka dapat menyadari tugas, fungsi, dan
tanggungjawab masing-masing. Keberhasilan supervisor dalam
menangani masalah ini ditunjukkan dari problem penyebab konflik,
keterampilan dalam memilih pendekatan yang sesuai untuk mengatasi
konflik serta kemampuan dalam menerapkan pemecahan masalah
tersebut.
D.TRAINING SUPERVISORY
1. Bagian-bagian Training Supervisory
Konten dari Training Supervisory harus meliputi aspek teknikal dan manajerial dari pekerjaan si supervisor (Kirkpatrick, 1983). Pada aspek
teknikal, Supervisor butuh mempelajari mengenai penggunakan komputer,
mesin otomatis, quality control, persetujuan pabrik, penggunaan bahan mentah, proses produksi, dan hal-hal teknis lainnya yang berhubungan
dengan pekerjaan dan departemennya. Sedangkan untuk aspek manajerial,
Seiring dengan meningkatnya peran supervisor dalam perusahaan, maka
meningkat pula kebutuhan supervisor yang harus ditingkatkan
(Kirkpatrick, 1983). Pada aspek teknikal, kebutuhan akan pemahaman
dalam menggunakan komputer, pemograman, PERT (program evaluation and review technique) serta budgeting harus ditingkatkan. Sedangkan untuk aspek manajerial ada penambahan dalam hal motivasi, komunikasi,
dan pengembangan subordinate.
2. Penanggungjawab Training Supervisory
Menurut Kirkpatrick (1983), ada 3 level yang berbeda dalam perusahaan
yang harus bertanggungjawab dalam pelaksanaan Training Supervisory, yaitu:
a. Supervisor
Supervisor memiliki tanggungjawab dalam pekerjaannya. Namun, ia
juga harus bertanggungjawab dan rela meluangkan waktu dan
pekerjaannya untuk meningkatkan kemampuannya. Supervisor
sebagai first-line dalam perusahaan memiliki tanggungjawab yang besar sehingga ia harus mengembangkan kemampuan dalam bekerja.
b. Atasan Supervisor
Umumnya, atasan bertanggungjawab terhadap performa bawahannya,
kepada bawahannya. Oleh karena itu, para atasan memiliki
tanggungjawab dalam memberika pelatihan dan pengembangan
kemampuan bagi bawahannya untuk meningkatkan kemampuan
bawahannya.
c. Top Management
Para Top Management memiliki kebijakan penting dalam perusahaan untuk membuat pelatihan dan pengembangan khususnya bagi para
supervisor. Mereka harus menyediakan iklim pertumbuhan dan
pengembangan bagi para karyawannya, serta menyediakan waktu dan
uang untuk membuat program pengembangan dan pelatihan.
3. Penentuan Kebutuhan Training Supevisory
Setidaknya ada 5 (lima) level jabatan yang berbeda yang dapat membantu
menentukan kebutuhan dan program yang dibutuhkan oleh supervisor
(Kickpartick, 1983), yaitu:
a. Manajemen Tertinggi
Pendekatan paling umum yang digunakan bahwa dalam sebuah
perusahaan, majamen tertinggi membuat keputusan apakah kebutuhan
para supervisor mereka dapat ditanggunglangi dalam bentuk pelatihan
atau pengembangan keterampilan. Hal ini berdasarkan atas pendapat
yang sedang dihadapi oleh perusahaan saat ini, maupun
kriteria-kriteria yang subjektif maupun yang objektif menurut atasan.
b. Staff
Pendekatan lainnya adalah orang dari departemen pelatihan dan
pengembangan menentukan apa yang dibutuhkan oleh supervisor
dalam menjalankan pekerjaannya berdasarkan apa yang telah terjadi di
dalam perusahaan, program atau kegiatan apa yang cocok diberikan
kepada para supervisor terkait pekerjaan mereka, maupun berdasarkan
penilaian kinerja para supervisor.
c. Supervisor itu sendiri
Supervisor akan merasa lebih nyaman jika mengungkapkan kebutuhan
mereka sendiri. Mereka akan merasa didengarkan dan merasa terbantu
untuk membantu meningkatkan performa mereka. Oleh karena itu
tidak heran jika di sebuah perusahaan membuat suatu program seperti
wawancara ataupun kuesioner untuk menanyakan kebutuhan para
supervisor.
d. Bawahan Supervisor
Meskipun para bawahan merupakan orang yang mengerti kelemahan
dan kebutuhan supervisor, namun pendapat mereka sering diabaikan
dan tidak didengarkan. Banyak para supervisor yang tidak mendengar
e. Pihak Luar
Semakin besar perusahaan, maka semakin mereka menggunakan
pihak luar, seperti konsultan atau psikolog, untuk menentukan
kebutuhan pelatihan yang ditujukan kepada para supervisor. Para
konsultan ini menggunakan sistem elaborasi melalui wawancara dan
kuesioner.
Program pelatihan dan pengembangan harus didasarkan pada kebutuhan
yang dibutuhkan para supervisor pada saat ini dan di saat masa yang akan
datang. Program tidak hanya difokuskan pada pekerjaan saat ini, namun
juga pada keterampilan, pengetahuan dan perilaku para supervisor.
4. Kelebihan Training Supervisory
Menurut Kirkpatrick (1983), program pelatihan ini dirancang untuk
mendapatkan beberapa keuntungan, yaitu:
a. Keuntungan terhadap Individual
i. Meningkatkan pengetahuan, pilosofi dan prinsip-prinsip
manajemen.
ii. Meningkatkan manajemen keterampilan.
iii. Meningkatkan kesempatan dalam hal promosi, peningkatan
b. Keuntungan terhadap Organisasi
i. Meningkatkan perilaku, pengetahuan dan keterampilan
individu dalam menghasilkan manajemen yang lebih baik.
ii. Meningkatkan keuntungan karena manajemen yang lebih baik.
iii. Meningkatkan image perusahaan sehingga menarik perhatian para kandidat yang akan memasuki berbagai level posisi di
perusahaan.
E.PROFIL PT X
1. Sejarah Perusahaan
PT X didirikan pada tahun 1972 dengan Mr. B.C, almarhum Mr. C. B.
B., dan almarhum Mr. W. T. PT X merupakan perusahaan kotak karton yang
pertama di Sumatera Utara dan yang ketiga di Indonesia. Dengan
perkembangan pembangunan yang berkelanjutan hampir 40 tahun, sekarang
PT X telah dikenal baik sebagai perusahaan yang menghasilkan produk kotak
di Indonesia. Produk yang dihasilkan PT X berupa folding carton dan
corrugated carton.
Pada awal beroperasi, PT X hanya merupakan perusahaan kecil dengan
karyawan sekitar 40-50 orang. Seiring perkembangan yang cukup pesat, pada
saat ini PT X telah memiliki karyawan sekitar 500 orang karyawan. Dengan
sebagai produsen terkemuka produk kemasan di Indonesia. Dukungan dan
kepercayaan konsumen merupakan pertumbuhan yang sangat berarti bagi PT
X. Dengan berkomitmen pada kepuasan konsumen, PT X tidak hanya
berfokus pada volume penjualan namun memfokuskan diri pada kreatifitas
dan fleksibilitas bagi konsumennya. Sebagai bukti akan komitmen menuju
mutu dan servis, di tahun 1997 PT X memperoleh sertifikasi ISO 9002 oleh
Badan Sertifikasi TUV dan dilanjutkan oleh Badan Sertifikasi Lloyd. Pada
tahun 2007 PT X kembali memperpanjang sertifikasi ISO 9001 untuk Sistem
Manajemen Mutu dari SGS.
Pada bulan Juni 2001, PT X memperluas wilayah usahanya dengan
membangun perusahaan yang menghasilkan folding-carton untuk mempermudah dalam menyediakan kebutuhan terhadap kotak inner dan outer
yang efektif untuk konsumen. Seiring dengan semangat dan dedikasi, PT X
menyediakan pelanggan berbagai kemasan, misalnya kemasan bagian dalam
dan pencetakan halus.
Sistem di PT X juga telah disesuaikan dengan sebaik mungkin. PT X
menggunakan kelas kaca corrugators terbaik dari Jerman dan mesin terbaik sekelas Speedmaster CD102-5 & XL 105-5L dari Heidelberg.
Dengan semangat tanpa henti, PT X berusaha memberikan pelayanan
terbaik bagi pelanggan. Hal ini tercermin oleh banyak penghargaan selama
bertahun-tahun. PT X bekerja sama dengan para pemasok dari produsen mesin
seperti AFTA (Asian Flexographic Teknis Association) yang bergerak dibidang evaluasi design dan kualitas flexographic printing.
2. Kualitas Dan Servis
“Kepuasan Konsumen” merupakan fokus perusahaan. PT X senantiasa
bekerja untuk memahami kebutuhan dan priotitas konsumen dengan lebih
melibatkan diri dalam berbagai program berkelanjutan untuk meningkatkan
performance produk seperti halnya menghemat biaya untuk konsumen dengan tidak mengurangi mutu produk tersebut.
3. Sasaran Mutu PT X
PT X menetapkan beberapa sasaran mutu yang sangat diperhatikan
dalam setiap kegiatan perusahaan. Sasaran mutu yang dimaksud adalah:
1. Output (tonase pengiriman) 2. Waste pabrik
3. NCR komplain
4. Delivery on time
5. Pemakaian bahan penolong
6. Jam kerja hari Minggu/hari Besar
7. Pemakaian kertas yang tidak wajar
8. Pemakaian energi (listrik, gas)
9. Biaya maintenance repair operasional
4. Jumlah Tenaga Kerja
PT X dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu bagian operasional (pabrik)
dan bagian administrasi (kantor). Jumlah karyawan yang bekerja di bagian
administrasi sebanyak 50 orang. Karyawan ini biasa disebut dengan Staff.
Bagian operasional (pabrik) memiliki kurang lebih 479 orang karyawan yang
terdiri dari karyawan tetap dan karyawan harian lepas.
Jumlah karyawan yang begitu besar berarti masalah yang dihadapi oleh
PT X juga semakin banyak. Salah satu masalah yang paling jelas terlihat di PT
X adalah turnover. Data pengunduran diri karyawan di PT X tahun 2012 menunjukkan angka sebagai berikut:
Sumber : HRD Department PT X, Oktober 2012
5. Jam Kerja Karyawan
Kegiatan operasional PT X dibagi menjadi dua bagian, yaitu
operasional (pabrik) dan kantor. Kegiatan kantor lebih bersifat administratif,
Bulan Karyawan Harian Lepas Jumlah
Januari 0 0 0
Febuari 0 0 0
Maret 3 13 16
April 5 8 13
Mei 3 15 18
Juni 3 12 15
Juli 1 7 8
Agustus 2 15 17
September 2 17 19
TOTAL 19 87 106
seperti pemasaran, pembelian, kasir, HRD, dan IT. Para karyawan yang
bekerja di kantor memiliki jam kerja 8 jam 30 menit dalam sehari dengan
masa kerja Senin hingga Jumat dimulai pukul 08.30 – 17.00 WIB, sedangkan
pada hari Sabtu bekerja semalam 5 jam 30 menit dimulai pada pukul 08.30
hingga 14.00 WIB. Artinya para karyawan bekerja selama 48 jam per minggu.
Bagi karyawan operasional, jam kerja dibagi menjadi 3 (tiga) shift, dengan masing-masing jam kerja 8 jam perhari, yaitu pada pukul 07.00-15.00
WIB, 15.00-23.00 WIB dan 23.00-07.00 WIB. Shift bertukar setiap seminggu sekali. Ketiga shift memiliki waktu istirahat masing-masing selama 30 menit.
Para pekerja di bagian opersional bekerja selama 6 (enam) hari dalam
seminggu. Kegiatan lembur hanya akan dilakukan jika ada perintah dari atasan
masing-masing mesin. Jika tidak ada perintah dari atasan, namun para pekerja
masih tetap bekerja padahal masa jam kerja sudah habis, maka mereka tidak
dihitung lembur.
6. Struktur Perusahaan
PT X diketuai oleh seorang Presiden Komisaris. Presiden Komisaris
membawahi seorang Presiden Direktur. Presiden Direktur membawahi 3
Direktur, yaitu Direktur Keuangan, Direktur Operasional (Pabrik) dan
Direktur Pengembangan Bisnis. Kemudian masing-masing Direktur ini
membawahi beberapa Manajer yang berlokasi di masing-masing pabrik.