• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR LINGKUNGAN BIOLOGIS DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TIKALA MANADO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA FAKTOR LINGKUNGAN BIOLOGIS DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TIKALA MANADO"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

48

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR LINGKUNGAN BIOLOGIS DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TIKALA MANADO

Franklin Francisco*, Wulan P. J. Kaunang**, John S. Kekenusa* *Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi

**Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi

ABSTRAK

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia, karena angka kesakitan semakin meningkat, masih menimbulkan kematian dan sering terulangnya kejadian luar biasa (KLB). Distribusi geografis demam berdarah, frekuensi, dan jumlah kasus DBD telah meningkat tajam selama dua dekade terakhir. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan penelitan ini adalah untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan biologi dengan kejadian DBD di di wilayah kerja Puskesmas Tikala Baru Manado. Metode penelitian menggunakan desain penelitian Case Control Study yang dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Tikala Baru Manado pada bulan Oktober 2016 - April 2017. Sampel untuk kasus 30 dan kontrol 60 responden. Analisis menggunakan program computer SPSS dengan tahapan univariat, bivariat dan multivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai signifikan Faktor Lingkungan biologis antara lain Keberadaan Lahan Pekarangan (p = 0,025 dan OR = 1,333), Keberadaan Tanaman Hias (p=0,039 dan OR = 1,354) dan Keberadaan Kolam Ikan (p = 0,041 dan OR = 1,359). Hasilnya menunjukkan bahwa variabel keberadaan lahan pekarangan merupakan faktor risiko yang paling dominan berhubungan dengan kejadian DBD dengan nilai OR atau Exp (B) = 1.220 (95% CI=0,078-1,617). Kesimpulannya terdapat hubungan antara keberadaan lahan pekarangan, keberadaan tanaman hias dan keberadaan kolam ikan dengan kejadian penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Tikala Baru Manado. Variabel keberadaan lahan pekarangan merupakan variabel paling dominan berhubungan dengan kejadian penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Tikala Baru Manado. Dari kejadian yang ditemukan di lapangan, sebaiknya pihak instansi Puskesmas Tikala Manado dan Dinas Kesehatan Kota Manado lebih mengintensifkan penyuluhan kepada masyarakat.

Kata Kunci : Lingkungan Biologis, Demam Berdarah Dengue ABSTRACT

Dengue fever dengue (DBD) is a public health problem of Indonesia, because of the increasing pain, numbers are still cause death and frequent recurrence of exceptional events (of the Outbreak). The geographical distribution of dengue fever, the frequency, and the number of dengue cases has risen sharply over the past two decades. Based on this study purpose then is to figure out the relationship between the Biological Environmental Factors with the incidence of dengue in the work area of Tikala Baru Manado Health Center. The research method used Case Control Study design conducted in Tikala Baru Manado working area in October 2016 - April 2017. Samples for case 30 and control 60 respondents. Analysis using SPSS computer program with univariate, bivariate and multivariate stages. The result of the research showed that the significant value of biological environment factor were land parcels (p = 0,025 and OR = 1,333), ornamental plants (p = 0,039 and OR = 1,354) and fish pond existence (p = 0,041 and OR = 1,359). The result indicated that the variable of land existence of yard was the most dominant risk factor related to the incidence of DHF with OR or Exp (B) value = 1.220 (95% CI = 0.078-1.617).

In conclusion there is a relationship between the existence of yard land, the existence of ornamental plants and the existence of fish ponds with the incidence of dengue disease in the work area of Tikala Baru Health Center Manado. The existence of yard land variable of hanging clothes is the most dominant variable related to the incidence of DHF in the work area of Tikala Baru Manado Health Center. From the incidents found in the field, it is better that the institutions of Puskesmas Tikala Manado and Manado City Health Office more intensify counseling to the community.

(2)

49 PENDAHULUAN

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus, ditandai dengan demam 2 – 7 hari disertai dengan manifestasi perdarahan, penurunan jumlah trombosit < 100.000 / mm3, adanya kebocoran plasma ditandai peningkatan hematokrit ≥ 20 % dari nilai normal. (Buku Saku Pengendalian DBD Untuk Pengelola Program Dbd Puskesmas, 2013)

Penyakit DBD ditemukan hampir di seluruh belahan dunia terutama di negara–negara tropik dan subtropik, baik sebagai penyakit endemik maupun epidemik. Data dari seluruh dunia menunjukkan bahwa Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Penyakit DBD termasuk penyakit menular akut karena transmisinya yang cepat dan sering menimbulkan kematian dan kejadian luar biasa (KLB).

Penyakit DBD ini sampai saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang cenderung meningkat jumlah pasien serta semakin luas penyebarannya dan merupakan salah satu penyakit menular yang dapat menyerang semua orang bahkan kejadiannya sering mewabah. Penyakit

ini termasuk berbahaya karena dapat mengakibatkan kematian pada tingkatan tertentu.

Munculnya penyakit ini seringkali ditandai dengan demam mendadak 2 sampai 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda perdarahan berupa bintik perdarahan (petechiae), lebam atau ruam, kadang-kadang terjadi mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun atau renjatan (shock). Sampai saat ini penyakit DBD lebih banyak menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi penderita DBD pada orang dewasa (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI, 2010).

Jumlah kasus DBD banyak tidak dilaporkan dan terjadi kesalahan klasifikasi pada kasus ini. Penelitian terbaru menunjukkan 390 juta infeksi dengue per tahun, dimana 96 juta bermanifestasi klinis dengan berbagai derajat. Penelitian lain menyatakan, prevalensi DBD diperkirakan mencapai 3,9 milyar orang di 128 negara berisiko terinfeksi virus dengue (WHO, 2015).

Menurut Ditjen PP & PL Depkes RI, (2009) kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993 - 2009 terjadi pergeseran dimana dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur

(3)

50 terbesar kasus DBD adalah kelompok umur <15 tahun, tahun 1999 - 2009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur ≥15 tahun. Kementerian Kesehatan RI melaporkan jumlah penderita DBD di Indonesia pada bulan Januari-Februari 2016 sebanyak 8.487 orang penderita DBD dengan jumlah kematian 108 orang. Golongan terbanyak yang mengalami DBD di Indonesia pada usia 5-14 tahun mencapai 43,44% dan usia 15-44 tahun mencapai 33,25%.

Provinsi Sulawesi Utara merupakan salah satu provinsi yang rawan ak≥an DBD karena masih merupakan daerah endemis. Data Dinas Kesehatan Sulawesi Utara pada tahun 2014 penderita DBD berjumlah 1.271 orang dan 23 orang diantaranya meninggal dunia. Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa angka kesakitan DBD di Provinsi Sulawesi Utara (Incidence Rate = IR) demam berdarah dengue adalah 53,34 per 100.000 penduduk dan angka kematian (Case Fatality Rate = CFR) sebesar 1,81% (Anonim, 2014).

Menurut Kemenkes (2016), terjadinya KLB DBD di Indonesia berhubungan dengan berbagai faktor risiko, yaitu: 1) Lingkungan yang masih kondusif untuk terjadinya tempat perindukan nyamuk Aedes; 2) Pemahaman masyarakat yang masih

terbatas mengenai pentingnya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) 3M Plus; 3) Perluasan daerah endemik akibat perubahan dan manipulasi lingkungan yang terjadi karena urbanisasi dan pembangunan tempat pemukiman baru; serta 4) Meningkatnya mobilitas penduduk. (Kemenkes, 2016)

Hasil studi epidemiologik menunjukkan bahwa DBD menyerang kelompok umur balita sampai dengan umur sekitar 15 tahun. Kejadian Luar Biasa (KLB) dengue biasanya terjadi di daerah endemik dan berkaitan dengan datangnya musim hujan, sehingga terjadi peningkatan aktivitas vektor dengue pada musim hujan yang dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit DBD pada manusia melalui vektor Aedes.

Faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit DBD antara lain faktor host, lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat, serta faktor virusnya sendiri. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penyebaran kasus DBD antara lain: faktor lingkungan fisik (kepadatan rumah, keberadaan kontainer, suhu, kelembaban); faktor lingkungan biologis (keberadaan tanaman hias, pekarangan, jentik nyamuk); faktor lingkungan sosial (pendidikan, pekerjaan, penghasilan, mobilitas penduduk, kepadatan penduduk, PSN). (Sukowati, 2010).

(4)

51 Perkembangan nyamuk Aedes aegypty didukung oleh karakteristik lingkungan yaitu lingkungan fisik, kimia dan biologis. Dari sudut entomologis, nyamuk Aedes aegypty bertelur bukan pada air kotor atau air yang langsung bersentuhan dengan tanah, melainkan di dalam air tenang dan jernih. Air tenang dan jernih ini sering terdapat dalam vas bunga, drum, ember, ban bekas, kaleng bekas, dan barang-barang lainnya yang bisa menampung air hujan. Itulah sebabnya DBD biasa mewabah saat musim hujan. (Buku Saku Pengendalian DBD Untuk Pengelola Program DBD Puskesmas, 2013)

Perkembangan larva juga dipengaruhi oleh pH yang merupakan faktor dalam menentukan sebaran populasi larva. Larva Aedes aegypti dapat hidup dalam wadah yang mengandung air dengan pH 5.8-8.6 dan tahan terhadap air yang mengandung kadar garam dengan konsentrasi 0-0,7‰ (Sukowati, 2010). Karakteristik lingkungan Kimia yang mempengaruhi keberadaan larva Aedes aegypti yaitu pH dan salinitas air, sedangkan untuk faktor lingkungan biologis yang mempengaruhi keberadaan larva Aedes aegypti ialah tanaman hias serta predator seperti ikan pemakan larva nyamuk (Agustina, 2006 ).

Dinata dan Dhewantara (2012) yang meneliti karakteristik lingkungan fisik, biologi, dan sosial di daerah

endemis DBD Kota Banjar menunjukkan bahwa Kecamatan Banjar merupakan tingkat endemisitas tinggi, jumlah rumah yang memiliki tanaman hias sebanyak 61,23%. Kecamatan dengan tingkat endemisitas sedang, jumlah rumah yang memiliki tanaman sebanyak 95% (Kecamatan Pataruman) dan 30% (Kecamatan Purwaharja). Untuk kecamatan dengan tingkat endemisitas rendah, jumlah rumah yang memiliki tanaman hias sebanyak 81,82% (Kecamatan Langengsari). Hal ini dapat diketahui bahwa responden di kecamatan endemis tinggi mempunyai tanaman hias yang lebih sedikit dibandingkan kecamatan endemis sedang dan rendah.

Lingkungan biologi lain yang dapat mempengaruhi siklus hidup nyamuk DBD adalah keberadaan lahan pekarangan. Lahan pekarangan merupakan sebidang tanah yang terletak langsung di sekitar rumah tinggal dan jelas batasnya, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan pemilikan dengan rumah yang bersangkutan. Tanaman yang biasa di tanam di pekarangan rumah adalah tanaman yang memiliki daun yang lebat dan kadang tanaman yang berbuah seperti pohon palem, pohon mangga, pohon blimbing dan lainnya (Dinata dan Dhewantara (2012). Yogyana, dkk 2013 meneliti Hubungan Karakteristik Lingkungan Kimia Dan Biologi Dengan

(5)

52 Keberadaan Larva Aedes Aegypti Di Wilayah Endemis DBD Di Kelurahan Kassi-Kassi Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2013. Hasil penelitian menunjukkan keberadaan tanaman hias (p = 0,004) dan keberadaan predator larva Aedes aegypti (p = 0,013) berhubungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti.

Pemberantasan jentik nyamuk Aedes aegypti secara biologi dapat dilakukan dengan memelihara ikan pemakan jentik ikan kepala timah (Panchax panchax), ikan gabus (Gambusia affinis) dan ikan gupi lokal seperti ikan P.reticulata (Sukowati, 2010). Dengan adanya ikan pemakan larva Aedes aegypti ini maka terjadi pemangsaan terhadap larva Aedes aegypti oleh predator larva sehingga mengakibatkan tidak adanya larva yang ditemukan pada kontainer yang sama dengan ditemukannya predator larva Aedes aegypti.

Wilayah kerja Puskesmas Tikala Baru Manado Puskesmas mencakup 6 kelurahan dalam wilayah kerjanya yaitu terdiri dari Kelurahan Dendengan Dalam, Kelurahan Tikala-Baru Baru, Kelurahan Taas, Kelurahan Paal IV, Kelurahan

Banjer serta Kelurahan Tikala-Baru Ares. Dalam pengematan lingkungan rumah, cukup banyak lahan pekarangan yang tidak terawatt, tanaman hias juga cukup banyak serta kolam ikan yang sebagian tidak ada airnya atau ada airnya tapi tidak ada ikannya. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan penelitan ini adalah untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan biologis dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Tikala Baru Manado.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian menggunakan desain penelitian Case Control Study yang dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Tikala Baru Manado pada bulan Oktober 2016 - April 2017. Sampel untuk kasus 30 dan kontrol 60 responden. Analisis menggunakan program computer SPSS dengan tahapan univariat, bivariat dan multivariat.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Responden

Karakteristik responden untuk kelompok kasus dan kontrol dapat dilihat pada tabel 1.

(6)

53

Tabel 1. Karakteristik Responden

No Karakteristik Responden Kasus Kontrol

n % n % 1 Umur 30 100 60 100,0 a. <12 18 60,0 24 40,0 b.>12 12 40,0 36 60,0 2 Jenis Kelamin 30 100,0 60 100,0 a. Laki-Laki 9 30,0 18 30,0 b. Perempuan 21 70,0 42 70,0

Hasil penelitian karakteristik responden berdasarkan umur menunjukkan bahwa pada kelompok kasus didominasi oleh responden berumur <12 tahun dengan rincian responden pada kelompok kasus yang berumur <12 tahun sebanyak 18 responden (60,0%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 24 responden (40,0%). Data juga menunjukkan bahwa responden pada kelompok kasus yang berumur >12 tahun sebanyak 12 responden (40,0%) dan kelompok kontrol sebanyak 36 responden (60,0%).

Hasil penelitian karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

menunjukkan bahwa pada kelompok kasus didominasi oleh jenis kelamin perempuan dengan rincian responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 9 responden (30,0%) sedangkan kontrol sebanyak 18 responden (30,0%). Data juga menunjukkan bahwa responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 21 responden (70,0%) sedangkan kontrol sebanyak 42 responden (70,0%).

2. Analisis Univariat

Responden sebayak 90 orang yang terdiri dari 30 kasus dan 60 kontrol. Distribusi responden dapat dilihat pada tabel 2 berikut:

(7)

54

Tabel 2. Hasil Uji Univariat Variabel Keberadaan Lahan Pekarangan, Keberadaan Tanaman Hias dan Keberadaan Kolam Ikan Di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru

Manado

Variabel Kasus Kontrol

n % n %

Keberadaan Lahan Pekarangan - Tidak Memiliki - Memiliki

Keberadaan Tanaman Hias - Tidak Memiliki - Memiliki Keberadaan Kolam - Tidak Memiliki - Memiliki 30 10 20 30 13 17 30 12 18 100 33,3 66,7 100 43,3 56,7 100 40,0 60,0 60 36 24 60 41 19 60 39 21 100 60,0 40,0 100 68,3 31,7 100 65,0 35,0

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa variabel keberadaan lahan pekarangan pada kelompok kasus didominasi oleh responden yang memiliki lahan 66,7% dan tidak memiliki lahan 33,3%, sedangkan pada kelompok kontrol didominasi oleh responden yang tidak memiliki lahan 60,0% dan memiliki lahan 40,0%,

Tabel di atas juga diperoleh data bahwa responden yang memiliki tanaman hias pada kelompok kasus yang memiliki tanaman hias 56,7% dan tidak memiliki tanaman hias 43,3%, sedangkan pada kelompok kontrol didominasi oleh responden yang tidak memiliki tanaman hias 68,3% dan memiliki tanaman hias 31,7%,

Tabel di atas juga diperoleh data bahwa responden yang memiliki kolam

ikan pada kelompok kasus yang tidak memiliki kolam ikan 40,0% dan memiliki kolam ikan 60,0%, sedangkan pada kelompok kontrol didominasi oleh responden yang tidak memiliki kolam ikan 65,0% dan memiliki kolam ikan 35,0%,

3. Analisis Bivariat

Analisis bivariate dilakukan dengan uji Chi square dan perhitungan Odds Ratio (OR) pada 95% Confidence Interval (95% CI) terhadap masing-masing variabel bebas dengan kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala-Baru. Hasil uji bivariat terhadap masing-masing variabel bebas dengan kejadian DBD dapat dilihat pada Tabel 3.

(8)

55

Tabel 3. Hasil Uji Bivariat Variabel Keberadaan Lahan Pekarangan, Keberadaan Tanaman Hias dan Keberadaan Kolam Ikan Dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja

Puskesmas Tikala-Baru

Variabel P 95% CI OR

Keberadaan Lahan Pekarangan Keberadaan Tanaman Hias Keberadaan Kolam 0,025 0,039 0,041 0,133-1.835 0,143-2.875 0,146-1.885 1,333 1,354 1,359

a. Hubungan antara Keberadaan Lahan Pekarangan dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala-Baru

Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,025<0,05 maka dapat disimpulkan pada α 5% nilai (<0,05) artinya ada hubungan yang signifikan keberadaan lahan pekarangan dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru (H0 ditolak). Dari hasil analisis diperoleh

pula nilai OR = 1,333 dan nilai 95% CI = 0,133-1.835 maka keberadaan lahan pekarangan merupakan faktor risiko, artinya bahwa seseorang yang memiliki lahan pekarangan akan berisiko 1,3 kali lebih tinggi untuk terkena DBD dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki lahan pekarangan.

Dinata dan Dhewantara (2012) dalam penelitian mereka berjudul “Karakteristik Lingkungan Fisik, Biologi, Dan Sosial Di Daerah Endemis DBD Kota Banjar Tahun 2011”

menemukan bahwa keberadaan lahan pekarangan: daerah endemis tinggi (98%), endemis sedang (75% dan 95%) dan endemis rendah (100%).

Dari data-data penderita klinis DBD yang dilaporkan di Indonesia diperoleh bahwa musim penularan demam berdarah pada umumnya terjadi pada awal musim hujan (permulaan tahun dan akhir tahun). Hal ini dikarenakan pada musim hujan vektor penyakit demam berdarah populasinya meningkat dengan bertambah banyaknya sarang-sarang nyamuk diluar rumah sebagai akibat sanitasi lingkungan yang kurang bersih, sedang pada musim kemarau Aedes aegypti bersarang di bejana-bejana yang selalu terisi air seperti bak mandi, tempayan, drum dan penampungan air.

Rahmawati, (2016) menganalisis hubungan lingkungan fisik, biologi dan praktik PSN dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Ngawi. Disain penelitian ini menggunakan case control. Populasi dalam penelitian ini terdiri atas populasi kasus dan kontrol serta sampel

(9)

56 sejumlah 102 yang terdiri atas 51 kasus dan 51 kontrol. Hasil penelitian dengan menggunakan uji chi square menunjukkan variabel yang berhubungan dengan kejadian DBD yaitu keberadaan breeding place potensial di dalam rumah (p- value=0,016; OR=3,429), keberadaan resting place di dalam rumah (p-value= 0,001; OR=6,667), keberedaan resting place di luar rumah (p-value=0,001; OR=5,405), sedangkan variabel yang tidak berhubungan yaitu keberadaan breeding place potensial di luar rumah (p-value=0,338; OR=1,869), keberadaan ikan pemakan jentik (p-value=0,4; OR=0,480), dan keberadaan tanaman anti nyamuk (p-value=1; OR=1).

b. Hubungan antara Keberadaan Tanaman Hias dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala-Baru

Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,039 < 0,05 maka dapat disimpulkan pada α 5% nilai (<0,05) artinya ada hubungan yang signifikan keberadaan tanaman hias dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru (H0 ditolak). Dari hasil analisis diperoleh

pula nilai OR = 1,354 dan nilai 95% CI = 0,143-2.875 maka keberadaan tanaman hias merupakan faktor risiko, artinya bahwa seseorang yang memiliki tanaman hias akan berisiko 1,3 kali lebih tinggi untuk terkena DBD dibandingkan

dengan orang yang tidak memiliki tanaman hias.

Teori segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa timbulnya disebabkan oleh adanya pengaruh faktor penjamu (host), penyebab (agent) dan lingkungan (environment) yang digambarkan sebagai segitiga. Perubahan dari sektor lingkungan akan mempengaruhi host, sehingga akan timbul penyakit secara individu maupun keseluruhan populasi yang mengalami perubahan tersebut. Demikian juga dengan kejadian penyakit DBD yang berhubungan dengan lingkungan. Eksistensi nyamuk Aedes aegypti dipengaruhi oleh lingkungan fisik maupun lingkungan biologis. Lingkungan fisik mempengaruhi eksistensi nyamuk antara lain ketinggian tempat, curah hujan, temperatur, dan lingkungan biologik (Suroso, 2003).

Keberadaan tanaman hias berpengaruh terhadap siklus gonotrofik nyamuk Aedes. Ae. aegypti dapat berkembangbiak pada tempat penampungan air bersih yaitu di bak mandi/ wc, drum dan kaleng bekas, tempat minum burung dan pot tanaman hias. Aedes aegypti sering bertelur pada wadah buatan yang terdapat di dalam atau di dekat rumah, misalnya wadah penyimpan air, bak mandi, vas bunga, tong air, ban bekas, botol bekas, pipa air atau tong air. Meskipun lebih jarang

(10)

57 dijumpai, habitat alami larva nyamuk dapat ditemukan di daerah urban, misalnya lubang pohon, pelepah daun pisang, atau tanaman lainnya dan tempurung kelapa.

Kebiasaan makan nyamuk termasuk sangat antropofilik (menyukai darah manusia) meskipun nyamuk ini juga menghisap darah hewan mamalia berdarah panas lainnya. Nyamuk ini aktif mencari makan pagi hari beberapa jam sesudah matahari terbit, dan sore hari beberapa jam sebelum matari terbenam. Lebih dari beristirahat di tempat-tempat yang tidak terkena sinar, 90% nyamuk Aedes aegypti yaitu tempat-tempat di dalam rumah yang gelap dan tersembunyi, ruang yang lembab, kamar tidur, kloset, kamar mandi, dan dapur. Jarak terbang nyamuk dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kemampuan mengisap darah tempat berteluar nyamuk. Pada umumnya jarak terbang adalah 30-50 meter dari tempat berkembang biaknya, namun bisa mencapai 400 meter, terutama pada waktu nyamuk betina mencari tempat untuk bertelur (Soedarto, 2012).

Agar tidak menjadi media pertumbuhan nyamuk, maka tempat penyimpanan air hendaknya berupa wadah yang tertutup, mudah dibersihkan minimal seminggu sekali dan diberikan bubuk abate minimal 2-3 bulan. Sistem penyimpanan air merupakan metoda

dasar dalam mengendalikan nyamuk Aedes terutama Aedes aegypti. Wadah-wadah penyimpanan air di tong, bak mandi, dan pada tempat cadangan air harus diberi penutup yang rapat karena

dapat menjadi tempat

berkembangbiaknya nyamuk. Hasil ini mirip dengan Susanti (2016) dalam penelitiannya tentang hubungan antara kondisi fisik rumah dan perilaku dengan kejadian DBD di wlayah kerja Puskesmas Sangkrah Kota Surakarta yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian DBD.

Yogyana dkk (2013) meneliti Hubungan Karakteristik Lingkungan Kimia Dan Biologi Dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti di Wilayah Endemis DBD Di Kel. Kassi-Kassi Kec.Rappocini Kota Makassar Tahun 2013. Hasil penelitian menunjukkan Peneliti menyimpulkan keberadaan tanaman hias yang memiliki larva paling banyak terdapat pada Rumah yang memiliki tanaman hias yaitu sebesar 100% dibandingkan dengan rumah yang tidak memiliki tanaman hias yang hanya sebesar 52,2% dan pada uji bivariate, keberadaan tanaman hias berhubungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Wilayah Endemis DBD di Kel.Kassi-Kassi. (p = 0,004)

Tanaman hias yang diletakkan dalam toples atau pot yang berisikan air merupakan salah satu tempat yang baik

(11)

58 bagi kehidupan larva Aedes aegypti. Tanaman hias memiliki wadah dengan genangan air yang tidak berhubungan dengan tanah merupakan salah satu tempat yang baik untuk kelangsungan hidup larva Aedes aegypti. Hal ini sesuai dengan pendapat Saniambara dkk. (2013) yang menyatakan bahwa nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang biak di tempat penampungan air bersih dan yang tidak beralaskan tanah, seperti: bak mandi/wc, drum dan kaleng bekas, tempat minum burung dan pot tanaman hias. Kadang-kadang ditemukan juga di pelepah daun, lubang pagar/bambu dan lubang tiang bendera serta penelitian yang dilakukan Agustina (2016) diperoleh bahwa tempat hidup dari larva Aedes Aegypti yaitu di dalam air yang jernih dan tidak mengalir. Hal ini sesuai dengan kondisi air pada tanaman hias serta pada genangan air tersebut biasanya mengandung bahan makanan bagi larva. Pada umumnya di alam makanan larva berupa mikroba dan jasad renik yakni flagelata, ciliata dan rhizophora (Mukono, 2012).

Dinata dan Dhewantara (2012) dalam penelitian mereka berjudul “Karakteristik Lingkungan Fisik, Biologi, Dan Sosial Di Daerah Endemis DBD Kota Banjar Tahun 2011” menemukan bahwa keberadaan tanaman hias: daerah endemis tinggi (61,2%), endemis sedang (30% dan 95%) dan endemis rendah (81,8%).

c. Hubungan antara Keberadaan Kolam dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala-Baru Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,041< 0,05 maka dapat disimpulkan pada α 5% nilai (<0,05) artinya ada hubungan yang signifikan keberadaan kolam dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru (H0

ditolak). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 1,359 dan nilai 95% CI = 0,146-1.885 maka keberadaan kolam merupakan faktor risiko, artinya bahwa seseorang yang memiliki kolam akan berisiko 1,3 kali lebih tinggi untuk terkena DBD dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki kolam.

Pemberantasan jentik nyamuk Aedes aegypti secara biologi dapat dilakukan dengan memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, ikan cupang atau tempalo, dan lain-lain). Dapat juga digunakan Bacillus thuringiensis var israeliensis (Bti). Keadaan tempat penampungan air bersih yang tidak memenuhi syarat mendukung terjadinya penyakit DBD, dimana tempat-tempat penampungan air bersih yang tidak menutup rapat, merupakan tempat yang potensial untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti karena nyamuk bebas keluar masuk

Ariyati (2015) meneliti hubungan antara perilaku PSN (3M Plus) dan

(12)

59 kemampuan mengamati jentik dengan kejadian DBD di Kelurahan Tembalang Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian analitik observasional dengan rancangan penelitian kasus kontrol. Hasil penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara memelihara ikan pemakan jentik (p=1,000), dengan kejadian DBD.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati, (2016) menganalisis hubungan lingkungan fisik, biologi dan praktik PSN dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Ngawi. Disain penelitian ini menggunakan case control. Populasi dalam penelitian ini terdiri atas populasi kasus dan kontrol serta sampel sejumlah 102 yang terdiri atas 51 kasus

dan 51 kontrol. Hasil penelitian dengan menggunakan uji chi square menunjukkan variabel yang tidak berhubungan yaitu keberadaan ikan pemakan jentik (p-value=0,4; OR=0,480).

4. Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel independen yang paling dominan berhubungan dengan variabel dependen, maka dilakukan analisis menggunakan uji regresi logistik. Variabel-variabel yang telah diseleksi bivariat dengan nilai p < 0,25 dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam model multivariat. Hasil seleksi bivariat dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Seleksi Bivariat Maing-masing Variabel Independen dengan Kejadian DBD

Variabel Bebas p value OR/Exp (B) 95% CI

Keberadaan Lahan Pekarangan .021 2.315 1,119-3,838

Keberadaan Tanaman Hias .030 1.343 0.130-2,904

Keberadaan Kolam .037 1.360 0.137-2,942

*nilai p value < 0,25

Pada Tabel 4 menunjukkan hasil seleksi bivariat, semua variabel independen memiliki nilai p<0,25 adalah keberadaan lahan pekarangan, keberadaan tanaman hias dan keberadaan kolam. Selanjutnya semua variabel bebas tersebut dimasukkan dalam pemodelan multivariat. Hasilnya menunjukkan

bahwa variabel keberadaan lahan pekarangan merupakan faktor risiko yang paling dominan berhubungan dengan kejadian DBD dengan nilai OR atau Exp (B) = 2.315 (95% CI=1,119-3,838).

Setelah menggunakan uji regresi logistik pada analisis multivariat,

(13)

60 didapati bahwa keberadaan lahan pekarangan yang paling dominan berhubungan dengan kejadian DBD pada masyarakat orang di wilayah kerja Puskesmas Tikala-Baru Kabupaten Minahasa Utara. Hasil penelitian Wati (2009) mengenai kejadian DBD diperoleh dari hasil wawancara kepada responden, kemudian dari hasil wawancara diketahui bahwa kejadian DBD yang menyerang masyarakat Desa Ploso dimana yang tidak pernah sakit DBD sebanyak 21 responden (28%) dan yang pernah sakit 54 responden (72%).

Berdasarkan penelitian Kurniasari, dkk (2013) menyatakan bahwa ada hubungan antara kondisi sosial ekonomi (p = 0,001; OR = 74,7; CI = 13,9-400), pencahayaan ruangan (p = 0,025; OR = 3,7; CI = 1,3-10,3), dan luas ventilasi (p = 0,005; OR = 5,2; CI = 1,7-15,9) dengan kejadian DBD, serta tidak ada hubungan antara kelembaban ruangan, suhu ruangan, kepadatan hunian, riwayat kontak penderita, pengetahuan, sikap, dan kebiasaan merokok dengan kejadian DBD. Berdasarkan penelitian Syafri (2015) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pencahayaan (p = 0,003; OR = 8,125; CI = 1,874-35,233) dengan kejadian DBD dan tidak ada hubungan antara ventilasi, kelembaban, kepadatan hunian, jenis lantai, jenis dinding dengan kejadian DBD.

Berdasarkan penelitian Suherman, dkk (2014) menyatakan bahwa ada hubungan antara pencahayaan, kelembaban, dan kepadatan hunian dan tidak ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Banyu Urip Kabupaten Purworejo.

KESIMPULAN

1. Terdapat hubungan antara keberadaan lahan pekarangan dengan kejadian penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Tikala-Baru Manado

2. Terdapat hubungan antara keberadaan tanaman hias dengan kejadian penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Tikala-Baru Manado

3. Terdapat hubungan antara keberadaan kolam dengan kejadian penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Tikala-Baru Manado 4. Variabel keberadaan lahan

pekarangan merupakan variabel yang paling dominan terhadap kejadian penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Tikala-Baru Manado

(14)

61 SARAN

1. Bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan

Dari kejadian yang ditemukan di lapangan, sebaiknya pihak instansi Puskesmas Tikala-Baru Manado dan Dinas Kesehatan Kota Manado lebih mengintensifkan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat perihal keberadaan lahan pekarangan agar selalu dibersihkan dan hidarkan genangan air, juga keberadaan tanaman hias agar dipantau terus agar tidak menjadi pengembangan biak vector nyamuk. Demikian juga kolam ikan terus dipantau agar ikan predator terus hidup.

2. Bagi Masyarakat

Diharapkan masyarakat untuk lebih memperhatikan keberadaan lahan pekarangan agar selalu dibersihkan dan mengusahakan tidak ada, juga keberadaan tanaman hias agar dipantau terus agar tidak menjadi pengembangan biak vector nyamuk. Demikian juga pemilik kolam ikan terus memantau keberadaan ikan predator supaya tetap hidup.

2. Bagi Peneliti lain

Hasil penelitian ini dapat diteruskan oleh peneliti lain dengan menambah jumlah variabel dan jumlah sampel penelitian, sehingga diharapkan

dapat memperkuat keputusan yang akan diambil.

DAFTAR PUSTAKA

Amried, E. T., P. Asfian, dan A. Ainura. 2016. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di kelurahan 19

November Kecamatan

Wundulako Kabupaten Kolaka Tahun. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Vol 1, No 3

(2016) http://ojs.uho.ac.id/index. php/JIMKESMAS/article/view/ 1248/895 diakses tanggal 27 Okt 2016

Anonimous, 2016a. Wilayah KLB DBD Ada Di 11 Provinsi. Biro Komunikasi Dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI.

__________.2016b. Profil Dinas Kesehatan Kota Manado

__________.2016c. Profil Kesehatan 2015. Jakarta: Ke4menterian Kesehatan Republik Indonesia __________. 2011. Modul Pengendalian

Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Ditjen PP dan PL ___________2005. Keputusan Menteri

(15)

62 128/MENKES/SK/II/2004 ttg Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI. (2005).

Dinata, A., dan P. W. Dhewantara. 2012. Karakteristik Lingkungan Fisik, Biologi, Dan Sosial Di Daerah Endemis DBD Kota Banjar Tahun 2011. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 11 No 4,Desember 2012 : 315 – 326 Djati, A., P. B. Rahayujati., dan S.

Raharto. 2012. Faktor Risiko Demam Berdarah Dengue Di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunung kidul Provinsi DIY Tahun 2010. Prosiding Seminar Nasional Kesehatan Jurusan Kesehatan Masyarakat FKIK Unsoed Purwokerto.

Muslihin, A., dan A. Pratiwi. 2015. Penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Singopuran Kartasura Sukoharjo. Jurnal Kesehatan Universitas Muhammadiah Surakarta

Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik, Biologi dan Praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Ngawi (Studi Kasus di

WilayahKerja Puskesmas Ngawi, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi)

Soedarto. 2012. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Sagung Seto Zulkoni, A. 2011. Parasitologi untuk

Keperawatan Kesehatan Masyarakat Teknik Lingkungan. Yogyakarta: Nuha Medika Wati, W.A. 2011. Beberapa Faktor Yang

Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kelurahan Ploso Kecamatan Pacitan. Prodi Kesehatan Masyarakat FIK UMS . Vektora : Jurnal Vektor dan Reservoir Penyakit. Vol 3, No 1 Jun

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Responden
Tabel 2. Hasil Uji Univariat Variabel Keberadaan Lahan Pekarangan, Keberadaan  Tanaman Hias dan Keberadaan Kolam Ikan Di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru
Tabel 3. Hasil Uji Bivariat Variabel Keberadaan Lahan Pekarangan, Keberadaan  Tanaman Hias dan Keberadaan Kolam Ikan Dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja
Tabel 4. Hasil Seleksi Bivariat Maing-masing Variabel Independen dengan Kejadian  DBD

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mendeskripsikan hasil penerapan Metode Problem Based Learning (PBL) dalam mengatasi kesulitan belajar siswa pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan

Kecerdasan spiritual mahasiswa prodi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma angkatan 2012 tergolong sedang boleh jadi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

Untuk mengembangkan sistem regulasi pelayanan kesehatan yang efektif dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, maka Dinas Kesehatan dituntut untuk menyiapkan

Dalam proses pelayanan yang diberikan Teller sebagai upaya meningkatkan kualitas pelayanan terhadap nasabah di PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Malang , ada beberapa

Dari 16 pertanyaan kuesioner yang dilakukan mengenai sikap responden terhadap personal hygiene , didapatkan hasil yang menyatakan bahwa masih ada anak yang

Alasan pemilihan judul “ Pengaruh Perilaku Pengijon Terhadap Ruang Ekonomi Di Kawasan TPI Tawang Desa Gempolsewu Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal ” yaitu untuk

Diharapkan dari hasil penelitian pada ikan lele ini dapat diaplikasikan pada ikan gabus dengan tujuan untuk mendapatkan waktu optimal pemaparan laserpunktur pada titik

Berdasarkan hasil pengujian regresi data panel, kepemilikan manajerial (MAN), kepemilikan institusional (INST), kebijakan dividen (DPR), dan kebijakan hutang (DER) secara