• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP HUKUM DERADIKALISASI NARAPIDANA T

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSEP HUKUM DERADIKALISASI NARAPIDANA T"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP HUKUM DERADIKALISASI NARAPIDANA TERORISME DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA

Oleh: Usman

Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran ABSTRAK

Perang melawan terorisme tidak bisa dimenangkan hanya dengan pendekatan represif. Tetapi diperlukan juga perang gagasan yang menjadi sumber dari kekerasan dan terorisme, melalaui program deradikalisasi. Oleh krena itu Putusan Pengadilan tidak hanya menghukum yang bersangkutan, tapi juga memberikan ruang deradikalisasi. Persoalnnya, sejauhmana tentang deradikalisasi narapidana aterorisme telah diatur dalam hukum pidana yang berlaku saat ini.

Meskipun belum terdapat ketentuan khusus tentang deradikalisasi narapdaian terorisme dalam sistem hukum pidana Indoesia, melalui metode penafsiran, gratikal dan sistematis terdapat beberapa peraturan yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan deradiklasi sasi narapidana terorisme.

Diperlukan perubahan peraturan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dengan menambahkan ketentuan terkait dengan derdikalisasi narapidana terorisme. Selain itu juga diperlukan peraturan lebih lanjut tentang tata cara deradikalisasi narapidana terorisme.

Kata Kunci: Terorisme, Radikalisme Deradikalisasi, Narapidana

I. PENDAHULUAN

Setiap kejahatan pada dasarnya merupakan ancaman terhadap hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan, namun terorisme merupakan kejahatan yang memberikan ancaman sangat serius. Karena terorisme tidak saja menimbulkan rasa takut yang luas, namun juga memberikan dampak negatif pada kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional. Bahkan terorisme dapat mengancam keamanan dan kedaulatan suatu negara serta perdamaian dunia.1 Karena itu terorisme

tidak dapat dikatakan sebagai kejahatan kekerasan biasa, akan tetapi dapat dikatagorikan sebagai ”kejahatan luar biasa” (extra ordinary crime)2.

1Penjelasan Umum UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang.

(2)

Seriusnya ancaman terorisme mengundang reaksi keras masyarakat bangsa-bangsa di dunia dan menjadikan terorisme sebagai isu bersama. Sebagai bentuk komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas terorisme telah disepakati beberapa konvensi internasional yang menyerukan seluruh anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencegah dan memberantas terorisme melalui pembentukan peraturan perundang-undangan nasional negaranya.3 Dalam kaitan ini

tercatat dua belas (12) Konvensi Internasional, serta empat (4) Resolusi Dewan Keamanan PBB yang terkait dengan Terorisme.4 Upaya pemberantasan terorisme

tersebut semakin menguat pasca teror terhadap menara kembar World Trade Center

(WTC) Amerika Serikat, pada 11 September Tahun 2001.5

Istilah “perang terhadap terorisme” yang populer pasca serangan bom 11 September 2001,6 mengindikan bahwa pendekatan kekerasan merupakan pilihan dalam

menunjukkan reaksi negara-negara di dunia terhadap terorisme. Akibatnya upaya penanggulangan terorisme di lakukan melalui tindakan represif, baik tindakkan dalam kerangka penegakan hukum melalui mekanisme sistem peradilan pidana, maupun dalam kasus tertentu dilakukan dengan tindakan militer terhadap kelompok atau suatu negara yang dianggap teroris atau mendukung terorisme. Sejumlah teroris tewas, ditangkap dan dipenjarakan, bahkan razim yang dianggap mendukung terorisme berhasil digulingkan. Persoalannya, apakah tindakan tersebut efektif dalam menekan terorisme global? Faktanya menunjukkan, bahwa terorisme tetap ada dan menjadi ancaman bersama. Yang terjadi justru rangkaian tindakan kekerasan yang dibalas dengan kekerasan, sehingga menciptakan lingkaran teror yang berkelanjutan. Hal ini telah menimbulkan kesadaran bahwa perang melawan terorisme tidak bisa dimenangkan hanya dengan membunuh dan menangkap teroris, mengumpulkan intelijen atau mengamankan perbatasan. Tetapi diperlukan juga perang gagasan yang

3Penjelasan umum UU No. 15 Tahun 2003, Op. Cit.

4Mardenis, Pemberantasan Terorisme, Politik Internasional dan Politik HukumNasional Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan ke 2, 2013, hlm. 82.

5Isu ini kemudian dijadikan kebijakan politik luar negeri AS dan sekutunya dan berupaya meraih dukungan negara-negara di dunia. Melalui Presidennya, George Walker Bush, dikenal ungkapan politik

“stick and carrot”. Dimana setiap negara yang mengikuti agendanya akan diberikan dukungan (dana), sebaliknya bagi yang menolaknya akan diperangi. Edwin JHW, “Deradikalisasi Sebagai Upaya Mencegah Aksi-Aksi Terorisme” <http://www.setkab.go.id> Diunduh 15 Juni 2013.

(3)

menjadi sumber dari kekerasan dan terorisme.7 Atau dengan kata lain, pendekatan

kekerasan saja tidak bisa menghapus ancaman terorisme, selama radikalisme sebagai akar masalah yang mendorong terorisme tidak dapat diselesaikan.

Terkait dengan dengan hal tersebut, menurut Edra Wijaya, pemberantasan tindak pidana terorisme tidak hanya dalam pengertian tindakan yang represif dan perlakuan fisik. Tetapi juga memerlukan upaya lainnya yang kreatif yang lebih “humanis”, seperti melalui program deradikalisasi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Putusan Pengadilan tidak hanya menghukum yang bersangkutan, tapi juga memberikan ruang deradikalisasi.8 Terkait dengan hal ini maka konsep deradikalisasi

seharusnya juga terintegrasi dalam bekerjanya sistem peradilan pidana, kususnya dilakukan pada tahap pelaksanaan pidana. Namun dari sisi asas legalitas, adanya perumusan kebijakan tentang deradikalisasi tersebut merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Karena hanya dengan kebijakan tersbut maka dapat dijamin legalitas dari kebijakan deradikalisasi narapidana terorisme. Sehubungan dengan ini maka persoalnnya, sejauhmana tentang deradikalisasi narapidana aterorisme telah diatur dalam hukum pidana yang berlaku saat ini?

II. RADIKALISME, TERORISME DAN DERADIKALISASI II.1.Relasi Radikalisme dan Terorisme

Istilah “radikalisme” sering dikaitkan ketika membicarakan tentang terorisme. Karena dianggap sebagai bagian dari akar persoalan terorisme. Pandangan semacam ini di dunia Barat terutama sejak ikrar perang terhadap terorisme oleh Presiden George W Bush pasca serangan 11 September 2001. Mislanya, Brian Michael Jenkins, sebagai pakar terorisme menyatakan, "Teroris tidak jatuh dari langit, mereka muncul dari seperangkat keyakinan yang dipegang kuat. Mereka adalah radikal. Kemudian mereka menjadi teroris"9

Dengan pendekatan kajian psikologis, Fathali Moghaddam, sebagaimana dukutip Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, menggambarkan bagaimana seseorang

7Noor dan Shagufta Hayat, Deradicalization: Approaches and Models, Pakistasn: Institute for Peace Studies (PIPS), 2009, hlm. 1.

8Endra Wijaya, “Peranan Putusan Pengadilan Dalam Program Deradikalisasi Terorisme Di Indonesia” Jurnal Yudisial, Vol.III/No-02/Agustus/2010, Hlm. 1.

(4)

mengalami transformasi menjadi teroris. Moghaddam memperkenalkan konsep The Staircase to Terrorism. Meskipun tidak menggambarkan secara utuh penganutan idiologis pada masing-masing tahap atau tangga, Moghaddam telah meyakinkan publik bahwa untuk menjadi teroris seseorang tidak bisa serta merta. Ada tahapan dengan berbagai dinamika sosial dan psikologi individu masing-masing yang harus dilalui. Pertama, individu mencari solusi tentang apa yang dirasakan sebagai perlakuan yang tidak adil. Kedua, individu membangun kesiapan fisik untuk memindahkan solusi atas persoalan tersebut dengan penyerangan yang dianggap sebagai musuh. Pada tangga ketiga, individu mengidentifikasi diri dengan mengadopsi nilai-nilai moral dari kelompoknya. Keempat, setelah seseorang memasuki organisasi teroris, hanya ada kemungkinan kecil atau bahkan tidak ada kesempatan untuk keluar hidup-hidup. Individu dalam tangga kelimaini secara psikologis, menjadi siap dan termotivasi untuk melakukan kegiatan-kegiatan terorisme.10

Terkait denga pendapat Fathali Moghaddam tersebut, secara teoritik Afadlal menjelaskan bagaimana pergeseran dari radikalisme menjadi terorisme yang bergerak dari konsep fanatisme dan radikalisme. Dalam mengekspresikan fanatisme dan radikalisasi bisa muncul dalam berbagai bentuk. Tetapi pada umumnya berbanding lurus dengan reaksi dan atau sikap dari kelompok lawan. Aksi dan reaksi antara dua kelompok berhadapan mungkin berbeda, namun pada umumnya mendekati derajat dan pola yang hampir sama. Kekerasan akan dilawan dengan kekerasaan, dan salah satu bentuknya bisa berwujud gerakan terorisme.11 Sejalan dengan pendapat tersebut,

menurut Mustofa, terorisme yang bermotivasikan ideologi agama, tidak akan mudah dihancurkan dengan tindakan militer, bahkan akan memperkuat militansi. Upaya Amerika Serikat menangkap hidup atau mati Osama bin Laden dengan melakukan pemboman Afganistan, maupun menyebutkan adanya jaringan terorisme internasional bernama Jamaah Islamiyah, justru memperkokoh stereotipe yang dibangun terhadap Amerika Serikat sebagai perwujudan dari "setan."12

10Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed),Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed),

Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan, Jakarta: Pustaka Masyarakat Stara, 2010, hlm .13.

(5)

Gambaran tersebut juga dapat menjelaskan fenomena terorisme di Indonesia. Misalnya Irfan Idris, menyebutkan bahwa salah satu akar terorisme di Indonesia adalah faham radikalisme yang diwujudkan dalam bentuk tindakan radikal yang memaksakan kehendak.13 Demikian juga menurut Sarlito Wirawan, bahwa para pelaku terorisme

adalah orang-orang biasa yang kebetulan memiliki ideologi yang berbeda, yang sangat meyakini seolah-olah ideologi mereka yang paling benar, di luar itu salah dan merusak umat manusia oleh karena harus diperangi. Selain itu dalam sebuah wawancara dengan majalah Tempo (21/3/2011), Arsyad Mbai menyatakan bahwa radikalisme adalah akar dari terorisme. Menurutnya, ideologi radikal adalah penyebab dari maraknya aksi teror di Indonesia, sehingga pencegahan terorisme harus diikuti oleh pemberantasan radikalisme. Secara spesifik, Mbai melihat adanya ideologi tersebut dalam perilaku teror di masyarakat sejak tahun 2000-an.14 Pendapat serupa juga disampaikan oleh Rais

Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi, bahwa fenomena terorisme yang melanda Indonesia dalam 12 tahun terakhir dipengaruhi oleh faktor mewabahnya faham radikalisme agama. "Terorisme berkembang seiring dengan massifnya perkembangan faham radikalisme agama. Maraknya gerakan radikalisme agama menjadi ladang subur bagi terorisme."15 Pandangan tersebut juga ditemukan dari

hasil penelitian Stara Institut, bahwa organisasi radikal dan teroris menunjukkan relasi yang cukup dekat.16

Dari paparan tersebut menunjukkan bahwa terdapat relasi kausal antara terorisem dan radikalisme. Meskipun demikian perlu di catat bahwa pertama, pengertian radikalisme di sini tidak terbatas pada radikalisme agama, termasuk di dalamnya radikalisme politik yang berbasis pada suku, rasa, kebangsaan atau radikalisme lainnya. Kedua, tidak semua teror terjadi dilatarbelakangi oleh radikalisme. Mislanya dalam kasus teror yang dilakukan oleh negara (state terrorisme).

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa meskipun terdapat keterkaitan antara terorisme dan radikalisme, namun radikalisme agama sesungguhnya tidak lebih sebagai faktor pemicu terhadap berbagai persoalan dasar yang bersifat kompleks. Oleh

13Irfan Idris, “Deradikalisasi terorisme di Indonesia” <http: //damailahindonesiaku. com.> diakses pada tanggl 12 Mei 2013.

14Arsyad Mbai, “Radikalisme Adalah Akar Terorisme“<http://www. forumbebas. com>, diunduh 27 -2-2014.

15Republika.co.id, Kamis, 28 Juli 2011.

(6)

karena itu dalam upaya penanggulangannya tidak dapat hanya dilihat dari satu sisi, tetapi perlu pendekatan yang komprehensip. Ini artinya penanggulangan terorisme itu tidak cukup hanya melalui tindakan-tindakan yang bersifat represif, di sisi lain pelu menyelesaikan secara tuntas dan adil akar penyebab yang menimbulkan fenomena terorisme itu.

II.2. Deradikalisasi dan Upaya Penanggulangan Terorisme

Dalam pandangan International Crisis Group, deradikalisasi adalah proses meyakinkan kelompok radikal untuk meninggalkan penggunaan kekerasan. Program ini juga bisa berkenaan dengan proses menciptakan lingkungan yang mencegah tumbuhnya gerakan-gerakan radikal dengan cara menanggapi “root causes” (akar-akar penyebab) yang mendorong tumbuhnya gerakan-gerakan ini.17

Dalm koteks pemahaman agama, Muhammad Harfin Zuhdi yang pendapatnya dapat dipandang menjembatani perbedaan tersebut. Menurut Muhammad Harfin Zuhdi, untuk dapat melihat persoalan secara jernih, maka harus dibedakan antara agama dan pemikiran keagamaan serta bagaimana aktualisasinya dalam sejarah peradaban manusia. Dalam kasus Islam, pemikiran Islam mencakup sejumlah disiplin ilmu dan mazhab pemikiran. Jadi sejarah dan pemikiran Islam adalah produk dari sebuah interaksi dan dialektika yang panjang dan kompleks antara interpretasi manusiawi dengan wahyu Ilahi. Berdasarkan pemikiran tersebut, Muhammad Harfin Zuhdi melihat deradikalisasi dari sisi pemahaman terhadap ajaran Islam. Dari sisi ini deradikalisasi berarti upaya menghapuskan pemahaman yang radikal terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis, kkhususnya ayat atau hadis yang berbicara tentang konsep jihad, perang melawan kaum kafir dan seterusnya. Berdasarkan pemaknaan tersebut maka deradikalisasi bukan dimaksudkan sebagai upaya untuk menyampaikan “pemahaman baru” tentang Islam, dan bukan pula pendangkalan akidah. Tetapi sebagai upaya mengembalikan dan meluruskan kembali pemahaman tentang apa dan bagaimana Islam.18

Program apakah yang perlu dilakukan untuk merubah agar sesorang atau kelompok radikal menjadi tidak radikal atau tidak menggunakan kekerasan dalam

17International Crisis Groeup, “Deradikalisasi dan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia,” Asia Report N°142 – 19 November 2007, Hlm. 1.

18Muhammad Harfin Zuhdi, “Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi

(7)

memperjuangkan misinya? Inilah persoalan yang mendasar dalam pembicaraan tentang deradikalisasi. Program deradikalisasi sebagai suatu upaya untuk merubah pemahanan dan perilaku radikal tentu harus berkesesuaian dengan orang, waktu dan tempat, atau terhadap siapa dan di mana deradikalisasi itu dilakukan. Oleh karena itu tidak mungkin diperlakukan dengan metode yang sama di antara setiap kelompok sasaran tersebut. Sehingga diperlukan program yang bervariatif.

Menurut Leila Ezzarqui, Program De-radikalisasi merupakan usaha untuk mengatasi tantangan ideologis dan menggagalkan daya tarik militansi, mengubah sikap dan berusaha untuk merehabilitasi individu ke dalam masyarakat umum. Dibutuhkan pemahaman tentang hubungan yang kompleks antara sikap, keyakinan dan perilaku. Untuk itu diperlukan pendidikan ulang (reedukasi) dan program rehabilitasi berbasis ideologis, antara lain mencakup reinterpretasi argumen teologis untuk mendelegitimasi penggunaan kekerasan terhadap negara dan masyarakat lainnya.19

Dalam upaya deradikalisasi, metode diskusi atau dialog intensif dengan topik dari teks al-Qur'an, maupun dari berbagai konteks sosial, ekonomi, politik dengan melibatkan mantan teroris, ustadz dan psikolog, pernah dilakukan dalam eksperimen yang pernah dilakukan Sarlito Worawan Sarwono. Hasilnya ditemukan bahwa para mantan pelaku teror bisa diubah sikapnya, walaupun usaha untuk mengubah ideologi sangat tidak mudah, bahkan ada beberapa yang menunjukkan penolakan mutlak. Sedangkan program disengagement, yang dialakukan dalam bentuk pemberdayaan dakwah yang bernuansa Islam rahmatan lil alamin, melalui pelatihan dakwah non-kekerasan, yang disatukan dengan kegiatan mereka sehari-hari, hasilnya sangat baik. Para mantan teroris yang sebelumnya masih bicara keras, sesudang mengikuti programbisa bicara di TV dengan membawa misi damai, malah mendukung NKRI.20

Menyimak konsep deardikalisasi yang dilakukan di beberapa Negara, ternyata cukup beragam. Yaman yang dianggap sebagai pionir dalam program deradikalisasi, yang menjalankan program deradikalisasi sejak tahun 2002, dilakukan dengan membentuk Komite untuk Dialog (Committee for Dialogue). Program ini memprioritaskan dialog dan debat intelektual, dan bertujuan untuk meyakinkan kepada para aktivis kekerasan atau mereka yang tersangkut terorisme bahwa pemahaman yang

19Leila Ezzarqui, Op. Cit, hlm. 7.

(8)

mereka miliki adalah salah.21 Program deradikalisasi Pemerintah Arab Saudi

dilakukan dengan konsep PRAC (Prevention, Rehabilitation and After Care) (pencegahan, rehabilitasi dan perawatan pasca program). Selain dialog teologis seperti ceramah anti-terorisme yang dilakukan oleh ulama-ulama terkemuka Arab Saudi, juga dilakukan melalui program konseling psikologis serta pembinaan terpadu melalui Care Center, dan bantuansosial sertafinansial sebagai modal usaha.22

Program deradikalisasi melalui dialog teologis, dengan tujuan meruntuhkan persepsi teroris yang salah dan melakukan konstruksi ulang ideologi yang mendasari tindakan radikal, juga dilakukan oleh Pemerintah Mesir dengan memfasilitasi pertemuan di antara para tokoh JI Mesir dengan melibatkan ulama-ulama Al-Azhar.23

Di Singapura program deradikalisasi yang dilakukan sejak tahun 2002, dilakukan melalui sesi bersama psikolog, sesi konseling yang melibatkan para tahanan dan keluarganya, dan juga program rehabilitasi agama, yang merupakan komponen utama dalam program ini.24

Di Indonesia, sebagaimana desebutkan oleh Irfan Idris, bahwa desain deradikalisasi memiliki yaitu reedukasi, rehabilitasi, resosialisasi, dan reintegrasi. Reedukasi adalah penangkalan dengan mengajarkan pencerahan kepada masyarakat tentang paham radikal, sehingga tidak terjadi pembiaran berkembangnya paham tersebut. Sedangkan bagi narapidana terorisme, reedukasi dilakukan dengan memberikan pencerahan terkait dengan doktrin-doktrin menyimpang yang mengajarkan kekerasan sehingga mereka sadar bahwa melakukan kekerasan seperti bom bunuh diri bukanlah jihad yang diidentikkan dengan aksi terorisme. Adapun rehabilitasi memiliki dua makna, yaitu pembinaan kemandirian dan pembinaan kepribadian, pembinaan kemandirian adalah melatih dan membina para mantan napi mempersiapkan keterampilan dan keahlian, gunanya adalah agar setelah mereka keluar dari lembaga pemasyarakatan, mereka sudah memiliki keahlian dan bisa membuka lapangan pekerjaan. Sedangkan pembinaan kepribadian adalah melakukan pendekatan dengan

21http://www.eramuslim.com, “Deradikalisasi di Beberapa Negara”, Diunduh 17 juni 2013. hlm.2.

22Ismail Hasani dan Bonar TN, at all, Op. Cit, hlm. 171.

23Hasibullah Satrawi, “Deradikalisasi BerbasisIdeologi, ”http://budisansblog.blogspot.com, diunduh 30 Oktober 2011, hlm. 1-2.

(9)

berdialog kepada para napi teroris agar mind set mereka bisa diluruskan serta memiliki pemahaman yang komprehensif serta dapat menerima pihak yang berbeda dengan mereka. Proses rehabilitasi dilakukan dengan bekerjasama dengan berbagai pihak seperti polisi, Lembaga Pemasyarakatan, Kementerian Agama, Kemenkokesra, ormas, dan lain sebagainya. Diharapkan program ini akan memberikan bekal bagi mereka dalam menjalani kehidupan setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Selain program terebut, untuk memudahkan mantan narapidana dan narapidana teroris kembali dan berbaur ke tengah masyarakat, BNPT juga mendesain program

resosialisasi dan reintegrasi, dengan cara membimbing mereka dalam bersosialisasi dan menyatu kembali dengan masyarakat. Selain itu deradikalisasi juga dilakukan melalui jalur pendidikan dengan melibatkan perguruan tinggi, melalui serangkaian kegiatan seperti public lecture, workshop, dan lainnya, mahasiswa diajak untuk berfikir kritis dan memperkuat nasionalisme sehingga tidak mudah menerima doktrin yang destruktif.25

Dari uraian tentang program deradikalisasi tersebut, menunjukkan bahwa deradikalisasi pada dasarnya merupakan upaya perang pemikiran terhadap paham radikal, oleh karena itu dialog teologis merupakan yang utama. Meskipun demkikian tidak cukup hanya dilakukan melalui debat pemahaman agama saja. Selain itu perlu didukung dengan program lainnya seperti pembinaan psikologis, intelektualnya serta keterampilan. Selain itu keterlibatan masyarkat, terutama keluarga diperlukan untuk mendukung agar narapidana terorisme dapat bersosialisasi dan berintegrasi dalam masyarakat umum dengan baik.

III. KONSEP HUKUM DERADIKALISASI NARAPIDANA TERORISME

Dalam kerangka sistem peradilan pidana, deradikalisasi narapidana terorisme pada dasarnya merupakan suatu proses yang terkait dengan tahap eksekusi atau pelaksanaan pidana penjara di Lembaga pemasyarakatan. Meskipun demikian sebagai bagian dari bekerjanya sistem peradilan pidana, maka proses deradikalisasai tidak

(10)

terlepas dari tahapan sistem yang berjalan sebelumnya, yaitu dimulai dari penetapan kebijakan formulasi oleh pembentuk undang-undang, dan tahap aplikasi mulai dari penyidikan oleh penyidik, tahap penuntutan oleh penuntut umum, dan tahap mengadili/menjatuhkan putusan oleh hakim. Oleh karena itu dilihat dari kerangka sistem hukum pidana, maka deradikalisasi narapidana terorisme tidak hanya terkait dengan hukum pelaksanaan pidana, tetapi juga merupakan fungsi dari hukum pidana materiel dan hukum pidana formil sebagai satu kesatuan.26

Terkait dengan hukum pidana metriel, maka deradikalisasi narapidana terorisme terkait dengan pilihan jenis pidana apa yang dirumuskan di dalam undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Karena hanya jenis pidana penjara yang memungkinkan untuk nantinya dapat dilakukan deradikalisasi narapidana teorisme. Sendangkan untuk jenis pidana lainnya tidak memungkinkan untuk adanya deradikalisasi narapidana teorisme. Demikian pula terkait dengan hukum pidana formil. Hanya dengan penjatuhan pidana penjara yang memungkinkan untuk dilakukan deradikalisasi narapidana teorisme. Sedangkan apabila hakim menjatuhkan pidana selain pidana penjara maka tidak memungkinkan untuk adanya deradikalisasi narapidana teorisme. Selain itu adanya ketetapan dari pengadilan yang mengharuskan terpidana menjadi dradikalisasi juga dapat menjadi jaminan bagi pelaksanaan deradikalisasi.

1. Analisis Ketentuan Tentang Deradikalisasi Narapidana Terorisme Dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan undang-undang yang bersifat khusus. Di dalamnya tidak saja memuat ketentuan tentang hukum pidana materil, terkait dengan rumusan tindak pidana, pidana dan pertangunggungjawaban pidana, sebagaimana dirumuskan dalam BAB III Pasal 6 sampai dengan Pasal 18, dan BAB IV Pasal 20 sampai dengan Pasal 24. Tetapi undang-undang ini juga dimuat materi tentang hukum acara pidana yang bersifat khusus, yang berlainan dengan ketentuan di dalam KUHAP, terkait dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme

(11)

sebagaimana diatur dalam BAB V. Meskipun demikian ternyata di dalam undang-undang tidak ditemui ketentuan khusus terkait dengan pelaksansaan pidana, maupun tentang dradikalisasi. Meskipun demikian bukan berarti tidak artinya terkapa lagi tentang deradikalisasi.

Dari sisi sanksi, dari sejumlah 33 rumusan tindak pidana dalam UU No 15 Tahun 2003, terdapat 21 rumusan tindak pidana diancam dengan maksimal pidana mati. Sedangkan sisanya diancam dengan pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda untuk tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Ancaman maksimal pidana mati ditemui dalam beberapa pasal, yaitu Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, pasal 10, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16. Ancaman pidana mati selalu dirumuskan secara alternatif, dengan pidana penjara. Lamanya pidana penjara sebagai alternatif ancaman pidana mati adalah penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Sedangkan ancaman pidana mimalnya antara 3 sampai 4 ahun. Sedangkan acaman pidana penjara dirumuskan secara beragam seasui dengan bobot tindak pidana terorisme. Ancaman pidana penjara seumur hidup hanya ditemui dalam Pasal 7. Ancaman maksimal pidana penjara 15 tahun dirumuskan dalam Pasal 11 Pasal 12, Pasal 13, pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 21.

Dalam Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, selain perumusan pasal 7 digunakan sistem perumusan ancaman pidana maksimum-minimum. Artinya undang-undang memberikan batas maksimal dan minimal yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Lama ancaman pidana minimal untuk pidana penjara dirumuskan sesua dengan bobot tindak pidana terorisme berkisar antara 2 sampai 3 tahun.

(12)

Dari analisis tersebut, meskipun UU No 15 Tahun 2003 merupakan undang-undang khusus, yang di dalamnya mengatur baik hukum materiel maupun hukum formil, tetapi ternyata belum mengatur ketetnuan tentang pelaksanaan pidana. Karena deradaikalisasi narapidana terorisme termasuk ke dalam pelaksanaan pidana, maka jelas ketentuan tentang deradikalisasi narapidana terorisme belum dimuat di dalam undang-undang tersebut. Meskipun demikian jika ditilik dari jenis sanksi pidana yang digunakan, di mana ancaman pidana penjara cukup dominan maka secara tidak langsung dengan dijatuhkannya pidana penjara maka dapat dilakukan deradikalisasi narapidana terorisme. Atau dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa dalam kerangka sistem peradilan pidan, ancaman pidana penjara di dalam hukum pidana materiil merupakan tahap awal dari kebijakan deradikalaisasi narapidana terorisme.

2. Analisis ketentuan tentang deradikalisasi narapidana terorisme dalam KUHAP dan Putusan Pengadilan

Dalam melaksanakan putusaan pengadilan, lembaga pemasyarakatan pada dasarnya hanya melaksanaan pidana sesuai dengan putusan pengadilan. Berkenaan dengan deradikalisasi terhadap narapidana terorisme, persoalannya sejauh mana KUHAP mengatur tentang hal tersebut?

Di dalam KUHAP tentang pelaksanaan putusan pengadilan diatur dalam BAB XIX. Mulai dari Pasal 270 sampai dengan Pasal 276. Terkait dengan pelaksanaan pidana penjara KUHAP tidak mengatur secara rinci bagaimana pelaksanaan putusan pengdilana tersebut. Pasal 270 hanya menentukan, “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengrimkan salinan surat putusan kepadanya.”

Terkait dengan pelaksanaan pidana penjara KUHAP hanya mengatur terkait dengan pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan. Pasal 277 ayat (1) menentukan, “Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.”

(13)

yang bermanfaat bagi pemidanaan; dan c) menetukan cara pembinaan narapidana tertentu.

Meskipun KUHAP tidak secara tegas mengatur tentang pelaksanaan pidana, namun dari ketentuan Pasal 280 dan Pasal 282 terdapat ketentuan yang mengarahkan cara pelaksanaan pidana dan pembinaan yang tepat terhadap narapidana tertentu, termasuk di dalamnya narapidana teerorisme, sebagai narapidana yang bersifat khusus, namun bagaimana ketentean lebih lanjut tentang cara pembinaan narapidana tersebut, tidak diatur di dalam KUHAP. Demikian juga di dalam putsan pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, jelas tidak terdapat ketentuan yang mewajibkan untuk mencantumkan ketetapan mengenai bagaimana putusan pengadilan itu harus dilaksanakan. Hal ini sudah tepat, karena KUHAP merupakan ketentuan hukum acara pidana yang bersifat umum. Yang berlaku untuk setiap tindak pidana. dalam hal terdapat ketentuan yang menyimpang dari KUHAP, maka hal itu seharusnya dimuat dalam undang-undang yang bersifat khusus. Dalam hal ini adalah UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme. Sehingga sebelum adanya ketentuan tersebut, maka tidak akan ditemui ketetetapan tentang cara pelaksanaan putusan pengadilan.

Menyikapi permasalahan tersebut, berdasarkan pada asas 1ex specialis derogat lex generalis, tindak pidana terorisme sebagai tindak pidana yang bersifat khusus, sangat mungkin untuk menyimpang dari ketentuan tentang muatan putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Meskipun demikian sesuai dengan asas legalitas penyimpangan tersebut harus dinyatakan dalam undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Model pengaturan seperti ini sesungguhnya telah digunakan di Indonesia, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 103 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, bahwa:

(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:

a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau

(14)

(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Ketentuan mengenai putusan pengadilan tersebut berlaku untuk tindak pidana narkotika. Persoalannya apakah model perumusan ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 cocok untuk digunakan di dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme? Tindak pidana terorisme memang berbeda dengan tindak pidana narkotika. Karena di dalam kasus pecandu narkotka, pelaku mengalami ketergantungan biologis. Sedangkan di dalam kasus terorisme yang dipicu oleh radikalisme, pelaku mengalami ketergantungan mental dan ideologis. Meskipun demikian jika dicermati antara pelaku tindak pidana narkotika dan pelaku tindak pidana terorisme terdapat titik persamaannya, yaitu sama-sama mengalami ketergantungan oleh karena itu kedua-duanya membutuhkan perawatan dan pembinaan yang bersifat khsusus.

Dengan menggunakan metode penafsiran sistematis, model pengaturan yang dirumuskan di dalam Pasal 103 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tersebut sesungguhnya dapat diterapkan dalam undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Dengan mengadobsi model perumusan tersbut maka hakim dapat memutus untuk memerintahkan terpidana terorisme dalam pelaksanaan pidanyanya wajib menjalani program deradikalisasi, dan masa menjalani deradikalisasi diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Sebagai konsekuensi dari penggunaan model perumusan Pasal 103 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dalam kasus tindak pidana terorisme, maka perlu dilakukan perubahan terhadap UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dengan menambahkan ketentuan terkait dengan derdikalisasi. Model perumusan yang disarankan adalah sebagai berikut:

Pasal ….

(1) Hakim yang memeriksa perkara terorisme dapat memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani deradiklasisasi jika terbukti yang bersangkutan melakukan tindak pidana karena dirong atau dipengaruhi oleh paham radikalisme.

(15)

(3) Masa menjalani deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Dengan adanya ketetuan tentang tatacara pelaksanaan pidana teresebut, maka terdapat dasar hukum yang jelas bagi hakim untuk memutuskan untuk memerintahkan terpidana tidak pidana terorisme untuk menjalani deradiklasisasi jika terbukti yang bersangkutan melakukan tindak pidana karena dirong atau dipengaruhi oleh paham radikalisme. Konsekuensi dari kebijakan tersebut, maka pada tahap impelementasinya diperlukan adanya lembaga pemasyaraktan khusus yang menanganai perawatan dan pembinaan narapidana terorisme. Atau paling tidak diperlukan lembaga pemasyarakatan umum yang di dalamnya tersedia fasilitas dan sumberdaya manusia untuk menyelenggarakan deradikalisasi.

3. Analisis ketentuan tentang deradikalisasi narapidana terorisme dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 dan Peraturan Pelaksanaannya

Dalam sistem hukum pidana Indonesia, ketentuan tentang pelakasanaan pidana penjara diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dan peraturan pelaksanaannya. Persoalnnya apakah di dalam peraturan perundang-undangan tersebut telah mengatur, atau paling tidak terdapat ketentuan yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan deradikalisasi narapidana terorisme?

Di dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 secara eksplisit tidak ditemui ketentuan tentang deradikalisasi narapidana terorisme. Meskipun demikian terkait dengan dengan pembinaan narapidana, Pasal 12 ayat (1), UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan membuat klasifikasi atau penggolongan yang didsarkan atas dasar: a. umur;

b. jenis kelamin;

c. lama pidana yang dijatuhkan; d. jenis kejahatan; dan

e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan

Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf d, maka secara gramatikal27 dapat

(16)

ditafsirkan, bahwa dalam hal jenis kejahatannya adalah terorisme, maka digolongkan ke dalam narapidana terorisme. Setelah dilakukan pengolongan tersebut persoalnnya bagaimanakah konsep dan cara pembinaannya? Dalam kaitan ini Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, menentukan bahwa : “Program pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian.” Selanjutnya menurut Pasal 3 Pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian tersebut meliputi hal-hal yang berkaitan dengan:

a. ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. kesadaran berbangsa dan bernegara; c. intelektual;

d. sikap dan perilaku;

e. kesehatan jasmani dan rohani; f. kesadaran hukum;

g. reintegrasi sehat dengan masyarakat; h. keterampilan kerja; dan

i. latihan kerja dan produksi.

Ketentuan tersebut pada dasarnya hanya mengatur tentang pola pembinaan narapidana secara umum, yaitu digolongkan ke dalam dua jenis pembinaan, meliputi pembinaan kepribadian dengan rincian program dan kegiatan terkait dengan poin a sampai dengan g, dan pembinaan kemandirian dengan rincian program dan kegiatan terkait dengan poin h dan i.

(17)

Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Dalam peraturan pemerintah tersebut, terkait dengan hak-hak narapidana tindak pidana terorisme terdapat beberapa hak yang diatur secara khusus, yaitu: hak remisi; hak asimilasi; hak cuti mengunjungi keluarga; hak cuti menjelang bebas; hak pembebasan bersyarat. Bagi narapidana teorisme, selain harus memenuhi persyaratan umum, yang juga berlaku untuk setiap narapidana juga harus memenuhi persyaratan khusus sebagaimana ditentukan dalam Pasal 34A PP Nomor 32 Tahun 1999, yaitu: a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar

perkara tindak pidana yang dilakukannya;

b. telah “mengikuti program deradikalisasi” yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar: 1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi

Narapidana Warga Negara Indonesia, atau

2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.

Demikian halnya dalam mendapatkan asimilasi. Selain harus memenuhi persyaratan umum, berdasarkan Pasal 38A PP Nomor 32 Tahun 1999 , Asimilasi untuk Narapidana terorisme diberikan dalam bentuk kerja sosial pada lembaga sosial. Dengan syarat setelah:

a. selesai mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan

b. menyatakan ikrar:

1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau

2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing.

(18)

lemabaga pemasyarakatan yang di dalamnya melakukan pembinaan terhadap narapidana terorisme wajib menyelenggarakan program deradikalisasi. Jika tidak, bagaimana mungkin narapidana terorisme dapat memenuhi syarat untuk mendapatkan remisi maupun asimilasi. Persoalnnya, apakah ketentuan tersebut berarti menjadi norma atau dasar hukum yang mewajibkan adanya program deradikalisasi bagi setiap narapaidana terorisme?

Sehubungan dengan persoalan tersebut, dapat ditafsirkan menjadi dua versi. Pertama, berdsarkan penafsiran secara gramatikal,28 ketentuan tersebut hanya

merupakan syarat saja bagi narapidana untuk dapat mengajukan remisi dan asimilasi. Terlepas dari apakah lembaga pemasyarakatan atau pihak terkait lainnya wajib menyelenggarakan atau tidak program deradikalisi dalam lembaga tersebut. Jika terdapat program deradikalisasi dan narapidana mengikuti, maka hal tersebut dapat dijadikan syarat untuk mendapatkan remisi dan asimilasi. Namun jika di dalam lembaga tesebut tidak diselenggarakan program deradikalisasi, maka hak untuk mendapat remisi dan asimilasi bagi narapidana terorisme tidak dapat diajukan kaena tidak dapat memenuhi syarat terlah mengikuti deradikalisasi. Selain penafsiran tersebut, kedua dapat ditafsirkan seecara sistematis,29 dengan adanya persyaratan

tersebut, maka menjadi kewajiban pada setiap lembaga pemasyarakatan yang di dalamnya melakukan pembinaan terhadap narapidana terorisme untuk menyelenggarakan program deradikalisasi. Karena tanpa adanya kewajiban tersebut maka ketetentuan tentang persyaratan remisi dan asimilasi bagai narapidana terorisme tidak akan ada artinya.

Jika penafsiran yang kedua tersebut dapat disepakati, maka dapat dikatakan telah ada dasar hukum derdikalisasi narapidana teorisme. Meskipun demikian hal tersebut baru terbatas pada kewajiban menyelenggarakan program deradikalisasi. Persoalnnya bagaimana konsep hukum dan tata cara atau teknis deradikalisasi narapidana terorisme tersebut juga belum jelas. Oleh karean itu ke depan diperlukan perat teknis yang mengatur tentang konsep hukum dan tata cara atau teknis deradikalisasi narapidana terorisme.

28Ibid.

(19)

IV. PENUTUP

1. Terorisme merupakan tindak pidana yang kompleks, berbeda dari bentuk kejahatan kekerasan lainnya. Satu hal yang membedakan adalah adanya keterkaitan dengan ideologi radikal. Oleh karena itu deradikalisasi sebagai program yang diupayakan untuk menghapuskan radikalisme merupakan hal yang penting dalam proses peradilan pidana tidak pidana terorisme.

2. Meskipun belum terdapat ketentuan khusus tentang deradikalisasi narapdaian terorisme dalam sistem hukum pidana Indoesia, melalui metode penafsiran, gratikal dan sistematis terdapat beberapa peraturan yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan deradiklasi sasi narapidana terorisme.

3. Diperlukan perubahan peraturan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dengan menambahkan ketentuan terkait dengan derdikalisasi narapidana terorisme. Selain itu juga diperlukan peraturan lebih lanjut tentang tata cara deradikalisasi narapidana terorisme.

Daftar Pustaka

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008.

Afadlal, Afadlal et all, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPPI Ress, 2005. Arsyad Mbai, “Radikalisme Adalah Akar Terorisme“<http://www. forumbebas. com>,

diunduh 27 -2-2014.

Barda Arief Nawai, RUU KUHP Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, Semarang: Pustaka Magister, 2007.

Edwin JHW, “Deradikalisasi Sebagai Upaya Mencegah Aksi-Aksi Terorisme” <http://www.setkab.go.id> Diunduh 15 Juni 2013.

Endra Wijaya, “Peranan Putusan Pengadilan Dalam Program Deradikalisasi Terorisme Di Indonesia” Jurnal Yudisial, Vol.III/No-02/Agustus/2010.

Hasibullah Satrawi, “Deradikalisasi BerbasisIdeologi,

”http://budisansblog.blogspot.com, diunduh 30 Oktober 2011.

http://id.wikipedia.org/ wiki/ Serangan_11_September_2001#

Teori_yang_bertentangan, diunduh 31 Agustus 2014.

http://www.eramuslim.com, “Deradikalisasi di Beberapa Negara”, Diunduh 17 juni 2013.

(20)

Irfan Idris, “Deradikalisasi terorisme di Indonesia” <http: //damailahindonesiaku. com.> diakses pada tanggl 12 Mei 2013.

Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed), Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed), Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan, Jakarta: Pustaka Masyarakat Stara, 2010.

Leila Ezzarqui,De-Radicalization And Rehabilitation Program:The Case Study Of Saudi Arabia”, School of Arts and Sciences of Georgetown University, Washington DC, 2010.

Mardenis, Pemberantasan Terorisme, Politik Internasional dan Politik HukumNasional Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan ke 2, 2013.

Muhammad Harfin Zuhdi, “Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an Dan Hadis”, RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010.

Muhammad Mustofa, “Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi”, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 2 No. III Desember 2002.

Muladi, “Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Kkhusus (Extra Ordinary Crime)” Materi Seminar di Hotel Ambara Jakarta, 28 Juni 2004.

Noor dan Shagufta Hayat, Deradicalization: Approaches and Models, Pakistasn:

Institute for Peace Studies (PIPS), 2009.

Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia Dalam Tinjauan Psikologi, Jakarta : Pustaka Alvabet dan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP), 2012. Teguh Prastyo, “ Metode Penemuah Hukum Dalam Perkembangan Teori dan Praktik

Referensi

Dokumen terkait

Pengukuhan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai yang belum mendapatkan kekuatan hukum tersebut menimbulkan terjadinya masalah-masalah dalam pengelolaan dan

Penyajian yang dilakukan lembaga keuangan syariah hendaknya dapat mendorong para partisipan pasar secara umum, dan pemegang rekening investasi secara khusus,

50 DAN 55 (Revisi 2006) Terhadap Forward Earnings Response Coefficient (FERC) dan Relevansi Nilai dari Derivatif Keuangan: Studi Empiris pada Perusahaan Keuangan yang Terdaftar

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari lembar analisis karakteristik LKP, pedoman wawancara, rancangan optimasi pemilihan alat dan bahan, lembar

Dapat mengembangkan lagi aplikasi sistem informasi penjualan yang sudah ada tersebut agar kekurangan dari sistem yang ada pada saat ini dapat ditutupi oleh

92 Menguntungkan pelaku bukan berarti memberi kesempatan padanya untuk berbuat penganiayaan kembali di waktu yang akan datang, akan tetapi proses pemaafan bisa menjadi

Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.. Penyebab obstruksi dapat