• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1 Angka kematian karena stroke sampai saat ini masih tinggi. Menurut estimasi World Health Organisation (WHO), pada tahun 2008 ada 6,2 juta kematian karena stroke (WHO, 2012) dan merupakan penyebab kematian no 3 di dunia setelah jantung koroner dan kanker (WHO, 2007). Data yang lebih rinci oleh American Heart Association/American Stroke Association (AHA/ASA) dalam Heart Disease and Stroke Statistics-2012 Update, menyebutkan bahwa setiap 4 menit seorang meninggal karena stroke dan stroke berkontribusi dalam setiap 18 kematian di Amerika Serikat pada tahun 2008 (Roger, et al. 2011). Di Amerika Serikat, stroke merupakan penyebab kematian nomor 4 setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit kronik saluran pernafasan bawah (Miniño, et al. 2011), sedangkan di Inggris merupakan satu diantara tiga penyebab kematian tertinggi (National Audit Office, 2010), sementara di Australia stroke merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit jantung koroner dengan 8.300 kematian pada tahun 2009 (Refshauge, 2012; National Stroke Foundation, 2012).

Berbeda halnya di Cina, India, Peru dan Venezuela dimana stroke merupakan penyebab kematian utama (Ferri, et al. 2012), demikian juga halnya di Indonesia, stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada usia >45 tahun (15,4% dari seluruh kematian) baik di Desa maupun di Perkotaan (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Dep Kes, 2008). Hasil yang sama juga dilaporkan oleh (Rao, et al. 2010) bahwa stroke merupakan penyebab kematian tertinggi di tahun 2006-2007 di Surakarta (27,0%) dan di Pekalongan (19,9%).

Di RSUD Muntilan, bila dilihat dari 10 besar penyakit penyebab kematian di rawat inap tahun 2009 s/d 2011, stroke merupakan penyebab kematian tertinggi dengan jumlah kasus yang berbeda setiap tahunnya. Tahun 2009 ada 80 kematian karena stroke, tahun 2010 ada 23 kematian, namun sejalan dengan peningkatan kasus yang signifikan pada tahun 2011 kematian karena stroke juga meningkat

(2)

menjadi 113 kematian (RSUD Muntilan, 2010; RSUD Muntilan, 2011; RSUD Muntilan, 2012).

Prevalensi dan Insidensi stroke bervariasi di berbagai negara. Di seluruh dunia ada 15 juta kejadian stroke setiap tahun (WHO, Global burden of stroke). Menurut Heart Disease and Stroke Statistics-2012 Update, diperkirakan 7.000.000 orang usia ≥20 th terkena stroke di Amerika Serikat pada periode 2005-2008 dengan prevalensi 3,0%. Dalam laporan yang sama, menurut data Behavioral Risk Factor Surveillance System (BRFSS) Centers for Disease Control (CDC) 2010, 2,6% laki-laki dan 2,6% perempuan usia ≥18 th pernah

stroke (Roger, et al., 2012). Data yang lebih rinci melaporkan, rata-rata setiap 40 detik seorang di Amerika Serikat kena stroke (Roger, et al., 2011). Sementara di Inggris, pada tahun 2008, insidensi stroke 1,04/.1000 orang pertahun dengan prevalensi 7,2/1.000 orang (Lee, et al., 2011). Di Australia, diperkirakan prevalensi stroke pada tahun 2009 adalah 375.800 orang (Refshauge, 2012), sementara di Asia Selatan (Kulshreshtha, et al., 2012) melaporkan prevalensi stroke bervariasi 45-471/100.000 penduduk dengan insidensi 123-145/100.000 penduduk.

Stroke juga menyerang pada usia muda. Di Swedia (Christerson & Strömberg, 2010) dilaporkan insidensi stroke pada anak 1.8/100.000 dan di Amerika Serikat tahun 1997-2003 adalah 4,6/100.000 anak. Menurut WHO pada tahun 2002, kejadian stroke pada usia muda (usia 20-40 th) di Amerika Serikat bervariasi antara 10 kasus pada kulit putih, 26 kasus pada Hispanik, dan 20 kasus pada kulit hitam. Sementara negara dengan kasus stroke di usia muda tertinggi adalah Libya (usia 15-40 th) dan Kuwait (usia 40-59 th) (WHO, Global burden of stroke).

Di Indonesia, berdasarkan Riskesdas (2007), prevalensi stroke rata-rata adalah 0,8%, tertinggi di Nangroe Aceh Darussalam (1,66%) dan terendah di Papua (0,38%) (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Dep Kes, 2008), dengan kejadian stroke pada usia muda (<45 th) sebesar 12,9% (Misbach & Ali, 2001). Menurut data di beberapa Rumahsakit di Jakarta dan kota lainnya di Indonesia, kira-kira 50% dari pasien rawat inap di bagian saraf merupakan pasien

(3)

stroke (Marwati, 2011). Sementara di RS Sardjito, data stroke tahun 2009 menunjukkan 70% merupakan stroke iskemik akut dan 30% adalah stroke hemoragik. Sejak berdiri tahun 2004, di unit stroke RSUP Dr Sardjito terjadi peningkatan jumlah kasus stroke, terutama stroke iskemik akut dari 229 kasus (78,97%) pada 2004 menjadi 355 kasus (70,00%) pada 2009 (Setyopranoto, 2011).

Bila dilihat distribusi stroke menurut jenis kelamin, laporan AHA 2011 menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna dalam hal gender untuk usia

≥18 tahun (2,7% kasus stroke pada laki-laki dan 2,5% pada wanita) (Roger, et al. 2011), demikian juga penelitian di Perancis, Jerman, Itali, dan Spanyol menunjukkan hal yang sama, namun di Inggeris insidensi lebih tinggi pada wanita (Zhang, et al. 2012).

Di RSUD Muntilan, berdasarkan data 3 tahun terakhir (2009, 2010, dan 2011) stroke selalu menduduki peringkat ke tiga 10 besar penyakit/diagnosa di rawat inap dibawah gastroenteritis dan head injury. Dari tahun ke tahun terjadi peningkatan jumlah kasus, tahun 2009 dengan jumlah 348 kasus, tahun 2010 dengan 354 kasus dan pada tahun 2011 terjadi peningkatan kasus yang signifikan menjadi 496 kasus (RSUD Muntilan, 2010; RSUD Muntilan, 2011; RSUD Muntilan, 2012).

Kecacatan karena stroke juga merupakan masalah tersendiri. Menurut WHO, stroke merupakan penyebab utama kecacatan jangka panjang (WHO, 2006). Di seluruh dunia ada 5 juta pasien dengan gejala sisa dan kecacatan permanen (WHO, Global burden of stroke). Di Amerika Serikat, stroke merupakan penyebab utama kecacatan yang serius jangka panjang (Roger, et al. 2011), sedangkan di Inggris stroke merupakan penyebab terbanyak kecacatan pada dewasa (National Audit Office, 2010), lebih dari 900.000 orang di Inggris hidup dengan dampak stroke dan separonya tergantung pada orang lain untuk aktifitas sehari-harinya (NICE, 2008), demikian juga di Australia, stroke merupakan penyebab kecacatan utama (National Stroke Foundation, 2012).

Beban biaya akibat stroke cukup besar dan menjadi beban bagi negara. Sebagai penyebab kecacatan dalam jangka panjang, selain dampak emosional juga

(4)

dampak sosio ekonomi baik bagi pasien, keluarga maupun pelayanan kesehatan. Diperkirakan biaya seumur hidup perpasien antara 59.800-230.000 dolar Amerika dan di Inggris sekitar 6% dari total biaya kesehatan dan pelayanan sosial Nasional (WHO, 2006). Menurut laporan AHA dalam Heart Desease and Stroke Statistics 2011, beban ekonomi yang harus ditanggung akibat stroke merupakan beban ekonomi yang serius. Diperkirakan pada tahun 2007, biaya medis langsung stroke 25,2 juta dolar Amerika dengan biaya rata-rata perawatan perorang diperkirakan 7.657 dolar, dan biaya rata-rata selama hidup bagi penderita stroke iskemik 140.048 dolar (Roger, et al. 2011). Sementara di Inggris, lebih dari 3 milyar pounsterling biaya tidak langsung stroke setiap tahunnya (National Audit Office, 2010). Begitu juga dengan Negara lainnya seperti Cina, India dan Russia bisa kehilangan 200–550 milyar dolar Amerika dari groos domestic product dalam 10 tahun yang akan datang karena penyakit jantung, stroke dan diabetes (Anderson & Chu, 2007). Sedangkan di Finlandia, pengobatan bagi pasien stroke merupakan investasi nasional yang besar, biaya tahunan yang harus dikeluarkan untuk merawat pasien stroke sebesar 1.6 milyar dolar Amerika yang setara dengan 7% biaya kesehatan nasional (Meretoja, et al., 2011).

Bebagai upaya dilakukan dalam rangka meningkatkan luaran penatalaksanaan stroke. AHA/ASA telah mengembangkan sebuah program peningkatan kualitas stroke nasional, yaituthe “Get With The Guidelines (GWTG) stroke”, yang fokus pada desain ulang sistem perawatan stroke di Rumahsakit (Schwamm, et al., 2009). Program GWTG stroke bertujuan untuk meningkatkan upaya peningkatan kualitas stroke, mengurangi disparitas perawatan stroke, dan meningkatkan hasil klinik melalui ketaatan terhadap guideline yang direkomendasikan (Schwamm, et al., 2009; Fonarow, et al., 2010).

Untuk membantu adanya kepastian perawatan yang adequat pada pasien stroke, the Brain Attack Coalition (BAC) mengusulkan 2 tingkatan di Rumahsakit dalam pengobatan pasien stroke: Primary Stroke Centers (PSCs) dan Comprehensive Stroke Centers (CSCs) (Alberts, et al., 2005). Banyak pasien stroke dapat diobati dengan tepat di PSCs. Beberapa pasien butuh perawatan intensif dan teknik khusus yang tidak tersedia di PSCs tapi ada di CSCs.

(5)

Penelitian (Rudd, et al., 2005) memperlihatkan bahwa pelayanan unit stroke mampu menurunkan angka kematian akibat stroke sampai 25%.

Pendekatan multidisiplin untuk memperbaiki proses pelayanan melalui Clinical pathway terbukti bisa memperbaiki proses pelayanan stroke (Pinzon, et al. 2009). Wardlaw, et al. (2004) melaporkan bahwa Pemeriksaan khusus seperti Ct Scan, menunjukkan peningkatan outcome stroke di rawat inap. Sebuah penelitian terbaru di Jerman menunjukkan bahwa jaringan telestroke bisa menjadi suatu strategi yang berguna dalam pelayanan di daerah non urban (Audebert, et al. 2006).

Meskipun rekomendasi sudah tersebar luas, clinical practice guidelines hanya memberikan efek terbatas pada perubahan perilaku dokter. Hasil penelitian di Cina, menunjukkan bahwa kesadaran spesialis saraf di Cina akan pentingnya guideline pada pencegahan sekunder stroke masih rendah. Kesadaran terhadap pentingnya target tekanan darah hanya 37,4%, hiperkolesterolemia hanya 60,2%, terapi antiplatelet kurang dari 2 hari sebagai waktu terbaik untuk dimulainya pemberian 82,7% (Jian, et al. 2012). Menurut (Hinchey, et al. 2008) banyak pasien stroke tidak menerima terapi yang direkomendasikan. Carvalho, et al. (2012) melaporkan, dari 23 kasus yang memenuhi syarat trombolisis intravena, 69.5% diobati dan dari yang memenuhi syarat pemberian antitrombotik, yang diberikan 98.2%. Semua pasien pulang menggunakan obat antitrombotik dan 86.7% dari semua yang memenuhi syarat menerima antikoagulan. Kadar lipid diperiksa hanya pada 35.6% pasien dan kadar Low-Density Lipoprotein (LDL)

≥100 mg/dl ditemukan pada 19.5% pasien. Hanya 56.1% pasien yang diterapi

sesuai dengan guideline. Konseling rokok dilakukan pada 66.6% pasien.

RSUD Muntilan telah menerapkan guideline dalam pelayanan pada kasus stroke di klinik spesialis saraf mengacu pada guideline stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) 2011 sejak Januari 2012. Untuk mengetahui sejauh mana kepatuhan terhadap guideline dalam perawatan pencegahan sekunder pada pasien stroke terkait dengan upaya peningkatan mutu pelayanan stroke di RSUD Muntilan, penting untuk dilakukan suatu audit klinik.

(6)

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah yang akan diteliti adalah: Bagaimana kualitas pencegahan sekunder dan pencapaian target perawatan sekunder pada pasien stroke di RSUD Mutilan?

C. Tujuan Penelitian Tujuan umum:

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kualitas perawatan pencegahan sekunder pada pasien stroke di klinik spesialis saraf RSUD Muntilan melalui pendekatan audit klinik.

Tujuan khusus:

1. Identifikasi penyimpangan dalam deteksi, penatalaksanaan faktor resiko, dan kontrol modifikasi gaya hidup yang relevan dengan pencegahan sekunder stroke mengacu kepada standar guideline yang digunakan.

2. Mengukur pencapaian target perawatan sekunder stroke

3. Menyusun rencana perbaikan untuk peningkatan mutu perawatan pencegahan sekunder stroke.

D. Manfaat Penelitian

Hasil akhir yang diperoleh dari penelitian ini bermanfaat untuk:

1. Memberikan informasi kepada manajemen RSUD Muntilan tentang kualitas perawatan pencegahan sekunder stroke di Rumahsakit tersebut. 2. Melakukan perbaikan dalam perawatan pencegahan sekunder stroke di

klinik spesialis saraf RSUD Muntilan.

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang telah ada yang mirip dengan penelitian yang akan dilakukan tergambar dalam tabel 1 berikut:

(7)

Tabel 1. Review artikel audit klinik pencegahan sekunder stroke

Peneliti Tahun Metode Hasil

Chen, et al Harris, et al Rudd, et al 2011 2010 2004

Audit klinik retrospektif pada 1.134 pasien stroke non-akut dengan membandingkan dua sampel dari suatu serial kasus dalam waktu yang berbeda di klinik umum rawat jalan di Hongkong

Audit klinik retrospektif pada 2.724 pasien stroke akut,

menggunakan kuesioner berdasarkan guideline klinik, pada pasien rawat inap pada 89 RS di Australia

Audit retrospektif pada pasien stroke akut di 235 RS di Inggris, Wales, dan Irlandia Utara

Fase I; hanya 47% yang dikontrol hipertensi, 45% diabetes, dan 37% dislipidemia

Fase 2 (setelah intervensi); 73 % dilakukan kontrol hipertensi, 62% diabetes, dan 59% dislipidemia

26% tidak menerima antihipertensi, 38% tidak

menerima obat menurunkan lipid, 9% tidak menerima antitrombotik, dan 62% tidak menerima nasehat gaya hidup

Deteksi faktor resiko yang terdokumentasi adalah; 46% hipertensi, 18% fibrilasi atrial, 14% diabetes, dan 64% kadar kolesterol.

91% pasien dapat terapi

antitrombotik, 54% pasien dapat terapi penurunan kadar lipid, 78% dapat terapi antihipertensi dan 41% normotensi saat follow-up, 37% terdokumentasi nasehat gaya hidup.

Koning, et al 2003 Audit retrospektif pencegahan stroke pada 193 pasien pada

pelayanan dokter umum di 2 RS rujukan di Roterdam

44% perawatan suboptimal. termasuk 52% dengan kontrol hipertensi yang tidak adekuat dan 17% pemeriksaan resiko

kardiovaskuler yang tidak adekuat dalam

Referensi

Dokumen terkait

dokter kecil mencapai target provinsi ; 60% Kabupaten/ Kota, melaksanakan pelayanan kesehatan peduli remaja sesuai standar; 25% Kabupaten/Kota, melaksanakan pelayanan

Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan tuntutan manusia untuk mencapai kenyamanan hidup juga meningkat. Salah satu perkembangan teknologi yang

Ada juga pedagang yang langsung meminjam uang kepada rentenir diakibatkan para sanak saudara dan tetangga mereka sudah dapat dipastikan tidak akan memberikan pinjaman kepada

Isu strategis penyelenggaraan perumahan dan permukiman di Indonesia sesungguhnya tidak terlepas dari dinamika yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat,

Dengan adanya payung hukum baru yaitu peraturan Dirjen Pajak Nomor 11/PJ/2016 tentang Pengaturan Lebih Lanjut mengenai pelaksanaan Undang- undang Nomor 11 Tahun 2016

“Dengan demikian, pembelajaran dapat diartikan sebagai proses modifikasi dalam kapasitas manusia yang dapat dipertahankan dan ditingkatkan levelnya” (Huda, 2011,

kalimat dalam paragraph ; menulis introductory, topic, supporting, dan concluding sentences dengan menggunakan bahasa Inggris yang berterima dan runtut dengan unsur kebahasaan

Kombinasi perlakuan yang dihasilkan mutu cat tembok emulsi terbaik diperoleh dari perlakuan konsentrasi emulsifier 20% dan perekat 15% dengan karakteristik sebagai