• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka Dalam Hukum Tata Negara di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kedudukan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka Dalam Hukum Tata Negara di Indonesia"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

79

A.

Dinamika Peraturan Perundang-undangan tentang Aceh

Indonesia melalui Peraturan Perundang-undangan mengakui

dan

menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau

bersifat istimewa, hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 18B

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

132

Perjalanan

ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan

Pemerintahan Daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter

khas sejarah perjuangan rakyat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang

tinggi.

Peraturan Perundang-undangan mengenai Aceh turut mengalami dinamika

sesuai dengan Konstitusi yang berlaku di Indonesia, khususnya mengenai

substantif terkait kewenangan Aceh. Adapun dinamika Peraturan

Perundang-undangan tersebut dapat digambarkan melalui skema 2.1 berikut ini:

132 Pasal 18B (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan

(2)

Skema 2.1

133

Konstitusi dan dinamika peraturan perundang-undangan tentang Aceh

X

X

X

X

X

X

X

X

133

(3)

1.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai

Kedudukan Komite Nasional Daerah

Pada tanggal 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI) telah menetapkan terkait wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas 8 (delapan) Provinsi, yaitu:

134

a.

Provinsi Jawa Barat

b.

Provinsi Jawa Tengah

c.

Provinsi Jawa Timur

d.

Provinsi Sumatera

e.

Provinsi Borneo

f.

Provinsi Sulawesi

g.

Provinsi Maluku

h.

Provinsi Sunda Kecil

Menelaah Ketetapan yang ditetapkan PPKI, dan berdasarkan demografi

Aceh secara otomatis berada dalam lingkup Provinsi Sumatera yang

berkedudukan di Medan. Selanjutnya Mr T. M. Hasan diangkat sebagai

Gubernur Provinsi Sumatera. Pada periode ini Aceh hanya sebagai salah satu

keresidenan yang ada dalam Provinsi Sumatera, dengan residennya yang

pertama yakni T. Nyak Arif dan Wakil Residennya T. M. Ali Panglima

Polim.

135

134 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh,

Depdikbud, Jakarta, 1977, hal. 180. Lihat juga dalam C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 22.

135

(4)

Pada perkembangannya kegiatan Pemerintahan di daerah Aceh baru

berjalan pada awal bulan Oktober 1945, setelah keluarnya penetapan dari

Gubernur Negara Republik Indonesia Provinsi Sumatera, tepatnya pada tanggal

3 Oktober 1945, tentang pengangkatan pejabat Pemerintah Negara Republik

Indonesia di seluruh Sumatera. Dalam melaksanakan Pemerintahan di daerah

Aceh, T. Nyak Arif dibantu oleh Komite Nasional Daerah yang dibentuk

berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai

Kedudukan Komite Nasional Daerah, yang ditetapkan pada tanggal 23

November 1945.

136

Perkembangan Residen Aceh, sejak pertengahan bulan Januari 1946,

diangkat T. Daud Syah, yang juga merangkap sebagai Ketua Komite Nasional

Daerah. Selanjutnya pada 26 Agustus 1947 ditetapkan daerah-daerah

Keresidenan Aceh, Kabupaten Langkat, dan Kabupaten Tanah Karo menjadi

suatu Daerah Militer Istimewa, serta mengangkat Tgk M. Daud Beureueh

sebagai Gubernur Militer di daerah tersebut dengan pangkat Jenderal Mayor

Tituler.

137

136 Ibid.

137 Perubahan bentuk di Aceh ini adalah sejalan dengan usaha untuk menyusun pertahanan

yang kokoh dalam usaha mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia dari Agresi Belanda I dan II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 182.

(5)

2.

Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pembagian Sumatera Dalam

Tiga Provinsi

Lahirnya Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pembagian

Sumatera Dalam Tiga Provinsi, yang pada intinya menetapkan bahwa daerah

Sumatera dibagi menjadi 3 (tiga) Provinsi, yaitu:

138

a.

Provinsi Sumatera Utara, yang meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera

timur, dan Tapanuli.

b.

Provinsi Sumatera Tengah, yang meliputi Keresidenan Sumatera Barat,

Riau, dan Jambi.

dalam tahanan mereka. Untuk perjuangan selanjutnya Sumatera dijadikan Daerah Militer yang dipimpin oleh Gubernur Militer, hal ini ditujukan untuk memperlancar roda Pemerintahan baik sipil maupun militer. Oleh karena keadaan di Sumatera berlainan dengan di Jawa dan residen-residen Sumatera berpendidikan cukup dan berpengalaman selama 3 (tiga) tahun berevolusi serta cukup berwibawa menghadapi rakyat dan tentara, maka diangkatlah Gubernur Militer yang semuanya adalah terdiri dari orang-orang sipil, sehingga susunan Gubernur Militernya adalah:

a. Gubernur Militer untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo adalah Tgk M. Daud Beureueh.

b. Gubernur Militer untuk daerah Sumatera timur dan Tapanuli adalah Dr. Ferdinand Lumban Tobing.

c. Gubernur Militer untuk daerah Sumatera Barat adalah Mr. St Moh. Rasyid. d. Gubernur Militer untuk daerah Riau adalah R.M. Oetoyo.

e. Gubernur Militer untuk daerah Sumatera Selatan dan Jambi adalah Dr. Adnan Kapau Gani. Teuku Moehammad Hasan, Gubernur Sumatera Dari Aceh Ke Pemersatu Bangsa , Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 1999, hal. 490-491. Lihat juga dalam Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hal. 400.

Patut juga untuk ditelaah bahwa paska terjadinya konflik horizontal di Aceh (periode tahun 1946) yakni peristiwa Cumbok. Gubernur Sumatera mengeluarkan Ketetapan No. 204 bertanggal 11 Agustus 1946, bahwa kondisi Pemerintahan di Aceh pada waktu itu dipimpin oleh 2 (dua) Pemerintahan, yaitu sipil dan militer. Adapun Pemerintahan sipil dipimpin oleh Mr. S. M. Amin yang menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara yang berkedudukan di Banda Aceh. Sedangkan Pemerintahan militer dipimpin oleh Tgk M. Daud Beureueh yang menjabat Gubernur militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Abdullah Sani Usman, Krisis Legitimasi Politik Dalam Sejarah Pemerintahan di Aceh, Puslitbang Lektur Keagamaan, Jakarta, hal. 181.

138 Pasal 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pembagian Sumatera Dalam Tiga

(6)

c.

Provinsi Sumatera Selatan, yang meliputi Keresidenan Bengkulen,

Palembang, Lampung, dan Bangka Belitong.

Provinsi Sumatera Utara meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur

dan Tapanuli. Akan tetapi karena suasana/keadaan yang masih belum terjamin

keamanannya,

berbagai

ketetapan-ketetapan

tersebut

tidak

dapat

berjalan/dilaksanakan sehingga Daerah Militer Istimewa bagi Aceh

Kabupaten Langkat

Kabupaten Tanah Karo masih tetap berjalan. Adapun

segala pertanggung jawaban Pemerintah Sipil dan Militer tetap dibebankan

kepada Gubernur Militer, yakni Tgk M. Daud Beureueh. Posisi Gubernur

Sumatera hanya merupakan Komisaris Daerah yang bertugas untuk

mengadakan pengawasan dan memberikan tuntutan terhadap jalannya

Pemerintahan. Kekuasaan yang diberikan kepada Gubernur Militer ini

diperkuat lagi berdasarkan Keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia

(PDRI) No. 21/Pem/PDRI tanggal 16 Mei 1949, serta Keputusan No.

22/Pem/PDRI tanggal 17 Mei 1949, yang melimpahkan kekuasaan sipil dan

militer berada pada tangan Gubernur Militer, yakni Tgk M. Daud Beureueh.

139

Pada periode Tahun 1948, dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah, turut dilahirkan juga Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang

Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, kehadiran Undang-Undang tersebut juga

139 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 184. Lihat juga dalam Keputusan

(7)

berimplikasi terkait Pemerintahan Daerah di Sumatera yang sebelumnya telah

lebih dahulu dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang

Pembagian Sumatera Dalam Tiga Provinsi.

Kehadiran Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah, pada dasarnya membawa implikasi yang positif dalam

rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Hal tersebut sebagaimana yang

ditegaskan dalam Pasal 1

140

bahwa daerah-daerah yang dapat mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis, yaitu:

a. Daerah Otonom (biasa).

b. Daerah Istimewa.

141

Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah, substansi lainnya juga membagi daerah Indonesia

menjadi 3 (tiga) daerah otonom yang selanjutnya menjadi cikal bakal sampai

dengan dewasa ini, yaitu Provinsi, Kabupaten, Desa. Sedangkan Keresidenan

meskipun mempunyai lembaga DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)

tidak ditetapkan sebagai daerah otonom. Hal ini tentunya berbeda dengan

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-Undang No. 1

140 Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. 141

(8)

Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional, yang telah menetapkan

Keresidenan sebagai daerah otonom.

142

3.

Peraturan

Wakil-Wakil

Perdana

Menteri

Pengganti

Peraturan

Pemerintah No. 8/Des/WKPM Tahun 1949 tentang Pembentukan Provinsi

Aceh

Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1949 tentang Kedudukan

dan Kekuasaan Wakil Perdana Menteri di Sumatera,

143

yakni pada tanggal 30

September 1949 diangkat Mr Syafruddin Prawiranegara sebagai Wakil Perdana

Menteri yang berkedudukan di Sumatera, untuk melancarkan jalannya roda

Pemerintahan. Adapun pusat Pemerintahan di Sumatera ini dipindahkan ke

Kutaraja, sejak Bukit Tinggi jatuh ke tangan Belanda pada masa Agresi

Belanda II.

144

142

Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah, Laksbang Mediatama, Surabaya, 2008, hal. 37.

143 Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 1949 tentang Kedudukan dan Kekuasaan

Wakil Perdana Menteri di Sumatera, disebutkan bahwa “di daerah Sumatera dapat ditempatkan seorang Wakil Perdana Menteri”. Selanjutnya pada Pasal 2 disebutkan bahwa “Kepada Wakil Perdana Menteri tersebut dalam Pasal 1 diberi kekuasaan, dalam keadaan yang memaksa, untuk daerah Sumatera atau sebagian dari daerah Sumatera, atas nama Presiden menetapkan peraturan:”

a. Yang masalahnya seharusnya diatur dengan Undang-Undang, Peraturan ini dinamakan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Undang-Undang.

b. Yang masalahnya seharusnya diatur dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan ini dinamakan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah.

144 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 184. Lihat juga dalam Tgk. A.K.

(9)

Pada masa Pemerintahan Wakil Perdana Menteri Mr Syafruddin

Prawiranegara, bentuk Pemerintahan di Sumatera Utara dan Aceh mengalami

perubahan lagi. Dalam hal ini berdasarkan Peraturan Wakil-Wakil Perdana

Menteri pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM Tahun 1949, yang

selanjutnya Provinsi Sumatera Utara dipecah menjadi 2 (dua) Provinsi, yaitu:

145

a.

Provinsi Aceh, untuk Gubernurnya diangkat Tgk M. Daud Beureueh.

b.

Provinsi Tapanuli Sumatera Timur, yang mulai berlaku sejak tanggal 1

Januari 1950.

Perkembangan yang terjadi paska pembagian Provinsi Sumatera Utara,

atas Provinsi Aceh, dan Provinsi Tapanuli Sumatera Timur telah menimbulkan

friksi dari berbagai pihak, baik dari masyarakat, maupun dari Pemerintah

Republik Indonesia. Bagi yang kontra akan hal ini, menilai pembentukan

Provinsi Aceh ini jelas sangat bertentangan dengan Undang-Undang No. 22

Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, sekaligus mempersulit

Pemerintah Republik Indonesia dalam usaha untuk merealisasikan semua hasil

yang dicapai dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Di sisi lain, bagi pihak

yang pro akan hal ini tetap berusaha untuk mempertahankan agar status otonom

145 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 184. Lihat juga dalam Peraturan

(10)

bagi Aceh tetap berjalan, sekaligus menyatakan bahwa pembentukan Provinsi

Aceh adalah merupakan keinginan dari rakyat Aceh.

146

4. Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah

Provinsi

Pada periode ini, Pemerintah Republik Indonesia telah menghadapi

suatu masalah yang rumit, yang mana pada tanggal 19 Agustus 1950 adanya

persetujuan RIS (Republik Indonesia Serikat)

RI (Republik Indonesia), serta

berdasarkan Ketetapan Sidang Dewan Menteri tanggal 8 Agustus 1950

melahirkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan

Daerah Provinsi, yang menetapkan pembagian wilayah Republik Indonesia atas

10 Provinsi, yaitu:

147

146 Adanya perbedaan pendapat terkait status Provinsi Aceh, yang terjadi dalam rakyat Aceh,

maka Pemerintah Republik Indonesia pada bulan Maret 1950, mengirimkan suatu panitia penyelidik mengenai pembentukan Provinsi Aceh yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri (Mr Susanto Tirtoprojo). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 185.

147 Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Provinsi.

(11)

a.

Jawa Barat

b.

Jawa Tengah

c.

Jawa Timur

d.

Sumatera Utara

e.

Sumatera Tengah

f.

Sumatera Selatan

g.

Kalimantan

h.

Sulawesi

i.

Maluku

j.

Sunda Kecil

Dalam rangka meleburkan status Provinsi Aceh yang kembali

bergabung dengan Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Republik Indonesia

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun

1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi di Sumatera,

tertanggal 14 Agustus 1950. Selanjutnya diamandemen menjadi

Undang-Undang Darurat Republik Indonesia No. 16 Tahun 1955 tentang Pengubahan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang

Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi di Sumatera, yang pada intinya

memutuskan “

mencabut Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan

Pemerintah No. 8/Des/WKPM tahun 1949 tentang Pembentukan Provinsi

(12)

Aceh

”, dan sekaligus menetapkan pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang

meliputi Keresidenan Aceh, Tapanuli dan Sumatera Timur.

148

5. Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom

Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera

Utara

Paska dileburnya Aceh kedalam Provinsi Sumatera Utara melalui

Undang No. 5 Tahun 1950 tertanggal 14 Agustus 1950 jo

Undang-Undang Darurat Republik Indonesia No. 16 Tahun 1955 tentang Pengubahan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Pembentukan

Daerah-Daerah Otonom Provinsi di Sumatera. Dalam perkembangannya

berbagai konflik telah tercipta di Aceh, khususnya konflik secara vertikal antara

rakyat Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia.

Untuk mengatasi berbagai konflik vertikal yang terjadi di Aceh, DPR

(Dewan Perwakilan Rakyat) melalui sidangnya mengeluarkan usul mosi supaya

Pemerintah Republik Indonesia menunjuk Aceh sebagai daerah otonom. Usulan

tersebut direspon Pemerintah Republik Indonesia tepatnya pada tanggal 29

Desember 1956, dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1956

148 Pasal 1 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia No. 16 Tahun 1955 tentang

(13)

tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan

Pembentukan Provinsi Sumatera Utara,

149

yang menetapkan Aceh sebagai

Provinsi otonom. Hal ini merupakan salah satu upaya dari Pemerintah Republik

Indonesia untuk meredam berbagai macam konflik vertikal yang sedang

berlangsung di Aceh.

Berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk

meminimalisir konflik yang terjadi di Aceh, diantaranya Pemerintah Republik

Indonesia juga mengangkat Ali Hasymi sebagai Gubernur Aceh, berdasarkan

Ketetapan Presiden No 615/M/1957, tanggal 5 Januari 1957. Adapun pelantikan

Ali Hasymi sebagai Gubernur Aceh dilaksanakan pada tanggal 27 Januari

1957.

150

Menyikapi dinamika yang terjadi di Aceh, khususnya mengenai

penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh. Sekaligus dalam rangka untuk

menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Sementara

Tahun

1950,

tidak

lama

berselang

lahir

Undang-Undang

tentang

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang berlaku secara nasional, yaitu

Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

Daerah.

149 Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi

Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara.

150 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 188. Lihat juga dalam Ketetapan

(14)

Adapun

karakteristik

penyelenggaraan

Pemerintahan

Daerah

berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah, yaitu:

151

a. Otonomi yang diberikan bersifat otonomi riil. Artinya, banyak

sedikitnya fungsi atau urusan yang diserahkan kepada daerah otonom

didasarkan pada kepentingan dan kemampuan daerah bersangkutan.

b. Pembagian daerah otonom yaitu Daerah Tingkat I setingkat Provinsi

termasuk Kotapraja Jakarta Raya, Daerah Tingkat II setingkat

Kabupaten termasuk Kotapraja, dan Daerah Tingkat III.

c. Negara dapat melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan

Pemerintahan oleh Pemerintahan Daerah baik secara preventif maupun

represif.

Berdasarkan

uraian

mengenai

karakteristik

penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah yang termaktub di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun

1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dapat ditelaah bahwa adanya

tindakan hukum agar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam

penyelenggaraan Pemerintahannya dapat menciptakan kondisi yang harmonis,

sekaligus mereduksi berbagai konflik yang terjadi di Indonesia, khususnya di

Aceh.

6. Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 tentang

Penetapan Daerah Swatantra Tingkat I Aceh Sebagai Daerah Istimewa

Aceh.

151 Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 41-43. Lihat juga dalam C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil,

(15)

Pemerintah Republik Indonesia kembali mengakomodir aspirasi dari

rakyat Aceh untuk mencapai kata sepakat mengenai pemulihan keamanan,

dengan mengutus suatu missi di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri I (Mr

Hardi). Missi ini dikenal dengan “Missi Hardi”, pada tanggal 26 Mei 1959

menghasilkan suatu Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No.

1/Missi/1959 tentang Penetapan Daerah Swatantra Tingkat I Aceh Sebagai

Daerah Istimewa Aceh, dengan otonomi yang seluas-luasnya terutama dalam

bidang:

152

Keagamaan, Peradatan, Pendidikan.

Lahirny

a “Misi Hardi” tersebut merupakan aspirasi

-aspirasi yang selama

ini telah dikemukakan oleh rakyat Aceh, khususnya terkait dalam bidang

keagamaan, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Tgk M. Daud Beureueh

kepada Soekarno (Selaku Presiden Republik Indonesia), pada saat

kunjungannya di Aceh.

Realitanya Pemerintah Republik Indonesia masih terlihat setengah hati

dalam mengakomodir aspirasi dari rakyat Aceh. Hal ini dapat ditelaah, bahwa

paska lahirnya “Misi Hardi”

Pemerintah Republik Indonesia tidak serta merta

merevisi Peraturan Perundang-undangan mengenai Aceh, dan juga tidak

melahirkan Undang-

Undang baru yang bersifat mengakomodir “Misi Hardi”

152 Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 tentang Penetapan

(16)

tersebut. Sehingga dalam perkembangan di Aceh, konflik vertikal masih laten

terjadi di Aceh.

7.

Undang-Undang

No.

44

Tahun

1999

tentang

Penyelenggaraan

Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh

Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dalam konteks

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah secara nasional, telah mengalami

berbagai dinamika, khususnya dalam bentuk peraturan Perundang-undangan,

diantaranya:

a. Undang-Undang

No.

18

Tahun

1965

tentang

Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah.

153

b. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

Daerah.

154

153

Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, masih menganut unsur-unsur yang terkandung di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok Pemerintahan Daerah. Oleh karenanya Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah masih menganut asas otonomi seluas-luasnya, menganut sistem rumah tangga riil/nyata, dan susunan daerah otonomi terdiri atas 3 (tiga) tingkatan yaitu Dati I, Dati II, Dati III. Dengan catatan daerah swapraja sudah tidak dianut lagi. Juanda, Op.Cit, hal. 175. Lihat juga dalam C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Op.Cit, hal. 39-41.

Sudono Syueb mencatat bahwa pada Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, telah direduksinya kekuasaan DPRD karena kekuasan DPRD diatur sangat minim. Kekuasaan DPRD hanya sebatas pada pembuatan Peraturan Daerah dan mencalonkan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 49-50.

154 Patut untuk ditelaah bahwa lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang

(17)

c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

155

Bahwa pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terkenal dengan peristiwa G.30.S.PKI, yang berujung pada runtuhnya kekuasaan rezim Orde Lama setelah dilengserkan oleh MPRS akibat Pidato Pertanggungjawaban Presiden Soekarno ditolak MPRS. Selanjutnya lahirlah rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Pada awal masa kekuasaan (Presiden Soeharto), salah satu kebijakan yang diterbitkan adalah mencabut Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang didasari atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 50.

Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, tidak lagi menggunakan prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya, tetapi diubah menjadi prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah, yang dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi bukan sekedar pelengkap terhadap asas desentralisasi, tetapi sama pentingnya dalam peneyelenggaraan Pemerintahan di daerah. Juanda, Op.Cit, hal. 180.

155 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, tidak dapat dipisahkan

dari gejolak politik yang terjadi di tanah air. Diantaranya pada tanggal 21 Mei 1998 mengambil keputusan untuk mundur dari jabatan Presiden, hal ini dilandasi dengan keadaan politik di Indonesia yang sedemikian genting, dikarenakan ada beberapa menteri membuat pernyataan tidak bersedia bergabung dengan kabinet reformasi yang dirancang oleh Presiden Soeharto. Serta adanya peningkatan instabilitas keamanan dalam negeri, yang dipicu oleh maraknya aksi demo yang menuntut reformasi. Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 64.

Keberlakuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan upaya terus menerus untuk menata sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia yang sebelumnya masih mengalami kekurangan, kelemahan, dan menghambat demokratisasi di Daerah. Oleh sebab itu, di dalam Undang-Undang ini terdapat beberapa perbaikan, antara lain: menguatnya peran dan fungsi DPRD, termasuk adanya pertanggung jawaban Kepala Daerah terhadap DPRD dan dihilangkannya beberapa ketentuan-ketentuan yang memandulkan prinsip demokrasi di Daerah. Sehingga, dengan semangat proporsionalitas yang dilandasi dengan semangat keseimbangan, kesetaraan dan kemitraan setidaknya secara teoretik akan membuka peluang terwujudnya otonomi daerah sekaligus memperkuat pelaksanaan desentralisasi, demokrasi dan pembagian kekuasaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sejahtera, adil, dan teratur. Juanda, Op.Cit, hal. 192 dan 196.

Patut juga untuk ditelaah bahwa Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, juga didasari pada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat politik hukum, diantaranya:

a. TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.

b. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

(18)

Patut untuk ditelaah bahwa dinamika peraturan Perundang-undangan

tentang Pemerintahan Daerah tersebut lahir dalam periode kembalinya

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi

Republik Indonesia. Hal ini tentunya tidak dapat dipisahkan dari berbagai

gejolak politik yang terjadi di tanah air, sehingga di dalam penyelenggaraan

Pemerintahannya turut mempengaruhi penyelenggaraan Pemerintahan di

daerah.

Dalam konteks penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, pada tanggal 4

Oktober 1999 lahir Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Lahirnya

Undang-Undang ini, pada dasarnya untuk mengakomodir hal-hal yang telah

disepakati pada “Misi Hardi”, baik mengenai keagamaan, peradatan dan

pendidikan.

Pada periode ini Pemerintah Republik Indonesia mulai menyadari

bahwa untuk menghentikan konflik vertikal yang masih terus berlangsung di

Aceh, yakni dengan cara mengakomodir aspirasi-aspirasi yang berkembang

luas dalam rakyat Aceh. Oleh karenannya, Undang-Undang ini diharapkan

dapat diterima oleh segenap lapisan rakyat Aceh.

Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

(19)

keistimewaan

156

Aceh. Adapun keitimewaan Aceh berdasarkan

Undang-Undang ini yaitu:

157

a.

Penyelenggaraan kehidupan beragama.

b.

Penyelenggaraan kehidupan adat.

c.

Penyelenggaraan pendidikan.

d.

Peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.

Patut untuk ditelaah bahwa kewenangan Aceh yang bersifat istimewa,

pada prinsipnya telah disepakati oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui

“Missi Hardi”, akan tetapi baru dapat direalisasikan sekitar 40 (empat puluh)

tahun kemudian melalui Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Hal ini

sebenarnya dapat menentukan perkembangan politik hukum di Aceh, dan akan

berbeda hasilnya jika dapat direalisasikan lebih awal.

Pada sisi lain, adanya metamorfosa Peraturan Perundang-undangan

tentang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Aceh, tidak dapat dipisahkan

dari perkembangan Pemerintahan Daerah dalam konteks nasional, yang mana

156

Keistimewaan merupakan pengakuan dari bangsa Indonesia yang diberikan kepada Daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan. Pasal 3 (1) Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

157 Pasal 3 (2) Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan

(20)

hal ini merupakan

output

dari gejolak politik dalam melahirkan tuntutan

reformasi yang berlangsung pada periode Tahun 1998.

8.

Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam

Perjalanan penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa

Aceh, dipandang masih kurang memberikan kehidupan di dalam keadilan, atau

keadilan di dalam kehidupan. Dalam perkembangannya kondisi tersebut masih

belum dapat mengakhiri konflik vertikal di Aceh sehingga pada tanggal 9

Agustus 2001 lahir Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam, hal ini berarti Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 lahir setelah

adanya amandemen ke-II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, dengan demikian Undang-Undang ini merupakan peraturan

organik (

Organieke Verordening

) untuk Pasal 18B (1)

158

Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

158 Pasal 18B (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan

(21)

Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

pada umumnya untuk menguatkan perihal keistimewaan bagi Provinsi Aceh

yang ada pada Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, tapi disisi lain, pada

Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 menambahkan beberapa kewenangan yang dimiliki

Aceh, diantaranya:

a.

Pengaturan dana perimbangan, pada prinsipnya sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Republik Indonesia dan Daerah, kecuali ketentuan

mengenai “Bagi Hasil” antara Pusat dan Aceh

. Undang-Undang No. 18

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa

Aceh, Pasal 4 (3). Seperti Pajak penghasilan orang pribadi = 20%

(Daerah lain = 0), Hasil Pertambangan Minyak Bumi = 70% (Daerah

lain = 15%) selama 8 tahun, sesudahnya 50%, Hasil Pertambangan Gas

Alam = 70% (Daerah lain = 30%) selama 8 tahun, sesudahnya 50%.

(22)

b.

Pembentukan

Wali

Nanggroe

dan

Tuha

Nanggroe

sebagai

penyelenggara adat, budaya dan pemersatu masyarakat (hanya sebagai

simbol, bukan lembaga politik dan Pemerintahan).

159

c.

Penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah oleh

Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang terdiri atas anggota KPU dan

anggota masyarakat.

160

d.

Pengangkatan Kepala Kepolisian Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

dengan persetujuan Gubernur.

161

e.

Peradilan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai

bagian dari sistem peradilan nasional oleh Mahkamah Syar‟iyah,

diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.

162

Menarik untuk ditelaah bahwa dalam rangka penyelenggaran

Pemerintahan Daerah pada konteks nasional, lahir Undang-Undang No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan hak yang sangat besar kepada

daerah untuk mengurus rumah tangga dan Pemerintahan Daerah sesuai prakarsa

159 Pasal 10 Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi

Daerah Istimewa Aceh.

160

Pasal 13 (2) Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

161 Pasal 26 (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi

Daerah Istimewa Aceh.

162 Pasal 25 Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi

(23)

sendiri guna mewujudkan kesejahteraan rakyat daerah bersangkutan. Adapun

prinsip otonomi daerahnya yaitu otonomi daerah secara luas dan nyata, dengan

demikian diharapkan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dapat berlangsung

sesuai prinsip demokrasi, baik dalam pemilihan Kepala Daerah dan wakil

rakyat di daerah.

163

9.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia

untuk meminimalisir konflik vertikal yang berkesinambungan, baik melalui

pendekatan militer, maupun pendekatan Peraturan Perundang-undangan, serta

pada era Reformasi tidak luput juga dilakukannya perundingan-perundingan

diantara para pihak.

Puncaknya pada tanggal 15 Agustus 2005 kedua belah pihak

menyepakati lahirnya Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) antara Pemerintah

163 Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 94.

(24)

Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Penandatanganan MoU

Helsinki dalam perkembangannya menjadi kilas baru sejarah perjalanan

Provinsi Aceh, serta kehidupan masyarakat menuju keadaan yang damai, adil,

makmur, sejahtera, dan bermartabat. Dalam hal ini para pihak bertekad untuk

menciptakan kondisi sehingga Pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan

melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam bingkai Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI).

Berdasarkan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) tersebut, Pemerintah

Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, menyepakati hal-hal yang

diantaranya “

Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintaha n di

Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan

selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006

”.

164

Adanya amanat dari Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) untuk

melahirkan Undang-Undang yang baru tentang Aceh, hal ini direspon

Pemerintah Republik Indonesia dengan lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun

2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada tanggal 1 Agustus 2006. Aspirasi yang

dinamis dari rakyat Aceh bukan saja dalam kehidupan adat, budaya, sosial, dan

politik mengadopsi keistimewaan Aceh, melainkan juga memberikan jaminan

164 Point 1.1.1 Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh

(25)

kepastian hukum dalam segala urusan karena dasar kehidupan rakyat Aceh

yang religius telah membentuk sikap, daya juang yang tinggi, dan budaya Islam

yang kuat.

165

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada

prinsipnya mengatur kewenangan yang bersifat khusus kepada Pemerintah

Aceh. Adapun kewenangan daerah dalam melaksanakan otonomi khusus yaitu

menyelenggarakan wewenang yang masih menjadi kewenangan dari

Pemerintah Republik Indonesia.

166

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, telah

menjadi esensi dalam menyelenggarakan Pemerintahan Aceh yang lebih baru,

165

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada Penjelasan Umum.

166 Husni Jalil dalam M. Solly Lubis, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi, PT.

Sofmedia, Jakarta, 2010, hal. 120.

Adapun kewenangan yang berifat khusus dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sesuai dengan Pasal 7, yaitu: (1) Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah. (2) kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan Pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. (3) dalam menyelenggarakan kewenangan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat:

a. Melaksanakan sendiri.

b. Menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

c. Melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dan/atau instansi Pemerintah.

(26)

sebagaimana diutarakan Ahmad Farhan Hamid

167

bahwa Undang-Undang No.

11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah jembatan emas menuju Aceh

baru, yang bukan saja damai, tapi juga berkeadilan dan makmur sejahtera,

selanjutnya

adalah

keikhlasan

dan

komitmen

para

pihak

untuk

mengimplementasikannya.

Lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan

Aceh, ternyata juga berimplikasi bagi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

dalam konteks nasional. Hal ini dapat ditelaah bahwa tidak lama berselang lahir

juga Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah,

Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah pada

Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan, Pemerintah Aceh memiliki beberapa kewenangan yang bersifat istimewa dan khusus, diantaranya:

a. Penyelenggara pemilihan, sesuai dengan amanat Pasal 56 (1), yang berbunyi “KIP Aceh menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA, DPRK, dan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota”.

b. Partai politik lokal, sesuai dengan amanat Pasal 75 (1), yang berbunyi “Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal”.

c. Lembaga wali nanggroe, sesuai dengan amanat Pasal 96 (1), yang berbunyi “Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga -lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara -upacara adat lainnya”.

d. Syariat Islam, sesuai dengan amanat Pasal 126 (1), yang berbunyi “setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam”.

e. Bendera dan lambang Aceh, sesuai dengan amanat Pasal 246 (2), yang berbunyi “selain Bendera Merah Putih, Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan”.

167

(27)

dasarnya untuk menyempurnakan regulasi pemilukada

168

secara langsung.

169

Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, pada

awalnya dipersiapkan untuk merespons putusan Mahkamah Konstitusi No.

5/PUU-V/2007 tanggal 23 Juli 2007.

170

168 Terminologi pemilukada, pada awalnya adalah pilkada. Pemilukada dimaksudkan sebagai

suatu bentuk rezim dari pemilu, yang mana hal ini ditegaskan oleh Undang-undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum jo Undang-undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, yang tertera pada Pasal 1 (4), yang berbunyi “pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

169

Adapun pertimbangan dilahirkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, diantaranya:

a. Bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah terjadi perubahan, terutama setelah Putusan Mahkamah Konstitusi tentang calon perseorangan (independen).

b. Bahwa dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum diatur mengenai kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya.

c. Bahwa dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum diatur mengenai pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang meninggal dunia, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya. Pada huruf (c), (d), (e) pada konsiderans Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

170 Putusan MK No. 5/PUU-V/2007 menyatakan adanya pertentangan hukum antara Pasal 56,

Pasal 59, dan Pasal 60 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dengan Pasal 18 (4), Pasal 27 (1), Pasal 28D (1 dan 3), serta Pasal 28I (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, proses pencalonan Kepala Daerah lewat jalur perseorangan (independen) sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dimana Pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin hak-hak konstitusional politik setiap warga negara dalam berpolitik.

(28)

B.

Interaksi Antara Republik Indonesia dan Aceh

Pasca Proklamasi, Belanda melancarkan 2 (dua) kali Agresi Militer

terhadap Republik Indonesia.

171

Agresi Militer Belanda I dilakukan pada tanggal

21 Juli 1947, diiringi dengan pembentukan negara boneka oleh Van Mook di

wilayah Indonesia Timur. Agresi Militer Belanda II terjadi pada tanggal 19

Desember 1948, diiringi pembentukan negara boneka oleh Van Mook dikawasan

Pulau Jawa dan Sumatera sebagai basis terakhir Republik Indonesia. Selama

revolusi fisik, Aceh merupakan satu-satunya wilayah yang tidak dapat diduduki

oleh Belanda sehingga Aceh disebut sebagai Daerah Modal bagi perjuangan

bangsa Indonesia. Dalam era mempertahankan kemerdekaan ini peran para ulama

sangat menentukan karena melalui fatwa dan bimbingan para ulama ini rakyat rela

bahwa setiap rakyat Aceh dapat mengikuti proses pesta demokrasi lokal atau pemilukada, walaupun tanpa adanya dukungan legal-formal dari partai politik, baik dari partai politik nasional, maupun dari partai politik lokal. Sekali lagi, hal ini dapat ditelaah bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Aceh telah menjadi lokomotif dalam perkembangan politik hukum, khususnya bagi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam konteks nasional.

171

Belanda memakai taktik perang kolonial yang licik dengan cara lama mempertentangkan satu suku dengan suku lain, sekaligus memecah belah persatuan dengan mendirikan negara-negara “boneka” yang menjamur. Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam, Op.Cit, hal. 285.

(29)

berjuang dan berkorban mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus

1945.

172

172 Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi

Daerah Istimewa Aceh, pada Penjelasan Umum.

Sebagaimana yang diutarakan oleh Paul Van „T Veer, bahwa Aceh adalah satu-satunya bagian dari hindia belanda yang pada bulan-bulan sebelum Jepang mendarat, telah melakukan pemberontakan teratur terhadap kekuasaan Belanda. Perang Aceh tidaklah berakhir pada Tahun 1913 atau Tahun 1914, dari Tahun 1914 terentang benang merah sampai Tahun 1942, alur pembunuhan dan pembantaian, perlawanan di bawah tanah dan yang terbuka, yang sejak Tahun 1925 sampai Tahun 1927 dan pada Tahun 1933 mengakibatkan pemberontakan-pemberontakan yang luas. Dengan demikian menganggap jangka waktu dari Tahun 1873 sampai Tahun 1942 sebagai satu perang besar Aceh, atau sebagai kesinambungan empat atau lima perang Aceh yang berbeda-beda sifatnya. Paul Van „T Veer, Perang Aceh Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Grafiti Press, Jakarta, 1985, hal. 246.

Ada berbagai pandangan mengenai perang Aceh melawan Belanda, yang pada intinya menyatakan bahwa Aceh tidak pernah mengaku dan menyerah kepada Belanda, argumentasi tersebut diantaranya:

a. Perang Aceh melawan Belanda berlangsung selama 30 (tiga puluh) Tahun, dari Tahun 1873-Tahun 1903 (dengan menyerahnya sultan Aceh).

b. Perang Aceh melawan Belanda berlangsung selama 40 (empat puluh) Tahun, dari Tahun 1873-Tahun 1913 (dengan tertangkapnya dan tewasnya keturunan Tgk Tjik di Tiro), bahwa sebelum sultan Aceh menyerah untuk menebus keluarganya yang ditangkap Belanda, terlebih dahulu mengirim surat kepada Panglima Polim dan Ulama di Tiro, dengan menyerahkan pimpinan perjuangan tertinggi.

c. Perang Aceh melawan Belanda tidak pernah habis dan Aceh belum pernah menyerah kepada Belanda, sampai Belanda keluar dari bumi Aceh pada Tahun 1942. Hal ini dibuktikan, bahwa selalu saja ada perlawanan dan pertempuran di Aceh dengan Belanda terus menerus sesudah Tahun 1913 itu, dengan peristiwa Cut Ali di Aceh Selatan, kemudian menyusul peristiwa Lhong, Raja Tampok dan seterusnya. Ismail Suny, Bungai Rampai Tentang Aceh, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1980, hal. 9.

(30)

Lebih lanjut Paul Van „T Veer

173

juga mengungkapkan bahwa Agresi

Belanda I dan II tidak dapat menembus Aceh. Sebagaimana yang diutarakan

bahwa :

“… sesudah Tahun 1945 Pemerintah Belanda t

idak kembali lagi di Aceh. pada

ketika aksi-aksi militer Tahun 1946 dan Tahun 1947, ketika bagian-bagian

besar Sumatera diduduki, tidak dilakukan upaya untuk menembus sampai ke

Aceh. Di bagian satu-satunya dari Indonesia inilah antara Tahun 1945 sampai

Tah

un 1950 merdeka sudah menjadi kenyataan.”

Bertitik tolak dari rangkaian peristiwa sejarah tersebut, sampai dengan

terjadinya Agresi Belanda I dan II, hal ini menjadi landasan hubungan Aceh dan

Pemerintah Republik Indonesia. Pada perkembangannya Aceh dan Pemerintah

Republik Indonesia memiliki hubungan yang harmonis dan disharmonis, untuk

mencermati interaksi antara Aceh dan Republik Indonesia dapat digambarkan

berdasarkan skema 2.2 berikut ini:

173Paul Van „T Veer,

(31)

Skema 2.2

174

Interaksi Aceh dan Republik Indonesia

Berdasarkan Skema 2.2 tersebut dapat ditelaah bahwa antara Aceh dan

Pemerintah Republik Indonesia, sama-sama saling berinteraksi baik dari sudut

174 Skema 2.2 merupakan hasil pengolahan data oleh penulis dari berbagai sumber dan

referensi.

A C E H vs INDONESIA

Disharmonis

Harmonis:

Aceh

sebagai

modal RI

DI/TII

(1953-1959)

Republik Islam

Aceh

(1961-1963)

GAM

(1976-2005)

Cumbok

(32)

pandang hubungan yang harmonis maupun disharmonis, juga terkait latar belakang

dan aktor-aktor yang mempengaruhinya.

1.

Aceh Sebagai Modal Republik Indonesia

Daratan Aceh adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang masih utuh,

tidak diduduki oleh Belanda. Karena itu Aceh disebut sebagai “Daerah Modal”,

yang berarti “daerah untuk meneruska

n cita perjuangan kemerdekaan yang

sedang dalam ancaman penjajah”. Sebagaimana yang disampaikan oleh

Presiden Republik Indonesia (Soekarno), pada tanggal 16 Juni 1948 dalam

rapat raksasa di Blang Padang, Banda Aceh. Berikut pernyataan Soekarno:

175

...Rakyat Aceh dalam sejarah dikenal sebagai pejuang yang paling gigih

menentang penjajahan Belanda. Berpuluh-puluh tahun rakyat Aceh

menentang kolonialisme Belanda. Sekarang saatnya mengusir penjajah

Belanda dari bumi persada tercinta ini. Dimana-mana Belanda sudah

mendirikan negara boneka untuk mengepung Republik Indonesia. Sudah

waktunya sekarang pemuda-pemuda Aceh yang berdarah pahlawan siap

melakukan perang sabil untuk mengusir kaum penjajah dari persada ibu

pertiwi tercinta. Aceh adalah daerah modal. Modal dalam meneruskan cita

proklamasi 17 Agustus 1945 dan modal dalam perjuangan mengusir kaum

penjajah dari halaman rumah kita...

”.

Pada hari yang sama Soekarno menuju Sigli, tepatnya dilapangan Kota

Asan Sigli, Soekarno juga mengatakan bahwa:

176

“…biar Republik I

ndonesia

selebar payung, tetap harus berjuang terus dengan Aceh sebagai daerah

175 Tgk A.K. Jakobi, Aceh Daerah, Op.Cit, hal. 217-218. 176

(33)

modal. Dalam meneruskan cita proklamasi 17 Agustus 1945 dan meneruskan

perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara…”

.

Soekarno kembali melanjutkan perjalanan menuju Bireuen pada tanggal

17 Juni 1948, dan kembali menegaskan:

177

“…

Saya ingin bertemu muka dengan rakyat Aceh yang selalu menjadi

kenanganku. Bagi seluruh rakyat Indonesia, rakyat Aceh cukup dikenal,

bahkan oleh seluruh dunia, sebagai rakyat yang tidak mau dijajah Belanda.

Rakyat Aceh yang telah mengalahkan beberapa bagian tentara Belanda,

Rakyat Aceh yang telah mengadakan perjuangan mati-matian, bertempur,

menolak, dan menahan imperialisme Belanda masuk kedaerah Aceh,

sehingga karenanya Aceh menjadi Daerah Modal Republik Indonesia,

Rakyat Aceh menjadi Inspirasi mengobarkan semangat Bangsa

indonesia

…”.

Bertempat di kota Bireuen tersebut, untuk pertama kalinya Soekarno

melakukan dialog dengan Gubernur Militer Aceh

Langkat

Tanah Karo,

yakni Jenderal Mayor Tgk M. Daud Beureueh.

178

Adapun dialog antara

Soekarno dan Tgk M. Daud Beureueh yang bagian terakhirnya berbunyi

sebagai berikut:

179

“Soekarno

: saya minta bantuan kakak agar rakyat Aceh turut

mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang

sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda

untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah

diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Daud Beureueh : Sdr. Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang

hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja

177 Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam, Op.Cit, hal. Pada pembukaan. 178 Tgk A.K. Jakobi, Aceh Daerah, Op.Cit, hal. 224.

179

(34)

perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil

(

fisabilillah

), perang untuk menegakkan agama Allah

sehingga kalau ada diantara kami yang terbunuh dalam

perang itu maka berarti mati syahid.

Soekarno

: kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang

yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan

Aceh yang terkenal seperti Tgk. Tjik Di Tiro dan

lain-lain yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang

bersemboyan merdeka atau mati syahid.

Daud Beureueh : kalau begitu kedua pendapat ini telah bertemu Sdr

Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon

kepada Sdr Presiden bahwa apabila perang telah usai

nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk

menjalankan syariat Islam di dalam daerahnya.

180

Soekarno

: mengenai hal itu kakak tak usah khawatir, sebab 90%

rakyat Indonesia beragama Islam.

Daud Beureueh : maafkan saya Sdr Presiden, kalau saya terpaksa

mengatakan, bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi

kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Sdr

Presiden.

Soekarno

: kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan kakak

itu.

Daud Beureueh : Alhamdulillah, atas nama rakyat Aceh saya

mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati

Sdr Presiden. Kami mohon, (sambil menyodorkan

secarik kertas kepada Presiden) sudi kiranya Sdr

Presiden menulis sedikit diatas kertas ini.

Soekarno

: (menangis), kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku

menjadi Presiden. Apa gunanya menjadi Presiden kalau

hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai

dengan syariat Islam. Dan Wallah, saya akan

pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh

180 Penulis menggaris bawahi hal tersebut, sebagai bentuk memperjelas substansi dari dialog

(35)

benar nanti dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam

daerahnya.

181

Nah, apakah kakak masih ragu juga ?

Daud Beureueh : saya tidak ragu lagi Sdr Presiden. Sekali lagi atas nama

rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih

atas kebaik

an hati Sdr Presiden”.

Pada masanya, Banda Aceh (dikenal juga dengan sebutan Kutaraja saat

ini adalah ibukota Provinsi Aceh) juga pernah menjadi ibukota darurat Republik

Indonesia, yakni ketika Kabinet Presidentil Kedelapan dibentuk pada tanggal 7

Agustus 1949 dan mantan Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia

(PDRI),

182

Mr Sjafruddin Prawiranegara, diangkat menjadi Wakil Perdana

181 Penulis menggaris bawahi hal tersebut, sebagai bentuk memperjelas substansi dari dialog

Tgk M. Daud Beure‟euh dan Presiden Soekarno.

182 PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) merupakan upaya mengantisipasi situasi

(36)

Menteri dengan kedudukan di Banda Aceh. Dengan demikian Banda Aceh

dipersiapkan menjadi ibukota Republik Indonesia kedua, at

au “ibukota darurat”

bagi Republik Indonesia.

183

Adapun tugas Wakil Perdana Menteri (Sjafruddin Prawiranegara) di

Aceh akan selesai bila Konferensi Meja Bundar (KMB)

184

yang berlangsung di

Den Haag berhasil dengan baik. Jika KMB mengalami kegagalan dan kembali

Harian Republika, Jakarta, 2011, hal. xvi. Lihat juga dalam Mohammad Hatta, Menuju Gerbang Kemerdekaan, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2011, hal. 198-199.

Lihat juga pandangan Jimly Asshiddieqie mengenai Syafruddin prawiranegara, bahwa Syafruddin Prawiranegara selaku Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) antara tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan tanggal 13 Juli 1949 adalah kepala negara dan kepala Pemerintahan Republik Indonesia yang sah. Hal ini karena dalam Sistem Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kepala negara dan kepala Pemerintahan Republik Indonesia itu tiada lain adalah Presiden Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Syafruddin Prawiranegara, Op.Cit, hal. 500.

183 Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 285.

Pada mulanya, pada tanggal 19 Desember 1948 Ibukota Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, ketika itu Soekarno-Hatta menunjuk Syafruddin Prawiranegara mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Ferry Mursyidan Baldan, Pondasi Menuju Perdamaian Abadi, Suara Bebas, Jakarta, 2007, hal. 42.

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukit Tinggi tidak tinggal tetap disuatu tempat, akan tetapi bergerak mobil sekitar Keresidenan Sumatera Barat. Satu kelompok meninjau sampai ke Jambi, dan kelompok lainnya sampai ke Aceh. Adapun kelompok yang sampai ke Aceh dipimpin oleh Kol. Hidayat. Teuku Moehammad Hasan, Op.Cit, hal. 494-495.

Pada awalnya Kol. Hidayat memindahkan Markas Tentara Komando Sumatera ke sebuah rumah di pinggiran kota Bukittinggi. Dari rumah itulah dikeluarkan Perintah Harian Panglima yang menyerukan agar para prajurit meneruskan perlawanan terhadap Belanda dengan perang gerilya. Untuk melaksanakan perang gerilya itu, Kol. Hidayat terlebih dahulu akan berangkat ke Aceh, melalui jalan darat bersama ajudannya Kapt. Islam Salim, berikut beberapa orang pengawal, para perwira staf diperintahkan untuk tetap berada di Sumatera Barat dengan basis Bonjol. Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 391.

184

(37)

terjadi perang lagi, Wakil Perdana Menteri (Sjafruddin Prawiranegara) telah

membentuk Kabinet Perang yang berkedudukan di Banda Aceh sebagai Ibukota

kedua Republik Indonesia, selama keadaan perang tersebut.

185

Menindaklanjuti posisi Banda Aceh (Kutaraja) sebagai ibukota darurat

Republik Indonesia, Presiden Soekarno menginstruksikan sejumlah pimpinan

TNI (Tentara Nasional Indonesia),

186

untuk meninggalkan Yogyakarta menuju

Banda Aceh (Kutaraja), selain karena kota Yogyakarta dirasakan sudah tidak

185

Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam, Op.Cit, hal. 286.

Pada saat itu, Syafruddin Prawiranegara yang bertindak sebagai Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia, pindah dari Jawa ke Aceh. beliau berada di Aceh sebagai wilayah de facto mengatur peningkatan gerakan dan perjuangan didalam negeri dan mengembangkan usaha-usaha diplomatik diluar negeri, sehingga dapat membuktikan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih ada dan mampu meneruskan revolusi. Akhirnya, usaha-usaha revolusi yang dilancarkan dari daerah de facto Aceh telah berhasil menarik perhatian dunia internasional dan memaksa Belanda untuk mengadakan perundingan di bawah pengawasan Persatuan Bangsa-Bangsa. Disaat pengakuan kedaulatan Indonesia pada tanggal 29 Desember 1949 pada Konferesnsi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Wilayah Aceh adalah satu-satunya daerah yang tidak berhasil ditaklukkan oleh Belanda. Abdullah Sani Usman, Op.Cit, hal. 186.

186

TNI (Tentara Nasional Indonesia) pada awalnya merupakan organisasi yang bernama BKR (Badan Keamanan Rakyat). Selanjutnya BKR mengalami metamorfosa, diantaranya:

a. Pada 5 Oktober 1945, BKR berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dan selanjutnya diubah kembali menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia).

b. Pada 3 Juni 1947, TRI berubah menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia).

c. Pada Desember 1949, TNI berubah menjadi APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Hal ini merupakan gabungan antara APRI dan Kepolisian Negara.

f. Pada 1 April 1999, ABRI berubah menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia). TNI, “Sejarah TNI”, http://tni.mil.id/pages-10-sejarah-tni.html, diakses pada tanggal 19 Februari 2014. Lihat juga dalam Wikipedia, “Sejarah TNI”, http://id.m.wikipedia.

org/wiki/Sejarah_Tentara_Nasional_Indonesia, diakses pada tanggal 19 Februari 2014. Lihat

(38)

aman, dengan hijrah ke Aceh dimungkinkan untuk mempersiapkan gerakan

rakyat dalam bentuk perlawanan rakyat semesta.

187

Rentang waktu Agresi Militer II Belanda, Belanda terus melakukan

manuver politik adu domba, tepatnya 3 (tiga) bulan paska pendudukan

Yogyakarta sejumlah pihak mencoba menggunting dalam lipatan, untuk

melepaskan diri dari Republik Indonesia yang baru seumur jagung. Pada 17

Maret 1949, Wali Negara Sumatera Timur (Tengku Dr. Mansyur) berkirim

surat kepada Tgk M. Daud Beureueh, yang intinya agar bersedia menghadiri

Mukhtamar Sumatera yang akan diadakan di Medan pada 28 Maret 1949.

Mukhtamar tersebut bertujuan membentuk Negara Sumatera Merdeka, yang

terpisah dari Republik Indonesia. Khusus untuk Aceh diberi 3 (tiga) pilihan:

188

a.

Aceh dapat meninggalkan Republik Indonesia dan bergabung dengan

Negara Sumatera Merdeka yang akan dibentuk.

b.

Aceh berpeluang menyatakan diri sebagai negara yang merdeka.

c.

Aceh tetap berada dalam pangkuan Republik Indonesia.

187

Sejumlah perwira senior dan pimpinan teras turut tinggal di Aceh, diantaranya: Angkatan Darat (Kol. Hidayat, Kol. Askari, LetKol. A. Kartawirana, Mayor. Ibrahim Adjie, LetKol. Alex Kawilarang, Mayor. Akil Prawireja), Angkatan Laut (KSAL Kol. Subiyakto, Kapt. Martadinata, Letnan. Sudomo, Mayor Laut. John Lie), Angkatan Udara (KSAU Kol. H. Sudjono). Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam, Op.Cit, hal. 279.

188 Neta S. Pane, Op.Cit, hal. 62.

(39)

Tgk M. Daud Beureueh, dengan tegas menjawab ajakan dari Tengku Dr.

Mansur, yang dimuat lengkap dalam surat kabar

Semangat Merdeka

yang terbit

di Banda Aceh pada 23 Maret 1949. Tepatnya 5 (lima) hari menjelang

berlangsungnya Mukhtamar Sumatera di Medan, berikut pernyataan Tgk M.

Daud Beureueh:

189

“Perasaan kedaerahan di Aceh ti

dak ada. Sebab itu, kami tidak bermaksud

untuk membentuk suatu Aceh Raya dan lain-lain karena kami disini adalah

semangat Republiken. Sebab itu juga undangan Wali Negara Sumatera

Timur itu kami pandang sebagai tidak ada saja, dari karena itulah tidak

dibalas. Kesetiaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Republik Indonesia

bukan dibuat-buat serta diada-adakan. Tetapi, kesetiaan yang tulus dan

ikhlas yang keluar dari hati nurani dengan perhitungan dan perkiraan yang

pasti. Rakyat Aceh tahu persis bahwa kemerdekaan secara terpisah-pisah

negara per-negara tidak akan menguntungkan dan tidak akan membawa

kepada kemerdekaan yang abadi”.

Pernyataan tegas Tgk M. Daud Beureueh ini membuat semangat Tengku

Dr. Mansur untuk mendirikan Negara Sumatera Merdeka menjadi rontok.

Muhktamar Sumatera pun menjadi tidak populer lagi dan sikap tegas Tgk M.

Daud Beureueh ini membuat Soekarno menjadi kagum. Ketika Soekarno bebas

dari tawanan Belanda, tepatnya pada 4 September 1949, kembali datang ke

Aceh dan menemui Tgk M. Daud Beureueh. Saat berkunjung ke Meulaboh

189 Neta S. Pane, Op.Cit, hal. 63.

Referensi

Dokumen terkait

pengaruh metode mind mapping terhadap hasil belajar siswa kelas VII

12 Penyediaan komponen instalasi listrik/penerangan bangunan kantor BPMP 26 jenis komponen instalasi listrik/ penerangan bangunan kantor 0,00 1 fi 7Qn nnn no

Sehingga dilakukan tugas akhir dengan judul "Perancangan Aplikasi Chat Translator Berbasis Desktop Untuk Komunikasi Dua Bahasa Dalam Jaringan Komputer"yang

Model peer teaching yang penulis maksud dalam penelitian ini adalah pola pembelajaran antar sesama siswa, dimana memanfaatkan anak yang dianggap mempunyai tingkat

Macromedia Flash MX adalah aplikasi yang dipakai luas oleh para professional web maupun pembuat animasi, karena kemampuannya yang mengagumkan dalam menampilkan multimedia, paduan

Tidak ada penyedia yang meminta penjelasan terhadap dokumen pengadaan paket pekerjaan Pengadaan Peralatan/Perlengkapan Kantor Polres Badung Tahun Anggaran 2015 yang

Penulisan ilmiah ini adalah penelitian penulis terhadap sekolah XYZ yang belum terkomputerisasi dalam proses penerimaan siswa barunya, hanya dalam pengajaran mata pelajaran

Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, akan dapat dilakukan penarikan kesimpulan terhadap kinerja setiap masing – masing protokol routing Multi Copy dan