• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan yang Dilakukan Dengan Basis Rasisme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan yang Dilakukan Dengan Basis Rasisme"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERANAN POLITIK HUKUM PIDANA DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

A. Ruang Lingkup Politik Hukum Pidana

Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarah selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli. Bila disimak dari sudut perkembangan masyarakat, perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia selalu berupaya untuk memperbaharui suatu hal demi meningkatkan kesejahteraan di masa depan.35

Ketika hukum pidana dan hukum acara pidana masih dikuasai paham absolutisme pada zaman ancient regime, penguasa merumuskannya secara politis dan tidak tegas. Pemeriksaan perkara pun dilakukan secara tertutup agar kekuasaan sewenang-wenang dimungkinkan. Pada masa revolusi Perancis, merupakan awal perubahan hukum pidana yang disusun secara sistematis. Perubahan tersebut menuju pada pola pendekatan sosial dan menganggap kejahatan sebagai gejala sosial. Munculah kelompok aliran hukum pidana dengan klasifikasi aliran klasik, aliran kriminologi dan aliran sosiologis.36

Dalam menentukan suatu tindak pidana digunakan kebijakan hukum pidana. Penal policy atau politik (kebijakan) hukum pidana, pada intinya, bagaimana hukum pidana dirumuskan dengan baik dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan

35M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System

&Impelementasinya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 1

(2)

eksekutif). Kebijakan legislatif merupakan tahapan yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena pada saat peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini artinya menyangkut proses kriminalisasi, Kriminalisasi, menurut Sudarto,37

Dalam hubungan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan

dapat diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dapat dipindana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang, di mana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.

38

bahwa kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Sedangkan perngertian

penanggulangan kejahatan, menurut Mardjono Reksodiputro,39

37Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1983, hal. 39-40.

38Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, 1996, hal. 29-30.

39Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (Peran Penegak Hukum Melawan

Kejahatan), Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 84

(3)

Politik sosial tersebut dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.40

Dari uraian di atas tampaknya terdapat 2 (dua) masalah sentral yang perlu diperhatikan dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya dalam tahap formulasi, yaitu masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.41

Teori-teori criminalisering yang mengemukakan tentang proses penentuan dapat dipidananya suatu perbuatan, dan yang berusaha menjelaskan tentang faktor-faktor determinan yang mempengaruhi proses-proses ini, ternyata terbatas sekali.42

Penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana mempunyai hubungan yang erat dengan masalah “kriminalisasi”, yaitu “proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana”.43

Dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam riga kerangka, yaitu sturktur, substansi, dan kultur. Struktur adalah mekanisme yang terkait dengan kelembagaan.Substansi adalah landasan-landasan, aturan-aturan, dan tatanan-tatanan yang mendasari

40M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Korban

Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia Publishing, Malang, 2003, hal. 18.

41Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2002, hal. 24.

42Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif, Aksara Baru, Jakarta,

1983, hal. 55

43Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The

(4)

sistem itu. Kemudian kultur adalah konsistensi terhadap pandangan sikap filosofis

yang mendasari sistem. 44

Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela itu dan memberikan suatu sanksi terhadapnya,

Hal itu penting agar pihak berwenang sebagai pengambil keputusan jangan sampai terjebak kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek) sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya justru akan merugikan masyarakat itu sendiri.

45

Dalam hal ini Negara memiliki kewenangan untuk menentukan norma-norma perilaku mana yang akan dikukuhkan menjadi kaidah hukum dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang perlu dilindungi, terutama intervensi pihak lain. Dengan demikian, tampak lebih jelas bahwa antara norma perilaku dan hukum pidana (perumusan delik) mempunyai hubungan yang saling mengait. Perumusan delik ini diperlukan asas legalitas, dan karena salah satu tugas hukum pidana adalah melayani tegaknya tertib hukum dalam suatu Negara.

ini disebut le-galitas dalam hukum pidana.

46

Dalam mengkaji politik hukum pidana, maka hal ini terkait dengan politik hukum. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto,47

44Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, op. cit, hal. 4 45ibid. hal. 5.

46Ibid.

47Sudarto, op. cit, hal. 16

(5)

1. Perkataan politiek dalam bahasa Belanda berarti sesuatu yang berhubungan dengan Negara;

2. berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan

Negara.

Lebih lanjut Sudarto menegaskan, makna lain dari politik adalah kebijakan yang merupakan sinonim dari policy. Dalam pengertian ini, dijumpai kata-kata seperti politik ekonomi, politik criminal, politik hukum, dan politik hukum pidana.

Hubungan antara politik dan hukum, Mahfud 48

Menurut Solly Lubis,

menjelaskan hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variable terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variable berpengaruh). Dengan asumsi yang demikian itu, Mahfud merumuskan politik hukum sebagai:

“Kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mem-pengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.”

49

48Mahfud MD.. op. cit, hal. 1-2

(6)

Dengan dasar itu, Sudarto mengatakan, 50

Dalam mempositifkan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, tentu tidak dapat hanya berpijak pada pandangan dogmatis yuridis saja, akan tetapi mencakup pula pandangan fungsional. Dalam kaitan ini, Paul Scholten

politik hukum merupakan kebijakan Negara melalui badan-badan yang berwenang untukmenerapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk meng- ekspersikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

51

Politik Kriminil atau criminal policy, menurut Marc Ancel, dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by

society.

menolak pandangan Hans Kelsen yang melihat putusan-putusan ilmu hukum tidak lain merupakan pengolahan logical bahan-bahan positif, yakni undang-undang, dan vonis-vonis. Menurut Scholten, bahan-bahan positif itu ditentukan secara historis dan kemasyarakatan. Penetapan undang-undang adalah sebuah peristiwa historis yang merupakan akibat dari serangkaian fakta yang dapat ditentukan secara kemasyarakatan. Oleh karena itu, kemurnian ilmu hukum selalu mengandyng sesuatu yang tidak murni dari bahannya. Jika hal itu tidak dilakukan maka menurut Scholten, ilmu hukum akan menjadi mahluk tanpa darah.

52

50Sudarto, loc. Cit.

51B. Arief Sidharta, Seri Dasar-dasar Ilmu Hukum, Laboratorium Hukum Fakultas

Hukum Universitas Katolik Prahyangan, Bandung, 1997, hal. 5

52Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan

Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Dipenegoro, Semarang, 2000, hal. 47.

(7)

Politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro), dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dihormati.53

Jika demikian halnya maka menurut Sudarto,54

Menurut Sahetapy, peranan hukum dengan pendekatan fungsional tidak sama dengan hukum yang berperan sebagai suatu alat (instrument) belaka. Pendekatan secara fungsional, hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan dari mana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam bentuk manifestasinya harus selalu bernafas Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak lagi berfungsi dalam arti sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai instrumen. Hukum dalam

melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

(8)

pengertian ini hanya demi kepentingan tertentu yang sama sekali tidak dijuwai oleh semangat dan idealisme Pancasila.55

Menurut Sudarto,56

1. Dalam arti sempit, politik kriminil digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana.

politik kriminil itu dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas.

2. Dalam arti yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi.

3. Dalam arti yang paling luas, ia merupakan keseluruhan kebijakan yang

dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat

Penegakan norma-norma sentral itu menurut Sudarto dapat diartikan sebagai penanggulangan kejahatan. Melaksanakan politik kriminil berarti mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang paling efektif dalam usaha penganggulangan kejahatan.

Pada bagian lain, Sudarto menyatakan,57

55Sahetapy, Hukum dalam Konteks Politik dan Budaya, dalam Kebijakan Pembangunan

Sistem Hukum, Analisis CSIS (Januari-Februari, XXII), No. 1, 1993, hal. 55-56

56Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung 1981, hal. 113-114 57Sudarto, op. cit, hal. 161-162

(9)

Apabila mengabaikan informasi tersebut akan mengakibatkan terbentuknya undang-undang yang tidak fungsional.

Pandangan Sudarto di atas, sejalan dengan Marc Ancel,58

Sebagai mana dikemukakan oleh G Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan tindak pidana (criminal policy) dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara, yaitu:

menurut, in

modern science has primery three essencial componens: criminology, criminal

law, dan penal policy. Criminology, mempelajari kejahatan dalam semua aspek.

Selanjutnya, criminal law menjelaskan dan menerapkan peraturan-peraturan positif atas reaksi masyarakat terhadap fenomena kejahatan. Penal policy baik sebagai ilmu maupun seni mempunyai tujuan praktis, utamanya untuk me-mungkinkan peraturan-peraturan positif dirumuskan lebih baik dan menjadi petunjuk tidak hanya kepada legislator yang merancang peraturan perundang-undangan pidana, tetapi juga pengadilan di mana peraturan-peraturan itu diterapkan dan penyelengaraan pemasyarakatan (prison administarion) yang memberi pengaruh praktis terhadap putusan pengadilan.

59

1. Penerapan hukum pidana/ Criminal law application;

2. Pencegeahan tanpa pidana /Prevention without punishment;

3. Mempengaruhi masyarakat tentang tindak pidana dan pemidanaan /

Influencing views of society on crime anf punishment.

58Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 1.

59Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,

(10)

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokan menjadi 2

(dua) macam, 60

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana” atau “politik hukum pidana”. Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, dan kepada yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non-penal

policy). Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif

setelah terjadinya suatu tindak pidana, yang mana tindakan represif adalah tin-dakan yang dilakukan setelah kejadian terjadi untuk menekan agar kejadian tidak meluas atau menjadi parah. Sedangkan non-penal policy lebih menekankan pada tindakan prefentif sebelum terjadinya suatu tindak pidana, yang mana tindakan

prefentif adalah tindakan yang mengutamakan pencegahan sebelum terjadinya

kejadian. Menurut pandangan dari sudut politik kriminil secara makro, non-penal

policy merupakan kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis.

Hal itu dikarenakan, non-penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindakan pidana. Sasaran utama non-penal policy adalah me-nangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.

(11)

para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut merupakan salah satu komponen dari modern criminal science di samping criminology dan criminal law.61

Dengan demikian, penal policy atau politik hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif). Kebijakan legislatif merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain, perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini

berarti menyangkut proses kriminalisasi. Kriminalisasi, menurut Sudarto 62

Dalam kaitan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan,

merupakan proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tindakan itu diancam dengan terbentuknya undang-undang dengan suatu sanksi berupa pidana.

63

kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Sedangkan, pengertian dari tujuan

penanggulangan kejahatan, menurut Mardjono Reksodiputro,64

61Barda Nawawi Arief,op. cit, hal. 1.

62Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, op. cit, hal 39-40.

63Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,

1996, hal. 29-30.

64Mardjono Reksodiputro, op. cit, hal. 84

(12)

masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khusunya hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undang pidana yang merupakan bagian integral dari politik sosial. Politik sosial tersebut menurut Barda Nawawi Arief dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.

Dengan demikian, jika politik kriminil menggunakan politik hukum pidana maka ia harus merupakan langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung

berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya.65Oleh karena

itu, proses kriminalisasi yang terus berlangsung harus dilakukan evaluasi, karena sebagaimana yang dituliskan Bruggink (alih bahasa oleh Arief Sidharta):66

Untuk memperjelas, Bruggink memberikan contoh pada aturan-aturan hukum yang menyangkut hubungan antara orang tua dan anak. Jika pemerintah

“Dewasa ini mungkin mengeluh bahwa melimpahnya aturan-aturan hukum mempunyai dampak sebaliknya ketimbang yang dituju. Semula aturan hukum dimaksudkan untuk mengatur kehidupan kemasyarakatan dengan cara yang lebih baik akan tetapi aturan-aturan hukum justru mencekik kehidupan kemasyarakatan itu, dengan terlalu membelenggu kreativitas dan spontanitas.”

65Barda Nawawi Arief, op. cit, hal. 37.

66Bruggink, Refleksi tentang Hukum, Alih bahasa oleh Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti,

(13)

lebih banyak menetapkan aturan, ada kemungkinan inti hubungan antara orang tua dan anak akan tertekan. Untuk itu, menurut Bruggink, diperlukan wawasan tentang peranan kaidah-kaidah hukum di dalam masyarakat sebagai titik tolak. Dari tulisan Bruggink ini dapat dirumuskan bahwa sebenarnya masyarakat tidak memerlukan hukum berdasarkan jumlah (kuantitas) melainkan dari mutu atau kegunaannya (kualitas).

Sudarto67

Oleh karena itu, dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam tiga kerangka, yaitu struktur, substansi, dan kultur.

mengingatkan, pengaruh umum pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang mengetahui tentang adanya sanksi (pidana) itu. Dan intensitas pengaruhnya tidak sama untuk semua tindak pidana. Terhadap tindak pidana yang oleh masyarakat dianggap sepele, artinya kalau orang melakukannya tidak dianggap tercela, misalnya pelanggaran lalu lintas, ancaman pidana berat merupakan mekanisme kontrol yang cukup ampuh untuk mencegah perbuatan tersebut. Akan tetapi, ancaman pidana berat tidak banyak artinya jika tidak dibarengi dengan penjatuhan pidana yang berat pula.

68

67Sudarto, op. cit, hal. 90-91 68Arief Amrullah, op. cit, hal 21.

(14)

Sudarto berpendapat, melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling

baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.69

Pada hakikatnya kebijakan pidana (penal policy) dapat difungsionalisas-ikan dan dioperasionalisadifungsionalisas-ikan melalui beberapa tahap, yaitu tahap formulasi atau kebijakan legislatif, tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif dan tahap eksekutif atau kebijakan administratif.

Dalam kesempatan lain dikemukakan pula, bahwa melaksanakan politik hukum pidana mempunyai arti sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

70

Tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupaka tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses fungsiolaisasi atau operasionalisasi hukum pidana. Tahap formulasi atau kebijakan legislatif tersebut menjadi dasar, landasan dan pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi atau operasionalisasi

Tahap formulasi atau kebijakan legislatif dapat dikatakan sebagai tahap perencanaan dan perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif merupakan tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dilanggar. Tahap eksekusi atau kebijakan administratif adalah tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

69Sudarto, op. cit, hal 151

70Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan

(15)

hukum pidana berikutnya, yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekusi.71 Kesalahan atau kelemahan tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan kesalahan straegis yang dapat menjadi penghambat bagi tahap-tahap berikutnya dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekusi.72

Pada dasarnya, terdapat 2 (dua) masalah sentral yang perlu diperhatikan dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya dalam tahap formulasi, yaitu masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.73

Teori-teori criminaliseringyang mengemukakan tentang proses penentuan dapat dipidananya suatu perbuatan, dan yang berusaha menjelaskan tentang faktor-faktor determinan yang mempengaruhi proses-proses ini ternyata masih terbatas sekali.74

Penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana mempunyai hubungan yang erat dengan maslah “kriminalisasi”, yaitu “proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana.75

Proses kriminalisasi tersebut diakhiri dengan terbentuknya peraturan perundang-undangan dimana perbuatan tersebut diancam dengan suatu sanksi berupa pidana (tahap formulasi). Terbentuklah peraturan hukum pidana yang siap

71Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,

1992, hal. 157-158.

72Barda Nawawi Arief, loc. Cit.

73Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,

2002, hal. 24

(16)

untuk diterapkan oleh hakim (tahap aplikasi) dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana, dilaksanakan oleh kekuasaan administrasi (tahap eksekusi).76

Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat, dalam mengahadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi , harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut:77

1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan

nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penganggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan

hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat;

3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan

hasil (cost benefit principle);

4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau

kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

(17)

Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial terlihat pula dalam

Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada Agustus 1980 di

Semarang. Dalam salah satu laporannya dinyatakan antara lain sebagai berikut:78

Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana. Namun demikian usaha ini pun masih sering dipersoalkan. Perbedaan peranan pidana dalam menghadapi masalah kejahatan, menurut Inkeri Anttila, telah berlangsung beratus-ratus tahun dan menurut Herbert L. Packer, usaha pengendalian perbuatan anti sosial dengan mengenakan pidana pada seseorang yang bersalah melanggar peraturan pidana, merupakan suatu problem sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting.

“Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminil yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.”

79

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan pe-negakan hukum. Di samping itu, karena tujuannya mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya maka kebijakan penegakan hukum termasuk dalam bidang kebiijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional yntuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah, penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya, dalam masalah kebijakan orang

(18)

dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. 80

B. Politik Hukum Pidana Dalam Menentukan Suatu Pemidanaan

Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem sosial seperti dikemukakan oleh Packer di atas, tetapi juga merupakan masalah kebijakan (the problem of policy).

Kebijakan politik hukum pidana yang paling mempengaruhi dalam penanggulangan kejahatan adalah mengenai kebijakan pidana dalam menentukan suatu pemidanaan. Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai

penghukuman.81

Sebagian berpandangan, pemidanaan adalah suatu pemberian penderitaan dari pihak berwenang terhadap seseorang atas kesalahan yang dilakukannya dalam beberapa hal (berupa pelanggaran terhadap peraturan atau perintah). Secara umum, pemidanaan memiliki definisi yang hampir sama dengan sanksi biasa (mere penalties), yang membedakannya adalah rasa empati dalam masyarakat, jika sanksi biasa (mere penalties) lebih berupa sanksi terhadap pelanggaran biasa

Untuk itu dalam menetapkan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi ini diperlukan suatu kebijakan hukum pidana agar penjatuhan dan pemberian sanksi pidana dapat mencapai sasaran yang tepat dan berguna bagi negara dan masyarakat.

80Sudarto, op. cit, hal. 61.

(19)

seperti, surat tilang dan sanksi terhadap pelanggaran lainnya, pemidanaan lebih ditujukan kepada perbuatan yang bertentangan yang menyangkut nilai moral di dalam masyarakat.82

Hegel83

Beberapa di antara para ahli hukum pidana menyadari betul persoalan pemidanaan bukanlah sekedar masalah tentang proses sederhana memidana seseorang dengan menjebloskan ke penjara. Refleksi yang paling kecil saja, dengan mudah menunjukan bahwa memidana sesungguhnya mencakup pula pencabutan (peniadaan), termasuk proses pengadilan itu sendiri. Oleh karena itu, kesepakatan tentang apa pemidanaan itu merupakan hal yang penting sebelum menempatkan perintah (putusan) ke berbagai aplikasi paksaan publik pada indi-vidu, entah atas nama kesehatan, pendidikan, ataupun kesejahteraan umum.

menyatakan, Pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan. Kejahatan dilakukan karena kehendak pelaku kejahatan itu sendiri. Pelanggaran terhadap hak orang lain diakui oleh pelaku kejahatan sebagai haknya sendiri. Kejahatannya merupakan peniadaan dari hak, dan pemidanaan adalah “peniadaan” dari kejahatan, karenanya pemidanaan ini diminta dan dipaksakan kepada si pelaku kejahatan oleh dirinya sendiri.

84

Jerome Hall sebagaimana dikutip Gerber dan McAnany dalam memberi batasan konseptual tentang pemidanaan dianggap sebagai kemajuan besar yang telah dicapai. Hall membuat deskripsi yang terperinci mengenai pemidanaan

82Joel Feinberg (1970), The Expressive Function of Punishment, dalam A Reader On

Punishment, R.A. Duff & David Garland (Ed.), Oxford University Express, New York, 1994, hal. 73.

83J. G. Murphy, Marxism and Retribution, dalam A Reader on Punishment, R. A. Duff &

Garland (Ed.), Oxford University Express, New York, 1994, hal. 47.

(20)

berikut ini. Pertama, pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup. Kedua, ia memaksa dengan kekerasan. Ketiga, ia diberikan atas nama negara, ia “diotoritaskan”. Keempat, ia diberikan mensyaratkan adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya, dan penentuannya, yang diekspresikan dalam putusan. Kelima, ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan, dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan delam etika. Keenam, tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan, dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si pelanggar, motif dan dorongannya.85

Pekembangan pemikiran tentang pemidanaan juga diikuti oleh kemajuan pemikiran mengenai tujuan pemidanaan. Sejarah pemidanaan selama seratus

Unsur-unsur pemidanaan yang dikemukakan oleh Jerome Hall diatas dapat ditarik garis mengenai pemidanaan, yakni pemidanaan adalah penderitaan yang berupa kehilangan sesuatu yang diperlukan seseorang yang dilakukan secara paksa oleh pemerintah yang berwenang sebagai isyarat adanya peraturan-peraturan, pelanggaran dan penentuan yang dapat dilihat dalam putusan yang diberikan kepada seseorang yang telah melakukan kejahatan. Pemidanaan yang dijatuhkan kepada seseorang itu pun tidak dapat dijatuhkan dengan sewenang-wenang, melainkan harus diperhatikan juga unsur-unsur individu pelaku, yakni dengan melihat personalitas, motif dan dorongannya untuk melakukan kejahatan.

85Rudolph J. Gerber & Patrick D. Mc Anany, The Philosophy Of Punishment, Dalam The

(21)

tahun terakhir memberi pengaruh kuat pada harapan-harapan yang membaik ini, bagi orang yang dihukum bahkan lebih mengesankan ketika itu dipandang bersama dengan kekerasan yang meningkat yang telah diciptakan oleh perang

modern hampir dalam setiap kehidupan.86

Dasar pemidanaan pun telah bekembang sesuai perkembangan peradaban manusia. Masalah pidana sering dijadikan tolak ukur sampai seberapa jauh tingkat

“peradaban” bangsa yang bersangkutan. 87

Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut sistem sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana. Menurut Sudarto, aliran klasik tentang pidana bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana.

Pemikiran dasar pemidanaan pun terbagi menjadi beberapa aliran, yang dimulai dengan aliran klasik.

88

86Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, op. cit., hal. 76. 87ibid.

88M. Sholehuddin, op. cit, hal. 25.

(22)

perbuatan/kejahatan yang dilakukan. 89

Pada abad XIX lahirlah aliran positif yang mencari sebab kejahatan dengan memakai metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati atau mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Bertolak belakang dengan aliran klasik, aliran modern memandang kebebasan berkehendak manusia banyak dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya sehingga tidak dapat dipersalahkan dan dipidana. Andaipun digunakan istilah pidana, menurut aliran modern ini, harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pelaku. Karenanya, aliran ini bertitik tolak dengan pandangan determinisme

Pendek kata, tidak dipakai sistem individualisasi pidana.

90

Bermuara dari kedua konsepsi aliran hukum pidana tersebut lahirlah ide individualisasi pidana yang memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:

dan mengehendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan mengadakan resosialisasi terhadap pelaku kejahatan.

91

1. Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas personal); 2. Pidana hanya diberikan kepada orang yang besalah (asas cupabilitas; tiada

pidana tanpa kesalahan);

3. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini

berarti harus ada kelonggaraan/fleksibelitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada

89ibid.

(23)

kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pe-laksanaanna.

Disamping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan, yaitu teori absolut dan teori relatif, ada teori ketiga yang disebut teori gabungan (verenigings theorieen).

Penulis pertama yang mengajukan teori gabungan ini ialah Pellegrino Rossi (1787-1848). Sekalipun ia menganggap pembalasan sebagai asa dari pidana dan beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, ia berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.92

Perkembangan pemikiran pidana selanjutnya, pertanggungan jawab seseorang berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si pembuat (etat dangereux). Bentuk pertanggungan jawab kepada si pembuat lebih bersifat tindakan untuk perlindungan masyarakat. Kalau digunakan istilah pidana, menurut aliran ini, pidana harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pembuat. Dalam teori ini, orientasi pelarangan hukum pidana ditujukan pada orang dan perbuatannya, konsep perbuatan yang dilakukan modifikasi doktrin free will, deduktif-induktif dan menggunakan konsep normatif-empirik. Teori ini meng-anggap pidana diperlukan, tetapi bukan balas dendam dan bertujuan, pidana merupakan bagian dari pertanggungjawaban pilihan bebas, tetapi dipertimbangkan faktor-faktor lain yang meringankan (eksternal-internal).

(24)

Jadi aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan mengadakan resosialisasi si pembuat.

Pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II, aliran modern ini berkembang menjadi apa yang dikenal dengan aliran atau gerakan perlindungan masyarakat (social defence). Tokoh terkenal gerakan social defence ini adalah Filipo Gramatica yang pada 1945 mendirikan “Pusat Studi Perlindungan Masyarakat” (The study- centre of social defence) di Genoa. Aliran atau gerakan perlindungan masyarakat yang menjadi orientasi pelarangan hukum pidana adalah perlindungan masyarakat. Sasarannya, manusia dan perbuatannya. Konsep gejala yang manu-siawi dan merupakan pernyataan dari seluruh kepribadian pelaku. Pemidanaan dalam aliran ini, setelah diadili dan dipidana (diperbaiki) masih harus diberi kekuatan agar dapat “mengekang diri sendiri” dan memupuk perasaan tanggung jawab antar sesama manusia, aliran ini juga mengembangkan model pertanggungjawaban pelaku.

Berdasarkan hal tersebut, Sudarto menyatakan:

“Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggung-jawaban atas perbutatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut”.93

93 Sudarto, Hukum Pidana 1, Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah FH UNDIP,

(25)

Pembicaraan masalah penentuan sanksi pidana dalam hukum pidana terkait dengan empat aspek: pertama, penetapan perbuatan yang dilarang; kedua, penetapan ancaman sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilarang; ketiga, tahap penjatuhan pidana pada subjek hukum (seseorang atau korporasi); keempat, tahap pelaksanaan pidana. Keempat aspek tersebut terkait anatara satu dengan lainnya

dan merupakan satu jalinan dalam wadah sistem hukum pidana.94

Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan pemberian sanksi dalam hukum pidana. Hal ini dapat dilihat dalam pendapat Sudarto

Bagian penting dari sistem pemidanaan adalah menetapkan suatu sanksi. Keberadaannya akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi daam suatu tindak pidanan untuk menegakkan berlakunya norma. Di sisi lain, pemidanaan itu sendiri merupakan proses paling kompleks dalam sistem peradilan pidana karena melibatkan banyak orang dan insitusi yang berbeda.

95

Berkaitan dengan masalah sanksi, G.P. Hoefnagels bahkan memberikan arti secara luas. Dikatakannya, bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua yang menyatakan, pemberian pidana in abstracto adalah menetapkan stelsel sanksi hukum pidana yang menyangkut pembentuk undang-undang. Sedangkan pemberian pidana in concreto menyangkut berbagai badan yang kesemuaannya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu. Dengan kata lain, pemidanaan menyangkut tentang penetapan sanksi pidana dan bagaimana cara melaksanakan sanksi hukum pidana itu terhadap terpidana.

(26)

reaksi terhadap pelanggaran hukum yang ditentukan undang-undang dimulai dari penahanan tersangka dan penuntutan terdakwa sampai pada penjatuhan vonis oleh hakim. Hoefnagels melihat pidana sebagai suatu proses waktu yang keseluruhan proses itu dianggap sebagai suatu pidana.96

Menurut Barda Nawawi Arief,97

Penentuan jenis ancaman pidana, penjatuhan dan palaksanaan pidana berhubungan erat dengan tujuan pemidanaan. Permasalahannya, apakah jenis-jenis pidana tersebut sudah menggambarkan tujuan yang hendak dicapai dalam pemidanaan.

strategi kebijakan pemidanaan dalam kejahatan-kejahatan yang berdimensi baru harus memperhatikan hakikat permasalahannya. Bila hakikat permasalahannya lebih dekat dengan masalah-masalah di bidang hukum perekonomian dan perdagangan maka lebih diutamakan penggunaan sanksi tindakan dan/atau pidana denda.

98

Adanya tujuan pemidanaan yang harus dijadikan patokan dalam rangka menunjang berkerjanya sistem peradilan pidana, menurut Muladi,

Dengan demikian, apapun jenis dan bentuk sanksi yang ditetapkan tujuan pemidanaan harus menjadi patokan. Karena itu, harus ada kesamaan pandang atau pemahaman pada tahap kebijakan legislasi tentang apa hakikat atau maksud dari sanksi pidana dan/atau tindakan itu sendiri.

99

96ibid.

97Barda Nawawi Arief, loc. Cit.

98Teguh Prasetyo & Abdul Halim Baratullah, op. cit., hal. 85. 99Muladi, op, cit., hal. 2.

(27)

(structural synchronization), sinkronisasi substansial (subtantial

Syncrhroni-zation), dan sinkronisasi kultural (cultural synchronization).

Sekarang ini, faktor-faktor yang menentukan politik hukum tidak semata-mata ditentukan oleh apa yang dicita-citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para teoritis belaka, akan tetapi ditentukan juga oleh kenyataan dan perkembangan hukum di negara lain serta hukum internasional. Apalagi bila dicermati, sasaran kajian politik hukum yang

digunakan oleh pembuat hukum nasional, 100 menurut Soewoto

Moeljosoedarmo,101

Masalah penetapan sanksi dalam hukum pidana, apapun jenis dan bentuk sanksinya harus didasarkan dan diorientasikan pada tujuan pemidanaan. Setelah tujuan pemidanaan ditetapkan, barulah ditentukan jenis dan bentuk sanksi apa yang paling tepat bagi pelaku kejahatan. Penetapan sanksi pada tahap kebijakan legislasi ini menurut Barda Nawawi Arief,

kebijakan ini dapat berupa pilihan hukum yang berlaku, sistem hukum yang dianut, dasar filosofis yang digunakan termasuk kebijakan agar mendasarkan hukum nasional pada asas-asas hukum yang berlaku.

102

Perumusan jenis sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan pidana yang kurang tepat, menurut beliau, dapat menjadi faktor timbul dan

harus merupakan tahap perencanaan strategis di bidang pemidanaan yang diharapkan dapat memberikan arah pada tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan pidana.

100Teguh Prasetyo & Abdul Halim Baratullah, loc. Cit. 101ibid.

102Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,

(28)

berkembangnya kriminalitas. Pendapat ini sejalan dengan pandangan mazhab

kritikal dalam kriminologi103 yang menyatakan, kejahatan yang terjadi maupun

karakteristik pelaku kejahatan ditentukan terutama bagaimana hukum pidana itu (termasuk stelsel sanksinya) dirumuskan dan dilaksanakan.104

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik benang merah antara penerapan sanksi dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana dan perumusan tujuan pemidanaan, yakni adanya kaitan yang erat dengan landasan filsafat pemidanaan, teori-teori pemidanaan dan aliran-aliran hukum pidana yang dianut mendominasi pemikiran dalam kebijakan kriminil (criminal policy) dan kebijakan penal (penal

policy). 105 Hal ini sejalan dengan pendapat Romli Atmasasmita 106

Dalam penentuan sanksi dalam suatu pemidanaan, dibedakan antara lain sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif yang menegaskan, perumusan empat tujuan pemidanaan dalam Rancangan Undang-Undang KUHP Nasional tersimpul pandangan social defence, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana, pandangan hukum adat dan tujuan yang bersifat sprititual berlandaskan Pancasila. Menurutnya, keempat tujuan pemidanaan tersebut dipertegas kembali dengan mencantumkan Pasal 54 ayat (2) RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyebutkan, “Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia”.

103Teguh Prasetyo & Abdul Halim Bakatullah, op. cit., hal. 86 104ibid.

105ibid. hal. 87.

106Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana; Perspektif Eksistensialisme dan

(29)

terhadap pelaku perbuatan tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera) maka fokus sanksi terarah pada upaya memberikan pertolongan agar pelaku berubah.107

Dengan demikian, sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada si pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pelanggar.108 Atau seperti dikatakan J.E. Jonkers, sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial.109

Dengan demikian, perbedaan prinsip antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan terletak pada adanya tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan.

Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak belakang dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (bijzonder lead) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku.

110

107Muladi dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 4.

108Sudarto, Hukum Pidana, (Jilid I A), Badan Penyediaan Kuliah FH UNDIP, Semarang,

1973, hal. 7.

109M. Sholehuddin, op. cit., hal. 32. 110Ibid.

(30)

mendidik. Jika ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang merugikan kepentingannya. Singkatnya, sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan masnyarakat.

Perbedaan orientasi ide dasar dari dua sanksi tersebut (sanksi pidana dan sanksi tindakan) sebenarnya memiliki kaitan pula dengan filsafat yang memayunginya, yakni filsafat indeterminisme sebagai ide sanksi pidana dan filsafat determinasi sebagai sumber ide sanksi tindakan. Sebagaimana diketahui, asumsi dasar filsafat indeterminisme adalah sejatinya manusia memiliki kehendak bebas, termasuk ketika ia melakukan kejahatan. Karenanya sebagai konsekuensi pilihan bebasnya, maka setiap pemidanaan harus diarahkan pada pencelaan moral dan pengenaan penderitaan bagi pelaku.

Sedangkan determinisme bertolak dari asumsi bahwa keadaan hidup dan prilaku manusia, naik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok masnyarakat, ditentukan oleh faktor-faktor fisik geografis, biologis, psikologis,

sosiologis, ekonomis, dan keagamaan yang ada.111

111ibid.

(31)

Perbedaan ide dasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan seperti tersebut di atas, dapat pula ditemukan dalam teori-teori tentang tujuan pemi-danaan, yaitu teori retributif atau teori absolut, teori relatif atau teori deterrence, teori penggambungan (integratif), teori treatment dan perlindungan sosial (social

defence).112

Teori absolut (teori retributif), misalnya, memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan. Jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori retributif mancari pendasaran pemidanaan dengan memandang ke masa lampau, yakni memusatkan argumennya pada tindakan yang sudah dilakukan. Menurut Sahetapy,113

Alasan pembenar dari pemidanaan pada teori retributif didasarkan pada frase kuno yaitu “an eye for an eye, a tooth fo a tooth”dalam Code Of

Hammurabbi yakni “mata dibalas oleh mata, gigi dibalas oleh gigi” atau

pelanggar diberikan pemidanaan karena rasa keadilan pada masyarakat teori abosolut adalah teori tertua, setua sejarah manusia. Teori ini memandang pidana sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Meskipun kecenderungan untuk membalas ini pada prinsipnya adalah suatu gejala yang normal, akan tetapi pembalasan tersebut harus dilihat sebagai suatu reaksi keras yang bersifat emosional dan karena itu irrasional.

112Mahmud Mulyadi,Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan

Hukum Pidana Indonesia, USU Repository, Medan, 2006

113J.E Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenal Ancaman Pidana mati terhadap

(32)

memaksakan pemidanaan itu. Teori Retributif memiliki prinsip-prinsip dasar antara lain:114

1. Perbuatan Kriminal pasti merupakan perbuatan yang salah berdasarkan

moral.

2. Pemidanaan harus sesuai dengan pelanggaran.

3. Pemidanaan harus menggambarkan pengembalian penderitaan kepada si

pelanggar karena perbuatannya yang salah berdasarkan moral.

Teori retributif atau teori absolut melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang imoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan.115

Menurut teori ini, pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi demi kesalahannya. Pemidanaan menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah diakibatkan, karenanya teori ini disebut juga teori proposionalitas. Demi alasan itu, pemidanaan dibenarkan secara moral.116

Nigel Walker dalam Sentencing in A Rational Society menegaskan, asumsi lain yang dibangun atas dasar retributif adalah beratnya sanksi harus berhubungan dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggar. Asumsi ini dimaksudkan dalam undang-undang yang memberi sanksi-sanksi pidana

114C. Ray Jeffery, Crime Prevention Through Environmental Design, Sage Publication,

Inc, California, 1977, hal. 16.

115Mahmud Mulyadi, op. cit.

(33)

masksimum yang lebih kecil untuk usaha-usaha yang tidak berhasil daripada usaha-usaha yang berhasil.117

1. Penganut teori retributif terbatas (The Limiting Retributivist) yang berpan-dangan bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan. Yang lebih penting adalah keadaan tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh sanksi dalam hukum pidana itu harus tidak melebihi batas-batas yang tepat untuk penetapan kesalahan pelanggaran.

Nigel Walker memberi contoh tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dengan tidak sengaja terkadang dibedakan sanksinya. Ancaman pidana maksimum terhadap pengemudi yang mengemudi dengan cara membahayakan adalah pidana penjara dua tahun, tetapi mengemudi dengan cara membahayakan sehingga mengakibatkan kematian orang lain, diancam pidana maksimum loma tahun.

Selanjutnya Nigel Walker menjelaskan, ada dua golongan penganut teori retribusi. Pertama, penganut teori retributif murni yang memandang pidana harus sepadan dengan kesalahan si pelaku. Kedua, penganut teori retributif tidak murni, yang dipecah lagi menjadi:

118

2. Penganut teori retributif distribusi (retribution in distribution).

Penganut teori ini tidak hanya melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hukum pidana harus dirancang dengan pandangan pembalasan, namun juga gagasan bahwa seharusnya ada batas yang tepat dalam retribusi pada beratnya sanksi. Kaum retributif ini berpandangan, selama orang membatasi sanksi dalam

(34)

hukum pidana pada orang-orang yang telah melakukan pelanggaran kejahatan dan tidak membenarkan sanksi ini digunakan pada orang yang bukan pelanggar maka harus diperhatikan prinsip retribusi yang menyatakan bahwa:

“Masyarakat tidak berhak menerapkan tindakan yang tak menyenagkan pada seseorang yang bertentangan dengan kehendak kecuali bila ia dengan sengaja melakukan sesuatu yang dilarang.”119

1. Dengan pidana tersebut akan memuaskan perasaanbalas dendam si korban,

baik perasaan adil bagi dirinya, temannya dan keluarganya. Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan menuduh tidak menghargai hukum. Tipe retributif ini disebut vindicative.

Akhirnya Nigel Walker menjelaskan, hanya penganut penganut teori retributif murni (the pure retributivist) yang mengemukakan dasar-dasar pembenaran untuk pemidanaan.

Terhadap pertanyaan tentang sejauhmanakah pidana perlu diberikan kepada pelaku kejahatan, teori retributif menjelaskan sebagai berikut:

2. Pidana dimaksudkan untuk memberikan peringatan pada pelaku kejahatan

dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe retributif ini disebut fairness.

3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukan adanya kesebandingan antara apa

yang disebut dengan the grafity of the offence dengan pidana yang dijatuh-kan. Tipe retributif ini disebut dengan proportionality. Termasuk ke dalam

(35)

kategori the gravity ini adalah kekejaman dari kejahatannya atau dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada dalam kejahatannya baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun karena kelalaiannya. 120

Tipe retributif yang disebut vindicative di atas termasuk ke dalam teori

pembalasan. John Kaplan121

1. The Reverange Theory (teori pembalasan)

dalam bukunya Criminal Justice membagi teori retributif menjadi dua:

2. The Expiation Theory (teori penembusan dosa).

Pembalasan mengandung arti, hutang si penjahat “telah dibayar kembali” (the criminalis paid back), sedangkan penembusan dosa mengandung arti, si penjahat “membayar kembali hutangnya (the criminalis pays back). Jadi, pengertiannya tidak jauh berbeda. Menurut John Kaplan, tergantung dari cara orang berpikir pada saat menjatuhkan suatu sanksi. Apakah dijatuhkannya sanksi itu karena kita “menghutangkan sesuatu kepadanya” ataukah disebabkan ia “berhutang sesuatu kepada kita”.

Sebaliknya, Johannes Andenaes menegaskan, “penembusan” tidak sama dengan “pembalasan dendam” (revenge). Pembalasan berusaha memuaskan hasrat basal dendam dari sebagian para korban atau orang-orang lain yang simpati kepadanya, sedangkan penembusan dosa, lebih bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.122

120Ibid, hal. 38.

(36)

Tipe retributif yang propotionality mendapat dukungan dari pendapat van Bemmelen yang mengatakan, untuk hukum pidana dewasa ini, pemenuhan keinginan pembalasan (tegemoetkoming aan de vergeldingsbehoefte) tetap merupakan hal penting dalam penerapan hukum pidana agar tidak terjadi “main hakim sendiri” (vermijding van eigenrichting). Hanya saja penderitaan yang diakibatkan oleh suatu sanksi harus dibatasi dalam batas-batas yang paling sempit. Selain itu, beratnya sanksi tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa bahkan tidak dengan alasan-alasan prevensi umum sekalipun.123

Dalam pandangan Kant, pidana yang diterima seseorang merupakan konsekuensi dari kejahatan yang dilakukannya, bukan dari suatu kontrak sosial. Bahkan ia menolak pandangan yang menyatakan bahwa pidana ditujukan untuk kebaikan pelaku kejahatan atau kebaikan masyarakat. Kant hanya menerima satu-satunya alasan bahwa pidana dijatuhkan karena semata-mata pelaku yang bersangkutan telah melakukan kejahatan. Dari latar belakang filsafat pemidanaan Imanuel Kant demikian lahirlah teori retributif yang mendasari tujuan pemidanaan Sesungguhnya bila diamati secara mendalam, teori retributif seperti yang telah diuraikan di atas, sebenarnya tidak lepas dari latar belakang fiolosofis yang menjadi landasan pemikiran sistem pemidanaan menurut zamannya. Teori retributif pada dasarnya bersumber dari pemikiran Imanuel Kant (1724-1804) yang dikenal dengan sebutan retributivisme atau populer disebut dengan istilah

just desert theory oleh para pakar kriminologi di Amerika Serikat.

(37)

intinya menitikberatkan pada pertanggungjawaban pelaku kejahatan terhadap kobannya.

Pada pihak lain, teori relatif (teori tujuan) berporos pada tiga tujuan utama pemidanaan, yaitu preventif, deterrence, dan reformatif.124dalam tujuan preventif, prevensinya pun tebagi dua yaitu prevensi umum dan prevensi khusus. Tujuan pemidanaan pemidanaan prevensi umum diharapkan memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini menurut van Veen mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakan norma dan membentuk norma. Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali.125

Tujuan menakuti atau deterrence dalam pemidanaan tidak lain agar timbul rasa taku untuk melakukan kejahatan. Tujuan ini, dibedakan dalam tiga bagian, yaitu tujuan yang bersifat individual, publik, dan bersifat jangka panjang. Tujuan

deterrence yang bersifat individual dimaksudkan agar pelaku merasa jera untuk

melakukan kembali kejahatan. Tujuan deterrence yang bersifat publik, agar anggota masyarakat lain merasa takut untuk melakukan kejahatan. Sedangkan tujuan deterrence yang bersifat jangka panjang atau long term deterrence adalah agar dapat memelihara keajegan sikap masyarakat terhadap pidana, sehingga masyarakat akan mematuhi dan menjalankan hukum pidana sebagai suatu

(38)

tindakan yang wajar dan pantas. Teori ini sering disebut sebagai educative teory atau denunciation theory.126

Teori relatif memandang, pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan pada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat.

Menurut Leonard Orland,127

Teori ini, sampai derajat tertentu, dapat dilihat sebagai bentuk terapan secara terbatas dari prinsip dasar etika utilitarianisme yang menyatakan bahwa suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral hanya sejauh konsekuensi-konsekuensinya untuk kebaikan sebanyak mungkin orang. Akibat-akibat positif yang diperhitungkan ada pada suatu tindakan dan merupakan kriteria satu-satunya bagi pembenarannya.

teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mngurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cenderung melakukan kejahatan. Karena itu, teori relatif lebih melihat ke depan.

128

Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap penjahat, dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena si terpidana telah terbukti bersalah, melain-kan karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si

126Romli Atmasasmita, op. cit., hal. 84. 127M. Sholehuddin, op.cit., hal. 42.

(39)

terpidana, korban dan juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu, teori ini disebut juga sebagai teori konsekuensialisme.129

Para pendukung Teori Relatif (Teori Deterren) percaya jika hukuman dapat mengurangi frekuensi kejahatan dengan satu atau lebih cara yakni:130

1. Mencegah pelaku melakukan kejahatan (Deterring the offender) dengan

mendorong dia agar menahan diri untuk melakukan kejahatan yang lebih dari sebelumnya, atau paling tidak mencegah dia untuk melakukan kejahatan yang sama dengan penjatuhan hukuman

2. Mencegah timbulnya potensi orang lain untuk meniru kejahatan tersebut

(deterring potential imitators) dengan penjatuhan hukuman, dapat mengurangi orang lain untuk melakukan kejahatan yang sama

3. Memperbaiki si pelaku kejahatan (reforming the offender) meningkatkan

karakter pelaku sehingga dia cenderung tidak akan melakukan kejahatan walaupun tanpa ada rasa takut dari ancaman hukuman

4. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat untuk menanggapi serius

terhadap suatu kejahatan (education the public to take more serious view

of such offences) sehingga secara tidak langsung mengurangi frekuensi

kejahatan

129Ibid.

130N. Walker, Reductivism and Deterrence, dalam A Reader on Punishment, R. A. Duff

(40)

5. Melindungi Masyarakat (protecting the public) atau lebih spesifiknya untuk melindungi korban, dengan cara menahan pelaku kejahatan sehingga memeberikan rasa aman kepada masyarakat (korban).

Menurut Karl O. Christiansen ada beberapa ciri pokok dari teori relatif ini, yaitu:131

1. The purpose of punishment is prevention (Tujuan pidana adalah

pence-gahan)

2. Prevention is not a final aim, but a means to amore suprems aim, e.g. social welfare (Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana

untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat); 3. Only breaches of the law which are imputable to the perpetrator as intent

or negelience quality for punishment (Hanya pelanggaran-pelanggaran

hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja, misalkan kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk adanya pidana); 4. The penalty shall be determined by its utility as an instrument for the

prevention of crime (Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya

sebagai alat pencegahan kejahatan);

5. The punishment is propective, it point into future; it may contain as element of reproach, but neither reproach nor retributive elements can be

accepted if they do not serve the prevention of crime for the benefit or

social welfare.(Pidana melihat ke depan atau bersifat prospektif; ia

mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur

(41)

pembalasan tidak dapat diterima bila tak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat).

Dengan demikian menurut teori relatif, pidana bukan sekedar pembalasan terhadap orang yang telah melakukan kejahatan, tetapi lebih dari itu pidana mempunyai tujuan lain yang bermanfaat. Pidana ditetapkan bukan karena orang melakukan kejahatan, tetapi agar orang jangan melakukan kejahatan

Teori Retributif atau absolut pada dasarnya memiliki tujuan yang berbeda dengan teori relatif. Teori Gabungan berusaha menemukan suatu jalan tengah antara kedua teori-teori tersebut. Teori gabungan mengakui adanya suatu pembalasan (retributif) dalam suatu pidana dan menjadi pembenaran dijatuhkannya pidana, namun seharusnya perlu dperhatikan bahwa penjatuhan pidana ini harus membawa manfaat untuk mencapai tujuan lain, misalnya kesejahteraan masyarakat (social walfare).132

Teori yang berikutnya adalah teori treatment. Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya.Pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebahai pengganti hukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).133

132Mahmud Mulyadi, op. cit.

(42)

Teori treatment (pengobatan) memiliki hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Teori ini sangat memerlukan fasilitas memadai dari lembaga-lembaga pemasyrakatan untuk dapat dilakukannya pengobatan (treatment) ataupun rehabilitasi. Kenyataannya, hanya terdapat sedikit negara yang memiliki fasilitas untuk melakukan pelaksanaan rehabilitasi maupun pengobatan (treatment).134

Hambatan kedua yang menjadi alasan untuk menentang teori ini yakni adanya kemungkinan seseorang untuk bertindak tirani (kejam) dan mengenyampingkan Hak Asasi Manusia (HAM). Seorang tahanan harus diserahkan pada seorang dokter untuk dilakukan pengobatan (treatment) sebelum tahanan itu dilepas. Tidak ada seorang pun yang dapat memprediksikan berapa lama pengobatan itu akan berlangsung atau mengontrol keputusan dokter. Dari fakta ini, “Treatment” dilaksanakan atas nama kebaikan, tetapi tidak dapat dikontrol, sehigga tidak menutup kemungkinan para tahanan akan dijadikan objek penelitian dokter tersebut, yang mana dikatakan Silving, “even ‘bad people’ are

not by the same token experimental rabbits.” (bahkan seorang penjahat tidak

dapat disamakan dengan kelinci percobaan).135

Teori perlindungan sosial (social defence) terbagi dua yaitu aliran

radikal dan aliran moderat. Aliran radikal memandang ”hukum perlindungan

sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang”.136

134Rudolph J. Gerber & Patrick D. Mc Anany, The Philosophy of Punishment, dalam The

Sociology of Punishment & Correction: Second Edition, Norman Johnston, Leonard Savitz, & Marvin E. Wolfgang (Ed.), John Wiley and Sons, Inc, New York, 1970, hal. 354.

135Ibid.

136Barda Nawawi Arief dan Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,

Bandung, 1984, hal. 151.

(43)

masih mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan

pemidanaan terhadap perbuatannya. Aliran moderat memandang bahwa

setiap masyarakat mensyaratkan tertib sosial dalam seperangkat

peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan

bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya.

Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan

kebutuhan yang tidak dapat dielekkan dalam suatu sistim hukum.

Pandangan yang radikal137

Pandangan Moderat dipertahankan oleh Marc Ancel (Perancis) yang menamakan alirannya sebagai “Defence Sociale Nouvelle” atau “New Social

Defence” atau “Perlinfungan Sosial Baru”. Menurut Marc Ancel, tiap masyarakat

mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang ridak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep pandangan moderat:

dipelopori dipelopori dan dipertahankan oleh F. Gramatica, yang salah satu tulisannya berjudul “The fight againts punishment” (La Lotta Contra La Pena). Gramatika berpendapat bahwa: “Hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap pebuatannya.

138

137Muladi dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 35.

(44)

1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi-konsepsi baru hukum pidana.

2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang

tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri.

3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak

penggunaan fiksi-diksi dan teknis-teknis yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini reaksi terhadap legisme dari aliran klasik.

Teori social defence beraliran moderat ini menjawab kegagalan teori

treatment dalam suatu sistem pemidanaan. Teori treatment atau teori

reha-bilitation hanya menjadikan usaha memperbaiki (menyembuhkan/treatment)

se-orang pelaku kejahatan sebagai fokus sentral dan mengenyampingkan tujuan pemidanaan, baik tujuan retributif atau pembalasan maupun tujuan deterrence.

C. Kedudukan Politik Hukum Pidana Dalam Pidana Indonesia

(45)

alasan praktis.139

Berdasarkan alasan-alasan di Indonesia harus sudah memiliki peraturan hukum pidana yang sesuai dengan keadaan masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan suatu pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana dapat diartikan sebagai usaha atau cara untuk menggantikan hukum pidana yang ada dengan hukum pidana yang lebih baik.Hukum pidana yang lebih baik itu dapat pula dikatakan sesuai dengan tujuan pembaharuan, yaitu penanggulangan kejahatan.Menurut Barda Nawawi Arief, penanggulangan kejahatan sebagai tujuan sering digunakan dengan berbagai istilah seperti “penindasan kejahatan” (repression of crime), “pengurangan kejahatan” (reduction of crime), dan “pengendalian kejahatan” (control of crime).

Alasan politik dilandasi oleh pemikiran bahwa suatu negara merdeka harus mempunyai hukum sendiri yang bersifat nasional. Alasan sosiologi menghendaki adanya hukum yang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, sedangkan alasan praktis, antara lain bersumber pada kenyataan bahwa biasanya bekas-bekas negara jajahan mewarisi hukum negara yang menjajahnya dengan bahasa aslinya, yang kemudian banyak tidak dipahami oleh generasi muda dari negara yang baru merdeka tersebut.

140

Dalam istilah penanggulangan kejahatan di atas, di satu sisi tidak terdapat defenisi istilah “lebih baik”, sehingga bukan tidak mungkin suatu penanggulangan masyarakat mengenyampingkan nilai-nilai manusiawi dalam masyarakat. Alasan-alasan pembaharuan di atas dapat mencegah hal-hal yang tidak manusiawi dalam penanggulangan kejahatan di Indonesia. Bagaimana tidak, alasan politik yang

139Sudarto, op. cit., hal. 66-68

(46)

dilandasi oleh pemikiran bahwa Indonesia sebagai negara yang merdeka harus mempunyai hukum sendiri yang bersifat nasional, akan menuntut penciptaan hukum yang lebih baik, lebih manusiawi daripada hukum kolonial, karena subyek hukum bukan lagi bangsa jajahan, tetapi bangsa Indonesia yang merdeka. Demikian pula dengan pembuat hukumnya, bukan lagi bangsa penjajah, melainkan bangsa Indonesia sendiri yang merdeka. Alasan sosiologi menghendaki adanya hukum yang mencerminkan nilai kebudayaan bangsa, jelas menuntut penciptaan hukum sesuai dengan nilai- nilai Pancasila. Ini berarti bahwa hukum harus melihat subyeknya sebagai manusia pribadi, anggota masyarakat dan makhluk Tuhan.Alasan praktis menuntut penciptaan hukum yang mudah dimengerti, singkat, jelas dan tidak berbelit-belit bahasanya, sehingga masyarakat

umum mudah memahaminya.141

Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau “policy” (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Di dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai, oleh karena itu pembaruan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. Dapat disimpulkan

makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana sebagai berikut:142

1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan:

141 Shafrudin, Tesis Pelaksanaan Politik Hukum Pidana Dalam Menanggulangi

Kejahatan, Universitas Diponegoro, 2009, hal. 66

142Barda Nawawie Arief, Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Selain durasi pekerjaan, hasil perencanaan yang dilakukan juga menghasilkan jalur kritis, jadwal penggunaan alat berat, dan alokasi tenaga kerja proyek.. Kata kunci :

[r]

[r]

[r]

Este número está dedicado al Alfabetismo transmedia, propuesta que abarcaba tanto la formación crítica para el consumo mediático como la creación de un periódico o

Pada studi-studi sebelumnya diperoleh hasil bahwa metode yang paling baik untuk menentukan ketebalan sedimen adalah metode Nakamura, sedangkan pada penelitian ini

Artinya, satuan PAUD dapat menentukan tema yang akan digunakan dalam pembelajaran sesuai dengan minat anak, situasi dan kondisi lingkungan, serta kesiapan

(2) Untuk mencapai tujuan termaktub dalam ayat (1), BPU mengadakan kerja sama dan kesatuan tindakan dalam mengurus Perusahaan-perusahaan Perkebunan Negara Aneka Tanaman, yang