• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. pidana, seperti reglement op de rechterlijke organisatie (R.O. Stb

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. pidana, seperti reglement op de rechterlijke organisatie (R.O. Stb"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda adanya perubahan perundang-undangan di Negara Belanda yang dengan asas korkondansi diberlakukan juga di Indonesia tepatnya pada tanggal 1 Mei 1848. Pada masa itu di Indonesia dikenal beberapa kodifikasi peraturan hukum acara pidana, seperti reglement op de rechterlijke organisatie (R.O. Stb 1847-23 jo Stb 1848-57) yang mengatur mengenai susunan organisasi kehakiman;

Indlasch reglement (IR Stb 1848 Nomor 16) yang mengatur tentang hukum acara pidana dan perdata di persidangan bagi mereka yang tergolong penduduk Indonesia dan Timur Asing; reglement op de strafvordering (Stb. 1849 nomor 63) yang mengatur ketentuan hukum acara pidana bagi golongan penduduk Eropa dan yang dipersamakan; landgerechtsreglement

(Stb 1914 Nomor 317 jo Stb. 1917 Nomor 323) mengatur acara di depan pengadilan dan mengadili perkara-perkara sumir untuk semua golongan penduduk. Disamping itu diterapkan pula ordonansi-ordonansi untuk daerah luar Jawa dan Madura yang diatur secara terpisah.

Dalam perkembangannya ketentuan Indlandsch Reglement

diperbaharui menjadi Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR), yang mendapat persetujuan Volksraad pada tahun 1941. HIR ini memuat reorganisasi atas penuntutan dan pembaharuan peraturan undang-undang mengenai pemeriksaan pendahuluan. Dengan hadirnya HIR, muncullah

(2)

lembaga Penuntut Umum (Openbare Ministrie) yang tidak lagi berada dibawah pamong praja, tetapi langsung berada dibawah Officer van Justitie

dan Prosecuer General.1

Pada zaman pendudukan Jepang, pada umumnya tidak terjadi perubahan asasi kecuali hapusnya Raad van Justitie sebagai pengadilan untuk golongan Eropa. Dengan demikian, acara pidana pun pada umumnya tidak berubah, HIR dan Reglement voor de Buitengewesten serta

Landgerechts reglement berlaku untuk pengadilan negeri (Tihoo Hooin), Pengadilan Tinggi (Kuootoo Hoin) dan Pengadilan Agung (Saiko Hooin).2

Pada tahun 1981, melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), segala peraturan yang sebelumnya berlaku dinyatakan dicabut. KUHAP yang pada awal dibentuknya disebut-sebut sebagai “karya agung” bangsa Indonesia merupakan suatu unifikasi hukum yang diharapkan dapat memberikan suatu dimensi perlindungan hak asasi manusia dan keseimbangannya dengan kepentingan umum. Dengan terciptanya KUHAP, maka untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan unifikasi dan kodifikasi yang lengkap. Dalam artian seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran) penyelidikan sampai pada kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Selain itu, dengan adanya KUHAP juga menimbulkan perubahan fundamental baik

1 http://acarapidana.bphn.go.id/sekilas-hukum-acara-pidana/ diakses pada tanggal 26

Februari 2017 pukul 15.30 WIB

(3)

secara konsepsional maupun secara implementasi terhadap tata cara penyelesaian perkara di Indonesia.

Di dalam KUHAP, terdapat landasan/prinsip KUHAP yang diartikan sebagai dasar patokan hukum yang melandasi KUHAP. Asas-asas atau prinsip hukum inilah tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP. Selain itu, hal tersebut juga berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan tindakan yang menyangkut KUHAP.3

Dari beberapa asas/prinsip yang terdapat dalam KUHAP, satu diantaranya adalah asas persidangan terbuka untuk umum (Geopend en Openbaar Verklaard). Asas ini terdapat dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP.

“Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”

Selain itu, juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Juncto Undang-Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada pasal 13 ayat (1).

“Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.”

Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Asas tersebut yang

3 M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang

(4)

diejawantahkan dalam bentuk pasal pada KUHAP (dan Undang Undang Kekuasaan Kehakiman), bermakna bahwa pada saat membuka persidangan, pemeriksaan perkara seorang terdakwa hakim ketua harus menyatakan “terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas ketentuan ini atau tidak dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan pengadilan “batal demi hukum” (Pasal 153 ayat (4) KUHAP), kecuali menyangkut perkara kesusilaan dan terdakwanya anak-anak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, asas ini memberi makna yang mengarahkan tindakan penegakan hukum di Indonesia harus dilandasi oleh jiwa “persamaan” dan “keterbukaan” serta penerapan sistem musyawarah dan mufakat dari majelis peradilan dalam mengambil keputusan.4

Disisi lain, seiring dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat membuat dunia seperti tanpa batas. Marshall McLuhan dalam bukunya yang berjudul Understanding Media: Extension of A Man pada awal tahun 60-an memperkenalkan sebuah konsep Global Village (Desa Global). Menurut, McLuhan suatu saat nanti informasi akan sangat terbuka dan dapat diakses oleh semua orang. Desa Global menjelaskan bahwa tidak ada lagi batas waktu dan tempat yang jelas. Informasi dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga ke belahan dunia lain dalam waktu yang singkat.5

Hari ini, kita dapat membuktikan kebenaran konsep yang dikemukakan McLuhan tersebut, tanpa mampu untuk menghadangnya.

4Ibid, hlm. 56

5 https://natanaeloloan.wordpress.com/2016/06/10/marshall-mcluhan-dan-global-village/ diakses

(5)

Sebagai contoh dalam Kasus dimana Jessica Kumala Wongso yang duduk sebagai terdakwa dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin yang sempat menjadi buah bibir masyarakat Indonesia. Sidang perdana Jessica yang digelar pada tanggal 15 Juni 2016 dan berakhir dengan penjatuhan putusan oleh hakim pada tanggal 27 Oktober 2016 cukup mengambil perhatian sebagian besar masyarakat Indonesia. Sidang demi sidang termasuk pemeriksaan saksi dan ahli bahkan ditampilkan secara live

(langsung) oleh beberapa media. Masyarakat dapat dengan mudah mengikuti persidangan tanpa harus hadir dalam ruang sidang secara langsung. Tak hanya itu, tidak menutup kemungkinan penyiaran sidang oleh media ini ditonton juga oleh warga negara lain yang berdomisili di luar negeri.

Pada kasus yang lain, dalam rentang waktu yang tidak terlalu jauh yakni hanya berjarak sekitar 2 (dua) bulan dari putusan kasus Jessica Kumala Wongso, yang juga cukup menyita perhatian sebagian besar masyarakat Indonesia, terlihat adanya disparitas perlakuan. Sidang kasus penodaan agama yang menempatkan Basuki Tjahaya Purnama sebagai terdakwa, pada proses pemeriksaan saksi dan ahli di pengadilan tidak lagi ditayangkan secara live. Padahal kedua kasus tersebut sama-sama merupakan perkara pidana dan termasuk delik biasa.

Menjadi suatu permasalahan, apakah sebenarnya penayangan sidang secara live masuk dalam katagori persidangan terbuka untuk umum sebagaimana yang tercantum dalam KUHAP atau tidak. Disatu sisi dengan

(6)

adanya pemutaran sidang secara live ini membuat semua orang, tanpa terkecuali saksi/ahli yang akan memberikan keterangan/pendapatnya di persidangan, dapat melihat dan menonton serta mempelajari keterangan dari para saksi atau ahli sebelumnya. Padahal, terkait hal ini telah ditegaskan juga di dalam KUHAP pasal 159 (1) bahwa Hakim ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi yang dipanggil telah hadir dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberikan keterangan di sidang. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah jangan sampai terjadi saling mempengaruhi di antara para saksi, sehingga keterangan para saksi tidak dapat diberikan secara bebas.6 Ketentuan ini pun berlaku untuk ahli dalam persidangan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti merumuskan beberapa masalah, yaitu:

1. Bagaimana penafsiran hakim terhadap asas persidangan yang terbuka untuk umum?

2. Bagaimana implikasi yuridis penayangan sidang secara live oleh pers terhadap keterangan saksi/ahli?

6 M. Karjadi & R. Soesilo, 1986, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan

(7)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai peneliti melalui penelitian ini dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu sebagai berikut:

1. Tujuan Subjektif

a. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Penulisan Hukum guna mencapai kelulusan dan memperoleh gelar sarjana.

2. Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui penafsiran hakim terhadap asas persidangan yang terbuka untuk umum.

b. Untuk mengetahui implikasi yuridis penayangan sidang secara

live oleh pers terhadap keterangan saksi/ahli.

D. Keaslian Penelitian

Untuk melihat keaslian penelitian telah dilakukan penelusuran dan pengamatan penelitian pada berbagai referensi dan hasil penelitian di Perpustakaan Fakultas Hukum Univesitas Gadjah Mada serta melalui media internet. Berdasarkan hasil pengamatan dan penelusuran yang telah penulis lakukan, belum ada penelitian-penelitian maupun karya-karya ilmiah sejenis yang membahas dan menganalisis permasalahan yang sama persis dengan penelitian ini. Namun, terdapat beberapa penelitan yang berkaitan dengan peran pers/media dalam mempublikasikan suatu perkara pidana yaitu, antara lain:

(8)

1. Penelitian untuk penulisan hukum strata 1 (satu) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tentang “Trial by The Press terhadap Jessica Kumala Wongso dalam Kasus Pembunuhan Wayan Mirna Salihin Ditinjau dari Asas Presumption of Innocence” yang dilakukan oleh

Muhammad Ridwan Siregar pada tahun 2017 dengan rumusan masalah7:

a. Apakah trial by the press terhadap Jessica Kumala Wongso dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin melanggar asas

presumption of innocence?

b. Apa faktor penyebab dan cara mengurangi terjadinya trial by the press terhadap Jessica Kumala Wongso dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin yang dilakukan oleh media

online? Kesimpulan:

Dalam penelitian yang dilakukan Ridwan Siregar, terdapat 56 (lima puluh enam) berita dari situs media online yang menghakimi Jessica Kumala Wongso adalah pembunuh Wayan Mirna Salihin. Pemberitaan tersebut juga bahkan menyimpulkan alasan dan motif Jessica membunuh Mirna seakan-akan Jessica adalah orang yang bersalah dan jahat. Terkait pemberitaan tersebut, menurut data yang didapatkan dari narasumber dan literatur dapat digolongkan sebagai

7 Muhammad Ridwan Siregar, 2017, “Trial by The Press terhadap Jessica Kumala Wongso

dalam Kasus Pembunuhan Wayan Mirna Salihin Ditinjau dari Asas Presumption of Innocence”, Skripsi Program Sarjana Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada

(9)

trial by the press. Sangat jelas bahwa tindakan menghakimi dan menuduh Jessica bersalah sebelum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) adalah melanggar asas presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah. Asas tersebut telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) dan bahkan di dalam ketentuan UU Pers bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan asas tersebut, sesuai Pasal 18 ayat (2) dapat diancam dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya trial by the press

terhadap Jessica Kumala Wongso oleh media online yaitu Pers Libertarian, Politik dalam Berita, Kepentingan Ekonomi, Mengutamakan dan minim verifikasi, Partisipasi Masyarakat Rendah, dan Minimnya Kualitas Wartawan.

Selanjutnya, terkait cara untuk mengurangi tindakan trial by the press terhadap Jessica Kumala Wongso oleh media online adalah dengan menggunakan upaya penal dan non-penal. Upaya non penal yang lebih mengutamakan sifat preventive terdiri dari jurnalisme positif, independensi wartawan, standardisasi kualitas wartawan, edukasi masyarakat, verifikasi berita, isi berita yang berimbang, meningkatkan peran dewan pers, dan meningkatkan peran organisasi wartawan. Sedangkan upaya penal yang lebih menitikberatkan pada upaya repressive sesudah kejahatan terjadi yaitu penerapan hukum

(10)

pidana (criminal law application) dimana hukum yang ada harus ditegakkan.

Perbedaan:

Penelitian di dalam skripsi tersebut lebih menekankan pada aspek trial by the press yang dilakukan oleh media online yang kemudian dikorelasikan dengan asas presumption of innocence. Meskipun penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ridwan Siregar dan yang penulis lakukan sama-sama menjadikan Kasus Jessica Kumala Wongso sebagai contoh, namun dalam penelitian tersebut sama sekali tidak meneliti masalah persidangan secara live yang dilakukan oleh pers, hanya meneliti terkait masalah berita-berita yang dikelurkan oleh pers yang tidak mengedepankan asas presumption of innocence. Namun demikian, hasil skripsi tersebut bisa menjadi acuan dan melengkapi data penulis agar menghasilkan penelitian yang penulis lakukan lebih maksimal.

2. Penelitian Hukum tentang “Pengaruh Praktik Courtroom Television

terhadap Independensi Peradilan” yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI pada tahun 2013 dengan rumusan masalah8:

a. Bagaimanakah praktik courtroom di Indonesia?

8 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2013, “Pengaruh

(11)

b. Bagaimanakah pengaruh praktik courtroom television terhadap putusan hakim, upaya pengatura dan pengawasannya?

Kesimpulan:

Beberapa tahun terakhir ini praktik courtroom television yang menyiarkan baik secara langsung maupun ulang terhadap suatu kasus yang kemudian disertai dengan berbagai ulasan maupun komentar baik secara bebas maupun melalui talkshow, pernah terjadi di Indonesia. Bahkan hal tersebut sudah seperti program acara yang menghibur dan mampu menarik perhatian banyak pemirsa. Dalam banyak kasus, praktik courtroom television banyak menyudutkan pihak tersangka. Hal ini tentunya melanggar asas presumption of innocent atau asas praduga tak bersalah. Praktik courtroom television

dikhawatirkan akan mengarah kepada perbuatan trial by the press

yang berpotensi menyebabkan contempt of court.

Adanya praktik courtroom television yang mampu membangun opini publik ternyata dari hasil analisa penelitian tersebut tidak mempengaruhi hakim dalam membuat putusan peradilan. Namun, opini publik dalam artian publik tertentu atau publik terbatas (institusi atau lembaga) atau pun opini publik dari beberapa pihak yang berkepentingan dengan kasus tersebut yang dapat mempengaruhi hakim.

(12)

Perbedaan:

Penelitian ini tidak jauh berbeda dari penelitian sebelumnya (penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ridwan Siregar) yang mengaitkan permasalahan pers dalam melakukan penyiaran terhadap kasus pidana yang disidangkan dengan asas presumption of innocent

(asas praduga tak bersalah). Penelitian ini tidak meneliti terkait penyiaran sidang secara langsung oleh pers yang dikaitkan dengan asas persidangan terbuka untuk umum seperti yang penulis lakukan.

Berdasarkan penelitian yang telah disebutkan di atas masih belum ada pihak yang menjadikan penayangan sidang secara live oleh pers pada tahap pemeriksaan saksi/ahli dalam perkara pidana sebagai objek penelitian, terlebih apabila hal tersebut ditinjau dari asas persidangan terbuka untuk umum.

Oleh karena itu, berdasarkan analisis perbedaan penelitian yang telah penulis jelaskan di atas, serta permasalahan dari penelitian-penelitian yang telah ada, dapat dinyatakan bahwa penelitian-penelitian ini berbeda dengan penelitian yang pernah ada sebelumnya. Hal yang menjadi dasar dari penelitian ini adalah penayangan sidang secara live

yang pernah terjadi serta beberapa sumber pustaka baik buku maupun peraturan perundang-undangan. Selain itu, penulis juga mendapatkan data dari hasil wawancara dengan responden dan narasumber. Apabila tanpa sepengetahuan penulis ternyata ditemukan penelitian yang sama

(13)

dengan yang penulis lakukan, harapannya penelitian ini dapat menjadi pelengkap dari penelitian yang pernah ada.

E. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini diharapkan dapat berguna bagi:

1. Bagi Ilmu Pengetahuan (Teori)

Peneliti berharap bahwa hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam hukum acara pidana. Dewasa ini kerap muncul pro kontra baik dalam penerapan asas hukum maupun penerapan pasal dalam peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh para penegak hukum, sehingga diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat diketahui secara jelas bagaimana asas persidangan terbuka untuk umum menurut penafsiran hakim serta menurut peraturan perundang-undangan terkait.

2. Bagi Ilmu Praktis (Praktik)

Peneliti berharap bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi para penegak hukum, terutama hakim, yang menjadi pemimpin dan menentukan jalannya sebuah persidangan serta bagi pers sebagai perpanjangtanganan hakim untuk mengedukasi masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

sumber data lansung.Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah studi. kasus penelitian lapangan (field research) dapat juga

Sedangkan perbedaan yang penulis lakukan disini adalah penelitian yang bersifat studi kasus, yaitu 5 subjek dari keluarga pedagang ikan dan memiliki anak berusia 5 sampai 12

Dalam studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti dilapangan sebelumnya juga menemukan bahwa di desa X memang telah terjadi kasus atau fenomena child abuse terhadap anak

Dari paparan di atas, penulis akan melanjutkan berdasarkan studi kasus untuk menentukan sistem Penerangan Jalan Umum (PJU) lebih memberikan benefit maka dilakukan

Dalam kasus Jepang bahwa bantuan luar negeri untuk Cina sebagai strategi pencintraan bagi Jepang, penulis menjadikan survei yang dilakukan media sebagai salah satu indikator

Maka berdasarkan contoh kasus yang telah dijelaskan diatas, penulis mencoba memberikan solusi untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada Divisi Manajemen

Pada kasus di jalan ini penulis merancangkan tebal perkerasan jalan kaku dengan menggunakan metode manual desain perkerasan jalan 2017 dan metode AASHTO 1993, karena jalan yang

Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin mengangkat mengenai kasus pembatalan akta hibah yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Depok adanya issu hukumnya adalah tentang pemalsuan akta