79
A.
Dinamika Peraturan Perundang-undangan tentang Aceh
Indonesia melalui Peraturan Perundang-undangan mengakui
dan
menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa, hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 18B
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
132Perjalanan
ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan
Pemerintahan Daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter
khas sejarah perjuangan rakyat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang
tinggi.
Peraturan Perundang-undangan mengenai Aceh turut mengalami dinamika
sesuai dengan Konstitusi yang berlaku di Indonesia, khususnya mengenai
substantif terkait kewenangan Aceh. Adapun dinamika Peraturan
Perundang-undangan tersebut dapat digambarkan melalui skema 2.1 berikut ini:
132 Pasal 18B (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan
Skema 2.1
133Konstitusi dan dinamika peraturan perundang-undangan tentang Aceh
X
X
X
X
X
X
X
X
133
1.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai
Kedudukan Komite Nasional Daerah
Pada tanggal 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) telah menetapkan terkait wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas 8 (delapan) Provinsi, yaitu:
134a.
Provinsi Jawa Barat
b.
Provinsi Jawa Tengah
c.
Provinsi Jawa Timur
d.
Provinsi Sumatera
e.
Provinsi Borneo
f.
Provinsi Sulawesi
g.
Provinsi Maluku
h.
Provinsi Sunda Kecil
Menelaah Ketetapan yang ditetapkan PPKI, dan berdasarkan demografi
Aceh secara otomatis berada dalam lingkup Provinsi Sumatera yang
berkedudukan di Medan. Selanjutnya Mr T. M. Hasan diangkat sebagai
Gubernur Provinsi Sumatera. Pada periode ini Aceh hanya sebagai salah satu
keresidenan yang ada dalam Provinsi Sumatera, dengan residennya yang
pertama yakni T. Nyak Arif dan Wakil Residennya T. M. Ali Panglima
Polim.
135134 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh,
Depdikbud, Jakarta, 1977, hal. 180. Lihat juga dalam C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 22.
135
Pada perkembangannya kegiatan Pemerintahan di daerah Aceh baru
berjalan pada awal bulan Oktober 1945, setelah keluarnya penetapan dari
Gubernur Negara Republik Indonesia Provinsi Sumatera, tepatnya pada tanggal
3 Oktober 1945, tentang pengangkatan pejabat Pemerintah Negara Republik
Indonesia di seluruh Sumatera. Dalam melaksanakan Pemerintahan di daerah
Aceh, T. Nyak Arif dibantu oleh Komite Nasional Daerah yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai
Kedudukan Komite Nasional Daerah, yang ditetapkan pada tanggal 23
November 1945.
136Perkembangan Residen Aceh, sejak pertengahan bulan Januari 1946,
diangkat T. Daud Syah, yang juga merangkap sebagai Ketua Komite Nasional
Daerah. Selanjutnya pada 26 Agustus 1947 ditetapkan daerah-daerah
Keresidenan Aceh, Kabupaten Langkat, dan Kabupaten Tanah Karo menjadi
suatu Daerah Militer Istimewa, serta mengangkat Tgk M. Daud Beureueh
sebagai Gubernur Militer di daerah tersebut dengan pangkat Jenderal Mayor
Tituler.
137136 Ibid.
137 Perubahan bentuk di Aceh ini adalah sejalan dengan usaha untuk menyusun pertahanan
yang kokoh dalam usaha mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia dari Agresi Belanda I dan II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 182.
2.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pembagian Sumatera Dalam
Tiga Provinsi
Lahirnya Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pembagian
Sumatera Dalam Tiga Provinsi, yang pada intinya menetapkan bahwa daerah
Sumatera dibagi menjadi 3 (tiga) Provinsi, yaitu:
138a.
Provinsi Sumatera Utara, yang meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera
timur, dan Tapanuli.
b.
Provinsi Sumatera Tengah, yang meliputi Keresidenan Sumatera Barat,
Riau, dan Jambi.
dalam tahanan mereka. Untuk perjuangan selanjutnya Sumatera dijadikan Daerah Militer yang dipimpin oleh Gubernur Militer, hal ini ditujukan untuk memperlancar roda Pemerintahan baik sipil maupun militer. Oleh karena keadaan di Sumatera berlainan dengan di Jawa dan residen-residen Sumatera berpendidikan cukup dan berpengalaman selama 3 (tiga) tahun berevolusi serta cukup berwibawa menghadapi rakyat dan tentara, maka diangkatlah Gubernur Militer yang semuanya adalah terdiri dari orang-orang sipil, sehingga susunan Gubernur Militernya adalah:
a. Gubernur Militer untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo adalah Tgk M. Daud Beureueh.
b. Gubernur Militer untuk daerah Sumatera timur dan Tapanuli adalah Dr. Ferdinand Lumban Tobing.
c. Gubernur Militer untuk daerah Sumatera Barat adalah Mr. St Moh. Rasyid. d. Gubernur Militer untuk daerah Riau adalah R.M. Oetoyo.
e. Gubernur Militer untuk daerah Sumatera Selatan dan Jambi adalah Dr. Adnan Kapau Gani. Teuku Moehammad Hasan, Gubernur Sumatera Dari Aceh Ke Pemersatu Bangsa , Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 1999, hal. 490-491. Lihat juga dalam Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hal. 400.
Patut juga untuk ditelaah bahwa paska terjadinya konflik horizontal di Aceh (periode tahun 1946) yakni peristiwa Cumbok. Gubernur Sumatera mengeluarkan Ketetapan No. 204 bertanggal 11 Agustus 1946, bahwa kondisi Pemerintahan di Aceh pada waktu itu dipimpin oleh 2 (dua) Pemerintahan, yaitu sipil dan militer. Adapun Pemerintahan sipil dipimpin oleh Mr. S. M. Amin yang menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara yang berkedudukan di Banda Aceh. Sedangkan Pemerintahan militer dipimpin oleh Tgk M. Daud Beureueh yang menjabat Gubernur militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Abdullah Sani Usman, Krisis Legitimasi Politik Dalam Sejarah Pemerintahan di Aceh, Puslitbang Lektur Keagamaan, Jakarta, hal. 181.
138 Pasal 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pembagian Sumatera Dalam Tiga
c.
Provinsi Sumatera Selatan, yang meliputi Keresidenan Bengkulen,
Palembang, Lampung, dan Bangka Belitong.
Provinsi Sumatera Utara meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur
dan Tapanuli. Akan tetapi karena suasana/keadaan yang masih belum terjamin
keamanannya,
berbagai
ketetapan-ketetapan
tersebut
tidak
dapat
berjalan/dilaksanakan sehingga Daerah Militer Istimewa bagi Aceh
–
Kabupaten Langkat
–
Kabupaten Tanah Karo masih tetap berjalan. Adapun
segala pertanggung jawaban Pemerintah Sipil dan Militer tetap dibebankan
kepada Gubernur Militer, yakni Tgk M. Daud Beureueh. Posisi Gubernur
Sumatera hanya merupakan Komisaris Daerah yang bertugas untuk
mengadakan pengawasan dan memberikan tuntutan terhadap jalannya
Pemerintahan. Kekuasaan yang diberikan kepada Gubernur Militer ini
diperkuat lagi berdasarkan Keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI) No. 21/Pem/PDRI tanggal 16 Mei 1949, serta Keputusan No.
22/Pem/PDRI tanggal 17 Mei 1949, yang melimpahkan kekuasaan sipil dan
militer berada pada tangan Gubernur Militer, yakni Tgk M. Daud Beureueh.
139Pada periode Tahun 1948, dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah, turut dilahirkan juga Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, kehadiran Undang-Undang tersebut juga
139 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 184. Lihat juga dalam Keputusan
berimplikasi terkait Pemerintahan Daerah di Sumatera yang sebelumnya telah
lebih dahulu dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang
Pembagian Sumatera Dalam Tiga Provinsi.
Kehadiran Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, pada dasarnya membawa implikasi yang positif dalam
rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Hal tersebut sebagaimana yang
ditegaskan dalam Pasal 1
140bahwa daerah-daerah yang dapat mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis, yaitu:
a. Daerah Otonom (biasa).
b. Daerah Istimewa.
141Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, substansi lainnya juga membagi daerah Indonesia
menjadi 3 (tiga) daerah otonom yang selanjutnya menjadi cikal bakal sampai
dengan dewasa ini, yaitu Provinsi, Kabupaten, Desa. Sedangkan Keresidenan
meskipun mempunyai lembaga DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)
tidak ditetapkan sebagai daerah otonom. Hal ini tentunya berbeda dengan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-Undang No. 1
140 Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. 141
Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional, yang telah menetapkan
Keresidenan sebagai daerah otonom.
1423.
Peraturan
Wakil-Wakil
Perdana
Menteri
Pengganti
Peraturan
Pemerintah No. 8/Des/WKPM Tahun 1949 tentang Pembentukan Provinsi
Aceh
Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1949 tentang Kedudukan
dan Kekuasaan Wakil Perdana Menteri di Sumatera,
143yakni pada tanggal 30
September 1949 diangkat Mr Syafruddin Prawiranegara sebagai Wakil Perdana
Menteri yang berkedudukan di Sumatera, untuk melancarkan jalannya roda
Pemerintahan. Adapun pusat Pemerintahan di Sumatera ini dipindahkan ke
Kutaraja, sejak Bukit Tinggi jatuh ke tangan Belanda pada masa Agresi
Belanda II.
144142
Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah, Laksbang Mediatama, Surabaya, 2008, hal. 37.
143 Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 1949 tentang Kedudukan dan Kekuasaan
Wakil Perdana Menteri di Sumatera, disebutkan bahwa “di daerah Sumatera dapat ditempatkan seorang Wakil Perdana Menteri”. Selanjutnya pada Pasal 2 disebutkan bahwa “Kepada Wakil Perdana Menteri tersebut dalam Pasal 1 diberi kekuasaan, dalam keadaan yang memaksa, untuk daerah Sumatera atau sebagian dari daerah Sumatera, atas nama Presiden menetapkan peraturan:”
a. Yang masalahnya seharusnya diatur dengan Undang-Undang, Peraturan ini dinamakan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Undang-Undang.
b. Yang masalahnya seharusnya diatur dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan ini dinamakan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah.
144 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 184. Lihat juga dalam Tgk. A.K.
Pada masa Pemerintahan Wakil Perdana Menteri Mr Syafruddin
Prawiranegara, bentuk Pemerintahan di Sumatera Utara dan Aceh mengalami
perubahan lagi. Dalam hal ini berdasarkan Peraturan Wakil-Wakil Perdana
Menteri pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM Tahun 1949, yang
selanjutnya Provinsi Sumatera Utara dipecah menjadi 2 (dua) Provinsi, yaitu:
145a.
Provinsi Aceh, untuk Gubernurnya diangkat Tgk M. Daud Beureueh.
b.
Provinsi Tapanuli Sumatera Timur, yang mulai berlaku sejak tanggal 1
Januari 1950.
Perkembangan yang terjadi paska pembagian Provinsi Sumatera Utara,
atas Provinsi Aceh, dan Provinsi Tapanuli Sumatera Timur telah menimbulkan
friksi dari berbagai pihak, baik dari masyarakat, maupun dari Pemerintah
Republik Indonesia. Bagi yang kontra akan hal ini, menilai pembentukan
Provinsi Aceh ini jelas sangat bertentangan dengan Undang-Undang No. 22
Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, sekaligus mempersulit
Pemerintah Republik Indonesia dalam usaha untuk merealisasikan semua hasil
yang dicapai dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Di sisi lain, bagi pihak
yang pro akan hal ini tetap berusaha untuk mempertahankan agar status otonom
145 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 184. Lihat juga dalam Peraturan
bagi Aceh tetap berjalan, sekaligus menyatakan bahwa pembentukan Provinsi
Aceh adalah merupakan keinginan dari rakyat Aceh.
1464. Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah
Provinsi
Pada periode ini, Pemerintah Republik Indonesia telah menghadapi
suatu masalah yang rumit, yang mana pada tanggal 19 Agustus 1950 adanya
persetujuan RIS (Republik Indonesia Serikat)
–
RI (Republik Indonesia), serta
berdasarkan Ketetapan Sidang Dewan Menteri tanggal 8 Agustus 1950
melahirkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Daerah Provinsi, yang menetapkan pembagian wilayah Republik Indonesia atas
10 Provinsi, yaitu:
147146 Adanya perbedaan pendapat terkait status Provinsi Aceh, yang terjadi dalam rakyat Aceh,
maka Pemerintah Republik Indonesia pada bulan Maret 1950, mengirimkan suatu panitia penyelidik mengenai pembentukan Provinsi Aceh yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri (Mr Susanto Tirtoprojo). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 185.
147 Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Provinsi.
a.
Jawa Barat
b.
Jawa Tengah
c.
Jawa Timur
d.
Sumatera Utara
e.
Sumatera Tengah
f.
Sumatera Selatan
g.
Kalimantan
h.
Sulawesi
i.
Maluku
j.
Sunda Kecil
Dalam rangka meleburkan status Provinsi Aceh yang kembali
bergabung dengan Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Republik Indonesia
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun
1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi di Sumatera,
tertanggal 14 Agustus 1950. Selanjutnya diamandemen menjadi
Undang-Undang Darurat Republik Indonesia No. 16 Tahun 1955 tentang Pengubahan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi di Sumatera, yang pada intinya
memutuskan “
mencabut Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan
Pemerintah No. 8/Des/WKPM tahun 1949 tentang Pembentukan Provinsi
Aceh
”, dan sekaligus menetapkan pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang
meliputi Keresidenan Aceh, Tapanuli dan Sumatera Timur.
1485. Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom
Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera
Utara
Paska dileburnya Aceh kedalam Provinsi Sumatera Utara melalui
Undang No. 5 Tahun 1950 tertanggal 14 Agustus 1950 jo
Undang-Undang Darurat Republik Indonesia No. 16 Tahun 1955 tentang Pengubahan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Pembentukan
Daerah-Daerah Otonom Provinsi di Sumatera. Dalam perkembangannya
berbagai konflik telah tercipta di Aceh, khususnya konflik secara vertikal antara
rakyat Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia.
Untuk mengatasi berbagai konflik vertikal yang terjadi di Aceh, DPR
(Dewan Perwakilan Rakyat) melalui sidangnya mengeluarkan usul mosi supaya
Pemerintah Republik Indonesia menunjuk Aceh sebagai daerah otonom. Usulan
tersebut direspon Pemerintah Republik Indonesia tepatnya pada tanggal 29
Desember 1956, dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1956
148 Pasal 1 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia No. 16 Tahun 1955 tentang
tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan
Pembentukan Provinsi Sumatera Utara,
149yang menetapkan Aceh sebagai
Provinsi otonom. Hal ini merupakan salah satu upaya dari Pemerintah Republik
Indonesia untuk meredam berbagai macam konflik vertikal yang sedang
berlangsung di Aceh.
Berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk
meminimalisir konflik yang terjadi di Aceh, diantaranya Pemerintah Republik
Indonesia juga mengangkat Ali Hasymi sebagai Gubernur Aceh, berdasarkan
Ketetapan Presiden No 615/M/1957, tanggal 5 Januari 1957. Adapun pelantikan
Ali Hasymi sebagai Gubernur Aceh dilaksanakan pada tanggal 27 Januari
1957.
150Menyikapi dinamika yang terjadi di Aceh, khususnya mengenai
penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh. Sekaligus dalam rangka untuk
menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Sementara
Tahun
1950,
tidak
lama
berselang
lahir
Undang-Undang
tentang
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang berlaku secara nasional, yaitu
Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah.
149 Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi
Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara.
150 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 188. Lihat juga dalam Ketetapan
Adapun
karakteristik
penyelenggaraan
Pemerintahan
Daerah
berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, yaitu:
151a. Otonomi yang diberikan bersifat otonomi riil. Artinya, banyak
sedikitnya fungsi atau urusan yang diserahkan kepada daerah otonom
didasarkan pada kepentingan dan kemampuan daerah bersangkutan.
b. Pembagian daerah otonom yaitu Daerah Tingkat I setingkat Provinsi
termasuk Kotapraja Jakarta Raya, Daerah Tingkat II setingkat
Kabupaten termasuk Kotapraja, dan Daerah Tingkat III.
c. Negara dapat melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
Pemerintahan oleh Pemerintahan Daerah baik secara preventif maupun
represif.
Berdasarkan
uraian
mengenai
karakteristik
penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah yang termaktub di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dapat ditelaah bahwa adanya
tindakan hukum agar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
penyelenggaraan Pemerintahannya dapat menciptakan kondisi yang harmonis,
sekaligus mereduksi berbagai konflik yang terjadi di Indonesia, khususnya di
Aceh.
6. Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 tentang
Penetapan Daerah Swatantra Tingkat I Aceh Sebagai Daerah Istimewa
Aceh.
151 Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 41-43. Lihat juga dalam C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil,
Pemerintah Republik Indonesia kembali mengakomodir aspirasi dari
rakyat Aceh untuk mencapai kata sepakat mengenai pemulihan keamanan,
dengan mengutus suatu missi di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri I (Mr
Hardi). Missi ini dikenal dengan “Missi Hardi”, pada tanggal 26 Mei 1959
menghasilkan suatu Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No.
1/Missi/1959 tentang Penetapan Daerah Swatantra Tingkat I Aceh Sebagai
Daerah Istimewa Aceh, dengan otonomi yang seluas-luasnya terutama dalam
bidang:
152Keagamaan, Peradatan, Pendidikan.
Lahirny
a “Misi Hardi” tersebut merupakan aspirasi
-aspirasi yang selama
ini telah dikemukakan oleh rakyat Aceh, khususnya terkait dalam bidang
keagamaan, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Tgk M. Daud Beureueh
kepada Soekarno (Selaku Presiden Republik Indonesia), pada saat
kunjungannya di Aceh.
Realitanya Pemerintah Republik Indonesia masih terlihat setengah hati
dalam mengakomodir aspirasi dari rakyat Aceh. Hal ini dapat ditelaah, bahwa
paska lahirnya “Misi Hardi”
Pemerintah Republik Indonesia tidak serta merta
merevisi Peraturan Perundang-undangan mengenai Aceh, dan juga tidak
melahirkan Undang-
Undang baru yang bersifat mengakomodir “Misi Hardi”
152 Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 tentang Penetapan
tersebut. Sehingga dalam perkembangan di Aceh, konflik vertikal masih laten
terjadi di Aceh.
7.
Undang-Undang
No.
44
Tahun
1999
tentang
Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dalam konteks
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah secara nasional, telah mengalami
berbagai dinamika, khususnya dalam bentuk peraturan Perundang-undangan,
diantaranya:
a. Undang-Undang
No.
18
Tahun
1965
tentang
Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah.
153b. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah.
154153
Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, masih menganut unsur-unsur yang terkandung di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok Pemerintahan Daerah. Oleh karenanya Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah masih menganut asas otonomi seluas-luasnya, menganut sistem rumah tangga riil/nyata, dan susunan daerah otonomi terdiri atas 3 (tiga) tingkatan yaitu Dati I, Dati II, Dati III. Dengan catatan daerah swapraja sudah tidak dianut lagi. Juanda, Op.Cit, hal. 175. Lihat juga dalam C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Op.Cit, hal. 39-41.
Sudono Syueb mencatat bahwa pada Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, telah direduksinya kekuasaan DPRD karena kekuasan DPRD diatur sangat minim. Kekuasaan DPRD hanya sebatas pada pembuatan Peraturan Daerah dan mencalonkan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 49-50.
154 Patut untuk ditelaah bahwa lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang
c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
155Bahwa pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terkenal dengan peristiwa G.30.S.PKI, yang berujung pada runtuhnya kekuasaan rezim Orde Lama setelah dilengserkan oleh MPRS akibat Pidato Pertanggungjawaban Presiden Soekarno ditolak MPRS. Selanjutnya lahirlah rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Pada awal masa kekuasaan (Presiden Soeharto), salah satu kebijakan yang diterbitkan adalah mencabut Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang didasari atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 50.
Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, tidak lagi menggunakan prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya, tetapi diubah menjadi prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah, yang dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi bukan sekedar pelengkap terhadap asas desentralisasi, tetapi sama pentingnya dalam peneyelenggaraan Pemerintahan di daerah. Juanda, Op.Cit, hal. 180.
155 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, tidak dapat dipisahkan
dari gejolak politik yang terjadi di tanah air. Diantaranya pada tanggal 21 Mei 1998 mengambil keputusan untuk mundur dari jabatan Presiden, hal ini dilandasi dengan keadaan politik di Indonesia yang sedemikian genting, dikarenakan ada beberapa menteri membuat pernyataan tidak bersedia bergabung dengan kabinet reformasi yang dirancang oleh Presiden Soeharto. Serta adanya peningkatan instabilitas keamanan dalam negeri, yang dipicu oleh maraknya aksi demo yang menuntut reformasi. Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 64.
Keberlakuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan upaya terus menerus untuk menata sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia yang sebelumnya masih mengalami kekurangan, kelemahan, dan menghambat demokratisasi di Daerah. Oleh sebab itu, di dalam Undang-Undang ini terdapat beberapa perbaikan, antara lain: menguatnya peran dan fungsi DPRD, termasuk adanya pertanggung jawaban Kepala Daerah terhadap DPRD dan dihilangkannya beberapa ketentuan-ketentuan yang memandulkan prinsip demokrasi di Daerah. Sehingga, dengan semangat proporsionalitas yang dilandasi dengan semangat keseimbangan, kesetaraan dan kemitraan setidaknya secara teoretik akan membuka peluang terwujudnya otonomi daerah sekaligus memperkuat pelaksanaan desentralisasi, demokrasi dan pembagian kekuasaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sejahtera, adil, dan teratur. Juanda, Op.Cit, hal. 192 dan 196.
Patut juga untuk ditelaah bahwa Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, juga didasari pada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat politik hukum, diantaranya:
a. TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
b. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Patut untuk ditelaah bahwa dinamika peraturan Perundang-undangan
tentang Pemerintahan Daerah tersebut lahir dalam periode kembalinya
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi
Republik Indonesia. Hal ini tentunya tidak dapat dipisahkan dari berbagai
gejolak politik yang terjadi di tanah air, sehingga di dalam penyelenggaraan
Pemerintahannya turut mempengaruhi penyelenggaraan Pemerintahan di
daerah.
Dalam konteks penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, pada tanggal 4
Oktober 1999 lahir Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Lahirnya
Undang-Undang ini, pada dasarnya untuk mengakomodir hal-hal yang telah
disepakati pada “Misi Hardi”, baik mengenai keagamaan, peradatan dan
pendidikan.
Pada periode ini Pemerintah Republik Indonesia mulai menyadari
bahwa untuk menghentikan konflik vertikal yang masih terus berlangsung di
Aceh, yakni dengan cara mengakomodir aspirasi-aspirasi yang berkembang
luas dalam rakyat Aceh. Oleh karenannya, Undang-Undang ini diharapkan
dapat diterima oleh segenap lapisan rakyat Aceh.
Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
keistimewaan
156Aceh. Adapun keitimewaan Aceh berdasarkan
Undang-Undang ini yaitu:
157a.
Penyelenggaraan kehidupan beragama.
b.
Penyelenggaraan kehidupan adat.
c.
Penyelenggaraan pendidikan.
d.
Peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.
Patut untuk ditelaah bahwa kewenangan Aceh yang bersifat istimewa,
pada prinsipnya telah disepakati oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui
“Missi Hardi”, akan tetapi baru dapat direalisasikan sekitar 40 (empat puluh)
tahun kemudian melalui Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Hal ini
sebenarnya dapat menentukan perkembangan politik hukum di Aceh, dan akan
berbeda hasilnya jika dapat direalisasikan lebih awal.
Pada sisi lain, adanya metamorfosa Peraturan Perundang-undangan
tentang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Aceh, tidak dapat dipisahkan
dari perkembangan Pemerintahan Daerah dalam konteks nasional, yang mana
156
Keistimewaan merupakan pengakuan dari bangsa Indonesia yang diberikan kepada Daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan. Pasal 3 (1) Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
157 Pasal 3 (2) Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
hal ini merupakan
output
dari gejolak politik dalam melahirkan tuntutan
reformasi yang berlangsung pada periode Tahun 1998.
8.
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam
Perjalanan penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa
Aceh, dipandang masih kurang memberikan kehidupan di dalam keadilan, atau
keadilan di dalam kehidupan. Dalam perkembangannya kondisi tersebut masih
belum dapat mengakhiri konflik vertikal di Aceh sehingga pada tanggal 9
Agustus 2001 lahir Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, hal ini berarti Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 lahir setelah
adanya amandemen ke-II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dengan demikian Undang-Undang ini merupakan peraturan
organik (
Organieke Verordening
) untuk Pasal 18B (1)
158Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
158 Pasal 18B (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
pada umumnya untuk menguatkan perihal keistimewaan bagi Provinsi Aceh
yang ada pada Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, tapi disisi lain, pada
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 menambahkan beberapa kewenangan yang dimiliki
Aceh, diantaranya:
a.
Pengaturan dana perimbangan, pada prinsipnya sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Republik Indonesia dan Daerah, kecuali ketentuan
mengenai “Bagi Hasil” antara Pusat dan Aceh
. Undang-Undang No. 18
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh, Pasal 4 (3). Seperti Pajak penghasilan orang pribadi = 20%
(Daerah lain = 0), Hasil Pertambangan Minyak Bumi = 70% (Daerah
lain = 15%) selama 8 tahun, sesudahnya 50%, Hasil Pertambangan Gas
Alam = 70% (Daerah lain = 30%) selama 8 tahun, sesudahnya 50%.
b.
Pembentukan
Wali
Nanggroe
dan
Tuha
Nanggroe
sebagai
penyelenggara adat, budaya dan pemersatu masyarakat (hanya sebagai
simbol, bukan lembaga politik dan Pemerintahan).
159c.
Penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah oleh
Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang terdiri atas anggota KPU dan
anggota masyarakat.
160d.
Pengangkatan Kepala Kepolisian Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
dengan persetujuan Gubernur.
161e.
Peradilan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai
bagian dari sistem peradilan nasional oleh Mahkamah Syar‟iyah,
diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
162Menarik untuk ditelaah bahwa dalam rangka penyelenggaran
Pemerintahan Daerah pada konteks nasional, lahir Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan hak yang sangat besar kepada
daerah untuk mengurus rumah tangga dan Pemerintahan Daerah sesuai prakarsa
159 Pasal 10 Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh.
160
Pasal 13 (2) Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
161 Pasal 26 (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh.
162 Pasal 25 Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
sendiri guna mewujudkan kesejahteraan rakyat daerah bersangkutan. Adapun
prinsip otonomi daerahnya yaitu otonomi daerah secara luas dan nyata, dengan
demikian diharapkan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dapat berlangsung
sesuai prinsip demokrasi, baik dalam pemilihan Kepala Daerah dan wakil
rakyat di daerah.
1639.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia
untuk meminimalisir konflik vertikal yang berkesinambungan, baik melalui
pendekatan militer, maupun pendekatan Peraturan Perundang-undangan, serta
pada era Reformasi tidak luput juga dilakukannya perundingan-perundingan
diantara para pihak.
Puncaknya pada tanggal 15 Agustus 2005 kedua belah pihak
menyepakati lahirnya Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) antara Pemerintah
163 Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 94.
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Penandatanganan MoU
Helsinki dalam perkembangannya menjadi kilas baru sejarah perjalanan
Provinsi Aceh, serta kehidupan masyarakat menuju keadaan yang damai, adil,
makmur, sejahtera, dan bermartabat. Dalam hal ini para pihak bertekad untuk
menciptakan kondisi sehingga Pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan
melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Berdasarkan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) tersebut, Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, menyepakati hal-hal yang
diantaranya “
Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintaha n di
Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan
selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006
”.
164Adanya amanat dari Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) untuk
melahirkan Undang-Undang yang baru tentang Aceh, hal ini direspon
Pemerintah Republik Indonesia dengan lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada tanggal 1 Agustus 2006. Aspirasi yang
dinamis dari rakyat Aceh bukan saja dalam kehidupan adat, budaya, sosial, dan
politik mengadopsi keistimewaan Aceh, melainkan juga memberikan jaminan
164 Point 1.1.1 Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh
kepastian hukum dalam segala urusan karena dasar kehidupan rakyat Aceh
yang religius telah membentuk sikap, daya juang yang tinggi, dan budaya Islam
yang kuat.
165Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada
prinsipnya mengatur kewenangan yang bersifat khusus kepada Pemerintah
Aceh. Adapun kewenangan daerah dalam melaksanakan otonomi khusus yaitu
menyelenggarakan wewenang yang masih menjadi kewenangan dari
Pemerintah Republik Indonesia.
166Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, telah
menjadi esensi dalam menyelenggarakan Pemerintahan Aceh yang lebih baru,
165
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada Penjelasan Umum.
166 Husni Jalil dalam M. Solly Lubis, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi, PT.
Sofmedia, Jakarta, 2010, hal. 120.
Adapun kewenangan yang berifat khusus dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sesuai dengan Pasal 7, yaitu: (1) Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah. (2) kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan Pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. (3) dalam menyelenggarakan kewenangan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat:
a. Melaksanakan sendiri.
b. Menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
c. Melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dan/atau instansi Pemerintah.
sebagaimana diutarakan Ahmad Farhan Hamid
167bahwa Undang-Undang No.
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah jembatan emas menuju Aceh
baru, yang bukan saja damai, tapi juga berkeadilan dan makmur sejahtera,
selanjutnya
adalah
keikhlasan
dan
komitmen
para
pihak
untuk
mengimplementasikannya.
Lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh, ternyata juga berimplikasi bagi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
dalam konteks nasional. Hal ini dapat ditelaah bahwa tidak lama berselang lahir
juga Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah pada
Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan, Pemerintah Aceh memiliki beberapa kewenangan yang bersifat istimewa dan khusus, diantaranya:
a. Penyelenggara pemilihan, sesuai dengan amanat Pasal 56 (1), yang berbunyi “KIP Aceh menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA, DPRK, dan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota”.
b. Partai politik lokal, sesuai dengan amanat Pasal 75 (1), yang berbunyi “Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal”.
c. Lembaga wali nanggroe, sesuai dengan amanat Pasal 96 (1), yang berbunyi “Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga -lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara -upacara adat lainnya”.
d. Syariat Islam, sesuai dengan amanat Pasal 126 (1), yang berbunyi “setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam”.
e. Bendera dan lambang Aceh, sesuai dengan amanat Pasal 246 (2), yang berbunyi “selain Bendera Merah Putih, Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan”.
167
dasarnya untuk menyempurnakan regulasi pemilukada
168secara langsung.
169Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, pada
awalnya dipersiapkan untuk merespons putusan Mahkamah Konstitusi No.
5/PUU-V/2007 tanggal 23 Juli 2007.
170168 Terminologi pemilukada, pada awalnya adalah pilkada. Pemilukada dimaksudkan sebagai
suatu bentuk rezim dari pemilu, yang mana hal ini ditegaskan oleh Undang-undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum jo Undang-undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, yang tertera pada Pasal 1 (4), yang berbunyi “pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
169
Adapun pertimbangan dilahirkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, diantaranya:
a. Bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah terjadi perubahan, terutama setelah Putusan Mahkamah Konstitusi tentang calon perseorangan (independen).
b. Bahwa dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum diatur mengenai kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya.
c. Bahwa dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum diatur mengenai pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang meninggal dunia, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya. Pada huruf (c), (d), (e) pada konsiderans Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
170 Putusan MK No. 5/PUU-V/2007 menyatakan adanya pertentangan hukum antara Pasal 56,
Pasal 59, dan Pasal 60 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dengan Pasal 18 (4), Pasal 27 (1), Pasal 28D (1 dan 3), serta Pasal 28I (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, proses pencalonan Kepala Daerah lewat jalur perseorangan (independen) sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dimana Pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin hak-hak konstitusional politik setiap warga negara dalam berpolitik.
B.
Interaksi Antara Republik Indonesia dan Aceh
Pasca Proklamasi, Belanda melancarkan 2 (dua) kali Agresi Militer
terhadap Republik Indonesia.
171Agresi Militer Belanda I dilakukan pada tanggal
21 Juli 1947, diiringi dengan pembentukan negara boneka oleh Van Mook di
wilayah Indonesia Timur. Agresi Militer Belanda II terjadi pada tanggal 19
Desember 1948, diiringi pembentukan negara boneka oleh Van Mook dikawasan
Pulau Jawa dan Sumatera sebagai basis terakhir Republik Indonesia. Selama
revolusi fisik, Aceh merupakan satu-satunya wilayah yang tidak dapat diduduki
oleh Belanda sehingga Aceh disebut sebagai Daerah Modal bagi perjuangan
bangsa Indonesia. Dalam era mempertahankan kemerdekaan ini peran para ulama
sangat menentukan karena melalui fatwa dan bimbingan para ulama ini rakyat rela
bahwa setiap rakyat Aceh dapat mengikuti proses pesta demokrasi lokal atau pemilukada, walaupun tanpa adanya dukungan legal-formal dari partai politik, baik dari partai politik nasional, maupun dari partai politik lokal. Sekali lagi, hal ini dapat ditelaah bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Aceh telah menjadi lokomotif dalam perkembangan politik hukum, khususnya bagi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam konteks nasional.
171
Belanda memakai taktik perang kolonial yang licik dengan cara lama mempertentangkan satu suku dengan suku lain, sekaligus memecah belah persatuan dengan mendirikan negara-negara “boneka” yang menjamur. Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 285.
berjuang dan berkorban mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945.
172172 Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh, pada Penjelasan Umum.
Sebagaimana yang diutarakan oleh Paul Van „T Veer, bahwa Aceh adalah satu-satunya bagian dari hindia belanda yang pada bulan-bulan sebelum Jepang mendarat, telah melakukan pemberontakan teratur terhadap kekuasaan Belanda. Perang Aceh tidaklah berakhir pada Tahun 1913 atau Tahun 1914, dari Tahun 1914 terentang benang merah sampai Tahun 1942, alur pembunuhan dan pembantaian, perlawanan di bawah tanah dan yang terbuka, yang sejak Tahun 1925 sampai Tahun 1927 dan pada Tahun 1933 mengakibatkan pemberontakan-pemberontakan yang luas. Dengan demikian menganggap jangka waktu dari Tahun 1873 sampai Tahun 1942 sebagai satu perang besar Aceh, atau sebagai kesinambungan empat atau lima perang Aceh yang berbeda-beda sifatnya. Paul Van „T Veer, Perang Aceh Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Grafiti Press, Jakarta, 1985, hal. 246.
Ada berbagai pandangan mengenai perang Aceh melawan Belanda, yang pada intinya menyatakan bahwa Aceh tidak pernah mengaku dan menyerah kepada Belanda, argumentasi tersebut diantaranya:
a. Perang Aceh melawan Belanda berlangsung selama 30 (tiga puluh) Tahun, dari Tahun 1873-Tahun 1903 (dengan menyerahnya sultan Aceh).
b. Perang Aceh melawan Belanda berlangsung selama 40 (empat puluh) Tahun, dari Tahun 1873-Tahun 1913 (dengan tertangkapnya dan tewasnya keturunan Tgk Tjik di Tiro), bahwa sebelum sultan Aceh menyerah untuk menebus keluarganya yang ditangkap Belanda, terlebih dahulu mengirim surat kepada Panglima Polim dan Ulama di Tiro, dengan menyerahkan pimpinan perjuangan tertinggi.
c. Perang Aceh melawan Belanda tidak pernah habis dan Aceh belum pernah menyerah kepada Belanda, sampai Belanda keluar dari bumi Aceh pada Tahun 1942. Hal ini dibuktikan, bahwa selalu saja ada perlawanan dan pertempuran di Aceh dengan Belanda terus menerus sesudah Tahun 1913 itu, dengan peristiwa Cut Ali di Aceh Selatan, kemudian menyusul peristiwa Lhong, Raja Tampok dan seterusnya. Ismail Suny, Bungai Rampai Tentang Aceh, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1980, hal. 9.
Lebih lanjut Paul Van „T Veer
173juga mengungkapkan bahwa Agresi
Belanda I dan II tidak dapat menembus Aceh. Sebagaimana yang diutarakan
bahwa :
“… sesudah Tahun 1945 Pemerintah Belanda t
idak kembali lagi di Aceh. pada
ketika aksi-aksi militer Tahun 1946 dan Tahun 1947, ketika bagian-bagian
besar Sumatera diduduki, tidak dilakukan upaya untuk menembus sampai ke
Aceh. Di bagian satu-satunya dari Indonesia inilah antara Tahun 1945 sampai
Tah
un 1950 merdeka sudah menjadi kenyataan.”
Bertitik tolak dari rangkaian peristiwa sejarah tersebut, sampai dengan
terjadinya Agresi Belanda I dan II, hal ini menjadi landasan hubungan Aceh dan
Pemerintah Republik Indonesia. Pada perkembangannya Aceh dan Pemerintah
Republik Indonesia memiliki hubungan yang harmonis dan disharmonis, untuk
mencermati interaksi antara Aceh dan Republik Indonesia dapat digambarkan
berdasarkan skema 2.2 berikut ini:
173Paul Van „T Veer,
Skema 2.2
174Interaksi Aceh dan Republik Indonesia
Berdasarkan Skema 2.2 tersebut dapat ditelaah bahwa antara Aceh dan
Pemerintah Republik Indonesia, sama-sama saling berinteraksi baik dari sudut
174 Skema 2.2 merupakan hasil pengolahan data oleh penulis dari berbagai sumber dan
referensi.
A C E H vs INDONESIA
Disharmonis
Harmonis:
Aceh
sebagai
modal RI
DI/TII
(1953-1959)
Republik Islam
Aceh
(1961-1963)
GAM
(1976-2005)
Cumbok
pandang hubungan yang harmonis maupun disharmonis, juga terkait latar belakang
dan aktor-aktor yang mempengaruhinya.
1.
Aceh Sebagai Modal Republik Indonesia
Daratan Aceh adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang masih utuh,
tidak diduduki oleh Belanda. Karena itu Aceh disebut sebagai “Daerah Modal”,
yang berarti “daerah untuk meneruska
n cita perjuangan kemerdekaan yang
sedang dalam ancaman penjajah”. Sebagaimana yang disampaikan oleh
Presiden Republik Indonesia (Soekarno), pada tanggal 16 Juni 1948 dalam
rapat raksasa di Blang Padang, Banda Aceh. Berikut pernyataan Soekarno:
175“
...Rakyat Aceh dalam sejarah dikenal sebagai pejuang yang paling gigih
menentang penjajahan Belanda. Berpuluh-puluh tahun rakyat Aceh
menentang kolonialisme Belanda. Sekarang saatnya mengusir penjajah
Belanda dari bumi persada tercinta ini. Dimana-mana Belanda sudah
mendirikan negara boneka untuk mengepung Republik Indonesia. Sudah
waktunya sekarang pemuda-pemuda Aceh yang berdarah pahlawan siap
melakukan perang sabil untuk mengusir kaum penjajah dari persada ibu
pertiwi tercinta. Aceh adalah daerah modal. Modal dalam meneruskan cita
proklamasi 17 Agustus 1945 dan modal dalam perjuangan mengusir kaum
penjajah dari halaman rumah kita...
”.
Pada hari yang sama Soekarno menuju Sigli, tepatnya dilapangan Kota
Asan Sigli, Soekarno juga mengatakan bahwa:
176“…biar Republik I
ndonesia
selebar payung, tetap harus berjuang terus dengan Aceh sebagai daerah
175 Tgk A.K. Jakobi, Aceh Daerah…, Op.Cit, hal. 217-218. 176
modal. Dalam meneruskan cita proklamasi 17 Agustus 1945 dan meneruskan
perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara…”
.
Soekarno kembali melanjutkan perjalanan menuju Bireuen pada tanggal
17 Juni 1948, dan kembali menegaskan:
177“…
Saya ingin bertemu muka dengan rakyat Aceh yang selalu menjadi
kenanganku. Bagi seluruh rakyat Indonesia, rakyat Aceh cukup dikenal,
bahkan oleh seluruh dunia, sebagai rakyat yang tidak mau dijajah Belanda.
Rakyat Aceh yang telah mengalahkan beberapa bagian tentara Belanda,
Rakyat Aceh yang telah mengadakan perjuangan mati-matian, bertempur,
menolak, dan menahan imperialisme Belanda masuk kedaerah Aceh,
sehingga karenanya Aceh menjadi Daerah Modal Republik Indonesia,
Rakyat Aceh menjadi Inspirasi mengobarkan semangat Bangsa
indonesia
…”.
Bertempat di kota Bireuen tersebut, untuk pertama kalinya Soekarno
melakukan dialog dengan Gubernur Militer Aceh
–
Langkat
–
Tanah Karo,
yakni Jenderal Mayor Tgk M. Daud Beureueh.
178Adapun dialog antara
Soekarno dan Tgk M. Daud Beureueh yang bagian terakhirnya berbunyi
sebagai berikut:
179“Soekarno
: saya minta bantuan kakak agar rakyat Aceh turut
mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang
sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda
untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Daud Beureueh : Sdr. Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang
hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja
177 Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. Pada pembukaan. 178 Tgk A.K. Jakobi, Aceh Daerah…, Op.Cit, hal. 224.
179
perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil
(
fisabilillah
), perang untuk menegakkan agama Allah
sehingga kalau ada diantara kami yang terbunuh dalam
perang itu maka berarti mati syahid.
Soekarno
: kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang
yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan
Aceh yang terkenal seperti Tgk. Tjik Di Tiro dan
lain-lain yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang
bersemboyan merdeka atau mati syahid.
Daud Beureueh : kalau begitu kedua pendapat ini telah bertemu Sdr
Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon
kepada Sdr Presiden bahwa apabila perang telah usai
nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk
menjalankan syariat Islam di dalam daerahnya.
180Soekarno
: mengenai hal itu kakak tak usah khawatir, sebab 90%
rakyat Indonesia beragama Islam.
Daud Beureueh : maafkan saya Sdr Presiden, kalau saya terpaksa
mengatakan, bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi
kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Sdr
Presiden.
Soekarno
: kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan kakak
itu.
Daud Beureueh : Alhamdulillah, atas nama rakyat Aceh saya
mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati
Sdr Presiden. Kami mohon, (sambil menyodorkan
secarik kertas kepada Presiden) sudi kiranya Sdr
Presiden menulis sedikit diatas kertas ini.
Soekarno
: (menangis), kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku
menjadi Presiden. Apa gunanya menjadi Presiden kalau
hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai
dengan syariat Islam. Dan Wallah, saya akan
pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh
180 Penulis menggaris bawahi hal tersebut, sebagai bentuk memperjelas substansi dari dialog
benar nanti dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam
daerahnya.
181Nah, apakah kakak masih ragu juga ?
Daud Beureueh : saya tidak ragu lagi Sdr Presiden. Sekali lagi atas nama
rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih
atas kebaik
an hati Sdr Presiden”.
Pada masanya, Banda Aceh (dikenal juga dengan sebutan Kutaraja saat
ini adalah ibukota Provinsi Aceh) juga pernah menjadi ibukota darurat Republik
Indonesia, yakni ketika Kabinet Presidentil Kedelapan dibentuk pada tanggal 7
Agustus 1949 dan mantan Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI),
182Mr Sjafruddin Prawiranegara, diangkat menjadi Wakil Perdana
181 Penulis menggaris bawahi hal tersebut, sebagai bentuk memperjelas substansi dari dialog
Tgk M. Daud Beure‟euh dan Presiden Soekarno.
182 PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) merupakan upaya mengantisipasi situasi
Menteri dengan kedudukan di Banda Aceh. Dengan demikian Banda Aceh
dipersiapkan menjadi ibukota Republik Indonesia kedua, at
au “ibukota darurat”
bagi Republik Indonesia.
183Adapun tugas Wakil Perdana Menteri (Sjafruddin Prawiranegara) di
Aceh akan selesai bila Konferensi Meja Bundar (KMB)
184yang berlangsung di
Den Haag berhasil dengan baik. Jika KMB mengalami kegagalan dan kembali
Harian Republika, Jakarta, 2011, hal. xvi. Lihat juga dalam Mohammad Hatta, Menuju Gerbang Kemerdekaan, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2011, hal. 198-199.
Lihat juga pandangan Jimly Asshiddieqie mengenai Syafruddin prawiranegara, bahwa Syafruddin Prawiranegara selaku Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) antara tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan tanggal 13 Juli 1949 adalah kepala negara dan kepala Pemerintahan Republik Indonesia yang sah. Hal ini karena dalam Sistem Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kepala negara dan kepala Pemerintahan Republik Indonesia itu tiada lain adalah Presiden Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Syafruddin Prawiranegara, Op.Cit, hal. 500.
183 Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 285.
Pada mulanya, pada tanggal 19 Desember 1948 Ibukota Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, ketika itu Soekarno-Hatta menunjuk Syafruddin Prawiranegara mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Ferry Mursyidan Baldan, Pondasi Menuju Perdamaian Abadi, Suara Bebas, Jakarta, 2007, hal. 42.
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukit Tinggi tidak tinggal tetap disuatu tempat, akan tetapi bergerak mobil sekitar Keresidenan Sumatera Barat. Satu kelompok meninjau sampai ke Jambi, dan kelompok lainnya sampai ke Aceh. Adapun kelompok yang sampai ke Aceh dipimpin oleh Kol. Hidayat. Teuku Moehammad Hasan, Op.Cit, hal. 494-495.
Pada awalnya Kol. Hidayat memindahkan Markas Tentara Komando Sumatera ke sebuah rumah di pinggiran kota Bukittinggi. Dari rumah itulah dikeluarkan Perintah Harian Panglima yang menyerukan agar para prajurit meneruskan perlawanan terhadap Belanda dengan perang gerilya. Untuk melaksanakan perang gerilya itu, Kol. Hidayat terlebih dahulu akan berangkat ke Aceh, melalui jalan darat bersama ajudannya Kapt. Islam Salim, berikut beberapa orang pengawal, para perwira staf diperintahkan untuk tetap berada di Sumatera Barat dengan basis Bonjol. Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 391.
184
terjadi perang lagi, Wakil Perdana Menteri (Sjafruddin Prawiranegara) telah
membentuk Kabinet Perang yang berkedudukan di Banda Aceh sebagai Ibukota
kedua Republik Indonesia, selama keadaan perang tersebut.
185Menindaklanjuti posisi Banda Aceh (Kutaraja) sebagai ibukota darurat
Republik Indonesia, Presiden Soekarno menginstruksikan sejumlah pimpinan
TNI (Tentara Nasional Indonesia),
186untuk meninggalkan Yogyakarta menuju
Banda Aceh (Kutaraja), selain karena kota Yogyakarta dirasakan sudah tidak
185
Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 286.
Pada saat itu, Syafruddin Prawiranegara yang bertindak sebagai Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia, pindah dari Jawa ke Aceh. beliau berada di Aceh sebagai wilayah de facto mengatur peningkatan gerakan dan perjuangan didalam negeri dan mengembangkan usaha-usaha diplomatik diluar negeri, sehingga dapat membuktikan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih ada dan mampu meneruskan revolusi. Akhirnya, usaha-usaha revolusi yang dilancarkan dari daerah de facto Aceh telah berhasil menarik perhatian dunia internasional dan memaksa Belanda untuk mengadakan perundingan di bawah pengawasan Persatuan Bangsa-Bangsa. Disaat pengakuan kedaulatan Indonesia pada tanggal 29 Desember 1949 pada Konferesnsi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Wilayah Aceh adalah satu-satunya daerah yang tidak berhasil ditaklukkan oleh Belanda. Abdullah Sani Usman, Op.Cit, hal. 186.
186
TNI (Tentara Nasional Indonesia) pada awalnya merupakan organisasi yang bernama BKR (Badan Keamanan Rakyat). Selanjutnya BKR mengalami metamorfosa, diantaranya:
a. Pada 5 Oktober 1945, BKR berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dan selanjutnya diubah kembali menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia).
b. Pada 3 Juni 1947, TRI berubah menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia).
c. Pada Desember 1949, TNI berubah menjadi APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Hal ini merupakan gabungan antara APRI dan Kepolisian Negara.
f. Pada 1 April 1999, ABRI berubah menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia). TNI, “Sejarah TNI”, http://tni.mil.id/pages-10-sejarah-tni.html, diakses pada tanggal 19 Februari 2014. Lihat juga dalam Wikipedia, “Sejarah TNI”, http://id.m.wikipedia.
org/wiki/Sejarah_Tentara_Nasional_Indonesia, diakses pada tanggal 19 Februari 2014. Lihat
aman, dengan hijrah ke Aceh dimungkinkan untuk mempersiapkan gerakan
rakyat dalam bentuk perlawanan rakyat semesta.
187Rentang waktu Agresi Militer II Belanda, Belanda terus melakukan
manuver politik adu domba, tepatnya 3 (tiga) bulan paska pendudukan
Yogyakarta sejumlah pihak mencoba menggunting dalam lipatan, untuk
melepaskan diri dari Republik Indonesia yang baru seumur jagung. Pada 17
Maret 1949, Wali Negara Sumatera Timur (Tengku Dr. Mansyur) berkirim
surat kepada Tgk M. Daud Beureueh, yang intinya agar bersedia menghadiri
Mukhtamar Sumatera yang akan diadakan di Medan pada 28 Maret 1949.
Mukhtamar tersebut bertujuan membentuk Negara Sumatera Merdeka, yang
terpisah dari Republik Indonesia. Khusus untuk Aceh diberi 3 (tiga) pilihan:
188a.
Aceh dapat meninggalkan Republik Indonesia dan bergabung dengan
Negara Sumatera Merdeka yang akan dibentuk.
b.
Aceh berpeluang menyatakan diri sebagai negara yang merdeka.
c.
Aceh tetap berada dalam pangkuan Republik Indonesia.
187
Sejumlah perwira senior dan pimpinan teras turut tinggal di Aceh, diantaranya: Angkatan Darat (Kol. Hidayat, Kol. Askari, LetKol. A. Kartawirana, Mayor. Ibrahim Adjie, LetKol. Alex Kawilarang, Mayor. Akil Prawireja), Angkatan Laut (KSAL Kol. Subiyakto, Kapt. Martadinata, Letnan. Sudomo, Mayor Laut. John Lie), Angkatan Udara (KSAU Kol. H. Sudjono). Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 279.
188 Neta S. Pane, Op.Cit, hal. 62.