RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Donna Ayu Anggraeny, dilahirkan di kota Surabaya pada
tanggal 24 Juli 1993. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari
pasangan Djumadi Faisal, IR dan Menik Ati, S.E. Pendidikan yang ditempuh
Penulis dimulai dari TK Aisyiyah Bustanul Athfal 4, SD Muhammadiyah 11, SMP Ta’miriyah, SMA Ta’miriyah, dan kini Penulis masih terdaftar sebagai Mahasiswi Program Studi S1 Sosiologi Angkatan 2011 di Universitas Airlangga.
DATA PRIBADI
Nama : Donna Ayu Anggraeny
Tempat/Tanggal Lahir : Surabaya, 24 Juli 1993
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Dupak Bangunsari V/4 Surabaya
TRANSKRIP WAWANCARA
Informan Pertama
Sabtu, 25 April 2015. Sekitar Pukul 11.30 saya berada di rumah informan
pertama saya, tepatnya di daerah Pesapen Kali. Setibanya disana, saya pun segera
memperkenalkan diri bahwa kedatangan saya adalah untuk mencari data dalam
menyelesaikan penulisan skripsi. Setelah memperkenalkan diri, barulah saya
membuka obrolan.
Namanya siapa pak? ”Nama saya RA mbak”, Umurnya berapa? “Dua puluh delapan tahun”, Pendidikan terakhirnya apa ya pak? “Saya SMA mbak”, Asli Surabaya ya pak? “Iya mbak, Surabaya tulen saya ini”, Oh iya pak, sebelum
menganggur seperti sekarang ini, apa bapak dulu pernah bekerja? “Pernah mbak, dulu saya sempat dagang kaos di distro, tapi bertahan sampai empat tahun saja”, Kenapa sekarang tidak cari kerjaan lagi pak? “Sudah sempat cari sih mbak, tapi belum ada yang kena”, Sudah berapa lama bapak menjadi pengangguran? “Sudah berjalan selama satu tahun mbak”.
Terus untuk membiayai kebutuhan hidup istri sama anak, dapat uang
darimana pak? “Dari orang tua saya mbak”, Oh ya? “Iya mbak, jadi kedua orang
tua saya itu semuanya bekerja. Papa kerja di salah satu perusahaan di Surabaya,
nah kalau mama kerja di kantor gubernuran mbak. Tiap hari mereka selalu
memberikan saya uang untuk biaya hidup keluarga saya. Ya, memang pada
masih mengandalkan biaya dari orang tua. Tapi mama saya merasa kasihan sama
saya mbak, soalnya belum mendapatkan pekerjaan lagi. Terlebih lagi sama anak
saya. Ya orang tua mana sih mbak yang tega lihat cucunya sengsara”.
Isti bapak kerja juga kan? “Iya mbak, istri saya kerja jualan kue”, Kenapa tidak istri saja pak yang biayai kebutuhan anak?, “Nah itu masalahnya mbak,
penghasilan jualan itu berapa sih, toh yang beli juga tidak tentu. Kadang rame,
kadang sepi. Sementara biaya hidup sekarang pada mahal-mahal, tapi ya saya
sangat bersyukur sekali punya istri yang punya keinginan buat bantu suaminya
cari uang. Harapan saya sih, ya mudah-mudahan saya cepat dapat kerjaan lagi”.
Latar belakang kehidupan orang tua bapak sendiri itu seperti apa sih?
“Orang tua saya itu mempunyai empat orang anak mbak, saya sendiri anak kedua.
Dari kecil kami sudah terbiasa diasuh sama asisten rumah tangga. Keluarga kami
memang sudah menganggap asisten rumah tangga itu seperti saudara sendiri, jadi
mungkin itu alasan orang tua saya percaya untuk menitipkan anak-anaknya ketika
mereka sedang bekerja. Orang tua saya semuanya memang pekerja keras ya mbak,
mereka kerja dari pagi sampai malam hari. Dulu kami juga sempat merasakan
kekurangan perhatian dari papa sama mama, tapi setelah mereka menjelaskan
kepada kami semua. Akhirnya anak-anaknya juga sudah mulai mengerti. Orang
tua saya itu selalu memanjakan semua anak-anaknya mbak, segala fasilitas yang
kami perlukan pasti ada di rumah”.
anaknya? “Kelas satu mbak”, Kalau saya boleh tahu, apa sih pak yang jadi acuan bapak sebelum menentukan pendidikan untuk anak? “Sebelum memutuskan
lembaga pendidikan untuk anak saya mbak, saya selalu memprioritaskan visi dan
misi dari lembaga pendidikan itu. Terus kurikulumnya juga harus baik dan juga
fasilitasnya harus memadai juga. Karena bagi saya itu merupakan suatu hal yang
harus diketahui oleh orang tua sebelum memasukkan anaknya ke dalam lembaga
pendidikan”, Benar banget pak, tentunya juga harus sesuai dengan bakat sang anak. “Iya mbak, sebisa mungkin saya akan belajar dari pengalaman saya sendiri”.
Sebelum menentukan sekolah untuk anak, apakah bapak sama istri juga
masih bermusyawarah dulu? “Iya mbak selalu itu, kita kalau ada masalah apapun di dalam keluarga ini pasti saling membicarakan sama-sama. Ya termasuk urusan
sekolah anak ini, karena kan ini tentang masa depan anak kita ya mbak, jadi ya
semaksimal mungkin kita akan lakukan apapun yang terbaik untuk anak”.
Kalau saya boleh tahu, kira-kira diantara bapak sama istri siapa yang pada
akhirnya mengambil keputusan mengenai penentuan sekolah anak? “Jujur saja ya
mbak, meskipun saya menganggur begini. Tapi saya masih menjalankan peran
saya sebagai seorang suami, jadi ya meskipun saya sama istri saling berpendapat
mengenai pendidikan yang cocok untuk anak kita. Tetapi tetap saya mbak yang
menentukan sekolahnya, ya alasannya karena dari segi biaya sekolah anak saya
Setelah saya rasa cukup untuk bertanya kepada RA, barulah saya beralih
untuk bertanya kepada sang istri.
Namanya siapa bu? “Nama saya HK Mbak”, Umurnya berapa? “Dua puluh enam tahun mbak”, Pendidikan terakhir ibu dulu apa kalau saya boleh tahu? “Pendidikan saya hanya sampai tingkat SMA saja mbak”, Sama ya bu dengan bapak? “Iya mbak”, Oh iya, apa ibu juga asli warga Surabaya? “Saya orang Tuban
mbak, setelah menikah ini saya menetap di Surabaya”, Maaf ya bu, kondisi ekonomi orang tua dari ibu itu seperti apa ya? “Orang tua saya itu kehidupannya
ya sederhana saja sih mbak, bisa dikatakan juga serba pas-pasan. Jadi kalau
dikatakan dari keluarga mampu ya tidak juga, dikatakan keluarga tidak punya ya
tidak juga. Jadi ya di tengah-tengahlah mbak”.
Ibu ini kan kerja ya, kalau saya boleh tahu apakah ibu ini tidak merasa
terbebani harus menjadi ibu rumah tangga yang mengatur semua keperluan
keluarga dan harus mencari nafkah juga? “Awalnya saya juga keberatan mbak, merasa terbebani sudah pasti ada lah ya mbak. Tapi ya pada akhirnya saya harus
ikhlas menjalankan peran ini, karena saya juga mempunyai anak yang memang
harus dibiayai hidupnya. Jadi meskipun capek, tapi kalau sudah ingat sama anak
itu rasanya semangat mbak”.
Setelah saya rasa wawancara dengan informan pertama ini sudah cukup,
Informan Kedua
Kamis, 28 April 2015. Pukul 09.30 saya bertemu dengan informan kedua
ini di daerah Kalisosok. Saya pun segera membuka obrolan dengan dia.
Maaf pak, namanya siapa? “NP mbak”, Umur bapak berapa? “Tiga puluh tahun”, Pendidikan terakhirnya pak? “Pendidikan saya SMA mbak”, Bapak ini asli orang Surabaya? “Iya”, Sebelumnya saya minta maaf ya pak, apakah bapak ini sebelumnya pernah bekerja? “Sebelum menganggur seperti ini, dulu saya
sempat jadi penyiar radio mbak di Malang. Tapi pekerjaan saya disana hanya
sekitar empat tahunan saja mbak”. Kenapa bisa berhenti pak? “Ya sudah tidak nyaman lagi berada disana mbak, ada suatu masalah yang mengharuskan saya
harus mengundurkan diri sebagai penyiar radio”, Lah terus bapak sudah menganggur selama berapa tahun? “Sudah dua tahunan mbak, saya merasa kurang
nyaman malahan dengan status seperti ini. Merasa ngecewain orang tua yang
jelas, belum lagi sama istri dan anak. Apalagi tetangga disini itu suka ikut campur
urusan rumah tangga orang mbak, bahkan saya dulu sempat dijadikan bahan
gosipnya mereka. Ya tapi saya masih sangat bersyukurlah mbak, karena orang tua
dan istri saya masih memberi saya dukungan yang penuh. Saya sudah tidak
pedulikan omongan orang-orang di luar sana, mereka kan tidak tahu apa yang
sudah terjadi dengan keluarga saya”.
Untuk saat ini, apa bapak tidak berniat untuk mencari pekerjaan lagi?
“Sudah mbak, tapi kan ya tahu sendirilah mbak bagaimana susahnya cari
yang tingkat pendidikannya SMA, yang Sarjana saja kadang-kadang juga masih
banyak yang menganggur loh mbak”, Iya sih pak, lapangan pekerjaan sama masyarakatnya sudah tidak seimbang lagi”.
Kalau saya boleh tahu, kehidupan bapak dulu itu seperti apa? “Saya ini
anak terakhir dari dua bersaudara mbak, sewaktu kecil semua kebutuhan kami
selalu difasilitasi oleh orang tua. Terlebih saya mbak, orang tua saya selalu
memanjakan saya. Mungkin karena saya anak bungsu kali ya mbak, jadi perhatian
mereka ke saya berbeda dari dua kakak saya. Bahkan sampai saat ini saja mbak,
orang tua saya juga masih menganggap bahwa saya ini masih seperti anak kecil.
Kadang saya juga agak risih sih mbak, karena saya kan anak laki-laki ya”.
Bapak dulu menikah pada usia berapa? “Wah saya dulu nikahnya umur dua puluh tahun mbak”, Masih muda banget ya pak? “Iya mbak, saya dulu nikah
muda itu sebenarnya modal nekat sih. Bahkan semua keperluan rumah tangga
saya saja yang mengurus orang tua semua, dari rumah sampai kendaraan itu sudah
ada mbak”, Ya enak pak? “Alhamdulillah mbak”.
Dulu waktu menentukan sekolah untuk anak, apa bapak juga melakukan
perbandingan-perbandingan antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain?
“Oh ya ada mbak”, Langkah apa yang bapak ambil waktu itu? “Waktu itu saya ya
cari informasi dulu mbak ke beberapa sekolah yang berbasis islami, menurut saya
lembaga pendidikan yang mempunyai kurikulum agama yang baik itu akan
sekolahnya juga harus baik”, Usia anak bapak saat ini berapa? “Baru enam tahun mbak”.
Tapi sebelum benar-benar melakukan tahap pemutusan itu, istri bapak
apakah juga ikut memberikan masukan-masukan kepada bapak? “Ya ikut, tapi tidak begitu menggebu mbak. Istri saya memang sudah menyerahkan semuanya
pada saya mbak, jadi apapun hasilnya yang menurut saya itu baik untuk masa
depan anak, istri akan sepenuhnya mendukung”, Berarti yang paling dominan dalam menentukan pendidikan anak itu bapak ya? “Iya mbak”.
Setelah melakukan wawancara dengan sang suami, kini barulah saya
mewawancarai sang istri.
Maaf bu menganggu sebentar, nama ibu siapa? “Iya mbak tidak apa-apa, nama saya TS mbak”, usia ibu saat ini berapa ya bu? “Dua puluh delapan tahun mbak”, Dulu pendidikan terakhirnya apa bu kalau saya boleh tahu? “SMA mbak”. Oh iya bu, maaf kondisi orang tua ibu dulu seperti apa? “Kondisi orang tua saya
itu kurang mampu sebenarnya mbak, saya dulu cari biaya sendiri mbak waktu
sekolah itu. Ya meski tidak banyak, tapi saya merasa senang karena bisa
membantu orang tua mengurangi bebannya”, Ibu dulu asli orang mana? “Saya
asal Tuban mbak, dulu tinggal disini sama orang tua juga. Tapi setelah saya
menikah ini, orang tua lebih milih hidup di tempat tinggal asalnya”.
Ibu dulu ketika mau menentukan sekolah untuk anak, selalu bertukar
pendapat apa tidak sama suami? “Iya mbak kami selalu membicarakannya
rumah tangga juga selalu kami selesaikan bersama-sama”, Terus yang mengambil keputusan dalam menentukan pendidikan anak itu siapa bu? “Lebih ke suami sih
mbak, jadi saya lebih ke mengarahkan saja. Selanjutnya ya suami saya yang
mengambil keputusan. Karena saya juga sudah mempercayakan semuanya ke
suami, jadi apapun keputusannya ya saya terima saja mbak”.
Oh iya ibu ini pekerjaannya apa ya? “Saya ini jadi spg kosmetik mbak”, Sudah lama bu? “Ya lumayanlah mbak, pokoknya ya semenjak suami saya tidak bekerja lagi itu”, Alasan ibu apa kok tiba-tiba langsung memutuskan untuk bekerja? “Awalnya itu ya saya kepikiran terus mbak sama keluarga saya, apalagi
sama suami yang sehari-hari hanya mengandalkan biaya dari orang tuanya saja”, Apa tidak merasa terbebani bu harus menjalankan dua peran sebagai ibu rumah
tangga dan pencari nafkah? “Dulu waktu masih awal-awal sih saya sempat stres
mbak, tapi untuk saat ini ya sudah menjadi kebiasaan yang harus dijalani. Ya
semoga saja suami saya bisa segera mendapatkan pekerjaan lagi”.
Setelah saya rasa cukup untuk mencari data pada informan kedua ini, saya
pun segera berpamitan kepada NP dan TS.
Informan Ketiga
Kamis, 30 April 2015. Pukul 18.00 saya bertemu dengan informan ketiga
ini di daerah Kalisosok. Saya pun segera membuka obrolan dengan dia.
Maaf pak, nama bapak siapa? “Nama saya HPP mbak”, Umur bapak berapa? “Tiga puluh tahun”, Pendidikan terakhir bapak apa ya? “Orang tua saya
orang Surabaya ta? “Oh bukan mbak, saya orang Bojonegoro”, Dulu bapak pernah bekerja tidak? “Sebelum saya menganggur, saya sempat bekerja mbak di pabrik plastik”, Kenapa tidak dilanjutin saja pak kerja disana? “Ceritanya itu
begini mbak, badan saya pada saat itu memang lagi tidak enak, tapi saya
memaksakan untuk bekerja. Sewaktu saya sudah sampai di pabrik, tiba-tiba
kepala saya sakit mbak. Selang beberapa jam mata saya kok gelap, badan pun jadi
sempoyongan. Keadaannya itu saya pingsan mbak, sadarnya pun saya sudah ada
di rumah sakit. Setelah dapat pemeriksaan dari dokter, dokter langsung
menyarankan saya untuk berhenti kerja. Saya sempat bingung, kenapa dokter ini
kok bilang seperti itu sama saya. Ternyata saya dapat info kalau saya ini terkena
stroke”, Jadi saat ini bapak tidak kerja itu gara-gara sakit? “Iya mbak, kaki saya
dibuat jalan saja juga lumayan susah. Jadi tiap hari saya latih buat jalan, biar tidak
kaku”, Sudah berapa lama pak menganggur seperti ini? “Dua tahun mbak”.
Saat saya sedang mengobrol dengan pak HPP, kedua anaknya pun
menghampirinya. Saya juga menyempatkan bertanya-tanya kepada mereka
tentang kondisi ayahnya yang sedang sakit.
Kondisi ekonomi bapak sendiri saat ini seperti apa? Mengingat bapak kan
sudah tidak kerja lagi. “Alhamdulillah masih bisa membiayai anak-anak sih mbak, istri saya juga pengertian dengan kondisi saya saat ini”, Istri bapak yang kerja atau bagaimana pak? “Iya mbak, istri saya jualan jus. Jadi biaya hidup istri saya yang
nanggung mbak, sebenarnya saya juga kasihan mbak sama istri. Tapi ya
juga masih tiga puluh”, Usia anak bapak berapa? “Yang pertama sudah delapan
tahun mbak, anak saya yang kedua empat tahun”.
Waktu kecil dulu, kondisi ekonomi keluarga bapak seperti apa kalau saya
boleh tahu? “Saya dulu itu dibesarkan di keluarga yang kurang mampu mbak. Umur dua belas tahun saja saya sudah ditinggal sama bapak saya”, Maksudnya
ditinggal pak? “Meninggal mbak. Jadi saya yang harus jadi tulang punggung untuk memenuhi kebutuhan ibu sama adik saya”, Oh iya pak, anak bapak itu umurnya berapa? “Anak saya yang pertama delapan tahun dan yang kedua itu empat tahun mbak”.
Terus apa pertimbangan bapak dalam menentukan sekolah untuk
anak-anak bapak? “Yang pasti biaya ya mbak, karena saya juga sadar kalau biaya
sekolah saat ini sangat mahal. Kondisi ekonomi keluarga saya pun juga bisa
dikatakan pas-pasan. Mungkin bagi sebagian orang, fasilitas sekolah itu sangat
penting ya mbak, tapi saya tidak terlalu terpacu ke masalah itu. Bagi saya, semua
anak-anak saya sudah merasakan bangku sekolah saja sudah cukup mbak. Tapi
istri saya yang tidak setuju dengan keputusan saya mbak, menurutnya fasilitas
sekolah sangat penting”.
Oh iya bu, nama ibu siapa? “LM mbak”, usianya berapa bu? “Dua puluh enam tahun”, Masih muda ya bu? “Ya bisa dikatakan seperti itu sih mbak”, Ibu sendiri asli orang mana? “Saya asli Lamongan mbak”, Jadi begini bu, apakah ibu
sama suami selalu bertukar pendapat sebelum menentukan pendidikan untuk
masih menghargai suami saya mbak”, Terus menurut ibu, sebelum menentukan
sekolah untuk anak itu apa yang harus dipertimbangkan terlebih dahulu? “Kalau menurut saya sih, selain dari segi biayanya ya mbak. Itu lebih ke arah fasilitas
sekolahnya harus kita perhatikan dulu, apakah sekolah tersebut mempunyai
fasilitas pembelajaran yang baik atau tidak”, Bapak sama ibu kan mempunyai
perbedaan pendapat masing-masing ya mengenai pendidikan anak, nah kalau saya
boleh bertanya ke ibu, siapa yang lebih mempunyai peran dalam mengambil
keputusan dalam menentukan pendidikan untuk anak? “Ya jelas saya mbak, kan
semua biaya anak saya yang nanggung. Suami hanya memberi pendapatnya saja,
tetapi tetap saya yang menentukan, toh kondisi suami saya juga seperti itu kan
mbak”.
Apa yang ibu rasakan waktu awal-awal memutuskan untuk berjualan jus,
karena kan dari jualan ini ya bu satu-satunya cara untuk bisa tetap menghidupi
keluarga? “Awalnya sih merasa kok hidup ini tidak adil, punya suami yang
mengalami sakit seperti ini di usianya yang juga masih cukup muda menurut saya.
Terbebani dengan kondisi ini sudah pasti ya mbak, yang saya takutkan itu
bagaimana nanti masa depan anak saya apabila kondisi ekonomi saya tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Ya tapi saya percaya suatu saat nanti anak-anak
saya akan menjadi orang yang bisa mengangkat derajat orang tuanya. Sekarang ini
ya saya jalani saja mbak menjadi penjual jus, tidak ada gunanya juga kalau terus
Informan Keempat
Sabtu, 2 Mei 2015. Pukul 13.00 saya berada di rumah informan keempat
yang berlokasi di daerah Kalimas Barat. Untuk mempersingkat waktu, kami pun
segera memulai wawancara ini.
Nama bapak siapa? “Saya SW mbak, kalau istri saya RD”, Usia bapak sama ibu berapa? “Kalau saya tiga puluh tahun, sementara suami saya dua puluh sembilan”, Oh lebih tua ibu ya? “Iya mbak”, Pendidikan terakhirnya apa kalau boleh tahu? “Suami saya SD mbak, nah kalau saya SMP”, Ibu ini orang Madura ya? “Iya mbak”, Kalau bapak orang mana bu? “Oh kalau suami saya asli Surabaya mbak”.
Kondisi ekonomi orang tua bapak dulu seperti apa kalau saya boleh tahu?
“Saya itu dari keluarga yang kurang mampu mbak, bapak saya dulu pekerjaannya
jadi tukang becak, ibu saya jadi buruh cuci. Makanya mbak pendidikan saya ini
hanya sampai SD saja, karena dulu orang tua sudah tidak mampu lagi untuk
membiayai sekolah saya. Dan dulu pada saat usia saya sembilan belas tahun,
orang tua saya meninggal karena kecelakaan, masalah itu semakin mempersulit
kehidupan saya mbak. Saya harus hidup seorang diri, karena saya kan tidak punya
saudara mbak”.
Sebelum menjadi pengangguran seperti sekarang ini, apa bapak pernah
bekerja? “Pernah mbak, dulu saya sempat dagang hewan ternak burung. Dulu
saya bareng sama teman-teman kerjanya, jadi modalnya tidak terlalu banyak.
sih mbak untungnya, tapi ya saya jalani saja”, Berapa lama bapak menjalani pekerjaan itu? “Sekitar dua tahun mbak”, Alasannya apa pak kok tiba-tiba
langsung memutuskan untuk tidak bekerja lagi sebagai penjual burung?
“Alasannya ya karena sepi pembeli mbak, orang-orang sedikit yang berminat
untuk beli dagangan saya. Ya saya rugi mbak kalau tidak ada yang beli, akhirnya
saya sama teman-teman memutuskan untuk tidak jualan lagi”, Semenjak berhenti dari kerja itu, bapak cari kerjaan lagi atau tidak? “Cari mbak, waktu itu saya
sempat melamar ke pabrik pipa, tetapi persyaratannya minimal harus lulusan
SMA, wah ya saya langsung mundur mbak. Saya sudah kemana-mana cari
pekerjaan, tetap saja sulit mbak. Ya mungkin karena saya hanya lulusan SD, jadi
orang-orang pasti mandang sebelah mata” Terus bapak sudah berapa lama jadi pengangguran ini? “Sudah empat tahun mbak”.
Sebelum menentukan sekolah untuk anak, apakah bapak dan ibu selalu
bertukar pendapat mengenai pendidikan yang terbaik untuk anak? “Iya mbak,
tetapi saya selalu menyerahkan semuanya sama istri. Karena saya juga kurang
paham sama pendidikan saat ini, jadi semua keputusan ya saya percayakan sama
istri”, Menurut ibu apa yang menjadi pertimbangan dalam menentukan pendidikan anak? “Saya cari info dari tetangga mbak, setidaknya saya tahu tentang sekolah
yang baik untuk anak. Tapi terlepas dari hal itu, masalah biaya tetap menjadi
pertimbangan yang paling utama ya mbak. Karena kan kondisi ekonomi keluarga
saya juga sangat minim”, Usia anak ibu saat ini berapa? “Lima tahun mbak”,
Berarti yang lebih mempunyai peran dalam menentukan segala keputusan
Ibu ini kok bisa tiba-tiba punya keinginan berjualan nasi, bagaimana bu
ceritanya? “Namanya orang Madura kan pasti senang jualan ya mbak, disamping
itu saya juga mikir mau dapat uang darimana kalau tidak bekerja. Suami saya juga
tidak kerja, jadi mau tidak mau ya pekerjaan ini yang saya lakukan setiap hari
mbak. Alhamdulillah juga masih bisa untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga
saya”, Apa ibu sempat merasa terbebani dengan pekerjaan ini? “Bagaimana ya
mbak, merasa terbebani sih sedikit, karena saya juga sudah tidak mengandalkan
suami saya lagi dalam mencari biaya hidup. Lebih ke pasrah saja saya ini mbak,
toh daripada saya diam diri juga di rumah malah stres. Jadi ya dinikmati sajalah,
kalau memang takdir saya seperti ini”.
Informan Kelima
Kamis, 7 Mei 2015. Pukul 15.00 saya berada di rumah informan kelima
yang berada di daerah Kalimati. Setelah menjelaskan kedatangan saya kesana,
segeralah kami melakukan wawancara.
Nama bapak siapa? “Nama saya BS mbak”, Usianya berapa pak? “Tiga puluh tahun”, Pendidikan terakhir bapak apa? “Pendidikan terakhir saya hanya SMP mbak”, Bapak ini asal mana? “Saya orang Kalimantan mbak, yang sekarang jadi orang Surabaya”, Bapak sudah mempunyai berapa orang anak? “Masih satu mbak”, Usianya berapa pak? “Baru enam tahun”.
Maaf pak, kalau saya boleh tahu kondisi ekonomi orang tua bapak dulu
seperti apa ya? “Orang tua saya mempunyai lima anak mbak, dan saya ini
mempunyai keinginan untuk merubah nasib keluarganya. Saat ini orang tua saya
mempunyai toko baju mbak. Karena kan keluarga saya memang dari kalangan
ekonomi pas-pasan, orang tua saya saja hanya mampu menyekolahkan saya
sampai SMP. Orang tua saya dulu keberatan mbak harus mengeluarkan biaya
yang banyak untuk anak-anaknya”.
Terus bapak saat ini menggantungkan biaya rumah tangga sama siapa?
“Semenjak saya tidak bekerja ini, saya hanya mengandalkan dari istri mbak”, Memangnya bapak dulu pernah bekerja dimana? “Pertama kali saya bekerja itu
jadi karyawan di salah satu rumah makan mbak, tapi pekerjaan itu hanya berjalan
selama empat tahun”, Kenapa pak kok berhenti? “Ya karena suatu alasan yang membuat saya sudah tidak nyaman lagi bekerja disana”, Setelah itu, apa bapak mencari kerjaan lagi? “Iya mbak, saya cari info dari teman-teman dan akhirnya
saya diterima bekerja di pabrik. Tapi ada persyaratannya mbak, bahwa saya hanya
dikontrak selama tiga tahun saja. Setelah tiga tahun berlalu, saya tidak mencari
pekerjaan lagi mbak. Karena lulusan SMP ini sudah jarang yang mau menerima,
meskipun itu di pabrik sekalipun”, Bapak sekarang sudah berapa lama menjadi pengangguran? “Sudah dua tahun ini mbak”.
Menurut bapak, apa yang menjadi keutamaan dalam menentukan
pendidikan anak selain dari segi biaya? “Bagi saya yang perlu diperhatikan itu
mengenai pendidikan agamanya mbak, karena menurut saya moral anak saat ini
harus dibangun mulai kecil mbak. Mengingat sekarang ini kondisi anak-anak
sudah sangat memprihatinkan, tentunya peran orang tua juga tetap diperlukan
apabila kurikulum sekolahnya bagus, tetapi tidak diimbangi dengan perhatian
orang tua”.
Setelah menunggu istri dari informan kelima ini melakukan pekerjaan
rumah, barulah saya melakukan wawancara dengannya.
Nama ibu siapa? “UH mbak”, Usianya bu? “Usia saya tiga puluh tahun”, Pendidikan terakhir ibu apa? “SMA mbak”, Ibu asli Surabaya? “Iya mbak”, Saat ini ibu bekerja dimana? “Saya kerja di peti kemas mbak”, Sudah lama bu kerja disana? “Ya lumayan lama mbak”, Apa yang melatarbelakangi ibu untuk bekerja? “Ya ingin membantu suami untuk mencari penghasilan mbak, apalagi saat ini suami saya juga menganggur. Harapan saya ya mudah-mudahan suami bisa
secepatnya mendapatkan pekerjaan lagi. Saya kerja disini juga bersyukur banget
mbak, karena bagi saya gajinya cukup besar, jadi ya sebisanya saya akan
mempertahankan pekerjaan ini”, Menjadi ibu rumah tangga dan harus mencari nafkah untuk keluarga seperti ini apa tidak berat bu? “Awalnya sih ya berat mbak,
saya bekerja di peti kemas ini pun awalnya juga agak sedikit terpaksa. Bagi saya
ini adalah sebuah tantangan ya mbak, melihat kondisi ekonomi keluarga saya
yang seperti ini. Saya harus bekerja lebih keras lagi supaya bisa menghidupi anak
saya, biaya hidup sekarang juga mahal-mahal. Kalau tidak diimbangi dengan
bekerja seperti ini, mau dapat uang dari mana saya mbak”.
Ibu sendiri, setujukah dengan pernyataan suami barusan mengenai
pendidikan anak? “Iya mbak, soal urusan pendidikan anak saya sependapat
masa depan anak agar lebih terarah tujuannya”, Jadi ibu sama bapak masih tetap menjalin komunikasi dengan baik ya? “Iya mbak, karena ini kan demi masa depan anak kita”, Terus yang lebih berperan dalam mengambil keputusan mengenai pendidikan anak ini lebih ke siapa ya bu? “Kalau urusan itu, lebih sama saya
mbak. Karena menurut saya, saya yang mencari uang untuk keluarga saya, jadi ya
apapun keputusan keluarga berada di tangan saya mbak”.
Setelah cukup untuk melakukan wawancara dengan mereka, saya pun