• Tidak ada hasil yang ditemukan

2010 07 06 rina O Impor Kedelai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "2010 07 06 rina O Impor Kedelai"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Impor Kedelai: Dampaknya terhadap Stabilitas Harga

dan Permintaan Kedelai Dalam Negeri

1

Oleh

Rina Oktaviani, PhD2

Pendahuluan

Kedelai merupakan bahan pangan yang penting bagi masyarakat Indonesia. Dari seluruh protein yang dibutuhkan oleh tubuh manusia, sekitar 10 persen bersumber dari produk olahan kedelai (Hayami, dkk, 1988). Tidak seperti tanaman pangan lainnya, kedelai dikonsumsi melalui berbagai bentuk produk olahan seperti tahu, tempe, kecap dan tauco. Beberapa modifikasi pengolahan kedelai lainnya juga telah dikembangkan di berbagai daerah seperti keripik tempe, susu kedelai dan kedelai goreng. Kedelai digunakan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan protein manusia, tetapi juga digunakan sebagai sumber protein pada hewan. Bahan baku pakan ternak menggunakan kedelai dan sekitar 90 persen protein makanan ternak berasal dari kedelai (Tomich, 1992).

Selama tahun 1990 an, terdapat penurunan produksi kedelai yang disebabkan turunnya luas areal dan relatif stabilnya produktivitas kedelai. Disisi lain terdapat peningkatan konsumsi kedelai yang cukup besar baik permintaan sebagai bahan baku produk olahan maupun permintaan sebagai bahan baku industri bahan makanan ternak. Pada tahun 2000 sebesar 41 persen dari konsumsi kedelai di Indonesia berasal dari kedelai impor sedangkan tahun 2003 sebesar 29 persen (lihat Tabel 4) dan diperkirakan tahun 2004 menurun terjadi sedikit peningkatan produksi kedelai dalam negeri. Namun demikian tingkat ketergantungan industri olahan dan industri makanan ternak terhadap kedelai impor masih besar. Ketergantungan terhadap impor kedelai tentu saja akan menyebabkan perubahan situasi pedagangan kedelai dunia dan akan mempengaruhi fluktuasi harga dan permintaan kedelai dalam negeri. Fluktuasi harga ini pada akhirnya akan mempengaruhi harga dan produksi komoditi olahan kedele baik itu untuk manusia maupun pakan ternak. Seperti diketahui, untuk produk tahu dan tempe misalnya, 75 % biaya produksi tahu dan tempe adalah biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku kedelai (Rachmawati, 1999).

Dampak perubahan output dan harga pada industri turunan kedelai akan mempengaruhi ketersediaan dan kemampuan masyarakat untuk membeli produk tersebut. Perubahan kebijakan pemerintah setelah tahun 1998 dimana sebagai bagian dari Paket pemulihan ekonomi, pemerintah Indonesia setuju untuk menderegulasi beberapa kebijakan perdagangan, diantaranya menyangkut kedelai. Impor kedelai yang semula merupakan monopoli pemerintah dalam hal ini Bulog, sejak 1 januari

1 Tulisan ini merupakan perbaikan dan pengembangan terhadap makalah “Pengaruh Perubahan Impor

Kedelai terhadap Stabilitas Harga dan Permintaan Kedelai Dalam Negeri” yang telah disampaikan pada Dialog Kebijakan Perkedelaian Nasional: Prospek dan Tantangannya, diselenggarakan oleh HKTI, INKOPTI dan Direktorat kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Jakarta Design Center, 23 Januari 2002. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Eka Puspitawati yang telah membantu memperbaharui data yang dibutuhkan

(2)

1998 bebas diimpor dengan mengunakan lisensi impor. Tarif impor yang semula 20% turun menjadi 5 % pada tahun 2003 (Soesastro dan Basri, 1998). Walaupun dalam kesepakatan tersebut Indonesia masih diperkenankan untuk menerapkan tarif impor kedelai, tapi dalam kenyataan, kedelai dapat masuk dengan bebas. Fasilitas GSM 102 yang diberikan oleh Amerika Serikat yang memudahkan importir kedelai Indonesia (Perindag 2002), juga mempengaruhi semakin besarnya impor kedelai ke Indonesia. Disini terlihat bagaimana peran Amerika Serikat sebagai negara pengekspor dan importir akan cukup besar dalam mempengaruhi perdagangan kedele dalam negeri.

Untuk melihat masalah impor kedelai secara lebih tajam, tulisan ini menganalisa bagaimana dampak impor kedelai terhadap fluktuasi harga kedelai lokal. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi permintaan kedelai lokal dan pada akhirnya akan mempengaruhi peneriman petani dan kegairahan petani untuk menanam kedelai. Pembahasan dimulai dengan menganalisa keragaan ekonomi kedelai baik di pasar internasional maupun di pasar domestik. Sebelum menganalisa dampak permintaan impor kedelai terhadap stabilitas harga kedelai dan permintaan kedelai lokal, akan dianalisa keragaan dan transmisi harga kedelai.

Keragaan Ekonomi Kedelai Dunia

Keadaan ekonomi kedelai dunia dapat dilihat dari perkembangan produksi, ekspor dan impor kedelai dunia dan negara-negara utama pengekspor dan pengimpor kedelai. Situasi kedelai dunia dapat mempertajam analisis posisi Indonesia dalam perdagangan internasional kedelai. Dengan mengetahui posisi kedelai Indonesia di pasar internasional, pemerintah dapat mengantisipasi kebijakan apa yang akan diambil untuk mendukung pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan petani. Pilihan kebijakan mana yang diambil pemerintah tentu saja sangat dipengaruhi keinginan politik penguasa.

Perkembangan produksi, ekspor dan impor kedelai di pasar Internasional dapat dilihat pada Tabel 1. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar produksi kedelai digunakan oleh negara penghasil kedelai atau dapat dikatakan perdagangan kedelai di pasar internasional adalah tipis. Indikasi ini ditunjukkan dari kecilnya nilai perdagangan kedelai yang dilihat dari besarnya ekspor dan impor dibandingkan dengan produksi kedelai. Sebagai produk pangan yang sangat rentan terhadap perbedaan iklim dan lokasi, kedelai lebih banyak digunakan oleh negara penghasil daripada diperdagangkan.

(3)

Pesatnya pertumbuhan produksi negara-negara penghasil kedelai terutama pada tahun-tahun terakhir dan laju permintaan impor yang lebih rendah dapat diduga akan menurunkan harga kedelai di pasar dunia. Antisipasi Indonesia sebagai negara pengimpor dan mempunyai pangsa impor yang tinggi di pasar domestik diperlukan untuk menghindari terjadinya ketidakstabilan harga di pasar domestik yang akan mempengaruhi permintaan kedelai lokal dan tentu saja akan merugikan petani. Di satu sisi tentu saja hal ini akan menguntungkan konsumen. Tapi disisi lain, produsen dalam negeri akan kehilangan motivasi untuk menanam kedelai dan hal ini akan meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor.

Tabel 1. Perkembangan Produksi, Ekspor dan Impor Kedelai Dunia (Ton)

Tahun Produksi (ton) Ekspor (ton) Impor(ton)

1999 159,92 45,54 71,21

Tabel 2. Produsen Utama Kedelai Dunia (Juta Ton) 1995-1998

Negara

1999 2000 2001 2002 2003 2004 99-04 (%)

United

States 72,22 75,06 78,67 75,01 65,8 74,53 73,55 39

Brazil 34,2 39 43,5 52,5 56 62,09 47,88 26

Argentina 21,2 27,8 30 35,5 35 37,5 31,17 17

China 14,29 15,4 15,41 16,51 16,2 16,91 15,79 8

India 5,2 5,25 5,4 4 6,8 6,45 5,52 3

Paraguay 2,91 3,5 3,55 4,5 4 4,68 3,86 2

Lainnya 9,9 9,17 8,34 9,25 9,61 10,51 9,46 5

Total 159,92 175,18 184,87 197,27 193,41 212,67 187,22 100

Sumber: USDA dalam Departemen Pertanian, 2005

(4)

tidak akan merubah harga dan jumlah keseimbangan pasar kedelai dunia. Dengan demikian, jika pemerintah ingin mengaplikasikan kebijakan pengurangan impor kedelai dengan tujuan menggairahkan produk dalam negeri, hal ini tidak akan berdampak besar terhadap keseimbangan pasar kedelai dunia.

Tabel 3. Ekspor Kedelai dari Negara Produsen Utama

Negara

1999 2000 2001 2002 2003 2004 99-04 (%) United

States 26,54 27,1 28,95 28,44 24,49 26,48 27 47

Brazil 11,16 15,47 15 20,4 23,5 23,79 18,22 32

Argentina 4,13 7,42 6,01 8,71 10,25 9,46 7,66 13

Paraguay 2,03 2,51 2,39 3,2 2,57 2,92 2,60 5

Lainnya 1,68 1,32 1,28 1,64 1,88 2,19 1,67 3

Total 45,54 53,82 53,63 62,39 62,69 64,84 57,15 100 Sumber: USDA dalam Departemen Pertanian, 2005

Keragaan Ekonomi Kedelai Indonesia

Dengan posisi Indonesia sebagai negara kecil, Indonesia dapat menerapkan kebijakan perdagangan internasional kedelai tanpa mempengaruhi kondisi pasar internasional kedelai, karena kebijakan apapun yang akan dicanangkan pemerintah untuk kedelai lebih besar pengaruhnya terhadap keragaan ekonomi kedelai di dalam negeri. Pengetahuan tentang keragaan konsumsi dan produksi kedelai, keragaan harga dan keterkaitan kedelai dengan produk lainnya diperlukan untuk menganalisa dampak impor kedelai

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa produksi kedelai Indonesia terus menurun hingga tahun 2002 dan kemudian meningkat relative kecil hingga tahun 2004. Ketidakstabilan produksi yang cenderung menurun dari tahun-tahun sebelumnya lebih disebabkan oleh adanya penurunan luas panen kedelai yang tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas kedelai per ha. Dibandingkan dengan negara lain penghasil kedelai, produktivitas kedelai Indonesia masih rendah. Sebagai contoh, pada tahun 1999 produktivitas kedelai Indonesia sebesar 1.20 ton/ha (FAO, 2002), dimana jauh lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas kedelai rata-rata dunia, 2.05 ton/ha (Tabel 2).

Konsumsi kedelai yang juga semakin meningkat yang disebabkan peningkatan jumlah penduduk dan konsumsi per kapita ternyata tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Hal ini menyebabkan impor kedelai semakin meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan impor terbesar selama kurun waktu 5 tahun terakhir terjadi pada tahun 2002. Impor kedelai masih tinggi pada tahun 2003. Walaupun angka sementara pada tahun 2004 menunjukkan penurunan impor, besarnya impor masih disebabkan oleh rendahnya tingkat efisiensi di dalam negeri, sementara subsidi ekspor di negara-negara eksportir tetap tinggi. Dibukanya pasar bebas mengakibatkan komoditi kedelai Indonesia kalah bersaing dengan kedelai impor.

(5)

1999 dan 15% tahun 2004 (angka sementara)), adalah mengkhawatirkan mengingat pentingnya kedelai sebagai bahan makanan dan pakan penghasil protein. Kebijakan pengendalian impor harus diperhitungkan secara seksama sehingga tidak hanya menguntungkan produsen tapi juga konsumen. Perlu diperhatikan bahwa pada tahun 1997 proporsi penggunaan kedelai untuk tahu dan tempe adalah sebesar 78% (CIC, 1998 dalam Rachmawati, 1999) dimana tahu dan tempe adalah makanan olahan yang merupakan sumber protein yang tidak hanya digemari oleh masyarakat golongan ekonomi menengah bawah tapi juga golongan masyarakat ekonomi tinggi.

Tabel 4. Ketersediaan Kedelai Indonesia, Tahun 1999-2004

Tahun ProduksiBersih Tkt.Kons/Kap Konsumsi Ketersediaan Kecukupan Impor

Rasio Impor terhadap Konsumsi (ton) (kg/kapita/thn) (ton) (ton) (ton) (ton) (%) 1999 1,267,847 15,60 3,038,178 2,569,597 -468.581

2000 933,905 15,60 3,092,872 2,211,069 -881803 1,277,685 41.31 2001 758,540 15,60 3,204,412 1,893,771 -1.310.641 1,136,419 35.46 2002 598,356 19,46 4,058,344 1,963,373 -2.094.971 1,365,252 33.64 2003 617,444 19,46 4,120,227 1,809,992 -2.310.235 1,192,717 28.95 2004* 659,291 19,46 4,186,157 1,311,196 -2.874.961 651,979 15.57 Sumber:BPS dan Pusat PKP-Badan Bimas Ketahanan Pangan dalam Departemen Pertanian, 2005

Keterangan :

*= Angka Sementara Tahun 2004

1 = Produksi kotor dikurangi untuk kebutuhan bibit 39,84 kg/ha dan kedelai tercecer 5% 2 = Jumlah penduduk dikalikan konsumsi per kapita

3 = Produksi + Impor – Ekspor

Keragaan Harga Kedelai dan Analisis Transmisi Harga

Perkembangan harga kedelai yang dianalisa adalah perkembangan harga internasional, harga di tingkat produsen dan konsumen. Dengan semakin terintegrasinya negara-negara di dunia, perkembangan harga kedelai di pasar dunia diramalkan akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan harga di tingkat domestik. Gambar 1 menunjukkan bahwa harga rata-rata kedelai di tingkat pedagang, konsumen dan pasar internasional memiliki pola pergerakan yang hampir sama. Harga di pasar internasional lebih rendah dari di tingkat produsen dalam negeri sehingga akan lebih menguntungkan bagi konsumen menggunakan kedelai impor. Pada permulaan krisis ekonomi tahun 1998, dengan turunnya nilai tukar Rupiah terhadap $ Amerika, harga fob dalam Rupiah menjadi meningkat dengan tajam. Hal ini juga diikuti dengan peningkatan harga di tingkat produsen dan konsumen dalam negeri.

Fenomena melemahnya nilai tukar rupiah menunjukkan bahwa kenaikan harga fob dalam rupiah juga memacu meningkatnya harga di tingkat produsen dan konsumen. Peningkatan harga di tingkat produsen dan konsumen cenderung lebih besar dibandingkan dengan peningkatan harga fob tetapi jika harga fob turun, penurunan harga domestik akan lebih lambat. Hal ini dapat dilihat dari semakin besarnya gap antara harga produsen dan konsumen dengan harga fob dalam rupiah.

(6)

yang tetap. Bagi konsumen yang memerlukan kedelai sebagai bahan baku, tentu saja hal ini akan mengurangi keuntungan output olahannya. Sebagai konsekwensinya, konsumen kedelai (sebagai industrti pengolah) akan meningkatkan harga produk olahannya untuk mengurangi atau menghindari kerugian.

Gambar 1. Perkembangan Harga Rata-rata Kedelai di Tingkat Produsen, Konsumen dan FOB tahun 1996 – 2001 (Rp/Kg)

Pengaruh perubahan relatif harga di pasar dunia terhadap harga di pasar domestik dan pengaruh relatif harga di tingkat konsumen terhadap harga di tingkat produsen pasar domestik dapat dilihat dengan analisis transmisi harga. Besarnya nilai transmisi harga yang mendekati 1 menunjukkan bahwa kuatnya pengaruh harga di satu pasar dengan pasar lainnya. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya, kedelai mempunyai transmisi harga yang paling besar (Rachman, dkk, 2000).

Tabel 5. Transmisi Harga Konsumen terhadap Harga Produsen, dan Harga Dunia terhadap Harga Domestik

Komoditas Transmisi Harga

Konsumen terhadap Produsen Dunia terhadap Domestik

Beras 0,942 0,676

Jagung 0,888 0,653

Kedelai 0,962 0,786

Sumber: Rachman, dkk (2000) 0

500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000

1 2 3 4 5 6

Tahun (1996 - 2001)

R

p

/k

g

(7)

Transmisi harga kedelai baik di tingkat konsumen terhadap produsen maupun di tingkat dunia terhadap domestik mempunyai nilai transmisi harga terbesar dan mendekati 1. Hal ini menunjukkan bahwa harga komoditas kedelai di tingkat produsen lebih dipengaruhi harga di tingkat konsumen dibandingkan dengan komoditas palawija lainnya. Demikian juga harga di tingkat dunia lebih berpengaruh terhadap harga domestik dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya.

Jika dibandingkan nilai transmisi harga dari konsumen ke produsen dan nilai transmisi harga di tingkat dunia dan domestik, maka pengaruh harga konsumen lebih besar. Dengan demikian fluktuasi harga di tingkat domestik lebih dipengaruhi oleh harga di tingkat konsumen dibandingkan harga dunia. Hal ini kemungkinan disebabkan elastisitas substitusi kedelai domestik terhadap kedelai impor yang rendah karena bentuk dan kualitas yang berbeda. Dengan demikian usaha-usaha peningkatan mutu kedelai sangat diharapkan untuk dapat meningkatkan daya substitusinya terhadap kedelai impor.

Pengendalian harga oleh pemerintah di tingkat domestik pada kedelai dengan dilepasnya monopoli impor komoditas kedelai oleh Bulog dan tidak adanya kebijakan harga dasar kedelai lebih sulit dilakukan. Hal yang mungkin dilakukan oleh pemerintah adalah dengan penetapan tarif impor . Penetapan tarif impor juga harus hati-hati dilakukan karena kemungkinan adanya retaliasi negara pengekspor dan harus mengikuti kesepakatan yang telah disetujui pemerintah dalam kerjasama bilateral, regional maupun multilateral. Didalam negeri sendiri, penetapan impor tarif harus dilakukan dengan hati-hati dengan perhitungan yang matang karena bisa saja menguntungkan produsen tetapi merugikan konsumen.

Besarnya tarif yang akan ditetapkan ditujukan untuk dapat merangsang produsen menanam kedelai pada tingkat harga tertentu sehingga kompetitif terhadap penanaman tanaman palawija lainnya. Besarnya tarif dapat dihitung sehingga dapat meningkatkan harga sampai pada tingkat harga minimal pada kedelai untuk dapat bersaing dengan tanaman palawija lainnya. Berdasarkan penelitian Siregar (1999), dengan asumsi tingkat hasil dan harga input tidak berubah, maka penanaman kedelai di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur masih memberikan keuntungan bersih yang lebih tinggi dibandingkan menanam jagung walaupun harga kedelai turun sekitar 30 % dari harga yang telah terjadi. Sebaliknya jika bersaing dengan ubi jalar, maka harga kedelai harus meningkat lebih dari 85 % di ketiga propinsi dengan asumsi tingkat hasil dan harga input tetap.

Penerapan tarif pada komoditi kedelai segar di Indonesia pada tahun 1997 mencapai 10 persen. Pada tahun 2002 sempat dihapuskan, sehingga merangsang peningkatan impor tertinggi kedelai. Pada tahun 2005 tarif impor kedelai diterapkan kembali sebesar 10 persen. Besarnya tarif yang ditetapkan tersebut masih lebih kecil dari binding rate nya. Sebenarnya Indonesia masih dibolehkan untuk menetapkan tarif sebesar binding rate. Untuk produk kedelai olahan tidak lagi dikenakan tarif kecuali minyak kacang kedelai dimodifikasi secara kimia yang mencapai 5 persen. Secara keseluruhan, binding rate yang ditetapkan masih cukup tinggi, yaitu mencapai 27 hingga 40 persen.

(8)

besarnya tarif yang telah disepakati. Transmisi harga konsumen yang tinggi terhadap harga produsen merupakan salah satu pertimbangan mengapa pemerintah tidak menetapkan tarif sesuai dengan binding rate yang telah disepakati. Jika diperlukan, pemerintah bisa menerapkan tarif impor sesuai dengan tingkat binding rate nya.

Tabel 6. Binding Rate dan Applied Rate Produk Kedelai

HS

1201.00.100 - Kuning 27 1995-2004 10 0 10

1201.00.200 - Hitam 27 1995-2004 10 0 10

1201.00.300 - Hijau 27 1995-2004 10 0 10

1201.00.400 - Coklat 27 1995-2004 10 0 10

1201.00.500 - Campuran 27 1995-2004 10 0 10

1201.00.900 - Lain-lain 27 1995-2004 0 0 10

1208.10.000 Tepung halus dan kasar dari kacang kedelai 10 1995-2004 0 0 0

1507.10.000

Minyak mentah dari kacang kedelai, dipisahkan gumnya

maupun tidak 35 1995-2004 0 0 0

1507.9

Minyak lainnya dari kacang kedelai

1507.90.100 Minyak kacang kedelai lainnya,dinetralkan dan dikelantang 35 1995-2004 0 0 0

1507.90.900

Minyak kacang kedelai lainnya, selain dinetralkan dan

dikelantang 35 1995-2004 0 0 0

1518.00.120 Minyak kacang kedelai dimodifikasi secara kimia 40 1995-2004 5 5 5

2304.00.000

Bungkil dan ampas padat lainnya dari ekstrasi minyak

kedelai 30 1995-2004 0 0 0

Sumber: Bea dan Cukai dalam Departemen Pertanian, 2005

Pengaruh Permintaan Impor dengan Analisis Model Armington.

(9)

Pengaruh kebijakan dan faktor-faktor eksogenous lainnya terhadap arus perdagangan kedelai di pasar internasional telah dianalisa oleh Rachmawati (1999) dan Rahmina, dkk (1999). Faktor-faktor eksogenous terdiri dari: (a) penggeser eksogenous permintaan seperti perubahan pendapatan dan selera konsumen, (b) penggeser eksogenous harga permintaan seperti perubahan nilai tukar mata uang, tarif impor, pajak ekspor dan biaya transportasi, dan (c) penggeser eksogenous penawaran seperti perubahan biaya produksi, teknologi, perkreditan dan penanaman modal. Pada kedua penelitian tersebut, faktor-faktor eksogenous yang dimunculkan adalah perubahan pajak ekspor dan perubahan biaya transportasi. Kedua perubahan tersebut akan mempengaruhi harga dan permintaan impor Indonesia dari masing-masing negara dan juga akan mempengaruhi harga dan permintaan kedelai domestik. Untuk mendapatkan hasil simulasi, dilakukan pemecahan jangka pendek dan jangka panjang. Pemecahan jangka pendek adalah jika diasumsikan bahwa penawaran ekspor adalah eksogenous pada periode tertentu dan dianggap konstan atau kurva penawaran ekspor adalah vertikal dengan elastisitas 0. Pada pemecahan jangka panjang asumsi tersebut tidak digunakan. Pada pembahasan makalah ini, digunakan analisis dengan menggunakan pemecahan jangka panjang karena dianggap bahwa penawaran ekspor kecil sekali kemungkinannya konstan dengan peningkatan produksi dan produktivitas yang pesat di negara produsen kedelai. Hasil pendugaan jangka panjang pada pergeseran harga permintaan kedelai dapat dilihat pada Tabel 6.

(10)

Tabel 6. Hasil Simulasi Pemecahan Jangka Panjang Perdagangan Kedelai Indonesia

Peubah Eksogenus Perubahan Volume Permintaan dari Perubahan Harga Permintaan dari

Indonesia USA Basilia Argentina ROW Indonesia USA Brasilia Argentina ROW

Penggeser harga permintaan

1. Pajak ekspor Amerika Serikat turun 5% -0.96 7.83 -7.1 -7.16 -7.09 -1.57 -4.97 0.01 0.03 0 2. Pajak ekspor di Brasilia meningkat 5 % 0.06 0.4 -14.5 0.39 0.4 0.09 0 5 0.01 0 3. Pajak ekspor di Argentin meningkat 5% 0.13 0.97 0.99 -13.91 0.99 0.22 0.01 0 4.97 0 4. Pajak ekspor di ROW meningkat 5% 0.03 0.18 0.18 0.17 -14.82 0.04 0 0 0 5 5. Biaya transpor ke seluruh mitra dagang

meningkat 5% 1.09 -6.08 -6.17 -5.91 -6.19 1.94 4.96 4.99 4.9 4.99

(11)

Hasil simulasi jika terjadi peningkatan biaya transportasi menunjukkan bahwa peningkatan harga impor yang terjadi sebesar 5 % menyebabkan penurunan volume impor sebesar 6%. Atau dengan kata lain elastisitas permintaan terhadap perubahan harga lebih besar dari 1 atau bersifat elastis sehingga perubahan volume impor peka terhadap perubahan harga impor. Berkurangnya volume impor menyebabkan permintaan terhadap kedelai lokal dan harga kedelai lokal meningkat. Walaupun perubahan harga dan volume kedelai lokal lebih besar karena pengaruh biaya transportasi dibandingkan jika negara pengekspor menerapkan kebijakan perdagangan, pengaruh perubahan harga dan volume permintaan produk domestik masih lebih kecil dibandingkan dengan perubahan harga dan volume impor. Hal ini menggambarkan kedelai lokal tidak dapat mensubstitusi sepenuhnya untuk menggantikan peran kedelai impor.

Hasil simulasi di atas menunjukkan bahwa perubahan kebijakan yang diambil oleh negara pengekspor akan memberikan dampak terhadap keadaan ekonomi kedelai di Indonesia sehingga antisipasi kebijakan nasional perlu dilakukan. Tingginya peran Amerika Serikat terhadap pangsa impor kedelai mengharuskan pemerintah menerapkan strategi perdagangan yang jitu untuk merespon kebijakan perdagangan kedelai Amerika. Adanya pemberian kredit impor dan subsidi ekspor kedelai Amerika akan mempengaruhi kondisi harga dan permintan kedelai lokal lebih besar dari

Karena pemerintah tidak dapat mempengaruhi kebijakan perdagangan negara pengekspor kedelai, yang dapat dilakukan untuk menghemat pengeluaran devisa misalnya dengan memilih impor dari negara yang mempunyai biaya transportasi yang rendah. Jika pemerintah ingin menigkatkan permintaan kedelai lokal, salah satu cara adalah dengan menerapkan kebijakan tarif impor. Dampak dari penerapan tarif impor dapat dianalogkan dengan peningkatan biaya transportasi dimana menyebabkan perubahan harga dan volume permintaan kedelai domestik lebih kecil dibandingkan dengan perubahan harga dan volume impor. Dengan demikian pengenaan tarif tidak terlalu mempengaruhi fluktuasi harga kedelai di pasar domestik. Analog dengan peningkatan biaya transportasi, peningkatan tarif sebesar 5% akan meningkatkan harga kedelai impor sebesar 5 % dan menurunkan permintaan kedelai impor sebesar 6%. Hal ini akan meningkatkan permintaan kedelai lokal sebesar 1 % dan harga kedelai lokal sebesar 2%.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

(12)

Produksi kedelai dunia mengalami peningkatan yang cukup berarti dengan Amerika Serikat sebagai negara dengan produksi terbesar menguasai perdagangan kedelai dunia. Posisi Indonesia sebagai negara kecil menyebabkan perubahan permintaan impor dari Indonesia, baik karena kebijakan pemerintah maupun karena perubahan permintaan dalam negeri tidak akan merubah harga dan jumlah keseimbangan pasar kedelai dunia.

Jika dibandingkan nilai transmisi harga dari konsumen ke produsen dengan nilai transmisi harga di tingkat dunia dan domestik, maka pengaruh harga konsumen lebih besar. Dengan demikian fluktuasi harga di tingkat domestik lebih dipengaruhi oleh harga di tingkat konsumen dibandingkan harga dunia. Hal ini kemungkinan disebabkan elastisitas substitusi kedelai domestik terhadap kedelai impor yang rendah karena bentuk dan kualitas yang berbeda. Dengan demikian usaha-usaha peningkatan mutu kedelai sangat diharapkan untuk dapat meningkatkan daya substitusinya terhadap kedelai impor.

Pengendalian harga oleh pemerintah di tingkat domestik pada kedelai dengan perubahan kebijakan yang ada sulit untuk dilakukan. Hal yang mungkin dilakukan oleh pemerintah adalah dengan penetapan tarif impor dengan tetap memperhatikan adanya kemungkinan retaliasi dari negara pengekspor dan mengikuti kesepakatan yang telah disetujui pemerintah dalam kerjasama regional. Penetapan tarif impor juga harus memperhitungkan dampaknya pada produsen dan konsumen. Sampai saat ini pemerintah telah menetapkan tarif impor kedelai yang masih lebih rendah dibandingkan dengan binding rate nya. Pemerintah perlu mempertimbangkan penetapan tarif optimal dengan memperhatikan keuntungan konsumen dan produsen.

Berdasarkan model Armington, penurunan pajak ekspor di Amerika Serikat memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap harga dan permintaan impor, dan harga dan volume kedelai domestik dibandingkan dengan pengaruh peningkatan pajak dari negara pengekspor lainnya. Hal ini menunjukkan angka ketergantungan impor kedelai Indonesia dari Amerika Serikat yang tinggi. Diperlukan negosiasi agar kemudahan impor yang ditawarkan dikompensasi dengan transfer teknologi penenaman kedelai.

Pengaruh biaya transportasi akan meningkatkan harga dan permintaan kedelai lokal walaupun tidak sebesar perubahan permintan dan harga impor yang terjadi. Jika Indonesia akan menerapkan kebijakan pengenaan tarif impor, maka kebijakan yang mendukung kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi kedelai selayaknya diterapkan. Berdasarkan simulasi kebijakan dengan menggunakan model Armington (Rachmawati, 1999), peningkatan penawaran kedelai lokal sebesaar 10 % karena program ekstensifikasi dan intensifikasi akan menaikkan permintaan kedelai lokal sebesar 4 % dan menurunkan impor kedelai Amerika sebesar 2 % dan impor dari negara lainnya dengan besaran yang lebih kecil.

Karena penurunan kedelai impor tidak dapat disubstitusikan secara sempurna oleh permintaan impor kedelai lokal, impor kedele tidak dapat dihindari sama sekali.

(13)

keunggulan komparatif di suatu wilayah tertentu

. Dari hasil simulasi harga kompetitif kedelai menunjukkan bahwa untuk menggantikan tanaman ubi jalar diperlukan harga kedelai yang meningkat lebih dari 85% di beberapa daerah di Pulau Jawa. Pada daerah yang memproduksi ubi jalar tidak perlu dipaksakan untuk mengganti tanamannya dengan kedelai.

Perubahan harga dan volume impor kedelai sebenarnya tidak hanya mempengaruhi harga dan volume permintaan kedelai domestik, tapi juga akan mempengaruhi produksi dan harga output komoditas lainnya yang menggunakan bahan baku kedelai. Dampak perubahan ini juga dapat dilihat pada perubahan peubah ekonomi makro seperti inflasi, penyerapan tenaga kerja dan konsumsi. Secara ekonomi pengaruh perubahan tersebut dapat dihitung misalnya dengan menggunakan model ekonomi keseimbangan umum (lihat Oktaviani, 2000 untuk dampak dari perdagangan bebas APEC terhadap ekonomi Indonesia dan sektor pertanian). Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat dampak impor kedelai terhadap peubah selain harga dan permintaan kedelai domestik.

Daftar Pustaka

Babula, R. A. (1987), An Armington model of U.S cotton exports, “The Journal of Agricultural Economics Research” 39: 12-22.

Biro Pusat Statistik (1999), Statistik Impor, BPS. Jakarta

Bulog (1999), Statistik Harga Eceran, Harga Produsen dan Harga Perdagangan Besar, Bulog. Jakarta.

Departemen Pertanian (2005), Data Base Pemasaran Internasional Kedele, Departemen Pertanian, Jakarta.

FAO Home Page: http://www.fao.org, 16 Januari 2002

Oktaviani (2000), The Impact of APEC Trade Liberalisation on Indonesian Economy and Its Agricultural Sector, Disertasi PhD, tidak dipublikasikan, Sydney University, Sydney

Perindag (2002), Analisis Bea Masuk Impor Kedelai, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Jakarta.

Rachman, B, Susilowati, S.H., Marlian, H., dan Kariyasa, K. (2000), Dinamika dan Prospek Harga dan Perdagangan Komoditas Pertanian dalam “Analisis Kebijakan Pembangunan Pertanian: Respon terhadap Isu Aktual”, Departmen Pertanian.

Rachmawati (1999), Analisis Perdagangan Kedelai di Indonesia (Penerpan Model Armington), Skripsi Sarjana (tidak dipublikasikan), Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.

(14)

Lembaga Penelitian IPB dengan badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor

Siregar, M. (1999), Metoda Alternatif Penentuan Tingkat Hasil dan Harga Kompetitif: Kasus Kedelai, “Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE)”, Volume 17 No1. Juli 1999. Halaman 66-73

Tomich, Thomas P (1992), Survey of Recent Development, “Bulletin of Indonesian Economic Studies”, Vol 28 No 3, December 1992, Halaman 3-39.

Gambar

Tabel 1. Perkembangan Produksi, Ekspor dan Impor Kedelai Dunia (Ton)
Tabel 5.  Transmisi Harga Konsumen terhadap Harga Produsen, dan Harga Duniaterhadap Harga Domestik
Tabel 6. Binding Rate dan Applied Rate Produk Kedelai
Tabel  6. Hasil Simulasi Pemecahan Jangka Panjang Perdagangan Kedelai Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

sebagai efek negatif dari label yang membuat seseorang terpisah dari orang lain. 377) menjelaskan bahwa stigma dapat digambarkan. dari gabungan beberapa komponen yaitu

kunjungan rumah dilakukan, tim mendapatkan tinggi badan Sangguno kurang dari -3 SD Standar WHO NCHS. Bagaimana Saudara menjelaskan apa yang terjadi pada Sangguno

Ada hubungan yang signifikan antara tingkat kesegaran jasmani terhadap prestasi belajar Penjas siswa SMK Negeri 4

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan kasih karuniaNya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

Posisi ini paralel dengan konsep Sozialen Rechtsstaat yang berkembang di Jerman Barat selepas Perang Dunia II, sehingga secara konseptual konsep Rechtsstaat yang dimaksud oleh

Penelitian ini bertujuan mendeteksi kemampuan bakteri endofit dalam menghasilkan senyawa anticendawan yang dapat menekan perkembangan patogen penyebab penyakit busuk pangkal batang

(Teruw’ah) 77 yang juga diterjemahkan dengan sorak (ay. Sorak-sorai yang dimaksud dalam pujian adalah suatu ekspresi dari sukacita dan tanda kegembiraan yang besar. 78 Orang

Sumber air di Balai Benih Ikan (BBI) Tenggarang berasal dari aliran irigasi DAM yang airnya terdapat banyak sampah rumah tangga, Menurut hasil wawancara dengan teknisi BBI