BAB III
PROFIL INFORMAN
III.1 Profil Informan
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai temuan data yang diperoleh dari
proses wawancara mendalam yang dilakukan terhadap informan. Data yang akan
disajikan dalam bab ini di antaranya meliputi identitas dan profil informan.
Berikut adalah tabel data informan:
Informan Usia Pendidikan Lama Tidak Bekerja Pekerjaan Istri
RA 28 SMA 1 Tahun Penjual Kue
NP 30 SMA 2 Tahun SPG Kosmetik
HPP 30 SD 2 Tahun Penjual Jus
Buah
SW 29 SD 2 Tahun Penjual Nasi
Campur
BS 30 SMP 2 Tahun Karyawan Peti
Kemas
III.1.1 Informan Pertama
Sabtu, 25 April 2015. Sekitar pukul 11.30 WIB, saya berada di sebuah
memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan saya datang ke rumahnya. Setelah
saya rasa cukup untuk memperkenalkan diri, maka saya segera membuka obrolan
dengan dia.
Informan pertama, berinisial RA. Dia adalah seorang pria yang lahir di
Surabaya dua puluh delapan tahun yang lalu. RA merupakan pria lulusan SMA
yang berperawakan tinggi dan berisi. Setelah lulus SMA, RA memutuskan untuk
segera menikah. Setahun setelah menikah, RA langsung dikaruniai seorang anak
berjenis kelamin laki-laki yang sudah memasuki usia enam tahun.
RA yang lahir di Surabaya 14 Januari 1987 adalah anak kedua dari empat
bersaudara. Kedua orang tua RA sampai saat ini masih bekerja di sebuah
perkantoran yang terletak di Surabaya. Dari hal tersebut, sewaktu kecil dia selalu
diasuh oleh asisten rumah tangganya. Sehingga RA seringkali merasakan
kekurangan perhatian dari orang tuanya, meskipun dia telah mempunyai banyak
saudara sekalipun. Berikut pernyataan RA:
“Saya dari kecil sampai sekarang ini selalu ditinggal bekerja terus sama orang tua saya mbak, berangkat pagi pulang malam, begitu terus setiap hari. Dulu waktu masih kecil, saya dan saudara-saudara saya sempat protes sama orang tua. Di lain sisi sebenarnya orang tua juga berat hati mbak, tapi semua balik lagi demi keluarga, karena memang banyak kebutuhan yang harus dikeluarkan. Dan pada akhirnya semua anak-anaknya semakin mengerti tentang kondisi keluarga yang seperti ini.” Meskipun kondisi keluarganya terbilang kurang harmonis karena
kesibukan dari kedua orang tuanya yang bekerja setiap hari tanpa mengenal
waktu luang. Sehingga hal tersebut mampu mengembalikan kehangatan antara
orang tua dan anak yang sempat hilang karena kesibukan masing-masing.
“Meskipun keluarga saya memiliki kesibukan yang sangat luar biasa, tapi jika ada waktu luang, kita selalu menyempatkan diri untuk sekedar makan bersama mbak. Karena menurut orang tua saya, momen seperti itu bisa mengembalikan kehangatan dan keharmonisan keluarga yang sempat hilang karena kesibukan masing-masing dari keluarga kita mbak.”
Setelah lulus SMA, RA sempat menjadi penjual kaos di salah satu distro.
Namun pekerjaan itu hanya bertahan selama empat tahun saja, hingga kini RA
belum mendapatkan pekerjaan lagi.
“Urusan pekerjaan saya memang tidak semulus seperti orang tua saya ya mbak, semenjak lulus sekolah saya iseng-iseng jualan baju barengan sama teman-teman. Tapi pekerjaan saya itu hanya bertahan selama empat tahun saja mbak, karena teman saya sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih mapan. Sementara saya belum mendapatkan pekerjaan sampai sekarang, hampir satu tahun saya menjadi pengangguran mbak.”
Kondisi ekonomi kedua orang tua yang mampu memberikan segala
fasilitas kepada semua anak-anaknya, membuat RA tidak begitu memusingkan
masalah pekerjaan yang belum didapatnya sampai saat ini, meskipun dia sekarang
sudah memiliki kehidupan sendiri bersama istri dan anaknya. Hal tersebut
diungkapkan RA, sebagai berikut:
orang tua, makanya ketika saya tidak kunjung mendapatkan pekerjaan pun saya tidak begitu ambil pusing mbak. Orang tuaku saja selalu memberikan uang setiap hari untuk kebutuhan saya dan istri beserta anak saya. Memang pada awalnya saya merasa tidak berguna sebagai seorang anak mbak, tapi mama saya merasa kasihan kepada saya karena belum mendapatkan pekerjaan, terlebih sama anak saya mbak.”
HK adalah istri dari informan pertama ini, ia merupakan seorang wanita
yang masih berusia dua puluh enam tahun. HK dilahirkan di sebuah keluarga
dengan kondisi ekonomi yang serba pas-pasan, kedua orang tuanya kini harus
berpisah dengannya dan lebih memilih untuk tinggal di desa. Pendidikan yang
ditempuh pun sama dengan suami, yaitu SMA. Ia sengaja tidak melanjutkan
pendidikannya lagi karena merasa kasihan dengan orang tua yang sudah terlalu
banyak mengeluarkan biaya untuk dirinya.
Sementara itu dalam memikirkan masa depan buah hatinya, mereka berdua
selalu bermusyawarah bersama mengenai penentuan lembaga pendidikan yang
tepat bagi masa depan sang anak. Meskipun RA merupakan seorang pria muda
yang hanya lulusan SMA, tetapi dia cukup mengetahui akan pendidikan yang baik
untuk sang anak.
Sebagai istri yang juga berperan sebagai penjual kue, ia tidak mau lepas
tangan dalam menentukan sekolah sang anak. Istri dari RA ini pun selalu ikut
andil dalam pemilihan sekolah yang terbaik untuk anaknya, ia berkata bahwa
lokasi sekolah harus menjadi penentuan awal sebelum mereka memutuskan untuk
melangkah lebih jauh.
Setiap orang tua tentunya akan menginginkan pendidikan yang terbaik
depan mereka. Oleh sebab itu sebelum menentukan sekolah untuk anaknya, RA
selalu mengutamakan visi dan misi dari sekolah tersebut. Sebab dari visi misi
itulah karakter sang anak akan terbentuk, hal tersebut juga harus diimbangi
dengan fasilitas yang memadai pula.
“Sebenarnya semua sekolah baik negeri maupun swasta itu kan sama ya mbak, kalau menurut saya sih yang membuat beda itu lebih ke fasilitas sekolahnya saja sih. Sebagai ayah pun saya juga lebih memprioritaskan fasilitas yang sangat memadai dan kurikulumnya sih mbak. Sebab saya rasa kedua hal itu akan mempengaruhi proses kegiatan belajar mengajar anak didiknya ya mbak.”
RA pun menegaskan bahwa pendidikan karakter anak perlu dibangun
sejak kecil, sehingga anak-anak akan memiliki kepribadian yang baik bagi
kehidupannya kelak. Oleh sebab itu, lembaga pendidikan yang baik adalah yang
mampu menjadikan anak didiknya menjadi manusia yang berguna bagi dirinya
sendiri maupun orang lain.
“Saya kalau melihat anak-anak sekarang itu suka sedih sendiri mbak. Bagaimana tidak sedih ya mbak, mereka seolah-olah sudah tidak lagi menghiraukan moralnya sendiri. Padahal hal terpenting dalam kehidupan seseorang itu dilihat dari kepribadiannya. Kalau moralnya itu sudah rusak, maka ke depannya juga akan sulit untuk dirubah. Makanya mbak saya mau membekali anak saya tentang pendidikan karakter, apalagi anak saya laki-laki kan mbak. Saya ingin ketika dia sudah dewasa nanti bisa menjaga nama baik dirinya sendiri dan keluarganya, mengingat anak laki-laki gampang sekali terjerumus sama lingkungannya.”
III.1.2 Informan Kedua
Selasa, 28 April 2015. Pukul 09.30 WIB, saya tiba di sebuah rumah yang
berlokasi di Jalan Kalisosok, Surabaya. Informan kedua saya ini berinisial NP. NP
merupakan seorang pria kelahiran Surabaya, 20 April 1985. Dia adalah anak
tuanya, hingga saat ini pun masih sering dianggap seperti anak kecil, meskipun
sekarang dia sudah mempunyai keluarga sendiri.
“Saya dari kecil selalu dimanjakan oleh kedua orang tua saya mbak, terutama mama saya. Mungkin karena saya merupakan anak terakhir kali ya mbak, jadi apa-apa selalu diberikan perhatian yang lebih daripada kedua kakak saya. Kadang saya juga sempat merasa agak risih sih, karena saya kan anak laki-laki, tapi masih saja dimanjain sama orang tua. Sampai saat ini pun mbak saya masih tetap dianggap anak kecil, padahal umur saya sudah tiga puluh tahun.”
NP merupakan seorang pria yang sangat beruntung. Sebab dia selalu
dimanjakan oleh kedua orang tuanya dan kedua kakak perempuannya, karena NP
merupakan anak bungsu dan anak laki-laki satu-satunya yang berada di dalam
keluarganya tersebut. Di usianya yang masih sangat muda sekitar dua puluh
tahunan, NP memberanikan diri untuk membangun bahtera rumah tangga. Semua
keperluan rumah tangganya pun sudah diatur oleh kedua orang tuanya, seperti
rumah, kendaraan, dll. Dan pada saat ini NP sudah mempunyai satu orang anak
laki-laki, yang sudah berusia enam tahun.
Meskipun selalu dimanjakan oleh kedua orang tuanya, tetapi hal tersebut
tidak membuatnya untuk selalu berpangku tangan. NP dulu pernah bekerja di
salah satu stasiun radio di Malang yang tidak mau disebutkan namanya, NP
bekerja menjadi penyiar radio selama empat tahun. Namun, seiring dengan
berjalannya waktu perubahan kondisi terhadap pekerjaan NP pun terjadi dan pada
akhirnya dia memutuskan untuk berhenti kerja menjadi seorang penyiar radio.
Berikut pernyataan NP:
mencoba bekerja sebagai penyiar radio mbak di salah satu stasiun di malang, tapi pekerjaan saya itu tidak bertahan lama, hanya empat tahun saja mbak. Ya pada waktu itu ada suatu masalah yang tidak terkontrol dengan pihak stasiun radio. Sehingga saya berpikir untuk mengundurkan diri sebagai penyiar radio dan memutuskan pulang kembali ke surabaya.”
Dan pada akhirnya NP harus menerima kenyataan pahit karena dia telah
berhenti dari pekerjaannya sebagai penyiar radio yang memang dia impikan sejak
kecil dan lebih memilih untuk menjadi pengangguran. Menjadi pengangguran
selama dua tahun diyakininya tidaklah mudah, banyak omongan negatif dari
tetangga, mengingat NP sudah mempunyai istri dan anak. Seiring dengan
berjalannya waktu, NP merasa dirinya sudah kebal akan hal itu. Sebab kedua
kakaknya dan orang tuanya selalu memberikan motivasi kepada dirinya.
Sebagai seorang lulusan SMA, NP merasakan kesulitan dalam mencari
pekerjaan di sebuah perusahaan. Sebab dapat diketahui bahwa Surabaya
merupakan kota yang sangat disiplin dan ketat dalam pemilihan
pegawai-pegawainya. Bisa dipastikan bagaimana sulitnya NP mencari pekerjaan yang
benar-benar sesuai dengan keinginannya menjadi pegawai kantoran.
menanggung ini semua, saya merasa tidak bisa lagi buat mencari pekerjaan yang baik. Sewaktu muda dulu saya sempat berpikir bahwa menjadi seorang penyiar radio pasti keren, dan memang pekerjaan itu yang sangat saya cita-citakan dari kecil. Namun kenyataannya sekarang saya sudah tidak bekerja disana lagi.”
Kondisi NP yang menjadi pengangguran hingga saat ini, tidaklah merubah
keadaan keluarga kecilnya. Sebab meskipun dia menganggur selama dua tahun.
Kehidupannya tidak pernah terlepas dari pengawasan orang tua dan kedua
kakaknya. NP mengutarakan bahwa setiap hari selalu diberi uang oleh orang
tuanya dan kadang kedua kakaknya juga masih suka memberikan kebutuhan
untuk anaknya. Berikut pernyataannya:
“Meskipun saya menganggur ya mbak, memang sih ada beberapa perubahan yang terjadi sama keluarga kecil saya. Tapi kadang-kadang saya juga merasakan suatu hal yang memang saya dapat dari orang tua dan kakak-kakak saya. Setiap hari mereka selalu membantu apa yang saya butuhkan dalam mengurus anak saya, kadang mereka memberikan uang saku sama anak saya ketika mereka sekolah, ya banyaklah mbak yang mereka berikan kepada keluarga kecil saya. Dari situ saya berpikir meskipun saya tidak bekerja, istri dan anak saya masih bisa mendapatkan semua kebutuhannya.”
Istri dari informan kedua saya ini berinisial TS, ia merupakan perempuan
berusia dua puluh delapan tahun yang berpendidikan hingga SMA. TS dilahirkan
di Tuban dengan kondisi ekonomi keluarga yang kurang mampu.
Sama halnya dengan informan sebelumnya, diakui NP bahwa sang istri
pun selalu ikut terlibat dalam pemilihan sekolah anaknya. Namun menurut
pengakuan suami, sang istri telah memberikan kepercayaan yang penuh mengenai
hal tersebut kepada dirinya. NP pun juga menuturkan bahwa dirinyalah yang lebih
keluarganya, tentunya hal itu juga terjadi dalam pemilihan lembaga pendidikan
untuk sang anak.
“Dalam pemilihan sekolah anak, istri selalu ikut campur mbak. Istri saya itu orangnya lebih kalem dan santai mbak, jadi apapun yang saya katakan pasti dituruti. Istri saya memang mempercayakan kalau saya juga bisa memilihkan sekolah yang terbaik untuk anak kita. Jadi ya meskipun kita berdua sudah mengeluarkan pendapatnya masing-masing, tetap keputusan ada sama saya mbak. Alasan lain sebenarnya ya karena yang memberikan biaya sekolah anak saya itu dari orang tua saya mbak, jadi ya mungkin itu salah satu faktor penyebab keputusan tetap berada di tangan saya. Istri saya sebenarnya juga berpenghasilan sih mbak, tapi saya rasa penghasilannya itu masih belum cukup untuk membiayai segala kebutuhan hidup yang semakin tinggi ini.”
Menurutnya pendidikan agama merupakan bekal yang sangat penting yang
harus diberikan oleh para orang tua kepada anaknya. Selain sekolah yang lebih
menekankan ilmu agamanya. NP juga memprioritaskan akreditasi dan fasilitas
pada sekolah tersebut. Kedua hal tersebut diyakini NP akan menjadi pertimbangan
para orang tua dalam menentukan lembaga pendidikan yang baik untuk
anak-anaknya.
“Tentunya saya juga harus mengetahui akreditasi dan fasilitas sekolah tersebut. Itu sangat penting untuk diketahui mbak, percuma saja kalau akreditasinya bagus tapi fasilitasnya tidak mendukung. Sekarang kan banyak yang seperti itu di sekolah-sekolah manapun. Jadi sebelum saya salah dalam membuat keputusan, lebih baik saya mencari info dulu tentang lembaga pendidikan yang tepat untuk anak saya.”
III.1.3 Informan Ketiga
Kamis, 30 April 2015. Sekitar pukul 18.00 WIB, saya bertemu dengan
informan ketiga ini di rumahnya yang berlokasi di Jalan Kembang Jepun,
Informan ketiga saya kali ini, berinisial HPP. Dia adalah pria kelahiran
Bojonegoro, 8 Agustus 1985. HPP merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Dia mempunyai seorang istri dan dua orang anak, yang berjenis kelamin laki-laki
dan perempuan, usia dari mereka adalah delapan tahun dan empat tahun.
HPP adalah seorang pria yang berbadan pendek, berisi, dan berambut
cepak. Informan saya ini terlihat mengalami sedikit gangguan ketika berjalan, hal
tersebut dikarenakan HPP mengalami gejala stroke di usianya yang terbilang
masih sangat muda. Meski begitu badannya masih terlihat sehat, karena memang
hanya kakinya saja yang terserang.
Pada waktu itu, anak pertama HPP yang berinisial OT sedang berada di
rumah. OT terlihat sangat ceria sekali, seolah-olah sudah terbiasa melihat ayahnya
dengan kondisi yang seperti ini. Namun, tidak lama kemudian OT menghampiri
ayahnya yang sedang berbicara dengan saya. Tanpa berpikir panjang, saya segera
bertanya kepada mereka mengenai kondisi ayahnya. Berikut pernyataan OT dan
TR:
“Saya kasihan mbak sama ayah, ayah pernah tidak bisa jalan gara-gara kakinya yang sakit itu. Ya kadang-kadang saya sama adik saya suka mijitin kaki ayah saya mbak, biar cepat sembuh.”
Sehari-hari HPP hanya berdiam diri di rumah, terkadang dia juga
membantu istrinya untuk membereskan rumah. Hal tersebut dilakukannya agar
otot-otot di kakinya tidak begitu kaku ketika digerakkan untuk berjalan. HPP juga
seperti itulah yang biasa dia lakukan demi membunuh rasa penatnya berada di
dalam rumah.
“Kegiatan saya sehari-hari ya hanya di rumah saja mbak, saya sudah tidak bisa jalan-jalan jauh lagi. Pernah suatu hari anak-anak saya ingin jalan-jalan sama saya dan ibu, tapi saya suruh ibunya saja yang menemani anak-anak. Kadang juga suka sedih mbak kalau ingat kejadian seperti itu, tapi saya selalu memberi pengertian sama anak-anak. Ya memang agak susah sih mbak memberi pengertian sama anak kecil, tapi saya selalu berusaha untuk telaten sama mereka. Penat juga saya berada di dalam rumah terus mbak, tapi kadang-kadang saya berusaha untuk melakukan aktivitas membereskan rumah, meskipun menyapu dan membersihkan jendela-jendela rumah saja. Kalau saya merasa kesepian karena anak-anak belum pulang sekolah, saya ke rumah tetangga saya mbak. Ya sekedar untuk bermain catur saja, biar saya tidak terlalu merasakan kesepian yang berlebih. Semenjak saya sakit ya hanya kegiatan seperti itu yang saya lakukan mbak, dan itu setiap hari.”
HPP dilahirkan dari keluarga yang kurang mampu, kondisi ekonomi
keluarga yang seperti itulah yang membuatnya hanya mampu menyelesaikan studi
hingga SD saja. Di masa mudanya dulu, HPP merupakan anak laki-laki yang mau
bekerja keras untuk keluarganya. Hal tersebut diakui oleh HPP, karena di usianya
yang masih dua belas tahun, bapaknya meninggal dunia. Kondisi seperti itulah
yang pada akhirnya membuat HPP rela menjadi tulang punggung bagi ibu dan
kedua adiknya. Hal tersebut dinyatakan oleh HPP, sebagai berikut:
“Saya dulu menjadi tulang punggung keluarga mbak, saya bekerja serabutan waktu itu. Uangnya saya kasih ibu buat kebutuhan sehari-hari, sisanya ditabung buat bayar sekolah adik-adik saya. Kehidupan saya memang sangat keras mbak, bapak saya meninggal dunia di saat usia saya yang masih dua belas tahun, semenjak kejadian itu saya harus menjadi tulang punggung keluarga.”
Sebelum menjadi pengangguran seperti sekarang ini, HPP pernah bekerja
di salah satu pabrik plastik. HPP bekerja sebagai buruh selama tiga tahun
menyelesaikan semua pekerjaannya. HPP begitu menikmati pekerjaannya,
meskipun hanya menjadi seorang buruh plastik. Tetapi, hal tersebutlah yang dapat
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Perjalanan hidup HPP dalam
menjalankan pekerjaannya tidak begitu lancar, HPP mengalami hambatan ketika
sedang bekerja. Berikut pernyataan HPP:
“Waktu itu saya lagi bekerja mbak, pada saat itu kondisi badan saya memang sedikit agak tidak enak juga. Sewaktu saya sudah sampai pabrik, tiba-tiba kepala saya agak sakit, tapi tidak saya hiraukan. Selang beberapa jam tiba-tiba mata saya gelap, badan terasa sempoyongan. Yang masih saya ingat sampai sekarang, ketika mata saya gelap dan badan sempoyongan itu, saya langsung pingsan, setelah itu saya tidak tahu bagaimana nasib saya pada saat itu. Dan ketika saya sadar dari pingsan, saya sudah berada di rumah sakit, istri dan anak-anak saya juga datang kesana. Tidak lama kemudian saya mendapatkan kabar bahwa saya terkena gejala stroke. Mulut saya mengalami kesulitan untuk berbicara dan kaki kanan saya mati rasa. Setelah saya mendapatkan pemeriksaan laboratorium secara lengkap, dokter pun langsung menyarankan saya untuk tidak boleh bekerja mbak. Saya tidak menyangka bahwa di usia saya yang masih tiga puluh tahun ini sudah terkena stroke, saya mengalami stres yang sangat luar biasa mbak pada waktu itu. Dan pada akhirnya saya memang benar-benar berhenti bekerja dan menjadi pengangguran selama dua tahun ini.”
LM adalah istri dari HPP, usianya masih sangat muda yaitu dua puluh
enam tahun. Ia merupakan seorang perempuan yang hanya berpendidikan hingga
SMP, dikarenakan kedua orang tua yang tidak mampu untuk membiayai
sekolahnya lagi. Yang kini harus menjadi seorang penjual jus buah guna
mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Dalam pemilihan sekolah untuk anaknya sang istrilah yang lebih berperan
dalam rumah tangganya. Meski mereka berdua masih saling membicarakan semua
masalah yang sedang terjadi, termasuk urusan pendidikan sang anak. Tetapi HPP
“Kalau untuk urusan sekolah anak, memang kita berdua masih saling berdiskusi mbak. Tapi semua keputusan lebih dipegang sama istri saya mbak, ya mungkin karena istri saya yang mengeluarkan biaya untuk anak-anak dan saya juga harus tahu dirilah mbak. Memang mencari nafkah itu juga tidak gampang.”
Dalam menentukan masa depan anaknya, HPP lebih memikirkan
mengenai biaya yang nantinya akan dikeluarkan. Meski dia tidak ikut membiayai
sekolah anak-anaknya, setidaknya agar beban yang ditanggung oleh istrinya tidak
terlalu berat.
“Bagian yang paling utama dalam menyekolahkan anak itu ya dari segi biayanya dulu mbak kalau menurut saya, mengingat saat ini pendidikan sangat mahal. Saya sendiri tidak terlalu mengutamakan fasilitas sekolah, yang terpenting anak saya bisa merasakan bangku sekolah saja sudah cukup mbak.”
Pendapat sang istri pun berbeda dengan HPP, menurut sang istri selain
biaya pendidikan, fasilitas sekolah juga merupakan salah satu kriteria yang harus
diperhatikan sebelum sang anak masuk ke dalam sekolah tersebut. Tanpa adanya
fasilitas belajar yang mampu mendukung, maka kegiatan belajar mengajar tidak
akan bisa berjalan dengan baik. Berikut pernyataan sang istri:
“Ya memang biaya itu sangat perlu sih mbak buat menentukan sekolah anak-anak saya, tapi fasilitas sekolah juga sangat penting untuk diperhatikan. Insya Allah saya masih bisa membiayai sekolah kedua anak saya.”
III.1.4 Informan Keempat
Sabtu, 2 Mei 2015. Pukul 13.00 WIB, saya berkunjung ke rumah informan
keempat yang berlokasi di Jalan Kalimas Barat, Surabaya. Informan keempat saya
mempunyai seorang istri dan seorang anak berjenis kelamin perempuan yang
berusia lima tahun.
SW dilahirkan dari keluarga yang kurang mampu, bapak SW yang bekerja
sebagai tukang becak dan ibunya sebagai buruh cuci di daerah sekitar rumahnya.
Menjadikannya hanya mampu menyelesaikan sekolahnya sampai dengan SDsaja.
Hal tersebut semakin terasa sulit karena SW harus ditinggalkan oleh kedua orang
tuanya yang meninggal dunia karena kecelakaan di saat usianya yang masih
berusia sembilan belas tahun. Sehingga SW harus hidup seorang diri, sebab
mengingat SW merupakan anak tunggal.
“Saya ini hanya lulusan SD mbak, memang saya ini lahir dari keluarga yang kurang mampu. Bapak saya dulu hanya jadi tukang becak dan ibu saya jadi buruh cuci di daerah sekitar rumah saya ini. Saya dulu hidup seorang diri mbak disini, semenjak orang tua saya meninggal dunia karena kecelakaan. Usia saya pada saat itu masih sembilan belas tahun dan saya harus mengurus rumah peninggalan orang tua saya ini sendiri, karena memang saya tidak punya saudara mbak. Dan kebetulan rumah yang saya tinggali sampai sekarang ini merupakan rumah milik orang tua saya mbak, Alhamdulillah orang tua punya rumah sendiri walaupun kecil.”
Sebelum menganggur seperti sekarang ini, ternyata SW pernah bekerja
sebagai penjual hewan ternak burung. Dia memperdagangkan hewannya tersebut
di pasar hewan yang berlokasi di Jalan Kupang, Surabaya. Berikut pernyataan dari
SW:
SW hanya bertahan selama tiga tahun saja sebagai penjual burung, hal itu
terjadi karena dia dan teman-temannya merasakan perubahan yang sangat drastis
terhadap masyarakat yang memang pada waktu itu peminat burung semakin
sedikit, bahkan pernah tidak ada satupun pembeli yang minat terhadap jualannya.
Masalah tersebut dirasakan SW akan membuatnya semakin rugi karena tidak
mendapatkan keuntungan, dan pada akhirnya dia memutuskan untuk berhenti
bekerja sebagai penjual burung. Kini SW menjadi pengangguran, padahal usianya
masih sangat muda yaitu dua sembilan tahun.
“Mau bagaimana lagi mbak, cari pekerjaan sekarang susahnya minta ampun. Sebelumnya saya juga pernah melamar pekerjaan di salah satu pabrik pipa, tapi pihak sana bilang kalau minimal harus lulusan SMA. Ya saya langsung mundur mbak, saya sudah kemana-mana cari pekerjaan, tapi tetap saja tidak ada yang mau menerima lulusan SD. Dan pada akhirnya saya memutuskan untuk tidak mencari pekerjaan, sampai akhirnya saya harus menjadi pengangguran selama dua tahun.”
RD adalah istri dari informan keempat saya ini yang merupakan seorang
penjual nasi campur, usianya lebih tua setahun dari sang suami yaitu tiga puluh
tahun. Menjadi orang Madura dan masih mengikuti budaya tradisional yang
menurut pengakuannya bahwa perempuan itu tidak perlu berpendidikan
tinggi-tinggi, sehingga ia hanyalah seorang perempuan dengan status pendidikan sebagai
lulusan SMP saja.
Menurut pengakuan dari keluarga SW, ketika mereka sedang mendapatkan
suatu masalah yang akan dihadapinya. Mereka akan menyelesaikannya secara
bersama-sama, termasuk urusan pendidikan sang anak. SW menegaskan bahwa
masalah tersebut selalu diserahkan kepada istrinya, sebab dia mengakui apabila
secara tepat memang dirasa sangat kurang. Mengingat SW merupakan seorang
pria yang hanya menyelesaikan studinya hingga SD saja.
“Semua keputusan rumah tangga saya, istri mbak yang menentukan. Ya saya yakin saja sama keputusan yang diambil oleh istri, toh istri saya juga pasti memikirkan yang terbaik untuk anak dan keluarganya.”
Ruang lingkup yang terbatas membuat SW kurang mengetahui
perkembangan pendidikan pada saat ini, dia tidak mengetahui kriteria-kriteria apa
saja yang akan diperlukan dalam menentukan sekolah yang terbaik untuk sang
anak. SW pun mengakui bahwa jenjang pendidikan yang ditempuh hanya sampai
pada SD saja, oleh sebab itulah SW kurang berpengalaman dalam mengenal dunia
pendidikan.
“Begini mbak, saya ini kurang mengerti tentang apa saja yang harus dilakukan dalam memilih sekolah untuk anak. Tidak pernah saya ini mendapatkan info-info tentang pendidikan.”
Sehingga sang istrilah yang pada akhirnya mengambil peran suami dalam
menentukan masa depan anaknya. Sebagai seorang ibu, ia tidak akan membiarkan
sang anak berkembang dalam lingkungan sekolah yang salah. Maka ia
memutuskan untuk mencari-cari info melalui tetangganya mengenai sekolah yang
tepat bagi sang anak. Berikut pernyataan sang istri:
III.1.5 Informan Kelima
Kamis, 7 Mei 2015. Sekitar pukul 15.00 WIB, saya bertemu dengan
informan kelima ini di sebuah rumah, tepatnya di Jalan Kalimati, Surabaya.
Setelah menjelaskan tujuan dari kedatangan saya, segeralah saya membuka
obrolan ini.
Informan kelima saya ini berinisial BS. Dia adalah pria kelahiran
Kalimantan, 24 Desember 1985. BS yang berawakan tinggi dan berambut cepak
ini merupakan seorang pria yang terbilang rajin membersihkan rumahnya, hal itu
terbukti ketika saya menemui di rumahnya, dia terlihat begitu cekatan dalam
membersihkan lantai rumahnya yang kotor.
BS merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Dia merantau ke
Surabaya bersama kedua orang tuanya di saat berusia tiga belas tahun. Keluarga
BS merantau dari Kalimantan ke Surabaya bukan tanpa alasan, orang tuanya
memiliki keinginan membuka usaha toko baju dan kini usaha tersebut berada di
Jembatan Merah Plasa (JMP). BS mengaku bahwa rumah yang ditinggali bersama istri dan anak perempuan yang masih berusia enam tahun sekarang ini merupakan
rumah kontrakan.
BS dilahirkan dari keluarga yang sangat pas-pasan, orang tuanya merantau
ke Surabaya pun karena ingin merubah nasibnya agar menjadi lebih baik lagi. BS
sendiri hanya mampu menyelesaikan studinya sampai SMP, sebab memang
kondisi ekonomi orang tuanya pada saat itu tidak mampu untuk
“Kondisi ekonomi orang tua saya dulu memang sangat pas-pasan sih mbak, sehingga orang tua saya memutuskan untuk merantau ke Surabaya untuk berjualan. Saya ingat sama masa kecil saya mbak, saya dulu kalau mau minta sesuatu sama orang tua itu nunggunya lama banget. Saya suka sedih kalau lihat teman-teman saya pada saat itu sudah memiliki handphone baru, sedangkan saya tidak punya sendiri. Kadang orang tua juga sempat bingung mau cari uang kemana lagi, mengingat saudara saya ada empat mbak.”
Kondisi keluarga yang seperti itu, membuat BS yang masih berusia dua
puluh tahun memutuskan untuk bekerja di salah satu rumah makan yang terdapat
di salah satu mall di Surabaya. Namun pekerjaan tersebut hanya mampu bertahan
selama empat tahun. BS memutuskan berhenti bekerja karena sudah tidak nyaman
lagi. Meski sempat berhenti bekerja, tetapi BS masih berusaha untuk mencari
pengganti pekerjaannya tersebut. BS mencari lowongan pekerjaan yang berada di
sekitar rumahnya dan membuahkan hasil, BS diterima bekerja di salah satu pabrik
dengan syarat dia hanya dikontrak selama tiga tahun saja. Seperi inilah pernyataan
BS:
“Saya dulu bekerja dari umur dua puluh tahun mbak, keinginan itu muncul secara tiba-tiba. Mungkin karena saya juga merasa kasihan sama orang tua yang mempunyai beban untuk membiayai adik-adik saya. Pada saat itu saya mencoba melamar kerja di salah satu rumah makan mbak dan Alhamdulillah diterima, saya bekerja di sana selama empat tahun mbak. Saya keluar dari kerjaan saya itu, karena sudah tidak nyaman lagi. Pekerjaan saya itu cukup membuahkan hasil mbak, saya bisa ngontrak rumah, sampai sekarang pun masih saya tinggali bersama istri dan anak. Setelah saya sempat berhenti kerja dari rumah makan itu, saya coba buat cari pekerjaan lagi mbak. Saat itu saya punya teman yang membantu saya agar bisa bekerja di salah satu pabrik, yang lokasinya memang lumayan dekat dengan kontrakan saya mbak. Dan pada akhirnya saya diterima untuk bekerja di sana mbak, tapi pihak pabriknya hanya mengontrak saya selama tiga tahun saja.”
Setelah BS berhenti dari semua pekerjaannya itu, dia memutuskan untuk
dengan ijazah yang hanya lulusan SMP. Dan akhirnya pun BS menjalani hidup
dengan status pengangguran muda yang sudah berjalan selama dua tahun.
“Ya setelah bekerja di pabrik itu, saya merasakan begitu kerasnya cari pekerjaan tetap di Surabaya ini. Sehingga pada akhirnya saya memutuskan untuk tidak mencari pekerjaan lagi mbak sampai sekarang.” Istri dari BS ini berinisial UH, UH adalah seorang perempuan yang
memiliki status pendidikan lebih tinggi dari suami yaitu SMA. UH merupakan
warga asli Surabaya yang masih berusia dua puluh sembilan tahun dan kini ia
harus menjadi tulang punggung keluarganya sebagai karyawan di salah satu
perusahaan peti kemas.
BS menuturkan bahwa ketika rumah tangganya sedang dihadapkan pada
suatu permasalahan, peran mereka berdua memang sama-sama digunakan. Salah
satunya adalah dalam menentukan masa depan sang anak, BS bersama istri
memang saling membantu dalam hal pendidikan anak.
Namun kondisi istri yang selalu berada di lingkungan pekerjaan setiap
hari, memudahkannya untuk mendapatkan info-info mengenai pendidikan yang
terbaik untuk sang anak. Sehingga ia lebih mudah dalam mengambil keputusan, di
mana sang istri yang merupakan tulang punggung keluarga juga merupakan salah
satu bentuk kekuasaannya dalam menentukan masa depan sang anak.
Dalam menentukan masa depan sang anak, informan BS lebih
memprioritaskan kurikulum agama yang berkualitas. Dia mengatakan bahwa
kualitas sekolah yang bagus akan menghasilkan putra-putri yang bagus pula untuk
ke depannya. Karena moral anak juga perlu dibangun dengan baik, mengingat
pada saat ini keadaan anak-anak sudah sangat mengkhawatirkan. Tetapi peran
orang tua juga harus tetap memantau perkembangan anak setiap harinya. Sebab,
meskipun orang tua sudah memberikan pendidikan yang terbaik untuk sang anak,
tapi hal tersebut belum menjadi jaminan bahwa sang anak akan bersikap baik
juga.
Meski BS sudah menentukan sekolah yang terbaik untuk anaknya, namun
keputusan justru berada pada sang istri. Menjadi tulang punggung keluarga yang
menjadi alasannya untuk mengambil peranan sang suami dalam menentukan masa
depan anaknya. Berikut pernyataan dari sang istri:
“Saya memang sependapat sama suami saya mbak mengenai kurikulum dan kualitas sekolah, karena kan ya memang itu yang perlu diperhatikan setiap orang tua sebelum menentukan pendidikan untuk anak-anaknya. Tapi menurut saya, saya yang lebih punya hak dalam menentukan sekolah untuk anak saya, karena biaya juga saya yang menanggung semua. Jadi ya pendidikan anak saya berada pada tangan saya mbak.”
III.2 Temuan Data
III.2.1 Kondisi Sosial Ekonomi Suami
Pekerjaan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap orang. Namun,
sudah bukan rahasia lagi jika pekerjaan di negeri ini merupakan sebuah masalah
yang sangat krusial. Mengingat masih banyak para masyarakat yang kesulitan
ke bawah. Telah kita ketahui bahwa pekerjaan merupakan salah satu sebuah
bentuk tanggung jawab kita kepada keluarga yang harus dijalankan. Oleh karena
itu, kondisi sosial ekonomi sebuah keluarga tentu menjadi salah satu faktor
penting terhadap masa depan sang anak, mengingat biaya pendidikan sekolah
yang semakin mahal.
Informan RA merupakan pria muda lulusan SMA, pernah bekerja sebagai
penjual baju di salah satu distro yang hanya bertahan selama empat tahun.
“Iya mbak, cari kerjaan sekarang susah banget. Apalagi buat orang -orang yang hanya lulusan SMA seperti saya ini. Yang jadi Sarjana saja kadang-kadang masih kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan.”
Meski RA menjadi pengangguran, namun kondisi ekonomi RA terbilang
masih cukup baik dalam menghidupi keluarga kecilnya. Sebab kedua orang tua
RA selalu memberikan semua kebutuhan yang diperlukan oleh anak dan istrinya,
meskipun sang istri telah mempunyai pekerjaan sendiri.
“Setiap hari orang tua selalu mengirim semua kebutuhan yang saya perlukan bersama keluarga saya mbak. Jadi ya meskipun saya tidak bekerja, tapi saya masih bisa menghidupi keluarga kecil saya mbak. Toh istri saya pun juga punya penghasilan.”
Berbeda dengan NP, informan kedua saya ini pernah memulai hidupnya
menjadi seorang penyiar radio di Malang. Hal tersebut merupakan impian NP
sejak kecil, tetapi NP harus berhenti di tengah jalan setelah berhasil menjadi
penyiar radio selama empat tahun. NP juga dibesarkan oleh keluarga yang
berkecukupan, hal tersebut diakui oleh NP semenjak dia berhenti menjadi seorang
tahun, memang lebih menggantungkan masa depan keluarganya kepada kedua
orang tua dan istrinya.
“Awal karir saya dulu sebelum menjadi pengangguran seperti sekarang ini, saya pernah menjadi penyiar radio mbak di Malang. Ya meskipun pekerjaan itu hanya bertahan selama empat tahun saja. Awalnya ya berat mbak untuk memulai perubahan hidup, mengingat saya dulu juga pernah menjalani hidup dengan bekerja setiap hari dan sekarang harus berdiam diri menjadi bapak rumah tangga. Saya sekarang menggantungkan semua kebutuhan rumah tangga saya kepada orang tua dan istri mbak, awalnya saya memang tidak mau merepotkan mereka lagi. Ya tapi namanya orang tua mbak, tidak ingin melihat anaknya susah. Apalagi dari kecil saya ini merupakan anak yang paling dimanja sama orang tua, karena saya anak bungsu dan laki-laki sendirian mbak di antara kakak-kakak saya yang perempuan. Dari situlah mbak orang tua selalu memberikan uang kepada saya untuk menafkahi anak saya, bahkan kedua kakak perempuan saya pun juga sering membelikan semua kebutuhan-kebutuhan yang anak saya perlukan mbak. Istri saya pun juga bekerja mbak, tetapi ya penghasilannya bisa dikatakan masih kuranglah mbak. Lambat laun saya merasa keenakan dengan kehidupan yang seperti ini, kedua orang tua dan kedua kakak serta istri saya yang mau menerima semua kekurangan saya dan mau menafkahi saya meski saya sudah menginjak usia tiga puluh tahun.”
Informan HPP merupakan seorang buruh pabrik plastik, namun hanya
berjalan selama tiga tahun. Penyakit stroke yang HPP alami, mengharuskannya
untuk berhenti bekerja hingga saat ini. Kini HPP sudah menjalani masa-masa
pengangguran selama empat tahun lamanya.
“Sejak saya sakit ini mbak, saya sudah tidak diperbolehkan lagi untuk bekerja. Saya mengalami gejala stroke yang menyerang kaki saya dan efeknya saya mengalami kesulitan untuk berjalan sampai saat ini.”
Kini HPP membebankan seluruh hidupnya kepada sang istri, sehari-hari
HPP menjadi bapak rumah tangga yang mengasuh kedua anaknya. Sesekali HPP
untuk pergi ke rumah tetangganya, hanya sekedar bermain catur. Hal tersebut
HPP lakukan untuk membunuh rasa penatnya ketika berada di dalam rumah.
“Kondisi saya yang seperti ini memaksa saya untuk membebankan semua kebutuhan keluarga kepada istri mbak. Sebenarnya saya juga kasihan mbak sama istri saya, apalagi anak-anak juga masih kecil. Biaya yang dikeluarkan juga cukup banyak. Tapi ya saya jalani saja mbak, toh ini juga sudah kehendak Allah.”
SW yang pernah menjadi penjual burung, kini harus rela kehilangan
pekerjaannya karena sepi peminat. SW merupakan seorang pria yang terlahir dari
keluarga kurang mampu, orang tuanya meninggal dan meninggalkan sebuah
rumah. Yang kini SW tempati bersama istri dan anaknya, dia menjadi
pengangguran selama empat tahun.
Hingga kini, SW tidak bekerja lagi. Dia menggantungkan hidupnya
kepada sang istri yang membuka warung nasi di depan rumahnya. Dari hasil
berjualan itulah, istri membiayai semua kebutuhan keluarganya.
BS merupakan pria pekerja keras yang kini menjadi seorang
pengangguran. BS merantau dari Kalimantan ke Surabaya bersama dengan kedua
orang tua dan kelima saudaranya. BS mengawali karirnya di Surabaya dengan
mencoba peruntungan menjadi karyawan di salah satu rumah makan, setelah
empat tahun berlalu akhirnya BS memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan itu.
Lalu dia mencoba untuk mencari pekerjaan lagi sebagai buruh pabrik, namun BS
hanya dikontrak selama tiga tahun oleh pihak pabrik tersebut.
Kini BS menjadi seorang pria muda pengangguran, dia sudah
menjalaninya selama dua tahun. Hingga saat ini BS hanya mengandalkan sang
istri yang bekerja sebagai karyawan peti kemas. Menurutnya, pekerjaan sang istri
merupakan pekerjaan yang dapat diandalkan.
“Sejak menjadi pengangguran ini mbak, kegiatan saya ya mengantar jemput istri kalau lagi bekerja. Antar anak ke sekolah juga, jadi lebih seperti bapak rumah tangga. Sesekali saya juga mengurus rumah mbak.”
Tabel III.2.1
Kondisi Sosial Ekonomi Suami
Informan Kondisi Ekonomi Suami
RA RA merupakan pria yang pernah bekerja sebagai penjual baju di salah satu distro di daerah Surabaya. Namun kini harus terhenti dan lebih memilih menggantungkan hidupnya kepada orang tua dan istri. NP Tidak bekerja lagi setelah sempat menjadi penyiar radio, kini NP
membebankan biaya hidup keluarganya kepada sang istri, kedua orang tua, serta kakaknya.
memutuskan untuk berhenti bekerja setelah mengalami sakit. Sehingga HPP harus menggantungkan biaya hidup keluarganya kepada sang istri.
SW SW sudah tidak bekerja lagi setelah menjadi penjual hewan ternak burung. Oleh karenanya informan SW kini lebih membebankan semua kebutuhan keluarganya pada istri.
BS BS yang merupakan pria rantauan dari Kalimantan, harus menjalani lingkungan pekerjaan yang sangat keras. Sebelumnya BS sempat menjadi karyawan rumah makan dan buruh pabrik. Hingga kini BS menggantungkan semua kebutuhan hidup keluarganya kepada istri. Tabel tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan merupakan suatu hal yang
sangat penting bagi setiap orang. Di mana kondisi ekonomi sebuah keluarga
menjadi salah satu faktor utama terhadap kelangsungan hidup seseorang.
III.2.2 Pekerjaan Istri
Dalam kehidupan manusia, kebutuhan ekonomi merupakan kebutuhan
primer yang dapat menunjang kebutuhan hidup yang lainnya. Kesejahteraan
manusia dapat tercipta manakala kehidupannya ditunjang dengan perekonomian
yang baik pula. Di era globalisasi ini wanita juga ikut andil dalam melakukan
pekerjaan di luar rumah dalam membantu keuangan keluarga dan suami,
walaupun bukan merupakan suatu kewajiban.
Melihat sang suami hanya mengandalkan biaya hidup keluarganya dari
kedua orang tua, membuat sang istri merasa khawatir dengan kehidupan
keluarganya kelak. Sehingga ia memutuskan untuk berjualan kue, mengingat istri
“Saya dulu sempat tidak kerja mbak, tapi lambat laun saya kepikiran juga sama keluarga saya. Apalagi saya juga sudah mempunyai anak, yang memang kebutuhan hidup saat ini juga semakin tinggi. Suatu hari saya ingat kalau saya kan punya keahlian dalam membuat kue, dan akhirnya saya iseng-iseng untuk memulai berjualan kue mbak. Alhamdulillah masih banyak orang yang berminat untuk membeli dagangan kue saya, walaupun hasilnya juga tidak menentu. Tapi ya lumayanlah mbak untuk kegiatan saya juga, daripada berdiam diri malah bikin stres.”
Istri dari informan pertama ini pada awalnya merasa terbebani akan dua
peran yang dilakukannya sekaligus. Selain menjadi ibu rumah tangga yang
mengatur segala keperluan anak dan keluarganya, ia harus menjadi pencari nafkah
juga. Meskipun hal itu bukan merupakan paksaan dari sang suami yang
mengharuskannya untuk bekerja mencari biaya hidup.
“Awalnya sih sangat keberatan mbak, di mana-mana kan istri itu mengurus rumah tangga dan anak sementara suami yang bekerja. Tapi ini malah kebalikannya, suami saya juga masih belum mendapatkan pekerjaan yang baik. Suami saya terlalu keenakkan mbak, karena ibu bapaknya masih memperhatikan dia. Bahkan setiap hari saya sering bertengkar sama suami saya, saya selalu menyuruhnya untuk segera mencari pekerjaan. Toh mau sampai kapan dia harus menggantungkan biaya hidup keluarganya sama orang tua, saya kan juga tidak enak mbak sama mertua saya. Ya mudah-mudahan saja suami saya bisa secepatnya mendapatkan pekerjaan, sebenarnya saya sih santai-santai saja mbak jualan kue ini. Tapi kan mbak tahu sendiri penghasilan dari dagang kue ini berapa, pasti tidak menentu mbak. Makanya itu saya berharap supaya suami bisa cepat-cepat bekerja, umur juga masih cukup muda. Saya rasa sih tidak ada yang terlambat ya mbak, selama kitanya sendiri juga masih ada kemauan untuk memperbaiki hidup.”
Informan NP yang juga masih mengandalkan segala kebutuhan hidup
keluarganya kepada orang tua dan kakaknya, membuat sang istri berinisiatif untuk
membantu dalam mencari biaya tambahan keluarganya. Hingga kini aktivitas istri
dari NP selain menjadi seorang istri dan ibu, ia harus mencari nafkah di luar
“Saya kalau tidak kerja itu rasanya tidak enak mbak, kepikiran sama kebutuhan anak juga. Suami juga masih belum mendapatkan pekerjaan lagi semenjak berhenti jadi penyiar radio. Ya sampai sekarang ini saya jadi spg kosmetik mbak. Gajinya juga lumayanlah mbak, masih bisa untuk mencukupi kebutuhan anak saya. Ya awalnya memang sempat stres juga lihat suami tidak kerja, tapi ya saya percaya kalau yang namanya rezeki itu tidak akan tertukar. Pokoknya minta terus mbak sama Allah, biar dikasih tambahan rezeki lagi. Terutama buat suami agar bisa mendapatkan pekerjaan lagi, toh meskipun suami saya sudah bekerja ibaratnya, saya masih tetap akan bekerja mbak. Karena itu juga sudah kewajiban kita sebagai suami istri untuk saling membantu dan menghidupi keluarga.”
Berbeda dengan kondisi ekonomi HPP. Sang istri membantu suami yang
tidak bisa menghidupi keluarganya lagi karena mengalami sakit-sakitan. Kini
aktivitas sang istri dalam kesehariannya hanya berjualan jus buah di daerah dekat
rumahnya.
“Saya mencoba membantu suami untuk menghidupi kedua anak saya mbak, sampai saat ini pun saya berjualan jus buah. Awalnya juga sempat terbebani mbak dengan kondisi keluarga yang seperti ini, saya harus mengatur segalanya seorang diri. Melihat suami juga sakit-sakitan seperti itu, ya memang takdir Tuhan kan tidak ada yang tahu ya mbak. Siapa yang mau hidup di dalam lingkaran rumah tangga yang kondisi ekonominya seperti ini. Tapi ya saya pikir-pikir untuk apa saya marah dan mengeluh, toh pada akhirnya kehidupan ini juga terus berjalan. Saya kadang juga capek sendiri mbak kerja banting tulang begini, belum lagi harus mengurusi keperluan anak dan rumah tangga. Tapi ya saya pasrah saja mbak sama Tuhan, meskipun penghasilan dari kerja ini tidak seberapa tapi ya Alhamdulillah hasilnya masih cukup untuk membiayai keluarga saya mbak.”
Sementara istri dari SW, sudah sejak lama menjalani pekerjaannya sebagai
penjual nasi di depan rumahnya. Ia memang memiliki keterampilan dalam bidang
memasak, dari situlah istri SW mulai berpikir untuk membuka warung nasi.
Pekerjaan tersebut rela dilakukannya demi memenuhi kebutuhan ekonomi
“Setiap hari saya berjualan nasi mbak di depan rumah ini, Alhamdulillah mbak tetangga banyak yang beli. Kadang-kadang juga ada tetangga yang pesan nasi buat syukuran. Makanya mbak saya juga senang kalau jualan saya laku setiap hari. Seenggaknya hasil dari jualan nasi ini bisa saya gunakan untuk membeli kebutuhan rumah tangga dan buat biaya anak sekolah mbak.”
Menurutnya, ia pasrah akan takdir yang sedang dilaluinya saat ini.
Mempunyai seorang suami yang bahkan menurutnya sudah tidak bisa lagi
diandalkannya itulah yang membuat ia harus rela mati-matian mencari uang
seorang diri untuk mencukupi kebutuhan hidup anaknya.
“Bagaimana lagi ya mbak, cari kerjaan ini juga susah. Apalagi suami saya itu hanya lulusan SD, lah yang pendidikannya lebih tinggi saja kadang-kadang masih ada yang tidak dapat kerjaan. Bagaimana jadinya kalau seperti suami saya begitu mbak, jujur saja ya mbak saya itu sudah tidak mengandalkan suami saya lagi dalam menghidupi keluarga ini. Jadi ya hari-harinya saya suruh antar saya ke pasar untuk belanja keperluan jualan ini, pusing saya mbak sama suami saya itu. Sekarang ini saya pasrah saja sama Allah, kalaupun saya memang digariskan hidup seperti ini ya sudah saya jalani saja. Harapan saya ya pekerjaan saya ini tetap bisa mencukupi biaya hidup anak saya dan keluarga.”
Istri yang bekerja di sebuah perusahaan peti kemas diakui BS dapat
memenuhi semua kebutuhan ekonomi keluarganya. Diakui sang istri bahwa
penghasilannya memang lumayan besar, sehingga ia bisa menghidupi kebutuhan
hidup anak dan keluarganya. Hal tersebut yang membuat sang istri tidak ingin
berhenti bekerja, mengingat BS belum mendapatkan pekerjaan lagi semenjak
berhenti menjadi karyawan pabrik.
Menjadi tulang punggung keluarga diakuinya adalah sebuah tantangan
yang sangat berat, menurutnya hal ini tidak sepantasnya dilakukan oleh istri.
Tetapi melihat kondisi ekonomi keluarga yang seperti ini, mengharuskan untuk
melakukan pekerjaannya ini meski sedikit terpaksa. Berikut pernyataan sang istri:
“Berat banget mbak harus menjadi seorang perempuan yang melakukan dua peran ini, menjadi ibu rumah tangga saja sudah sangat berat. Ya mengasuh anaklah, membereskan rumah, memasak. Bahkan kini saya harus mencari nafkah juga buat keluarga, ini menurut saya tantangan yang paling-paling berat mbak. Merasa terbebani sih pasti iya mbak, tidak mungkin tidak. Mau marah pun juga rasanya percuma, apalagi saya juga selalu teringat-ingat sama anak saya mbak. Mau jadi seperti apa nanti masa depan anak saya, kalau saya tidak bekerja. Jadi ya meskipun agak terpaksa menjadi tulang punggung keluarga, tapi saya masih tetap harus melakukan ini. Ya semoga saja suami saya bisa mendapatkan pekerjaan lagi, biar bisa sama-sama mempunyai penghasilan.”
Tabel III.2.2
Pekerjaan Istri
Informan Pekerjaan Istri
RA Selain melakukan pekerjaan rumah, HK juga bekerja sebagai penjual kue.
NP Spg kosmetik merupakan pekerjaan yang harus dijalani oleh TS setiap harinya.
HPP Menjadi penjual jus buah adalah pekerjaan LM. SW Berjualan nasi adalah pekerjaan RD sehari-hari.
BS UH merupakan seorang istri yang menjadi karyawan di sebuah perusahaan peti kemas.
Dalam mencapai sebuah kesejahteraan hidup, seorang istri ikut andil
dalam melakukan pekerjaan di luar rumah. Walaupun hal tersebut bukan
merupakan suatu kewajiban seorang istri.
III.2.3 Dominasi Keluarga dalam Penentuan Sekolah Anak
Pada umumnya, setiap individu berkeinginan memiliki posisi terhormat di
hadapan orang lain dan setiap individu meyakini bahwa kehormatan adalah
kebutuhan nalurinya. Orang tua sebagai pendidik utama di keluarga harus bekerja
sama dalam mendidik sang anak, terutama dalam menentukan sekolah yang tepat.
Bagi suami yang mempunyai kelebihan ilmu dan keterampilan mendidik, harus
mengajarkan kepada istrinya dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian suami
istri saling menutupi kelemahannya masing-masing, sehingga dapat menciptakan
hubungan keluarga yang tetap harmonis.
RA merupakan seorang pria muda yang hanya lulusan SMA, tetapi dia
cukup mengetahui akan pendidikan yang baik untuk sang anak. Meski kini RA
menjadi ayah pengangguran, namun dia masih mempunyai peran yang cukup
tinggi dalam menentukan pendidikan yang akan dipilih untuk sang anak.
Sebagai istri yang juga berperan sebagai penjual kue, ia tidak mau lepas
tangan dalam menentukan sekolah sang anak. Istri dari RA ini pun selalu ikut
andil dalam pemilihan sekolah yang terbaik untuk anaknya, ia berkata bahwa
lokasi sekolah harus menjadi penentuan awal sebelum mereka memutuskan untuk
istri. Tetap suamilah yang akan menentukan semua keputusan keluarganya,
termasuk masalah penentuan sekolah sang anak.
“Sebelum menentukan keputusan yang akan saya ambil, saya selalu membicarakan dulu sama istri mbak, bagaimana enaknya. Termasuk dalam penentuan sekolah anak saya. Setelah saya rasa sudah mendapatkan hasil terbaik dengan segala pertimbangan yang ada, barulah keputusan itu balik lagi sama saya mbak. Saya yang akan menentukan hasil akhirnya.”
NP pun juga menuturkan bahwa dirinyalah yang lebih memegang kendali
dalam memutuskan setiap masalah yang terjadi pada keluarganya. Tentunya hal
itu juga terjadi dalam pemilihan lembaga pendidikan untuk sang anak, sebab hal
tersebut yang akan menentukan karakter anaknya pada masa depan kelak.
Diakui NP bahwa sang istri pun selalu ikut terlibat dalam pemilihan
sekolah anaknya, namun menurut pengakuan suami, sang istri telah memberikan
kepercayaan yang penuh mengenai hal tersebut kepada dirinya.
“Dalam pemilihan sekolah anak, istri selalu ikut campur mbak. Istri saya itu orangnya lebih kalem dan santai mbak, jadi apapun yang saya katakan pasti dituruti. Istri saya memang mempercayakan kalau saya juga bisa memilihkan sekolah yang terbaik untuk anak kita. Jadi ya meskipun kita berdua sudah mengeluarkan pendapatnya masing-masing, tetap keputusan ada sama saya mbak. Alasan lain sebenarnya ya karena yang memberikan biaya sekolah anak saya itu dari orang tua saya mbak, jadi ya mungkin itu salah satu faktor penyebab keputusan tetap berada di tangan saya. Istri saya sebenarnya juga berpenghasilan sih mbak, tapi saya rasa penghasilannya itu masih belum cukup untuk membiayai segala kebutuhan hidup yang semakin tinggi ini.”
Berbeda dengan informan HPP. Kali ini justru sang istrilah yang lebih
berperan dalam rumah tangganya. Meski mereka berdua masih saling
sang anak. Tetapi HPP merasa tidak terlalu ikut campur dalam penentuan
pendidikan anak-anaknya.
“Kalau untuk urusan sekolah anak, memang kita berdua masih saling berdiskusi mbak. Tapi semua keputusan lebih dipegang sama istri saya mbak, ya mungkin karena istri saya yang mengeluarkan biaya untuk anak-anak dan saya juga harus tahu dirilah mbak. Memang mencari nafkah itu juga tidak gampang.”
Sang istri yang berjualan nasi, mengharuskannya untuk mengatur semua
urusan rumah tangganya. Terutama mengenai pendidikan sang anak, sebab hal
tersebut diyakininya akan mengubah derajat keluarganya pada masa yang akan
datang nanti. Menurut pengakuan dari keluarga SW, ketika mereka sedang
mendapatkan suatu masalah yang akan dihadapinya. Mereka akan
menyelesaikannya secara bersama-sama, termasuk urusan pendidikan sang anak.
SW menegaskan bahwa masalah tersebut selalu diserahkan kepada
istrinya, sebab dia mengakui apabila kemampuannya dalam menentukan
pendidikan sang anak yang harus dilakukan secara tepat memang dirasa sangat
kurang. Mengingat SW merupakan seorang pria yang hanya menyelesaikan
studinya hingga SD saja.
“Semua keputusan rumah tangga saya, istri mbak yang menentukan. Ya saya yakin saja sama keputusan yang diambil oleh istri, toh istri saya juga pasti memikirkan yang terbaik untuk keluarganya.”
Keluarga BS mempunyai kesamaan terhadap informan sebelumnya. Kali
ini sang istri pulalah yang akan mengambil peran sebagai pengambil keputusan di
dalam keluarganya. BS menuturkan bahwa ketika rumah tangganya sedang
digunakan. Salah satunya adalah dalam menentukan masa depan sang anak, BS
bersama istri memang saling membantu dalam hal pendidikan anak.
Namun kondisi istri yang selalu berada di lingkungan pekerjaan setiap
hari, memudahkannya untuk mendapatkan info-info mengenai pendidikan yang
terbaik untuk sang anak. Sehingga ia dapat lebih mudah dalam mengambil
keputusan. Sang istri yang merupakan tulang punggung keluarga juga menjadikan
salah satu bentuk kekuasaannya dalam menentukan masa depan sang anak.
“Yang menentukan sekolah anak, istri saya mbak. Memang pada awalnya kita berdua sudah membicarakannya, tapi saya lebih menyerahkan semua urusan pendidikan anak sama istri saya mbak. Pikiran saya, ya karena istri saya yang lebih berada di luar rumah, sehingga hal tersebut juga akan mempengaruhinya untuk mendapatkan info-info mengenai dunia pendidikan.”
Tabel III.2.3
Dominasi Keluarga dalam Penentuan Sekolah Anak
Informan Dominasi Keluarga dalam Penentuan Sekolah Anak
RA RA secara ekonomi di dukung oleh orang tuanya, sehingga RA lebih dominan dalam menentukan pendidikan anaknya.
NP NP lebih dominan dalam menentukan pendidikan anaknya, karena ada keterlibatan orang tua dari segi ekonomi.
HPP Memiliki penghasilan lebih tinggi dari suami, membuat istri lebih dominan dalam menentukan pendidikan anaknya.
SW Dari segi kemampuan, istri lebih dominan dalam menentukan pendidikan anaknya
Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Adanya campur tangan orang tua suami terhadap perekonomian keluarganya, menjadikan suami yang tidak bekerja lebih dominan dalam menentukan pendidikan anaknya.
2. Ekonomi orang tua suami yang tinggi akan mempengaruhi peran suami yang tidak bekerja dalam mengambil keputusan keluarga.
3. Dalam menentukan pendidikan anaknya, penghasilan istri yang lebih tinggi dari suami sangatlah berpengaruh.
4. Kemampuan berkomunikasi suami yang lebih rendah dari istri, menjadikan istri lebih dominan dalam menentukan pendidikan anaknya.
Matriks IV.1
Kondisi Sosial Ekonomi Suami, Pendidikan Suami Istri, dan Pekerjaan Istri.
tulang punggung keluarganya. SW SW dilahirkan di dalam
Matriks IV.2
Proses Pengambilan Keputusan, Interaksi, dan Dominasi