• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISCERNMENT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK PADA TIGA SUSTER SANTA PERAWAN MARIA DALAM HIDUP MEMBIARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "DISCERNMENT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK PADA TIGA SUSTER SANTA PERAWAN MARIA DALAM HIDUP MEMBIARA"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Bimbingan dan Konseling

  Oleh:

Regina Ema Pratiwiningrum

NIM: 051114003

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Bimbingan dan Konseling

  Oleh:

Regina Ema Pratiwiningrum

NIM: 051114003

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia

yang memberi kekuatan kepadaku.”

(Flp 4: 13)

“Orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru:

mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya;

mereka berlari dan tidak menjadi lesu,

mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.”

(Yes 40: 31)

“Bila kamu tidak mengolah hidup batinmu,

kamu tidak dapat berbuat sesuatu yang sungguh-sungguh berharga.”

(St. Jullie Billiart)

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

♥ Hati Kudus Yesus dan Bunda Maria tercinta yang dengan setia mendampingi dan menemaniku dalam suka dan duka.

♥ Para Suster Kongregasi Santa Perawan Maria yang mendukung dalam panggilan dan studiku.

♥ Bapak, ibu, kakak-kakak, dan sahabatku yang selalu mendukung dan setia mendoakanku.

(6)
(7)
(8)

Regina Ema Pratiwiningrum Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2010

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan discernment dalam penyelesaian konflik yang dilakukan oleh tiga suster SPM dalam hidup membiara dan untuk menemukan program pembinaan yang sebaiknya dilakukan para suster SPM untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam melakukan discernment.

Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif. Subjek penelitian berjumlah tiga suster SPM yang tinggal di tiga komunitas yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam. Instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan pedoman wawancara yang disusun oleh peneliti dan dikonsultasikan dengan pembimbing. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan subjek penelitian direkam dengan menggunakan tape recorder dan disusun dalam bentuk transkrip.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga subjek penelitian mampu melakukan discernment dalam menyelesaikan konflik, hanya saja masih kurang mendalam dan perlu ketekunan untuk terus dilatih, karena emosi yang muncul belum diolah secara mendalam dan masih menyulitkan mereka dalam mengambil keputusan dengan tepat. Meskipun demikian, pergulatan dan hambatan selama ber-discernment, membuat mereka mampu memaknai dan menemukan manfaat positif dari discernment bagi perkembangan kepribadian dan kedewasaan iman mereka. Nilai-nilai yang semakin bertumbuh kuat dalam proses discernment adalah iman yang kuat, kasih, kesetiaan, keberanian menanggung resiko, kerendahan hati, penghargaan diri, dan pengampunan.

(9)

Regina Ema Pratiwiningrum Sanata Dharma University

Yogyakarta 2010

This research was aimed to describe discernment in resolving conflict done by three sisters of Our Lady in convent life and to discover the best development program employed by sisters of Our Lady to be able to boost the skill of discernment.

This type of research was qualitative. The research subjects were three sisters of Our Lady living in a community that is Central Java and East Java. The data collecting method employed was a profound interview. The instrument of research was several interview questions for guidance which were compiled by researcher and consulted to the supervisor. The data taken from the subject’s interview result was recorded by a tape recorder and arranged in transcript form.

The result showed that the three research subjects were able to employ discernment in resolving conflict, only it was not too profound yet and there was a need of persistence to develop it more, because the appeared emotion was not yet cultivated profoundly and makes them difficult to take a decision appropriately. Nevertheless, the struggle and obstacle during discerning make them able to value and discover benefit o the discernment itself for personality development and the maturity of their faith. The values which grow stronger in the process of discernment were commanding faith, affection, loyalty, brave to carry a risk, modesty, self-esteem, and forgiveness.

(10)

Nya sehingga penulis memperoleh kekuatan dan semangat untuk tetap setia menyusun skripsi. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Bimbingan dan Konseling di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan, perhatian, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D., selaku Dekan FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah berkenan mengesahkan skripsi ini.

2. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si., selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling yang telah memberi kesempatan, dukungan, dan bantuan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Drs. Y.B. Adimassana, M.A., selaku pembimbing pertama yang telah setia dan sabar membimbing, mendukung, dan memberi banyak masukan kepada penulis.

4. Drs. H. Sigit Pawanta, SVD, M.A., selaku pembimbing kedua yang telah memberi inspirasi/masukan dan memberi semangat kepada penulis.

(11)

peminjaman buku, pengurusan administrasi, dan menciptakan suasana nyaman dalam belajar.

7. Kongregasi Santa Perawan Maria yang telah memberikan kepercayaan dan kesempatan untuk studi lanjut, mendoakan, dan memberi dukungan selama penulis menjalankan tugas belajar.

8. Para suster SPM tiga komunitas di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang telah mengijinkan penulis mengadakan penelitian.

9. Sr. X, Sr. Y, Sr. Z (nama samaran) yang rela membagikan pengalamannya selama penelitian.

10. Para suster SPM komunitas Mliwis yang telah memberikan perhatian dan dukungan kepada penulis selama belajar sampai pada penyusunan skripsi ini. 11. Rm. Agustinus Riyanto, SCJ, Rm. Eltus Mali, Pr, dan Fr. Siprianus, OFM

yang telah membantu dalam proses penyusunan proposal skripsi, memberi masukan, mengoreksi, dan mengkritisi skripsi ini.

12. Kedua orangtua, kakak-kakak, dan keponakan-keponakan yang setia mendoakan, perhatian, dan memberi dukungan kepada penulis.

13. Sahabat-sahabat yang selalu mencintai, memotivasi, menyemangati, mendoakan, dan mendukung penulis

(12)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis terbuka terhadap sumbangan pemikiran, kritik, dan saran agar skripsi ini menjadi lebih baik. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi pembaca.

Yogyakarta, 11 Maret 2010

Penulis

(13)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 5

C.Tujuan Penelitian ... 5

D.Manfaat Penelitian ... 6

E.Definisi Operasional dan Variabel Penelitian ... 7

1. Definisi Operasional ... 7

(14)

2. Gaya Hidup Membiara ... 11

3. Dimensi Hidup Eskatologis ... 14

B.Para Suster SPM ... 16

1. Identitas SPM ... 16

2. Spiritualitas SPM ... 17

C.Penyelesaian Konflik ... 20

1. Pengertian Konflik ... 20

2. Penyebab Konflik ... 23

3. Akibat Konflik ... 27

4. Cara Mengatasi Konflik ... 31

D.Discernment dalam Pengolahan Batin ... 38

1. Pengertian Discernment ... 38

2. Cara-cara Discernment dalam Pengolahan Batin ... 39

a. Pengenalan Diri Sebagai Landasan/Dasar ... 40

b. Discernment Sebagai Salah Satu Cara Mengatasi Konflik ... 47

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A.Jenis Penelitian ... 56

B.Subjek Penelitian ... 58

(15)

F. Pemeriksaan Keabsahan Data ... 68

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian ... 70

B.Pembahasan ... 78

1. Discernment dalam Penyelesaian Konflik ... 79

2. Program Pembinaan Untuk Meningkatkan Kemampuan Melakukan Discernment ... 85

BAB V. PENUTUP A.Kesimpulan ... 89

B.Keterbatasan Penelitian ... 90

C.Saran... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92

(16)
(17)
(18)

BAB I

PENDAHULUAN

Bab pendahuluan ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional dan variabel penelitian.

A.Latar Belakang Masalah

(19)
(20)

Kenyataan ini menunjukkan bahwa para suster tampaknya belum sepenuhnya mampu menyelesaikan konflik dengan pengolahan batin yang baik dan tepat. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang menyakitkan sehingga berusaha untuk menghindari, menyingkirkan, bahkan menguburkan. Mereka kurang siap menghadapi konflik dan kurang menerima konflik itu sebagai peluang yang dapat memperkembangkan diri dan mendewasakan iman. Konflik tidak pernah terselesaikan apabila pribadi kurang berani untuk masuk sampai pada akar masalah. Apabila suatu saat terjadi konflik lagi dia akan merasa kesakitan lagi dan mencari cara untuk lari dari konflik dengan melakukan pelampiasan. Pribadi ini hidup dalam tekanan dan tidak menjadi manusia yang lepas bebas. Pengolahan konflik yang demikian sangatlah dangkal dan kurang tepat. Oleh karena itu dibutuhkan cara-cara tertentu dalam mengolah konflik, antara lain dengan discernment. Discernment ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat permasalahan itu dengan pikiran jernih dan hati yang tenang sehingga memungkinkan Allah tinggal, bersemayam, dan berkarya dalam diri seseorang khususnya yang sedang mengalami konflik. Kehadiran Allah akan mengubah hidup seseorang menjadi lebih baik.

(21)

interpersonal yaitu konflik terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain maupun antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.

Berdasarkan pengalaman konflik para suster SPM, peneliti akan memfokuskan pada konflik interpersonal. Peneliti melihat bahwa para suster sering mengalami konflik karena perbedaan-perbedaan tertentu dengan orang lain, ketidakcocokan dengan tugas perutusan, dan berbagai hal yang terjadi munculnya konflik. Melihat keprihatinan yang dihadapi oleh para suster, peneliti berharap agar para suster SPM tidak tergesa-gesa dalam menyelesaikan konfliknya. Mereka perlu terbuka dan mempunyai kesadaran diri dalam mengolah batin secara benar. Salah satu cara untuk mengolah batin adalah dengan melakukan discernment. Melalui discernment, para suster akan dapat merasakan gerakan Roh yang hadir dan berkarya dalam dirinya. Allah juga ikut campur tangan dalam setiap permasalahan sejauh para suster yakin bahwa segala masalah akan dapat terselesaikan. Apabila pengolahan batin dilakukan dengan benar maka para suster akan mengalami kedamaian, kebebasan, dan kebahagiaan dalam hidup khususnya dalam menghayati hidup sebagai seorang biarawati.

(22)

SPM untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam melakukan discernment dalam menyelesaikan konflik.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, disusunlah rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah discernment dalam penyelesaian konflik yang dilakukan oleh tiga suster SPM dalam hidup membiara?

2. Bagaimanakah program pembinaan yang sebaiknya dilakukan para suster SPM untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam melakukan discernment?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan discernment dalam penyelesaian konflik yang dilakukan oleh tiga suster SPM dalam hidup membiara.

(23)

D.Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis

Bagi program studi Bimbingan dan Konseling

Supaya dapat menambah khasanah tentang ilmu Bimbingan dan Konseling terutama dalam bimbingan pribadi dan membantu klien menyelesaikan konflik.

2. Manfaat praktis

a. Bagi peneliti sendiri

Menambah wawasan untuk dapat mengolah konflik demi kematangan dan pengembangan diri.

b. Bagi para suster SPM

Memberikan wawasan yang dapat membantu para suster SPM untuk melihat secara jernih akar konflik yang dialami, sehingga mereka dapat menyelesaikan konflik dengan tepat.

c. Bagi para pembina Kongregasi SPM

(24)

E.Definisi Operasional dan Variabel Penelitian

1. Definisi Operasional

a. Discernment atau pembedaan roh adalah sebuah aktivitas untuk melihat hidup, cara mengambil keputusan secara jernih dan obyektif dan tidak dikuasai atau dikendalikan melulu oleh emosi, keinginan dan perasaan sesaat belaka. Pembedaan roh mengajak untuk melihat arah panggilan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan sendiri (Admin, 2007).

b. Konflik adalah perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan. Pada dasarnya konflik terjadi bila dalam satu peristiwa terdapat dua atau lebih pendapat atau tindakan yang dipertimbangkan. Konflik tidak lebih dari adanya beberapa pilihan yang saling bersaing atau tidak selaras (Pickering, 2001:1).

c. Suster dalam arti sempit adalah saudari. Dalam arti luas berarti semua anggota lembaga hidup bakti wanita (Heuken, 1994:305). Suster SPM adalah wanita yang menggabungkan diri dalam suatu lembaga hidup bakti dan menamakan diri suster Santa Perawan Maria (Kapitel Umum Kongregasi, 1984:15).

(25)

serta keselamatan dunia, dilengkapi dengan alasan baru dan khusus, mengejar kesempurnaan cintakasih dalam pelayanan Kerajaan Allah dan, sebagai tanda unggul dalam Gereja, mewartakan kemuliaan surgawi (KWI, 2006:177).

2. Variabel Penelitian

Variabel utama dalam penelitian ini adalah discernment dalam penyelesaian konflik pada tiga suster Santa Perawan Maria dalam hidup membiara. Untuk memperoleh data tentang discernment yang dilakukan oleh tiga suster SPM dalam penyelesaian konflik, peneliti menggunakan instrumen berupa wawancara mendalam (depth interviews) kepada para suster secara pribadi dengan menggunakan panduan wawancara berupa pertanyaan-pertanyaan terbuka. Pertanyaan-pertanyaan terbuka tersebut tidak terstruktur secara ketat sesuai dengan judul penelitian yaitu Discernment dalam Penyelesaian Konflik Pada Tiga Suster Santa Perawan

Maria dalam Hidup Membiara. Wawancara dengan pertanyaan tidak

(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab ini disajikan uraian tentang hidup membiara, para suster SPM, penyelesaian konflik, dan discernment dalam pengolahan batin.

A. Hidup Membiara

1. Pengertian Hidup Membiara

Allah memanggil manusia dalam berbagai cara, manusia pun menjawabnya, antara lain dengan cara yang khusus, yakni memasuki cara hidup membiara. Hidup membiara merupakan salah satu cara menanggapi panggilan Allah. Allah memanggil manusia agar bahagia, dan manusia menjawabnya dengan penuh kasih, dengan cara meninggalkan segalanya, dan memulai hidup dalam pertobatan, hidup dalam biara. Hidup membiara dapat disebut hidup bakti atau sering pula disebut hidup religius. Kekhasan hidup bakti dapat ditemukan dalam Kitab Hukum Kanonik, kanon 573 § 1 yang menyatakan:

(27)

Hidup bakti ini dapat diartikan sebagai hidup yang dibaktikan kepada Allah, dan Allah menerimanya dengan penyertaan dan bimbingan kasih-Nya, serta Allah sendiri yang menyucikannya. Hidup yang disucikan ini merupakan suatu hidup yang berjuang untuk mencari kesempurnaan dalam Allah. Tentang hidup religius ditulis dalam Kitab Hukum Kanonik kanon 607 § 1 sebagai berikut:

Hidup religius, sebagai pembaktian seluruh pribadi, menampakkan di dalam Gereja pernikahan yang mengagumkan yang diadakan oleh Allah, pertanda dari zaman yang akan datang. Demikianlah hendaknya religius menyempurnakan penyerahan diri seutuhnya bagaikan kurban yang dipersembahkan kepada Allah; dengan seluruh eksistensi dirinya menjadi ibadat yang terus-menerus kepada Allah dalam cintakasih (KWI, 2006:183).

(28)

Dalam gereja Katolik, untuk mengatur tugas kepemimpinan jemaat dibentuk struktur hierarkhi sesuai dengan fungsi dan peran. Struktur hierarkhi itu terdiri dari paus, uskup, imam, dan diakon. Dalam buku Iman Katolik (KWI, 1996:375-377) dikatakan bahwa biarawan/biarawati tidak termasuk hierarkhi, hanya saja ada biarawan yang ditahbiskan imam (klerus). Mereka sekaligus anggota kelompok kebiaraan dan pembantu uskup, tetapi hidup membiara sendiri bukan fungsi gerejawi tetapi corak kehidupan. Biarawan/biarawati kecuali imam termasuk golongan awam. Istilah awam ada dua arti, secara teologis dan secara tipologis. Secara teologis, awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan, meliputi

biarawan yang tidak ditahbiskan. Secara tipologis, awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan biarawan. Jadi, posisi biarawan/biarawati dalam Gereja adalah awam yang mempunyai corak kehidupan tertentu yang berbeda dengan awam yang bukan biarawan/biarawati. Pembedaan dilihat dari kondisi dan tata kehidupan status kebiaraan yang dengan cara khusus menuju kekudusan dan kesempurnaan yang khas. Itulah kekhasan dari gaya hidup membiara para biarawan/biarawati.

2. Gaya Hidup Membiara

(29)

pokok dalam hidup membiara adalah kebersamaan hidup dalam iman dan kasih Kristus. Bentuk hidup bersama dengan saling meneguhkan dan menguatkan dalam iman merupakan bentuk kehidupan khusus. Kekhususannya adalah bahwa ada kebersamaan yang menjadi komitmen setiap anggota. Bentuk kebersamaan itu antara lain, adanya aturan dalam komunitas yang harus ditaati semua anggota dan komunikasi iman yang saling meneguhkan dalam iman.

Pada abad ke-4, ketika seluruh masyarakat lama-kelamaan menjadi Kristen, kekhasan kristiani mulai meluntur. Pada saat itu, ada orang-orang yang mengundurkan diri dari masyarakat ramai untuk mencari bentuk kehidupan yang lebih khas kristiani. Pengunduran diri ini adalah titik pangkal dan dasar untuk selibat. Jadi, selibat sebagai gaya hidup untuk orang yang dengan jelas mau hidup untuk Tuhan (Jacobs, 1987:117). Hidup untuk Tuhan berarti hidup yang dipersembahkan hanya untuk Tuhan dengan rela meninggalkan harta, benda, dan kuasa. Mereka dalam tugas perutusan akan berhubungan dengan semuanya itu, namun sekaligus mengambil jarak. Hal-hal duniawi bukan satu-satunya tujuan tetapi sarana untuk kelancaran perutusan. Menurut Tom Jacobs (1987:119), “Selibat berarti jarak, bukan ketertutupan. Selibat bukan untuk mau mematikan aktivitas manusia, tetapi mau menampilkan Allah di tengah-tengah pergaulan manusia.”

(30)

gaya hidup religius, yakni hidup inkarnatoris, tinggal bersama Yesus, bekerja bersama Yesus, dan bekerja seperti Yesus. Pertama, hidup inkarnatoris artinya menjadikan seluruh pergumulan manusiawi kita ini

sebagai sarana untuk mengungkapkan hidup Allah. Meskipun dalam hidup mengalami kesulitan, ketegangan antara usaha untuk hidup dalam Roh dan realita kelemahan diri, namun tetap diusahakan keseimbangan batin dan usaha mengolah hidup terus-menerus. Kedua, tinggal bersama Yesus adalah usaha untuk membangun relasi personal sampai terbentuk cinta bakti (devosi) yang mendalam pada Kristus sehingga Kristus menjadi dasar panggilan. Caranya dengan kontemplasi untuk senantiasa hadir, mengalami, mengerti, dan memilih Yesus. Ketiga, bekerja bersama Yesus artinya ikut serta dalam tugas perutusan Yesus. Hal ini dapat diartikan pula, menyerahkan diri secara total dalam tugas perutusan Yesus, dengan konsekuensi harus berani hidup melawan arus dunia yang menghambat keselamatan dengan bertolak dari iman. Keempat, bekerja seperti Yesus artinya menghayati cara hidup Yesus yakni hidup diskretif maksudnya kerelaan untuk menguji setiap gerak batin dan motivasi apakah berasal dari Allah atau sekadar ikut arus zaman. Diskresi ini melibatkan kemampuan hati dan citarasa rohani melihat kehadiran Tuhan, kemampuan berefleksi, dan kemampuan kehendak untuk melaksanakan rencana Allah.

(31)

citarasa Kristus, ikut terlibat dalam karya Kristus, memeluk cara hidup Kristus, dan mampu melihat kehadiran Kristus dalam situasi apapun. Orang yang mampu menghayati ini akan mengalami kebahagiaan karena seluruh hidupnya hanya untuk Tuhan dan mempunyai tujuan untuk memperoleh hidup yang baru, kekal, dan yang akan datang. Hal inilah yang disebut dimensi hidup eskatologis.

3. Dimensi Hidup Eskatologis

Menurut pendapat Tom Jacobs (1987:178), dimensi hidup eskatologis artinya dimensi surgawi, kekal, baru, dan yang akan datang. Dimensi hidup itu sudah ada tetapi berbeda dari kehidupan sekarang. Dimensi hidup ini baru akan menjadi jelas kalau Kristus akan menampakkan diri dalam kemuliaan surgawi-Nya. Dalam Lumen Gentium dikatakan:

Umat Allah tidak mempunyai kediaman tetap di sini, melainkan mencari kediaman yang akan datang. Maka status religius, yang lebih membebaskan para anggotanya dari keprihatinan-keprihatinan duniawi, juga lebih jelas memperlihatkan kepada semua orang beriman harta sorgawi yang sudah hadir di dunia ini, memberi kesaksian akan hidup baru dan kekal yang diperoleh berkat penebusan Kristus, dan mewartakan kebangkitan yang akan datang serta kemuliaan Kerajaan sorgawi (KWI, 1990:67).

(32)

Kristus dan mati keuntungan” (Flp 1:21), tetapi juga mengekspresikan iman itu dalam hidup yang bagi dunia tidak mempunyai arti lagi. Hidup eskatologis yang diimani dan dirindukan oleh semua orang kristiani,

dinyatakan dalam keperawanan: atau sebetulnya bukan hidup eskalotogis sendirilah yang dinyatakan, melainkan iman dan kerinduan akan hidup Kristus itu (Jacobs, 1987:31). Jadi, keperawanan adalah sebagai ungkapan harapan eskatologis.

Mereka yang telah membaktikan hidupnya demi Kristus seharusnya selalu hidup dalam kerinduan akan kebersatuannya dengan Kristus selamanya. Kehidupannya dipenuhi dengan perkara-perkara Tuhan, mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya, dan selalu memohon akan kedatangan Tuhan. Kerinduan akan Tuhan dihayati dalam pengikraran nasihat-nasihat Injil yakni ketiga kaul, keperawanan, kemiskinan, dan ketaatan yang secara konkrit diwujudkan dalam kesaksian hidup sehari-hari dan dalam tugas perutusan. Tom Jacobs mengatakan, bahwa ketiga kaul ini tidak berdiri sendiri tetapi merupakan kesatuan dalam membentuk sikap yang sama, yakni kerinduan akan hidup eskatologis. Sikap itu langsung diungkapkan dalam keperawanan, dinyatakan diri dalam kemiskinan yang diatur dalam ketaatan (1987:33). Kebersatuan dengan Kristus karena iman, berarti kita sudah bersatu dengan Allah. Namun, kebersatuan karena iman masih harus dipenuhi “pada akhir zaman”. Inilah yang disebut eskatologis.

(33)

berbagai macam kongregasi biarawan/biarawati dengan spiritualitasnya masing-masing yang ingin mengabdikan hidup seutuhnya kepada Tuhan, salah satunya adalah kongregasi suster-suster Santa Perawan Maria (SPM).

B.Para Suster SPM

1. Identitas SPM

Suster-suster SPM ingin mengidentifikasikan diri dengan Maria yang memiliki sikap iman yang mendalam. Seperti tertulis dalam Konstitusi SPM berikut:

Kita menamakan diri Suster-Suster Santa Perawan Maria. Dalam Maria kita mau mengenal diri kita. Dalam dia nampaklah sikap iman, sehingga Allah menjadi kekuatan dalam manusia. Maria mempercayakan diri kepada-Nya, tanpa menduga ke mana ia akan dibawa oleh fiatnya. Penuh rasa kagum ia bersuka ria, bagaimana Tuhan memperhatikan hamba-Nya yang hina. Apa yang dinantikan angkatan demi angkatan sekarang telah terlaksana padanya. Allah telah menyelamatkan umat-Nya dalam buah tubuhnya, Yesus dan mengikat perjanjian baru dengan kita (Kapitel Umum Kongregasi, 1984:15 al 1-2).

(34)

(Kapitel Umum Kongregasi, 1984:17). Sikap iman Maria yang mendalam inilah yang menjadi kekhasan dari para suster SPM.

Kongregasi SPM memberikan sumbangan khas dalam karya di bidang pembinaan dan pendidikan. Dalam menghayati hidup membiara dan dalam karya-karyanya para suster SPM disemangati oleh semboyan Tota Christi Per Mariam yang berarti segalanya milik Kristus melalui Maria. Yesus

menjadi pusat hidup para suster SPM. Melalui Maria, para suster SPM sampai kepada Kristus. Maria sebagai pengantara dalam penyerahan hidup para suster SPM kepada Yesus. Semboyan Tota Christi Per Mariam merupakan salah satu usaha dari para suster SPM untuk menyadari, menghayati, dan menghidupkan serta mewujudkan semangat dan spiritualitas Kongregasi SPM.

2. Spiritualitas SPM

(35)

dimaksudkan spiritualitas ialah kenyataan-kenyataan konkret hidup yang mencakup keyakinan, keutamaan, dan perwujudannya (Darminta, 1987 via Widyastuti, 2001:46).

Pengalaman akan kebaikan Allah yang dialami oleh Santa Julie Billiart (ibu rohani kongregasi SPM) dan kharisma pribadinya telah menggerakkan hati dan hidupnya untuk memperjuangkan dan mengangkat generasi muda yang terlantar, miskin spiritual dan material. Pengalaman iman akan Allah dalam hidupnya memberikan inspirasi dalam menjawab jeritan sesamanya dalam situasi jamannya. Dalam Konstitusi SPM dikatakan:

Ia memperlihatkan kepada kita apa arti manusia di mata Tuhan. Setiap orang ada artinya tidak seorangpun hina. Ia mengatakan diri satu, khususnya dengan mereka yang paling hina. Ia malahan menyebut kita sahabat-sahabat-Nya. Demikian bagi kita Ia menjadi jalan kebenaran dan hidup (Kapitel Umum Kongregasi, 1984:17).

Isi Konstitusi tersebut merupakan suatu warta gembira-Nya yang diwartakan bagi para suster SPM dalam usaha menghayati spiritualitasnya.

Perwujudan spiritualitas SPM bersumber pada Kitab Suci dan Konstitusi SPM. Oleh karena itu diilhami oleh belas kasih dan keadilan Allah kita bergaul dengan sesama sedemikian rupa sehingga kesamaan martabat semua orang diakui. Pengakuan akan kesamaan martabat manusia itu merupakan inti spiritualitas SPM.

(36)

sekitar (1992:35-36). Sebagai manusia yang menghayati spiritualitas tak jarang para suster SPM mengalami berbagai masalah, kesulitan, atau konflik dalam hidupnya. Konflik dapat terjadi karena tidak terpenuhinya apa yang menjadi harapan. Dalam menghadapi konflik, para suster kadang-kadang tidak bisa menghindari, mau tidak mau harus menghadapinya dengan jatuh bangun. Konflik yang dialami oleh para suster itu berasal dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya. Dalam Konstitusi SPM dikatakan pula bagaimana harus bergumul dengan konflik baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain, dan bagaimana harus menyikapi konflik itu. Berikut isi Konstitusi SPM:

Mengasihi musuhmu, berbuat baik kepada yang membencimu, memberkati yang mengutukmu dan berdoa bagi mereka yang mau menghancurkan kamu. Hidup dalam semangat ini berarti mempertaruhkan segala sesuatu, penuh perhatian dan terbuka, mendengarkan dengan setulus hati tidak takut akan kesunyian, bergumul dengan dirimu sendiri dan sadar akan sentuhan Allah. Bersama hidup dalam semangat itu berarti berani saling menghadapi, percaya dan berani mengambil risiko, berani mendekati dan melepaskan, tertawa, menangis, menghibur, saling membesarkan hati (Kapitel Umum Kongregasi, 1984:37 al 1.2).

Aturan ini jika dilakukan dengan kesungguhan hati dan dengan sikap iman, maka para suster SPM akan mendapat kesegaran dan kebahagiaan dalam hidup.

(37)

C.Penyelesaian Konflik

1. Pengertian Konflik

Setiap pribadi dalam hidup sehari-hari baik dalam hidup pribadi, hidup doa, maupun hidup dengan teman dan masyarakat, sering menemukan halangan atau ketidakselarasan. Ketidakselarasan ini menimbulkan ketegangan atau konflik. Seakan-akan ada perang dalam diri pribadi. Konflik juga sering terjadi dalam hidup membiara. Meskipun dalam suatu komunitas sudah terbangun secara mendalam dasar spiritualitas dan semangat yang sama bagaimanapun juga tidak lepas dari konflik. Konflik yang para suster alami dapat bersifat intrapersonal (konflik pribadi) tetapi dapat juga bersifat interpersonal (konflik dengan orang lain). Konflik intrapersonal dan konflik interpersonal ini saling berkaitan satu sama lain dan saling mempengaruhi. Konflik intrapersonal muncul karena pengaruh dari konflik interpersonal/hubungan tidak baik dengan orang lain. Sebaliknya, jika seseorang sedang mengalami konflik intrapersonal maka akan mempengaruhi relasi dengan orang lain menjadi tidak baik, akhirnya terjadi konflik interpersonal. Konflik intrapersonal merupakan bias dari konflik interpersonal.

(38)

Konflik tidak lebih dari adanya beberapa pilihan yang saling bersaing atau tidak selaras.

Hardjana (2006:9) mengatakan, konflik terjadi manakala dalam hubungan antara dua orang atau dua kelompok, perbuatan yang satu berlawanan dengan perbuatan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Perbuatan dapat mengganggu karena tidak mendukung, memudahkan, membantu kegiatan dan situasi hidup yang sedang berlangsung, atau malah merugikan, merusak dan melumpuhkannya. Mary Rebecca (2000:152) mengemukakan, “Konflik adalah bila dua atau lebih kecenderungan untuk bertindak yang tidak sejalan menjadi aktif dan si organisme ingin melakukan dua tindakan atau dua cara bertindak, namun hanya satu yang mungkin.”

(39)

Menurut Paul Suparno (2002:33), konflik yang terjadi dalam hidup membiara dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni konflik besar dan konflik kecil. Konflik besar adalah konflik yang prinsipial, yang menyangkut hal-hal pokok dalam hidup bertarekat seperti visi dan misi serta pilihan karya yang besar, tentang cara hidup apakah hidup miskin atau tidak. Konflik kecil adalah konflik dalam hal hidup sehari-hari tentang hal-hal kecil yang didasarkan pada rasa, kesenangan, kebiasaan, budaya yang berbeda seperti soal makan, kebersihan, sopan santun, atau tata busana. Dalam praktik kehidupan justru konflik ini yang sering terjadi karena memang dialami sehari-hari baik secara langsung pada diri pribadi maupun dengan orang lain.

(40)

yang dirasakan sebagai hambatan yang mengganggu dalam perjalanan panggilan. Dalam menghadapi konflik itu, para suster sudah berusaha mencari cara yang tepat sesuai dengan kemampuannya untuk dapat keluar dari masalah itu. Tentunya membutuhkan waktu yang cukup lama dan keseriusan dalam mengolah konflik. Langkah awal untuk dapat menemukan akar masalah yaitu dengan mencari penyebab konflik.

2. Penyebab Konflik

Menurut Alan A. Caviola dan Neil J. Lavender (2000), ada empat penyebab terjadinya konflik. Empat penyebab konflik itu adalah perbedaan kepribadian, perbedaan cara pandang, perbedaan tujuan, dan perbedaan pemahaman. Pertama, perbedaan kepribadian menyebabkan orang sulit menghadapi orang lain yang memiliki kepribadian yang berbeda. Orang tersebut juga cenderung mencari-cari kesalahan dan memaksakan kehendaknya pada orang lain. Selain itu menganggap bahwa dialah yang paling baik. Kedua, perbedaan cara pandang bisa terjadi ketika seseorang hanya mau menekankan salah satu aspek saja dalam kehidupannya misalnya lebih mementingkan kesuksesan (hasil) daripada proses. Adapula yang lebih mementingkan jabatan atau gengsinya daripada nilai kemanusiaan dalam suatu relasi ataupun pekerjaan. Ketiga, perbedaan tujuan menyebabkan seseorang cenderung melakukan berbagai cara untuk mencapainya.

Keempat, perbedaan pemahaman sering menyebabkan miscommunication

(41)

kurang akurat dari masing-masing pribadi. Di samping itu perbedaan pemahaman ini juga sering disertai dengan pikiran negatif terhadap perilaku, kata-kata, atau tindakan seseorang. Akibatnya menimbulkan rasa benci dan timbullah konflik (Sembel, 2003). Penyebab konflik ini yang sering dialami seseorang dan di kalangan para suster SPM yang dirasa berat, menjadi tidak bebas, dan menghambat dalam perjalanan hidupnya.

(42)

keyakinan dan aturan main. Kelima, konflik karena tidak oke terjadi di saat tidak tenang dalam hidup membiara, ragu-ragu dalam panggilan, sedang mempunyai masalah pribadi, dan pada saat hidup rohani kering. Di situlah perlunya sikap hati-hati dalam berkomunikasi dan berkomentar.

Mary Rebecca (2000:153-154) mengatakan, penyebab konflik ada tiga yakni konflik intraindividual, konflik antar nilai, dan konflik peran. Pertama, konflik intraindividual berasal dari dalam diri orang yang bersangkutan sendiri, mungkin karena tidak ada kesesuaian antara yang diinginkan dan yang sesungguhnya. Kedua, konflik antar nilai artinya ada tuntutan mempelajari nilai-nilai, perasaan-perasaan dan sikap-sikap yang dipandang benar atau sesuai dengan para sesepuh. Ketiga, konflik peran artinya terjadi konflik dalam melakukan peran yang sudah menjadi bagian hidupnya, misalnya sebagai konselor yang harus memberikan konseling dan sekaligus menertibkannya.

(43)

Rogers (Naisaban, 2004:346) juga berpendapat, sering ada ketidaksesuaian antara konsep diri seseorang dengan kenyataan. Bila pengalaman tidak mendukung pandangan seseorang atas dirinya sendiri, maka ia mungkin akan mengerahkan berbagai mekanisme pertahanan diri, seperti pemutarbalikkan dan pengingkaran. Pemutarbalikkan ini akan membuahkan konflik, perasaan kecemasan, dan terjadi konflik atau dualisme dalam kepribadiannya. Pengalaman inilah yang menjadikan pribadi berhenti berkembang sampai konflik teratasi.

Pendapat Mary Rebecca dan Carl Rogers hampir sama, bahwa konflik dapat terjadi jika tidak ada kesesuaian antara nilai-nilai yang diinginkan dengan nilai-nilai sesungguhnya, atau nilai-nilai yang dimiliki seseorang dengan nilai-nilai yang diadopsi dari orang lain. Pengalaman ini menjadikan seseorang kurang mengenal dan menerima dirinya, bingung menemukan kekhasan nilai diri sesungguhnya, nilai itu sudah campur aduk.

Dari pendapat-pendapat mengenai penyebab konflik di atas menjadi jelas bagi peneliti bahwa konflik dapat terjadi karena perbedaan dari beberapa faktor baik dari dalam diri maupun dari luar diri seseorang. Apabila relasi seseorang dengan orang lain tidak baik maka akan mengalami konflik diri (intrapersonal). Sebaliknya, apabila seseorang sedang berkonflik dengan dirinya sendiri, akan berpengaruh pada relasinya dengan orang lain menjadi tidak baik dan tidak harmonis (konflik interpersonal).

(44)

kepribadian, perbedaan pemahaman, perbedaan minat/kemampuan, perbedaan pemikiran/pendapat, dan perbedaan prinsip hidup. Perbedaan-perbedaan ini terjadi baik dalam relasi para suster dengan sesama suster di komunitas maupun relasi dengan orang lain di luar komunitas. Para suster yang sedang berkonflik akan kelihatan dari raut wajah, tingkah laku, maupun dari cara bicara. Maka perlu memberi kesempatan bagi para suster yang berkonflik ini untuk berproses agar dia dapat menemukan dirinya, berkembang maju, mempunyai cara yang tepat untuk menyesuaikan diri, dan menghargai dirinya secara positif. Caranya dengan introspeksi diri, mengolah batin, menata hati, dan mengelola emosi.

3. Akibat Konflik

(45)

Menurut Hardjana (2006:31-32), ada tiga akibat konflik, yaitu pengaruhnya pada diri sendiri, pada orang lain, dan pada pelaksanaan kerja. Pertama, pengaruhnya pada diri sendiri yaitu, orang mudah tersinggung dan

panas hati, mudah marah, menjadi penuntut dan tidak mau bekerjasama, terlalu terpusat pada diri sendiri dan tidak peduli pada orang lain, mudah bermusuhan dengan menyerang orang lain. Kedua, pengaruhnya pada orang lain adalah antara orang-orang yang terlibat konflik pada umumnya hubungan renggang, komunikasi terputus, dingin/seperlunya saja, saling tidak percaya, saling curiga, tidak bersedia, dan tidak mau bekerjasama. Ketiga, pengaruhnya pada pelaksanaan kerja antara lain, hati tidak tenang,

pikiran tidak jernih, kehendak melemah, semangat kerja menurun, kerja malas, asal jalan, tanpa tekad, tak terkobarkan oleh visi, idealisme, tidak berminat mencapai apa-apa, dan prestasi kerja tidak prima.

Pada tahap paling ringan, konflik menimbulkan pusing kepala, nyeri punggung. Pada tahap kedua ditandai dengan stres yang parah. Kalau orang sudah mempunyai pikiran lebih baik mati/bunuh diri, dia sudah berada di tahap ketiga (Pickering, 2005:12-13). Maka seseorang perlu mengontrol diri dan menilai situasi hati yang sedang dialami jika mengalami konflik agar tidak menimbulkan bahaya baik terhadap diri sendiri maupun pihak lain.

(46)

penghargaan positif tanpa syarat. Berarti, dia dicintai dan dihormati karena nilai adanya sendiri sebagai person. Sebab itu, orang ini tidak perlu defensif, tetapi dapat menerima diri dengan penuh kepercayaan dan dapat menyerahkan diri kepada proses vital dari perasaan dan pengalaman yang mengalir terus.

Berdasarkan teori itu dapat disimpulkan bahwa orang yang mengalami konflik, dia merasa kurang adaptif dalam menerima penghargaan positif maka perasaan harga diri sangat dipengaruhi oleh dan bergantung pada harapan orang lain. Harapan-harapan ini mengasingkan bagi dia dan mengakibatkan rasa takut terhadap pengalaman batin. Pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya menjadi defensif dan kaku. Dia merasa tidak bebas dan otonom karena dipengaruhi oleh kekuatan luar dan tergantung dari orang lain.

Salah satu hakekat pribadi yang dikemukakan Rogers sebagai berikut: Setiap pengalaman yang tidak sesuai dengan struktur self akan diamati sebagai ancaman (threat). Semakin kuat struktur selfnya, semakin banyak pengalaman yang dianggap ancaman karena tidak sesuai dengannya, sehingga semakin kuat pula sikap mempertahankan diri dari ancaman. Self kemudian menciptakan pertahanan diri dengan menolak pengalaman masuk ke kesadaran. Semakin sering ini dipakai, self menjadi tidak saling suai (incongruence): kehilangan hubungan dengan pengalaman nyata. Pertentangan antara self dengan realita semakin meningkatkan ketegangan psikologik yang menimbulkan salah suai (Alwisol, 2004:336).

(47)

juga mengganggu keadaan psikis dalam bentuk misalnya, ketakutan, rasa kurang puas, depresi, cemas, gangguan bicara, dan sakit fisik.

Menurut Mardi Prasetya (2001:192-193) ada dua hal yang perlu dipertimbangkan berkenaan dengan berat ringannya gangguan dan macam-macam gejala orang yang mengalami konflik. Pertama, berat ringannya gangguan itu antara lain gangguan mempengaruhi seluruh hidup pribadi tapi terselubung; disertai tanda yang jelas atau tidak; gangguan itu terus-menerus, periodik atau hanya kadang-kadang terjadi; ada atau tidak ada penyebab yang mempercepat munculnya gangguan; dan gangguan seluruhnya bawah sadar atau kadang-kadang disadari akibatnya. Kedua, macam-macam gejala terdiri dari tanda gangguan ringan dan tanda-tanda patologi berat. Tanda-tanda-tanda gangguan ringan antara lain menghindari tanggung jawab, ekstrem/tidak wajar, menangis berlarut-larut, histeris, marah besar, frustrasi, menarik diri, depresi, gelisah, agresif, dan tidak dapat mempunyai sublimasi yang membangun. Sedangkan tanda-tanda patologi berat misalnya penggunaan mekanisme pertahanan diri, ingin menguasai, menganggap orang lain musuh, tidak punya gairah, pandangannya campur aduk, berkhayal, dan tidak dapat berbicara logis.

(48)

terbebani oleh banyaknya persoalan dirinya, para suster SPM perlu cara-cara untuk mengatasinya dan mengolah konflik dengan tepat. Hal ini bertujuan agar dia semakin menerima dan menghargai diri secara positif, menjadi pribadi yang bebas, dan menerima konflik sebagai bagian dari hidupnya. Apabila konflik diatasi dan diolah dengan baik maka jika suatu saat ada persoalan/kesulitan lagi dia akan lebih tenang menghadapinya.

4. Cara Mengatasi Konflik

(49)

tepat untuk memanfaatkan kekuatan mereka untuk mendukung kehidupan pribadi. Ketiga, berkaitan dengan aspek mengubah sikap, Brinkman dan Kirschner (1994) berpendapat bahwa tidak perlu mengubah orang-orang yang menyebabkan konflik secara seratus persen tetapi justru mengubah sikap diri sendiri pada pengaruh negatif yang mereka timbulkan. Misalnya, apabila mereka berubah tidak perlu merasa terusik tapi menghadapi mereka dengan tenang dan menghargai serta menghormati mereka sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat tinggi. Keempat, blending yaitu cara yang dilaksanakan oleh seseorang untuk mengurangi perbedaan yang ada, mencari persamaan dan berangkat dari persamaan tersebut. Kelima, understanding adalah mencari sumber masalahnya untuk kemudian

memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian konflik yang dihadapi akan segera teratasi dengan baik (Sembel, 2003).

Menurut Erwin Arianto (2008), untuk menangani atau mengatasi konflik secara efektif, harus mengetahui kemampuan diri sendiri dan juga pihak-pihak yang mempunyai konflik. Ada empat cara mengatasi konflik yakni, introspeksi diri, mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat, identifikasi sumber konflik, dan mengetahui pilihan penyelesaian atau penanganan konflik yang ada dan memilih yang tepat. Pertama, introspeksi diri yaitu dengan bertanya pada diri sendiri. Bagaimana biasanya menghadapi konflik? Gaya apa yang biasa digunakan? Apa saja yang menjadi dasar dan persepsi? Hal ini penting dilakukan untuk mengukur kekuatan diri sendiri.

(50)

mengidentifikasi kepentingan apa saja yang mereka miliki, bagaimana nilai dan sikap mereka atas konflik itu dan apa perasaan mereka atas terjadinya konflik. Ketiga, identifikasi sumber konflik yaitu sumber konflik sebaiknya dapat diidentifikasi sehingga sasaran penanganannya lebih terarah kepada sebab konflik. Keempat, mengetahui pilihan penyelesaian atau penanganan konflik yang ada dan memilih yang tepat.

Spiegel (1994) menjelaskan ada lima tindakan untuk mengatasi konflik yakni:

a. Berkompetisi

Jika pribadi mencoba memaksakan kepentingan sendiri di atas kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan bisa berhasil jika situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat, kepentingan salah satu pihak lebih utama dan pilihan pribadi sangat vital.

b. Menghindari konflik

Jika salah satu pihak menghindari dari situasi itu secara fisik ataupun psikologis. Sifatnya hanya menunda konflik yang terjadi.

c. Akomodasi

Jika pribadi mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu.

d. Kompromi

(51)

e. Berkolaborasi

Pilihan tindakan ada pada diri sendiri dengan konsekuensi dari masing-masing tindakan (Arianto, 2008).

Winardi (1994:17) berpendapat, ada tiga cara untuk mengatasi konflik yakni sikap tidak acuh, menekan, dan menyelesaikan. Pertama, sikap tidak acuh artinya tidak adanya upaya langsung untuk menghadapi sebuah konflik yang telah termanifestasi. Dalam keadaan demikian, konflik dibiarkan berkembang menjadi sebuah kekuatan konstruktif atau sebuah kekuatan destruktif. Kedua, menekan (suppression) artinya menyebabkan menyusutnya dampak konflik yang negatif, tetapi tidak mengatasi ataupun meniadakan pokok-pokok penyebab timbulnya konflik itu. Ia hanya merupakan pemecahan semu yang merupakan penyebab orisinal terjadinya konflik tetap ada. Ketiga, penyelesaian konflik hanya terjadi apabila alasan latar belakang terjadinya konflik ditiadakan dan tidak disisakan kondisi yang menggantung untuk penyebab timbulnya lagi konflik pada masa mendatang.

(52)

Ketiga, pendalaman kasih dan pengampunan akan memudahkan usaha penyatuan jika terjadi persoalan dan jika ada yang berbuat salah tidak disingkirkan, tetapi diterima kembali. Sikap lain yang tak kalah penting ialah kerelaan menerima yang lain dalam perbedaan. Maka dituntut sikap tenggang rasa dan menerima keberbedaan sebagai kenyataan hidup bersama. Keempat, bahasa badan, isyarat, hati, wajah untuk mengembangkan

kepekaan terhadap apa yang dilakukan, sehingga semakin mudah mengerti orang lain. Dengan lebih mengenal keadaannya maka dapat lebih bersikap secara tepat terhadap orang itu.

Mary Rebecca (1996:154-155) mengemukakan bahwa konflik sering mengakibatkan orang frustrasi dan cemas. Untuk mengatasi itu dengan menggunakan bentuk-bentuk pertahanan yang disebut mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri adalah penggeseran fokus perhatian, fantasi, atau cara-cara lain untuk menetralisirkan daya dorongan yang membahayakan. Ada beberapa bentuk mekanisme pertahanan diri, antara lain:

a. Rasionalisasi

Proses menemukan alasan yang baik untuk menutupi alasan sesungguhnya.

b. Represi

(53)

c. Menyangkal

Tidak mau mengakui adanya kenyataan yang menyakitkan, atau tidak mau mengakui kebenaran.

d. Isolasi

Berusaha menghalangi agar efek dari suatu gagasan tertentu jangan sampai terungkap keluar.

e. Supresi

Tidak membiarkan suatu gagasan yang muncul terus berkembang dan terungkap dalam tingkah laku.

f. Pemindahan

Tidak secara langsung mengatasi penyebab konflik, melainkan melampiaskan amarahnya pada orang lain atau pada aneka objek yang kurang mengandung risiko yang terdapat di sekitarnya.

g. Proyeksi

Secara tidak sadar orang takut memiliki sejumlah motif tertentu, lalu melihat semuanya itu dalam diri orang lain.

h. Introyeksi

Mengatribusikan diri sendiri apa yang dilihatnya di dalam diri orang lain. i. Regresi

(54)

j. Identifikasi

Jika mengalami frustrasi, maka mungkin ia akan bereaksi dengan cara menyamai individu lain.

k. Fantasi

Melarikan diri dari dunia nyata dan masuk dalam dunia fantasi. l. Kompensasi

Memusatkan diri pada salah satu jenis tingkah laku, untuk menutupi kekurangan yang dirasakannya pada bidang lain.

m.Intelektualisasi

Menyembunyikan perasaan dengan menganalisa situasi yang dihadapi secara serba intelektual.

(55)

untuk mengolah batin. Berikut ini akan dijelaskan bagaimana pengolahan

batin para suster SPM dalam hidup membiara.

D. Discernment dalam Pengolahan Batin

1. Pengertian Discernment

Ciri khas spiritualitas Ignasian adalah Discernment atau Pembedaan Roh yang diajarkan oleh Santo Ignatius Loyola di dalam Latihan Rohani. Menurut Admin (2007), pembedaan roh adalah sebuah aktivitas untuk melihat hidup, cara mengambil keputusan secara jernih dan obyektif dan tidak dikuasai atau dikendalikan melulu oleh emosi, keinginan dan perasaan sesaat belaka. Pembedaan roh mengajak untuk melihat arah panggilan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan sendiri. Tomi Hariono (2009) juga berpendapat bahwa pembedaan roh berarti tindakan memilah-milah, membedakan aneka gerakan dalam batin. Pembedaan roh membantu untuk meneliti dengan jelas aneka dorongan batin untuk asal-usulnya, menemukan mana yang berasal dari Roh Kudus dan mana yang bertentangan dengan-Nya.”

(56)

Tuhan dan sesama dan mana yang menjauhkan diri dari tujuan itu (2009:34).

Pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembedaan roh adalah suatu tindakan untuk meneliti dan membedakan gerakan batin, mengenali roh apa yang sedang bekerja apakah roh baik atau roh jahat, dilakukan dalam terang iman. Tindakan ini dilakukan dengan melibatkan Tuhan di dalamnya agar menemukan pencerahan dari Roh Kudus sendiri sehingga memampukan untuk mengambil keputusan yang benar.

Tak jarang para suster SPM dihadapkan pada suatu masalah, kesulitan, dan tantangan yang sangat bertentangan dengan keinginan dan suara hatinya. Para suster mengalami dilema harus berbuat apa, memilih mana yang baik dan benar, bagaimana harus mengambil keputusan. Pengalaman para suster dalam melakukan discernment ternyata sangat membantu dalam mengolah hidup. Hal ini tampak dari sikap yang dewasa, bijaksana, dan mantap dalam menghayati hidup membiara. Mereka tidak mudah emosi, patah semangat, dan pesimis tetapi mempunyai semangat dan gembira dalam hidupnya.

2. Cara-cara Discernment dalam Pengolahan Batin

(57)

pengakaran iman dalam hidup sebagai titik tolak pembaharuan dan perjalanan batin terus-menerus (Prasetya, 1992:35). Menurut Darminta,

Peresapan spiritualitas merupakan proses mendarahdagingkan hidup Illahi, yang ditawarkan oleh Tuhan kepada kita. Allah sendiri lewat sabda-sabda, peristiwa hidup, dan semua ciptaan-Nya melibatkan Diri di dalam hidup manusia. Rasanya manusia menemukan dan semakin sadar bahwa menghadapi arus hidup yang semakin menawarkan nilai-nilai duniawi tidak ada jalan lain kecuali orang harus memiliki pijakan kuat dalam dunia sekular, yaitu pengalaman akan Allah. Tidak mengherankan jika Latihan Rohani semakin menuju ke kedalaman hidup batin manusia. Untuk sampai ke kedalaman hidup batin manusia itu, orang memperkembangkan metode pengolahan hidup untuk mencoba memahami batin manusia yang terbuka dan bahkan dalam relasinya dengan hidup ilahi. Pengolahan hidup ini mengajak orang untuk mengolah hidupnya khususnya mengolah batin yang sedang hidup berdasarkan pengalaman hidupnya dalam perspektif hidup di dalam Tuhan (1997:11-14).

Ada dua unsur untuk mengolah batin dalam membantu mengatasi konflik batin seseorang yaitu:

a. Pengenalan Diri Sebagai Landasan/Dasar

Menurut Mardi Prasetya (1992:81-83), masalah dasariah dalam pengolahan batin pada langkah awal adalah menjawab secara

mendetail pertanyaan dasar: “Siapakah saya ini?” Langkah awal dalam pengolahan batin adalah mengenal secara mendalam diri sendiri. Ada dua arah untuk mengenali diri, yaitu:

1) Bagaimana saya secara nyata menjadi pribadi yang bebas yang mampu mencapai tujuan tertinggi hidup rohani dan hidup panggilan? 2) Bagaimana taraf kedewasaan saya dilihat dari tiga dimensi?

(58)

sakramen dan cara mengatasi kesulitan hidupnya, dapat menjadi petunjuk kedewasaan. Keutamaan hidup dapat diamati dari kesesuaian antara nilai-nilai yang diidealkan dan yang nyata dihayati dalam hidup tiap hari.

b) Dimensi II: adalah bidang hidup di mana dialektika dan pergulatan hidup paling terasa, karena dimensi ini menjadi medan tarikan antara unsur sadar dan unsur bawah sadar. Perilaku baik yang dilakukan dengan sadar demi kebaikan itu sendiri akan menjadi kebaikan sejati, sedangkan perilaku yang dari luar tampak baik, tetapi karena dipakai sebagai defence dan dimotivasi oleh unsur bawah sadar yang bertentangan dengan cita-cita dan nilai yang diwartakan, akan menjadi kebaikan palsu.

c) Dimensi III: adalah bidang normalitas dan patologi. Normal dipahami sebagai tidak ada keretakan pribadi, karena fungsi-fungsi kodratinya berjalan normal. Ini berarti bahwa meskipun orang mengalami pergulatan hidup, masih dapat mengintegrasikan rasa, budi, hati, naluri dan kehendak untuk hidup. Sedangkan patologi berupa taraf-taraf disorganisasi dari level yang paling ringan sampai yang paling berat (seperti gangguan ringan, neurosi), biasanya mempengaruhi cara penyesuaian diri, adaptasi dan komunikasi dalam hidup bersama.

(59)

keterbukaan, kerelaan hati untuk dibentuk oleh Allah, berani sakit dalam mengolah konflik, sikap lepas bebas dari emosional yang cenderung egosentris, dan memahami nilai luhur yang ingin dicapai.

Ignasius (Barry & Doherty, 2009:21) mengungkapkan, “Latihan Rohani juga dapat membantu segala macam orang untuk menemukan Allah dan menata hidup mereka selaras dengan Allah yang mereka temukan itu. Allah dapat ditemukan dalam setiap peristiwa hidup sehari-hari, di sana Allah bertindak dalam kehidupan pribadi seseorang.” Allah mengajak setiap orang mengenal dirinya melalui pengalaman hidup dan melalui permenungan pribadi. Dalam buku Tahan Uji, dikemukakan sebagai berikut:

Latihan Rohani membantu untuk memperdalam kerohanian, sebab Latihan Rohani dapat melatih orang untuk makin mampu mengambil keputusan yang tepat dalam menjalankan hidup. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa Latihan Rohani pun melatih orang beriman untuk hidup tahan uji. Orang akan semakin tahan uji jika dia mampu menerima dan mengolah segala permasalahan atau konflik yang dialami bukannya lari dari konflik (Komunitas Kolsani SJ, 2006:5).

Maka tepatlah jika para suster SPM juga dapat menggunakan metode

Latihan Rohani sebagai salah satu cara untuk mengolah batin dalam menyelesaikan konflik batinnya agar dapat mencapai pengalaman iman

(60)

membuka dan mengarah ke penerimaan dan penyerahan diri. Rahmat ini akhirnya dapat membina relasi dengan sesama, dengan diri sendiri, dan dengan Allah.

Menurut Ki Ageng Suryomentaram (Adimassana, 1986:41-56), manusia terdiri dari jiwa dan raga. Jiwa adalah bagian dari manusia yang tidak dapat dilihat dan raga adalah bagian dari manusia yang kelihatan,. Namun jiwa itu ada karena adanya “rasa”. Yang dimaksudkan “rasa” adalah segala gerak batin, meliputi perasaan, gagasan/pikiran, dan keinginan. Dari “rasa” ditemukan macam-macam rasa dengan sifat dan tabiat seseorang. Ki Ageng akhirnya dapat menamakan penemuannya dengan struktur kejiwaan manusia atau “pengetahuan diri sendiri”. Pengetahuan diri sendiri diarahkan untuk memecahkan kesulitan (konflik) kejiwaan atau batin, sehingga jiwa menjadi “bebas”, artinya terlepas dari segala macam rasa yang menyebabkan timbulnya kesulitan atau konflik. Jiwa yang bebas menjadi dasar bagi hidup bahagia, damai, tentram dan menjadi pangkal kerukunan di dalam masyarakat. Pengetahuan diri sendiri juga dimaksudkan sebagai jalan mengembangkan “akal budi” yang sehat, yang reaslitis dan yang rasional, artinya yang berpedoman pada apa yang kini dan di sini dihadapi dan diperlukan.

(61)

rasa yang sifatnya individual, yakni yang tidak bisa diwakili oleh orang lain. “Rasa aku sejati” atau “manusia baru” adalah inti pribadi manusia, yang mengatasi Kramadangsa. Di sana terdapat “kesadaran” yang mengawasi gerak rasa keakuan Kramadangsa dengan segala rasa tanggapan, gagasan dan keinginannya. “Manusia baru” menentukan kebahagiaan seseorang dan selalu dalam keadaan bahagia dan senang abadi. Oleh sebab itu kebahagiaan seseorang itu tidak ditentukan oleh dinamika kehidupan pengalaman, melainkan oleh kebebasan dan peranan “manusia baru” dalam dirinya. Bila manusia baru dengan bebas bisa tampil dan berperanan dalam hidupnya, maka di mana saja, kapan saja, ia bisa hidup dengan bahagia.

Menurut pemikiran Ki Ageng Suryomentaram yang dikutip oleh Adimassana (dalam Cahya, dkk, 2001:95):

Kesempurnaan hidup dan kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai jika orang memiliki jiwa yang bebas merdeka. Jiwa yang bebas harus diusahakan melalui self-analysis secara terus-menerus, guna memahami keadaan diri dan membebaskan dari cengkeraman “keakuan” yang semu, tempelan (palsu), dan temporal (yang oleh Ki Ageng diberi nama Kramadangsa) yang cenderung bersifat sewenang-wenang, bengis, keras, dan egoistis.

Adimassana (dalam Cahya, dkk, 2001:103) berpendapat, bahwa proses self-analysis dapat ditunjang dengan proses pemurnian, penyucian,

(62)

tulus, sederhana, rendah hati, taat, kuat, tegar, dan berani menanggung

risiko. Menurut Freud (Taniputera, 2005:44-46), unsur pembentuk sang

“aku” merupakan fungsi kepribadian secara keseluruhan dan tidak bisa dipisahkan. Unsur itu adalah id, ego, dan superego. Id, ada sejak lahir (bawaan). Unsur kepribadiannya merupakan tempat bersemayamnya naluri yang sifatnya buta dan tidak terkendali. Asas yang mengatur bekerjanya id adalah asas kesenangan yang diarahkan bagi pengurangan ketegangan atau ketidaknyamanan untuk mencapai kepuasan atau kebahagiaan naluriah. Id bersifat tidak sadar. Ego, berfungsi untuk mengendalikan dan mengatur tindakan yang dilakukan dengan berlandaskan asas kenyataan. Maka akan berlaku realistis, berpikir logis, dan merumuskan rencana tindakan bagi pemuasan kebutuhan. Ego dapat mengendalikan kesadaran. Superego, merupakan aspek moral seseorang yang menentukan benar dan salahnya perbuatan yang dilakukan. Ia menampilkan hal-hal ideal dan bukan riil, digerakkan oleh asas kesempurnaan. Superego dapat menghambat dorongan pemuasan dari id.

(63)

pengalaman visceral, sensori, emosional, dan kognitif dalam dirinya tanpa merasa terancam. Mereka sadar dengan pikiran dan perasaannya semua disimbolisasi dalam kesadaran tanpa distorsi atau denial. Kedua, hidup menjadi artinya setiap pengalaman dipandang baru dan unik – berbeda dengan yang pernah terjadi; berkembang tanpa diawali prasangka dari harapan sebelumnya. Ketiga, keyakinan organismik artinya orang mengambil keputusan berdasarkan pengalaman organismiknya sendiri, mengerjakan apa yang dirasanya benar sebagai bukti kompetensi dan keyakinannya untuk mengarahkan tingkah laku yang memuaskan. Keempat, pengalaman kebebasan artinya pengalaman hidup bebas dengan cara yang diinginkan/dipilih sendiri, tanpa perasaan tertekan atau terhambat. Kelima, kreativitas artinya orang dengan hidup baik kemungkinan besar dapat memunculkan produk kreatif dan hidup kreatif.

(64)

b. Discernment Sebagai Salah Satu Cara Mengatasi Konflik

Selain pengenalan diri, salah satu cara untuk mengolah batin dalam mengatasi konflik adalah dengan melakukan discernment. Menurut Ignasius Loyola, dalam discernment dibutuhkan keterbukaan hati, kemampuan budi untuk berpikir dan mengerti, merasakan, rela mempersembahkan kehendak kepada Tuhan, dan berlatih membedakan roh baik dan roh jahat sehingga mampu untuk mengambil keputusan dengan tepat. Proses discernment tidak sekali jadi tetapi membutuhkan waktu dan energi, namun hasilnya akan menggembirakan bagi yang melakukannya.

(65)

dihadapkan pada pro dan kontra atas pilihan itu, hasilnya dibawa kepada Tuhan dan mohon petunjuk pada-Nya apakah hasil ini sesuai dengan kehendak-Nya. “Nung” artinya dunung/hanung yaitu dengan kebesaran jiwa, dapat melihat segala sesuatu dengan jelas dan jernih, dan mementingkan masa depan. Apabila batin merasa tenang, damai, dan mendapatkan pencerahan/kejelasan maka kiranya pilihan itu tepat sehingga dapat memutuskan dengan bijaksana. “Nang” artinya menang yaitu berhasil menguasai dan mengendalikan diri dari kelekatan tak teratur yang merintangi hidup sehingga dapat melaksanakan kebaikan/kehendak Tuhan. Di sinilah orang akan mengalami hati yang bebas dan menjadi manusia yang baru.

Berikut ini akan dipaparkan proses pembedaan roh menurut Ignasius Loyola (Darminta, 2002:57-183) berdasarkan pedoman pembedaan roh I dan II yang dapat digunakan sebagai latihan rohani: Minggu I(untuk tahap pemula):

™Tujuannya agar dapat merasa dan mengenal berbagai gerak yang

timbul dalam jiwa: yang baik untuk diterima, yang buruk dibuang dan agar mampu mengambil sikap yang benar terhadap dosa dan terhadap kerahiman kasih Allah.

™Pada orang yang jatuh beruntun dari dosa besar ke dosa besar, musuh

(66)

menyesakkan hati nurani dengan teguran pada budi. Sebaliknya pada orang tekun yang terus membersihkan dosanya dan dalam pengabdian kepada Allah meningkat dari taraf baik ke taraf lebih baik. Ciri roh buruk ialah menyesakkan, menyedihkan dan menghalangi dengan alasan palsu, supaya orang tidak maju. Ciri roh baik ialah memberi semangat dan kekuatan, hiburan, airmata, inspirasi, ketenangan, dan membuat semuanya menjadi mudah.

™Dalam waktu kesepian, jangan sekali-kali membuat perubahan, tetapi

teguh dan tetap dalam niat dan keputusan yang dipegang pada hari sebelumnya selama hiburan sebelumnya itu, karena dalam kesepian roh buruk menyapa dan menasihati ke arah yang tidak benar. Dalam hiburan perlu waspada dan memikirkan bagaimana akan bersikap dalam kesepian yang akan datang kemudian, dan mencari kekuatan baru untuk menghadapi waktu itu.

™Latihan pembedaan roh I sebagai berikut:

1. Doa persiapan: mohon rahmat kepada Tuhan supaya semua

maksud, perbuatan, dan pekerjaan diarahkan hanya untuk pengabdian kepada Tuhan.

2. Pendahuluan: membayangkan tempat dalam angan-angan batin

(67)

dikehendaki/diinginkan. Mohon rasa malu dan aib atas diri sendiri, sebab melihat betapa banyak orang yang terkutuk hanya karena satu dosa berat saja, dan telah berapa kali aku berbuat dosa.

3. Pokok: menimbang-nimbang dosa yang banyak dibanding dengan

dosa malaikat yang hanya berdosa satu kali sudah masuk neraka.

4. Percakapan: membayangkan Kristus hadir di hadapanmu,

tergantung di salib, dan bertanya kepada-Nya dalam percakapan bagaimana Dia telah berkenan menjadi manusia; dan bagaimana dari hidup abadi Dia sampai kepada kematian bahkan wafat demi dosa-dosa manusia termasuk diri sendiri. Perlu juga bertanya pada diri sendiri, “Apa yang telah kuperbuat bagi Kristus, apa yang sedang kuperbuat bagi Kristus, dan apa yang harus kuperbuat bagi Kristus?” Dilanjutkan wawancara sewajarnya seperti seorang sahabat dengan sahabatnya. Mohon rahmat dan nasihat dari Tuhan. Diakhiri dengan doa Bapa Kami satu kali.

Minggu II (tahap lanjutan):

™Tujuannya agar memahami gerak batin yang timbul dalam jiwa dan

dapat lebih jauh membedakan roh.

™Ciri khas Allah adalah memberi sukacita dan kegembiraan sejati

(68)

™Allah memberi hiburan kepada jiwa tanpa sebab sebelumnya, artinya

tanpa ada perasaan atau pengertian apa-apa yang dapat mendatangkan hiburan karena kerja budi atau kehendaknya sendiri. Bila ada sebab, maka hiburan datang dari malaikat baik maupun malaikat jahat tetapi tujuan berlawanan. Malaikat baik menghibur bertujuan demi kemajuan jiwa agar berkembang menjadi lebih baik, sedangkan malaikat jahat menghibur bertujuan menyeret jiwa ke arah kedurhakaan. Ciri khas malaikat jahat yang berganti rupa menjadi malaikat terang, ialah memulai dengan mengikuti suasana jiwa yang saleh, akhirnya menggiring ke arah maksud jahat.

™Perlu diperhatikan jalan pikiran: bila awal, tengah, dan akhir

seluruhnya baik, mengarah kepada yang serba baik, berarti berasal dari malaikat baik. Bila jalan pikiran berakhir buruk, pertanda asalnya dari roh jahat yang menyebabkan jiwa lemah, resah, tidak damai, dan bingung.

™Walaupun hiburan tanpa sebab datangnya dari Tuhan, harus hati-hati

membedakan saat berlangsungnya hiburan itu sendiri dan saat berikutnya, yang mungkin dipengaruhi oleh roh jahat.

™Latihan pembedaan roh II sebagai berikut:

1. Doa persiapan: mohon rahmat kepada Tuhan supaya semua

(69)

2. Pendahuluan: membayangkan tempat dalam angan-angan, yakni melihat sinagoga, desa-desa dan kota-kota di mana Kristus berkhotbah. Mohon rahmat yang dikehendaki dan mohon supaya tidak tuli terhadap panggilan-Nya, tetapi siap-siaga dan penuh minat untuk melaksanakan kehendak-Nya.

3. Pokok: membayangkan di depan mata seorang raja pilihan Tuhan sendiri. Semua pembesar Kristiani bersama rakyat menaruh hormat dan taat padanya. Setelah itu dilanjutkan dengan menimbang-nimbang bagaimana raja berpidato kepada bawahannya agar taat pada kehendaknya sehingga kelak akan mendapat bagian kemenangan bersamanya. Akhirnya menimbang-nimbang kembali ketaatan bawahan kepada rajanya yang rela berkorban demi cinta kepada sesama.

4. Percakapan: wawancara dengan Tuhan sambil mohon rahmat agar

setia mengikuti dan meneladan Tuhan. Diakhiri dengan doa Bapa Kami satu kali.

Cara konkrit lain dalam mengatasi konflik adalah discernment menurut Ki Ageng Suryomentaram (Adimassana, 1986:83) yakni dengan mawas diri. Caranya sebagai berikut:

(70)

2. Membangkitkan kesadaran akan “aku” sejati yang seharusnya menjadi subjek yang menghayati hidup ini dengan disertai keberanian dan ketabahan untuk menghadapi kenyataan hidup yang dialaminya di sini pada saat ini, apapun wujudnya.

3. Mengambil keputusan atau menentukan sikap berdasarkan pemahaman terhadap situasi yang sedang dihadapi, dengan memperhatikan nilai-nilai yang diyakininya.

Menurut Paul Suparno (2009:58-62), terdapat model discernment pribadi yang dapat dilakukan pula untuk memilih atau menentukan keputusan. Yang diperlukan dalam model ini adalah pribadi tersebut menyediakan waktu cukup untuk tenang, berpikir, dan berdoa. Langkah-langkahnya seperti berikut:

1. Duduk tenang, entah di kamar, kapel, atau ruangan yang tenang. 2. Mengingat kembali dalam batin, tujuan hidup atau nilai yang menjadi

pegangan hidup.

3. Bahan pemilihan atau yang mau dijadikan keputusan diungkapkan, diekspresikan, dilihat, dihadapi.

4. Mohon terang dari Tuhan agar dapat melakukan pemilihan dengan baik sesuai kehendak-Nya dan menyerahkan semua hasil pemilihan kepada-Nya.

(71)

terlibat, unsur yang mendukung, dan unsur yang tidak mendukung. Semuanya dicatat dengan lengkap sehingga dapat menjadi pertimbangan.

6. Melihat alternatif terbaik atau kecenderungan.

7. Membawa dalam doa (unsur hati, afeksi). Dengan tenang, pilihan diserahkan kepada Tuhan dan mohon agar Tuhan memberikan tanda apakah pilihan itu yang terbaik bagi kemuliaan-Nya dan bagi hidup pribadi itu sendiri. Hening di hadapan-Nya, mendengarkan yang disampaikan-Nya. Bila dalam keheningan, hati merasa damai, gembira, semangat, dan semakin mencintai Tuhan; maka keputusan itu tepat. Jika sebaliknya, hati menjadi gundah, bingung, sedih, tidak damai; maka keputusan itu tidak tepat.

8. Sebaiknya membawa keputusan dalam doa tidak hanya sekali tetapi berkali-kali. Bila setiap kali membawa dalam doa hati menjadi damai, bahagia, maka pasti itulah yang dikehendaki Tuhan. Lalu dapat menjadikan pilihan itu keputusan hidup.

9. Bila Tuhan menunjukkan pilihan itu tidak tepat, maka dapat mengadakan pilihan ulang.

(72)

dalam pengolahan batin adalah agar orang dapat memilah-milah/membedakan gerakan roh dalam batin, menerima diri dan kenyataan hidup dengan tenang, dapat mengambil keputusan dengan tepat, dan mengubah diri selama masih dapat diubah. Orang yang berhasil melakukan pengolahan batin seperti ini dapat disebut orang yang proaktif.

Menurut Stephen Covey (1997:61-62), orang yang proaktif tidak menyalahkan keadaan, kondisi, atau pengkondisian untuk perilaku mereka. Perilakunya berdasarkan pilihan sadar, nilai, dan bukan dari perasaan. Mereka mempunyai kemampuan untuk menomorduakan impuls sesudah nilai. Maka orang yang proaktif mampu mengadakan perubahan positif, menjadi lebih banyak akal, lebih rajin, lebih kreatif, dan lebih mau bekerja sama. Sebaliknya orang yang reaktif seringkali dipengaruhi oleh lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan membangun kehidupan emosional di sekitar perilaku orang lain. Mereka digerakkan oleh perasaan, keadaan, kondisi, dan oleh lingkungan.

Discernment merupakan satu cara pemecahan konflik yang perlu

(73)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini membahas jenis penelitian, subjek penelitian, metode pengumpulan data, tahap-tahap penelitian, teknik analisis data, dan pemeriksaan keabsahan data.

A.Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Moleong menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah

Penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (2006:6).

Menurut Arikunto (2002:12), salah satu dasar filosofis dari penelitian kualitatif adalah “fenomenologis”, artinya bahwa kebenarannya diperoleh dengan cara menangkap fenomena atau gejala yang memancar dari subjek yang diteliti.

(74)

lebih memprihatinkan lagi, karena tidak mampu mengolah konfliknya cepat memutuskan untuk keluar dari biara. Berdasarkan fenomena itu peneliti memilih penelitian kualitatif karena peneliti ingin mengetahui discernment yang dilakukan oleh tiga suster SPM dalam menyelesaikan konflik dalam hidup membiara dan menemukan program pembinaan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan discernment.

Menurut Moleong (2006:8-13) ada beberapa karakteristik yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif. Pertama, penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu metode dengan menggunakan pengamatan, wawancara, atau penelaahan dokumen. Kedua, analisis data yang digunakan adalah analisis data induktif, di mana tidak hanya membatasi penelitian pada upaya menerima atau menolak dugaan melainkan mencoba memahami situasi sesuai dengan bagaimana situasi tersebut menampilkan diri. Alasan menggunakan analisis data induktif adalah lebih dapat menemukan kenyataan jamak yang terdapat dalam data; hubungan peneliti-responden lebih eksplisit, dikenal, dan akuntabel; menguraikan latar secara penuh; menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan; dan memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit. Ketiga, teori yang digunakan adalah teori dari dasar (grounded theory), artinya penyusunan teori substantif berasal dari data atau dari bawah

(75)

B.Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah tiga suster SPM yang tinggal di tiga komunitas yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ketiga suster tersebut merupakan sampel dari seluruh populasi para suster SPM. Keterangan mengenai karakteristik subjek penelitian dipaparkan dalam Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1

Karakteristik Subjek Penelitian

No Nama Umur

(th)

Tahap

Biara Komunitas

1 2 3

X Y Z

27 37 74

Yunior Medior Senior

Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Tengah

(76)

C.Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu bentuk penerimaan data yang dilakukan dengan cara merekam kejadian, menghitungnya, mengukurnya, dan mencatatnya (Arikunto, 2002:197). Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara berdasarkan pedoman wawancara tidak terstruktur. Pedoman wawancara tidak terstruktur adalah pedoman wawancara yang hanya memuat garis besar hal-hal yang akan ditanyakan. Tentu saja kreat

Gambar

Tabel  1  Karakteristik Subjek Penelitian
Tabel 2 Kisi-kisi Panduan Wawancara
Tabel 3 Hasil Penelitian dari Subjek Penelitian dan Sumber Lain

Referensi

Dokumen terkait