• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pekerja Anak di Bawah Umur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pekerja Anak di Bawah Umur"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Pekerja Anak di Bawah Umur

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pekerja anak telah lama menjadi isu publik, dan telah lama pula terbangun komitmen global untuk mengatasi masalah tersebut. Sejak tahun 1919, ILO telah mengadopsi lebih dari 15 konvensi yang menyangkut atau relevan dengan permasalahan pekerja anak. Diantara konvensi-konvensi tersebut, konvensi komprehensif yang sangat relevan dengan masalah pekerja anak adalah Konvensi No: 138/1973 mengenai batasan usia minimum untuk bekerja (minimum admission to work) dan Konvensi No: 182/1999 mengenai bentuk-bentuk terburuk pekerja anak (worst forms of child labour).

Indonesia adalah salah satu negara pertama yang terpilih untuk ikut dalam Program Penghapusan Buruh Anak-Anak Internasional (IPEC), dan menandatangani sebuah nota kesepahaman dengan ILO pada 1992 untuk memimpin kerja sama di bawah program ini. Pemerintah dan ILO menandatangani sebuah nota lain mengenai buruh anak-anak pada Maret 1997 yang mengikat mereka dalam kesepakatan untuk memajukan persyaratan yang memungkinkan pemerintah melindungi buruh anak-anak dan secara bertahap melarang, membatasi dan mengatur buruh anak-anak dengan tujuan akhir menghapuskannya. Pada Bulan Desember Menteri Tenaga Kerja ketika itu, Fahmi Idris, menandatangani sebuah nota minat, disaksikan Presiden Habibie dan direktur ILO di Jakarta, yang mewajibkan pemerintah untuk meratifikasi konvensi ILO tentang usia buruh minimum paling lambat Juni 1999. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menentukan bahwa setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang sehingga orang tua dilarang menelantarkan anaknya. Orang tua dapat dikenakan sanksi hukuman kurungan yang cukup berat, termasuk perusahaan, jika mempekerjakan anak di bawah umur.

Sementara itu pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara melalui Perda No.9 Tahun 2004 telah mencanangkan daerahnya sebagai Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA), dengan menentukan target-target pencapaian waktu (time limit) bahwa tahun 2007 tidak akan lagi pekerja anak di bawah usia 15 tahun, dan anak-anak sampai batas usia tersebut telah memperoleh wajib belajar 9 tahun. Pada akhir lima tahun kedua (2112), anak di bawah usia 18 tahun sepenuhnya harus telah memperoleh wajib belajar 12 tahun. Pertanyaan yang perlu di bahas dalam hal ini adalah apakah target-target yang dicanangkan oleh Kukar dapat tercapai, dan bagaimana mencapainya? Bagaimana menjamin agar pencapaian target ZBPA memberi implikasi pada kesejahteraan dan masa depan anak, bukan sebaliknya? Jika ZBPA menjadi model untuk diterapkan di daerah-daerah lain di Indonesia, mampukan daerah-daerah tersebut mencapainya? Jika pun mampu, apakah perlu? Perlu diketahui, negara-negara maju yang telah lama mengalami industrialisasi dan mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi yang tinggi hingga sekarang belum sepenuhnya terbebas dari masalah pekerja anak (White, 1994).

(2)

pendidikan yang masih rendah di kalangan penduduk miskin, mempunyai tantangan yang lebih berat untuk mengeluarkan anak dari dunia kerja. Jika pemerintah bersikeras untuk membebaskan anak dari seluruh bentuk pekerjaan, menjadi pertanyaan apakah hal itu menguntungkan bagi masa depan anak?

Gagasan membebaskan anak dari pekerjaan didasarkan pada asumsi bahwa pekerja anak rentan mengalami eksploitasi, marginalisasi, kekerasan, dan terancam mengalami gangguan fisik dan mental. Namun dalam kenyataannya tidak semua pekerjaan anak berbahaya, dan tidak semua anak mengalami akibat buruk seperti yang digambarkan di atas. Jika begitu, apakah solusinya adalah melarang mempekerjakan anak untuk semua kasus, atau hanya melarang mempekerjakan anak sejauh pekerjaan tersebut berbahaya bagi anak dan membuat aturan agar pekerja anak terlindung dari risiko buruk? Alasan lain untuk melarang anak bekerja adalah karena pekerjaan dapat mengganggu anak dalam belajar. Banyak anak drop out dari sekolah atau prestasi belajarnya berkurang karena bekerja. Jika begitu, apakah solusinya harus melarang anak sekolah bekerja atau model pendidikanlah yang seharusnya disesuaikan agar sesuai dengan situasi dan kebutuhan pekerja anak?

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Hak-hak Anak

“Anak merupakan generasi muda dan tumpuan harapan bangsa” kata-kata ini cukup sangat memberikan kita pemahaman bahwa penerus cita-cita bangsa ini teletak pada mereka yang merupakan sumber daya manusaia (SDM) yang harus dikembangkan,dilindungi dan diberi hak-haknya. Oleh karena itu dalam rangka menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas baik secara fisik, mental, moral dibutuhkan pembinaan dan pembimbingan secara mendalam dan terus-menerus tanpa mengabaikan hak-hak mereka sebagai anak. Didalam Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja disebutkan pngertian anak yaitu :”Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.”

Dan didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

(3)

tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal”.Sehingga dalam kondisi apapun dan dengan alasan apapun anak yang diawah umur 18 (delapan belas) tahun, harus mendapatkan hak-hak mereka sepenuhnya.

Dalam konstitusi kita (UUD 1945) juga dijelaskan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Maka dapat dipastikan bahwa anak mempunyai hak konstitusional dan negara wajib menjamin serta melindungi pemenuhan hak anak yang merupakan hak asasi manusia (HAM). Berbicara masalah diskriminasi hal ini cukup rentan terjadi dilakalangan anak-anak, hal ini terbukti banyaknya kasus mengenai ekploitasi anak. Dalam konvensi hak anak disebutkan ada empat prinsip dasar yang kemudian menjadi serapan dari UU no 23/2002 yaitu: a. Prinsip non-diskriminasi. Artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 2 Konvensi Hak Anak, b. Prinsip yang terbaik bagi anak (best interest of the child).Yaitu bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau badan legislatif.

Maka dari itu, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama (Pasal 3 ayat 1).Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Prinsip ini tertang dalam Pasal 12 ayat 1 Konvensi Hak Anak, c. Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the rights to life, survival and development). Yakni bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan (Pasal 6 ayat 1). Disebutkan juga bahwanegara-negara peserta akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6 ayat 2). d. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child).Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Prinsip ini tertang dalam Pasal 12 ayat 1 Konvensi Hak Anak.

Didalam Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ditegaskan hal-hal yang terkait dengan hak-hak anak diatur dalam pasal 4,5,6,7,8,,10,11,12,13,14,15,16,17,18,19 anatara lain berbunyi; Pasal 4 Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 5 Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. Pasal 6 Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.

(4)

Pasal 8 Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Pasal 9 Ayat (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Ayat (2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Pasal 10 Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. Pasal 11 Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

Pasal 12 Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Pasal 13 ayat (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

 Diskriminasi;

 Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

 Penelantaran;

 Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

 Ketidakadilan; dan

 Perlakuan salah lainnya.

Ayat (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 14 Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Pasal 15 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :

 Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

 Pelibatan dalam sengketa bersenjata;

 Pelibatan dalam kerusuhan sosial;

 Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan

 Pelibatan dalam peperangan.

(5)

Pasal 17 Ayat (1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

 Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

 Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya

hukum yang berlaku; dan

 Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak

memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

Ayat (2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18 Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Pasal 19 Setiap anak berkewajiban untuk :  Menghormati orang tua, wali, dan guru;

 Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;

 Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;

 Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan

 Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Didalam preambul atau mukadimah KHA di kemukakan bagaimana latar belakang dan landasan filosofis hak-hak anak. Mukadimah KHA mengingatkan kembali pada prinsip-prinsip dasar PBB dan ketentuan khusus beberapa traktat dan pernyataan mengenai hak azasi manusia yang relevan. Mukaddimah KHA juga menegaskan kembali fakta bahwa anak-anak, berhubung kondisi mereka yang rentan membutuhkan pengasuhan dan perlindungan khusus. Dalam sustansi atau materi KHA dideskripsikan secara detil, menyeluruh (holistik) dan maju (progresif) mengenai apa saja yang merupakan hak-hak anak. Materi substantif hak anak dalam KHA dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori, yaitu:

1. Hak terhadap Kelangsungan Hidup (survival rights), yaitu hak-hak anak dalam Kovensi Hak

Anak yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the rights of life) dan hak untuk memperoleh standard kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya (the rights to higest standart of health and medical care attaniable).

2. Hak terhadap Perlindungan (protection rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak

Anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan penerlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.

3. Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvebsi Hak

Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spritual, moral dan sosial anak.

4. Hak untuk Berpatisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak

Anak yang meliputi hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segalla hal mempengaruhi ana (the rights of a child to express her/his views in all metter affecting that child ).6

(6)

menyedihkan bagi masa depan anak adalah kurangnya kesadaran para orang tua akan masa depan anak mereka. Di indonesia pelanggaran hak anak sudah menjadi pemberitaan yang lazim, bahkan sudah menjadi pemandangan yang tidak dapat dielakan lagi.

Banyak kita medengar dipemberitaan bahkan melihat sendiri kasus-kasus yang mengabaikan hak-hak mereka selaku anak, seperti kekerasan terhadap anak, ekploitasi anak dan memperkerjakan anak diawah umur yang sudah ditentukan oleh UU,dan dewasa ini banyak anak-anak yang yang diikutsertakan dalam kampanye politik yang mereka tidak mengerti apapun tentang politik. Bahkan dibelahan dunia lain masih banyak anak yang mejadi korban dari ekploitasi hak-hak anak, menjadi pekerja seks dan menjadi korban perang. Menurut data yang dikeluarkan UNICEF tahun 1995, diketahui bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, hampir 2 juta nak-anak tewas, dan 4-5 juta anak-anak cacat hidup akibat perang. i beberapa negara, seperti Uganda, Myanmar, Ethiopia, Afghanistan an Guatemala, anak-anak dijadikan peserta tempur combatan) dengan dikenakan wajib militer. Semua terjadi akibat dahsyatan mesin perang yang diproduksi negara-negara industri, ang pada akhirnya membawa penderitaan bukan hanya dalam angka pendek, tetapi juga berakibat pada jangka panjang yang enyangkut masa depan pembangunan bangsa dan negara.

B. Definisi Pekerja Anak

Secara umum pekerja atau buruh anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak (Suyanto, 2003:3). Sementara itu, batasan usia anak ternyata cukup variatif. UU Nomor 25/1997 tentang Ketenagakerjaan ayat 20 menyebutkan bahwa yang dimaksud anak adalah orang laki-laki atau perempuan yang berumur kurang dari 15 tahun. BPS dalam penyajian data statistik membatasi pekerja anak sebagai penduduk yang berumur 10-14 tahun. Sementara itu, ILO memberi batasan pekerja anak lebih luas, yaitu pekerja yang berumur di bawah 18 tahun. Dengan definisi anak sebagai penduduk usia 10-14 tahun, pada tahun 2003 Indonesia memiliki 566,5 ribu pekerja anak atau 2,8 persen terhadap total anak pada usia tersebut. Angka ini lebih rendah dibanding tahun 2001, yaitu sebanyak 948,7 jiwa (4,6 persen).

Jika dipisahkan antara daerah perdesaan dan perkotaan, terlihat bahwa proporsi pekerjaan anak lebih tinggi di perdesaan. Namun di keduanya, terjadi penurunan proporsi pekerja anak secara konsisten. Penurunan jumlah pekerja anak juga terjadi di Kutai Kartanegara. Pada tahun 2000 jumlah pekerja anak adalah sebesar 11.632 anak. Angka ini turun menjadi 3.012 anak pada tahun 2005. Namun perlu dicatat bahwa angka pekerja anak yang terdata dalam survai BPS tidak mencerminkan seluruh pekerja anak. Seperti yang dikatakan demograf Terence H. Hull (dikutip Irwanto, 1996:47): menggambarkan bahwa membaca statistik angkatan kerja di Indonesia sama seperti menonton wayang kulit.

(7)

pekerja untuk mengontrol pemerintahan, terutama pada tahun 1930an di mana kelas pekerja (working class) sedang berkembang dengan pesat. Indonesia yang berkembang secara ekonomi saat ini mempunyai setting yang berbeda dengan negara-negara tersebut, terutama karena banyaknya individu yang bekerja di sektor informal sehingga tenaga wanita dan anak kurang diwakili dalam statistik.

Anak-anak yang bekerja membantu orang tua di sawah, anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, anak yang dilacurkan, anak yang menjadi pengedar narkoba, atau anak jalanan, besar kemungkinan tidak tercermin dalam survai. Mereka yang bekerja di sektor-sektor tersebut sangat boleh jadi jumlahnya lebih besar, sehingga tren penurunan pekerja anak seperti yang dikemukakan di atas belum tentu mencerminkan realitas.

Dalam konteks eliminasi pekerja anak, pada umumnya, fokus perhatian dari para pengambil kebijakan tidak pada seluruh jenis pekerjaan, tetapi lebih kepada pekerjaan yang bersifat produktif, di luar rumah atau untuk orang lain, dibayar, skala besar, dan sebagai pengganti sekolah. Sementara itu pekerjaan yang bersifat reproduktif, di rumah atau untuk orang tua, tidak dibayar, skala kecil, dan sambil sekolah, tidak dianggap sebagai masalah, sehingga keluar dari pengertian pekerja anak.

Lebih jauh lagi, meskipun penghapusan pekerja anak dijadikan sebagai tujuan jangka panjang, dalam jangka dekat upaya eliminasi pekerja anak lebih dofokuskan pada bentuk-bentuk pekerjaan yang memberi dampak buruk pada anak. Program IPEC/ILO, misalnya, memberi penekanan pada anak yang mengalami situasi-situasi sebagai berikut (Putranto, 1994): Anak-anak yang dalam bekerja telah dirampas hak-haknya sebagai pribadi. Ini dikenal sebagai bounded labour. Dalam kasus ini, anak tidak memperoleh upah dan dikerjakan secara paksa.

Anak-anak yang bekerja di bawah tekanan yang sangat kuat, walau upah masih diberikan. Tipe pekerjaan ini dapat ditemui dalam kasus anak yang bekerja pada jermal-jermal liar di Sumatra Utara atau anak-anak yang dilacurkan. Anak-anak yang bekerja pada pekerjaan berbahaya, baik bagi keselamatan jiwa maupun kesehatan fisik dan mentalnya. Berbagai kasus anak yang bekerja di berbagai tempat pembuangan sampah atau di pertambangan telah menjadi prioritas IPEC di Indonesia. Anak-anak yang bekerja pada usia yang masih sangat muda, di bawah 12 tahun. Jumlah mereka tidak mudah untuk diperkirakan karena tidak tercantum dalam statistik angkatan kerja dan sering tidak dilaporkan (Irwanto, 1996:52).

C. Pekerja anak dibawah umur menurut hukum positif

Sebagaimana yang paparkan diatas bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang umurnya dibawah 18 (delapan belas) tahun. Sehingga anak yang dibawah umur 18 (delapan belas) tahun tidak dapat dkatakan cakap hukum dan perbuatan yang dilakukuannya belum mencapai kriteria perbuatan atau tindakan hukum. Dalam dunia kerja tentunya harus ada tindakan hukum yang dilakukan berupa perjanjian atau kontrak kerja.

(8)

terhadap satu orang lain atau lebih”. Dari pengertian diatas dapat kita tarik benang merah bahwa dalam sebuah perjanjian melahirkan perbuatan atau lebih tepatnya perbuatan atau tindakan hukum dengan satu orang atau lebih karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikandan selnjutnya mempunyai ikatan dengan satu orang atau lebih tersebut karena di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepadapihak yang lain.

Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. Hal ini bila disadingkan dengan pekerja anak dibawah umur tentunya melanggar ketentuan yang ada kerana dalam sebuah perjajijan ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagamana tertera dalam KUH Perdata Pasal 1320 sebagai berikut:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kata sepakat harus bener –bener dilandasi

dengan kesadaran penuh seseorang untuk melakukan perjanjian, sehingga tdak ada keterpaksaan satu sama lain yang aka merugikan satu sama lainnya. Karena tiada sepakat yang sah apabila diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan dan penipuan ( Pasal 1321 KUH Perdata) adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 KUH Perdata). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.

2. Cakap untuk membuat perikatan; kata “cakap” dapat dikatakan sudah memenuhi prsyaratan

untuk berbuat tindakan hukum dalam Pasal 1330 KUH Perdata menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :

a. Orang-orang yang belum dewasa

b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada

umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian perjanjian tertentu.

3. Suatu hal tertentu.dalam hal ini Sesuatu yang diperjanjikan haruslah suatu hal atau barang

yang cukup jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif.

4. Suatu sebab atau causa yang halal. Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat

perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Dari pemaparan diatas sebuah konsep ideal dari sebuah aturan sudah cukup menjamin akan hak-ahak anak dalam mengembangkan diri mereka, namun yang menjadi problema detik ini belum sepenuhnya terealisasi dan bahkan ironisnya pekerja anak belakangan ini memang sudah menjadi pemandangan yang lazim dilihat, dari perusahaan yang bergerak dibidang industri hingga warung-warung dan toko-toko kecil sekalipun.

(9)

anaknya. Kalau dilanggar akan dikenakan sanksi hukuman termasuk perusahaan yang mempekerjakan anak di bawah umur. Di sisi lain dalam UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa anak-anak boleh dipekerjakan dengan syarat mendapat izin orang tua dan bekerja maksimum tiga jam seharinya. Namun kenyataannya penerapan semua UU itu tidak berjalan semestinya. Tetap saja pekerja anak berlangsung dimana-mana. Bahkan ironisnya ada sebagian mereka yang bekerja menjadi pemuas nafsu laki-laki hidung belang.

Didalam UU Tentang Tenaga Kerja kita dijelaskan bahwa: Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Dalam keadaan apapun dan dengan alasan apapun pengusaha tidak oleh mempekerjakan anak dibawah umur. Namun dalam upaya untuk memberikan pendidikan dan pelatihan pengusaha boleh mempekerjakan anak-anak dengan ketentua yang berlaku sebagaimana dijelaskan dalam Undang Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja dari pasal 68 ,69 ,70 ,71 ,72 ,73 ,74, 75 yang berbunyi:

Pasal 68 Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Pasal 69 Ayat (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Ayat (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan :

 Izin tertulis dari orang tua atau wali;

 Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;

 Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;

 Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;

 Keselamatan dan kesehatan kerja;

 Adanya hubungan kerja yang jelas; dan

 Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Ayat (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikanbagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.

Pasal 70 Ayat (1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. Ayat (2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun. (3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat :  Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan

pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan  Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Pasal 71 Ayat (1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Ayat (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajibmemenuhi syarat :

 Dibawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;

(10)

 Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan

waktu sekolah.

(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 72 Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. Pasal 73 Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Pasal 74 (1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. (2) Pekerjaan-pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi :

 Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;

 Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran,

produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;

 Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan

perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau  Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.

(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak sebagaimana di-maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 75 Ayat(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Ayat (2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam upaya-upaya pengembangan bakat sebagaimana dijelaskan dalam UU diatas merupakan bentuk persiapan mental anak-anak agar tidak kaget dalam menempuh dunia kerja kedepannya. Yang perlu dipahami bahwa semua yang dapat dilakukan dalam konteks pengembangan diri mereka. Dan sebagian para orang tua beranggapan bahwa memberikan pekerjaan kepada anak-anak mereka merupakan proses belajar, belajar untuk menghargai pekerjaaan dan belajar untuk bertanggung jawab, mereka jga berharap anak-anak mereka apat membantu meringankan beban mereka selaku orang tua.

Selama masih dalam kondisi wajar dan sesuai dengan ketentuan UU kita hal tersebut sah-sah saja. Namun sebagian orang tua memberi pekerjaan yang diluar kemampuannya dan menghilangkan kesempatan kepada anak-anak untuk mengembangkan diri. Keadaan seperti ini terkadang memberikan dampak yang cukup signifikan pada perkembangan psikologis anak dan mental yang dibangun. Tidak banyak keadaan seperti ini membuat anak menjadi brutal, terbelakang mental, krisis moral.

Disadari ataupun tidak terdapat banyak ketentuan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap anak yang telah dilanggar oleh para pelaku, baik orang tua anak dan pengusaha yang telah mempekerjakan anak dibawah umur seperti Pasal 68, Pasal 69 Ayat 1,Pasal 69 dan Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja. Termasuk juga pada Pasal 28J Ayat 1 UUD 1945.

(11)

Permasalahan yang cukup mendasar di negara kita adalah kurangnya pembangunan manusia, oleh karena itu isu pembangunan manusia menjadi sangat urgent dan peningkatan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas seharusnya menjadi salah satu strategi utama pemerintah dalam mewujudkan cita-cita luhur sebuah bangsa. Jika kita telusuri salah satu solusi yang mendasr dan fundamental adalah meningkatkan kualitas anak sebagai tumpuan harapan bangsa karena anak merupakan tunas, bangsa dan ditangan mereka letak maju-mundurnya bangsa ini sebagai geneasi yang memiliki peran yang sangat strategis dalam mengemban dan mewujudkan cita-cita bangsa. Sehingga perlindungan terhadap hak-hak anak menjadi skala prioritas dalam mewujudkan generasi yang cerdas,sehat, memiliki akhlak mulia. Dalam UU no 23 tahun 2002 dijelaskan bahwa:

Pasal 1 Ayat (1) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ayat (12) Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.

Pasal 2 Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :

 Non diskriminasi;

 Kepentingan yang terbaik bagi anak;

 Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan

 Penghargaan terhadap pendapat anak.

Pasal 3 Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Dari pengertian diatas tersirat bahwa anak terlindungi dari segala bentuk kekerasan, perlakuan salah, penelantaran, dan eksploitasi. Sehingga dengan adanya UU ini dapat memberikan perlindungan terhadap anak. Anak yang dilahirkan memiliki kedudukan yang sama dengan orang dewasa sebagai manusia sutuhnya. Seorang anak juga memiliki hak mendapat pengakuan dari lingkungan mereka, rasa hormat atas kemampuan yang mereka miliki, dan perlindungan, serta harga diri dan partisipasi tanpa harus mencapai usia kedewasaan terlebih dahulu. Hak dan kewajiban anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002.

(12)

bahagia” tidak terlontarkan untuk mereka dan terhindar dari diskriminasi,tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi anak pengungsi sekalipun.

Hak perlindungan dari diskriminasi, termasuk (1) perlindungan anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan, perwatan dan latihan khusus, dan (2) hak anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalam kehidupan masyarakat negara. Perlindungan dari ekploitasi, meliputi (1) perlindungan dari gangguan kehidupan pribadi, (2) perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak, (3) perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi, dan pornografi, (4) perlindungan upaya penjualan, penyelundupan dan penculikan anak, dan (5) perlindungan dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau diputus telah melakukan pelanggaran hukum.

E. Kenapa Anak Bekerja?

a. Kemiskinan

Salahsatu penyebab utama kenapa anak-anak di bawah umur terpaksa bekerja adalah kemiskinan. Pada keluarga miskin, anak merupakan jaminan hidup keluarga karena tenaganya memberikan sumbangan penghasilan keluarga. Penelitian oleh LeVine menunjukkan bahwa tujuan mempunyai anak pada masyarakat miskin lebih bersifat kuantitatif, artinya semakin banyak anak akan semakin kuat jaminan sosial-ekonomi keluarga (LeVine dkk, 1988, dalam Irwanto, 1996:53). Banyak penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan faktor pendorong yang paling mendasar. Keluarga-keluarga miskin tidak mampu mempertahankan anak di sekolah, sementara intervensi dengan program IDT bahkan meningkatkan partisipasi anak dalam bekerja.

Pada keluarga miskin, keputusan untuk bekerja sebagian datang dari anak sendiri, tetapi sebagian lain karena keinginan orang tua. Penelitian oleh Suyanto dan Mashud (2000:33) menemukan bahwa lebih dari separuh orang tua menghendaki anaknya membantu pekerjaan orang tua dengan maksud-maksud sosial edukatif—meski pada kenyataannya hal ini tetap mengakibatkan banyak anak lebih tertarik menekuni pekerjaan daripada sekolahnya. Sebagian kecil lainnya memaksa anak-anaknya bekerja—baik dalam lingkungan keluarga maupun kepada orang lain—untuk tujuan ekonomi. Dalam situasi krisis belakangan ini kecenderungan keinginan orang tua untuk memperlakukan anak sebagai tenaga kerja produktif menjadi makin kuat karena penghasilan yang diperoleh orang tua tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga.

b. Pendidikan

(13)

kesempatan ekonomis yang hilang bila anak tetap di bangku sekolah, dan memilih untuk meminta anak bekerja.

Partisipasi sekolah mempunyai hubungan resiprokal dengan status pekerjaan anak. Anak yang gagal dalam pendidikan (drop out) lebih terdorong untuk bekerja, dan sebaliknya anak yang bekerja sambil sekolah cenderung menurun prestasinya, atau mudah mengalami drop out (Suyanto dan Mashud, 2000: 22). Dengan demikian, mahalnya biaya pendidikan menempatkan anak dalam posisi yang dilematis. Anak yang masih berminat sekolah tetapi orang tuanya tidak mampu membiayai akan memaksa anak itu untuk bekerja. Sementara itu, kesibukan bekerja akan membuat anak tersebut terganggu prestasi belajarnya, terpaksa mbolos dari kelas, dan pada akhirnya terpaksa drop-out. Sementara itu kemampuan pemerintah untuk menutupi ongkos pendidikan di luar SPP membuat anak tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus bekerja. Ini berarti, arah solusi dari masalah pekerja anak, salahsatunya terdapat pada sektor pendidikan, yaitu bagaimana membuat anak terbebas dari biaya pendidikan, dan jika hal tersebut tidak mungkin, bagaimana membuat sistem pendidikan lebih mengakomodasi kondisi anak yang terpaksa harus sekolah sambil bekerja.

c. Penetrasi Pasar

Pasarisasi atau penetrasi kapitalisme global ke dalam perekenomian nasional dan daerah menjadi faktor penting yang ikut memacu tumbuhnya pekerja anak. Dalam situasi perdagangan internasional yang sangat kompetitif, anak dipandang sebagai suatu jalan keluar untuk menekan ongkos produksi. Pengurangan ongkos melalui sistem borongan di rumah kerja (putting-out system) atau melibatkan anak yang digaji rendah dan tanpa jaminan sosial dalam proses produksi merupakan cara yang lebih mudah dalam memenangkan persaingan, ketimbang melalui peningkatan efisiensi kerja, penggunaan mesin atau pengembangan strategi manajemen yang lebih efisien. (Irwanto, 1996: 53).

Referensi

Dokumen terkait

Selain faktor lebar jalan, perumahan Graha Famili menetapkan harga jual lebih mahal pada kapling yang berada dekat danau dan padang golf, perumahan Citra Raya menetapkan harga

Apabila Penyedia Barang/Jasa tidak memberitahukan kepada Pemberi Pekerjaan dan Panitia Pengadaan, maka Pemberi Pekerjaan berhak memutuskan Surat Perjanjian secara

1 Di sisi lain, persoalan yang menyertai deforestasi dan degradasi hutan seperti pengabaian terhadap hak hidup masyarakat, persoalan kerusakan biodiversity maupun

Pembelajaran IPS dengan Menggunakan teknik Probing & prompting ………

Pengusulan ganda proposal penelitian dibolehkan, namun yang dapat dibiayai hanya 1 (satu) proposal, kecuali memenuhi persyaratan khusus bila mengajukan untuk klaster tertentu yang

Titik yang berpotongan antara garis beban dan garis kurva dioda disebut titik Q yang akan menunjukkan nilai sebenarnya dari arus dioda dan tegangan dioda untuk

Pada tugas akhir ini menggunakan metode ANFIS yaitu jaringan saraf tiruan yang di integrasikan dengan sistem fuzzy.. .yang akan membahas mengenai identifikasi parmeter

buah op-amp, tetapi pada rangkaian pengkondisi sinyal hanya memakai 3 buah op-amp saja yang berguna untuk penguat keluaran dari sensor finger.. inputnon-invertingnya