• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Pidana Internasional (the International Criminal Court),

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Pidana Internasional (the International Criminal Court),"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mahkamah Pidana Internasional (the International Criminal Court),

merupakan salah satu peradilan internasional permanen yang dibentuk oleh negara peserta konferensi atas prakarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa di Roma pada 17 Juli 1998 untuk mengadili individu atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, serta agresi.5 Pembentukan Mahkamah Pidana

Internasional tidak terlepas dari Perang Dunia Pertama serta Perang Dunia Kedua karena pada masa itu terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang, khususnya peristiwa genosida.6 Perserikatan Bangsa-Bangsa

mulai mempertimbangkan pendirian peradilan pidana internasional permanen

5 Diprakarsai oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam Konferensi Diplomat

Dengan Kuasa Penuh untuk Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, dihadiri oleh lebih dari 160 delegasi negara pada tanggal 15 Juni 1998 di Roma mengawali dibentuknya Mahkamah Pidana Internasional dan ditutup dengan konferensi pada tanggal 17 Juli 1998 di Roma untuk penandatanganan serta proses negara-negara peserta untuk mengikatkan diri pada Statuta Roma sebagai buah konferensi pada tanggal 17 Juli 1998 tersebut. Statuta Roma berlaku secara sah dan mengikat pada tanggal 1 Juli 2002 setelah dicapai ratifikasi oleh 60 negara sebagai syarat berlakunya. baca William A. Schabas (a), An Introduction to the International Criminal Court, Duke University Press, New York, hlm. 15-17. Lihat pula, Richard Overy, et al, 2003, From Nuremberg to The Hague (Edited by Philippe Sands), Cambridge University Press, New York, hlm. 3, baca juga Dominic McGoldrick, et al., 2004, The Permanent International Criminal Court : Legal and Policy Issues (Edited by Dominic McGoldrick, Peter Rowe, Eric Donnely), Hart Publishing, Oregon, hlm. 40-44.

6 Kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran keadilan yang dimaksud Richard Overy

misalnya menyiksa tawanan perang dan menembaki penumpang kapal musuh yang selamat. Dalam Konvensi Jenewa 1949 Bagian Pertama pasal 3 menyebutkan bahwa tindakan semacam ini dilarang dilakukan, baca Richard Overy, et al, 2003, From Nuremberg to The Hague (Edited by Philippe Sands), Cambridge University Press, New York, hlm. 3., dan Convention of Geneva (I) 1949 Article 3.

(2)

ketika peristiwa holocaust7oleh Nazi Jerman menjadi sorotan dunia.8 Jauh sebelum

Perang Dunia, telah ada konvensi yang mengatur mengenai perang, yaitu Konvensi Jenewa 1864, dengan didahului oleh Deklarasi Paris pada tahun 1856, Lieber Code

pada tahun 1863, Resolusi Pertemuan Jenewa pada tahun 1863 serta Konferensi Den Haag 1907.9 Konvensi Jenewa 1864 yang dipelopori oleh Jean Henry Dunant

ini juga menjadi pendukung sejarah berdirinya Mahkamah Pidana Internasional disamping peristiwa genosida yang terjadi ketika Perang Dunia Kedua.10

Jean Henry Dunant, seorang wirausaha dan pecinta kemanusiaan juga pendiri Komite Internasional Palang Merah, pencetus Konvensi Jenewa pada tahun 1864.11

Konvensi Jenewa 1864 mengatur mengenai perlindungan prajurit yang terluka dalam perang, mengakui pihak medis sebagai pihak yang netral dan tidak boleh diserang, dan mengenai simbol palang merah sebagai penanda netral yang diakui dalam perang. Konvensi ini telah didahului oleh serangkaian peristiwa permulaannya seperti Deklarasi Paris pada tahun 1856, Lieber Code pada tahun 1863, dan Resolusi Pertemuan Jenewa pada tahun 1863 sebagai pengantar dibentuknya Konvensi Jenewa pada tahun 1864.12

7 Istilah holocaust pertama kali digunakan untuk mendeskripsikan perlakuan Hitler kepada

orang-orang Yahudi selama Perang Dunia Kedua. Kata holocaust pada tahun 1970 yang lazim diartikan secara harfiah sebagai pembunuhan ras minoritas di Eropa dan Afrika Utara selama Perang Dunia Kedua oleh Nazi Jerman, baca Eddy O.S. Hiariej (a), 2010, Pengadilan Atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap Hak Asasi Manusia, Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm. 46-47.

8 Dominic McGoldrick, Op.cit., hlm. 41, baca juga William A. Schabas (a), Op.cit., hlm. 2-3,

dan Eddy O.S. Hiariej (a), Op.cit., hlm. 48-49.

9 International Committee of the Red Cross, Historical Treaties and Documents,

https://ihl-databases.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/Treaty.xsp?documentId=477CEA122D7B7B3DC12563CD00 2D6603&action=openDocument, diakses pada 10 Oktober 2016, baca juga Eddy O.S. Hiariej (a), Op.cit., hlm. 27.

10 Dražan Ðukić, “Transitional Justice and the International Criminal Court—in “the interests

of justice?”, International Review of The Red Cross, Volume 89, Nomor 867, Tahun 2007, hlm. 704, baca juga Dominick McGoldrick, et al., Op.cit., hlm. 41.

11 International Committee of the Red Cross, Henry Dunant (1828-1910),

https://www.icrc.org/eng/resources/documents/misc/57jnvq.htm, diakses pada 10 Oktober 2016.

(3)

Meski telah ada berbagai konvensi mengenai perlindungan hak asasi manusia dalam perang yang diakui dunia internasional, termasuk Konvensi Jenewa 1864 itu sendiri, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan tetap terjadi. Keadaan demikian dapat terjadi karena dalam Konvensi Jenewa khususnya, tidak memuat peraturan mengenai wajib dipidananya pelaku kejahatan perang yang melanggar konvensi, hanya memberikan pemidanaan sebagai alternatif hukuman.13

Pada Perang Dunia Pertama tahun 1919 misalnya, Jerman melanggar hukum kebiasaan perang, 14 kemudian Perang Dunia Kedua tahun 1945, terjadi

pembantaian warga sipil khususnya kaum Yahudi oleh Nazi Jerman, 15

serta pembantaian terhadap bangsa Rusia.16 Pengadilan Militer Nuremberg dan

Pengadilan Tokyo memunculkan perdebatan dalam masyarakat internasional mengenai adanya unsur politik yang dipaksakan oleh negara pemenang perang tanpa menjunjung tinggi prinsip keadilan dalam hukum kepada negara poros Perang Dunia Kedua khususnya Jerman dan Jepang,17 Penggunaan senjata

pemusnah massal terhadap Jepang adalah contoh pelanggaran Amerika terhadap hukum kebiasaan perang.18

Menanggapi peristiwa-peristiwa tersebut, Richard Overy, seorang profesor sejarah modern King’s College London, dalam tulisannya The Nuremberg Trials: International Law in The Making, memberikan pandangan mengenai problema

13 Dražan Ðukić, Loc.cit.

14 Berdasarkan peraturan pasal 228 dan pasal 229 Perjanjian Versailles tahun 1919, individu

militer Nazi Jerman dituduh telah melanggar hukum kebiasaan perang, baca McGoldrick, et al., Op.cit., hlm. 12.

15 M. Cherif Bassiouni (a), 2011, Crimes Against Humanity : Historical Evolution and

Contemporary Application, Cambridge University Press, New York, hlm. xxx.

16 Eddy O.S. Hiariej (b), 2009, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Erlangga,

Jakarta, hlm. 74.

17 McGoldrick, et al., Op.cit., hlm. 20. 18 Ibid.

(4)

hilangnya keadilan yang dirasakan oleh petinggi militer Jerman pada saat Pengadilan Nuremberg diadakan, bahwa ternyata Pihak Sekutu telah memaksakan keadilan berdasarkan kemenangannya dalam peperangan. Pihak Sekutu tidak mempunyai dasar hukum yang jelas dalam menjatuhkan dakwaan terhadap perwira militer Nazi Jerman, namun tetap ingin menghukum Nazi Jerman.19

Bassiouni selanjutnya memberi pendapat, kemenangan Pihak Sekutu pada tahun 1945 dalam Perang Dunia Kedua bagaimanapun membawa pergerakan dalam Hukum Internasional.20 Bertolak dari peristiwa pembantaian kaum Yahudi, bangsa

Rusia, pelanggaran hukum kebiasaan perang oleh Jerman tersebut, Pihak Sekutu mewujudkan perubahan dalam Hukum Internasional dengan mendirikan peradilan pidana internasional yang pertama kali dapat mengadili individu, yaitu Mahkamah Pidana Militer Nuremberg (Nuremberg Trials) yang didasari oleh Piagam London tahun 1945.21

Pembentukan Mahkamah Militer Internasional ini, menurut Richard Overy, dalam sejarahnya, juga sebagai reaksi atas kebijakan Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris semasa perang sekaligus wakil dari negara Inggris. Winston Churchill ini dikatakan oleh Richard Overy sebagai penganut cara kuno dalam menegakkan keadilan.22 Dianggap demikian oleh Overy karena Churchill

mempunyai kebijakan di Inggris yang berlaku sejak tahun 1943 hingga akhir Perang Dunia Kedua untuk menembak mati siapapun pimpinan atau bawahan musuh seketika pimpinan atau bawahan musuh itu terlihat.23 Kebijakan semacam

19 Richard Overy, et al., Op.cit., hlm. 1-2. 20 M. Cherif Bassiouni (a), Op.cit., hlm. xxx.

21 Claire de Than and Edwin Shorts, 2003, International Criminal Law and Human Rights, Sweet

& Maxwell Limited, London, hlm. 273.

22 Richard Overy, et al., Loc.cit. 23 Ibid.

(5)

ini menurut Overy merupakan ketidakadilan sebab penghukuman dengan cara main hakim sendiri dilakukan tanpa ada proses peradilan yang berfungsi untuk menetapkan kesalahan.24 “Tindakan yang dilakukan oleh kriminal sangat jahat dan

pengadilan sekalipun pasti menghukum atas kejahatan para kriminal itu,” ucap Anthony Eden, sekretaris Departemen Luar Negeri Inggris yang mendukung kebijakan Winston Churchill.26

Pernyataan tersebut dilawan oleh Sekretaris Pertahanan Perang Amerika, Henry Stimson. Menurut Henry Stimson, keadilan harus ditegakkan seperti halnya hukum warisan Anglo-Saxon yang memberi hak kepada terdakwa untuk membela dirinya, didengarkan, serta memanggil saksi untuk pembelaan.27 Tradisi

Anglo-Saxon menegakkan keadilan dengan menghormati hak asasi manusia, bukan dengan main hakim sendiri.28 Lebih lanjut, Henry Stimson menyebutkan bahwa

tersangka, terdakwa, berhak untuk membela dirinya dari kesalahan dan berhak membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.29 Pendapat Henry Stimson dikuatkan

oleh Uni Soviet (sekarang Federasi Rusia) yang mendukung untuk mendirikan pengadilan yang menghukum penjahat perang.

Desakan oleh Uni Soviet dan Amerika kepada Inggris serta pemikiran-pemikiran mengenai penegakan keadilan yang telah ada sebelumnya adalah salah satu latar belakang dibentuknya peradilan pidana internasional. Pasca Perang Dunia Kedua berakhir, terdapat pengadilan yang didirikan berdasarkan perjanjian internasional negara-negara pemenang perang antara lain Nuremberg Trials

24 Ibid. 26 Ibid., hlm. 4 27 Ibid. 28 Ibid., hlm. 5 29 Ibid.

(6)

(Pengadilan Militer Nuremberg) berdasarkan Piagam London pada tanggal 8 Agustus 1945, Pengadilan Tokyo (Tokyo Trial) berdasarkan Perjanjian Komandan Tertinggi Timur Jauh pada tanggal 19 Januari 1946,30 kemudian diikuti dengan

pendirian Pengadilan Pidana Internasional Untuk Negara Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia) pada tanggal 25 Mei 1993, serta yang terakhir yakni Pengadilan Pidana Internasional Untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda) yang didirikan pada tanggal 8 November 1994.31

Pendirian Pengadilan Pidana Internasional Untuk Negara Bekas Yugoslavia dan Pengadilan Pidana Internasional Untuk Rwanda merupakan hal yang baru pasca Perang Dunia Kedua,32 disebut demikian karena keduanya didirikan oleh

masyarakat internasional dan bukan merupakan bentukan

negara pemenang perang.33 Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui organ Dewan

Keamanannya mendirikan kedua pengadilan tersebut berdasarkan resolusi Dewan Keamanan. Masyarakat internasional menghendaki adanya peradilan berdasarkan moral serta prinsip hukum setelah belajar dari peristiwa Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo.34

Jika ditelusur kembali pada tahun 1939 Kongres Amerika mendirikan Komite untuk tujuan mengatasi masalah pasca perang, kemudian dirumuskan namanya menjadi Divisi Riset Khusus pada Februari tahun 1941. Selanjutnya, oleh Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Winston

30 McGoldrick, et al., Op.cit., hlm. 14-20. 31 Eddy O.S. Hiariej (b), Op.cit., hlm. 147-176. 32 McGoldrick, et al., Op.cit., hlm. 24.

33 Ibid. 34 Ibid.

(7)

Churchill mengadakan pertemuan mengenai perancangan Atlantic Charter (Piagam Atlantik) yang isinya mengatur mengenai perlindungan perdamaian dan keamanan negara-negara di dunia. Piagam ini sebagai tonggak awal berdirinya Perserikatan Bangsa-bangsa. Dua puluh enam negara menandatangani Piagam Atlantik sebagai deklarasi untuk turut serta melawan pasukan poros Perang Dunia Kedua,35 namun

Perserikatan Bangsa-bangsa baru sah berdirinya pada tanggal 24 Oktober 1945 melalui Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa. Jerman menyerah pada tanggal 7 Mei 1945, sementara Jepang menyerah pada tanggal 2 September 1945, kala itu Perserikatan Bangsa-bangsa belum efektif beroperasi.36

Ketika telah disahkan pada tanggal 24 Oktober 1945, Perserikatan Bangsa-bangsa melalui Majelis Umumnya mengusulkan untuk mendirikan pengadilan permanen yang dapat mengadili individu atas kejahatan internasional. Permulaan usul tersebut tidak disetujui oleh Amerika Serikat.37 Bagaimanapun

sejak pendirian Perserikatan Bangsa-bangsa, segala bentuk ancaman terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan harus diajukan kepada Dewan Keamanan untuk memenuhi pasal 23, pasal 25, dan pasal 39 Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa. Pengajuan masalah kejahatan perang, ancaman terhadap perdamaian serta kejahatan terhadap kemanusiaan khususnya yang terjadi di Bekas Negara Yugoslavia pada masa itu sudah didasari perjanjian internasional yang melibatkan banyak negara dalam pembuatannya, sehingga pelaksanaannya tidak dipaksakan seperti pada Nuremberg dan Pengadilan Tokyo.38

35 Donald A. Wells, 2005, The United Nations : States vs International Laws, Algora Publishing,

New York, hlm. 10.

36 Ibid.

37 Ibid., hlm. 115. 38 Ibid., hlm.

(8)

Belajar dari kesalahan pada Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa mengeluarkan resolusi untuk mendirikan pengadilan khusus yang bersifat sementara pertama kali, yaitu Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia berdasarkan Resolusi 827 (25 Mei 1993), serta yang kedua adalah Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda berdasarkan Resolusi 955 (8 November 1994).39

Berawal sejak tanggal 9 Desember 1948 hingga pendirian peradilan-peradilan

ad hoc tersebut, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah mempertimbangkan pendirian pengadilan pidana internasional yang bersifat permanen.40 Kemudian pada tahun 1994, Majelis Umum Perserikatan

Bangsa-bangsa memulai kembali untuk membahas mengenai pendirian pengadilan pidana internasional secara permanen dengan menggunakan rancangan yang telah dibuat International Law Committee.41Perserikatan Bangsa-Bangsa memprakarsai

pendirian Mahkamah Pidana Internasional oleh Majelis

Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan diwujudkan melalui dua tahap kegiatan.43

Pertama, perumusan dengan persetujuan draf Statuta Roma pada tanggal 15 Juni 1998 yang diikuti upaya untuk mendorong terjadinya ratifikasi dari

39 Pengadilan Nuremberg mengadili kejahatan genosida oleh petinggi-petinggi militer Nazi

ketika Perang Dunia berlangsung pada 8 Agustus 1945, Pengadilan Tokyo mengadili kejahatan pada masa Perang Dunia petinggi-petinggi militer Jepang beserta prajurit bawahannya pada 19 Januari 1946, Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia pada 25 Mei 1993 mengadili Slobodan Milosevic atas kejahatan genosida yang dilakukan terhadap etnis muslim Bosnia dan Kroasia, Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda pada 8 November 1994 adalah untuk mengadili suku Hutu atas kejahatannya kepada suku Tutsi di Rwanda, baca Eddy O.S. Hiariej (b), Op.cit., hlm. 83, baca juga Eddy O.S. Hiariej (a), Op.cit., hlm. 49, 70, 147, 176.

40 William A. Schabas (a), Op.cit., hlm. 13. baca juga Donald A. Wells, 2005, The United

Nations: States vs International Laws, Algora Publishing, New York, hlm. 121-123.

41 William A. Schabas (a), Loc.cit., baca juga M. Cherif Bassiouni (a), Op.cit., hlm. xiii. 43 Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dibentuk dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa

memiliki organ utama sebagai berikut: a. International Court of Justice;b. General Assembly;c. Economic and Social Council;d. Secretariat;e. Security Council;f. Trusteeship Council, baca Rumki Basu, 2004, The United Nations : Structure & Functions of an International Organisation, Sterling Publishers, India, hlm. 418.

(9)

negara. Statuta Roma mensyaratkan 60 ratifikasi atau aksesi agar mengikat sah. Pada tanggal 1 Juli 2002, Statuta Roma mendapatkan 60 negara yang meratifikasinya sehingga Statuta Roma mengikat dan berlaku secara sah. Selanjutnya, pasca persetujuan draf, diikuti dengan konferensi yang mengundang lebih dari 160 negara untuk menindaklanjuti pengikatan Statuta Roma. Peristiwa inilah yang selanjutnya membentuk Mahkamah Pidana Internasional yang permanen. Kegiatan-kegiatan ini adalah upaya terkait dengan misi mewujudkan sekaligus memelihara perdamaian dan keamanan internasional.44

Sebelum pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, PBB telah mencoba menjalankan fungsi pemeliharaan perdamaian keamanan melalui salah satu organ PBB, yaitu Dewan Keamanan (Security Council). Peran Dewan Keamanan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Bab VII tentang Action with Respect to threats, to the Peace, Breaches of the Peace, and Acts of Agression adalah untuk menciptakan perdamaian dan keamanan dunia.45 Dewan Keamanan ini pada masa

awal dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan satu-satunya badan yang berwenang menegakkan keadilan dan menjaga kemananan internasional. Pendirian International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia dan

International Criminal Tribunal for Rwanda dalam Resolusinya, Dewan Keamanan menyebutkan dasar tindakannya adalah Bab VII Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, oleh karenanya, pengadilan-pengadilan ad hoc tersebut dibentuk dalam

44 William A. Schabas (a), Op.cit., hlm. 15, baca juga Sefriani, “Kewenangan Dewan Keamanan

Menghentikan Yurisdiksi ICC : Studi Kasus Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1497 Tahun 2003”, Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Nomor 1, Volume 16, Januari 2009, hlm. 38.

(10)

rangka menjalankan tugas Dewan Keamanan sesuai Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa.46

Neha Jain menganalisa bahwa pembentukan dan pemberian kewenangan Dewan Keamanan oleh Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai organ yang satu-satunya berwenang menegakkan keadilan dan menjaga keamanan internasional mempunyai sifat politis dalam mencapai tujuannya.47 Akiho Shibata

menjelaskan yang dimaksud dengan politis disini adalah proses dalam memutuskan sesuatu harus mengakui kedaulatan negara masing-masing. Menegakkan keadilan dan kebenaran jika dilatarbelakangi alasan politis, maka akan menimbulkan keberpihakan, oleh karena dalam prosesnya selalu ada keberpihakan, maka menjadi tidak netral. 48 Menurut Bassiouni, baik hukum nasional dan Hukum Internasional

akan mendukung penegakan hukum pidana internasional apabila dapat mengesampingkan politik dan mengutamakan integralitas dan kerjasama antar negara. 49 Hal ini menimbulkan pertanyaan penulis bagaimana dampak

pembentukan Mahkamah Pidana Internasional dengan wewenang Dewan Keamanan PBB dan bagaimana keterhubungan antara kedua institusi tersebut.

Institusi Mahkamah Pidana Internasional dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, hubungan keduanya didasari oleh Preambule Statuta Roma baris ke-9 serta pada pasal 4 ayat (3) Negotiated Relationship Agreement between the

46 Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 827 Tahun 1993 dan Resolusi

Nomor 955 Tahun 1994.

47 Neha Jain, “A Separate Law for Peacekeepers: The Clash between the Security Council and

the International Criminal Court”, The European Journal of International Law, Volume 16, No. 2, Tahun 2005, hlm. 239.

48 Akiho Shibata, “International Law-Making Process in the United Nations : Comparative

Analysis of UNCED and UNCLOS III”, California Western International Law Journal, Volume 24, Nomor 1, Tahun 1993, hlm. 24 - 31.

49 M. Cherif Bassiouni (c), “The Perennial Conflict Between International Criminal Justice and

(11)

International Criminal Court and the United Nations yang berlaku sah mengikat pada tanggal 4 Oktober 2004.50 Arah dari pasal-pasal tersebut menunjukkan

diakuinya hubungan antara Dewan Keamanan dan Mahkamah Pidana Internasional, hubungan tersebut bukan hanya mengakui keberadaan namun juga mengakui wewenang satu dengan lainnya.51

Wewenang Dewan Keamanan dalam Statuta Roma disebut hak referral (hak menyerahkan) pada pasal 13 dan hak deferral (hak menangguhkan) pada pasal 16.52

50 Isi pasal tersebut, Whenever the Security Council considers matters related to the activities of

the Court, the President of the Court (“the President”) or the Prosecutor of the Court (“the Prosecutor”) may address the Council, at its invitation, in order to give assistance with regard to matters within the jurisdiction of the Court, baca Negotiated Relationship Agreement Between the International Criminal Court and the United Nations, berlaku sah pada 4 Oktober 2004.

51 Yasin Kocar, “The Relationship Between the International Criminal Court and the United

Nations Security Council”, Law & Justice Review, Year 6, Issue 11, Desember 2015, hlm. 172.

52 Pasal 13 Statuta Roma, “The Court may exercise its jurisdiction with respect to a crime

referred to in article 5 in accordance with the provisions of this Statute if:

(a) A situation in which one or more of such crimes appears to have been committed is referred to the Prosecutor by a State Party in accordance with article 14;

(b) A situation in which one or more of such crimes appears to have been committed is referred to the Prosecutor by the Security Council acting under Chapter VII of the Charter of the United Nations; or

(c) The Prosecutor has initiated an investigation in respect of such a crime in accordance with article 15. “

Pasal 16 Statuta Roma, “No investigation or prosecution may be commenced or proceeded with under this Statute for a period of 12 months after the Security Council, in a resolution adopted under Chapter VII of the Charter of the United Nations, has requested the Court to that effect; that request may be renewed by the Council under the same conditions.”

Pasal 17 ayat (1) Statuta Roma, “Having regard to paragraph 10 of the Preamble and article 1, the Court shall determine that a case is inadmissible where:

(a) The case is being investigated or prosecuted by a State which has jurisdiction over it, unless the State is unwilling or unable genuinely to carry out the investigation or prosecution; (b) The case has been investigated by a State which has jurisdiction over it and the State has

decided not to prosecute the person concerned, unless the decision resulted from the unwillingness or inability of the State genuinely to prosecute;

(c) The person concerned has already been tried for conduct which is the subject of the complaint, and a trial by the Court is not permitted under article 20, paragraph 3;

(d) The case is not of suf cient gravity to justify further action by the Court.”

Pasal 17 ayat (2) Statuta Roma, “In order to determine unwillingness in a particular case, the Court shall consider, having regard to the principles of due process recognized by international law, whether one or more of the following exist, as applicable:

(a) The proceedings were or are being undertaken or the national decision was made for the purpose of shielding the person concerned from criminal responsibility for crimes within the jurisdiction of the Court referred to in article 5;

(b) There has been an unjusti ed delay in the proceedings which in the circumstances is inconsistent with an intent to bring the person concerned to justice;

(12)

Terkait dengan pelaksanaannya, hak penyerahan dan penangguhan ini harus memperhatikan pasal 17 Statuta Roma yang mengatur mengenai masalah dapat diterimanya perkara.

Ken Obura menyebut Mahkamah Pidana Internasional sebagai lembaga Hukum Internasional yang independen karena kedudukannya terlepas dari Perserikatan Bangsa-bangsa.53 Pendapat Dan Sarooshi melengkapi, meskipun

Mahkamah Pidana Internasional terlepas dari Perserikatan Bangsa-bangsa, Mahkamah Pidana Internasional kinerjanya dipengaruhi oleh hubungan yang berkembang dengan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa.54 Hubungan

ini dijelaskan dalam Preambule Statuta Roma serta pada pasal 4 ayat (3) Negotiated Relationship Agreement between the International Criminal Court and the United Nations. Selanjutnyahubungan tersebutdituangkan lebih lanjut pada pasal 13 dan pasal 16 Statuta Roma mengenai kewenangan Dewan Keamanan dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.

Moss kemudian menekankan hubungan Dewan Keamanan dan Mahkamah Pidana Internasional khususnya mengenai hak referral serta hak deferral Dewan Keamanan dalam Statuta Roma dapat mempengaruhi kepercayaan negara-negara

(c) The proceedings were not or are not being conducted independently or impartially, and they were or are being conducted in a manner which, in the circumstances, is inconsistent with an intent to bring the person concerned to justice. “

Pasal 17 ayat (3) Statuta Roma, “In order to determine inability in a particular case, the Court shall consider whether, due to a total or substantial collapse or unavailability of its national judicial system, the State is unable to obtain the accused or the necessary evidence and testimony or otherwise unable to carry out its proceedings.”

53 Ken Obura, “The Security Council and the International Criminal Court: When Can the

Security Council Defer a Case?”, Strathmore Law Journal, Juni, 2015, hlm. 122., baca juga Pasal 4 Statuta Roma, The Court shall have international legal personality. It shall also have such legal capacity as may be necessary for the exercise of its functions and the fulfilment of its purposes. The Court may exercise its functions and powers, as provided in this Statute, on the territory of any State Party and, by special agreement, on the territory of any other State.

(13)

terhadap Mahkamah Pidana Internasional.55 Hal demikian dikemukakan Moss

karena di balik penegakan hukum tersebut dikhawatirkan terdapat alasan politik.56

Peristiwa demikian dicontohkan dengan resolusi Dewan Keamanan 1422 pada tahun 2002. Resolusi tersebut mengacu pada pasal 16 Statuta Roma. Amerika Serikat mengancam akan menarik pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Bosnia apabila tidak diberikan kekebalan hukum atas yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap pasukan-pasukan tersebut.57

Resolusi 1422 akhirnya diadopsi mengikuti permintaan tersebut pada tahun 2002. Moss kemudian menyatakan dalilnya :58

1. Resolusi 1422 Dewan Keamanan Perserikatan sebenarnya menyimpang dari ketentuan pasal 16 Statuta Roma.

2. Ketentuan pasal 16 Statuta Roma, bahwa Statuta Roma mengamanatkan penangguhan proses penyelidikan atau penuntutan perkara, bukan memberi kekebalan hukum, dengan demikian Amerika Serikat menyimpang dari Statuta Roma.

3. Bahwa dalam keanggotan permanen Dewan Keamanan, hanya Inggris dan Perancis menjadi anggota dari Statuta Roma.

4. Amerika Serikat bukan pihak dari Statuta Roma, namun dengan kekuatannya sebagai Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bersama empat anggota permanen lainnya, dapat mempengaruhi kepercayaan dunia terhadap Mahkamah Pidana Internasional.

55 Lawrence Moss, “The UN Security Council and the International Criminal Court : Towards a

More Principled Relationship”, UN Security Council in Focus, Maret, 2012, hlm. 4.

56 Ibid. 57 Ibid., hlm. 5. 58 Ibid.

(14)

Sehubungan dengan pernyataan Moss, Obura menerangkan, walaupun Dewan Keamanan adalah badan yang terlepas dari Statuta Roma diberikan hak untuk menyerahkan keadaan (referral) dan hak untuk menangguhkan proses penyelidikan atau penuntutan (deferral) oleh Statuta Roma, Dewan Keamanan harus menghormati independensi dan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.59

Hak-hak Dewan Keamanan tersebut hanya dapat diterapkan atas dasar keadaan yang benar-benar mengancam perdamaian serta keamanan dunia.60 Hal ini dapat

ditinjau dari pasal 17, pasal 18, dan pasal 19 Statuta Roma, bahwa Mahkamah Pidana Internasional memiliki hak untuk tetap objektif dan tunduk pada pasal 53 Statuta Roma dalam menerima atau menangguhkan proses penyelidikan atau penuntututan. Hubungan antar wewenang inilah yang ingin dikaji lebih lanjut oleh penulis, sejauh mana keberadaan hak referral dan deferral yang dimiliki oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa berpengaruh terhadap pelaksanaan yurisdiksi dari Mahkamah Pidana Internasional.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang inilah penulis akan meneliti mengenai pelaksanaan serta pengaruh hak referral dan hak deferral terhadap yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.

Rumusan permasalahan tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Mengapa Statuta Roma meletakkan adanya hak referral dan hak deferral

kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa?

59 McGoldrick, et al., Op.cit., hlm. 95. 60 Ibid.

(15)

2. Bagaimana pelaksanaan hak referral dan hak deferral dalam Statuta Roma oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa?

3. Bagaimana hak referral dan hak deferral Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Statuta Roma tersebut mempengaruhi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam pelaksanaannya?

C. Tujuan Penelitian

Selltiz memaknai tujuan dari penelitian adalah untuk menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan melalui serangkaian prosedur ilmiah, yang dikembangkan supaya memperoleh informasi yang memadai.61 Informasi yang

didapatkan adalah untuk menyusun jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diteliti.63

Senada dengan Selltiz, Peter Mahmud Marzuki menyebutkan bahwa penelitian memiliki tujuan untuk mencari kebenaran.64 Melengkapi pendapat Selltiz

dan Peter Mahmud Marzuki, Mukti Fajar menjelaskan bahwa tujuan penelitian adalah mengungkap apa yang menjadi pertanyaan penulis.65

Secara umum, penelitian sebagai aktivitas keilmuan harus bisa memberikan kegunaan dan atau kontribusi bagi ilmu itu sendiri, maupun bagi masyarakat secara

61 Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia,

Jakarta, hlm. 9.

63 Ibid.

64 Peter Mahmud Marzuki menjabarkan kebenaran dalam tiga teori, yakni, teori kebenaran

korespondensi, teori kebenaran koherensi, teori kebenaran pragmatis. Menurut teori kebenaran korespondensi, suatu pernyataan adalah benar bila dan hanya bila apa yang dinyatakan sesuai dengan realitas. Menurut teori koherensi, untuk mengatakan suatu pernyataan atau putusan benar atau salah adalah apakah pernyataan atau putusan itu sesuai atau tidak sesuai dengan suatu sistem pernyataan atau lebih tepat dengan sistem proposisi-proposisi lainnya. Menurut teori kebenaran pragmatis adalah menemukan sesuatu yang efektif dan bermanfaat dalam menuangkan gagasan, baca Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Kencana, Jakarta, hlm. 22.

65 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, 2015, Dualisme Penelitian Hukum Normatif

(16)

umum, sehingga apabila dihubungkan dengan tujuan khusus dari penelitian, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi keilmuan berupa pengkayaan dan perluasan perbendaharaan teori ilmu hukum pidana internasional khususnya mengenai penegakan pidana internasional secara langsung oleh Mahkamah Pidana Internasional.66

Lebih khusus lagi, perluasan ilmu tersebut pada politik penegakan hukum pidana internasional. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik, dalam suatu negara, politik berkaitan dengan masalah kekuasaan, pengambilan keputusan, alokasi atau distribusi, serta kebijakan publik.67 Untuk melaksanakan

kebijakan-kebijakan umum, yang menyangkut sumber daya bermanfaat, perlu dimiliki kekuasaan serta wewenang.

Kekuasaan ini diperlukan baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik dengan cara meyakinkan maupun dengan paksaan. Tanpa unsur paksaan, kebijakan hanya merupakan rumusan keinginan belaka.68 Hukum

pidana internasional adalah seperangkat peraturan Hukum Internasional yang terdiri atas perbuatan-perbuatan yang menurut Hukum Internasional, baik berdasarkan hukum kebiasaan internasional maupun berdasarkan konvensi internasional, adalah kejahatan internasional serta penegakan hukum pidana internasional tersebut.69 Bagi ilmu itu sendiri, penelitian yang dilakukan oleh

66 Marcus Priyo Gunarto, 2008, “Kriminalisasi dan Penalisasi dalam Rangka Fungsionalisasi

Perda Pajak dan Retribusi”, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 39.

67 Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, PT Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, hlm. 13-14.

68 Ibid.

69 Antonio Cassese and Paola Gaeta, 2013, International Criminal Law, Third Edition, Oxford

(17)

penulis dapat membawakan kajian baru yang diharapkan dapat menjadi pedoman atau wawasan yaitu mengenai Politik Penegakan Hukum Pidana Internasional.

Penulis melakukan penelitian terhadap keberadaan hak referral dan hak

deferral yang dimiliki oleh Dewan Keamanan melalui Statuta Roma serta menganalisa pengaruhnya terhadap yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional karena penulis menduga bahwa hak-hak tersebut membawa pengaruh dalam menentukan keputusan oleh Mahkamah Pidana Internasional. Upaya penegakan keadilan dengan Penelitian ini akan memberikan wawasan dari berbagai referensi mengenai bagaimana dan apa yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan terhadap praktik penegakan keadilan oleh Mahkamah Pidana Internasional. Manakala temuan hasil penelitian memberikan penilaian bahwa Mahkamah Pidana Internasional baik menjadi independen maupun tidak independen karena pengaruh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa, maka temuan penelitian ini harapannya menjadi wawasan awal kepada Indonesia untuk memperbaiki sistem peradilan pidana dalam rangka perkembangan zaman.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memaparkan mengenai penegakan hukum pidana internasional, khususnya mengenai asal mula hadirnya hak referral dan hak deferral Dewan Keamanan dalam Statuta Roma. Penegakan keadilan internasional sesuai

Preambule Statuta Roma membutuhkan sinergi antara Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Dewan Keamanan dengan Mahkamah Pidana Internasional. Penelitian diharapkan akan memberikan pengetahuan baru mengenai sejauh mana yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dilaksanakan dalam hubungannya dengan Dewan

(18)

Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Adapun manfaat penelitian dapat dikelompokkan:

1. Secara akademis, bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum, yaitu hukum pidana internasional sebagai referensi tambahan terhadap sejarah dibentuknya Statuta Roma dan Mahkamah Pidana Internasional. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran, wawasan, serta pengetahuan mengenai hak-hak yang dimiliki oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Statuta Roma.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi sarjana atau peneliti dalam hal menentukan metode penelitian khususnya mengenai penelitian hukum Pidana Internasional serta dapat menambah wawasan keilmuan untuk mempertimbangkan keikutsertaan Indonesia dalam Statuta Roma khususnya, atau dalam perjanjian internasional lainnya.

Selain manfaat di atas, penulis hendak menyajikan kerangka untuk menyusun teori-teori dasar yang dapat melengkapi terkait penegakkan hukum pidana internasional dengan harapan dapat menjadi solusi atau teori pendukung apabila terdapat masalah terkait di kemudian hari.

E. Keaslian Penelitian

Penulis melakukan penelusuran pustaka mengenai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terkait judul penelitian yang diajukan penulis yakni, “Implikasi Hak Referral dan Hak Deferral Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Terhadap Penegakan Hukum Pidana Internasional oleh Mahkamah Pidana Internasional.”

(19)

Penulis menemukan penelitian yang membahas mengenai kewenangan Mahkamah Pidana Internasional secara umum, berikut adalah penjelasan hasil penulisan yang terdahulu.

1. Naufal Fileindi dari Universitas Indonesia dalam penelitiannya membahas mengenai prosedur aplikasi kewenangan Mahkamah Pidana Internasional terhadap pelaku kejahatan Internasional.70 Dalam penelitian tersebut, Fileindi

mencoba menjabarkan tugas-tugas Mahkamah Pidana Internasional yang dibentuk dengan Statuta Roma dengan menyebutkan pasal berkaitan.71

Fileindi juga menuliskan hal yang berkaitan dan mendukung penelitian penulis, yakni mengenai hubungan Dewan Keamanan dan Mahkamah Pidana Internasional, serta dampak resolusi Dewan Keamanan PBB kepada Mahkamah Pidana Internasional serta negara bukan pihak Statuta Roma.72

Negara yang menjadi anggota PBB dan bukan pihak dari Statuta Roma tetap terikat oleh resolusi Dewan Keamanan PBB.73

2. Sefriani, seorang dosen Universitas Islam Indonesia meneliti mengenai hak

deferral dalam studi kasus resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1497 tahun 2003 tentang penyerahan keadaan Liberia.74 Dalam penelitian tersebut,

terdapat hal yang melengkapi penelitian penulis, yakni bahwa kemandirian Mahkamah Pidana Internasional dapat dipertahankan dengan menegaskan bahwa resolusi Dewan Keamanan PBB bukanlah perjanjian internasional.75

70 M. Naufal Fileindi, 2012, “Aplikasi Kewenangan Mahkamah Pidana Internasional Terhadap

Pelaku Kejahatan Internasional”, Skripsi, Universitas Indonesia.

71 Ibid., hlm. 110. 72 Ibid., hlm 112-113. 73 Ibid.

74 Sefriani, “Kewenangan Dewan Keamanan Menghentikan Yurisdiksi ICC : Studi Kasus Resolusi

Dewan Keamanan Nomor 1497 Tahun 2003”, Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Nomor 1, Volume 16, Januari 2009.

(20)

3. Aswin Bahar dari Universitas Hasanuddin melakukan penelitian atas hak imunitas Kepala Negara di hadapan Mahkamah Pidana Internasional, bertumpu pada kasus penyelidikan Omar Al-Bashier dan membahas dampak yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional pada negara bukan pihak Statuta Roma, bahwa Mahkamah Pidana Internasional memiliki yurisdiksi terhadap negara bukan pihak Statuta berdasarkan tiga syarat, Pertama, jika terjadi penyerahan keadaan oleh Dewan Keamanan PBB. Kedua, Dalam kasus warga negara dari negara bukan pihak melakukan kejahatan di wilayah atau teritorial negara anggota Statuta Roma atau negara yang sudah menerima yurisdiksi Mahkamah berkaitan dengan kejahatan tersebut. Ketiga, Dalam kasus negara bukan pihak sudah menyetujui untuk melaksanakan yurisdiksi berkaitan dengan kejahatankejahatan tertentu.76

4. Marfuatul Latifah dari Universitas Gadjah Mada meneliti mengenai penyelesaian kejahatan serius di bawah hukum Internasional bagi negara non-pihak dengan studi kasus Darfur. 77 Penelitian tersebut terpusat pada

pembahasan mekanisme penyelesaian kejahatan serius yang terjadi di Darfur sebagai negara bukan pihak Statuta Roma, yaitu dengan cara direct enforcement melalui yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional berdasarkan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1593 Tahun 2005 tentang penyerahan keadaan di Darfur, Sudan.78

76 Aswin Bahar, 2013, “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Hak Imunitas Kepala Negara

Di Hadapan Pengadilan International Criminal Court”, Skripsi, Universitas Hasanuddin, hlm. 63-64.

77 Marfuatul Latifah, 2009, “Penyelesaian kejahatan serius di bawah Hukum Internasional bagi

negara non-pihak (Studi kasus Darfur, Republic of the Sudan)”, Tesis, Universitas Gadjah Mada.

(21)

5. Henny Septria Rintani dari Universitas Andalas meneliti mengenai peran Mahkamah Pidana Internasional dalam Penyelesaian Kejahatan Internasional juga dengan studi kasus Darfur, Sudan. 79 Henny menitikberatkan

penelitiannya kepada cara negara melaksanakan keputusan Mahkamah Pidana Internasional untuk menyelidiki dan menuntut negara Sudan atas kejahatan yang terjadi di Darfur. Hasil penelitian tersebut antara lain, bahwa Sudan sebagai negara yang diajukan ke Mahkamah Pidana Internasional harus bekerja sama dengan Mahkamah atas mandat resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1593 Tahun 2005 tentang penyerahan keadaan di Darfur, Sudan.80

Penelitian yang penulis lakukan berbeda dengan yang telah disebutkan di atas, penulis lebih menitikberatkan kepada munculnya hubungan antara Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Mahkamah Pidana Internasional pada Statuta Roma yang ditunjukkan dengan pasal 13 (mengenai hak referral) dan pasal 16 (mengenai hak deferral), bagaimana kedua pasal tersebut lahir dan diterapkan, sehingga Indonesia, sebagai negara bukan pihak Statuta Roma mengetahui dampak tersebut dan dapat menentukan sikapnya dalam menindaklanjuti Statuta Roma.

79 Henny Septria Rintani S., 2016, “Peran International Criminal Court (ICC) Dalam

Penyelesaian Kejahatan Internasional (Studi Kasus Kejahatan Internasional di Darfur, Sudan Selatan)”, Skripsi, Universitas Andalas.

Referensi

Dokumen terkait

2.06 2.06.01 15 03 Implementasi Sistem Administrasi kependudukan (membangun, updating dan pemeliharaan) Terwujudnya peningkatan pelayanan masyarakat dan kelancaran

Penanganan yang dilakukan juga terdapat kendala-kendala yang bisa menghambat tujuan tersebut, baik yang berasal dari anak jalanan, orang tuanya, serta dari

Sistem Pertanian-Bioindustri Terpadu merupakan totalitas atau kesatuan kinerja pertanian terpadu yang terdiri dari: (1) Subsistem sumberdaya insani dan IPTEK; (2) Subsistem

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif untuk variabel upaya minimisasi berupa reduksi limbah pada

Lebih lanjut, jika dibandingkan Kabupaten Purwakarta yang merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terendah di Jawa Barat, jumlah penduduk di Kabupaten Bogor lebih tinggi 81,6

Melibatkan akusisi atas bisnis-bisnis yang berkaitan dengan perusahaan yang mengakusisi dalam teknologi, pasar atau produk. Bisnis-bisnis baru yang terpilih memiliki

Selain itu, ada pula penelitian yang dilakukan oleh Djiloy (2006) yang membahas tentang peran pemerintah daerah dalam mencari jalan keluar untuk menyelesaikan

dilakukan rekapitulasi terhadap kebutuhan total untuk setiap bahan makanan (berasal dari menu dengan bahan makanan yang sama).. Pemesanan Bahan Makanan. • Bahan makanan yang