TETENGER SUARA BULUS
I Gede Adi Artika, Ni Ketut Suryatini, Kadek Suartaya Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia Denpasar
Jalan Nusa Indah Denpasar 80235/Fax :(0361) 236100 E-mail : adiartika094@gmail.com
Abstrak
Dalam menciptakan sebuah karya seni perlu adanya pematangan pemikiran dan inspirasi. Inspirasi adalah hal yang sangat penting bagi seniman-seniman di Bali, karena didalam proses membuat karya dan cara menemukan inspirasi tiap-tiap seniman sangat beragam yaitu ada yang dengan cara melamun, mengobrol, habis jalan-jalan, dan duduk termenung. Dalam hal tersebut seniman tanpa inspirasi suatu karya seni khususnya seni karawitan tidak akan dapat terwujud tanpa adanya inpsirasi yang dimiliki oleh seniman itu sendiri. Dalam hal ini penata mencoba menata sebuah seni yang sudah ada menjadi sebuah garapan kreativitas yang baru. Penata terinspirasi dari sebuah benda yaitu kulkul bulus. Kulkul bulus sering kali digunakan ketika terjadi gejala alam terjadi yaitu kebakaran, kemalingan, perselingkuhan, kebanjiran, gempa bumi, gunung meletus dan lain-lain.
Dari hal tersebut penata memberi judul “Tetenger suara bulus” yaitu isyarat atau tanda bunyi cepat. Komposisi karawitan ini berbentuk kreasi baru sebagai hasil kreastivitas penata untuk mengimplementasikan segala struktur-struktur dari garapan ini, setidaknya dapat dijadikan sebuah simbol yang bisa mengangkat garapan komposisi karawitan kreasi baru.
Abstract
In creating a work of art there needs to be maturation of thought and inspiration. Inspiration is very important for astists in Bali, because in the process of making works and inspiring the inspiration of each artist is very diverse, there are those who are daydreaming, chatting, walking out, and sitting pensive. In this case the artist without inspiration of a work of art especially karawitan cannot be realized without the inspiration of the artist himself. In this case the stylist tries to organize an art that already exists into a new work of creativity. The stylist is inspired by an object that is kulkul bulus. Kulkul bulus is often used when natural symptoms occur, namely fire, sloth, infidelity, floods, earthquakes, volcanic eruptions and others.
PENDAHULUAN
Daya pikir seniman Bali selalu berkembang seiring dengan kemajuan teknologi
menyebabkan kehidupan kesenian khususnya karawitan dari tahun ke tahun terus mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Segala tuntutan kebutuhan yang bersifat kekinian mendorong
para seniman untuk terus menciptakan karya-karya baru dengan mengolah ide-ide baru yang
dimiliki (Sukerta, 2011:1).
Penata terinspirasi dari sebuah benda yaitu kulkul bulus. Disamping itu inspirasi ini juga
didapatkan dari kegiatan fakta yaitu kegiatan ngajar megambel yang dimana penabuhnya itu
sendiri kemalingan motor. Secara langsung kelian adat memukul kulkul bulus tersebut untuk
memanggil warga atau mengumpulkan warga atau memberi tahu bahwa terjadi kemalingan, yang
tadinya warga desa pakraman masyarakat yang tenang dan mungkin warga sekitar ada yang
nonton televisi, berkumpul bersama keluarga. Setelah kulkul ini dipukul yang bunyinya sangat
cepat sekali keadaan menjadi panik dan resah karena begitu cepatnya bunyi kulkul tersebut.
Warga keluar rumah dalam keadaan panik tanpa disadari warga tersebut ada yang membawa
celurit, air, batu dan tali yang dimana warga tersebut belum tau ada musibah apa? berdasarkan
latar belakang yang telah banyak diuraikan di atas, maka penata ingin mengangkat sebuah
garapan karya seni karawitan dengan judul “tetenger suara bulus”.
Bali merupakan pulau yang kaya akan warisan budaya dan kesenian tradisional yang
beragam salah satunya adalah alat komunikasi tradisional yaitu kulkul. Kulkul adalah alat
komunikasi bagi warga desa atau organisasi tradisional bali terbuat dari bahan kayu dan bambu,
yang berbentuk bulat memanjang. Kayu yang digunakan dalam pembuatan kulkul yaitu kayu
ketewel atau nangka yang panjang kira-kiranya satu sampai dua meter, dilubangi sepanjang
badannya untuk membuat lubang memanjang, dan bagian dalamnya dibuat menggerongong.
Kedua ujungnya ditutup atau tertutup oleh karena penggorek bagian dalam kayu tersebut dijaga
agar tidak sampai menembus kedua bagian ujungnya. Adapula yang terbuat dari seruas bambu
petung yang berukuran cukup besar, dimana kedua belah buku ruasnya dilubangi, dan sepanjang
badan bambu itu dibuat lubang memanjang.
Media komunikasi dalam desa pakraman di Bali digunakan sesuai dengan fungsinya di
tengah perkembangan globalisasi, khususnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
penggunaan kulkul yang masih aktif, sistem dan struktur sosial kemasyarakatan dalam
masyarakat hindu di Bali dibangun di atas tri hita karana filosofi tersebut merupakan landasan
dari awig-awig desa pakraman yang mengatur kehidupan masyarakat. Banjar adat yang
merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan dalam desa pakraman juga mengatur tata
kehidupan dan perilaku sosial warga banjarnya berdasarkan awig-awig yang berlaku di desa
pakraman, termasuk dalam penggunaan kulkul itu sendiri.
Menurut Bapak I Wayan Susila kelahiran 5 Oktober 1972, hasil wawancara pada tanggal
19 Februari 2018, beliau mengatakan bahwa kulkul pada dasarnya mempunyai fungsi yang
berkaitan erat dengan kegiatan banjar adat mulai dari penanda pertemuan rutin sangkep tedun
ngayah, masyarakat Bali biasanya melakukan pertemuan rutin sebulan sekali pada setiap banjar.
Menjelang hari pertemuan, didahului dengan memukul kulkul dengan sebuah alat pemukul kayu.
Suara kulkul akan terdengar sampai ke pelosok banjar. Suara tersebut merupakan panggilan
kepada warga untuk segera berkumpul di tempat yang sudah disepakati bersama, dengan pola
tetabuhnya lima ketukan dua palet yang dipukul dengan tempo lambat tung-tung-tung-tung-tung.
Tanda suatu pekerjaan yang akan dimulai gotong royong wangde ngayah, masyarakat Bali
biasanya melakukan pengerahan tenaga kerja, pengerahan tenaga tersebut yang sudah
direncanakan dan disepakati bersama, dengan pola tetabuhannya lima ketukan tiga palet yang
dipukul atau dimainkan dengan tempo lambat tung-tung-tung-tung-tung.
Tanda suatu bahaya bencana alam marabahaya, disamping kulkul sebagai tanda
pertemuan rutin dan pengerahan tenaga kerja, kulkul sering kali digunakan ketika terjadi gejala
alam yaitu kebakaran, kemalingan, perselingkuhan, kebanjiran, gempa bumi, gunung meletus
dan lain-lain, dengan tetabuhan tempo yang cepat bulus dan tidak berpola
tung-tung-tung-tung-tung-tung-tung-tung-tung-tung. Penanda bunyi kulkul untuk kematian “kelayu sekaren” dengan
pola tetabuhannya tiga ketukan satu palet dipukul dengan tempo lambat tung-tung-tung. Penanda
bunyi kulkul untuk pernikahan nganten upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau
dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma
agama, norma hukum, dan norma sosial, dengan pola tetabuhannya satu ketukan dua palet
dengan tempo lambat tung. Dari hal tersebut terlihat bahwa kulkul memiliki legimitasi yang
cukup kuat di dalam desa Pakraman ataupun banjar adat, maka dari itu kulkul tetap eksis sampai
Meskipun eksistensi kulkul di masyarakat Bali masih begitu besar, kenyataan dari
sekarang ini terjadi gempuran-gempuran teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan
globalisasi teknologi informasi dan komunikasi terlihat tidak merata di Bali. Terdapat desa-desa
atau wilayah-wilayah di Bali yang sangat terbuka terhadap dunia luar. Kulkul memiliki aspek
komunikasi sebagai media penyampaian pesan secara nonverbal, yaitu melalui suara-suara kulkul
yang memiliki makna yang berbeda-beda dan norma-norma dalam berperilaku.
Desa pakraman merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki satu
kesatuan tradisi dan tata krama dalam pergaulan hidup masyarakat Bali secara turun temurun.
Awig-awig dalam desa pakraman mengatur tentang kulkul, merupakan salah satu faktor yang
memperkuat eksistensi kulkul hingga saat ini, serta dalam kegiatan persembahyangan di
pura-pura, membuat kulkul selalu diproduksi sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Kulkul yang
memilki peranan penting dalam kegiatan sosial kemasyarakatan di Bali, membuat kulkul secara
tidak langsung memiliki kaitan dengan norma bermasyarakat. Didalam simbolnya kulkul
disimbolkan sebagai media pencipta kebersamaan dan kesatuan, karena setiap masyarakat akan
selalu memperhatikan serta mematuhi simbol-simbol bunyi yang disuarakan dari kulkul. Dari
fenomena tersebut timbul ketertarikan tersendiri bagi penata untuk menciptakan suatu karya komposisi dengan mengangkat judul “tetenger suara bulus”.
“Tetenger suara bulus” yang berasal dari kata tenger suara dan bulus. Tenger yang artinya isyarat atau tanda, suara yang artinya suara dan bulus artinya cepat. Yang berarti isyarat
atau tanda-tanda bunyi cepat, yang menggambarkan bahwa ada marabahaya datang menimpa
masyarakat desa. Contohnya, perampokan, kebakaran rumah, dan lain-lain. Perlu diketahui
komunikasi yang kerap dilakukan dalam bentuk organisasi masyarakat saat ini sangat berbeda
dengan masa silam. Adapun marabahaya yang sudah menimpa warga masih juga menggunakan
handphone untuk berkomunikasi kepada masyarakat desa. Hal tersebut menggambarkan bahwa
keadaan budaya yang telah kita miliki kini memudar karena derasnya arus pengaruh budaya luar. Pada intinya penata ingin menggambarkan pemaknaan istilah “tetenger suara bulus”.
Perlu kiranya penata sampaikan juga, bahwa ketertarikan akan hal-hal budaya dan tradisi
juga terjadi pada musik. Penata sangat tertarik dengan aliran karya yang kental dengan nilai-nilai
tradisi tanpa melewati pakem-pakem tradisi yang telah ada. Oleh karena itu penata memiliki
keinginan yang besar untuk membuat sebuah komposisi karawitan baru dengan media ungkap
barungan jegog, yang masih berpijak kepada nilai-nilai tradisi dengan nuansa baru. Inti dari dari
tanda bunyi bulus tersebut masyarakat mempunyai rasa kesatuan kesepakatan bersama dalam
bentuk organisasi masyarakat tanpa keluar dari tradisi dan budaya kita.
PROSES KREATIVITAS
Terciptanya sebuah karya seni tentunya melalui sebuah proses yang panjang. Agar
proses tersebut dapat berjalan dengan baik, adanya pendekatan teori mengenai metode
penciptaan menjadi hal yang sangat penting bagi seorang seniman. Dalam proses penggarapan karya “tetenger suara bulus” penata menerapkan sebuah metode yang terdiri dari tiga tahapan yaitu penjajagan (eksplorasi), percobaan (improvisasi), dan pembentukan (forming)
(M.Hawkins,1964:4)
Tujuan utama pada tahap ini adalah tahap eksplorasi yaitu mencari inspirasi,
menemukan ide dan kemudian menyusun konsep garap yang digunakan sebagai pijakan dasar
dalam berkarya. Terkait dengan proses pencarian inspirasi, penata telah banyak memaparkan
pada sub bab latar belakang tulisan ini. Intinya ialah penata terinspirasi dari kecintaan penata
terhadap tradisi hal-hal yang identik dengan kehidupan tempo dulu. Bertolak dari inspirasi
tersebut, penata mulai mengkerucutkan fokus pengamatan sambil membayangkan kemungkinan
konsep garapan yang dapat dirancang dari bakal ide yang sedang penata amati. Kulkul menjadi
objek pengamatan yang menarik karena sangat identik dengan suara atau tanda-tanda yang
dihasilkan atau di suarakan oleh kulkul tersebut. Penata rasa kulkul tersebut sangat tepat untuk
dijadikan ide dasar sekaligus menjadi judul karya dalam penggarapan karya seni yang sesuai
dengan ekspetasi penata.
Tahap kedua adalah Percobaan, tahap ini dimana penata melakukan
percobaan-percobaan secara intensif untuk mencari kemungkinan motif musikal yang bisa diterapkan ke
dalam karya tetenger suara bulus. Untuk mengetahui hasil dari setiap motif-motif unsur musikal
yang telah penata dapatkan, penata melakukannya dengan berbagai cara, di antaranya ialah
dengan mencoba memainkan langsung pada media gamelan jegog, dan yang paling sering penata
lakukan adalah dengan cara mencoba membayangkan rasa musikal yang akan terwujud di dalam
pikiran penata. Dengan begitu, penata dapat langsung memfiltrasi motif-motif apa saja yang
kiranya akan menghasilkan bahasa musikal yang dapat merepresentasikan ide-ide penata yang
Tahap yang terakhir ialah mewujudkan semua rancang bangun garapan yang diperoleh
pada tahap percobaan menjadi sebuah garapan yang utuh. Tahap ini lebih menekankan pada
proses latihan yang melibatkan banyak orang jadi sudah tentu akan menemui banyak kendala dan
sangat diperlukan kemampuan manajemen organisasi yang baik. Setelah garapan garapan
terbentuk secara utuh, maka proses selanjutnya adalah tahap penjiwaan. Setiap pemain harus
mampu menjiwai garapan yang disajikan untuk mendukung aspek penampilan. Tahap penjiwaan
dapat dilakukan dengan cara melaksanakan latihan yang fokus pada penjiwaan lagu secara
berulang-ulang. Namun sebelumnya penata harus memberikan pemahaman kepada semua
pemain mengenai konsep yang penata angkat.
WUJUD GARAPAN
Wujud adalah sebuah tampak nyata yang ditentukan oleh indra manusia. Djelantik (2004)
menyebutkan bahwa wujud mengandung dua hal mendasar, yaitu bentuk dan struktur. Segala
sesuatu yang berwujud tentunya memiliki unsur-unsur penyusun, begitu juga dengan karya seni
tetenger suara bulus. Karya ini disusun dari berbagai unsur yang dibingkai menjadi satu
kesatuan wujud utuh sehingga layak untuk disajikan.
Karya “tetenger suara bulus” adalah komposisi baru yang masih tergolong dalam ranah tradisi. Penata banyak menggali pola-pola tradisi untuk dikemas kembali menjadi sebuah karya
komposisi baru yang terwujud dalam bentuk tabuh kreasi (instrumental) dengan media gamelan
jegog. Istilah “komposisi baru” yang penata cantumkan, teraplikasi dengan adanya pencarian
melodi-melodi baru, serta adanya beberapa pengembangan yang ditekankan pada dinamika dan
tempo.
Garapan ini mepresentasikan segala bentuk pemaknaan bunyi yang dikeluarkan oleh
kulkul bulus. Dalam perumusan konsep garap karya ini, penata menggunakan dua pendekatan,
yaitu pendekatan secara logika dan pendekatan secara kontemplasi atau perenungan mendalam
yang menekankan pada pertimbangan rasa. Secara logika, implementasi umum tetenger suara
bulus penata aplikasikan dengan wujud garapan yang baru. Penata menghindari penggunaan
bentuk-bentuk ornamentasi yang tergolong rumit serta mengupayakan arah melodi yang
Bulus yang berarti cepat, dimana “tetenger suara bulus” tersebut yang mencirikan
adanya marabahaya yang sudah menimpa dan secara tiba-tiba. Penggambaran di atas penata
implementasikan dengan menerapkan bermain melodi, otek-otekan, tempo, dinamika, ritme yang
berpola dan menawarkan hitung-hitungan ganjil dan cepat pada bagian bapang tertentu agar
garapan ini terkesan baru. Bunyi yang dikeluarkan dengan kulkul bulusmembuat para warga
panik yang berkeliaran ketakutan dan hal apa yang akan terjadi kepada mereka. Bunyi bulusini
lah yang menjadi acuan dalam pengolahan ritme dalam penggarapan karya tetengersuara bulus.
Simpulan
Karya komposisi karawitan “tetenger suara bulus”ini tercipta atas dasar keinginan penata untuk merealisasikan ide-ide ke dalam sebuah karya komposisi karawitan baru yang tetap
berpijak pada pola-pola tradisi. Unsur-unsur musikal diolah sesuai rumusan konsep garap untuk
mewujudkan kesan baru.
Karya ini terwujud dalam bentuk tabuh kreasi baru dengan media gamelan jegog.
Pemain yang terlibat berjumlah 23 orang termasuk penata. Durasi karya kurang lebih 14 menit
dengan struktur menggunakan pola triangga yang terdiri dari pengawit, pengawak, dan pengecet.
Secara konseptual, tiap bagian tersebut merepresentasikan pemaknaan dari suara bulus. Pangawit
merepresentasikan bagian warga yang sedang berkumpul , pengawak merepresentasikan bagian
warga yang sedang melakukan gotong royong, dan pengecet merepresentasikan bagian
marabahaya.Kebaruan dari karya ini lebih ditekankan pada pencarian pola melodi. Pada unsur
musikal lainnya, penata banyak menggali dan mengembangkan pola-pola yang sudah ada.
Pengembangan itu yang tercermin dengan adanya teknik permainan instrumen kancil dan swir
dengan cara bermain nyelangkit, adanya penerapan hitungan-hitungan ganjil, serta adanya
pengolahan ritme dan tempo yang yang cepat.
Daftar Pustaka
Aryasa, I WM, dkk. 1985. Pengetahuan Karawitan Bali. Denpasar: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Pengembangan
Kesenian Bali.
Bandem, I Made. 2013. Gamelan Bali Di Atas Panggung Sejarah. Denpasar: BP STIKOM.
Djelantik, A.A.M. 2004. Estetika: Sebuah Pengantar. Bandung: MSPI dan Arti
Garwa, I Ketut. 2008. “Metode Penciptaan Seni Karawitan”. Bajan Ajar. Denpasar: Institut Seni Indonesia Denpasar.
Sukerta, Pande Made. 2011. Metode Penyusunan Karya Musik: Sebuah Alternatif. Surakarta: ISI
Press Solo
Suweca, I Wayan, 2009. Estetika Karawitan: Buku Ajar. Denpasar: Institut Seni Indonesia
Denpasar.
http://blog.isi-dps.ac.id/gedeyudarta/?p=45
Daftar Informan
I Wayan Susila kelahiran 5 Oktober 1972, Kelian adat, wawancara tanggal 19 Februari 2018