• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa defenisi ketahanan pangan, antara lain :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa defenisi ketahanan pangan, antara lain :"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ketahanan Pangan

2.1.1. Defenisi Ketahanan Pangan

Ada beberapa defenisi ketahanan pangan, antara lain :

1. Dalam undang undang No : 7 tahun 1996 tentang pangan, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dari pengertian tersebut, tersirat bahwa upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus lebih dipahami sebagai pemenuhan kondisi kondisi : (1) Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, dengan pengertian ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan dan memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, vitamin dan mineral serta turunan, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. (2) Terpenuhinya pangan dengan kondisi aman, diartikan bebas dari pencemaran biologis, kimia, dan benda lain yang lain dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman untuk kaidah agama. (3) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan bahwa distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan pada setiap saat dan merata di seluruh tanah air. (4) Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan bahwa pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

(2)

2. Internasional Confrence in Nutrition, (FAO/WHO, 1992) mendefenisikan ketahanan pangan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat.

3. World Food Summit 1996 memeperluas defenisi diatas dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai dan budaya setempat.

4. World Bank 1996: Ketahanan Pangan adalah: akses oleh semua orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.

5. Oxfam 2001: Ketahanan Pangan adalah kondisi ketika: “setiap orang dalam segala waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan yang cukup dan kualitas yang baik demi hidup yang aktif dan sehat. Dua kandungan makna tercantum di sini yakni: ketersediaan dalam artian kualitas dan kuantitas dan akses (hak atas pangan melalui pembelian, pertukaran maupun klaim).

6. FIVIMS (Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping Systems, 2005 ): Ketahanan Pangan adalah: kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik, sosial dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi (dietary needs) dan pilihan pangan (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.

7. Hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional (DEPTAN, 1996) mendefenisikan ketahanan pangan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai dengan budaya setempat dari waktu kewaktu agar dapat hidup sehat.

Ketahanan pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah

(3)

yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya domestik. Salah satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap impor (Litbang Deptan, 2005).

2.1.2. Sistem Ketahanan Pangan

Secara umum, ketahanan pangan mencakup 4 aspek, yaitu Kecukupan

(sufficiency), akses (access), keterjaminan (security), dan waktu (time) (Baliwaty , 2004). Dengan adanya aspek tersebut maka ketahanan pangan dipandang menjadi suatu sistem, yang merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan (food availability dan stability), kemudahan memperoleh pangan (food accessibility) dan pemanfaatan pangan.

Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu sistem yang terdiri dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan. Ketersediaan pangan menyangkut masalah produksi, stok, impor dan ekspor, yang harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan sebagaian bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, pangan yang tersedia bagi keluarga harus cukup volume dan jenisnya, serta stabil dari waktu kewaktu.

Sementara itu subsistem distribusi mencakup upaya memperlancar proses peredaran pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas harga pangan. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan daya akses masyarakat terhadap pangan yang cukup.

(4)

Surplus pangan tingkat wilayah, belum menjamin kecukupan pangan bagi individu/masyarakatnya.

Sedangkan subsistem konsumsi menyangkut pendidikan masyarakat agar mempunyai pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsi individu secara optimal sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Konsumsi pangan tanpa memperhatikan asupan zat gizi yang cukup dan berimbang tidak efektif bagi pembentukan manusia yang sehat, daya tahan tubuh yang baik, cerdas dan produktif (Thaha, dkk, 2000).

Apabila ketiga subsistem diatas tidak tercapai, maka ketahanan pangan tidak mungkin terbangun dan akibatnya menimbulkan kerawanan pangan (Suryana, 2003).

2.1.3. Rawan pangan

Rawan pangan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan berakvitas dengan baik. Rawan pangan dapat dibedakan 2 jenis yaitu : (a) rawan pangan kronis, yaitu ketidak cukupan pangan secara menetap akibat ketidakmampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang dibutuhkan melalui pembelian di pasar atau melalui produksi sendiri. Kondisi ini berakar pada kemiskinan dan (b) rawan pangan transien/ transistori, yaitu penurunan akses terhadap pangan yang dibutuhkan rumah tangga secara kontemporer. Hal ini disebabkan adanya bencana alam, kerusuhan, musim yang menyimpang dan keadaan lain yang bersifat mendadak, sehingga menyebabkan ketidakstabilan harga pangan, produksi, atau pendapatan (Baliwati, 2004).

(5)

Menurut Food An Agriculture Organization Of The United Nations (FAO)

dan Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, maka kondisi rawan pangan dapat diartikan bahwa individu atau rumah tangga masyarakat yang tidak memiliki akses ekonomi (penghasilannya tidak memadai atau harga pangan tidak terjangkau), tidak memiliki akses secara fisik, untuk memperoleh pangan yang cukup kehidupan yang normal, sehat dan produktif, baik kualitas maupaun kuantitasnya.

Rawan pangan dapat mengakibatkan kelaparan, kurang gizi dan gangguan kesehatan, termasuk didalamnya busung lapar. Bahkan dalam keadaan yang paling fatal dan menyebabkan kematian.

Kejadian krisis pangan dan gizi dapat diantisipasi apabila gejala gejala kekurangan pangan dan gizi serta masalahnya dapat secara dini diidentifikasi dan kemudian dilakukan tindakan secara tepat dan cepat sesuai dengan kondisi yang ada (Badan Ketahanan Pangan Propinsi Sumut, 2005).

2.2. Pendapatan Pangan Keluarga

Tingkat pendapatan menentukan jenis dan jumlah pangan yang akan dibeli serta seberapa besar proporsi dari pendapatan yang akan dikeluarkan untuk membeli pangan. Daya beli atau kemampuan keluarga untuk membeli pangan dipengaruhi oleh pendapatan keluarga dan harga pangan itu sendiri. Perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang hendak dibeli.

(6)

Tidak cukupnya persediaan pangan keluarga menunjukkkan adanya kerawanan pangan keluarga (Household Food Insecurity), artinya kemampuan keluarga untuk membeli pangan keluarga untuk memenuhi pangan, baik jumlah maupun mutu gizinya bagi seluruh keluarga belum terpenuhi (Soekirman, 2000). 2.3. Pengeluaran Pangan keluarga

Hasil SUSENAS (1996-1998) menunjukkan pengeluaran bagi keluarga miskin berkisar 60-80% dari pendapatan dan bagi keluarga mampu berkisar antara 20 -59%. Hal ini sesuai dengan hukum Engel, pada saat terjadinya peningkatan pendapatan, konsumen/ keluarga akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan proporsi yang semakin kecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan makin meningkat (Soekirman, 2000). Sedangkan menurut asumsi Berg (1986) persentasi pengeluaran pangan keluarga dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu : pengeluaran pangan <45% dikatergorikan sebagai keluarga kaya, pengeluaran pangan 46-79% dikategorikan sebagai keluaraga menengah, dan pengeluaran pangan > 80% termasuk kategori keluarga miskin.

Peningkatan pendapatan berlebih lanjut tidak hanya akan meningkatkan keanekaragaman konsumsi pangan, tetapi juga akan berakibat pada peningkatan konsumsi lemak, protein hewani dan gula, termasuk peningkatan komsumsi pangan dari luar rumah. Sedangkan disisi lain terjadi penurunan konsumsi pangan yang lebih murah, yaitu pangan pokok berpati dan protein nabati (Soekirman, 2000).

2.4. Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupan yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan

(7)

dan minuman bagi konsumsi manusia yang termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan dan minuman (Depkes, 2004).

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi (dimakan) atau diminum seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Jenis dan jumlah pangan merupakan informasi yang penting dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi (Hardinsyah, 1994).

Secara umum, faktor faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi dan harga dimana keadaan ekonomi keluarga relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada golongan miskin, selain pendapatan, faktor ekonomi yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah harga pangan dan non pangan. Harga pangan yang tinggi menyebabkan berkurangnya daya beli yang berarti pendapatan riil berkurang. Keadaan ini menyebabkan konsumsi pangan berkurang sedangkan faktor sosio-budaya dan religi yaitu aspek sosial budaya berarti fungsi pangan dalam masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan dan pendidikan masyarakat tersebut. Kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan yang digunakan untuk dikonsumsi. Kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam konsumsi pangan yang menyangkut pemilihan jenis bahan pangan, pengolahan, serta persiapan dan penyajiannya (Baliwati, 2004).

(8)

Fungsi makanan sebagai sumber energi banyak diperoleh dari bahan bahan makanan yang mengandung karbohidrat. Karbohidrat dikonsumsi dalam berbagai bentuk dan sumber. Karbohidrat merupakan sumber energi utama yang memungkin manusia dapt beraktifitas sehari hari. Sebanyak 60-70% kebetuhan energi tubuh manusia diperoleh dari karbohidrat, sisanya berasal dari protein dan lemak. Sumber utama karbohidrat diperoleh dari beras (hasil olahannya), jagung, ubi, dll (Rimbawan dan Siagian,2004). Hardinsyah, dkk (1989) sumber energi lainnya adalah protein , dimana fungsi protein dalam tubuh berguna sebagi sumber pembangun atau pertumbuhan, pemeliharaan jaringan yang rusak, pengatur serta untuk mempertahan kan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit tertentu. Sumber utama protein berasal dari nabati (berasal dari tumbuhan) dan hewani (daging, susu dan hasil olahannya).

(9)

Menurut Widia Karya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2004, angka kecukupan energi rata-rata yang dianjurkan (per orang per hari) adalah :

Tabel 2.1. Angka Kecukupan Energi dan Protein Rata Rata yang Dianjurkan

No Umur Energi (Kkal) Protein (gr)

Anak : 1 0-6 bl 550 10 2 7-11 bl 650 16 3 1-3 th 1000 25 4 4-6 th 1550 39 5 7-9 th 1800 45 Pria 6 10-12 th 2050 50 7 13-15 th 2400 60 8 16-18 th 2600 65 9 19-29 th 2550 60 10 30-49 th 2350 60 11 50-64 th 2250 60 12 65+ th 2050 60 Wanita 13 10-12 th 2050 50 14 13-15 th 2350 57 15 16-18 th 2200 55 16 19-29 th 1900 50 17 30-49 th 1800 50 18 50-64 th 1750 50 19 65+ th 1600 45 Hamil 20 Trimester I + 180 + 17 21 Trimester 2 + 300 + 17 22 Trimester 3 +300 + 17 Menyusui 23 6 bl pertama + 500 + 17 24 6 bl kedua + 550 + 17

Sumber :Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII Jakarta 17- 19 Mei 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi daerah dan

(10)

2.5. Status gizi Anak Balita

Menurut Supariasa 2001 status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan nutriture dalam bentuk variabel tertentu.

Menurut Mc Lareen yang dikutip oleh Berg (1981) memberikan batasan gizi atau nutrisi sebagai suatu proses dimana mahluk hidup memanfaatkan makanan untuk keperluan pemeliharaan fungsi organ tubuh, pertumbuhan dan penghasil energi. Manfaat makanan diperoleh melalui proses pencernaan, penyerapan, transport dalam tubuh, penyimpanan, metabolisme dan membuang sisa yang tidak diperlukan oleh tubuh.

Menurut Siswono (2002), status gizi seseorang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain tingkat pendapatan, pengetahuan gizi dan budaya setempat. Tingginya pendapatan tidak diimbangi dengan pengetahuan gizi yang cukup, akan menyebabkan seseorang menjadi konsumtif dalam pola makan sehari hari. Dapat dipastikan bahwa pemilihan suatu bahan makanan lebih didasarkan pada pertimbangan selera ketimbang gizi.

Sedangkan menurut Idrus dan Kusnanto (1990), keadaan gizi adalah akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi serta penggunaan zat gizi tersebut. Sedangkan status gizi adalah ekspresi dari keseimbangan dalam bentuk variabel variabel tertentu status gizi adalah keadaan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan makanan oleh tubuh. Status gizi merupakan keadaan seseorang sebagai refleksi dari konsumsi pangan serta penggunaannya oleh tubuh. Ketidak seimbangan antara intake dengan kebutuhan mengakibatkan terjadinya malnutrisi.

(11)

Malnut risi terdiri dari : 1) under weight terjadi apabila intake < kebutuhan, dan 2) obesitas, terjadi apabila intake > kebutuhan (Halomoan, 1999).

Status gizi anak balita secara langsung dipengaruhi oleh asupan gizi (konsumsi pangan) dan penyakit infeksi. Kedua penyebab tersebut sering terjadi dan saling mempengaruhi. Penyebab langsung ini dapat timbul karena tiga faktor penyebab tidak langsung seperti ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, pola pengasuhan anak serta ketersediaan air bersih dan pelayanan kesehatan dasar. Lebih jauh masalah gizi disebabkan oleh kemiskinan, pendidikan, ketahanan pangan dan kesempatan kerja yang sempit (Depkes RI, 1995).

2.6. Pengukuran Status Gizi Balita

Untuk mengetahui , menilai status gizi dapat dilakukan secara langsung dengan pemeriksaan Antropometri, pemeriksaan tanda tanda klinik, penilaian secara biokimia dan pemeriksaan biofisik. Untuk penelitian di lapangan lebih sering digunakan Antropometri, karena relatif murah dan mudah, objektif dan dapat dengan cepat dilakukan pengukuran serta dapat dilakukan setiap orang setelah dilatih.

Status gizi anak balita dapat diukur dengan indeks antropometri BB/U, TB/U, dan BB/TB.

2.6.1. Penilaian Status Gizi Secara Antropometri

Supariasa, dkk (2002), mendefenisikan antropometri adalah ukuran tubuh. Maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat dan tingkat gizi.

(12)

Pengukuran antropometri relatif mudah dilaksanakan, akan tetapi untuk berbagai cara, pengukuran antropometri ini membutuhkan keterampilan, peralatan dan keterangan untuk pelaksanaanya. Jika dilihat dari tujuannya antropometri dapat dibagi menjadi dua yaitu :

1. Untuk ukuran massa jaringan : pengukuran berat badan, tebal lemak dibawah kulit, lingkar lengan atas. Ukuran massa jaringan ini sifatnya sensitive, cepat berubah, mudah turun naik dan menggambarkan keadaan sekarang.

2. Untuk ukuran linier : pengukuran tinggi badan, lingkar kepala dan lingkar dada. Ukuran linier sifatnya spesifik, perubahan relatif lambat, ukurannya tetap atau naik, dapat menggambarkan riwayat masa lalu.

Parameter dan indeks antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi anak adalah indikator Berat Badan Menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), Berat Badan menurut Tinggi badan (BB/TB) (Depkes RI, 1995)

2.6.1.1 Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Supariasa (2002), berat badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberikan gambaran tetang massa tubuh (otot dan lemak), karena massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak misalnya karena penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya makanan yang dikonsumsi maka berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara intake dan kebutuhan zat gizi terjamin, berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur.

(13)

Sebaliknya keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan yaitu berkembang lebih cepat atau berkembang lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan sifat-sifat ini, maka indeks berat badan menurut umur (BB/U) digunakan sebagai salah satu indikator status gizi. Oleh karena sifat berat badan yang stabil maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang pada saat kini (current nutritional status).

2.6.1.2 Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dangan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah defisiensi zat gizi jangka pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang cukup lama.

Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lampau, dan dapat juga digunakan sebagai indikator perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Keadaan tinggi badan anak pada usia sekolah (tujuh tahun), menggambarkan status gizi masa balitanya. Masalah penggunaan indeks TB/U pada masa balita, baik yang berkaitan dengan kesahihan pengukuran tinggi badan maupun ketelitian data umur (Jahari, 1998).

2.6.1.3Indeks Berat Badan Menurut Tingi Badan (BB/TB)

Berat badan memiliki hubungan linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertambahan tinggi badan

(14)

dengan percepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menyatakan status gizi masa kini dan masa lalu, terlebih bila data umur yang akurat sulit diperoleh. Oleh karena itu indeks berat badan menurut tinggi badan disebut pula sebagai indikator yang independen terhadap umur. Karena BB/TB memiliki keuntungan dan kelemahan, terutama bila digunakan terhadap anak balita (B. Abas, 1998).

2.7. Desa Tertinggal

2.7.1. Pengertian Desa Tertinggal

Pengertian desa tertinggal, didefinisikan berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan wilayah (fungsi inter dan intra spasial baik pada aspek alam, aspek manusia, maupun prasarana pendukungnya). Desa tertinggal adalah daerah yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional dan rata-rata status sosial ekonomi yang relatif rendah. Suatu desa dikategorikan sebagai desa tertinggal karena beberapa faktor penyebab antara lain faktor geografis. Umumnya secara geografis desa tertinggal relatif sulit dijangkau karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan, pesisir, dan pulau-pulau terpencil atau karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan baik transportasi maupun media komunikasi. Sebaran desa tertinggal secara geografis digolongkan menjadi beberapa kelompok antara lain desa yang terletak di pulau-pulau kecil, gugusan pulau-pulau yang berpenduduk dan memiliki kesulitan akses ke daerah lain yang lebih maju, daerah yang secara administratif sebagian atau seluruhnya terletak diperbatasan, desa yang terletak di wilayah rawan bencana alam baik gempa,

(15)

longsor, gunung api, maupun banjir atau daerah yang sebagian besar wilayahnya berupa pesisir. Permasalahan yang dihadapi desa tertinggal antara lain kualitas sumber daya manusia di daerah tertinggal relatif lebih rendah di bawah rata-rata nasional akibat terbatasnya akses masyarakat terhadap kesehatan (Kementrian Daerah Tertinggal, 2004).

2.8. Kerangka Konsep

Kondisi desa tertinggal dapat mempengaruhi kondisi ketahanan pangan keluarga baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan merupakan penyebab tidak langsung masalah status gizi anak balita.

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Gambaran Ketahan Pangan Keluarga di Desa Tertinggal Kecamatan Pintupohan Meranti

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Status Gizi Balita Berdasarkan Indeks - BB/U - TB/U - BB/TB Ketahanan Pangan Keluarga : -Kualitatif -Kuantitatif Desa Tertinggal Pola Makan Anak Balita

Gambar

Tabel 2.1. Angka Kecukupan Energi dan Protein Rata Rata yang Dianjurkan
Gambar  2.1. Kerangka Konsep Gambaran Ketahan Pangan Keluarga di Desa  Tertinggal Kecamatan Pintupohan Meranti

Referensi

Dokumen terkait

Pengawetan ikan Kembung ( Rastrelliger sp) yang diawetkan dengan perendaman hasil maksimum didapat pada konsentrasi kitosan 1,5% dengan nilai organoleptik 7,1 lama

Studi pendahuluan yang dilakukan di kelas IX SMP Unismuh Makassar, melalui observasi yang dilakukan peneliti tentang pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas IX,

Since the standards requirement of the research success were at least 70% of the students who could fulfill at least 3 indicators of observation and there were at

Hal itu dikarenakan sifat pemimpin yang baik dan bijaksana mampu meningkatkan motivasi dan membimbing karyawan dengan lebih baik, yang mana hal tersebut dapat meningkatkan

Gambar 15BCD merupakan proses yang terjadi dimana asap dari pengelasan dihisap keluar oleh exhaust fan.untuk pola aliran yang dihasilakn tidak ada perbedaan yang

Dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengkaji persoalan mengenai “Perkawinan Madureso” yang terjadi di Desa Trimulyo Kecamatan Guntur Kabupaten Demak

Pada makalah ini, penulis mengusulkan sebuah teknik untuk mengetahui keberadaan objek/pengguna pada sebuah path antara transmitter (Tx) dan receiver (Rx) pada BLE

Abstrak: Topik penelitian ini adalah resitance to change yang telah diketahui sebagai salah satu konsekuensi adanya perubahan yang terjadi di organisasi dalam bentuk yang