ADAPTASI MODEL
CROPSYST
PADA
TAMANAN KEDELAI
Dalam Menghadapi Perubahan Iklim
Dr. Aminah, SP., MP
Dr. Ir. Abdullah, MS
Undang-undang RI Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan Hak ekslusif bagi Pencipta dan Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
ADAPTASI MODEL
CROPSYST
PADA
TAMANAN KEDELAI
Dalam Menghadapi Perubahan Iklim
PUSTAKA AL-ZIKRA berusaha menyajikan buku-buku bermutu dari berbagai tema yang merekam beragam informasi dan gagasan, serta pemikiran mutakhir yang penting dan
Perpustakaan Nasional RI,Data Katalog dalam Terbitan (KDT)
Aminah.... (et. al)
Adaptasi Model Cropsyst pada Tanaman Kedelai dalam Menghadapi Perubahan Iklim/ Aminah.... (et. al)
--- Makassar: Pustaka Al-Zikra, 1438 H./2017 M.
viii + 154 hlm.; 16,5 X 24 cm
Dzulqaidah 1438 H./Agustus 2017 M.
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Pengutipan atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan menyebut penulis dan penerbit.
Diterbitkan oleh Pustaka Al-Zikra
Perumahan Sorosutan Indah Jl. Sawo 2 No. 11 Jogyakarta 55162 Celebes Square Unit 1A
Jl. Abdul Kadir Daeng Suro, Samata Gowa – Makassar
E-mail : pustakalzikra@alzikra.com Telepon (0411) 440911, HP. 0823 1544 4789
Design Cover dan Tata Letak Isi, Tim Kreatif Pustaka Al-Zikra
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha
kuasa hanya atas izin-Nya sehingga kami dapat menulis dan
menyelesaikan. buku ini, yang merupakan bahan pelengkap
un-tuk memperkaya bahan ajar kepada mahasiswa.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masalah Anomali atau
penyimpangan iklim yang diperkirakan masih terus
mengan-cam sistem produksi pertanian yang berakibat lambatnya
per-tumbuhan sektor pertanian. Hal itu berpengaruh terhadap pola
tanam petani serta kerusakan tanaman yang disebabkan oleh
bencana banjir, kekeringan dan lainnya. Anomali iklim dapat
diantisipasi dengan penyesuaian modifikasi input untuk
mene-kan resiko dan perilaku iklim dengan melakumene-kan analisis yang
akurat secara cepat dan tepat.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak
terlaksana dan menghasilkan salah satu luaran produk berupa
buku.
Penulis berharap semoga buku ini dapat memberi
sum-bangsih terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta pembangunan bangsa yang membawa
manfa-at bagi kemaslahmanfa-atan ummmanfa-at dan bernilai ibadah di sisi Allah
SWT. Amin Yaa Rabbal Alamin.
Makassar, Agustus 2017
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR ... IV
DAFTAR ISI ... VII
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... ...1
B. Perumusan Masalah ... 11
C. Tujuan dan Kegunaan ... 13
II. MENGENAL KEDELAI ... 17
A. Fase Pertumbuhan Kedelai ... 17
B. Kebutuhan Air Tanaman ... 21
C. Waktu Tanam ... 28
D. Varietas ... 31
E. Pengaruh Iklim Terhadap Tanaman ... 35
F. Perubahan Iklim dan Penyebab Iklim Ekstrim ... 38
J. Model Simulasi Tanaman... 51
K. Model Cropsyst ... 56
L. Aplikasi Model untuk Analisis Resiko ... 66
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 69
A. Tahap Kalibrasi Model ... 69
B. Tahap Analisis Sensitivitas ... 74
C. Tahap Validasi Model ... 75
D. Tahap Aplikasi/Simulasi Model ... 76
E. Tahap Penentuan Strategi ... 79
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 81
A. Hasil ... 81
B. Pembahasan ... 103
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 124
A. Kesimpulan ... 124
B. Saran ... 126
DAFTAR PUSTAKA ... 127
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kedelai salah satu bahan pangan dengan kandungan
protein yang tinggi (39%) jika dibandingkan dengan
kacang-kacangan yang lain. Kedelai mempunyai prospek pemasaran
yang lebih baik, sehingga mampu meningkatkan pendapatan
petani. Kebutuhan akan kedelai terus meningkat dari tahun ke
tahun seiring dengan pertumbuhan penduduk.
Dalam waktu beberapa tahun ke depan kebutuhan
kede-lai setiap tahunnya akan dapat mencapai ± 2.500.000 ton biji
kering, sementara produksi dalam negeri saat ini hanya
menca-pai 998.870 ton (BPS, 2015) atau 39,95 % dari total kebutuhan
dalam negeri tersebut, harus dilakukan dengan jalan impor.
Walaupun impor kedelai berpotensi menimbulkan berbagai
kerugian bagi bangsa Indonesia, antara lain: a) hilangnya devisa
negara yang cukup besar, b) mengurangi kesempatan kerja bagi
rakyat Indonesia, dan c) dapat me-ningkatkan ketergantungan
jangka panjang teradap kebutuhan kedelai. Hal ini akan
mem-pengaruhi sistem ketahanan pangan nasional.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian
Perta-nian menyebutkan berbagai faktor yang menghambat
perkem-bangan perkedelaian di Indonesia. Berbagai faktor itu antara
lain meliputi: (a) luas areal tanaman kedelai menurun rata-rata
4,05 % setiap tahunnya (turun sebesar 65,75 %) dalam kurun
waktu 20 tahun terakhir, (b) produksi kedelai mengalami
penu-runan rata-rata 3,05 % setiap tahun, (c) pertumbuhan
produk-tivitas kedelai melambat rata-rata 1,04 % setiap tahun, dan (d)
pertum-buhan impor kedelai meningkat rata-rata 13,32 % setiap
tahun selama kurun waktu 20 tahun terakhir (Direktorat
Tabel 1.
Produksi, Luas Panen, Produktivitas kedelai di Indonesia Tahun 2007-2015
Tahun Produksi (ton) Produktivitas
(quintal/ha) Luas Panen (ha)
2007 592.534 12,91 459.116
Produksi dan Luas Panen Kedelai di Sulawesi Selatan Tahun 2007-2015
Tahun Produksi (Ton) Luas Panen (Ha)
Produksi kedelai di Sulawesi Selatan pada periode 2012
mengalami penurunan dibandingkan dengan produksi tahun
2013 yang tercatat sebanyak 45.693 ton biji kering. Penurunan
produksi kedelai di wilayah Sulawesi Selatan tersebut sejalan
dengan Angka Ramalan II (Aram II) 2013 Badan Pusat Statistik
(BPS) Sulsel (Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan, 2013).
Produksi kedelai Sulawesi Selatan pada tahun 2012
hanya mencapai 29.938 ribu ton biji kering dengan luas panen
19.964 ribu ha., sedangkan produktivitas diprediksi mengalami
penurunan 0,81 kuintal per ha. Hal ini disebabkan sejumlah
daerah sentra produksi kedelai seperti Kabupaten Soppeng,
Wajo dan Barru sempat mengalami kebanjiran. Selain itu faktor
yang menyebabkan luas panen menurun salah satu-nya akibat
serangan hama dan penyakit (Anonim, 2013b). Menurunnya
luas panen dan produktivitas kedelai sebagai akibat adanya
kejadian anomaly iklim (kekeringan dan kebanjiran) dan
per-ubahan iklim. Isu perper-ubahan iklim ramai dibicarakan oleh
Pokok permasalahannya adalah perubahan sifat iklim
yang memberikan dampak besar pada berbagai sektor.
Feno-mena yang muncul di antaranya adanya Iklim Ekstrem yang
menyebebkan kekeringan, tanah longsor, banjir, dan berbagai
dampak lainnya. Sektor yang paling rentan terhadap dampak
perubahan sifat iklim ekstrim ini adalah sektor pertainan,
khususnya ekosistem padi dan palawija termasuk tanaman
kedelai (Kaimuddin et. al., 2013).
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di
dae-rah katulistiwa termasuk wilayah yang sangat rentan akibat
ter-jadinya perubahan iklim. Perubahan pola curah hujan, kenaikan
muka air laut, dan suhu udara, serta peningkatan kejadian iklim
ekstrem berupa banjir dan kekeringan adalah beberapa dampak
yang serius akibat perubahan iklim yang dihadapi Indonesia.
Anomali atau penyimpangan iklim diperkirakan masih
akan terus mengancam sistem produksi pertanian, sehingga
ratusan ribu hektar sawah terancam gagal panen. Lambatnya
cuaca. Hal itu berpengaruh terhadap pola tanam petani serta
kerusakan tanaman yang disebabkan oleh bencana banjir.
Untuk mengantisipasi anomali iklim dapat dilakukan
dengan penye-suaian modifikasi input untuk menekan resiko
dan perilaku iklim dengan melakukan analisis yang akurat
terkait prakiraan, sistem peringatan dini banjir dan kekeringan,
penentuan waktu tanam yang didukung dengan kemampuan
diseminasi pra-kiraan iklim dan teknologi antisipasi secara
cepat dan tepat ke pengguna (Kaimuddin et al., 2005).
Model-model simulasi tanaman yang berdasarkan pada
faktor-faktor tanaman, tanah dan cuaca adalah alat yang efektif
dalam penelitian-penelitian di sektor pertanian. Model-model
ini dapat digunakan untuk merencanakan alternatif strategi
untuk penanaman, penggunaan tanah dan pengelolaan air
(Carberry and Abrecht, 1991 dalam Istnaeni, 2002), untuk
mengevaluasi tanaman, varietas dan teknologi budidaya, untuk
menganilisis tingkat risiko iklim terhadap pertumbuhan
dan pemilihan sistem usaha tani yang sesuai lokasi (Boer dan
Las, 2003) untuk memformulasikan hipotesis dan rancangan
percobaan penelitian-penelitian, untuk menduga hasil tanaman
(Horie et al., 1995 dalam Istnaeni, 2002) dan lain-lain.
Untuk menganalisis tingkat risiko iklim terhadap
tanam-an ini maka digunaktanam-an suatu model simulasi ttanam-anamtanam-an. Model
simulasi tanaman merupakan bagian dari analisis sistim sebagai
suatu metode pendekatan masalah secara integral (problem
solving methodology) atau metode ilmiah yang merupakan
dasar dari pemecahan masalah dalam pengelolaan suatu sistim.
Model simulasi tanaman merupakan alat analisis sekaligus
sintesis hasil-hasil penelitian lapang yang mempunyai
kemam-puan prediksi, sehingga dapat digunakan dalam perencanaan di
wilayah pengembangan maupun sebagai dasar acuan
pengelo-laan tanaman kedelai di wilayah sentra produksi kedelai.
Model-model simulasi tanaman yang berdasarkan pada
faktor-faktor tanaman, tanah, dan cuaca merupakan alat yang
yang berkaitan dengan hasil tanaman, pengetahuan tentang
kalender tanaman sangat penting. Kalender tanaman
memperli-hatkan kondisi yang dianjurkan atau tidak dianjurkan oleh
tanaman selama musim pertumbuhannya. Selain itu dikenal
pula kalen-der cuaca tanaman dimana faktor yang menjadi
perhatian hanya kondisi cuaca di suatu wilayah. Pengetahuan
ini sangat diperlukan dalam menyusun model untuk
mengku-antifikasikan pengaruh cuaca atau iklim terhadap tanaman.
Kelebihan dari model cropsyst ini adalah:
1. Model ini adalah model multi tahun, multi tanaman,
dengan tahap waktu perkembangan tanaman harian,
sehingga dapat mensimulasi dengan lebih mendetail.
2. Model cropsyst melihat pengaruh iklim, karakteristik tanah,
karakteristik tanaman, dan sistem manajemen pertanaman
pada produksi tanaman dan lingkungan, sehingga cukup
tepat dalam memprediksi produksi tanaman.
3. Model ini mampu merencanakan alternatif strategi untuk
4. Model ini mampu mengevaluasi tanaman, varietas dan
teknologi budidaya.
5. Menganilisis tingkat risiko iklim terhadap pertumbuhan
ta-naman sehingga dapat digunakan perluasan wilayah
pena-naman dan pemilihan sistem usah tani yang sesuai lokasi
. Kekurangan dari model cropsyst ini adalah tidak
dihasil-kannya simulasi komponen produksi yang lain, seperti jumlah
polong, jumlah biji per polong, berat polong, dan berat biji
per-polong. Kekurangan lainnya, tidak dapat memprediksi
berang-kasan secara tepat. Selain itu untuk menghasilkan data
manage-ment hasil analisa ekonomi dan pengaruh hama dan penyakit
masih terpisah jadi harus ditambahkan ke dalam model.
Cropsyst digunakan untuk simulasi pertumbuhan dari
tanaman terpilih untuk tanah terpilih. Cropsyst menghasilkan
model yang memungkinkan mengestimasi potensi tanaman
pa-da kondisi iklim pa-dan tanah spesifik (Republic of Serbia, 2013).
Model Cropsyst digunakan sebagai alat penelitian terapan,
sistem tanam dan manajemen tanam dalam hal ini penentuan
waktu tanam dan pola tanam juga dampak perubahan iklim
pa-da sistem tanam pa-dan strategi manajemen tanam untuk efisiensi
penggunaan air dan produktivitas air (Anonim, 2013a). Sebelum
suatu model tanaman (Cropsyst) di aplikasikan untuk alat
manajemen, maka model tersebut harus dievaluasi baik kinerja
maupun keakuratan luaran yang dihasilkan dalam bentuk
parameterisasi, verifikasi dan validasiasi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian
tentang ―Strategi pengelolaan tanaman kedelai untuk
meng-hadapi iklim ekstrem melalui penggunaan model cropsyst (crop
model)‖ sangat di butuhkan sesuai dengan isu mutakhir yang
berkembang saat ini yaitu: mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim pada sektor pertanian, khususnya tanaman pangan yang
sangat rentang terhadap dampak perubahan iklim.
Setelah melalui berbagai kalibrasi dan validasi, model
tersebut akan dapat diterapkan pada kondisi lingkungan yang
masukan pengelolaan (simulasi) dapat diprediksi yang
merupa-kan dasar perencanaan dan pengelolaan tanaman kedelai.
B. Perumusan Masalah
Beberapa permasalahan yang menyebabkan rendahnya
produksi kedelai adalah:
a) Menurunnya luas pertanaman dan luas panen kedelai.
b) Masih rendahnya produktivitas kedelai yang dicapai
c) Belum tersedianya sistem peramalan musim yang handal
untuk menentukan jadual dan pola tanam,
d) Belum optimalnya pemanfaatan hasil peramalam
musim/iklim dalam penyusunan kebijakan pengelolaan
tanaman atau pengaturan air irigasi,
e) Rendahnya kemampuan daerah dalam memahami hasil
ramalan dan memanfaatkannya untuk penyusunan
stra-tegi pengelolaan tanaman,
f) Antisipasi kondisi iklim, ketepatan waktu tanam, dan
suplai sarana produksi memerlukan pengawalan ketat,
sebagian besar hanya satu kali. Jika terjadi keterlambatan
tanam harus beralih ke lokasi lain atau tahun berikutnya.
g) Pemanfaatan potensi lahan yang tersedia untuk
perluas-an areal tperluas-anam baru, memerlukperluas-an fasilitas pemerintah
untuk memotivasi petani menanam kedelai, terutama
fasilitasi saprodi lengkap dan mekanisasi pra dan pasca
panen.
Untuk menilai dampak perubahan iklim diperlukan
per-kiraan bagaimana iklim itu berubah pada tingkat lokal dan
regional, serta bagaimana perubahan tersebut mempengaruhi
ekosistem dan kehidupan manusia. Salah satunya
mengguna-kan model tanaman (crop modelling) dimana terlihat bahwa
per-ubahan iklim memberikan dampak pada semua sektor
kehi-dupan, antara lain: sektor sumber daya air (Kaimuddin 2000),
sektor pertanian (O’Brien et al., 2004) dan sektor kehidupan
lain-nya. Permasalahan yang dirumuskan sehubungan dengan
pene-litian ini antara lain adalah: Seberapa besar dampak perubahan
C. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian adalah untuk :
1. Memverifikasi dan memvalidasi model tanaman CropSyst
dari data hasil percobaan tanaman kedelai
2. Menjelaskan pengaruh varietas dan waktu tanam terhadap
pertumbuhan, perkembangan dan produksi tanaman kedelai
3. Memprediksi waktu tanam dan potensi hasil tanaman
kedelai di Sulawesi Selatan pada kondisi iklim ekstrem
dengan penggunaan model Cropsyst
4. Mendapatkan model simulasi tanaman kedelai yang dapat
dimanfaatkan sebagai alat bantu untuk pengambilan
keputusan dalam pewilayahan dan pengelolaan tanaman
kedelai di Sulawesi Selatan
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai
bahan informasi kepada masyarakat petani dan masyarakat
ilmiah tentang besarnya dampak yang diakibatkan oleh
perubahan iklim. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi
kerugian-kerugian akibat perubahan iklim pada waktu yang
akan datang. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi dasar
untuk penelitian lain yang berkaitan dengan perubahan iklim di
masa yang akan dating utamanya pada tanaman kedekai.
Pemanfaatan informasi iklim global dan prakiraannya dan
mengintegrasikan dengan model tanaman kedelai/Cropsyst,
sehingga dapat mengurangi resiko kegagalan produksi kedelai
akibat iklim ekstrim (El-Nina dan La-Nina) dengan berbagai
kebijakan oleh Pemerintah melalui pengaturan waktu dan pola
tanam yang tentunya melibatkan seluruh stakeholder yang
bergerak di sektor pertanian. Demikian juga kerugian-kerugian
lainnya akibat iklim ekstrim dapat dikurangi seperti bencana
Gambar 1.
Perubahan iklim global yang menyebabkan sulitnya peramalan iklim dan terjadinya
degradasi lahan
Ketersediaan air yang rendah
SOLUSI
Model Cropsyst sebagai solusi yang dapat membantu pemerintah dalam menentukan strategi
BAB II
MENGENAL KEDELAI
A. Fase Pertumbuhan Kedelai
Pola pertumbuhan kedelai di lapangan berbeda-beda,
tergantung varietasnya. Tanaman kedelai dibagi dalam tiga
kelompok: varietas kedelai berumur panjang (lebih dari 90 hari),
varietas kedelai yang berumur sedang (antara 85-90 hari), dan
varietas kedelai yang berumur pendek (antara 75-85 hari).
Namun demikian, pertumbuhan varietas-varietas tersebut
memiliki karakter utama yang hampir sama, yang dibedakan
menjadi stadia vegetatif dan stadia pertumbuhan reproduktif
Stadia vegetatif (V)
Stadia pertumbuhan vegetatif dibedakan menjadi
bebe-rapa stadia:
Stadia pemunculan ( Ve) ditandai dengan pemunculan
kotiledon dari permukaan tanah tempat biji kedelai
ditanam. Sebelum kotiledon muncul, terjadi
perkecam-bahan biji.
Stadia kotiledon (Vc) ditandai dengan kotiledon terbuka
dan dua daun tunggal (unifoliat) di atasnya mulai
terbuka.
Stadia buku pertama (V1) ditandai dengan daun tunggal
dari buku pertama (unifoliat) telah berkembang penuh.
Stadia buku kedua (V2) ditandai dengan mekarnya daun
berangkai tiga pertama (trifoliat) pada buku kedua.
Stadia buku ketiga (V3) ditandai dengan daun berangkai
tiga pada buku ketiga telah berkembang penuh.
Stadia Buku Ke n (Vn) ditandai dengan daun berangkai
Stadia reproduktif (R)
Stadia generatif juga dapat dipisahkan menjadi beberapa
stadia sebagai berikut:
Stadia mulai berbunga (R1) ditandai dengan terdapat
satu bunga mekar pada batang utama.
Stadia bunga penuh (R2) ditandai dengan pada tiga atau
lebih buku batang utama terdapat bunga mekar.
Stadia pembentukan polong (R3) ditandai dengan
ter-bentuknya polong sepanjang 5 mm pada salah satu
batang utama.
Stadia berpolong penuh (R4) ditandai dengan adanya
polong sepanjang 2 cm pada salah satu batang utama.
Stadia mulai berbiji (R5) ditandai dengan telah
terbentuk-nya biji sebesar 3 mm pada batang utama.
Stadia biji penuh (R6) ditandai dengan terisinya rongga
polong dengan satu biji berwarna hijau pada batang
Stadia mulai matang (R7) ditandai dengan satu polong
pada batang utama menunjukkan warna matang
(ber-warna coklat atau kehitaman).
Stadia masak penuh (R8) ditandai dengan 95% polong
telah berubah warna menjadi polong matang.
Pola pertumbuhan kedelai di lapangan berbeda-beda,
tergantung varietasnya. Tanaman kedelai dibagi dalam tiga
ke-lompok : varietas kedelai berumur panjang (lebih dari 90 hari),
varietas kedelai yang berumur sedang (antara 85-90 hari), dan
varietas kedelai yang berumur pendek (antara 75-85 hari).
Namun demikian pertumbuhan varietas-varietas tersebut
memiliki karakter utama yang hampir sama, yang dibedakan
menjadi stadia vegetatif dan stadia pertumbuhan reproduktif
(Rukmana dan Yuniarsih, 2012).
Tanaman kedelai dapat tumbuh dan berproduksi dengan
baik di dataran rendah sampai ketinggian 900 meter di atas
permukaan laut. Suhu yang sesuai untuk tanaman kedelai
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Tanaman kedelai
termasuk tanaman hari pendek dan sangat peka terhadap
per-ubahan lingkungan. Suhu terlampau tinggi berpengaruh buruk
terhadap perkembangan polong dan biji. Suhu melebihi suhu
optimal pada masa pertumbuhannya menyebabkan hasilnya
rendah. Lama penyinaran dan suhu tinggi sampai batas tertentu
mengakibatkan terbentuknya biji yang lebih besar, sedangkan
penyinaran pendek dengan suhu rendah akan menghasilkan biji
kecil. Suhu dan kelembaban selama periode pembungaan
sangat besar pengaruhnya terhadap jumlah bunga yang
ter-bentuk. Kelembaban udara yang dibutuhkan berkisar 75%-90%.
Penyinaran matahari yang dibutuhkan tanaman kedelai di
daerah tropis berkisar 12 jam/hari–14 jam/hari (minimal 10
jam/hari). Selama pertumbuhannya tanaman kedelai
memer-lukan air sekitar 350–550 mm (Adisarwanto, 2014).
B. Kebutuhan Air Tanaman
Kebutuhan air suatu tanaman dapat didefinisikan
melalui evapotranspirasi (ET-tanaman) tanaman yang sehat,
tumbuh pada sebidang lahan yang luas dengan kondisi tanah
yang tidak mempunyai kendala (kendala lengas tanah dan
kesuburan tanah) dan mencapai potensi produksi penuh pada
kondisi lingkungan tumbuh tertentu. Kebutuhan air bagi
tum-buhan berbeda-beda tergantung dan fase pertumtum-buhannya.
Pada musim kemarau, tumbuhan sering mendapatkan
cekam-an air (water stress) karena kekurcekam-angcekam-an pasokcekam-an air di daerah
perakaran dan laju evapotranspirasi yang melebihi laju
absorb-si air oleh tumbuhan. Sebaliknya pada muabsorb-sim penghujan,
tumbuhan sering mengalami kondisi jenuh air (Solichatun et al.,
2005).
Air tersedia adalah air yang dapat diserap dari tanah
oleh akar tanaman. Jumlah air yang tersedia bagi tanaman
berkisar antara titik layu permanen dan kapasitas lapang. Tititk
layu permanen adalah batas bawah nilai tersebut akar tanaman
tidak mampu lagi mengambil air tanah. Kapasitas lapang
yang tidak mengalir ke bawah karena gaya gravitasi. (Gardner
et al., 1991). Kandungan air tanah mempengaruhi transpor hara
ke permukaan akar dengan cara mempengaruhi laju difusi dan
aliran massa air ke akar. Kapasitas lapang dan titik layu
perma-nen berturut-turut adalah kandungan air tanah pada potensial
air -0,33 atau pF 2.54 dan -15 bar atau pF 4.2. Air yang tersedia
ini berupa air yang dapat diabsorsi oleh tanaman sampai
wilayah perakarannya. Jumlah air yang cukup selama
partum-buhan dan berkurang saat pembungaan dan menjelang
pema-sakan biji akan meningkatkan hasil kedelai (Aminah et. al.,
2013).
Efesiensi penggunaan air (Water use eficiency) dapat
dimaksimalkan dengan menerapkan defisit irigasi, teknologi
irigasi dan penjadwalan irigasi serta dengan meningkatkan
praktek pertanian yang dapat mengakibatkan peningkatan hasil
panen (Hassanli et al. 2010).
Di Indonesia sebagaimana halnya dengan daerah tropis
peningkatan produktivitas tanaman. Kebutuhan air tanaman
berbeda-beda bergantung pada stadia pertumbuhan dan jenis
tanaman. Selain air, suhu dan kelembaban juga mempunyai
peranan penting dalam menentukan kesesuaian lahan untuk
setiap jenis tanaman. Air merupakan senyawa utama
penyusun-an protoplasma, sebagai pelarut dpenyusun-an media pengpenyusun-angkut hara
mineral yang diserap oleh akar dari tanah. Air juga berperan
sebagai media bagi berlangsungnya reaksi-reaksi metabolisme,
bahan baku proses fotosintesis dan mengatur turgoditas sel
tumbuhan.
Cekaman kekeringan akan mendorong tingkat pengambilan
air yang rendah oleh akar kedelai. Jika akar tanaman tidak mampu
menyerap air untuk mengimbangi kehilangan air oleh transpirasi
menyebabkan tanaman menjadi layu. Tanaman akan mengurangi
kehilangan air dengan penutupan stomata. Penutupan stomata
mem-bantu tanaman untuk menghindari kekeringan yang cepat.
Bagaima-napun, pori-pori stomata yang tertutup juga menghambat
tanaman dan udara di luarnya. Hal ini juga menghentikan aliran
air melalui tanaman yang mengurangi juga penyerapan hara.
Semua faktor yang uraikan di atas adalah penyebab tanaman
kedelai mengurangi metabolismenya dalam rangka untuk
memperta-hankan hidupnya selama masa kekeringan. Pengurangan tingkat laju
fotosintesis tanaman mengurangi hasil akhir produksi. Sebagai
tanggap penurunan tekanan turgor (layu), tanaman kedelai
mempunyai pertumbuhan daun-daun yang kecil, melambat atau
terhentinya pertumbuhan dan pembungaan, menggugurkan bunga,
menggugurkan polong, dan tidak terbentuknya biji (Borges 2004).
Hasil penelitian Aminah (2007) didapatkan bahwa
kede-lai yang diberikan cekaman air 150 mm/musim (di bawah
kebutuhan normalnya) memperlihatkan perbedaan yang sangat
nyata dengan kedelai yang mendapat air 300 mm/musim, yaitu
terjadi penurunan yang sangat nyata baik terhadap komponen
pertumbuhan tanaman maupun terhadap komponen produksi.
Penyebaran zona tersedianya air selama pertumbuhan
merata selama tiga bulan dan berkisar 100 mm/bulan cukup
baik untuk pertumbuhan tanaman kedelai. Kebutuhan air untuk
tanaman kedelai selama musim tanam 300–350 mm/musim
atau 100 mm/bulan. Tanaman kedelai yang mendapatkan curah
hujan kurang dari 100 mm/bulan atau 3,3 mm/hari akan
mengalami resiko kekeringan. Kebutuhan air pada tanaman
kedelai berbeda untuk setiap periode pertumbuhan, selain itu
kebutuhan airnya juga bervariasi menurut varietasnya. Untuk
tanaman kedelai varitas sedang (Wilis) kebutuhan airnya dapat
dilihat pada Tabel 3. (Fagi dan Tangkuman, 1995).
Tabel 3.
Kebutuhan Air Tanaman Kedelai Pada Setiap Periode Tumbuh
Stadia Tumbuh Periode (Hari) Kebutuhan Air ≈ET
(mm /periode
Pertumbuhan Awal 0 – 15 53 – 62
Vegetatif Aktif 16 – 30 53 – 62
Pembuangan-pengisian 31 – 65 124 - 143
Polong
Kematangan Biji 66 – 85 70 – 83
Untuk pertumbuhan optimum tanaman kedelai
membutuh-kan air sebanyak 300-350 mm permusim atau 75–100 mm
per-bulan atau 2,5–3,3 mm per hari. Meskipun kedelai sebagai
tanaman palawija yang cukup tahan terhadap kekurangan air
namun pada saat pertumbuhan awal, berbunga dan pengisian
polong ketersediaan air sangat diperlukan. Bila mengalami
ke-keringan maka produktivitas kedelai dapat turun 40–65%
(Adi-sarwanto dan Wudianto, 1999). Demikian halnya dengan
penga-ruh kelembaban tanah, dimana penurunan kelembaban tanah
dari 90% air tersedia menjadi 50% air tersedia dapat
menu-runkan hasil biji kedelai sebesar 30%-40% (Adisarwanto, 2014).
Kekurangan atau kelebihan air akan mempengaruhi
per-tumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Akibat kekeringan yang
terjadi pada setiap periode tumbuh kedelai.
1. Pada periode tumbuh aktif dapat menghambat
pertum-buhan daun meluruhkan daun pada cabang bawah
2. Pada periode pembuangan dapat mempertinggi kerontokan
3. Pada periode pembentukan polong dapat menghambat
pembentukan dan meluruhkan polong yang baru terbentuk
4. Pada periode pengisian polong dapat mengurangi jumlah
biji dan kepadatan ukuran biji
5. Pada periode tumbuh aktif dapat menghambat
pertumbuh-an daun meluruhkpertumbuh-an daun pada cabpertumbuh-ang bawah
6. Pada periode pembungaan dapat mempertinggi kerontokan
bunga
7. Pada periode pembentukan polong dapat menghambat
pembentukan dan meluruhkan polong yang baru terbentuk
8. Pada periode pengisian polong dapat mengurangi jumlah
biji dan kepadatan ukuran biji (Fagi dan Tangkuman, 1995).
c. Waktu Tanam
Status dan pola ketersediaan air merupakan faktor utama
penentu pola tanam untuk tanaman semusim. Pola tanam
sangat dipengaruhi oleh lamanya musim tanam (length
gro-wing season) yang sepenuhnya ditentukan oleh ketersediaan air
pada lahan tadah hujan tergantung pada ada tidaknya curah
hujan dan distribusinya selama periode tertentu. Umumnya
pendugaan musim tanam dan penetapan pola tanam pada
masing-masing wilayah ditentukan berdasarkan pola curah
hujan rata-rata bulanan atau berdasarkan potensi dan pola
pasokan air irigasi.
Iklim dan cuaca merupakan lingkungan fisik esensial bagi
tanaman yang sulit dikendalikan atau dimodifikasi. Akibat
berbagai sifat ekstrimnya, tidak jarang iklim merupakan
ken-dala bagi produksi pertanian. Curah hujan merupakan unsur
iklim yang berpengaruh cukup dominan terhadap produksi
pertanian melalui ketersediaan air bagi tanaman. Lebih khusus
variasi iklim musiman merupakan penyebab utama
menurun-nya produksi tanaman pangan. Kemarau panjang dan
kekering-an menyebabkkekering-an gagal pkekering-anen dkekering-an kekurkekering-angkekering-an pkekering-angkekering-an ykekering-ang
pada gilirannya mempengaruhi mutu kehidupan di suatu
ne-gara (Yasin, et.al., 2008). Di lahan tanpa irigasi, penerapan
keter-sediaan air juga untuk mempertahankan harga komoditas di
pasar. Ringkasnya penerapan pola tanam strategis yang
ber-orientasi kebutuhan pasar dan jumlah ketersediaan air untuk
bercocok tanam sangat relevan untuk pertanian yang efisien.
Optimalisasi produksi komoditas tanaman kedelai sangat
dipengaruhi oleh kondisi iklim. Penentuan lokasl sentra kedelai
dan periode waktu tanam yang sesuai dengan pertumbuhan
dan perkembangannya sangat penting guna memperoleh
pro-duksl yang maksimal. lnformasi kesesuaian iklim sangat
di-perlukan untuk perencanaan alokasi penggunaan tanan, jenis
komoditas yang dibudidayakan (intensifikasi), dan
peningkat-an produksi nasional melalui perluaspeningkat-an areal tpeningkat-anam
(eksten-sifikasi). Kaitan hal tersebut, analisis iklim yang lebih spesifik
untuk tanaman kedelai sangat bermanfaat sebagai bahan
per-timbangan penentuan pola dan jadwal tanam yang lebih tepat.
Faktor iklim sangat berpengaruh terhadap
pertumbuh-an dpertumbuh-an produksi tpertumbuh-anampertumbuh-an. Informasi kesesuaipertumbuh-an iklim spertumbuh-angat
perluasan areal tanam dan rekomendasi pola tanam dan
peng-aturan jadwal tanam. Guna memperoleh produksi kedelai ya.ng
optimal perlu dilakukan pemilihan lokasi dan penentuan jadwal
tanam yang sesuai. Pengaturan pola tanam terkait dengan
kebutuhan air, khususnya di daerah non irigasi yang sangat
bergantung pada curah hujan dan faktor-faktor iklim lainnya,
seperti suhu udara dan penyinaran matahari, dapat
mendu-kung oertumbuhan tanaman sehingga dapat menghasilkan
produksi yang optimal. Disamping ketergantungan terhadap
faktor iklim, penyediaan varietas unggul kedelai juga
meme-gang peranan penting, di samping penerapan teknologi
budi-daya lain, sarana produksi, penyuluhan. dan jaminan pasar
yang baik (A. Nazar et al., 2008).
D. Varietas
Varietas adalah sekumpulan individu tanaman yang dapat
dibedakan oleh setiap sifat (morfologi, fisiologi, sitologi, kimia
diproduksi kembali akan menunjukkan sifat-sifat yang dapat
dibedakan dari yang lainnya.
Varietas atau klon introduksi perlu diuji adaptabilitasnya
pada suatu lingkungan untuk mendapatkan genotipe unggul
pada lingkungan tersebut. Pada umumnya suatu daerah
mem-punyai kondisi lingkungan yang berbeda terhadap genotif.
Respon genotif terhadap faktor lingkungan ini biasanya terlihat
dari penampilan fenotipe tanaman bersangkutan.
Varietas-varietas kedelai yang dianjurkan mempunyai kriteria tertentu,
misalnya umur panen, produksi per hektar, daya tahan
ter-hadap hama penyakit. Setelah ciri-ciri tanaman kedelai
dike-tahui, akhirnya dapat dihasilkan varietas-varietas yang
dian-jurkan. Varietas-varietas ini diharapkan sesuai dengan keadaan
tempat yang akan ditanami. Dengan ditemukannya
varietas-varietas baru (unggul) melalui seleksi galur atau persilangan
(crossing), diharapkan sifat-sifat baru yang dihasilkan dapat
dipertanggung jawabkan, baik dalam hal produks, umur
(Andrianto dan Indarto, 2004). Di China hasil penelitian yang
dilakukan oleh Li et al., 2014 didapatkan bahwa variabel iklim
dan geografis memberikan pengaruh yang bervariasi pada
tanaman kedelai khususnya kandungan protein (29%), kadar
minyak mentah (20%), berat 100 Biji (17%) dan tinggi tanaman
(38%), didapatkan bahwa dalam meningkatkan kualitas dan
hasil kedelai dengan memilih lingkungan yang cocok,
meski-pun sulit untuk mengembangkan jenis varietas kedelai dengan
semua ciri plasma nutfah yang ideal secara bersamaan. Hasil
maksimum akan dicapai apabila suatu kultivar unggul
mene-rima respon terhadap kombinasi optimum dari air, pupuk, dan
praktek budidaya lainnya. Semua kombinasi input ini penting
dalam mencapai produktivitas tinggi (Nasir, 2011).
Hasil penelitian Guharja (1990) menunjukkan bahwa
beberapa kultivar kedelai mempunyai adaptasi yang luas
se-hingga dapat ditanam pada ketinggian lebih kurang 1.100 m
dpl, bahkan terdapat pula kultivar yang hidup pada
untuk suatu daerah belum tentu unggul di daerah lain,
kare-na faktor perbedaan iklim, topografi dan cara takare-nam.
Beberapa varietas kedelai menunjukkan respons yang
ter-baik pada kelengasan tanah 15% di atas kapasitas lapang.
Varie-tas Sinabung dan Kaba memiliki produktiviVarie-tas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan varietas Wilis dan Dieng (Savitri et al.,
2003).
Tanaman kedelai varietas Wilis mempunyai respon positif
pada lama penyinaran selama 10–12 jam. Penyinaran yang
terlalu pendek atau terlalu panjang akan berdampak pada
penu-runan produksi (Ariffin, 2008). Tanaman Kedelai tergolong
jenis tanaman yang butuh penyinaran yang tidak terlalu
pan-jang, terutama pada saat tanaman kedelai memasuki fase inisiasi
bunga (Zhang et al., 2001). Cahaya yang diterima oleh tanaman
berpengaruh terhadap fitokrom. Fitokrom ialah pigmen yang
berperan untuk menyerap cahaya. Pada proses perkecambahan
fitokrom berperan menyerap cahaya far infra red (FIR) yang
Salah satu penyebab kegagalan panen adalah penanaman
ke-delai tidak sesuai dengan kondisi iklim spesifik lokasi daerah
maupun belum didapatkannya varietas yang dapat beradaptasi
baik pada lingkungan.
E. Pengaruh Iklim Terhadap Tanaman
Di muka bumi terdapat banyak tanaman yang bermanfaat
bagi kehidupan manusia dan ternak. Dari sekian banyak
tum-buhan itu ada yang dapat tumbuh dengan baik ada yang sama
sekali tidak tumbuh karena perbedaan iklim. Tumbuhan ada
yang dapat tumbuh di daerah beriklim sedang adapula yang
hanya bias tumbuh di daerah tropis. Pengaruh iklim seperti itu
mendorong manusia di daerah tropis melakukan pendekatan
terhadap iklim. Hal ini menjadikan tanaman-tanaman yang
ber-asal dari daerah beriklim sedang/sejuk dapat juga tumbuh
dengan baik di beberapa daerah beriklim tropis, meskiun
ke-adaannya terbatas. (Kartasapoetra, 2008).
Pada masa lampau usaha petani untuk mengembangkan
kesulitan atau kegagalan. Banyak daerah pegunungan yang
sesuai atau dapat menyediakan iklim yang dapat diterima oleh
tanaman-tanaman tersebut, tetapi periodisitas cahaya kadang
tidak sesuai. Saat ini berkat usaha petani yang selalu ingin
mengatasi masalahnya, telah berhasil melakukan pendekatan
pada lingkungan iklimnya, sehingga tanaman tersebut sebagian
telah dapat dikembangkan dengan baik (Kartasapoetra, 2008).
Iklim yang panas dan lembab sangat mendorong
timbul-nya infeksi serta kerusakan yang hebat pada tanaman. Hal ini
dapat menurunkan nilai produk atau membuat kerusakan
se-hingga tidak berharga. Proses seperti ini dapat dicegah dengan
penurunan suhu di tempat penyimpanan produk yang
disesu-aikan dengan kepentingannya, atau melalui pendinginan,
peng-hilangan uap air dengan dehidrasi, memilih dan membuang
bagian-bagian yang telah terserang, dan selanjutnya
memasuk-kan bahan-bahan kimia yang diperoleh untuk memberantas
penyakit. Dari uraian di atas dapat disimpulkan pengaruh unsur
1. Suhu Mendorong pertumbuhan dan perkembangan,
mem-percepat kehilnagn air dan cenderung mengeringkannya
2. Sinar matahari Mengatur fotosintesis dan mendorong
ter-jadinya penguapan
3. Kelembapan Mendorong pertumbuhan, membatasi
hilang-nya air bagi pertumbuhan dan memungkinkan penyebab
timbulnya penyakit
4. Angin Mempercepat hilangnya air dan cenderung
menge-ringkan, membantu tepung sari dalam proses pembuahan
5. Hujan Hakiki bagi persediaan air karena sebagai bahan
baku proses fotosintesis, selain itu pula memungkinkan
timbulnya kerugian fisik. (Kartasapoetra, 2008).
Saat ini dampak pemanasan global yang mengakibatkan
perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia
an-tara lain sebagi berikut:
1. Menurunkan produktivitas pertanian khusunya pada
2. Terjadinya iklim ekstrem yang meningkat sehingga
sek-tor pertanian akan kehilangan produksi akibat bencana
kering dan banjir yang silih berganti
3. Kerawanan pangan akan meningkat di wilayah yang
ra-wan bencana kering dan banjir
4. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan
hama dan penyakit yang lebih beragam dan lebih hebat
(Gatut dan Hari, S. 2007)
Fenomena El Nino dan La Nina berpengaruh terhadap
produktivitas tanaman. Fenomena El Nino menurunkan
produk-tivitas pangan seperti padi, palawija, dan jagung, sebaliknya
kejadian La Nina meningkatkan produktivitasnya (Irawan, 2006).
Iklim adalah salah satu karakteristik lahan yang sangat sulit
dimitigasi kendalanya, sehingga iklim merupakan salah satu
fak-tor pembatas penting dalam perencanaan pertanian di Indonesia.
F. Proses Perubahan Iklim dan Penyebab Iklim EkstrIm
Pada prinsipnya proses terjadinya perubahan iklim
terjebak di dalam atmosfir karena adanya gas rumah kaca (efek
rumah kaca). Gas rumah kaca tersebut akan meneruskan radiasi
gelombang panjang yang bersifat panas, sehingga suhu
diper-mukaan bumi akan naik dan menjadi semakin panas dimana
laju peningkatan panasnya berbanding lurus dengan laju
per-ubahan konsentrasi gas rumah kaca. dengan laju perper-ubahan
konsentrasi gas rumah kaca. (Made Jetz, 2011)
Faktor-faktor alam seperti fenomena bertambahnya
aero-sol akibat letusan gunung berapi, siklon yang dapat terjadi di
dalam suatu tahun (inter annual), El-Nino dan La-Nina yang
bisa terjadi di dalam sepuluh tahun (inter decadal) tidak masuk
dalam kriteria peruabahan iklim global. Pada dasarnya
per-ubahan iklim disebabkan oleh aktivitas manusia, khususnya
yang berkaitan dengan penggunaan bahan fosil dan alih guna
lahan.
Aktivitas manusia secara langsung maupun tidak
lang-sung dapat menyebabkan perubahan serius pada komposisi
aktivitas manusia dapat menyebabkan meningkatnya
konsen-trasi gas rumah kaca secara signifikan di atmosfer. Dengan
naiknya temperatur rata-rata bumi atau yang biasa disebut
dengan pemanasan global dapat menyebabkan perubahan
vari-abel iklim suhu udara dan curah hujan.
G. Dampak Iklim Ekstrim
1. Jumlah Curah Hujan
Meningkatnya suhu di atmosfer akan berpengaruh
terhadap kelembaban udara. Pada daerah-daerah
ber-iklim hangat akan lebih lembab karena lebih banyak air
yang menguap dari lautan, sehingga akan meningkatkan
curah hujan, rata-rata, sekitar 1% untuk setiap 1oC
pema-nasan. Dalam seratus tahun terakhir, curah hujan di
selu-ruh dunia telah meningkat sebesar 1%.
2. Ketahanan Pangan Terancam
Produksi pertanian tanaman pangan dan perikanan
air laut, serta angin yang kuat. Perubahan iklim juga akan
mempengaruhi waktu tanam dan waktu panen, di
bebe-rapa tempat masa tanam lebih panjang tetapi di lain
tempat justru menjadi lebihsingkat. Peningkatan suhu
1oC diperkirakan akan menurunkan panen padi di
ne-gara tropis sebanyak 10%. Dengan demikian bahaya
kelaparan akan mengancam penduduk di mana-mana.
3. Kertersediaan Air
Ketersediaan air berkurang 10%-30% di beberapa
kawasan terutama di daerah tropika kering. Kelangkaaan
air akan menimpa jutaan orang di Asia Pasifik akibat
musim kemarau berkepanjangan dan intrusi air laut ke
daratan. Masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai
akan sangat menderita.
4. Berdampak pada ekonomi
Kehilangan lahan produktif akibat kenaikan
per-mukaan laut dan kekeringan, bencana, dan risiko
Stern, penasehat perdana menteri Inggris mengatakan
bahwa dalam 10 atau 20 tahun mendatang perubahan
iklim akan berdampak besar terhadap ekonomi. Stern
mengatakan bahwa dunia harus berupaya mengurangi
emisi dan membantu negara-negara miskin untuk
ber-adaptasi terhadap perubahan iklim demi kelangsungan
pertumbuhan ekonomi. Ia menjelaskan bahwa
dibutuh-kan investasi sebesar 1% dari total pendapatan dunia
untuk mencegah hilangnya 5%-20% pendapatan di masa
mendatang akibat dampak perubahan iklim.
H. Cara Menanggulangi Perubahan Iklim Ekstrem
Pada perubahan iklim, tidak ada satu pun solusi tunggal
yang dapat mengatasinya. Ketika supply dan demand energy
ini terpenuhi, maka akan menentukan terkendalinya perubahan
iklim atau tidak. Efforts dari mitigasi perubahan iklim akan
dirasakan lebih dari 2–3 dekade mendatang. Mitigasi ini sangat
pening-katan suhu rata-rata global dan dampak dari terjadinya
per-ubahan iklim dapat dihindari.
Menyebarluaskan teknologi ramah iklim sangatlah
men-desak. Dalam mitigasi perubahan iklim, kehadiran clean
tek-nologi dibutuhkan untuk secara bertahap diterapkan dan
disebarluaskan oleh sektor-sektor swasta, termasuk kerjasama
teknologi antara industri-industri dan negara-negara
berkem-bang. Teknologi yang semakin bersih dan efisiensi energi dapat
memberikan win-win solution, dengan tetap membiarkan
per-tumbuhan ekonomi berjalan dan terus melakukan upaya
meng-atasi perubahan iklim. Dengan terus berlanjutnya dominasi
bahan bakar fosil dalam energi global, efisiensi energi, bahan
bakar fosil bersih dan teknologi penangkap dan penyimpan
karbon sangatlah dibutuhkan dalam melanjutkan pertumbuhan
ekonomi tanpa mempengaruhi dalam upaya mengatasi
mer-ubahan iklim.Energi terbarukan dapat sangat membantu.
terus mengalami peningkatan beberapa tahun terakhir,
khu-susnya investasi pada angin, sinar matahari, dan biofuel.
Pertanian, penyitaan Karbon di dalam tanah mempunyai
nilai potensi mitigasi sebesar 89 persen di bidang pertanian.
Sisanya adalah peningkatan manajemen daerah pertanian dan
peternakan (misalnya meningkatkan praktek agronomis,
peng-gunaan nutrisi, waktu tanam dan manajemen sisa pertanian),
mengembalikan kondisi tanah organik yang digunakan
seba-gai lahan produksi dan mengembalikan kondisi tanah yang
rusak menjadi lahan yang produktif.Kehutanan, saat ini hal
yang menarik dari sektor ini adalah tingginya tingkat
defores-tasi. Pendekatan yang komprehensif pada manajemen
kehu-tanan dapat menjamin hasil hutan tahunan, serat atau energi
yang sesuai dengan isu perubahan iklim, mempertahankan
biodiversity dan memajukan pembangunan yang berkelanjutan.
Sampah, pembuangan sampah memberikan sekitar 5
persen dari total emisi GRK. Dengan Teknologi, pengurangan
gas yang dihasilkan dari pembuangan sampah, dan juga
meningkatkan penerapan dan perencanaan manajemen air
sampah pada tempat pembuangan akhir. Melakukan
pengon-trolan terhadap sampah-sampah organik, teknologi insenerasi
dan memperluas daerah sanitasi dapat menghindari
terbentuk-nya gas-gas ini di lokasi pertama.
I. El Nino dan La Nina
El Nino
El Nino adalah peristiwa memanasnya suhu air
permu-kaan laut di pantai barat Peru – Ekuador (Amerika Selatan yang
mengakibatkan gangguan iklim secara global). Biasanya suhu
air permukaan laut di daerah tersebut dingin karena adanya
up-welling (arus dari dasar laut menuju permukaan). Menurut
bahasa setempat El Nino berarti bayi laki-laki karena
muncul-nya di sekitar hari Natal (akhir Desember). Di Indonesia, angin
monsun (muson) yang datang dari Asia dan membawa banyak
uap air, sebagian besar juga berbelok menuju daerah tekanan
menuju Indonesia hanya membawa sedikit uap air sehingga
terjadilah musim kemarau yang panjang. Yang merupakan
gejala gangguan iklim yang diakibatkan oleh naiknya suhu
permukaan laut Samudera Pasifik sekitar khatulistiwa bagian
tengah dan timur. Naiknya suhu di Samudera Pasifik ini
meng-akibatkan perubahan pola angin dan curah hujan yang ada di
atasnya. Pada saat normal hujan banyak turun di Australia dan
Indonesia, namun akibat El Nino ini hujan banyak turun di
Sa-mudera Pasifik sedangkan di Australia dan Indonesia menjadi
kering.
Dampak El Nino terhadap kondisi cuaca global
a) Angin pasat timuran melemah
b) Sirkulasi Monsoon melemah
c) Akumulasi curah hujan berkurang di wilayah
Indone-sia, Amerika Tengah dan amerika Selatan bagian Utara.
d) Potensi hujan terdapat di sepanjang Pasifik Ekuatorial
Tengah dan Barat serta wilayah Argentina. Cuaca
cende-rung hangat dan lembab.
Dampak El Nino terhadap kondisi cuaca Indonesia
Fenomena El Nino menyebabkan curah hujan di sebagian
besar wilayah Indonesia berkurang, tingkat berkurangnya curah
hu-jan ini sangat tergantung dari intensitas El Nino tersebut.
Namun karena posisi geografis Indonesia yang dikenal sebagai
benua maritim, maka tidak seluruh wilayah Indonesia
dipenga-ruhi oleh fenomena El Nino. El Nino pernah menimbulkan
kekeringan panjang di Indonesia.
Curah hujan berkurang dan keadaan bertambah menjadi
lebih buruk dengan meluasnya kebakaran hutan dan asap yang
ditimbulkannya. Dampak El Nino akan dirasakan signifikan di
Indonesia hanya dengan satu syarat, yakni jika suhu permukaan
laut Indonesia yang mendingin. Sesuai dengan teori hukum
fisika dasar, angin berembus dari daerah yang bertekanan udara
panas). Karena suhu permukaan laut di Pasifik menghangat
atau naik yang berarti bertekanan rendah, maka jika
daerah-daerah di sekitar Pasifik (termasuk Indonesia) memiliki suhu
muka laut yang dingin, maka angin termasuk uap air dari
Indonesia akan ditarik ke Pasifik. Akibatnya terjadinya musim
kemarau yang sangat kering.
La Nina
La Nina adalah gejala gangguan iklim yang diakibatkan
suhu permukaan laut Samudera Pasifik dibandingkan dengan
daerah sekitarnya. Akibat dari La Nina adalah hujan turun lebih
banyak di Samudera Pasifik sebelah barat Australia dan
Indo-nesia. Dengan demikian di daerah ini akan terjadi hujan lebat
dan banjir di mana-mana. Sangat sedikit sekali bahan yang
menjelaskan dampak La Nina di indonesia. Dapat dikatakan
bahwa La Nina menyebabkan curah hujan di indonesia
mening-kat pada saat musim kemarau serta menyebabkan majunya
awal musim hujan. Akan tetapi hasil penelitian baru-baru ini
serta saat awal La Nina 2010. Hasil penelitian tersebut
mem-perlihatkan bahwa fenomena La Nina 1998 di mulai pada saat
bulan April dan mulai berkurang dampaknya terhadap anomali
curah hujan di Indonesia pada bulan November serta puncak
kejadian terjadi pada bulan Agustus dan September. selain itu,
pola spasial anomali hujan saat La Nina ternyata bergerak
secara dinaims yang dimana pada saat awal kejadian La Nina
dampaknya di Indonesia akan di mulai di daerah selatan
In-donesia dan berakhir di daerah timur InIn-donesia (As-syakur,
2010).
Awal kejadian La Nina 2010 pun di mulai pada bulan
April dan peningkatan curah hujan di mulai di rasakan juga
oleh wilayah Indonesia bagian selatan (As-syakur dan Prasetia,
2010). peningkatan curah hujan saat kejadian La Nina 1998 dan
2010 bisa mencapai di atas 300% dari curah hujan normal
(Gambar di bawah). Kondisi tersebut cenderung meningkatkan
curah hujan pada musim kemarau serta majunya awal musim
seperti naiknya rata-rata produksi pangan sebesar 521 ribu ton
atau 1.08 % dari total rata rata produksi (Irawan, 2006). Kondisi
wilayah laut indonesia juga terjadi sebaliknya dari kondisi La
Nina. Laut menjadi lebih hangat dari biasanya, pasokan
klorofil-a menurun sehinggklorofil-a nelklorofil-ayklorofil-an pun ikut merklorofil-asklorofil-akklorofil-an dklorofil-ampklorofil-aknyklorofil-a
yaitu berkurangnya hasil tangkapan ikan.
Gambar 3. Pola spasial anomali hujan 1998/1999
Menurut Aldrian (2003) dan As-syakur (2010) pengaruh
ENSO (El Nino/La Nina) di Indonesia di mulai pada bulan
April dan akan mencapai puncak pada bulan Agustus dan
September serta terus menurun sampai bulan November/
Desember. Akan tetapi setiap para peneliti di dunia menarik
kesimpulan yang sama bahwa efek ENSO pada setiap kejadian
tidak akan pernah sama karena kompleksnya interaksi antara
atmosfer dan laut, berbeda-bedanya pengaruh dominan dari
faktor-faktor penyebab ENSO, serta adanya pengaruh lokal
yang berbeda-beda pada setiap kejadian ENSO
J. Model Simulasi Tanaman
Model simulasi tanaman adalah bagian dar analisis sistim
sebagai suatu metode pendekatan masalah secara ter-integrasi
yang merupakan metode ilmiah untuk pemecahan masalah.
Metode merupakan konsepsi mental, hubungan em-pirik atau
kumpulan pernyataan-pernyataan matematik statistik atau
dapat juga diartikan sebagai representasi sederhana dari suatu
dalam suatu sistem dapat diabstraksi dalam bentuk hubungan
sebab akibat dari peubah-peubah atau aspek-aspek yang
dite-tapkan sesuai tujuan model. Saat ini, ada peningkatan jumlah
model dan pendekatan pemodelan yang disesuaikan dengan
tujuan tertentu, dengan menggunakan variabel input yang
ber-beda (Li et al., 2014;. Todorovic et al., 2009).
Beberapa penelitian tentang permodelan dilakukan
an-tara lain, Araya et al., (2010) menguji model AquaCrop, untuk
simulasi biomassa dan hasil barley tumbuh di bawah pemberian
air yang berbeda di Ethiopia. Abrha et al., (2012) menguji
AquaCrop untuk menganalisis respon pemberian air terhadap
hasil dalam membuat strategi menabur barley pada lokasi yang
berbeda; Rotter et al. (2012) membandingkan sembilan model
tanaman dengan simulasi hasil semi barley di zona yang
ber-beda antara Utara dan Eropa Tengah. J. Marshal et al., (2012)
Penggunaan Cropsyst untuk meramalkan potensi air tanaman
untuk rekomendasi pengelolaan irigasi di kebun buah pir.
yang berdiri sendiri dalam mengintegrasikan atmosfer, darat,
air, dan model ekonomi untuk menghasilkan informasi yang
dapat digunakan untuk sumber daya pertanian dan alam dalam
pengambilan keputusan di tingkat regional. Akhirnya, Dechmi
dan Skhiri (2013) mengevaluasi praktek pengelolaan air irigasi
intensif yang baik dengan menggunakan model SWAT.
Confalonieri et al. (2006) menggarisbawahi penggunaan
model tanaman untuk mempelajari sifat dinamis dalam sistem
pertanian, yang mengklaim bahwa, model tanaman semakin
digunakan untuk mempelajari perilaku sistem pertanian yang
kompleks dan untuk memahami interaksi antara tanah dan
tanaman di bawah kondisi meteorologi yang berbeda. Model
tanaman untuk simulasi hasil panen dan biomassa di bawah
kondisi yang berbeda dapat ditemukan dalam beberapa
peneli-tian oleh Cavero et al., (2000), Confalonieri et al,. (2006) dan Yang
et al., (2004) yang menggunakan model tanaman yang berbeda.
Permintaan penggunaan model integrasi terus
diharapkan mengarah pada kumpulan dasar perangkat lunak
yang mencakup solusi pemodelan dari berbagai disiplin ilmu
bukan kopel model yang berdiri sendiri ( Donatelli et al., 2014).
Kemampuan model untuk mensimulasikan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman di bawah praktek manajemen yang
berbeda adalah salah satu tantangan untuk modernisasi dalam
hal produksi pertanian. Bahkan, banyak upaya pemodelan telah
jelas menyebabkan peningkatan pemahaman ilmiah dari respon
tanaman di bawah kondisi lingkungan dan strategi manajemen
yang berbeda (Singh et al., 2008; Evett dan Tolk, 2009).
Sebuah perhatian khusus telah diberikan kepada
pe-ningkatan kemampuan model untuk simulasi pertumbuhan
sereal dimana produksi tanaman dan stabilitas hasil sereal yang
sangat ditentukan oleh ketersediaan air dan nitrogen yang
saling berinteraksi selama musim tanam (Albrizio et al., 2010).
Hal ini terutama berlaku untuk daerah kering dan semi-kering,
seperti lingkungan Mediterania yang ditandai dengan distribusi
ke-kurangan air permanen, kualitas tanah yang buruk dan
ter-batasnya ketersediaan lahan (Abeledo et al., 2008).
Salah satu model simulasi yang dikembangkan di
Indo-nesia adalah model simulasi DSSAT (Decision Support System for
Agrotechnology Transfer) versi 3.5., yang digunakan untuk
meni-lai dampak perubahan iklim terhadap pertanaman kedemeni-lai
(Kaimuddin et al., 2005). Model simulasi DSSAT merupakan
kumpulan berbagai model simulasi tanaman semusim seperti
tanaman pangan dan hortikultura.
Untuk mengevaluasi kinerja model DSSAT, informasi
tentang keragaman produktivitas serta sistem usahatani di
wi-layah di mana model diuji sangat diperlukan. Informasi ini
dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana
penyimpang-an model dpenyimpang-an alternatif teknologi (percobapenyimpang-an) apa ypenyimpang-ang perlu
disusun untuk dicobakan dalam model DSSAT. Untuk
peneliti-an ini akpeneliti-an digunakpeneliti-an model tpeneliti-anampeneliti-an CropSyst muntuk
meli-hat dampak perbahan iklim terhadap pertanaman kedelai di
alter-natif pemanfaat model tanaman untuk keperluan manajemen
pertanian. Jika prediksi produksi tanaman merupakan tujuan
utama dalam simulasi, khususnya analisis risiko di mana suplai
air tanaman merupakan faktor pembatas utama, model-model
secara akurat dapat memprediksi lamanya fase pertumbuhan
tanaman, tingkat akumulasi biomassa tanaman, keseimbangan
air tanah, dan pembagian biomassa ke hasil ekonomis tanaman.
Model-model yang lebih kompleks biasanya tidak memperbaiki
prediksi hasil karena ketidaktentuan dalam pembagian
biomas-sa dan karena banyaknya informasi masukan (input) yang
di-butuhkan tidak tersedia dan biaya yang mahal untuk
memper-olehnya (Ritchie, 1991). Keakuratan simulasi hasil tergantung
pada tingkat struktur model yang memadai, parameter yang
tepat, dan data lingkungan yang akurat (De Vries and Spitters,
1991).
K. Model Cropsyst
Cropsyst (Cropping Systems Simulation Model) telah
bu-kan sebagai alat penelitian dasar. Dimaksudbu-kan untuk
diguna-kan sebagai penelitian terapan, analisis skenario produktivitas
dan dampak lingkungan dari sistem tanam dan manajemen
tanam, juga dampak perubahan iklim pada sistem tanam dan
strategi manajemen tanam untuk efisiensi penggunaan air.
Cropsyst telah berkembang untuk memenuhi tuntutan baru dan
memberikan beberapa konsep untuk masa depan, Sto€ckle
(2014).
Cropsyst mensimulasikan air tanah, nitrogen, fenologi
tanaman, kanopi tanaman, produksi, biomassa, hasil panen,
produksi dan dekomposisi residu, erosi tanah oleh air dan
pes-tisida. Input data yang dibutuhkan: suhu maksimum harian,
suhu minimum harian, radiasi surya (intensitas dan lama
pe-nyinaran, kelembaban udara dan kecepatan angin. Data
para-meter tanah: tekstur tanah, pH tanah, kapasitas tukar kation,
titik layu permanen, kapasitas lapang, bahan organik tanah,
dan Bulk Density. Sedangkan data tanaman meliputi: genetik
Management‖ dan waktu aplikasi. Beberapa data meteorology
dapat diestimasi/dibangkitkan (tanpa data observasi) seperti:
radiasi surya, kelembaban udara dan data angin).
Cropsyst sebagai langkah pertama menuju adaptasi
yang akan dijadikan contoh atas tantangan yang dihadapi oleh
model yang sama pada sistem tanam (Sto€ckle et al., 2012).
Cropsyst telah banyak diterapkan ke berbagai daerah dan juga
tanaman (Singh et al., 2008; . Palosuo et al., 2011; Rotter et al.,
2012). Pengembangan tanaman disimulasikan sesuai dengan
konsep waktu termal dengan mempertimbangkan efek dari
penyinaran, pendinginan (vernalisasi), dan stres air pada
pengembangan tanaman.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa Cropsyst dapat
menghi-tung gabungan karbon dan nitrogen, termasuk emisi nitrogen
oksida dari Nitrifikasi dan denitrifikasi (Sto€ckle et al., 2012). Ini
juga sebagai pelengkap untuk menghitung jejak karbon dari
sistem pertanian berbasis pada pendekatan penilaian siklus
guna menghitung peningkatan atmosfer CO2 dari produksi
biomassa (Sto€ckle et al., 2010), Selain itu, dalam analisis daerah
skala besar menjelaskan tentang perlunya untuk
mensimula-sikan jumlah yang lebih besar dari tanaman. Kerangka
pertum-buhan tanaman genetik Cropsyst telah terbukti cocok untuk
mensimulasikan tanaman herba tidak hanya tahunan, tetapi
juga tanaman hortikultura dan pohon (Oyarzun et al, 2007;.
Marsal dan Sto€ckle, 2012). Sebuah versi prototipe sedang
di-kembangkan untuk mensimulasikan tanaman hortikultura
da-lam rumah kaca (Gallardo et al., 2012). Lebih lanjut hasil
peneli-tian Zare et al. (2014) yang mengguanakan cropsyst
mendapat-kan bahwa dengan irigasi lima hari sekali ditambah pemberian
Nitrogen sebesar 45 kgN/ha merupakan yang terbaik bagi
tanaman padi. Hal ini berarti bahwa simulasi ini memberi
gam-baran kalau cropsyst itu dapat membuat permodelan terhadap
perlakuan untuk mendapatkan hasil yang terbaik bagi tanaman.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Razaa et al., (2014),
tanah pada lahan-lahan yang kekurangan air. Hasilnya
menga-takan bahwa cropsyst dapat digunakan untuk memprediksi
kandungan air tanah dengan membandingkan simulasi dengan
kandungan air tanah yang diambil di lapangan
Dalam penelitian lain, Cropsyst termasuk dalam
kerang-ka pemodelan ekonomi bio pada beberapa tingkerang-kat pengguna
air (Sommer et al., 2011, Djanibekov et al., 2013) dan di sektor
ekonomi, model mewakili proses pengambilan keputusan
pe-tani dalam menghindari risiko perubahan iklim untuk menilai
sensitivitas penggunaan air pertanian (Finger, 2012). Sommer
et al. (2013) mengevaluasi respon 14 varietas gandum terhadap
perubahan iklim dan konsentrasi CO2 yang meningkat di
atmosfer dengan tiga tingkatan manajemen agronomi di 18
lo-kasi di zona agroekologi Kazakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan,
dan Tajikistan.
Studi CropSyst lainnya mencakup penilaian terhadap
hasil panen untuk tanaman yang dipilih (kacang tanah, kedelai,
(Tingem dan Rivington, 2009), penilaian dampak kejadian iklim
ekstrim pada hasil gabah (Moriondo et al., 2011), evaluasi
pe-ngaruh perubahan berarti variabilitas iklim dan iklim terhadap
hasil tanaman musim dingin dan musim semi di Swiss (Torriani
etal., 2007), dan penilaian perubahan iklim dan produksi jagung
di Swiss Plateau (Finger et al., 2011). Lebih lanjut penelitian
yang dilakukan oleh Alizadeh dan Parsaeimehr (2011),
mengha-silkan hubungan yang sangat dekat antara hasil simulasi
dengan hasil yang diperoleh di lapangan terhadap tanaman
gandum yang menggambarkan akurasi dari model cropsyst
tersebut.
Pada dasarnya setiap model yang digunakan adalah
sama tergantung dari imput yang diberikan, sebagaimana hasil
penelitian yang dilakukan Marie therese et al. (2014) yang
mem-bandingkan antara model AquaCrop dan Cropsyst dimana
AquaCrop dan Cropsyst mensimulasikan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman dengan menggunakan pendekatan
ber-beda dan mengadopsi tingkat beragam kompleksitas. Namun,
kedua model simulasi pertumbuhan cukup baik barley di
masing-masing tiga tahun dengan mempertimbangkan air dan
N yang berbeda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
parameter pemodelan cukup konservative dan hanya satu
tahun data bisa cukup untuk kalibrasi mereka. Ini dikonfirmasi
kelayakan dan kekokohan pemodelan pendekatan kedua,
mo-del didasarkan pada kondisi cuaca tertentu dari tahun kalibrasi
yang dapat mempengaruhi sampai batas tertentu dari kinerja
model. Namun demikian, penampilan model dipengaruhi
ter-utama oleh kondisi manajemen yang berbeda, yaitu air irigasi
dan N. Kemudian, parameterisasi sesuai parameter model yang
dibutuhkan untuk mendapatkan biomassa dan prediksi hasil.
Dalam hal parameter statistik yang digunakan dan
ter-utama dari EF, AquaCrop telah menunjukkan kinerja yang lebih
baik daripada Cropsyst bawah kedua air optimal dan