• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MENENTUKAN PENDIDIKAN ANAK (Studi Deskriptif Pada Keluarga Yang Suaminya Tidak Bekerja) Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MENENTUKAN PENDIDIKAN ANAK (Studi Deskriptif Pada Keluarga Yang Suaminya Tidak Bekerja) Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Donna Ayu Anggraeny, dilahirkan di kota Surabaya pada

tanggal 24 Juli 1993. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari

pasangan Djumadi Faisal, IR dan Menik Ati, S.E. Pendidikan yang ditempuh

Penulis dimulai dari TK Aisyiyah Bustanul Athfal 4, SD Muhammadiyah 11, SMP Ta’miriyah, SMA Ta’miriyah, dan kini Penulis masih terdaftar sebagai Mahasiswi Program Studi S1 Sosiologi Angkatan 2011 di Universitas Airlangga.

DATA PRIBADI

Nama : Donna Ayu Anggraeny

Tempat/Tanggal Lahir : Surabaya, 24 Juli 1993

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Dupak Bangunsari V/4 Surabaya

(2)

TRANSKRIP WAWANCARA

Informan Pertama

Sabtu, 25 April 2015. Sekitar Pukul 11.30 saya berada di rumah informan

pertama saya, tepatnya di daerah Pesapen Kali. Setibanya disana, saya pun segera

memperkenalkan diri bahwa kedatangan saya adalah untuk mencari data dalam

menyelesaikan penulisan skripsi. Setelah memperkenalkan diri, barulah saya

membuka obrolan.

Namanya siapa pak? ”Nama saya RA mbak”, Umurnya berapa? “Dua puluh delapan tahun”, Pendidikan terakhirnya apa ya pak? “Saya SMA mbak”, Asli Surabaya ya pak? “Iya mbak, Surabaya tulen saya ini”, Oh iya pak, sebelum

menganggur seperti sekarang ini, apa bapak dulu pernah bekerja? “Pernah mbak, dulu saya sempat dagang kaos di distro, tapi bertahan sampai empat tahun saja”, Kenapa sekarang tidak cari kerjaan lagi pak? “Sudah sempat cari sih mbak, tapi belum ada yang kena”, Sudah berapa lama bapak menjadi pengangguran? “Sudah berjalan selama satu tahun mbak”.

Terus untuk membiayai kebutuhan hidup istri sama anak, dapat uang

darimana pak? “Dari orang tua saya mbak”, Oh ya? “Iya mbak, jadi kedua orang

tua saya itu semuanya bekerja. Papa kerja di salah satu perusahaan di Surabaya,

nah kalau mama kerja di kantor gubernuran mbak. Tiap hari mereka selalu

memberikan saya uang untuk biaya hidup keluarga saya. Ya, memang pada

(3)

masih mengandalkan biaya dari orang tua. Tapi mama saya merasa kasihan sama

saya mbak, soalnya belum mendapatkan pekerjaan lagi. Terlebih lagi sama anak

saya. Ya orang tua mana sih mbak yang tega lihat cucunya sengsara”.

Isti bapak kerja juga kan? “Iya mbak, istri saya kerja jualan kue”, Kenapa tidak istri saja pak yang biayai kebutuhan anak?, “Nah itu masalahnya mbak,

penghasilan jualan itu berapa sih, toh yang beli juga tidak tentu. Kadang rame,

kadang sepi. Sementara biaya hidup sekarang pada mahal-mahal, tapi ya saya

sangat bersyukur sekali punya istri yang punya keinginan buat bantu suaminya

cari uang. Harapan saya sih, ya mudah-mudahan saya cepat dapat kerjaan lagi”.

Latar belakang kehidupan orang tua bapak sendiri itu seperti apa sih?

“Orang tua saya itu mempunyai empat orang anak mbak, saya sendiri anak kedua.

Dari kecil kami sudah terbiasa diasuh sama asisten rumah tangga. Keluarga kami

memang sudah menganggap asisten rumah tangga itu seperti saudara sendiri, jadi

mungkin itu alasan orang tua saya percaya untuk menitipkan anak-anaknya ketika

mereka sedang bekerja. Orang tua saya semuanya memang pekerja keras ya mbak,

mereka kerja dari pagi sampai malam hari. Dulu kami juga sempat merasakan

kekurangan perhatian dari papa sama mama, tapi setelah mereka menjelaskan

kepada kami semua. Akhirnya anak-anaknya juga sudah mulai mengerti. Orang

tua saya itu selalu memanjakan semua anak-anaknya mbak, segala fasilitas yang

kami perlukan pasti ada di rumah”.

(4)

anaknya? “Kelas satu mbak”, Kalau saya boleh tahu, apa sih pak yang jadi acuan bapak sebelum menentukan pendidikan untuk anak? “Sebelum memutuskan

lembaga pendidikan untuk anak saya mbak, saya selalu memprioritaskan visi dan

misi dari lembaga pendidikan itu. Terus kurikulumnya juga harus baik dan juga

fasilitasnya harus memadai juga. Karena bagi saya itu merupakan suatu hal yang

harus diketahui oleh orang tua sebelum memasukkan anaknya ke dalam lembaga

pendidikan”, Benar banget pak, tentunya juga harus sesuai dengan bakat sang anak. “Iya mbak, sebisa mungkin saya akan belajar dari pengalaman saya sendiri”.

Sebelum menentukan sekolah untuk anak, apakah bapak sama istri juga

masih bermusyawarah dulu? “Iya mbak selalu itu, kita kalau ada masalah apapun di dalam keluarga ini pasti saling membicarakan sama-sama. Ya termasuk urusan

sekolah anak ini, karena kan ini tentang masa depan anak kita ya mbak, jadi ya

semaksimal mungkin kita akan lakukan apapun yang terbaik untuk anak”.

Kalau saya boleh tahu, kira-kira diantara bapak sama istri siapa yang pada

akhirnya mengambil keputusan mengenai penentuan sekolah anak? “Jujur saja ya

mbak, meskipun saya menganggur begini. Tapi saya masih menjalankan peran

saya sebagai seorang suami, jadi ya meskipun saya sama istri saling berpendapat

mengenai pendidikan yang cocok untuk anak kita. Tetapi tetap saya mbak yang

menentukan sekolahnya, ya alasannya karena dari segi biaya sekolah anak saya

(5)

Setelah saya rasa cukup untuk bertanya kepada RA, barulah saya beralih

untuk bertanya kepada sang istri.

Namanya siapa bu? “Nama saya HK Mbak”, Umurnya berapa? “Dua puluh enam tahun mbak”, Pendidikan terakhir ibu dulu apa kalau saya boleh tahu? “Pendidikan saya hanya sampai tingkat SMA saja mbak”, Sama ya bu dengan bapak? “Iya mbak”, Oh iya, apa ibu juga asli warga Surabaya? “Saya orang Tuban

mbak, setelah menikah ini saya menetap di Surabaya”, Maaf ya bu, kondisi ekonomi orang tua dari ibu itu seperti apa ya? “Orang tua saya itu kehidupannya

ya sederhana saja sih mbak, bisa dikatakan juga serba pas-pasan. Jadi kalau

dikatakan dari keluarga mampu ya tidak juga, dikatakan keluarga tidak punya ya

tidak juga. Jadi ya di tengah-tengahlah mbak”.

Ibu ini kan kerja ya, kalau saya boleh tahu apakah ibu ini tidak merasa

terbebani harus menjadi ibu rumah tangga yang mengatur semua keperluan

keluarga dan harus mencari nafkah juga? “Awalnya saya juga keberatan mbak, merasa terbebani sudah pasti ada lah ya mbak. Tapi ya pada akhirnya saya harus

ikhlas menjalankan peran ini, karena saya juga mempunyai anak yang memang

harus dibiayai hidupnya. Jadi meskipun capek, tapi kalau sudah ingat sama anak

itu rasanya semangat mbak”.

Setelah saya rasa wawancara dengan informan pertama ini sudah cukup,

(6)

Informan Kedua

Kamis, 28 April 2015. Pukul 09.30 saya bertemu dengan informan kedua

ini di daerah Kalisosok. Saya pun segera membuka obrolan dengan dia.

Maaf pak, namanya siapa? “NP mbak”, Umur bapak berapa? “Tiga puluh tahun”, Pendidikan terakhirnya pak? “Pendidikan saya SMA mbak”, Bapak ini asli orang Surabaya? “Iya”, Sebelumnya saya minta maaf ya pak, apakah bapak ini sebelumnya pernah bekerja? “Sebelum menganggur seperti ini, dulu saya

sempat jadi penyiar radio mbak di Malang. Tapi pekerjaan saya disana hanya

sekitar empat tahunan saja mbak”. Kenapa bisa berhenti pak? “Ya sudah tidak nyaman lagi berada disana mbak, ada suatu masalah yang mengharuskan saya

harus mengundurkan diri sebagai penyiar radio”, Lah terus bapak sudah menganggur selama berapa tahun? “Sudah dua tahunan mbak, saya merasa kurang

nyaman malahan dengan status seperti ini. Merasa ngecewain orang tua yang

jelas, belum lagi sama istri dan anak. Apalagi tetangga disini itu suka ikut campur

urusan rumah tangga orang mbak, bahkan saya dulu sempat dijadikan bahan

gosipnya mereka. Ya tapi saya masih sangat bersyukurlah mbak, karena orang tua

dan istri saya masih memberi saya dukungan yang penuh. Saya sudah tidak

pedulikan omongan orang-orang di luar sana, mereka kan tidak tahu apa yang

sudah terjadi dengan keluarga saya”.

Untuk saat ini, apa bapak tidak berniat untuk mencari pekerjaan lagi?

“Sudah mbak, tapi kan ya tahu sendirilah mbak bagaimana susahnya cari

(7)

yang tingkat pendidikannya SMA, yang Sarjana saja kadang-kadang juga masih

banyak yang menganggur loh mbak”, Iya sih pak, lapangan pekerjaan sama masyarakatnya sudah tidak seimbang lagi”.

Kalau saya boleh tahu, kehidupan bapak dulu itu seperti apa? “Saya ini

anak terakhir dari dua bersaudara mbak, sewaktu kecil semua kebutuhan kami

selalu difasilitasi oleh orang tua. Terlebih saya mbak, orang tua saya selalu

memanjakan saya. Mungkin karena saya anak bungsu kali ya mbak, jadi perhatian

mereka ke saya berbeda dari dua kakak saya. Bahkan sampai saat ini saja mbak,

orang tua saya juga masih menganggap bahwa saya ini masih seperti anak kecil.

Kadang saya juga agak risih sih mbak, karena saya kan anak laki-laki ya”.

Bapak dulu menikah pada usia berapa? “Wah saya dulu nikahnya umur dua puluh tahun mbak”, Masih muda banget ya pak? “Iya mbak, saya dulu nikah

muda itu sebenarnya modal nekat sih. Bahkan semua keperluan rumah tangga

saya saja yang mengurus orang tua semua, dari rumah sampai kendaraan itu sudah

ada mbak”, Ya enak pak? “Alhamdulillah mbak”.

Dulu waktu menentukan sekolah untuk anak, apa bapak juga melakukan

perbandingan-perbandingan antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain?

“Oh ya ada mbak”, Langkah apa yang bapak ambil waktu itu? “Waktu itu saya ya

cari informasi dulu mbak ke beberapa sekolah yang berbasis islami, menurut saya

lembaga pendidikan yang mempunyai kurikulum agama yang baik itu akan

(8)

sekolahnya juga harus baik”, Usia anak bapak saat ini berapa? “Baru enam tahun mbak”.

Tapi sebelum benar-benar melakukan tahap pemutusan itu, istri bapak

apakah juga ikut memberikan masukan-masukan kepada bapak? “Ya ikut, tapi tidak begitu menggebu mbak. Istri saya memang sudah menyerahkan semuanya

pada saya mbak, jadi apapun hasilnya yang menurut saya itu baik untuk masa

depan anak, istri akan sepenuhnya mendukung”, Berarti yang paling dominan dalam menentukan pendidikan anak itu bapak ya? “Iya mbak”.

Setelah melakukan wawancara dengan sang suami, kini barulah saya

mewawancarai sang istri.

Maaf bu menganggu sebentar, nama ibu siapa? “Iya mbak tidak apa-apa, nama saya TS mbak”, usia ibu saat ini berapa ya bu? “Dua puluh delapan tahun mbak”, Dulu pendidikan terakhirnya apa bu kalau saya boleh tahu? “SMA mbak”. Oh iya bu, maaf kondisi orang tua ibu dulu seperti apa? “Kondisi orang tua saya

itu kurang mampu sebenarnya mbak, saya dulu cari biaya sendiri mbak waktu

sekolah itu. Ya meski tidak banyak, tapi saya merasa senang karena bisa

membantu orang tua mengurangi bebannya”, Ibu dulu asli orang mana? “Saya

asal Tuban mbak, dulu tinggal disini sama orang tua juga. Tapi setelah saya

menikah ini, orang tua lebih milih hidup di tempat tinggal asalnya”.

Ibu dulu ketika mau menentukan sekolah untuk anak, selalu bertukar

pendapat apa tidak sama suami? “Iya mbak kami selalu membicarakannya

(9)

rumah tangga juga selalu kami selesaikan bersama-sama”, Terus yang mengambil keputusan dalam menentukan pendidikan anak itu siapa bu? “Lebih ke suami sih

mbak, jadi saya lebih ke mengarahkan saja. Selanjutnya ya suami saya yang

mengambil keputusan. Karena saya juga sudah mempercayakan semuanya ke

suami, jadi apapun keputusannya ya saya terima saja mbak”.

Oh iya ibu ini pekerjaannya apa ya? “Saya ini jadi spg kosmetik mbak”, Sudah lama bu? “Ya lumayanlah mbak, pokoknya ya semenjak suami saya tidak bekerja lagi itu”, Alasan ibu apa kok tiba-tiba langsung memutuskan untuk bekerja? “Awalnya itu ya saya kepikiran terus mbak sama keluarga saya, apalagi

sama suami yang sehari-hari hanya mengandalkan biaya dari orang tuanya saja”, Apa tidak merasa terbebani bu harus menjalankan dua peran sebagai ibu rumah

tangga dan pencari nafkah? “Dulu waktu masih awal-awal sih saya sempat stres

mbak, tapi untuk saat ini ya sudah menjadi kebiasaan yang harus dijalani. Ya

semoga saja suami saya bisa segera mendapatkan pekerjaan lagi”.

Setelah saya rasa cukup untuk mencari data pada informan kedua ini, saya

pun segera berpamitan kepada NP dan TS.

Informan Ketiga

Kamis, 30 April 2015. Pukul 18.00 saya bertemu dengan informan ketiga

ini di daerah Kalisosok. Saya pun segera membuka obrolan dengan dia.

Maaf pak, nama bapak siapa? “Nama saya HPP mbak”, Umur bapak berapa? “Tiga puluh tahun”, Pendidikan terakhir bapak apa ya? “Orang tua saya

(10)

orang Surabaya ta? “Oh bukan mbak, saya orang Bojonegoro”, Dulu bapak pernah bekerja tidak? “Sebelum saya menganggur, saya sempat bekerja mbak di pabrik plastik”, Kenapa tidak dilanjutin saja pak kerja disana? “Ceritanya itu

begini mbak, badan saya pada saat itu memang lagi tidak enak, tapi saya

memaksakan untuk bekerja. Sewaktu saya sudah sampai di pabrik, tiba-tiba

kepala saya sakit mbak. Selang beberapa jam mata saya kok gelap, badan pun jadi

sempoyongan. Keadaannya itu saya pingsan mbak, sadarnya pun saya sudah ada

di rumah sakit. Setelah dapat pemeriksaan dari dokter, dokter langsung

menyarankan saya untuk berhenti kerja. Saya sempat bingung, kenapa dokter ini

kok bilang seperti itu sama saya. Ternyata saya dapat info kalau saya ini terkena

stroke”, Jadi saat ini bapak tidak kerja itu gara-gara sakit? “Iya mbak, kaki saya

dibuat jalan saja juga lumayan susah. Jadi tiap hari saya latih buat jalan, biar tidak

kaku”, Sudah berapa lama pak menganggur seperti ini? “Dua tahun mbak”.

Saat saya sedang mengobrol dengan pak HPP, kedua anaknya pun

menghampirinya. Saya juga menyempatkan bertanya-tanya kepada mereka

tentang kondisi ayahnya yang sedang sakit.

Kondisi ekonomi bapak sendiri saat ini seperti apa? Mengingat bapak kan

sudah tidak kerja lagi. “Alhamdulillah masih bisa membiayai anak-anak sih mbak, istri saya juga pengertian dengan kondisi saya saat ini”, Istri bapak yang kerja atau bagaimana pak? “Iya mbak, istri saya jualan jus. Jadi biaya hidup istri saya yang

nanggung mbak, sebenarnya saya juga kasihan mbak sama istri. Tapi ya

(11)

juga masih tiga puluh”, Usia anak bapak berapa? “Yang pertama sudah delapan

tahun mbak, anak saya yang kedua empat tahun”.

Waktu kecil dulu, kondisi ekonomi keluarga bapak seperti apa kalau saya

boleh tahu? “Saya dulu itu dibesarkan di keluarga yang kurang mampu mbak. Umur dua belas tahun saja saya sudah ditinggal sama bapak saya”, Maksudnya

ditinggal pak? “Meninggal mbak. Jadi saya yang harus jadi tulang punggung untuk memenuhi kebutuhan ibu sama adik saya”, Oh iya pak, anak bapak itu umurnya berapa? “Anak saya yang pertama delapan tahun dan yang kedua itu empat tahun mbak”.

Terus apa pertimbangan bapak dalam menentukan sekolah untuk

anak-anak bapak? “Yang pasti biaya ya mbak, karena saya juga sadar kalau biaya

sekolah saat ini sangat mahal. Kondisi ekonomi keluarga saya pun juga bisa

dikatakan pas-pasan. Mungkin bagi sebagian orang, fasilitas sekolah itu sangat

penting ya mbak, tapi saya tidak terlalu terpacu ke masalah itu. Bagi saya, semua

anak-anak saya sudah merasakan bangku sekolah saja sudah cukup mbak. Tapi

istri saya yang tidak setuju dengan keputusan saya mbak, menurutnya fasilitas

sekolah sangat penting”.

Oh iya bu, nama ibu siapa? “LM mbak”, usianya berapa bu? “Dua puluh enam tahun”, Masih muda ya bu? “Ya bisa dikatakan seperti itu sih mbak”, Ibu sendiri asli orang mana? “Saya asli Lamongan mbak”, Jadi begini bu, apakah ibu

sama suami selalu bertukar pendapat sebelum menentukan pendidikan untuk

(12)

masih menghargai suami saya mbak”, Terus menurut ibu, sebelum menentukan

sekolah untuk anak itu apa yang harus dipertimbangkan terlebih dahulu? “Kalau menurut saya sih, selain dari segi biayanya ya mbak. Itu lebih ke arah fasilitas

sekolahnya harus kita perhatikan dulu, apakah sekolah tersebut mempunyai

fasilitas pembelajaran yang baik atau tidak”, Bapak sama ibu kan mempunyai

perbedaan pendapat masing-masing ya mengenai pendidikan anak, nah kalau saya

boleh bertanya ke ibu, siapa yang lebih mempunyai peran dalam mengambil

keputusan dalam menentukan pendidikan untuk anak? “Ya jelas saya mbak, kan

semua biaya anak saya yang nanggung. Suami hanya memberi pendapatnya saja,

tetapi tetap saya yang menentukan, toh kondisi suami saya juga seperti itu kan

mbak”.

Apa yang ibu rasakan waktu awal-awal memutuskan untuk berjualan jus,

karena kan dari jualan ini ya bu satu-satunya cara untuk bisa tetap menghidupi

keluarga? “Awalnya sih merasa kok hidup ini tidak adil, punya suami yang

mengalami sakit seperti ini di usianya yang juga masih cukup muda menurut saya.

Terbebani dengan kondisi ini sudah pasti ya mbak, yang saya takutkan itu

bagaimana nanti masa depan anak saya apabila kondisi ekonomi saya tidak

berjalan sebagaimana mestinya. Ya tapi saya percaya suatu saat nanti anak-anak

saya akan menjadi orang yang bisa mengangkat derajat orang tuanya. Sekarang ini

ya saya jalani saja mbak menjadi penjual jus, tidak ada gunanya juga kalau terus

(13)

Informan Keempat

Sabtu, 2 Mei 2015. Pukul 13.00 saya berada di rumah informan keempat

yang berlokasi di daerah Kalimas Barat. Untuk mempersingkat waktu, kami pun

segera memulai wawancara ini.

Nama bapak siapa? “Saya SW mbak, kalau istri saya RD”, Usia bapak sama ibu berapa? “Kalau saya tiga puluh tahun, sementara suami saya dua puluh sembilan”, Oh lebih tua ibu ya? “Iya mbak”, Pendidikan terakhirnya apa kalau boleh tahu? “Suami saya SD mbak, nah kalau saya SMP”, Ibu ini orang Madura ya? “Iya mbak”, Kalau bapak orang mana bu? “Oh kalau suami saya asli Surabaya mbak”.

Kondisi ekonomi orang tua bapak dulu seperti apa kalau saya boleh tahu?

“Saya itu dari keluarga yang kurang mampu mbak, bapak saya dulu pekerjaannya

jadi tukang becak, ibu saya jadi buruh cuci. Makanya mbak pendidikan saya ini

hanya sampai SD saja, karena dulu orang tua sudah tidak mampu lagi untuk

membiayai sekolah saya. Dan dulu pada saat usia saya sembilan belas tahun,

orang tua saya meninggal karena kecelakaan, masalah itu semakin mempersulit

kehidupan saya mbak. Saya harus hidup seorang diri, karena saya kan tidak punya

saudara mbak”.

Sebelum menjadi pengangguran seperti sekarang ini, apa bapak pernah

bekerja? “Pernah mbak, dulu saya sempat dagang hewan ternak burung. Dulu

saya bareng sama teman-teman kerjanya, jadi modalnya tidak terlalu banyak.

(14)

sih mbak untungnya, tapi ya saya jalani saja”, Berapa lama bapak menjalani pekerjaan itu? “Sekitar dua tahun mbak”, Alasannya apa pak kok tiba-tiba

langsung memutuskan untuk tidak bekerja lagi sebagai penjual burung?

“Alasannya ya karena sepi pembeli mbak, orang-orang sedikit yang berminat

untuk beli dagangan saya. Ya saya rugi mbak kalau tidak ada yang beli, akhirnya

saya sama teman-teman memutuskan untuk tidak jualan lagi”, Semenjak berhenti dari kerja itu, bapak cari kerjaan lagi atau tidak? “Cari mbak, waktu itu saya

sempat melamar ke pabrik pipa, tetapi persyaratannya minimal harus lulusan

SMA, wah ya saya langsung mundur mbak. Saya sudah kemana-mana cari

pekerjaan, tetap saja sulit mbak. Ya mungkin karena saya hanya lulusan SD, jadi

orang-orang pasti mandang sebelah mata” Terus bapak sudah berapa lama jadi pengangguran ini? “Sudah empat tahun mbak”.

Sebelum menentukan sekolah untuk anak, apakah bapak dan ibu selalu

bertukar pendapat mengenai pendidikan yang terbaik untuk anak? “Iya mbak,

tetapi saya selalu menyerahkan semuanya sama istri. Karena saya juga kurang

paham sama pendidikan saat ini, jadi semua keputusan ya saya percayakan sama

istri”, Menurut ibu apa yang menjadi pertimbangan dalam menentukan pendidikan anak? “Saya cari info dari tetangga mbak, setidaknya saya tahu tentang sekolah

yang baik untuk anak. Tapi terlepas dari hal itu, masalah biaya tetap menjadi

pertimbangan yang paling utama ya mbak. Karena kan kondisi ekonomi keluarga

saya juga sangat minim”, Usia anak ibu saat ini berapa? “Lima tahun mbak”,

Berarti yang lebih mempunyai peran dalam menentukan segala keputusan

(15)

Ibu ini kok bisa tiba-tiba punya keinginan berjualan nasi, bagaimana bu

ceritanya? “Namanya orang Madura kan pasti senang jualan ya mbak, disamping

itu saya juga mikir mau dapat uang darimana kalau tidak bekerja. Suami saya juga

tidak kerja, jadi mau tidak mau ya pekerjaan ini yang saya lakukan setiap hari

mbak. Alhamdulillah juga masih bisa untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga

saya”, Apa ibu sempat merasa terbebani dengan pekerjaan ini? “Bagaimana ya

mbak, merasa terbebani sih sedikit, karena saya juga sudah tidak mengandalkan

suami saya lagi dalam mencari biaya hidup. Lebih ke pasrah saja saya ini mbak,

toh daripada saya diam diri juga di rumah malah stres. Jadi ya dinikmati sajalah,

kalau memang takdir saya seperti ini”.

Informan Kelima

Kamis, 7 Mei 2015. Pukul 15.00 saya berada di rumah informan kelima

yang berada di daerah Kalimati. Setelah menjelaskan kedatangan saya kesana,

segeralah kami melakukan wawancara.

Nama bapak siapa? “Nama saya BS mbak”, Usianya berapa pak? “Tiga puluh tahun”, Pendidikan terakhir bapak apa? “Pendidikan terakhir saya hanya SMP mbak”, Bapak ini asal mana? “Saya orang Kalimantan mbak, yang sekarang jadi orang Surabaya”, Bapak sudah mempunyai berapa orang anak? “Masih satu mbak”, Usianya berapa pak? “Baru enam tahun”.

Maaf pak, kalau saya boleh tahu kondisi ekonomi orang tua bapak dulu

seperti apa ya? “Orang tua saya mempunyai lima anak mbak, dan saya ini

(16)

mempunyai keinginan untuk merubah nasib keluarganya. Saat ini orang tua saya

mempunyai toko baju mbak. Karena kan keluarga saya memang dari kalangan

ekonomi pas-pasan, orang tua saya saja hanya mampu menyekolahkan saya

sampai SMP. Orang tua saya dulu keberatan mbak harus mengeluarkan biaya

yang banyak untuk anak-anaknya”.

Terus bapak saat ini menggantungkan biaya rumah tangga sama siapa?

“Semenjak saya tidak bekerja ini, saya hanya mengandalkan dari istri mbak”, Memangnya bapak dulu pernah bekerja dimana? “Pertama kali saya bekerja itu

jadi karyawan di salah satu rumah makan mbak, tapi pekerjaan itu hanya berjalan

selama empat tahun”, Kenapa pak kok berhenti? “Ya karena suatu alasan yang membuat saya sudah tidak nyaman lagi bekerja disana”, Setelah itu, apa bapak mencari kerjaan lagi? “Iya mbak, saya cari info dari teman-teman dan akhirnya

saya diterima bekerja di pabrik. Tapi ada persyaratannya mbak, bahwa saya hanya

dikontrak selama tiga tahun saja. Setelah tiga tahun berlalu, saya tidak mencari

pekerjaan lagi mbak. Karena lulusan SMP ini sudah jarang yang mau menerima,

meskipun itu di pabrik sekalipun”, Bapak sekarang sudah berapa lama menjadi pengangguran? “Sudah dua tahun ini mbak”.

Menurut bapak, apa yang menjadi keutamaan dalam menentukan

pendidikan anak selain dari segi biaya? “Bagi saya yang perlu diperhatikan itu

mengenai pendidikan agamanya mbak, karena menurut saya moral anak saat ini

harus dibangun mulai kecil mbak. Mengingat sekarang ini kondisi anak-anak

sudah sangat memprihatinkan, tentunya peran orang tua juga tetap diperlukan

(17)

apabila kurikulum sekolahnya bagus, tetapi tidak diimbangi dengan perhatian

orang tua”.

Setelah menunggu istri dari informan kelima ini melakukan pekerjaan

rumah, barulah saya melakukan wawancara dengannya.

Nama ibu siapa? “UH mbak”, Usianya bu? “Usia saya tiga puluh tahun”, Pendidikan terakhir ibu apa? “SMA mbak”, Ibu asli Surabaya? “Iya mbak”, Saat ini ibu bekerja dimana? “Saya kerja di peti kemas mbak”, Sudah lama bu kerja disana? “Ya lumayan lama mbak”, Apa yang melatarbelakangi ibu untuk bekerja? “Ya ingin membantu suami untuk mencari penghasilan mbak, apalagi saat ini suami saya juga menganggur. Harapan saya ya mudah-mudahan suami bisa

secepatnya mendapatkan pekerjaan lagi. Saya kerja disini juga bersyukur banget

mbak, karena bagi saya gajinya cukup besar, jadi ya sebisanya saya akan

mempertahankan pekerjaan ini”, Menjadi ibu rumah tangga dan harus mencari nafkah untuk keluarga seperti ini apa tidak berat bu? “Awalnya sih ya berat mbak,

saya bekerja di peti kemas ini pun awalnya juga agak sedikit terpaksa. Bagi saya

ini adalah sebuah tantangan ya mbak, melihat kondisi ekonomi keluarga saya

yang seperti ini. Saya harus bekerja lebih keras lagi supaya bisa menghidupi anak

saya, biaya hidup sekarang juga mahal-mahal. Kalau tidak diimbangi dengan

bekerja seperti ini, mau dapat uang dari mana saya mbak”.

Ibu sendiri, setujukah dengan pernyataan suami barusan mengenai

pendidikan anak? “Iya mbak, soal urusan pendidikan anak saya sependapat

(18)

masa depan anak agar lebih terarah tujuannya”, Jadi ibu sama bapak masih tetap menjalin komunikasi dengan baik ya? “Iya mbak, karena ini kan demi masa depan anak kita”, Terus yang lebih berperan dalam mengambil keputusan mengenai pendidikan anak ini lebih ke siapa ya bu? “Kalau urusan itu, lebih sama saya

mbak. Karena menurut saya, saya yang mencari uang untuk keluarga saya, jadi ya

apapun keputusan keluarga berada di tangan saya mbak”.

Setelah cukup untuk melakukan wawancara dengan mereka, saya pun

Referensi

Dokumen terkait

HUBUNGAN ANTARA PELATIHAN DENGAN KINERJA PADA GURU SMK ISLAM PB SOEDIRMAN 2 DI JAKARTA.. RIZKI WULANDARI

Judul laporan akhir ini adalah Pengaruh Debt to Equity Ratio (DER) Terhadap Pertumbuhan Laba Perusahaan yang Terdaftar di BEI Periode 2009-2013.. Dalam menyusun laporan akhir

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan sintesis senyawa dibenzalaseton dan dianisalaseton pada kondisi yang sama untuk menentukan pengaruh gugus metoksi pada posisi

DAF"TAR RINCIAN NILAI PENAMBAHAN PENYERTAAN MODAL DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA KE DALAM MODAL SAHAM PERSEROAN TERBATAS (PT). PERKEBUNAN SUMATERA UTARA YANG

Berdasarkan analisis ragam ternyata tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal rata-rata jumlah daun diatas tongkol antara 15 populasi yang diuji.. Pada populasi XI

merupakan suatu pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja instansi pemerintah berdasarkan indikator-indikator

Salah satu cara untuk  mendapat ketebalan yang tepat adalah dengan membuat garis – garis plesteran/patok pada dinding dengan arah vertikal dari atas ke bawah dengan jarak 1 -

Selanjutnya untuk mengetahui sejauhmana Satuan Kerja Perangkat Daerah melaksanakan dan memperlihatkan kinerjanya seiring dengan anggaran yang digunakan dalam