• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partai Politk Islam Masalah dan Tantanga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Partai Politk Islam Masalah dan Tantanga"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PARTAI POLITIK ISLAM : MASALAH DAN

TANTANGAN PARTAI POLITIK ISLAM PADA

SAAT INI

Disusun oleh:

Ahmad Idham

N

IM : 0801513032

HI 13 A

Program Studi Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Al-Azhar Indonesia

Jakarta

(2)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia­ Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Dimana, makalah ini dibuat untuk memenuhi persyaratan Ujian Akhir Semester dalam mata kuliah Sistem Sosial dan Politik Indonesia. Dimana   bahan   atau   sumber­sumber   yang   saya   dapatkan   atau   diperoleh,   berasal   dari sumber­sumber yang baik dan terpercaya. Baik dari buku, referensi, media massa, hingga website. Sehingga kualitas makalah ini sesuai dengan standar penulisan ilmiah. 

Saya mengakui bahwa saya adalah manusia yang mempunyai keterbatasan dalam berbagai   hal.   Oleh   karena   itu   tidak   ada   hal   yang   dapat   diselesaikan   dengan   sangat sempurna. Begitu pula dengan tugas ini. Sehingga saya berharap untuk kritikan dan saran yang membangun terhadap makalah ini.  Dan penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada  Bapak Prof. Dr. Yahya A. Muhaimin dan Bapak Dr. Ujang Komarudin, M.Si  selaku   dosen   mata   kuliah   Sistem   Sosial   dan   Politik   Indonesia   yang   selalu memberikan bimbingan serta bantuan terhadap makalah ini. Akhir kata, Penulis berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat dan berguna bagi para pembaca makalah ini. sekian dan terimakasih. 

Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Hormat Saya,

Ahmad Idham

(3)

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN...i

KATA PENGANTAR...1

DAFTAR ISI...2

BAB I – PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...3

1.2 Rumusan Masalah...4

1.3 Tujuan Pembahasan...4

1.4 Manfaat Pembahasan...4

1.5 Sistematika Penulisan...5

BAB II - KERANGKA PEMIKIRAN...6

BAB III – ISI PEMBAHASAN 3.1 Definisi Partai Politik dan Partai Politik Islam...7

3.2 Landasan Filosofis Berdirinya Partai Politik Islam...9

3.3 Partai Politik Islam Pada Saat Ini...13

BAB IV - KESIMPULAN...24

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pemilihan umum di Indonesia yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1955, sampai masa orde baru serta reformasi saat ini menunjukkan bahwa partai-partai politik islam tidak pernah berhasil memenangkan pemilu. Kita bisa lihat kembali sejak pemilu 1955, partai politik Islam yang diwakili partai Masyumi, partai NU, PSII, PERTI, dan PPTI hanya berhasil mengantungi dukungan suara 43,5 persen. Dalam pemilu 1999 yang bersifat multi partai dan demokratis, partai politik Islam yaitu PPP, PBB, Partai Keadilan, PNU, PKU, PSII dan PP kembali mengalami kekalahan dan hanya mampu mengumpulkan dukungan suara sebesar 18,8 persen. Perolehan suara tersebut menurun dibandingkan hasil pemilu 1955, di mana terdapat penurunan suara yang begitu signifikan sebesar 25,32 persen. Kalau digabung perolehan suara dua partai yang berbasis massa Islam yaitu PKB dan PAN yang tidak mendasarkan asasnya pada Islam, yang memperoleh dukungan suara sebesar 18,8 persen, maka keseluruhan perolehan suara parpol Islam dan parpol berbasis massa Islam pada pemilu 1999, hanya 37,19 persen, yang berarti terjadi penurunan perolehan suara sebesar 6,31 persen dibanding hasil pemilu 1955.1

Seringnya kekalahan-kekalahan yang dialami partai-partai politik Islam tersebut bisa disebabkan karena beberapa faktor, diantara banyak faktor tersebut, terdapat salah satu faktor utama yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal dapat meliputi internal partai politik islam itu sendiri maupun internal umat islam. Kelemahan internal partai politik islam salah satunya adalah kepemimpinan dan manajemen. Parpol Islam dapat dikatakan agak lemah dalam manajemen konflik, sehingga selalu dirundung perpecahan. Pada hal sumber perpecahan umumnya bukan dari hal-hal yang bersifat perinsipil, tetapi hanya konflik kepentingan seperti persaingan antar tokoh dalam

(5)

memperebutkan posisi puncak di partai misalnya dalam muktamar atau kongres seorang kandidat kalah dalam pemilihan ketua umum, kemudian yang kalah disingkirkan lalu mendirikan partai baru dengan membawa gerbong pendukungnya. Kondisi semacam ini melemahkan Parpol Islam, kendatipun dialami juga parpol-parpol sekuler. Pada hal konflik merupakan dinamika yang tidak mungkin dicegah, tetapi yang terpenting bagaimana mengelola konflik supaya berbagai perbedaan serta konflik kepentingan tetap dapat dipersatukan.2

Sehubungan dengan tema yang diangkat makalah ini tentang Partai Politik Islam : Masalah dan Tantangan Partai Politik Islam Pada Saat Ini. Artikel ini berusaha menjawab pertanyaan­pertanyaan sebagai berikut: bagaimana sesungguhnya kondisi partai Islam? Apa saja problem­problem yang dihadapi partai Islam? Langkah strategis seperti apa yang harus dilakukan agar partai Islam tidak semakin terpuruk? Artikel ini menunjukkan bahwa ada problem internal dan eksternal dalam partai Islam yang harus segera dijawab jika partai­partai Islam ingin segera merumuskan jalan barunya.

1.2. Rumusan Masalah

1.Apa masalah dan tantangan partai politik islam pada saat ini?

1.3. Tujuan Pembahasan

1. Untuk memahami apa saja masalah dan tantangan partai politik islam pada saat ini

1.4. Manfaat Penulisan

Pembaca diharapkan dapat mendapat wawasan dan pengetahuan yang lebih ketika membaca makalah yang berjudul Partai Politik Islam : Masalah dan Tantangan Partai Politik Islam Pada Saat Ini. dan tentang bagaimana dan apa saja masalah serta tantangan partai politik islam pada saat ini

(6)

1.5. Sistematika Penulisan

BAB I

Berisikan tentang latar belakang masalah yang terdapat dalam Partai Politik Islam : Masalah dan Tantangan Partai Politik Islam Pada Saat Ini. Beserta rumusan masalah, tujuan pembahasan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan yang akan dijelaskan secara rinci dan teratur.

BAB II

Berisikan kerangka pemikiran sebagai pembuka sebelum memasuki isi dari makalah

BAB III

Berisikan Isi / Pembahasan dari makalah ini yang membahas tentang pengertian atau definisi Partai Politik dan Politik Islam, Landasan Filosofis Berdirinya Partai Politik Islam, Dan Partai Politik Islam Pada Saat Ini berserta contoh kasus.

BAB IV

(7)

BAB II

2.1. Kerangka Pemikiran

Munculnya   partai­partai   islam   di   Indonesia   disinyalir   sebagai   bentuk   dari keinginan   formaliasi   islam   di   Indonesia.  Wawasan   politik   kaum   awam   yang   masih bercorak paternalistik di satu pihak, serta kepentingan melihat politik sebagai pemenuhan kebutuhan sesaat di pihak lain, merupakan kendala yang tidak kecil. Soal politik bukan sekadar soal menyalurkan aspirasi untuk menegakkan kepemimpinan negara (imamah) semata, tapi soal menata kehidupan secara lebih maslahat bagi umat.3 

Penelusuran terhadap sejarah perpolitikan di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai cara sehingga dapat digunakan untuk mengungkap perjalanan perubahan sistem politik umat Islam di Indonesia. Berpikir secara dialektis akan terlihat perjalanan sejarah sebagai   sesuatu   yang   mapan   dan   mendapat   reaksi   hingga   pada   akhirnya   melahirkan sintesa baru. Pendekatan ini tentu dapat digunakan untuk mengamati perjalanan sejarah partai   politik   Islam   dan   politik   di   Indonesia   sebagai   umat   mayoritas   yang   memeluk agama Islam. Keberadaan umat Islam di negara ini sering menjadi bahan pembicaraan dan peranannya pun mengalami pasang surut. Ia pasang hampir pada setiap permulaan babak baru, tetapi pada umumnya kemudian surut.4

Islam sebagai salah satu agama yang dianut oleh banyak rakyat Indonesia memainkan peranan penting dalam perpolitikan di Indonesia. Tetapi, banyaknya parpol­ parpol islam di Indonesia memberikan banyak masalah dan tantangan yang dihadapi oleh parpol­parpol islam tersebut.

Tulisan ini bertujuan membicarakan partai politik Islam pada pentas politik di Indonesia. Untuk mempermudah, penulis mencoba membahas tiga pembahasan, yakni Definisi   Partai   Politik   dan  Partai  Politik  Islam,   Landasan  Filosofis   Berdirinya   Partai Politik Islam, dan Partai Politik Islam Pada Saat Ini.

3 “Islam dan Politik”, Nahdatul Ulama, accessed September 27, 2014 http://www.nu.or.id/a,public­ m,dinamic­s,detail­ids,6­id,50799­lang,id­c,taushiyah­t,Islam+dan+Politik­.phpx

(8)

BAB III

3.1. Definisi Partai Poltik dan Partai Politik Islam

Definisi Partai Politik

Partai   adalah   perkumpulan   (segolongan   orang)   yang   seazas,   sehaluan,   dan setujuan terutama dibidang politik.5 Miriam Budiardjo berpendapat bahwa secara umum

dapat   dikatakan   bahwa   partai   politik   adalah   suatu   kelompok   yang   terorganisir   yang anggota­anggotanya mempunyai orientasi, nilai­nilai dan cita­cita yang sama, yakni yang bertujuan   untuk   memperoleh   kekuasaan   politik   dan   merebut   kedudukan   politik­ (biasanya) dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijaksanaan–kebijaksanaan mereka.6

Lain halnya dengan Bambang Cipto yang mempunyai pandangan bahwa partai politik   merupakan   peralihan   jangka   panjang   dari   istilah   fraksi   yang   jauh   lebih   tua umurnya, sifat peralihan ini menyebabkan proses pengakuan masyarakat politik terhadap keberadaan partai penuh dengan kesukaran dan rintangan.7

Menurut Sumarno dan Yeni Lukiswara, Partai Politik merupakan sekelompok manusia yang mengorganisir dirinya dalam bentuk organisasi politik yang didasarkan pada suatu ideologi, dengan maksud untuk memperoleh atau merebut suatu kekuasaan didalam   pemerintah.   Jadi   partai   politik   merupakan   perantara   yang   menghubungkan kekuatan­kekuatan ideologi sosial dengan lembaga pemerintah.8

Definisi lainnya dikemukakan oleh Cheppy Haricahyono, dalam bukunya “ilmu politik dan perspektifnya” mengatakan bahwa partai politik adalah sekelompok manusia yang   secara   bersama­sama   menyetujui   prinsip­prinsip   tertentu   untuk   mengabdi   dan melindungi kepntingan nasional.9

5 Marbun. BN, Kamus Politik, Jakarta : Pustaka Sinar harapan, 2004, hlm 402

6 Miriam Budiarjo, Dasar­dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, cet­XIX, 1993, hlm 160

7Bambang Cipto, Prospek dan Tantangan Partai Politik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, hlm 7

8 Sumarno dan Yeni R.Lukiswara, Pengantar Study Ilmu Politik, Bandung : Citra Adtya Bakti, 1992, hlm  62

(9)

Sedangkan menurut Deliar Noer, Partai politik merupakan himpunan orang­orang yang   se­ideologi   atau   tempat/wadah   penyaringan   dan   pembulatan,   serta   tempat berkumpulnya orang – orang yang se­ide, cita­cita dan kepentingan.10

Jadi partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita­cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara, melalui pemilihan umum.11

Definisi Partai Politik Islam

Dari   berbagai   pengertian   tentang   partai   politik   maka   dapat   diketahui   bahwa “partai politik Islam” yang penulis maksudkan adalah suatu kelompok orang­orang Islam yang  terorganisir  dalam  suatu wadah organisasi  yang meletakkan Islam  (Qur’an  dan Hadits ) sebagai dasar dan garis perjuangannya untuk menyampaikan aspirasi, maupun ide dan cita­cita umat Islam dalam suatu negara.

Atau dapat dikatakan bahwa “partai Islam” merupakan sekelompok orang yang beragama Islam kemudian membentuk sebuah organisasi politik, yang yang mempunyai ciri­ciri sebagai berikut:

a. Partai yang menggunakan Islam (Qur’an, Sunah Rasul dan Syari’ah) sebagai azas dalam menentukan vissi dan mssi perjuangan partai.

b.      Partai yang menggunakan Islam (Qur’an, Sunah Rasul dan Syari’ah) sebagai landasan untuk kemantapan perjuangan partai 

c.      Partai yang menggunakan Islam sebagai dasar ideologi dalam pembentukan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. 

192.

10 Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta : Rajawali, 1983, hlm 209

(10)

d.      Partai yang mempunyai program perjuangan untuk Islam, umat Islam, serta kemaslahatan umat, baik lewat jalur parlementer maupun ekstra parlementer. 

e.      Partai mempunyai mempunyai basis pendukung, kader, dan partisan yang keseluruhannya beragama Islam.

Ciri diatas merupakan cirikhas partai politik Islam dan yang termasuk kategori partai Islam adalah partai Masyumi, Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan masih banyak lagi

3.2. Landasan Filosofis Berdirinya Partai Politik Islam

Partai Politik Islam Sebagai Sebuah Dasar

Berdasarkan kajian terhadap sumber ajaran Islam al­Qur’an dan sunnah, setiap muslim meyakini bahwa kedua sumber ajaran tersebut memberikan skema kehidupan (the scheme of life) yang sangat jelas. Skema kehidupan ini bermakna bahwa masyarakat yang harus dibangun oleh setiap muslim adalah masyarakat yang tunduk pada kehendak Ilahi, sehingga klasifikasinya tentang nilai baik dan buruk harus dijadikan kriteria atau landasan etis dan moral bagi pengembangan seluruh dimensi kehidupan.12  Karenanya

pembumian nilai­nilai Islami merupakan suatu tuntutan terhadap umat Islam. Agaknya akan lebih memperjelas masalah dengan mengutip ungkapan yang ditulis oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya Wither Islam, bahwa bukan hanya a system of theology, lebih dari itu.   Islam   merupakan  a   complete   civilization.  Dengan   nada   yang   konfirmatif   Nasir mengatakan   bahwa   Islam   tidak   dapat   dipisahkan   dari   seluruh   dimensi   kehidupan.13

Islam   tidak   memisahkan   persoalan­persoalan   rohani   dengan   persoalan­ persoalan dunia, melainkan mencakup kedua segi ini. Hukum Islam (syariat) mengatur keduanya, hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesamanya.

12 Amin Rais, Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 50­ 51.

(11)

Menyadari akan hal ini, umat Islam memerlukan kekuasaan politik sebagai instrumen yang vital bagi pelaksanaan nilai­nilai Islami. Dalam kitabnya al­Siyasah al­Syar’iyyah,

Ibnu Taimiyah mengungkapkan bahwa nilai (organisasi politik) bagi kehidupan kolektif manusia   merupakan   keperluan   agama   yang   terpenting.   Tanpa   tumpangannya,   agama tidak akan tegak dengan kokoh.14 

Muhammad Asad berpendapat bahwa suatu negara dapat menjadi benar­ benar   Islami   hanyalah   dengan   keharusan   pelaksanaan   yang   sadar   dari   ajaran   Islam terhadap kehidupan bangsa, dan dengan jalan menyatukan ajaran itu ke dalam undang­ undang negara. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara Islam apabila ajaran Islam tentang   sosio­politik   dilaksanakan   dalam   kehidupan   rakyat   berdasarkan   konstitusi.15

Untuk   mewujudkan   cita   cita   itu   memerlukan   perjuangan   dan perjalanan yang panjang. Ini telah dilakukan oleh umat Islam Indonesia. Sebab disadari sekali bahwa perjuangan melawan segala bentuk kezaliman merupakan suatu hal yang harus dilaksanakan oleh umat Islam. Prinsip ini diyakini benar oleh umat Islam sehingga jika tidak dilaksanakan atau tidak tercapai maka mustahil pelaksanaan ajaran Islam secara benar   akan   dapat   diterapkan   dengan   baik.   Oleh   karena   itu   sangat   wajar   sekali   bila dikatakan   umat   Islam   Indonesia   dikenal   sebagai   penantang­penantang   gigih   terhadap segala bentuk imperialisme.

Para   pemimpin   umat   Islam   yang   tergabung   dalam   berbagai   partai   politik membangun   semangat   kebangsaan   yang   tetap   dilandasi   benang   merah   Islam.   Warna perjuangan dalam membentuk suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat, tentu tidak harus terhenti setelah bebasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Sebagai suatu bangsa yang majemuk—bukan hanya dalam bentuk perbedaan suku dan adat namun yang lebih serius adalah pada dataran perbedaan keyakinan dan agama—tentu menimbulkan berbagai perbedaan kehendak dalam mewarnai bangsa dan negara ini. Akibatnya yang

14 Ibnu Taimiyah, al­Siyasash al­Syar’iyyah, Kairo: Dar al­Kutub al­'Arabi, 1952, hlm. 174. Lihat juga  Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Syaykh al­Islam Ahmad Ibnu Taimiyah, Jilid XXVIII, disunting oleh  Muhammad Abdurrahman Ibnu Qasim, Riyadh: Matabi’ al­Riyadh, 1963, hlm. 62. 

15 Amin Rais, Cakrawala Islam..., hlm. 52; Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, 

(12)

tidak   dapat   dihindarkan   tentu   munculnya   berbagai   pergumulan   antara   sesama   anak bangsa yang  dilatarbelakangi  perbedaan  agama.  Bagi umat Islam,  negara  yang ingin dibentuk tentu berdasarkan ajaran Islam, dengan jalan menyatukan ajaran itu ke dalam konstitusi negara. Inilah tema sentral yang diperjuangkan oleh para pemimpin Islam di Indonesia   yang   pertama   ketika   menjelang   proklamasi   dan   yang   kedua   pada   masa kemerdekaan.

Berakhirnya masa penjajahan dengan diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, menuntut para pemimpin bangsa bekerja keras untuk menata dan memberikan wajah baru bagi Republik ini. Isu yang paling asasi ialah menetapkan Dasar Negara. Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia melalui para pemimpin berupaya konsisten terhadap identitas mereka dengan memperjuangkan agar nilai­nilai Islam termaksud dalam konstitusi negara.

Landasan Filosofis Berdirinya Partai Politik Islam di Indonesia

Teori politik Islam harus bertolak dari kaidah­kaidah umum, yakni kebebasan, kesetaraan, keadilan dan supremasi hukum juga konsistensi terhadap prinsip pemilihan pemimpin,   bahwa   pemerintah   adalah   pelaksana   hukum   dan   perundang­undangan, pelindung   agama   dan   bertanggung   jawab   kepada   rakyat.   Diantara   hak  rakyat   adalah memberi   nasehat,   mengevaluasi   memecat   dan   menggantinya   jika   diperlukan.   Sistem politik harus harus tegak diatas prinsip syuro, dan syuro menjadi sesuatu yang harus di tegakkan oleh penguasa.

Sistem politik Islam harus memuat persepsi yang jelas tentang kebebasan politik, aktifitas politik, partai politik, kritik politik, kebebasan pers, kedudukan wanita, sistem sosial, ekonomi, pemerataan, kelayakan, independensi peradilan.16

Jika demikian maka perlu juga diketahui beberapa hal yang menjadi landasan filosofis berdirinya partai Islam, yaitu :

a. Kenyataan bahwa manusia sebagai khalifah di bumi yaitu: memelihara, mengatur dan memakmurkan bumi yang merupakan aktifitas politik yang paling otentik.

(13)

b. Universalitas Islam telah menjadi inti pemhaman kaum muslimin terhadap konsep­ konsep islam dalam seluruh  dimensinya.  “islam  adalah  sistem  hidup yang universal, mencakup seluruh aspek, Islam adalah negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan, rahmat dn keadilan, kebudayaan dan perundang­ undangan, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, usaha dan kekayaan, jihad dan dakwah, tentara dan fikroh, akidah yang lurus dan ibadah yang benar­benar keuniversalan itu sebagai inti dan   pokok­pokok   ajaran   islam   yang   bernilai   perintah   kepada   kaum   muslimin   untuk diterapkan secara utuh. Islam adalaha suatu tata hidup yang meliputi agama, politik, negara, dan masyarakat.17

Selain   itu   sistim   Politik   apabila   dikaitkan   dengan   negara   maka   sistim   politik adalah   sebuah   konsep   yang   diterapkan   pada   situasi   konkrit   seperti   negara.   Menurut Miriam Budiarjo sistim politik ini berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup dan mencapai tujuan dari masyarakat.18

Salah satu aspek penting dalam sistim politik adalah budaya politik (Political culture) yang mencerminkan faktor subyektif. Budaya politik adalah keselurusan dari pandangan­pandangan politik, seperti; norma­norma, pola orientasi terhadap politik dan pandangan hidup pada umumnya. 

Bentuk dari budaya politik dalam suatu masyarakat politik di pengaruhi antara lain oleh sejarah perkembangan dari sistim, oleh agama yang terdapat dalam masyarakat itu, kesukuan, status sosial, konsep mengenai kekuasaan, kepemimpinan dan sebagainya. Umumnya dianggap bahwa dalam sistim politik terdapat empat variabel:

1. Kekuasaan   ;   sebagai   cara   untuk   mencapai   hal   yang   diinginkan   antara   lain membagi sumber­sumber di antara kelompok­kelompok dalam masyarakat.  2. Kepentingan   ;   tujuan­tujuan   yang   dikejar   oleh   pelaku­pelaku   atau   kelompok

politik. 

3. Kebijaksanaan ; hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan, biasanya

17 Nur Mahmudi Isma’il, M. SC, Memilih Partai (visi, misi dan persepsi), Jakarta : Gema Insani Press,  1998, hlm. 34

(14)

dalam bentuk perundang­undangan 

4. Budaya politik ; orientasi subyektif dari individu terhadap sistim politik.19 

Karena beberapa hal itulah maka partai politik Islam mempunyai tujuan untuk membentuk   pemerintahan   Indonesia   yang   berdasarkan   ajaran   Islam   yang   kafaah. Sehingga   segala   kebijakan   yang   bersangkutan   dengan   negara   dan   masyarakat diselesaikan secara musyawarah yang merupakan identitas dan perintah Allah dalam al­ Qur’an. Sebanarnya Islam merupakan ajaran yang komprehensif dimana didalamnya juga mengatur banyak hal tentang, ubudiyah, kemaslahatan umat (pranata sosial), serta untuk tentang prinsip­prinsip kenegaraan. 

Kendati   demikian,   kelemahan   dari   partai   politik   Islam   terletak   pada tingkat  organisasi, selain  itu  Deliar Noer dalam penelitiannya  berasumsi bahwa ciri partai   negara   berkembang   pada   umumnya   tidak   kompetitif   dan   cenderung   pada popularitas tokoh (publik figure).

3.3 Partai Politik Islam Pada Saat Ini

Kebangkitan Partai Politik Islam Pada Pemilihan Umum (PEMILU)

Diskusi   tentang   partai   Islam   hari   ini   tentu   tidak   bisa   dipisahkan   dengan perkembangan   politik   umat   Islam   di   Indonesia   terutama   pasca   reformasi.   Turunnya Soeharto pada tahun 1998 memberikan harapan baru bagi umat Islam Indonesia untuk bisa memperoleh ruang politik yang lebih besar. Pada era Habibie yang menggantikan Soeharto, umat Islam berusaha memaksimalkan kondisi sosial politik yang ada. Pada saat yang bersamaan, Habibie mengeluarkan kebijakan­kebijakan politik yang mendukung proses   transisi   menuju   demokrasi   di   Indonesia.   Menurut   Azyumardi   Azra,   Habibie memberikan kontribusi yang signifikan untuk liberalisasi politik. Hal itu tampak pada kebijakannya   untuk   memberikan   kebebasan   pada   para   tahanan   politik,   mengatur kebebasan pers, menghapus kebijakan penerapan Pancasila sebagai asas tunggal, dan mengakhiri pembatasan jumlah partai politik.20  Kebijakan politik itu tentu memberikan 19 Ibid.

(15)

dampak yang berarti pada dinamika politik dan mempengaruhi pada peran umat Islam dalam percaturan politik di negeri ini.

Jika pada era Soeharto jumlah partai hanya dibatasi menjadi 3 (tiga), maka pasca reformasi   partai   tumbuh   bak   cendawan   di   musim   hujan.   Hampir   semua   politisi memanfaatkan   euphoria   reformasi   ini   dengan   mendirikan   partai   politik   baru.   Dan organisasi sosial keagaman seperti NU dan Muhammadiyah yang sebelumnya lebih fokus pada   kegiatan   dakwah   dan   pendidikan,   juga   tak   ketinggalan   ikut   mendukung   dan mensponsori pendirian partai baru. Yang menarik, hampir sepertiga dari jumlah total partai yang berdiri dan lolos sebagai peserta pemilu tahun 1999 itu, terdiri dari partai­ partai Islam. Partai Islam berjumlah 42 dari total partai yang mendaftar Pemilu. Yang dikategorikan sebagai partai Islam adalah partai yang beraskan Islam seperti PBB (Partai Bulan   Bintang),   PPP   (Partai   Persatuan   Pembangunan),   PK   (Partai   Keadilan),   Partai Masyumi,   PUI   (Partai   Umat   Islam),   dan   sebagainya.   Sebagian   partai   berasaskan Pancasila, namun berbasiskan pada organisasi Islam, seperti PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan PAN (Partai Amanat Nasional).21   Dari 42 partai Islam yang mendaftarkan

diri, hanya 20 partai Islam yang lolos ikut Pemilu 1999. Yang patut dicatat, inilah era di mana umat Islam benar­benar bisa mengekspresikan aspirasinya secara formal setelah hampir selama 4 dekade (1959­1998) kehendak berpolitiknya melalui jalur formal partai politik dibelenggu oleh rezim.

Selain ditandai dengan lahirnya partai­partai Islam, era reformasi yang dimulai dari kepemimpinan Habibie juga ditandai dengan tumbuhnya berbagai organisasi Islam radikal   di   Indonesia.   Banyak   organisasi   radikal   Islam   yang   tumbuh   memanfaatkan

(editors), Islamic Perspectives on the New Millenium, Singapore: ISEAS, 2004, hal. 140­141.

21 Anies Rasyid Baswedan, ‘Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory’, Asian Survey,  Vol. 44, No. 5 (Sep­Oct 2004), hal. 672­674. Greg Fealy secara garis besar membagi Partai Islam menjadi  dua: pertama, pluralist Islamic parties (Partai Islam Pluralis) yang beraskan Pancasila namun menampilkan  identitas Islamdan berbasis pada massa Islam seperti PKB dan PAN. Yang kedua, Islamist parties (Partai  Islamis), yaitu partai yang beraskan Islam dan mendukung ide­ide formalisasi syariat Islam dan 

(16)

peluang kebijakan rezim ini yang memberikan kesempatan luas bagi masyarakat untuk mendirikan organisasi, baik berbasis sentimen keagamaan, etnis, profesi, maupun hobi. Organisasi   radikal   Islam   menjadi   tantangan   yang   serius   bagi   transisi   demokrasi   di Indonesia. Meskipun keberadaan organisasi radikal ini merupakan konsekuensi logis dari demokrasi   dan   mereka   berhak   memanfaatkan   proses   demokrasi,   namun   organisasi­ organisasi ini banyak digunakan untuk mencapai tujuan­tujuan yang tidak demokratis. Tujuan   tidak   demokratis   itu   misalnya   keinginan   untuk   mendirikan   negara   Islam, pemaksaaan pendapat dan paham keagamaannya, intimidasi terhadap kelompok lain, atau keinginan untuk mendirikan khilafah Islamiyah serta tidak mengakui negara yang sah. Kelompok­kelompok yang dikategorikan gerakan Islam radikal ini di antaranya adalah: FPI (Front Pembela Islam), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Lasykar Jihad, Front Hizbullah, Jama’ah al­Ikhwan al­ Muslimin Indonesia, dan sebagainya.22

Meskipun partai Islam pasca reformasi tumbuh bak cendawan di musim hujan dan mereka   optimis   akan   memenangkan   Pemilu   1999.   Namun,   fakta   di   lapangan menunjukkan hasil sebaliknya. Dari total 21 Partai Islam yang lolos Pemilu, hanya 10 Partai Islam yang berhasil memperoleh minimal 1 kursi atau lebih di parlemen. Dari jumlah total semuanya, partai­partai Islam memperoleh 37 % total suara atau 172 kursi di DPR. Perinciannya adalah: PPP (58 kursi), PKB (51 kursi), PAN (34 kursi), PBB (13 kursi), PK (7 kursi), PNU (5 kursi), PP (1 kursi), PPII Masyumi(1 kursi), dan PKU (1 kursi). Hasil itu menunjukkan bahwa meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim,   namun   partai   Islam   tidak   mendapatkan   dukungan   yang   signifikan   dari konstituen   Islam.23  Sebaliknya,   partai­partai   nasionalis   yang   diduga   tidak   akan

mendapatkan   jumlah   suara   banyak,   malah   meraup   dukungan   yang   signifikan.   PDI Perjuangan memperoleh suara 33,7 % atau 154 kursi. Partai Golkar yang sebelumnya

22 Bahtiar Effendy, ‘Political Islam in Post­Soeharto Indonesia: A Postcript’, dalam Islam and the State  in Indonesia, Ohio & Singapore: Ohio University Press and ISEAS, 2003. Untuk pembahasan yang bagus  mengenai gerakan radikal ini, lihat M Zaki Mubarok, Geneologi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan,  Pemikiran dan Prospek Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 2008.

(17)

dianggap mengalami senjakala dan kekalahan telak, malah berhasil memperoleh 22,4 % suara atau 120 kursi di DPR.

Kegagalan   partai­partai   Islam   untuk   memenangkan   Pemilu   pertama   di   era reformasi ini, memberikan dampak yang serius pada tokoh dan pimpinan partai Islam. Harapan mereka untuk memegang tampuk kepemimpinan nasional, tampaknya akan sulit diraih. Secara garis besar, bisa dikatakan terjadi demoralisasi dalam tubuh partai Islam pasca   Pemilu   1999.   Namun,   kondisi   ini   tidak   berlangsung   lama,   Partai­partai   Islam sepakat   untuk   berkoalisi   dengan   mengambil   momentum   terpolarisasinya   dukungan politik untuk memilih Presiden antara Habibie (Partai Golkar) dan Megawati (PDIP). Dengan   membentuk   Poros   Tengah,   mereka   memainkan   isu   dan   kartu   Islam   dengan mengusung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Calon Presiden alternatif. Setelah melalui berbagi lika­liku politik dan dinamika politik yang sangat menarik, serta pasca Pidato Pertanggungjawaban Habibie ditolak MPR, Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI ke­4 pada tanggal 20 Oktober 1999.24   Sebelumnya, Akbar Tanjung terpilih menjadi

Ketua DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan M. Amien Rais terpilih menjadi Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).  Ketika  Gus Dur terpilih menjadi  Presiden, gema takbir dan shalawat Badr terdengar di gedung MPR.25   Saat itu, banyak yang menyebut

inilah kemenangan Islam dan era pemerintah Indonesia dipegang oleh para santri. Era kaum   santri   berkuasa   itu,   memberikan   harapan   baru   pada   partai   Islam   untuk   bisa berkiprah dan mempunyai masa depan politik yang terang di Indonesia.

Era   kejayaan   partai­partai   Islam   di   panggung   kekuasaan   itu   ternyata   tidak berlangsung lama. Tak lama setelah Gus Dur menjadi Presiden RI, terjadi konflik di antara para tokoh Islam dan partai Islam sendiri. Setelah konflik itu semakin memanas dan tidak bisa didamaikan, akhirnya Gus Dur di­impeach oleh MPR melalui Sidang Istimewa tahun 2001. Gerakan  impeachment  terhadap Gus Dur, dilakukan oleh koalisi Poros Tengah minus PKB bersama PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Jadi, sebagaimana diungkapkan   oleh   Azyumardi   Azra,   sesungguhnya   naik   dan   turunnya   Gus   Dur

24 R. William Liddle, ‘Indonesia in 1999: Democracy Restored’, Asian Survey, Vol. 40, No. 1, A Survey  of Asia in 1999 (Jan.­Feb., 2000), hal. 36­37. 

(18)

sesungguhnya disponsori oleh Partai Islam dan organisasi Islam mainstream seperti NU dan Muhammadiyah.26   Naiknya Megawati sebagai Presiden Republik Indonesia ke­5

dengan menggandeng Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden menunjukkan keberhasilan kembali dari Partai Islam di pentas politik nasional. Sebagaimana diungkapkan oleh Rizal Sukma,   fakta   politik   ini   menunjukkan   bahwa   Islam   telah   memainkan   faktor   penting dalam sistem dan suksesi politik di Indonesia pasca Soeharto. Politik Islam juga menjadi tidak mencapai angka ambang batas suara di parlemen (parliamentary threshold). Selain itu,   di   antara   banyak   partai   Islam,   hanya   Partai   Keadilan   Sejahtera   (PKS)   yang merupakan wajah baru dari PK (Partai Keadilan) yang memperoleh lonjakan suara luar biasa.28  Pada Pemilu tahun 2004 itu, Partai Golkar tampil sebagai pemenang dengan

memperoleh suara 21,6%, disusul PDIP 18,5%, dan Partai Demokrat 7,45%. Sedangkan jumlah total parta­partai kecil lainnya adalah 17,3%.29  Meskipun pada Pemilu 2004 ini

partai­partai   Islam   tidak   tampil   sebagai   pemenang,   namun   hampir   semua   kandidat Presiden dan Wakil Presiden memperhatikan sentimen dan isu Islam sebagai faktor yang penting. Hampir semua kandidat berusaha melakukan koalisi antara Islam dan Nasionalis. Jika Capresnya dari partai Islam atau kalangan Islam, maka Wapresnya dari kalangan Nasionalis, begitupun sebaliknya.

26 Azyumardi Azra, Islam, Indonesia, and Democracy, Jakarta: ICIP & Equinox Publishing, 2006, hal.  124

27 Rizal Sukma, Islam in Indonesian Foreign Policy, London and New York: RoultedgeCurzon  Publishing, 2003, hal. 99­100 dan 123. 

28 Perincian suara Partai Islam secara garis besar di parlemen adalah sebagai berikut: PPP 11 % pada  tahun 1999 dan 8 % pada 2004; PKB memperoleh 13 % pada 1999 dan 11 % pada 2004; PAN 7 % di tahun 1999 dan 6,4di 2004; PKS 1,36 % pada 1999 dan 7,34 % ada 2004; PBB 1,94 % pada 1999 dan 2,62 %  pada 2004. Lihat Adhi Priamarizki, ‘Indonesia’s National Elections: Islamic Parties at the Crossroads’,  RISS Commentaries, No. 005/2013 dated 9 January 2013.

(19)

Walaupun faktor Islam mempengaruhi politik Indonesia semenjak tahun 1999 hingga 2004 dan setelah itu hampir semua partai Islam masuk ke lingkaran kekuasaan sejak era Gus Dur, Megawati, dan SBY, namun hasil Pemilu tahun 2009 tidaklah seperti yang   mereka   harapkan.   Bahkan,   Pemilu   tahun   2009   menjadi   Pemilu   yang   paling menyedihkan bagi partai­partai Islam. Pada Pemilu itu, total suara partai­partai Islam adalah yang terburuk jika dibandingkan dengan Pemilu tahun 1955 (44 %) dan Pemilu setelahnya. Jika pada Pemilu 2004 mereka memperoleh 41 %, suara mereka turun drastis menjadi hanya 29,2 persen pada 2009.14 Yang lebih ironis, hanya 4 parpol Islam yang berhasil lolos  parliamentary treshold  (ambang batas suara di parlemen) pada Pemilu tahun 2004 itu, yaitu: PKS, PAN, PKB, dan PPP.

Kondisi   ini   semakin   menguatkan   banyak   pendapat   sebelumnya   bahwa meskipun mayoritas bangsa Indonesia adalah Muslim, namun fakta itu tidak berkorelasi positif terhadap tingkat keterpilihan partai­partai Islam. Selain itu, ekspresi keislaman orang  Indonesia  yang  semakin  meningkat  terutama  pasca  1998  melalui  banyak  jalur seperti   ekonomi,   spiritualitas,   budaya,   dan   politik   sebagaimana   dijelaskan   oleh   Greg Fealy dan Sally White, sepertinya tidak banyak berpengaruh pada perolehan suara partai Islam.30

Masalah dan Tantangan Partai Politik Islam Pada Saat Ini

Jika kita perhatikan dari rangkaian perkembangan partai Islam pasca reformasi, tampaknya   selain   pandangan   bahwa   meningkatnya   Islamisasi   atau   santrinisasi   di Indonesia yang tidak berkorelasi positif dengan peningkatan perolehan suara partai­partai Islam, ada fakta politik lain yang juga sedang terjadi. Fakta politik itu adalah bahwa meskipun Partai Islam masuk ke kekuasaan sejak Pemilu 1999 hingga 2009 kemarin, namun keberadaan mereka di pemerintahan tidak banyak menimbulkan dampak pada peningkatan   suara   Partai­partai   Islam.   Memang   partai   Islam   ketika   berkuasa

(20)

mendapatkan  resources  dan  capital  yang cukup untuk membiayai partai politik yang tidak murah. Mereka juga bisa menggunakan sumber daya negara untuk menguatkan program­program partainya. Selain itu, jika partai­partai Islam berkuasa, diasumsikan bahwa   masyarakat   dan   umat   Islam   akan   lebih   mendapatkan   manfaat   karena   bisa mengakses program­program pemerintah.

Namun,   tampaknya   masuknya   partai   Islam   ke   kekuasaan   tidak   banyak menimbulkan efek pada peningkatan suara mereka di Pemilu. Yang mereka dapatkan adalah   sekedar   mempertahankan   perolehan   suara   agar   tetap   lolos  electoral   and parliamentary   threshold.  Kasus   Partai   Bulan   Bintang   (PBB)   yang   pada   tahun   2004 menjadi sponsor utama pencalonan SBY dan JK, bisa diambil sebagai salah satu contoh. Pada Pemilu 2009, PBB malah mengalami penurunan suara yang signifikan dan tidak lolos   ambang   batas   suara   di   parlemen.   Mungkin   ada   faktor   lain   yang   menyebabkan “musibah” politik ini, misalnya dicopotnya Yusril Ihza Mahendra dari kedudukannya sebagai Menteri Sekretaris Negara pada tahun 2006. Namun, secara garis besar partai Islam mengalami fenomena yang sama, yaitu turunnya suara mereka dibandingkan pada Pemilu 2004. Hanya PKS saja yang suaranya naik, namun itu sangat tidak signifikan dibandingkan lonjakan suara mereka pada tahun 2004. Dan pada Pemilu 2009, kita lihat memang semua partai politik mengalami penurunan suara yang signifikan, kecuali Partai Demokrat. Meskipun hampir semua partai politik, minus PDIP dan PBR (Partai Bintang Reformasi), waktu itu masuk ke pemerintahan, hanya Partai Demokrat yang mengalami lonjakan suara 3 kali lipat. Perolehan Partai Demokrat pada Pemilu 2004 adalah 7,45 %, pada Pemilu 2009 suara mereka naik drastis menjadi 20,85 %.

Dari situ tampak terlihat bahwa yang mendapatkan manfaaat dan berkah politik dari keberhasilan Pemerintahan SBY­JK hanyalah Partai Demokrat. Koalisi partai­partai pendukungnya, termasuk Partai Golkar, sama sekali tidak mendapatkan limpahan atau kenaikan suara pada Pemilu 2009. Fenomena ini mungkin akan terulang kembali pada tahun 2014. Masuknya seluruh partai Islam dalam koalisi pendukung SBY­ Boedino, tidak akan berdampak signifikan bagi peroleh suara partai Islam pada Pemilu mendatang. Hal itu bisa kita lihat dari berbagai hasil survei yang saat ini banyak dirilis.

(21)

sulitnya menemukan isu­isu strategis yang mereka perjuangkan dalam Pemilu. Meskipun masyarakat Indonesia beragama Islam, namun isu penegakan syariat Islam secara formal baik di level negara melalui perjuangan memasukkan Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945, atau lewat daerah melalui Perda­perda Syari’ah, nampaknya tidak banyak menarik perhatian dan dukungan publik. Bahkan, dalam amandemen UUD 1945 tahun 2002, hanya PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan Partai Bulan Bintang (PBB) yang getol mendukung usulan soal Piagam Jakarta ini. 

Dan   seperti   yang   kita   ketahui,   upaya   memasukkan   Piagam   Jakarta   dalam amandemen UUD 1945 ini mengalami kegagalan. Selain tidak mendapat dukungan dari Partai­partai lain, organisasi Islam moderat di Indonesia seperti Muhammadiyah dan NU juga   tidak   mendukung   upaya   itu.31  Isu   formalisasi   syariat   Islam   ini   memang   masih

menjadi   sesuatu   yang  sensitif   dan  tidak   banyak  diminati  oleh   masyarakat  Indonesia. Mereka lebih meminati dan tertarik pada isu­ isu politik yang berkaitan langsung dengan kebutuhan mereka dan perbaikan bangsa Indonesia ke depan. Sebagai satu­satunya Partai Islam yang mengalami lonjakan suara luar biasa pada Pemilu 2004, dalam kampanyenya PKS   tidak   memperjuangkan   isu  penegakan   syariat   Islam.   Kampanye   mereka   dengan slogan “Bersih dan Peduli”, ternyata diminati publik dan mendapatkan momentum yang tepat. Menurut Giora Eliraz, kemenangan PKS dalam Pemilu 2004 karena mereka bisa membangun   citra   sebagai   partai   yang  anti   korupsi,   bersih,   dan   peduli   pada   problem masyarakat. Mereka juga berusaha menampilkan diri sebagai partai Islam yang terbuka dan pluralis.32

Dalam   soal   isu   syariat   Islam   ini,   kita   patut   mendiskusikan   sedikit   tentang fenomena Perda Syariat yang masih marak di Indonesia pasca reformasi. Pasca kegagalan perjuangan penegakan syariat Islam di level negara melalui amandemen UUD 1945 tahun 2002, ternyata perjuangan penegakan syariat Islam tidak berhenti. Mereka berjuang di level   daerah   melalui   kerjasama   antara   organisasi­organisasi   Islam   radikal   dan   partai politik. Namun, perjuangan Perda Syariat ini bukan hanya menjadi monopoli partai­partai

31 Luthi Assyaukanie, ‘The Rise of Religious Bylwas in Indonesia’, RSIS Commentaries, 29 Maret 2007.

(22)

Islam. Banyak partai­partai nasionalis seperti Partai Demokrat dan Partai Golkar yang juga mendukung penerapan Perda itu. Menurut Robin Bush yang melalukan penelitian komprehensif tentang persoalan ini, dukungan partai­partai nasionalis banyak dikaitkan dengan   pragmatisme   politik   untuk   meraih   dukungan   dari   pemilih   dalam   berbagai pemilihan kepala daerah. Mereka mendukung itu karena untuk menunjukkan identitas dan keberpihakannya pada umat Islam.33 Namun, jika kita perhatikan hasil Pemilu 2009,

partai­partai Islam tidak banyak mendapatkan manfaat nyata dari dukungannya terhadap isu penegakan Syariat Islam secara formal. Dari situ nampak bahwa isu syariat Islam ternyata memang bukan hal yang strategis bagi partai Islam. Partai Islam mestinya harus memikirkan  secara  serius apa  saja  isu­isu  strategis  yang  saat  ini  menarik  minat  dan perhatian rakyat.

Menurunnya performa dan suara partai Islam tentu tidak bisa dipisahkan dari faktor   perpecahan   dalam   tubuh   partai­partai   Islam.   Partai­   partai   Islam   banyak mengalami perpecahan setelah salah satu pihak dikalahkan atau dicurangi pihak lainnya tubuh PKS.34   Konflik internal di kalangan partai Islam itu, sebetulnya bisa dilacak dari

terlalu dominannya tokoh tertentu dalam Partai Islam. Misalnya Amien Rais di PAN, Gus Dur di PKB, Hilmy Aminuddin di PKS, Hamzah Haz saat itu di PPP, dan sebagainya.

33 Robin Bush, ‘Regional Sharia Regulations in Indonesia: Anomaly or Sympton?’, in G. Fealy and S.  White(eds.), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2008, hal. 188.  Analisis yang senada juga diungkapkan oleh Berhard Platzdasch yang mengemukakan bahwa dukungan  partai­partai nasionalis terhadap Perda­perda syari’ah ini didasarkan pertimbangan pragmatis untuk  mendapatkan dukungan elektoral yang besar. Lihat Berhard Platzdasch, Islamism in Indonesia: Politics in  the Emerging Democracy, Singapore: ISEAS, 2009, hal. 336­337. 

34 Penjelasan mendalam dan menarik tentang PKS bisa dibaca dalam disertasi Ahmad­Norma Permata, 

Islamist Party and Democratic Participation: Prosperous Justice Party (PKS) in Indonesia 1998­2006. 

(23)

Tokoh­tokoh   itu   secara   tidak   langsung   mengembangkan   “feodalisme   politik”   yang menyebabkan   tersumbatnya   demokrasi   di   tubuh   partai­partai   Islam   itu.   Untuk mengukuhkan dan mempertahankan kekuasaanya, para tokoh partai Islam tidak jarang menggunakan cara “pseudo demokrasi” dalam memilih para pemimpinnya yang baru. Akibatnya,   politik   aklamasi   dan   aklamasi   politik   yang   sebetulnya   jauh   dari   hakekat demokrasi, banyak terjadi dalam partai Islam dan partai­partai di Indonesia lainnya.35

Konflik internal itu juga banyak disebabkan oleh perebutan pundi­pundi kekuasaan di kalangan Partai. Konflik internal yang sering terjadi itu, bisa menjadi bahan kampanye negatif bagi partai lain dan pasti akan berdampak signifikan pada perolehan suara partai Islam ke depan.

Faktor penting lain yang menyebabkan melemahnya suara partai Islam tentu saja adalah  persoalan  korupsi  yang  saat   ini   banyak  membelit  banyak   tokoh  partai  Islam. Tertangkapnya Luthfi Hasan Ishaq yang merupakan Presiden PKS saat itu, tentu saja mempengaruhi   citra   PKS   di   mata   publik.   PKS   yang   selama   ini   tampil   dengan mencitrakan dirinya sebagai partai yang anti korupsi, wibawanya langsung runtuh pasca peristiwa itu. Meskipun sebelumnya publik sudah mendengar tentang konflik terbuka di internal mereka yang banyak diberitakan media. Kasus korupsi ini tidak hanya dialami oleh PKS, namun juga partai­partai Islam lainnya. Hampir semua partai­partai Islam mengalami masalah korupsi yang menjerat kader atau tokohnya. Publik menjadi apatis dan   mempertanyakan   komitmen   keislaman   dan   keagamaan   mereka.   Partai   Islam dianggap setali tiga uang dengan partai lain yang juga melakukan korupsi. Harus diakui, bahwa fenomena korupsi ini menjadi persoalan yang sangat serius, khususnya dalam kaitannya dengan perkembangan politik di Indonesia. Demokrasi elektoral yang berbiaya tinggi yang akhirnya melahirkan politik transaksional, memaksa dan membuat tokoh dan kader   partai   mencari   pembiayaan   sebanyak­banyaknya   agar   terpilih   kembali   menjadi anggota   DPR,   menjadi   kepala   daerah,   atau   untuk   membiayai   operasional   partai. Akibatnya,   mereka   banyak   menghalalkan   segala   cara   agar   kebutuhan­kebutuhan   itu terpenuhi. 

Di   samping   itu,   tentu   ada   tokoh   partai   dan   aktivis   partai   yang   justru

(24)

memanfaatkan fenomena politik traksaksional ini untuk kepentingan dirinya. Riset dari Pramono Anung Wibowo menunjukkan betapa mahalnya biaya politik di negara ini.36

Berkaitan dengan itu, partai­partai Islam seharusnya harus segera melakukan reposisi diri, jangan sampai mereka teriak tentang pentingnya menegakkan nilai­nilai Islam, namun di belakang mereka getol melakukan praktek korupsi yang jelas bertentangan dengan nilai Islam.

Tantangan   lain   yang   menyebabkan   menurunnya   suara   partai   Islam   adalah pendirian sayap­sayap Islam dalam partai­partai nasionalis seperti di PDIP, Golkar, dan Demokrat. Di antara partai nasionalis lainnya, mungkin Golkar adalah partai pertama yang melakukannya. Karena sebelum era reformasi, partai ini telah mendirikan sayap organisasi   Islam   sebagai   mesin   suaranya,   seperti   pendirian   Satkar   Ulama,   kelompok pengajian Al­Hidayah, dan MDI (Majelis Dakwah Islamiyah). Dan proses santrinisasi atau Islamisasi di Golkar ini tambah menguat ketika Akbar Tanjung (Mantan Ketua Umum   PB   HMI)   menjadi   Ketua   Umum   Partai   Golkar   pada   tahun   1998   yang   juga membawa gerbong HMI dan aktivis Islam lainnya.37  PDIP dengan Baitul Musliminnya,

Demokrat dengan Majelis Dzikir SBY, dan Gerindra dengan GEMIRA (Gerakan Muslim Indonesia   Raya)   adalah   fenomena   baru   dalam   perpolitikan   Indonesia.   Tantangan   itu bertambah nyata karena banyak tokoh­tokoh Islam dan mantan aktivis organisasi Islam yang masuk dalam sayap­sayap Islam partai nasionalis itu. Bahkan, saat ini banyak juga tokoh Muhammadiyah, NU, dan HMI yang menjadi pimpinan teras dalam partai­partai nasionalis. Pendirian sayap Islam dalam partai­partai nasionalis ini, menjadi tantangan tersendiri bagi partai Islam. Hal itu menjadikan kita susah membedakan apakah ada partai yang   benar­benar   nasionalis   atau   benar­   benar   Islam.   Karena   hampir   semua   partai

36 Pramono Anung Wibowo, Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi: Potret Komunikasi Politik  Legislator­ Konstituen, Jakarta: Kompas, 2013. Menurut Promono Anung, bagi seorang calon anggota  legislatif, paling tidak diperlukan biaya minimal sekitar Rp 1,2 miliar guna melancarkan jalannya ke  Senayan. Angka ini juga terus meningkat dari Pemilu ke Pemilu, misalnya dari Rp 800 juta pada Pemilu  2009 bisa menjadi Rp 1,2 miliar pada Pemiu 2019. Secara garis besar, dana yang dibutuhkan oleh kandidat  adalah sebagai berikut: Rp 250­800 juta bagi kalangan artis, olahragawan, tokoh agama; Rp 600 juta­ 1  miliar bagi aktivis dan aktivis partai; Rp 1­2 miliar untuk birokrat, pensiunan TNI/Polri, Rp 1,5­6 miliar  untuk pengusaha dan profesional (MajalahTempo, Edisi 5 Mei 2013). 

(25)

berusaha mengakomodir dan memperjuangkan aspirasi Islam dan umat Islam. 

BAB IV

KESIMPULAN

Makalah ini telah berupaya mendiskusikan secara panjang lebar tentang performa partai Islam dari waktu ke waktu. Menurunnya performa dan terus susutnya suara partai Islam   itu   ternyata   disebabkan   berbagai   problem   mendasar   yang   membutuhkan penyikapan   segera.   Problem­problem   itu   bisa   berhenti   menjadi   problem   yang   tidak terselesaikan,   namun   bisa   juga   dijadikan   tantangan   agar   partai­partai   Islam   bisa melangkah  maju  ke depan.  Jika  dijadikan  tantangan,  maka  partai­partai  Islam  masih mungkin bangkit kembali guna ikut berpartisipasi secara aktif dalam proses politik dan perubahan sosial di Indonesia. 

(26)

aktivisnya.

Karena beberapa hal itulah maka partai politik Islam mempunyai tujuan untuk membentuk   pemerintahan   Indonesia   yang   berdasarkan   ajaran   Islam   yang   kafaah. Sehingga   segala   kebijakan   yang   bersangkutan   dengan   negara   dan   masyarakat diselesaikan secara musyawarah yang merupakan identitas dan perintah Allah dalam al­ Qur’an. Sebanarnya Islam merupakan ajaran yang komprehensif dimana didalamnya juga mengatur banyak hal tentang, ubudiyah, kemaslahatan umat (pranata sosial), serta untuk tentang prinsip­prinsip kenegaraan.

Dengan demikian, keberadaan Islam akan dapat memberi arti bagi pertumbuhan bangsa, paling tidak bagi pemeluknya, atau dengan istilah al­Qur’an adalah rahmatan li al­alamin.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU : 

Noer, Deliar, "Islam dan Politik: Mayoritas dalam Minoritas" dalam Prisma, No.5 Thn.  XVII, 1988, hlm.3.

BN, Marbun, Kamus Politik, Jakarta : Pustaka Sinar harapan, 2004, hlm 402

Budiarjo, Miriam, Dasar­dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, cet­XIX, 1993, hlm 160 Cipto, Bambang Prospek dan Tantangan Partai Politik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,  1996, hlm 7

Umar, Musni, Islam dan Demokrasi di Indonesia: Kemenangan Abangan dan Sekuler

(Jakarta: INSED 2004), 112-113.

R.Lukiswara, Yeni dan Sumarno Pengantar Study Ilmu Politik, Bandung : Citra Adtya  Bakti, 1992, hlm 62

Haricahyono, Cheppy Ilmu Politik Dan Perspektifnya, Yogyakarta : Tiara Wacana  Yogya, 1991, hlm 192.

Taimiyah, Ibnu, al­Siyasash al­Syar’iyyah, Kairo: Dar al­Kutub al­'Arabi, 1952, hlm.  174. 

(27)

disunting oleh Muhammad Abdurrahman Ibnu Qasim, Riyadh: Matabi’ al­Riyadh, 1963,  hlm. 62. 

Rais, Amin, Cakrawala Islam, hlm. 52; Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah  Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, hlm. 139­140 

Hanbal, bin Ahmad, Musnad, jilid III, hlm 20

Mahmudi Isma’il, Nur, M. SC, Memilih Partai (visi, misi dan persepsi), Jakarta : Gema  Insani Press, 1998, hlm. 34

Rais, Amin, Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 50­  51.

Noer, Deliar, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta : Rajawali, 1983, hlm 209 Undang­ Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2002 “Tentang Partai Politik”,  Yogyakarta, 2003, hlm 8

Baswedan, Anies Rasyid, ‘Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory’, 

Asian Survey, Vol. 44, No. 5 (Sep­Oct 2004), hal. 669­690.

Fealy, Greg, ‘Divided Majority, Limits of Indonesian Political Islam’, dalam Shahram  Akbarzadeh dan Abdullah Saeed (editors), Islam and Political Legitimacy, London and  New York: RoutledgeCurzon, 2003, hal. 150­ 168.

Tanuwidjaya, Sunny, ‘Political Islam and Islamic Parties in Indonesia: Critically  Assessing the Evidence of Islam’s Political Decline’,Contemporary Southeast Asia: A  Journal of International and Strategis Affairs, Volume 32, Number 1, April 2010, hal.  29­49.

Bush, Robin, ‘Regional Sharia Regulations in Indonesia: Anomaly or Sympton?’, in G.  Fealy and S. White (eds.), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia, 

Singapore: ISEAS, 2008, hal. 174­191.

ARTIKEL DAN JURNAL :

Azra, Azyumardi, ‘Political Islam in Post­Soeharto Era’, dalam Virginia Hooker dan  Amin Saikal (editors), Islamic Perspectives on the New Millenium, Singapore: ISEAS,  2004

(28)

Porter, Donald J., Managing Politics and Islam in Indonesia, London and New York:  RoutledgeCurzon, 2002

Liddle, R. William, ‘Indonesia in 1999: Democracy Restored’, Asian Survey, Vol. 40,  No. 1, A Survey of Asia in 1999 (Jan.­Feb., 2000)

Azra, Azyumardi, Islam, Indonesia, and Democracy, Jakarta: ICIP & Equinox  Publishing, 2006

Sukma, Rizal, Islam in Indonesian Foreign Policy, London and New York:  RoultedgeCurzon Publishing, 2003.

Priamarizki, Adhi, ‘Indonesia’s National Elections: Islamic Parties at the Crossroads’, 

RISS Commentaries, No. 005/2013 dated 9 January 2013

Assyaukanie, Luthfi, ‘The Rise of Religious Bylwas in Indonesia’, RSIS Commentaries, 

29 Maret 2007.

Eliraz, Giora, Islam and Polity in Indonesia: An Intriguing Case Study, Research 

Monographs on the Muslim World, Series No 1, Paper No 5, February 2007, Washington DC: Hudson Institute, 2007

Platzdasch, Berhard, Islamism in Indonesia: Politics in the Emerging Democracy, 

Singapore: ISEAS, 2009.

Permata, Ahmad­Norma, Islamist Party and Democratic Participation: Prosperous  Justice Party (PKS) in Indonesia 1998­2006. PhD Dissertation, University of Münster,  2008.

Muhtadi, Burhanuddin, Dilema PKS: Suara dan Syariah, Jakarta: KPG, 2012.

Fanani, Ahmad Fuad, ‘Politik “Aklamasi” dan Pragmatisme Politik’, Kompas, 17 Mei  2005

Wibowo, Pramono Anung, Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi: Potret  Komunikasi Politik Legislator­Konstituen, Jakarta: Kompas, 2013.

WEBSITE :

KPU (Komisi Pemilihan Umum), http://www.kpu.go.id/suara/ hasilsuara_dpr_sah.php,  akses 10 Januari, 2015.

“Islam dan Politik”, Nahdatul Ulama, accessed September 27, 2014 

Referensi

Dokumen terkait

apakah masih ada ramuan herbal untuk ayah saya yang terkena gagal ginjal dengan ureum lebih dari 200 dan kreatinin 26 lebih.. sedangkan ayah saya msh bertahan tanpa cuci

Pada langkah ini guru diharapkan unutk menyampaikan apakah yang menjadi Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran yang akan diajarkan. Dengan

Pembahasan dapat dilaksanakan apabila temuan dari penelitian sudah dirumuskan, pembahasan penelitian ini berkaitan dengan “ Pengelolaan Bengkel Teknik Mekatronika SMK Negeri

Seiring dengan peningkatan peranan Poktan, Pemda dan LSM, pendapatan petani, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan kesempatan kerja merupakan tujuan yang harus terpenuhi

Pemasangan Dynamic Voltage Restorer dapat memperbaiki kedip tegangan yang terjadi pada saat starting motor induksi tiga fasa. Ketika melakukan starting motor

Penerimaan diri ibu dari anak autis adalah sikap positif yang.. dimiliki oleh seorang ibu dalam menerima keadaan diri

Bila dibandingkan dengan daya serap arang aktif terhadap benzena komersial sebesar 25,50% maka daya serap arang aktif terhadap benzena yang dihasilkan memiliki nilai yang lebih

Begitu pula halnya dengan prasarana wilayah yang kurang mendukung berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hudaya (2009) mengenai identifikasi peranan