PARTAI POLITIK ISLAM : MASALAH DAN
TANTANGAN PARTAI POLITIK ISLAM PADA
SAAT INI
Disusun oleh:
Ahmad Idham
N
IM : 0801513032
HI 13 A
Program Studi Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Al-Azhar Indonesia
Jakarta
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Dimana, makalah ini dibuat untuk memenuhi persyaratan Ujian Akhir Semester dalam mata kuliah Sistem Sosial dan Politik Indonesia. Dimana bahan atau sumbersumber yang saya dapatkan atau diperoleh, berasal dari sumbersumber yang baik dan terpercaya. Baik dari buku, referensi, media massa, hingga website. Sehingga kualitas makalah ini sesuai dengan standar penulisan ilmiah.
Saya mengakui bahwa saya adalah manusia yang mempunyai keterbatasan dalam berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat sempurna. Begitu pula dengan tugas ini. Sehingga saya berharap untuk kritikan dan saran yang membangun terhadap makalah ini. Dan penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Prof. Dr. Yahya A. Muhaimin dan Bapak Dr. Ujang Komarudin, M.Si selaku dosen mata kuliah Sistem Sosial dan Politik Indonesia yang selalu memberikan bimbingan serta bantuan terhadap makalah ini. Akhir kata, Penulis berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat dan berguna bagi para pembaca makalah ini. sekian dan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Hormat Saya,
Ahmad Idham
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN...i
KATA PENGANTAR...1
DAFTAR ISI...2
BAB I – PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...3
1.2 Rumusan Masalah...4
1.3 Tujuan Pembahasan...4
1.4 Manfaat Pembahasan...4
1.5 Sistematika Penulisan...5
BAB II - KERANGKA PEMIKIRAN...6
BAB III – ISI PEMBAHASAN 3.1 Definisi Partai Politik dan Partai Politik Islam...7
3.2 Landasan Filosofis Berdirinya Partai Politik Islam...9
3.3 Partai Politik Islam Pada Saat Ini...13
BAB IV - KESIMPULAN...24
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pemilihan umum di Indonesia yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1955, sampai masa orde baru serta reformasi saat ini menunjukkan bahwa partai-partai politik islam tidak pernah berhasil memenangkan pemilu. Kita bisa lihat kembali sejak pemilu 1955, partai politik Islam yang diwakili partai Masyumi, partai NU, PSII, PERTI, dan PPTI hanya berhasil mengantungi dukungan suara 43,5 persen. Dalam pemilu 1999 yang bersifat multi partai dan demokratis, partai politik Islam yaitu PPP, PBB, Partai Keadilan, PNU, PKU, PSII dan PP kembali mengalami kekalahan dan hanya mampu mengumpulkan dukungan suara sebesar 18,8 persen. Perolehan suara tersebut menurun dibandingkan hasil pemilu 1955, di mana terdapat penurunan suara yang begitu signifikan sebesar 25,32 persen. Kalau digabung perolehan suara dua partai yang berbasis massa Islam yaitu PKB dan PAN yang tidak mendasarkan asasnya pada Islam, yang memperoleh dukungan suara sebesar 18,8 persen, maka keseluruhan perolehan suara parpol Islam dan parpol berbasis massa Islam pada pemilu 1999, hanya 37,19 persen, yang berarti terjadi penurunan perolehan suara sebesar 6,31 persen dibanding hasil pemilu 1955.1
Seringnya kekalahan-kekalahan yang dialami partai-partai politik Islam tersebut bisa disebabkan karena beberapa faktor, diantara banyak faktor tersebut, terdapat salah satu faktor utama yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal dapat meliputi internal partai politik islam itu sendiri maupun internal umat islam. Kelemahan internal partai politik islam salah satunya adalah kepemimpinan dan manajemen. Parpol Islam dapat dikatakan agak lemah dalam manajemen konflik, sehingga selalu dirundung perpecahan. Pada hal sumber perpecahan umumnya bukan dari hal-hal yang bersifat perinsipil, tetapi hanya konflik kepentingan seperti persaingan antar tokoh dalam
memperebutkan posisi puncak di partai misalnya dalam muktamar atau kongres seorang kandidat kalah dalam pemilihan ketua umum, kemudian yang kalah disingkirkan lalu mendirikan partai baru dengan membawa gerbong pendukungnya. Kondisi semacam ini melemahkan Parpol Islam, kendatipun dialami juga parpol-parpol sekuler. Pada hal konflik merupakan dinamika yang tidak mungkin dicegah, tetapi yang terpenting bagaimana mengelola konflik supaya berbagai perbedaan serta konflik kepentingan tetap dapat dipersatukan.2
Sehubungan dengan tema yang diangkat makalah ini tentang Partai Politik Islam : Masalah dan Tantangan Partai Politik Islam Pada Saat Ini. Artikel ini berusaha menjawab pertanyaanpertanyaan sebagai berikut: bagaimana sesungguhnya kondisi partai Islam? Apa saja problemproblem yang dihadapi partai Islam? Langkah strategis seperti apa yang harus dilakukan agar partai Islam tidak semakin terpuruk? Artikel ini menunjukkan bahwa ada problem internal dan eksternal dalam partai Islam yang harus segera dijawab jika partaipartai Islam ingin segera merumuskan jalan barunya.
1.2. Rumusan Masalah
1.Apa masalah dan tantangan partai politik islam pada saat ini?
1.3. Tujuan Pembahasan
1. Untuk memahami apa saja masalah dan tantangan partai politik islam pada saat ini
1.4. Manfaat Penulisan
Pembaca diharapkan dapat mendapat wawasan dan pengetahuan yang lebih ketika membaca makalah yang berjudul Partai Politik Islam : Masalah dan Tantangan Partai Politik Islam Pada Saat Ini. dan tentang bagaimana dan apa saja masalah serta tantangan partai politik islam pada saat ini
1.5. Sistematika Penulisan
BAB I
Berisikan tentang latar belakang masalah yang terdapat dalam Partai Politik Islam : Masalah dan Tantangan Partai Politik Islam Pada Saat Ini. Beserta rumusan masalah, tujuan pembahasan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan yang akan dijelaskan secara rinci dan teratur.
BAB II
Berisikan kerangka pemikiran sebagai pembuka sebelum memasuki isi dari makalah
BAB III
Berisikan Isi / Pembahasan dari makalah ini yang membahas tentang pengertian atau definisi Partai Politik dan Politik Islam, Landasan Filosofis Berdirinya Partai Politik Islam, Dan Partai Politik Islam Pada Saat Ini berserta contoh kasus.
BAB IV
BAB II
2.1. Kerangka Pemikiran
Munculnya partaipartai islam di Indonesia disinyalir sebagai bentuk dari keinginan formaliasi islam di Indonesia. Wawasan politik kaum awam yang masih bercorak paternalistik di satu pihak, serta kepentingan melihat politik sebagai pemenuhan kebutuhan sesaat di pihak lain, merupakan kendala yang tidak kecil. Soal politik bukan sekadar soal menyalurkan aspirasi untuk menegakkan kepemimpinan negara (imamah) semata, tapi soal menata kehidupan secara lebih maslahat bagi umat.3
Penelusuran terhadap sejarah perpolitikan di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai cara sehingga dapat digunakan untuk mengungkap perjalanan perubahan sistem politik umat Islam di Indonesia. Berpikir secara dialektis akan terlihat perjalanan sejarah sebagai sesuatu yang mapan dan mendapat reaksi hingga pada akhirnya melahirkan sintesa baru. Pendekatan ini tentu dapat digunakan untuk mengamati perjalanan sejarah partai politik Islam dan politik di Indonesia sebagai umat mayoritas yang memeluk agama Islam. Keberadaan umat Islam di negara ini sering menjadi bahan pembicaraan dan peranannya pun mengalami pasang surut. Ia pasang hampir pada setiap permulaan babak baru, tetapi pada umumnya kemudian surut.4
Islam sebagai salah satu agama yang dianut oleh banyak rakyat Indonesia memainkan peranan penting dalam perpolitikan di Indonesia. Tetapi, banyaknya parpol parpol islam di Indonesia memberikan banyak masalah dan tantangan yang dihadapi oleh parpolparpol islam tersebut.
Tulisan ini bertujuan membicarakan partai politik Islam pada pentas politik di Indonesia. Untuk mempermudah, penulis mencoba membahas tiga pembahasan, yakni Definisi Partai Politik dan Partai Politik Islam, Landasan Filosofis Berdirinya Partai Politik Islam, dan Partai Politik Islam Pada Saat Ini.
3 “Islam dan Politik”, Nahdatul Ulama, accessed September 27, 2014 http://www.nu.or.id/a,public m,dinamics,detailids,6id,50799lang,idc,taushiyaht,Islam+dan+Politik.phpx
BAB III
3.1. Definisi Partai Poltik dan Partai Politik Islam
Definisi Partai Politik
Partai adalah perkumpulan (segolongan orang) yang seazas, sehaluan, dan setujuan terutama dibidang politik.5 Miriam Budiardjo berpendapat bahwa secara umum
dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggotaanggotanya mempunyai orientasi, nilainilai dan citacita yang sama, yakni yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijaksanaan–kebijaksanaan mereka.6
Lain halnya dengan Bambang Cipto yang mempunyai pandangan bahwa partai politik merupakan peralihan jangka panjang dari istilah fraksi yang jauh lebih tua umurnya, sifat peralihan ini menyebabkan proses pengakuan masyarakat politik terhadap keberadaan partai penuh dengan kesukaran dan rintangan.7
Menurut Sumarno dan Yeni Lukiswara, Partai Politik merupakan sekelompok manusia yang mengorganisir dirinya dalam bentuk organisasi politik yang didasarkan pada suatu ideologi, dengan maksud untuk memperoleh atau merebut suatu kekuasaan didalam pemerintah. Jadi partai politik merupakan perantara yang menghubungkan kekuatankekuatan ideologi sosial dengan lembaga pemerintah.8
Definisi lainnya dikemukakan oleh Cheppy Haricahyono, dalam bukunya “ilmu politik dan perspektifnya” mengatakan bahwa partai politik adalah sekelompok manusia yang secara bersamasama menyetujui prinsipprinsip tertentu untuk mengabdi dan melindungi kepntingan nasional.9
5 Marbun. BN, Kamus Politik, Jakarta : Pustaka Sinar harapan, 2004, hlm 402
6 Miriam Budiarjo, Dasardasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, cetXIX, 1993, hlm 160
7Bambang Cipto, Prospek dan Tantangan Partai Politik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, hlm 7
8 Sumarno dan Yeni R.Lukiswara, Pengantar Study Ilmu Politik, Bandung : Citra Adtya Bakti, 1992, hlm 62
Sedangkan menurut Deliar Noer, Partai politik merupakan himpunan orangorang yang seideologi atau tempat/wadah penyaringan dan pembulatan, serta tempat berkumpulnya orang – orang yang seide, citacita dan kepentingan.10
Jadi partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan citacita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara, melalui pemilihan umum.11
Definisi Partai Politik Islam
Dari berbagai pengertian tentang partai politik maka dapat diketahui bahwa “partai politik Islam” yang penulis maksudkan adalah suatu kelompok orangorang Islam yang terorganisir dalam suatu wadah organisasi yang meletakkan Islam (Qur’an dan Hadits ) sebagai dasar dan garis perjuangannya untuk menyampaikan aspirasi, maupun ide dan citacita umat Islam dalam suatu negara.
Atau dapat dikatakan bahwa “partai Islam” merupakan sekelompok orang yang beragama Islam kemudian membentuk sebuah organisasi politik, yang yang mempunyai ciriciri sebagai berikut:
a. Partai yang menggunakan Islam (Qur’an, Sunah Rasul dan Syari’ah) sebagai azas dalam menentukan vissi dan mssi perjuangan partai.
b. Partai yang menggunakan Islam (Qur’an, Sunah Rasul dan Syari’ah) sebagai landasan untuk kemantapan perjuangan partai
c. Partai yang menggunakan Islam sebagai dasar ideologi dalam pembentukan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai.
192.
10 Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta : Rajawali, 1983, hlm 209
d. Partai yang mempunyai program perjuangan untuk Islam, umat Islam, serta kemaslahatan umat, baik lewat jalur parlementer maupun ekstra parlementer.
e. Partai mempunyai mempunyai basis pendukung, kader, dan partisan yang keseluruhannya beragama Islam.
Ciri diatas merupakan cirikhas partai politik Islam dan yang termasuk kategori partai Islam adalah partai Masyumi, Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan masih banyak lagi
3.2. Landasan Filosofis Berdirinya Partai Politik Islam
Partai Politik Islam Sebagai Sebuah Dasar
Berdasarkan kajian terhadap sumber ajaran Islam alQur’an dan sunnah, setiap muslim meyakini bahwa kedua sumber ajaran tersebut memberikan skema kehidupan (the scheme of life) yang sangat jelas. Skema kehidupan ini bermakna bahwa masyarakat yang harus dibangun oleh setiap muslim adalah masyarakat yang tunduk pada kehendak Ilahi, sehingga klasifikasinya tentang nilai baik dan buruk harus dijadikan kriteria atau landasan etis dan moral bagi pengembangan seluruh dimensi kehidupan.12 Karenanya
pembumian nilainilai Islami merupakan suatu tuntutan terhadap umat Islam. Agaknya akan lebih memperjelas masalah dengan mengutip ungkapan yang ditulis oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya Wither Islam, bahwa bukan hanya a system of theology, lebih dari itu. Islam merupakan a complete civilization. Dengan nada yang konfirmatif Nasir mengatakan bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dari seluruh dimensi kehidupan.13
Islam tidak memisahkan persoalanpersoalan rohani dengan persoalan persoalan dunia, melainkan mencakup kedua segi ini. Hukum Islam (syariat) mengatur keduanya, hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesamanya.
12 Amin Rais, Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 50 51.
Menyadari akan hal ini, umat Islam memerlukan kekuasaan politik sebagai instrumen yang vital bagi pelaksanaan nilainilai Islami. Dalam kitabnya alSiyasah alSyar’iyyah,
Ibnu Taimiyah mengungkapkan bahwa nilai (organisasi politik) bagi kehidupan kolektif manusia merupakan keperluan agama yang terpenting. Tanpa tumpangannya, agama tidak akan tegak dengan kokoh.14
Muhammad Asad berpendapat bahwa suatu negara dapat menjadi benar benar Islami hanyalah dengan keharusan pelaksanaan yang sadar dari ajaran Islam terhadap kehidupan bangsa, dan dengan jalan menyatukan ajaran itu ke dalam undang undang negara. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara Islam apabila ajaran Islam tentang sosiopolitik dilaksanakan dalam kehidupan rakyat berdasarkan konstitusi.15
Untuk mewujudkan cita cita itu memerlukan perjuangan dan perjalanan yang panjang. Ini telah dilakukan oleh umat Islam Indonesia. Sebab disadari sekali bahwa perjuangan melawan segala bentuk kezaliman merupakan suatu hal yang harus dilaksanakan oleh umat Islam. Prinsip ini diyakini benar oleh umat Islam sehingga jika tidak dilaksanakan atau tidak tercapai maka mustahil pelaksanaan ajaran Islam secara benar akan dapat diterapkan dengan baik. Oleh karena itu sangat wajar sekali bila dikatakan umat Islam Indonesia dikenal sebagai penantangpenantang gigih terhadap segala bentuk imperialisme.
Para pemimpin umat Islam yang tergabung dalam berbagai partai politik membangun semangat kebangsaan yang tetap dilandasi benang merah Islam. Warna perjuangan dalam membentuk suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat, tentu tidak harus terhenti setelah bebasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Sebagai suatu bangsa yang majemuk—bukan hanya dalam bentuk perbedaan suku dan adat namun yang lebih serius adalah pada dataran perbedaan keyakinan dan agama—tentu menimbulkan berbagai perbedaan kehendak dalam mewarnai bangsa dan negara ini. Akibatnya yang
14 Ibnu Taimiyah, alSiyasash alSyar’iyyah, Kairo: Dar alKutub al'Arabi, 1952, hlm. 174. Lihat juga Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Syaykh alIslam Ahmad Ibnu Taimiyah, Jilid XXVIII, disunting oleh Muhammad Abdurrahman Ibnu Qasim, Riyadh: Matabi’ alRiyadh, 1963, hlm. 62.
15 Amin Rais, Cakrawala Islam..., hlm. 52; Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan,
tidak dapat dihindarkan tentu munculnya berbagai pergumulan antara sesama anak bangsa yang dilatarbelakangi perbedaan agama. Bagi umat Islam, negara yang ingin dibentuk tentu berdasarkan ajaran Islam, dengan jalan menyatukan ajaran itu ke dalam konstitusi negara. Inilah tema sentral yang diperjuangkan oleh para pemimpin Islam di Indonesia yang pertama ketika menjelang proklamasi dan yang kedua pada masa kemerdekaan.
Berakhirnya masa penjajahan dengan diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, menuntut para pemimpin bangsa bekerja keras untuk menata dan memberikan wajah baru bagi Republik ini. Isu yang paling asasi ialah menetapkan Dasar Negara. Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia melalui para pemimpin berupaya konsisten terhadap identitas mereka dengan memperjuangkan agar nilainilai Islam termaksud dalam konstitusi negara.
Landasan Filosofis Berdirinya Partai Politik Islam di Indonesia
Teori politik Islam harus bertolak dari kaidahkaidah umum, yakni kebebasan, kesetaraan, keadilan dan supremasi hukum juga konsistensi terhadap prinsip pemilihan pemimpin, bahwa pemerintah adalah pelaksana hukum dan perundangundangan, pelindung agama dan bertanggung jawab kepada rakyat. Diantara hak rakyat adalah memberi nasehat, mengevaluasi memecat dan menggantinya jika diperlukan. Sistem politik harus harus tegak diatas prinsip syuro, dan syuro menjadi sesuatu yang harus di tegakkan oleh penguasa.
Sistem politik Islam harus memuat persepsi yang jelas tentang kebebasan politik, aktifitas politik, partai politik, kritik politik, kebebasan pers, kedudukan wanita, sistem sosial, ekonomi, pemerataan, kelayakan, independensi peradilan.16
Jika demikian maka perlu juga diketahui beberapa hal yang menjadi landasan filosofis berdirinya partai Islam, yaitu :
a. Kenyataan bahwa manusia sebagai khalifah di bumi yaitu: memelihara, mengatur dan memakmurkan bumi yang merupakan aktifitas politik yang paling otentik.
b. Universalitas Islam telah menjadi inti pemhaman kaum muslimin terhadap konsep konsep islam dalam seluruh dimensinya. “islam adalah sistem hidup yang universal, mencakup seluruh aspek, Islam adalah negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan, rahmat dn keadilan, kebudayaan dan perundang undangan, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, usaha dan kekayaan, jihad dan dakwah, tentara dan fikroh, akidah yang lurus dan ibadah yang benarbenar keuniversalan itu sebagai inti dan pokokpokok ajaran islam yang bernilai perintah kepada kaum muslimin untuk diterapkan secara utuh. Islam adalaha suatu tata hidup yang meliputi agama, politik, negara, dan masyarakat.17
Selain itu sistim Politik apabila dikaitkan dengan negara maka sistim politik adalah sebuah konsep yang diterapkan pada situasi konkrit seperti negara. Menurut Miriam Budiarjo sistim politik ini berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup dan mencapai tujuan dari masyarakat.18
Salah satu aspek penting dalam sistim politik adalah budaya politik (Political culture) yang mencerminkan faktor subyektif. Budaya politik adalah keselurusan dari pandanganpandangan politik, seperti; normanorma, pola orientasi terhadap politik dan pandangan hidup pada umumnya.
Bentuk dari budaya politik dalam suatu masyarakat politik di pengaruhi antara lain oleh sejarah perkembangan dari sistim, oleh agama yang terdapat dalam masyarakat itu, kesukuan, status sosial, konsep mengenai kekuasaan, kepemimpinan dan sebagainya. Umumnya dianggap bahwa dalam sistim politik terdapat empat variabel:
1. Kekuasaan ; sebagai cara untuk mencapai hal yang diinginkan antara lain membagi sumbersumber di antara kelompokkelompok dalam masyarakat. 2. Kepentingan ; tujuantujuan yang dikejar oleh pelakupelaku atau kelompok
politik.
3. Kebijaksanaan ; hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan, biasanya
17 Nur Mahmudi Isma’il, M. SC, Memilih Partai (visi, misi dan persepsi), Jakarta : Gema Insani Press, 1998, hlm. 34
dalam bentuk perundangundangan
4. Budaya politik ; orientasi subyektif dari individu terhadap sistim politik.19
Karena beberapa hal itulah maka partai politik Islam mempunyai tujuan untuk membentuk pemerintahan Indonesia yang berdasarkan ajaran Islam yang kafaah. Sehingga segala kebijakan yang bersangkutan dengan negara dan masyarakat diselesaikan secara musyawarah yang merupakan identitas dan perintah Allah dalam al Qur’an. Sebanarnya Islam merupakan ajaran yang komprehensif dimana didalamnya juga mengatur banyak hal tentang, ubudiyah, kemaslahatan umat (pranata sosial), serta untuk tentang prinsipprinsip kenegaraan.
Kendati demikian, kelemahan dari partai politik Islam terletak pada tingkat organisasi, selain itu Deliar Noer dalam penelitiannya berasumsi bahwa ciri partai negara berkembang pada umumnya tidak kompetitif dan cenderung pada popularitas tokoh (publik figure).
3.3 Partai Politik Islam Pada Saat Ini
Kebangkitan Partai Politik Islam Pada Pemilihan Umum (PEMILU)
Diskusi tentang partai Islam hari ini tentu tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan politik umat Islam di Indonesia terutama pasca reformasi. Turunnya Soeharto pada tahun 1998 memberikan harapan baru bagi umat Islam Indonesia untuk bisa memperoleh ruang politik yang lebih besar. Pada era Habibie yang menggantikan Soeharto, umat Islam berusaha memaksimalkan kondisi sosial politik yang ada. Pada saat yang bersamaan, Habibie mengeluarkan kebijakankebijakan politik yang mendukung proses transisi menuju demokrasi di Indonesia. Menurut Azyumardi Azra, Habibie memberikan kontribusi yang signifikan untuk liberalisasi politik. Hal itu tampak pada kebijakannya untuk memberikan kebebasan pada para tahanan politik, mengatur kebebasan pers, menghapus kebijakan penerapan Pancasila sebagai asas tunggal, dan mengakhiri pembatasan jumlah partai politik.20 Kebijakan politik itu tentu memberikan 19 Ibid.
dampak yang berarti pada dinamika politik dan mempengaruhi pada peran umat Islam dalam percaturan politik di negeri ini.
Jika pada era Soeharto jumlah partai hanya dibatasi menjadi 3 (tiga), maka pasca reformasi partai tumbuh bak cendawan di musim hujan. Hampir semua politisi memanfaatkan euphoria reformasi ini dengan mendirikan partai politik baru. Dan organisasi sosial keagaman seperti NU dan Muhammadiyah yang sebelumnya lebih fokus pada kegiatan dakwah dan pendidikan, juga tak ketinggalan ikut mendukung dan mensponsori pendirian partai baru. Yang menarik, hampir sepertiga dari jumlah total partai yang berdiri dan lolos sebagai peserta pemilu tahun 1999 itu, terdiri dari partai partai Islam. Partai Islam berjumlah 42 dari total partai yang mendaftar Pemilu. Yang dikategorikan sebagai partai Islam adalah partai yang beraskan Islam seperti PBB (Partai Bulan Bintang), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PK (Partai Keadilan), Partai Masyumi, PUI (Partai Umat Islam), dan sebagainya. Sebagian partai berasaskan Pancasila, namun berbasiskan pada organisasi Islam, seperti PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan PAN (Partai Amanat Nasional).21 Dari 42 partai Islam yang mendaftarkan
diri, hanya 20 partai Islam yang lolos ikut Pemilu 1999. Yang patut dicatat, inilah era di mana umat Islam benarbenar bisa mengekspresikan aspirasinya secara formal setelah hampir selama 4 dekade (19591998) kehendak berpolitiknya melalui jalur formal partai politik dibelenggu oleh rezim.
Selain ditandai dengan lahirnya partaipartai Islam, era reformasi yang dimulai dari kepemimpinan Habibie juga ditandai dengan tumbuhnya berbagai organisasi Islam radikal di Indonesia. Banyak organisasi radikal Islam yang tumbuh memanfaatkan
(editors), Islamic Perspectives on the New Millenium, Singapore: ISEAS, 2004, hal. 140141.
21 Anies Rasyid Baswedan, ‘Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory’, Asian Survey, Vol. 44, No. 5 (SepOct 2004), hal. 672674. Greg Fealy secara garis besar membagi Partai Islam menjadi dua: pertama, pluralist Islamic parties (Partai Islam Pluralis) yang beraskan Pancasila namun menampilkan identitas Islamdan berbasis pada massa Islam seperti PKB dan PAN. Yang kedua, Islamist parties (Partai Islamis), yaitu partai yang beraskan Islam dan mendukung ideide formalisasi syariat Islam dan
peluang kebijakan rezim ini yang memberikan kesempatan luas bagi masyarakat untuk mendirikan organisasi, baik berbasis sentimen keagamaan, etnis, profesi, maupun hobi. Organisasi radikal Islam menjadi tantangan yang serius bagi transisi demokrasi di Indonesia. Meskipun keberadaan organisasi radikal ini merupakan konsekuensi logis dari demokrasi dan mereka berhak memanfaatkan proses demokrasi, namun organisasi organisasi ini banyak digunakan untuk mencapai tujuantujuan yang tidak demokratis. Tujuan tidak demokratis itu misalnya keinginan untuk mendirikan negara Islam, pemaksaaan pendapat dan paham keagamaannya, intimidasi terhadap kelompok lain, atau keinginan untuk mendirikan khilafah Islamiyah serta tidak mengakui negara yang sah. Kelompokkelompok yang dikategorikan gerakan Islam radikal ini di antaranya adalah: FPI (Front Pembela Islam), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Lasykar Jihad, Front Hizbullah, Jama’ah alIkhwan al Muslimin Indonesia, dan sebagainya.22
Meskipun partai Islam pasca reformasi tumbuh bak cendawan di musim hujan dan mereka optimis akan memenangkan Pemilu 1999. Namun, fakta di lapangan menunjukkan hasil sebaliknya. Dari total 21 Partai Islam yang lolos Pemilu, hanya 10 Partai Islam yang berhasil memperoleh minimal 1 kursi atau lebih di parlemen. Dari jumlah total semuanya, partaipartai Islam memperoleh 37 % total suara atau 172 kursi di DPR. Perinciannya adalah: PPP (58 kursi), PKB (51 kursi), PAN (34 kursi), PBB (13 kursi), PK (7 kursi), PNU (5 kursi), PP (1 kursi), PPII Masyumi(1 kursi), dan PKU (1 kursi). Hasil itu menunjukkan bahwa meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, namun partai Islam tidak mendapatkan dukungan yang signifikan dari konstituen Islam.23 Sebaliknya, partaipartai nasionalis yang diduga tidak akan
mendapatkan jumlah suara banyak, malah meraup dukungan yang signifikan. PDI Perjuangan memperoleh suara 33,7 % atau 154 kursi. Partai Golkar yang sebelumnya
22 Bahtiar Effendy, ‘Political Islam in PostSoeharto Indonesia: A Postcript’, dalam Islam and the State in Indonesia, Ohio & Singapore: Ohio University Press and ISEAS, 2003. Untuk pembahasan yang bagus mengenai gerakan radikal ini, lihat M Zaki Mubarok, Geneologi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 2008.
dianggap mengalami senjakala dan kekalahan telak, malah berhasil memperoleh 22,4 % suara atau 120 kursi di DPR.
Kegagalan partaipartai Islam untuk memenangkan Pemilu pertama di era reformasi ini, memberikan dampak yang serius pada tokoh dan pimpinan partai Islam. Harapan mereka untuk memegang tampuk kepemimpinan nasional, tampaknya akan sulit diraih. Secara garis besar, bisa dikatakan terjadi demoralisasi dalam tubuh partai Islam pasca Pemilu 1999. Namun, kondisi ini tidak berlangsung lama, Partaipartai Islam sepakat untuk berkoalisi dengan mengambil momentum terpolarisasinya dukungan politik untuk memilih Presiden antara Habibie (Partai Golkar) dan Megawati (PDIP). Dengan membentuk Poros Tengah, mereka memainkan isu dan kartu Islam dengan mengusung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Calon Presiden alternatif. Setelah melalui berbagi likaliku politik dan dinamika politik yang sangat menarik, serta pasca Pidato Pertanggungjawaban Habibie ditolak MPR, Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI ke4 pada tanggal 20 Oktober 1999.24 Sebelumnya, Akbar Tanjung terpilih menjadi
Ketua DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan M. Amien Rais terpilih menjadi Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Ketika Gus Dur terpilih menjadi Presiden, gema takbir dan shalawat Badr terdengar di gedung MPR.25 Saat itu, banyak yang menyebut
inilah kemenangan Islam dan era pemerintah Indonesia dipegang oleh para santri. Era kaum santri berkuasa itu, memberikan harapan baru pada partai Islam untuk bisa berkiprah dan mempunyai masa depan politik yang terang di Indonesia.
Era kejayaan partaipartai Islam di panggung kekuasaan itu ternyata tidak berlangsung lama. Tak lama setelah Gus Dur menjadi Presiden RI, terjadi konflik di antara para tokoh Islam dan partai Islam sendiri. Setelah konflik itu semakin memanas dan tidak bisa didamaikan, akhirnya Gus Dur diimpeach oleh MPR melalui Sidang Istimewa tahun 2001. Gerakan impeachment terhadap Gus Dur, dilakukan oleh koalisi Poros Tengah minus PKB bersama PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Jadi, sebagaimana diungkapkan oleh Azyumardi Azra, sesungguhnya naik dan turunnya Gus Dur
24 R. William Liddle, ‘Indonesia in 1999: Democracy Restored’, Asian Survey, Vol. 40, No. 1, A Survey of Asia in 1999 (Jan.Feb., 2000), hal. 3637.
sesungguhnya disponsori oleh Partai Islam dan organisasi Islam mainstream seperti NU dan Muhammadiyah.26 Naiknya Megawati sebagai Presiden Republik Indonesia ke5
dengan menggandeng Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden menunjukkan keberhasilan kembali dari Partai Islam di pentas politik nasional. Sebagaimana diungkapkan oleh Rizal Sukma, fakta politik ini menunjukkan bahwa Islam telah memainkan faktor penting dalam sistem dan suksesi politik di Indonesia pasca Soeharto. Politik Islam juga menjadi tidak mencapai angka ambang batas suara di parlemen (parliamentary threshold). Selain itu, di antara banyak partai Islam, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merupakan wajah baru dari PK (Partai Keadilan) yang memperoleh lonjakan suara luar biasa.28 Pada Pemilu tahun 2004 itu, Partai Golkar tampil sebagai pemenang dengan
memperoleh suara 21,6%, disusul PDIP 18,5%, dan Partai Demokrat 7,45%. Sedangkan jumlah total partapartai kecil lainnya adalah 17,3%.29 Meskipun pada Pemilu 2004 ini
partaipartai Islam tidak tampil sebagai pemenang, namun hampir semua kandidat Presiden dan Wakil Presiden memperhatikan sentimen dan isu Islam sebagai faktor yang penting. Hampir semua kandidat berusaha melakukan koalisi antara Islam dan Nasionalis. Jika Capresnya dari partai Islam atau kalangan Islam, maka Wapresnya dari kalangan Nasionalis, begitupun sebaliknya.
26 Azyumardi Azra, Islam, Indonesia, and Democracy, Jakarta: ICIP & Equinox Publishing, 2006, hal. 124
27 Rizal Sukma, Islam in Indonesian Foreign Policy, London and New York: RoultedgeCurzon Publishing, 2003, hal. 99100 dan 123.
28 Perincian suara Partai Islam secara garis besar di parlemen adalah sebagai berikut: PPP 11 % pada tahun 1999 dan 8 % pada 2004; PKB memperoleh 13 % pada 1999 dan 11 % pada 2004; PAN 7 % di tahun 1999 dan 6,4di 2004; PKS 1,36 % pada 1999 dan 7,34 % ada 2004; PBB 1,94 % pada 1999 dan 2,62 % pada 2004. Lihat Adhi Priamarizki, ‘Indonesia’s National Elections: Islamic Parties at the Crossroads’, RISS Commentaries, No. 005/2013 dated 9 January 2013.
Walaupun faktor Islam mempengaruhi politik Indonesia semenjak tahun 1999 hingga 2004 dan setelah itu hampir semua partai Islam masuk ke lingkaran kekuasaan sejak era Gus Dur, Megawati, dan SBY, namun hasil Pemilu tahun 2009 tidaklah seperti yang mereka harapkan. Bahkan, Pemilu tahun 2009 menjadi Pemilu yang paling menyedihkan bagi partaipartai Islam. Pada Pemilu itu, total suara partaipartai Islam adalah yang terburuk jika dibandingkan dengan Pemilu tahun 1955 (44 %) dan Pemilu setelahnya. Jika pada Pemilu 2004 mereka memperoleh 41 %, suara mereka turun drastis menjadi hanya 29,2 persen pada 2009.14 Yang lebih ironis, hanya 4 parpol Islam yang berhasil lolos parliamentary treshold (ambang batas suara di parlemen) pada Pemilu tahun 2004 itu, yaitu: PKS, PAN, PKB, dan PPP.
Kondisi ini semakin menguatkan banyak pendapat sebelumnya bahwa meskipun mayoritas bangsa Indonesia adalah Muslim, namun fakta itu tidak berkorelasi positif terhadap tingkat keterpilihan partaipartai Islam. Selain itu, ekspresi keislaman orang Indonesia yang semakin meningkat terutama pasca 1998 melalui banyak jalur seperti ekonomi, spiritualitas, budaya, dan politik sebagaimana dijelaskan oleh Greg Fealy dan Sally White, sepertinya tidak banyak berpengaruh pada perolehan suara partai Islam.30
Masalah dan Tantangan Partai Politik Islam Pada Saat Ini
Jika kita perhatikan dari rangkaian perkembangan partai Islam pasca reformasi, tampaknya selain pandangan bahwa meningkatnya Islamisasi atau santrinisasi di Indonesia yang tidak berkorelasi positif dengan peningkatan perolehan suara partaipartai Islam, ada fakta politik lain yang juga sedang terjadi. Fakta politik itu adalah bahwa meskipun Partai Islam masuk ke kekuasaan sejak Pemilu 1999 hingga 2009 kemarin, namun keberadaan mereka di pemerintahan tidak banyak menimbulkan dampak pada peningkatan suara Partaipartai Islam. Memang partai Islam ketika berkuasa
mendapatkan resources dan capital yang cukup untuk membiayai partai politik yang tidak murah. Mereka juga bisa menggunakan sumber daya negara untuk menguatkan programprogram partainya. Selain itu, jika partaipartai Islam berkuasa, diasumsikan bahwa masyarakat dan umat Islam akan lebih mendapatkan manfaat karena bisa mengakses programprogram pemerintah.
Namun, tampaknya masuknya partai Islam ke kekuasaan tidak banyak menimbulkan efek pada peningkatan suara mereka di Pemilu. Yang mereka dapatkan adalah sekedar mempertahankan perolehan suara agar tetap lolos electoral and parliamentary threshold. Kasus Partai Bulan Bintang (PBB) yang pada tahun 2004 menjadi sponsor utama pencalonan SBY dan JK, bisa diambil sebagai salah satu contoh. Pada Pemilu 2009, PBB malah mengalami penurunan suara yang signifikan dan tidak lolos ambang batas suara di parlemen. Mungkin ada faktor lain yang menyebabkan “musibah” politik ini, misalnya dicopotnya Yusril Ihza Mahendra dari kedudukannya sebagai Menteri Sekretaris Negara pada tahun 2006. Namun, secara garis besar partai Islam mengalami fenomena yang sama, yaitu turunnya suara mereka dibandingkan pada Pemilu 2004. Hanya PKS saja yang suaranya naik, namun itu sangat tidak signifikan dibandingkan lonjakan suara mereka pada tahun 2004. Dan pada Pemilu 2009, kita lihat memang semua partai politik mengalami penurunan suara yang signifikan, kecuali Partai Demokrat. Meskipun hampir semua partai politik, minus PDIP dan PBR (Partai Bintang Reformasi), waktu itu masuk ke pemerintahan, hanya Partai Demokrat yang mengalami lonjakan suara 3 kali lipat. Perolehan Partai Demokrat pada Pemilu 2004 adalah 7,45 %, pada Pemilu 2009 suara mereka naik drastis menjadi 20,85 %.
Dari situ tampak terlihat bahwa yang mendapatkan manfaaat dan berkah politik dari keberhasilan Pemerintahan SBYJK hanyalah Partai Demokrat. Koalisi partaipartai pendukungnya, termasuk Partai Golkar, sama sekali tidak mendapatkan limpahan atau kenaikan suara pada Pemilu 2009. Fenomena ini mungkin akan terulang kembali pada tahun 2014. Masuknya seluruh partai Islam dalam koalisi pendukung SBY Boedino, tidak akan berdampak signifikan bagi peroleh suara partai Islam pada Pemilu mendatang. Hal itu bisa kita lihat dari berbagai hasil survei yang saat ini banyak dirilis.
sulitnya menemukan isuisu strategis yang mereka perjuangkan dalam Pemilu. Meskipun masyarakat Indonesia beragama Islam, namun isu penegakan syariat Islam secara formal baik di level negara melalui perjuangan memasukkan Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945, atau lewat daerah melalui Perdaperda Syari’ah, nampaknya tidak banyak menarik perhatian dan dukungan publik. Bahkan, dalam amandemen UUD 1945 tahun 2002, hanya PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan Partai Bulan Bintang (PBB) yang getol mendukung usulan soal Piagam Jakarta ini.
Dan seperti yang kita ketahui, upaya memasukkan Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945 ini mengalami kegagalan. Selain tidak mendapat dukungan dari Partaipartai lain, organisasi Islam moderat di Indonesia seperti Muhammadiyah dan NU juga tidak mendukung upaya itu.31 Isu formalisasi syariat Islam ini memang masih
menjadi sesuatu yang sensitif dan tidak banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Mereka lebih meminati dan tertarik pada isu isu politik yang berkaitan langsung dengan kebutuhan mereka dan perbaikan bangsa Indonesia ke depan. Sebagai satusatunya Partai Islam yang mengalami lonjakan suara luar biasa pada Pemilu 2004, dalam kampanyenya PKS tidak memperjuangkan isu penegakan syariat Islam. Kampanye mereka dengan slogan “Bersih dan Peduli”, ternyata diminati publik dan mendapatkan momentum yang tepat. Menurut Giora Eliraz, kemenangan PKS dalam Pemilu 2004 karena mereka bisa membangun citra sebagai partai yang anti korupsi, bersih, dan peduli pada problem masyarakat. Mereka juga berusaha menampilkan diri sebagai partai Islam yang terbuka dan pluralis.32
Dalam soal isu syariat Islam ini, kita patut mendiskusikan sedikit tentang fenomena Perda Syariat yang masih marak di Indonesia pasca reformasi. Pasca kegagalan perjuangan penegakan syariat Islam di level negara melalui amandemen UUD 1945 tahun 2002, ternyata perjuangan penegakan syariat Islam tidak berhenti. Mereka berjuang di level daerah melalui kerjasama antara organisasiorganisasi Islam radikal dan partai politik. Namun, perjuangan Perda Syariat ini bukan hanya menjadi monopoli partaipartai
31 Luthi Assyaukanie, ‘The Rise of Religious Bylwas in Indonesia’, RSIS Commentaries, 29 Maret 2007.
Islam. Banyak partaipartai nasionalis seperti Partai Demokrat dan Partai Golkar yang juga mendukung penerapan Perda itu. Menurut Robin Bush yang melalukan penelitian komprehensif tentang persoalan ini, dukungan partaipartai nasionalis banyak dikaitkan dengan pragmatisme politik untuk meraih dukungan dari pemilih dalam berbagai pemilihan kepala daerah. Mereka mendukung itu karena untuk menunjukkan identitas dan keberpihakannya pada umat Islam.33 Namun, jika kita perhatikan hasil Pemilu 2009,
partaipartai Islam tidak banyak mendapatkan manfaat nyata dari dukungannya terhadap isu penegakan Syariat Islam secara formal. Dari situ nampak bahwa isu syariat Islam ternyata memang bukan hal yang strategis bagi partai Islam. Partai Islam mestinya harus memikirkan secara serius apa saja isuisu strategis yang saat ini menarik minat dan perhatian rakyat.
Menurunnya performa dan suara partai Islam tentu tidak bisa dipisahkan dari faktor perpecahan dalam tubuh partaipartai Islam. Partai partai Islam banyak mengalami perpecahan setelah salah satu pihak dikalahkan atau dicurangi pihak lainnya tubuh PKS.34 Konflik internal di kalangan partai Islam itu, sebetulnya bisa dilacak dari
terlalu dominannya tokoh tertentu dalam Partai Islam. Misalnya Amien Rais di PAN, Gus Dur di PKB, Hilmy Aminuddin di PKS, Hamzah Haz saat itu di PPP, dan sebagainya.
33 Robin Bush, ‘Regional Sharia Regulations in Indonesia: Anomaly or Sympton?’, in G. Fealy and S. White(eds.), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2008, hal. 188. Analisis yang senada juga diungkapkan oleh Berhard Platzdasch yang mengemukakan bahwa dukungan partaipartai nasionalis terhadap Perdaperda syari’ah ini didasarkan pertimbangan pragmatis untuk mendapatkan dukungan elektoral yang besar. Lihat Berhard Platzdasch, Islamism in Indonesia: Politics in the Emerging Democracy, Singapore: ISEAS, 2009, hal. 336337.
34 Penjelasan mendalam dan menarik tentang PKS bisa dibaca dalam disertasi AhmadNorma Permata,
Islamist Party and Democratic Participation: Prosperous Justice Party (PKS) in Indonesia 19982006.
Tokohtokoh itu secara tidak langsung mengembangkan “feodalisme politik” yang menyebabkan tersumbatnya demokrasi di tubuh partaipartai Islam itu. Untuk mengukuhkan dan mempertahankan kekuasaanya, para tokoh partai Islam tidak jarang menggunakan cara “pseudo demokrasi” dalam memilih para pemimpinnya yang baru. Akibatnya, politik aklamasi dan aklamasi politik yang sebetulnya jauh dari hakekat demokrasi, banyak terjadi dalam partai Islam dan partaipartai di Indonesia lainnya.35
Konflik internal itu juga banyak disebabkan oleh perebutan pundipundi kekuasaan di kalangan Partai. Konflik internal yang sering terjadi itu, bisa menjadi bahan kampanye negatif bagi partai lain dan pasti akan berdampak signifikan pada perolehan suara partai Islam ke depan.
Faktor penting lain yang menyebabkan melemahnya suara partai Islam tentu saja adalah persoalan korupsi yang saat ini banyak membelit banyak tokoh partai Islam. Tertangkapnya Luthfi Hasan Ishaq yang merupakan Presiden PKS saat itu, tentu saja mempengaruhi citra PKS di mata publik. PKS yang selama ini tampil dengan mencitrakan dirinya sebagai partai yang anti korupsi, wibawanya langsung runtuh pasca peristiwa itu. Meskipun sebelumnya publik sudah mendengar tentang konflik terbuka di internal mereka yang banyak diberitakan media. Kasus korupsi ini tidak hanya dialami oleh PKS, namun juga partaipartai Islam lainnya. Hampir semua partaipartai Islam mengalami masalah korupsi yang menjerat kader atau tokohnya. Publik menjadi apatis dan mempertanyakan komitmen keislaman dan keagamaan mereka. Partai Islam dianggap setali tiga uang dengan partai lain yang juga melakukan korupsi. Harus diakui, bahwa fenomena korupsi ini menjadi persoalan yang sangat serius, khususnya dalam kaitannya dengan perkembangan politik di Indonesia. Demokrasi elektoral yang berbiaya tinggi yang akhirnya melahirkan politik transaksional, memaksa dan membuat tokoh dan kader partai mencari pembiayaan sebanyakbanyaknya agar terpilih kembali menjadi anggota DPR, menjadi kepala daerah, atau untuk membiayai operasional partai. Akibatnya, mereka banyak menghalalkan segala cara agar kebutuhankebutuhan itu terpenuhi.
Di samping itu, tentu ada tokoh partai dan aktivis partai yang justru
memanfaatkan fenomena politik traksaksional ini untuk kepentingan dirinya. Riset dari Pramono Anung Wibowo menunjukkan betapa mahalnya biaya politik di negara ini.36
Berkaitan dengan itu, partaipartai Islam seharusnya harus segera melakukan reposisi diri, jangan sampai mereka teriak tentang pentingnya menegakkan nilainilai Islam, namun di belakang mereka getol melakukan praktek korupsi yang jelas bertentangan dengan nilai Islam.
Tantangan lain yang menyebabkan menurunnya suara partai Islam adalah pendirian sayapsayap Islam dalam partaipartai nasionalis seperti di PDIP, Golkar, dan Demokrat. Di antara partai nasionalis lainnya, mungkin Golkar adalah partai pertama yang melakukannya. Karena sebelum era reformasi, partai ini telah mendirikan sayap organisasi Islam sebagai mesin suaranya, seperti pendirian Satkar Ulama, kelompok pengajian AlHidayah, dan MDI (Majelis Dakwah Islamiyah). Dan proses santrinisasi atau Islamisasi di Golkar ini tambah menguat ketika Akbar Tanjung (Mantan Ketua Umum PB HMI) menjadi Ketua Umum Partai Golkar pada tahun 1998 yang juga membawa gerbong HMI dan aktivis Islam lainnya.37 PDIP dengan Baitul Musliminnya,
Demokrat dengan Majelis Dzikir SBY, dan Gerindra dengan GEMIRA (Gerakan Muslim Indonesia Raya) adalah fenomena baru dalam perpolitikan Indonesia. Tantangan itu bertambah nyata karena banyak tokohtokoh Islam dan mantan aktivis organisasi Islam yang masuk dalam sayapsayap Islam partai nasionalis itu. Bahkan, saat ini banyak juga tokoh Muhammadiyah, NU, dan HMI yang menjadi pimpinan teras dalam partaipartai nasionalis. Pendirian sayap Islam dalam partaipartai nasionalis ini, menjadi tantangan tersendiri bagi partai Islam. Hal itu menjadikan kita susah membedakan apakah ada partai yang benarbenar nasionalis atau benar benar Islam. Karena hampir semua partai
36 Pramono Anung Wibowo, Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi: Potret Komunikasi Politik Legislator Konstituen, Jakarta: Kompas, 2013. Menurut Promono Anung, bagi seorang calon anggota legislatif, paling tidak diperlukan biaya minimal sekitar Rp 1,2 miliar guna melancarkan jalannya ke Senayan. Angka ini juga terus meningkat dari Pemilu ke Pemilu, misalnya dari Rp 800 juta pada Pemilu 2009 bisa menjadi Rp 1,2 miliar pada Pemiu 2019. Secara garis besar, dana yang dibutuhkan oleh kandidat adalah sebagai berikut: Rp 250800 juta bagi kalangan artis, olahragawan, tokoh agama; Rp 600 juta 1 miliar bagi aktivis dan aktivis partai; Rp 12 miliar untuk birokrat, pensiunan TNI/Polri, Rp 1,56 miliar untuk pengusaha dan profesional (MajalahTempo, Edisi 5 Mei 2013).
berusaha mengakomodir dan memperjuangkan aspirasi Islam dan umat Islam.
BAB IV
KESIMPULAN
Makalah ini telah berupaya mendiskusikan secara panjang lebar tentang performa partai Islam dari waktu ke waktu. Menurunnya performa dan terus susutnya suara partai Islam itu ternyata disebabkan berbagai problem mendasar yang membutuhkan penyikapan segera. Problemproblem itu bisa berhenti menjadi problem yang tidak terselesaikan, namun bisa juga dijadikan tantangan agar partaipartai Islam bisa melangkah maju ke depan. Jika dijadikan tantangan, maka partaipartai Islam masih mungkin bangkit kembali guna ikut berpartisipasi secara aktif dalam proses politik dan perubahan sosial di Indonesia.
aktivisnya.
Karena beberapa hal itulah maka partai politik Islam mempunyai tujuan untuk membentuk pemerintahan Indonesia yang berdasarkan ajaran Islam yang kafaah. Sehingga segala kebijakan yang bersangkutan dengan negara dan masyarakat diselesaikan secara musyawarah yang merupakan identitas dan perintah Allah dalam al Qur’an. Sebanarnya Islam merupakan ajaran yang komprehensif dimana didalamnya juga mengatur banyak hal tentang, ubudiyah, kemaslahatan umat (pranata sosial), serta untuk tentang prinsipprinsip kenegaraan.
Dengan demikian, keberadaan Islam akan dapat memberi arti bagi pertumbuhan bangsa, paling tidak bagi pemeluknya, atau dengan istilah alQur’an adalah rahmatan li alalamin.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Noer, Deliar, "Islam dan Politik: Mayoritas dalam Minoritas" dalam Prisma, No.5 Thn. XVII, 1988, hlm.3.
BN, Marbun, Kamus Politik, Jakarta : Pustaka Sinar harapan, 2004, hlm 402
Budiarjo, Miriam, Dasardasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, cetXIX, 1993, hlm 160 Cipto, Bambang Prospek dan Tantangan Partai Politik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, hlm 7
Umar, Musni, Islam dan Demokrasi di Indonesia: Kemenangan Abangan dan Sekuler
(Jakarta: INSED 2004), 112-113.
R.Lukiswara, Yeni dan Sumarno Pengantar Study Ilmu Politik, Bandung : Citra Adtya Bakti, 1992, hlm 62
Haricahyono, Cheppy Ilmu Politik Dan Perspektifnya, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1991, hlm 192.
Taimiyah, Ibnu, alSiyasash alSyar’iyyah, Kairo: Dar alKutub al'Arabi, 1952, hlm. 174.
disunting oleh Muhammad Abdurrahman Ibnu Qasim, Riyadh: Matabi’ alRiyadh, 1963, hlm. 62.
Rais, Amin, Cakrawala Islam, hlm. 52; Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, hlm. 139140
Hanbal, bin Ahmad, Musnad, jilid III, hlm 20
Mahmudi Isma’il, Nur, M. SC, Memilih Partai (visi, misi dan persepsi), Jakarta : Gema Insani Press, 1998, hlm. 34
Rais, Amin, Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 50 51.
Noer, Deliar, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta : Rajawali, 1983, hlm 209 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2002 “Tentang Partai Politik”, Yogyakarta, 2003, hlm 8
Baswedan, Anies Rasyid, ‘Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory’,
Asian Survey, Vol. 44, No. 5 (SepOct 2004), hal. 669690.
Fealy, Greg, ‘Divided Majority, Limits of Indonesian Political Islam’, dalam Shahram Akbarzadeh dan Abdullah Saeed (editors), Islam and Political Legitimacy, London and New York: RoutledgeCurzon, 2003, hal. 150 168.
Tanuwidjaya, Sunny, ‘Political Islam and Islamic Parties in Indonesia: Critically Assessing the Evidence of Islam’s Political Decline’,Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategis Affairs, Volume 32, Number 1, April 2010, hal. 2949.
Bush, Robin, ‘Regional Sharia Regulations in Indonesia: Anomaly or Sympton?’, in G. Fealy and S. White (eds.), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia,
Singapore: ISEAS, 2008, hal. 174191.
ARTIKEL DAN JURNAL :
Azra, Azyumardi, ‘Political Islam in PostSoeharto Era’, dalam Virginia Hooker dan Amin Saikal (editors), Islamic Perspectives on the New Millenium, Singapore: ISEAS, 2004
Porter, Donald J., Managing Politics and Islam in Indonesia, London and New York: RoutledgeCurzon, 2002
Liddle, R. William, ‘Indonesia in 1999: Democracy Restored’, Asian Survey, Vol. 40, No. 1, A Survey of Asia in 1999 (Jan.Feb., 2000)
Azra, Azyumardi, Islam, Indonesia, and Democracy, Jakarta: ICIP & Equinox Publishing, 2006
Sukma, Rizal, Islam in Indonesian Foreign Policy, London and New York: RoultedgeCurzon Publishing, 2003.
Priamarizki, Adhi, ‘Indonesia’s National Elections: Islamic Parties at the Crossroads’,
RISS Commentaries, No. 005/2013 dated 9 January 2013
Assyaukanie, Luthfi, ‘The Rise of Religious Bylwas in Indonesia’, RSIS Commentaries,
29 Maret 2007.
Eliraz, Giora, Islam and Polity in Indonesia: An Intriguing Case Study, Research
Monographs on the Muslim World, Series No 1, Paper No 5, February 2007, Washington DC: Hudson Institute, 2007
Platzdasch, Berhard, Islamism in Indonesia: Politics in the Emerging Democracy,
Singapore: ISEAS, 2009.
Permata, AhmadNorma, Islamist Party and Democratic Participation: Prosperous Justice Party (PKS) in Indonesia 19982006. PhD Dissertation, University of Münster, 2008.
Muhtadi, Burhanuddin, Dilema PKS: Suara dan Syariah, Jakarta: KPG, 2012.
Fanani, Ahmad Fuad, ‘Politik “Aklamasi” dan Pragmatisme Politik’, Kompas, 17 Mei 2005
Wibowo, Pramono Anung, Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi: Potret Komunikasi Politik LegislatorKonstituen, Jakarta: Kompas, 2013.
WEBSITE :
KPU (Komisi Pemilihan Umum), http://www.kpu.go.id/suara/ hasilsuara_dpr_sah.php, akses 10 Januari, 2015.
“Islam dan Politik”, Nahdatul Ulama, accessed September 27, 2014