• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. terutama ibu-ibu rumah tangga, yaitu bekerja dalam sistem putting out, yaitu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. terutama ibu-ibu rumah tangga, yaitu bekerja dalam sistem putting out, yaitu"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Salah satu pekerjaan sektor informal yang banyak digeluti oleh perempuan, terutama ibu-ibu rumah tangga, yaitu bekerja dalam sistem putting out, yaitu sistem borongan yang dikerjakan di rumah-rumah. Status para ibu tersebut adalah sebagai buruh rumahan (home based worker). Dewasa ini, sistem kerja rumahan menjadi model kegiatan produksi yang stabil dan menguntungkan bagi pengusaha, karena terbukti menghemat banyak biaya produksi sebesar 30-40%.1 Dengan demikian, pengusaha tidak perlu memiliki tenaga kerja resmi, di mana pengusaha tidak memberikan jaminan kesehatan serta keselamatan kerja, alat dan fasilitas kerja, biaya transportasi, dan pemberian upah di bawah standar minimum kepada buruh rumahan (Bergan, 2009: 219).

Jumlah buruh rumahan di Kabupaten Jawa Tengah, kawasan industri cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah pengusaha yang memberlakukan sistem kerja rumahan. Namun, meningkatnya jumlah buruh rumahan di Ungaran tidak diimbangi dengan semakin terorganisirnya kelompok buruh rumahan. Persoalan yang dihadapi buruh rumahan di Ungaran tersebut juga dialami buruh rumahan di Yogyakarta. Tercatat 8.500 orang buruh rumahan di Yogyakarta, tersebar di Kabupaten Bantul dan Sleman. Sebagian besar merupakan ibu rumah tangga yang bekerja membordir, menjahit pakaian, membuat tas perca,

1

Silaban, Rekson. 2015. “Sistem Pekerja Rumahan” pada Harian Kompas Edisi 14 Maret 2015, halaman 16, http://print.kompas.com/baca/2015/03/14/Sistem-Pekerja-Rumahan. Diakses pada 18 Desember 2015 pukul 22.09 WIB.

(2)

2 merajut sepatu, dan menjahit sarung tangan yang dipasarkan di Pasar Beringharjo, hingga luar daerah seperti Jakarta, Bali, dan Kalimantan.2

Alasan perempuan, terutama ibu rumah tangga yang bekerja sebagai buruh rumahan, karena peran perempuan sebagai istri diasumsikan tidak bekerja di luar rumah, di mana suami yang bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah (Bergan, 2009: 220). Asumsi terkait ibu rumah tangga yang terbentuk dalam masyarakat tidak terlepas dari tanggung jawab perempuan atas pekerjaan domestik, seperti mengasuh anak, memasak, dan membereskan rumah, hingga terbentuklah istilah perempuan sebagai kanca wingking (teman di belakang) dalam kehidupan masyarakat Jawa (Darwin, 2005: 64). Oleh karena itu pekerjaan sebagai buruh rumahan, seperti menjahit dan merajut diasumsikan sebagai media penyaluran hobi perempuan yang berpenghasilan untuk membantu perekonomian keluarga.

Buruh rumahan yang belum diakui statusnya sebagai pekerja oleh pemerintah serta rendahnya kesadaran kritis buruh rumahan atas hak-haknya sebagai pekerja, seperti yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 memberikan peluang besar buruh rumahan dieksploitasi serta menghadapi tindak ketidakadilan dari pengusaha (Jhabvala, 1995: 3133). Pada kenyataannya, para buruh rumahan perempuan tidak sekedar menyalurkan hobi, melainkan menjadi sumber penghasilan ekonomi keluarga, seperti biaya kesehatan, kebutuhan dapur, pendidikan anak, serta berbagai biaya sosial di masyarakat (Wan, 1997: 25). Seringkali buruh rumahan harus bekerja lembur untuk

2Maharani, Shinta. Hari Hak Asasi Manusia, Buruh Rumahan & Perlindungan Kerja. Harian Tempo

Edisi 11 Desember 2015, http://nasional.tempo.co/read/news/2015/12/11/058726771/hari-hak-asasi-manusia-buruh-rumahan-perlindungan-kerja. Diakses pada 18 Desember 2015 pukul 22.00 WIB.

(3)

3 menambah penghasilan mereka dalam upaya mencukupi kebutuhan keluarga dan untuk memenuhi permintaan pengusaha dalam meningkatan jumlah produksi usaha tanpa mendapat tambahan upah kerja lembur dari pengusaha (Wan, 1997: 26).

Melihat kehidupan buruh rumahan yang relatif tidak sejahtera, banyak berbagai lembaga buruh memiliki kepedulian terhadap buruh rumahan, salah satunya adalah ILO (International Labour Organization). Meskipun ILO telah meratifikasi keberadaan buruh rumahan sebagai pekerja, konvensi ILO 1996 terkait buruh rumahan tersebut belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, sehingga buruh rumahan belum diakui sebagai pekerja. Akibatnya, buruh rumahan belum memperoleh perlindungan hukum dan pengamanan sosial yang disediakan oleh pemerintah Indonesia. Rendahnya sistem pengawasan negara dalam bentuk hukum, menyebabkan posisi para pengusaha sangat diuntungkan, karena mereka tidak memiliki sistem hubungan kerja secara resmi. Sebaliknya, posisi buruh rumahan rentan terhadap tindak ketidakadilan, seperti pada kutipan berita harian Kompas berikut.3

“Definisi hubungan kerja dalam UU No 13/2003 dianggap sah apabila ada tiga unsur: ada pekerjaan, perintah kerja, dan upah. Dalam kasus buruh rumahan, hanya ada unsur pekerjaan, sementara perintah kerja yang seharusnya dituangkan secara tertulis tidak ada. Ketentuan upah pun tak sesuai aturan perundangan. Akhirnya, pengusaha atau perusahaan bebas meraih keuntungan sebesar-besarnya tak dibebani membayar hak-hak normatif pekerja, pajak, dan lain-lain.”

3

Silaban, Rekson. 2015. “Sistem Pekerja Rumahan” pada Harian Kompas Edisi 14 Maret 2015, halaman 16, http://print.kompas.com/baca/2015/03/14/Sistem-Pekerja-Rumahan. Diakses pada 18 Desember pukul 22.09 WIB.

(4)

4 Berdasarkan kondisi buruh rumahan yang begitu pelik, Yasanti sebagai LSM yang peduli terhadap buruh perempuan telah melakukan upaya untuk mengorganisir buruh rumahan, baik yang ada di Ungaran, Jawa Tengah maupun di Yogyakarta. Dalam rangka meningkatkan kapasitas organisasi maupun advokasi akses terhadap pekerjaan dan kerja layak buruh rumahan, Yasanti bekerjasama dengan ILO-MAMPU serta didukung oleh beberapa jaringan LSM yang ada di Jawa Tengah dan Yogyakarta, melalui kegiatan pendidikan, pelatihan, serta berbagai upaya untuk pengembangan swadaya perempuan terutama pada bidang pendidikan, sosial, ekonomi, kebudayaan, kesehatan, lingkungan, dan pendukung lainnya (Istiatun dan Khasanah, 2011: 30).

Pendampingan buruh rumahan merupakan salah satu kegiatan Yasanti, di mana buruh rumahan di Ungaran lebih dahulu diorganisir dan dilanjutkan dengan buruh rumahan di Yogyakarta, yaitu di Pleret, Bantul dan Notoprajan, Kota Yogyakarta sejak pertengahan tahun 2014. Yasanti mengorganisir buruh rumahan melalui pendidikan kapasitas yang disebut dengan “Sekolah Kepemimpinan Feminis Buruh Rumahan”, untuk memperkuat kapasitas peserta sekolah dalam kehidupan keluarga, komunitas maupun di lingkungan kerja secara berkelanjutan. Tujuan jangka panjang dari sekolah buruh rumahan, yakni peningkatan kapasitas kepemimpinan, sehingga buruh rumahan dapat mengakses sumber-sumber ekonomi, fasilitas publik, dan mendapatkan perlindungan atas pekerjaan layak serta kehidupan yang lebih sejahtera. Model pendampingan berupa pendidikan kapasitas sebelumnya telah diterapkan Yasanti dalam mendampingi kelompok

(5)

5 buruh gendong perempuan di Yogyakarta mulai pertengahan tahun 2013 hingga awal tahun 2015.

Selama 1,5 tahun proses pendampingan kelompok buruh rumahan di Yogyakarta, telah banyak melakukan kegiatan sekolah, baik in class maupun out class. Misalnya, pada akhir tahun 2015 peserta sekolah buruh rumahan di Yogyakarta melakukan audiensi terkait kehidupan buruh rumahan di Monumen Serangan 1 Maret, Yogyakarta, selain itu peserta sekolah buruh rumahan juga telah melakukan audiensi ke berbagai dinas terkait, seperti Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Yogyakarta, Dinas Pemberdayan Perempuan dan Masyarakat Yogyakarta, bahkan hingga audiensi ke Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementrian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi di Jakarta.

Berdasarkan hasil evaluasi program pada akhir tahun 2015 dan evaluasi pertengahan program 2016 yang dilaporkan kepada ILO-MAMPU di Jakarta, kelompok buruh rumahan perempuan yang didampingi Yasanti menunjukkan progres kemajuan dalam beradvokasi terhadap pemerintah setempat. Oleh karena itu, ILO-MAMPU bersedia memperpanjang dukungan dana untuk kegiatan sekolah buruh rumahan periode kedua yang rencananya akan di selenggarakan pada pertengahan tahun 2017, dengan memperluas kelompok dampingan di Yogyakarta. Terlepas dari hasil evaluasi kegiatan Yasanti, terkait adanya progres advokasi terhadap pemerintah setempat, penelitian ini akan menguraikan hasil sekolah buruh rumahan terhadap kehidupan peserta sekolah sehari-hari.

(6)

6

1.2. Perumusan Masalah

Keaktifan kegiatan sekolah buruh rumahan selama 1,5 tahun, terutama pada bidang advokasi telah banyak dilakukan ke berbagai dinas terkait. Dari hasil kegiatan advokasi yang telah dilakukan peserta sekolah buruh rumahan belum mendapat tindak nyata dari pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup buruh rumahan. Meskipun demikian, menurut Laksono (2015: 15), yang terpenting dari pendidikan adalah mulai dari kehidupan individu, di mana bagaimana pendidikan yang diperolah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, muncul pertanyaan besar dalam penelitian ini, yaitu: bagaimana hasil sekolah kepemimpinan feminis buruh rumahan jika diterapkan dalam kehidupan peserta sekolah sehari-hari? Untuk membatasi kajian berdasarkan pertanyaan di atas, peneliti merumuskan ke dalam tiga pertanyaan, yaitu:

1. Bagaimana konsep sekolah kepemimpinan feminis buruh rumahan? 2. Bagaimana bentuk dan proses kegiatan sekolah kepemimpinan feminis

buruh rumahan?

3. Bagaimana respon dan perubahan perilaku peserta sekolah kepemimpinan feminis buruh rumahan dalam kehidupan para peserta sehari-hari?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui konsep sekolah kepemimpinan feminis buruh rumahan; 2. Mengetahui proses kegiatan sekolah kepemimpinan feminis buruh

(7)

7 3. Mengetahui respon dan perubahan perilaku peserta sekolah kepemimpinan feminis buruh rumahan dalam kehidupan para peserta sehari-hari.

1.4. Tinjauan Pustaka

Banyaknya fakta dan kajian menunjukkan kerentanan perempuan terhadap ketidakadilan telah menggugah pemerintah maupun swasta dalam upaya memberdayakan perempuan. Namun, banyak hal yang menyebabkan pemberdayaan suatu kelompok masyarakat belum berkelanjutan. Seperti kajian Chambers (1987), melihat pembangunan suatu kelompok masyarakat yang tidak berkelanjutan yang berkaitan dengan munculnya steriotipe negatif dari agen pemberdayaan sebagai orang luar terhadap orang lokal, serta tidak melibatkan orang lokal dalam kegiatan pembangunan. Program pemberdayaan menjadi tidak berlanjut, karena upaya pemberdayaan tidak sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat lokal (Chambers, 1987: 133-140). Akibatnya, kelompok masyarakat yang rentan akan terus terbelenggu dalam lingkar ketidakberdayaan.

Dalam kajian Chambers (1987) dirumuskan sebuah konsep lingkaran kemiskinan atau ketidakberdayaan yang terdiri dari beberapa aspek yang saling berkaitan, antara lain kemiskinan (poverty), fisik yang lemah (physical weakness), kerentanan (vulnerability), keterisolasian (isolation), dan ketidakberdayaan (powerlessness) (Chambers, 1987: 109). Dengan demikian, Chambers merumuskan bahwa fenomena kemiskinan dan ketidakberdayaan merupakan fenomena struktural yang sifatnya kompleks.

(8)

8 Dalam kajian Khandker (1998) berbanding terbalik dengan kajian Chambers dalam mengkritik pembangunan yang tidak berkelanjutan. Khander memaparkan mengenai program pengentasan kemiskinan pada kelompok perempuan di Bangladesh yang sifatnya berkelanjutan, melalui program kredit mikro yang dikenal dengan program Grammen Bank. Kajian Khandker tersebut menguraikan bagaimana program kredit mikro untuk kelompok perempuan dapat membantu perempuan dari kemiskinan, di mana perempuan dapat meminjam modal usaha melalui koperasi perempuan yang dibentuk (Khandker, 1998: 2).

Program kredit mikro sejak tahun 1976, telah memberikan pengaruh besar pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Bangladesh dalam mengurangi angka kemiskinan, tidak hanya pada kelompok perempuan saja. Survey ke beberapa rumah tangga di Bangladesh, selain semakin meningkatnya akses perempuan dalam meminjam modal usaha, juga menunjukkan peningkatan nutrisi dalam rumah tangga, meningkatnya akses pendidikan anak baik laki-laki maupun perempuan, dan meningkatnya kesadaran pemakaian alat kontrasepsi (Khandker, 1998: 37-59). Bahkan program kredit mikro Grammen Bank dapat membantu mengurangi angka kemiskinan di Bangladesh sebanyak 1 % setiap tahunnya (Khandker, 1998: 61).

Dalam kajian Nuwirman (1998) diuraikan mengnenai peran organisasi lokal sebagai sarana pemberdayaan masyarakat sebagai upaya pengentasan kemiskinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa organisasi ekonomi lokal dapat berkembang secara mandiri, dengan didasari kegiatan keagamaan dan tingkat kedekatan emosional yang tinggi, memiliki peran besar dalam memberdayakan

(9)

9 ekonomi masyarakat pedesaan. Modal sosial yang ditemukan di lapangan berupa saling menukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok, seperti gotong-royong.4

Pemanfaatan modal sosial dalam memberdayakan masyarakat juga pernah dikaji oleh Hudayana (2013), dalam risetnya di Lereng Gunung Merapi paska erupsi. Temuan yang ada menyatakan bahwa modal jaringan sosial masyarakat merupakan potensi kuat untuk pemberdayaan masyarakat guna menciptakan masyarakat mandiri. Dengan modal sosial yang kuat, masyarakat dapat saling berbagi informasi dan persoalan-persoalan yang dihadapi, sehingga mereka mengetahui persoalan yang dihadapi untuk merancang strategi memecahkan masalah yang ada. Dengan kesadaran dari dalam diri perempuan, pemberdayaan dapat berkelanjutan, karena mereka merasa memiliki persoalan yang sama dan harus diselesaikan bersama pula.5

Kajian mengenai pendampingan perempuan dalam upaya pemberdayaan kelompok buruh rumahan, bukanlah suatu penelitian baru. Kajian Kazzi et. all. (1990) fokus menguraikan kehidupan buruh rumahan perempuan di Karachi, Pakistan yang bekerja membordir pada sebuah industri pakaian. Sebagian besar buruh rumahan adalah ibu rumah tangga dengan usia dibawah 20 tahun. Meskipun buruh rumahan perempuan mendapat upah yang rendah, mereka tetap bersedia bekerja sebagai buruh rumahan, karena hegenomi budaya patriarki seorang

4 Nuwirman. 1998. Efektivitas Organisasi Lokal sebagai Sarana Pemberdayaan Ekonomi

Masyarakat Miskin Pedesaan. Padang: Universitas Andalas.

5

Hudayana, Bambang. 2013. Urgensi Revitalisasi Modal Sosial dalam Upaya Pengurangan Resiko Bencana: Belajar dari Penanggulangan Bencana di Yogyakarta. Yogyakarta: Makalah Seminar dan Kongres II Forum PRB DIY, http://pspk.ugm.ac.id/artikel-terbaru-html. Diakses pada 18 Desember 2015 pukul 20.31 WIB.

(10)

10 perempuan tidak diperbolehkan pergi dari rumah, karena bertanggung jawab untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bahkan pekerjaan buruh rumahan menjadi marak digeluti oleh ibu rumah tangga di Karachi, Pakistan.

Berdasarkan kehidupan buruh rumahan yang rentan terhadap perlakuan tidak adil, dalam kajian Bergan (2009) menguraikan mengenai studi kasus pengorganisasian buruh rumahan yang ada di Bulgaria dan Turki yang belum mendapat perlindungan hukum dari pemerintah, penting sekali untuk mengorganisir buruh rumahan. Upaya LSM dalam mengorganisir buruh rumahan dapat membangkitkan kesadaran kritis para buruh rumahan untuk memperjuangkan hak-haknya agar tidak dieksploitasi waktu, tenaga, dan biaya produksi yang tidak ditanggung oleh pengusaha (Bergan, 2009: 227).

Keberhasilan kegiatan pendampingan dalam bentuk grassroots seperti kajian Bergan (2009) juga telah dikaji oleh Putri (2015), di mana pendidikan kapasitas pada kelompok buruh gendong di Yogyakarta oleh Yasanti mampu meningkatkan kesadaran kritis buruh gendong untuk memperjuangkan hak-haknya dalam mengupayakan kerja layak.6

Dari beberapa paparan studi pustaka di atas dapat dikatakan, kegiatan pemberdayaan perempuan dapat berkelanjutan dengan penguatan modal sosial, penguatan kapasitas, untuk menggali kesadaran kritis diri perempuan. Dengan demikian perempuan secara sadar akan terus memperjuangkan hak-haknya dan berusaha bersama untuk memecahkan persoalan yang ada. Penelitian ini fokus

6

Putri, Dian. 2015. PenguatanKapasitas Buruh Gendong Melalui Sekolah Kepemimpinan di Yayasan Annisa Swasti (YASANTI). Yogyakarta: Skripsi Sarjana Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya UGM.

(11)

11 pada respon dan perubahan perilaku peserta sekolah kepemimpinan feminis buruh rumahan dalam kehidupan para peserta sehari-hari.

1.5. Landasan Teori

Siapakah yang tergolong sebagai buruh rumahan? Buruh rumahan berbeda dengan pekerja rumah tangga yang mengerjakan pekerjaan domestik, seperti memasak dan mencuci pakaian. Buruh rumahan merupakan orang yang bekerja mandiri dalam sub-kontrak secara langsung maupun tidak langsung kepada pemberi kerja atau perantaranya, biasanya dikerjakan secara borongan yang dikenal dengan pekerja luar atau sistem putting-out (Matsuura & Nelien, 2015: 3). Buruh rumahan harus menanggung banyak biaya serta resiko produksi, termasuk membeli, menyewa, dan merawat peralatan, serta membayar listrik maupun transportasi. Buruh rumahan bekerja tanpa perlindungan hukum dan bekerja tanpa bantuan dan pengawasan langsung dari orang-orang yang mempekerjakan mereka (Matsuura & Nelien, 2015: 4).

Menurut Konservasi ILO 177/1996 tentang Kerja Rumahan (Pasal 1), pekerjaan rumahan didefinisikan sebagai pekerjaan yang dikerjakan di dalam rumah atau di tempat lain pilihannya, di luar tempat kerja milik pemberi kerja atau juragan, untuk mendapatkan upah, menghasilkan produk atau jasa yang ditetapkan juragan terlepas dari siapa yang menyediakan peralatan, bahan baku, dan masukan lain yang dipergunakan.

Kontribusi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) sangat besar dalam pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. LSM merupakan organisasi atau lembaga secara sukarela berniat dan bergerak pada bidang

(12)

12 kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi atau lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang fokus pada pengabdian secara swadaya (Ismawan, 2000: 1).

Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu strategi pembangunan yang diciptakan sebagai jawaban atas pembangunan sebelumnya pada masa pemerintahan Orde Baru tahun 1980-an yang tidak berkelanjutan (Eko, 2005: 162). Mengapa pemberdayaan? Pemberdayaan merupakan cara untuk meningkatkan kapasitas manusia terutama dalam upaya meningkatkan kemandirian serta potensi sumber daya yang dimiliki. Menurut Ife (1995: 61-64), pemberdayaan mengandung tiga kekuatan (power), yakni power to, yaitu kekuatan untuk berbuat, power with yaitu kekuatan untuk membangun kerja sama, dan power within, yaitu kekuatan dalam diri pribadi manusia. Secara konseptual pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata power yang berarti kekuasaan. Akan tetapi, pengertian kekuasaan tidak berhenti pada kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan seseorang atas beberapa hal, yaitu pilihan personal dan kesempatan hidup, pendefinisian kebutuhan, ide gagasan, lembaga-lembaga, sumber-sumber, aktivitas ekonomi, dan reproduksi (Ife, 1995: 61-64).

Peran LSM dalam pemberdayaan masyarakat pada pendidikan dan pendampingan kemandirian melalui kelompok atau individu, sebagai berikut, pertama, menggali motivasi dan membangkitkan kesadaran anggota kelompok, kedua, membantu perkembangan, seperti pendidikan dan pelatihan, pemupukan modal, dan pengelolaan, dan ketiga, sebagai katalisator hubungan kerjasama antar kelompok termasuk hubungan kerjasama dengan lembaga lain untuk tercapainya

(13)

13 kemandirian. Dengan demikian, kelompok dampingan tidak sepenuhnya tergantung pada pihak luar, melainkan dapat tumbuh dan berfungsi sebagai suatu kegiatan kelompok yang mandiri (Ismawan, 2000: 9-16).

Adapula pemberdayaan dalam konteks gender, di mana dirumuskan Moose sebagai pembangunan perempuan dalam pengertian kemandirian dan kekuatan internal, serta menekankan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (Anwar, 2007: 191). Pemberdayaan dalam konteks gender, yang lebih dikenal dengan pemberdayaan perempuan dibentuk, karena terbentuknya struktur kebudayaan patriarkis dalam masyarakat, di mana terdapat klasifikasi kelompok pemilik kekuasaan pada laki-laki. Dengan demikian perempuan sering mendapat perlakuan tidak adil (Anwar, 2007: 192).

Pemberdayaan perempuan penting dalam penguatan kapasitas untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal melalui kontrol internal atas sumber daya materi dan non-material (Hikmat, 2001: 14). Kapasitas merupakan kualitas dan daya tampung yang dimiliki untuk menjalankan peran dan tanggung jawabnya. Kapasitas individu merupakan konsep yang dinamik sehingga dapat diubah dan dikelola. Dengan demikian, pemberdayaan perempuan merupakan pengembangan potensi dan sumber daya yang dimiliki perempuan untuk meningkatkan kemandirian, pendidikan, dan mendorong kesetaraan gender.

Dalam menentukan keberhasilan suatu program pemberdayaan masyarakat, dibutuhkan kegiatan pendampingan sosial, di mana pekerja sosial sebatas membantu orang agar mampu membantu dirinya sendiri bukan sebagai penyembuh masalah (problem solver) secara langsung, karena yang terpenting

(14)

14 dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah partisipasi masyarakat yang kuat (Suharto, 2005: 93). Sejatinya yang dapat menolong kelompok tidak berdaya, adalah diri sendiri atau kelompok itu sendiri, karena dirinyalah yang mengetahui permasalahan yang dihadapi serta bagaimana memecahkannya (Chambers, 1987: 3).

Menurut Suharto (2005: 93-97) kegiatan serta proses pendampingan berpusat pada empat bidang tugas, yaitu fasilitasi (enabling), penguatan (empowering), perlindungan (protecting), dan dukungan (supporting). Fasilitasi (enabling) merupakan fungsi yang berkaitan dengan pemberian motivasi dan kesempatan bagi masyarakat. Beberapa tugas pekerja sosial yang berkaitan dengan fungsi, antara lain menjadi model (contoh), melakukan mediasi dan negosiasi, membangun konsensus bersama, serta melakukan manajemen sumber (pengkoordinasian) (Suharto; 2005: 95).

Penguatan (empowering) berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan guna memperkuat kapasitas masyarakat (capacity building). Pendampingan berperan aktif sebagai agen yang memberi masukan positif dan direktif berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya serta bertukar gagasan dengan pengetahuan dan pengalaman masyarakat yang didampinginya. Membangkitkan kesadaran masyarakat, menyampaikan informasi, melakukan konfrontasi, menyelenggarakan pelatihan bagi masyarakat adalah beberapa tugas yang berkaitan dengan fungsi penguatan (Suharto; 2005: 96).

Perlindungan (protecting) berkaitan dengan interaksi antara pendamping dengan lembaga-lembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan masyarakat

(15)

15 dampingannya. Pekerja sosial dapat bertugas mencari sumber-sumber, melakukan pembelaan, menggunakan media, meningkatkan hubungan masyarakat, dan membangun jaringan kerja. Fungsi perlindungan juga menyangkut tugas pekerja sosial sebagai konsultan, orang yang dapat diajak berkonsultasi dalam proses pemecahan masalah (Suharto, 2005: 96-97).

Pendukungan (supporting) mengacu pada aplikasi keterampilan yang bersifat praktis yang dapat mendukung terjadinya perubahan positif pada masyarakat. Pendamping dituntut tidak hanya mampu menjadi manajer perubahan yang mengorganisasi kelompok, melainkan mampu melaksanakan analisis sosial, mengelola dinamika keompok, menjalin relasi, berorganisasi, berkomunikasi, dan mencari serta mengatur sumber dana (Suharto; 2005: 97).

Mengukur keberhasilan program pemberdayaan, Longwe (1999) merumuskan beberapa capaian pemberdayaan yang harus diperhatikan, yaitu kesejahteraan (walfare), akses (access), kesadaran kritis (conscientisation), partisipasi (participation), dan kontrol (control). Dari kelima aspek keberhasilan pemberdayaan perempuan tersebut capaian kontrol berada pada tingkatan tertinggi (Longwe, 1999: 94). Meskipun setiap level pemberdayaan tersusun secara hirarkis, Widianto (2014) mengkritik bahwa sebenarnya setiap intervensi pemberdayaan tidak harus dimulai dari level kesejahteraan. Oleh karena itu pemberdayaan bisa saja dimulai dari level akses, kesadaran kritis untuk mencapai kunci pemberdayaan, yaitu aspek kontrol (Widianto, 2014: 45).

(16)

16 Menurut Longwe (1999) pemberdayaan perempuan merupakan pondasi dalam pembangunan. Jika memperhatikan kelima aspek pemberdayaan masayarakat, maka dapat menghasilkan mobilisasi dan organisasi perempuan politis agar perempuan mampu memiliki peranan secara maksimal di sektor publik (Longwe, 1999: 93). Kelima aspek pemberdayaan perempuan tersebut tidak semata-mata sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan, melainkan juga sebagai indikator kesetaraan gender. Berikut rincian uraian Longwe dalam mengukur keberhasilan pemberdayaan perempuan:

1.5.1. Kesejahteraan

Aspek kesejahteraan merupakan unsur terpenting dalam upaya keberhasilan pemberdayaan perempuan, karena selama ini perempuan mendapat perlakuan tidak adil untuk mencapai kesejahteraan (Longwe, 1999: 93). Claros dan Zahidi (2005: 2-5) membagi kesejahteraan dalam tiga unsur. Pertama, partisipasi ekonomi perempuan yang merupakan hal penting, tidak semata mata mengurangi level kemiskinan pada perempuan, melainkan sebagai langkah penting meningkatkan pendapatan rumah tangga dan mendorong pembangunan ekonomi negara secara keseluruhan. Kedua, pencapaian pendidikan sebagai aspek fundamental dalam kegiatan pemberdayaan perempuan, karena tanpa memperoleh pendidikan yang memadai perempuan tidak mampu mengakses pekerjaan sektor formal, mendapatkan upah yang lebih layak, berpartisipasi dalam pemerintahan dan mencapai pengaruh politik. Ketiga, kesehatan dan kesejahteraan merupakan konsep yang terkait dengan perbedaan substansial antara perempuan dan laki-laki

(17)

17 dalam mengakses nutrisi yang cukup, kesehatan, fasilitas reproduksi, dan untuk mengemukakan keselamatan dasar serta kualitas seseorang.

Amartya Sen (1999) menyatakan bahwa pendidikan, pekerjaan, dan kepemilikan hak perempuan memberikan pengaruh kuat untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menguasai lingkungan mereka dan memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi. Partisipasi ekonomi tidak berhenti pada peningkatan jumlah perempuan bekerja, melainkan pada kesetaraan dalam pemberian upah (Claros dan Zahidi, 2005: 2).

1.5.2. Akses

Longwe mengartikan akses sebagai bentuk kemampuan perempuan untuk memperoleh peluang terhadap sumber daya produktif seperti tanah, kredit, pelatihan, fasilitas pemasaran, tenaga kerja, dan seluruh pelayanan publik. Akses terhadap teknologi dan informasi juga merupakan akses penting, dalam meningkatkan produkstivitas ekonomi dan sosial. Tanpa adanya akses, pemahaman, serta kemampuan untuk menggunakan teknologi informasi, perempuan akan terus terbelenggu dari ketidakberdayaan dari komunitasnya (Longwe, 1999: 94).

Kesenjangan kesejahteraan antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh ketidak setaraan akses terhadap sumber daya. Produktivitas perempuan yang rendah disebabkan minimnya akses perempuan terhadap sumber daya produktif seperti peluang, permodalan, informasi, pendidikan, dan pelatihan. Sumber daya (resources) menurut Golla et. al. (2011: 4), tidak hanya terkait finansial melainkan mencakup human capital (pendidikan, keterampilan, dan pelatihan),

(18)

18 financial capital (modal, tabungan), social capital (jaringan sosial, mentor), dan physical capital (mesin).

1.5.3. Partisipasi

Partisipasi merupakan keterlibatan dan keikutsertaan aktif dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks pemberdayaan, perempuan harus terlibat dalam penetapan kebutuhan, perumusan, implementasi, monitoring, dan evaluasi. Sejalan dengan pemikiran Longwe, menurut Craig dan Mayo, partisipasi pada dasarnya merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan (Hikmat, 2001: 3). Individu-individu harus terlibat dalam proses pemberdayaan, sehingga dapat menumbuhkan rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru (Hikmat, 2001: 6). McArdle (1989) juga menyatakan, hal terpenting dalam pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan (Hikmat, 2001: 6).

1.5.4. Kesadaran Kritis

Longwe mendefinisikan konsientasi sebagai bentuk kesadaran dalam memahami perbedaan peran berdasarkan pembagian seks dan gender. Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan dituntut mampu menumbuhkan sikap kritis perempuan terhadap berbagai akar permasalahan yang melekat dalam dirinya, seperti diskriminasi dan stereotipe, sehingga dapat menciptakan kesadaran gender di berbagai aspek kehidupan (Longwe, 1999: 94). Dengan kesadaran kritis individu mampu melihat ke dalam diri serta menggunakan apa yang didengar, dilihat, dan dialami untuk memahami apa yang terjadi di lingkungannya. Kesadaran sebaiknya dimulai dari individu, kelompok, hingga komunitas, di mana

(19)

19 kesadaran kritis dapat dicapai melalui proses dialog untuk mendefinisikan dan memecahkan permasalahan bersama (Freire, 2001: 81).

1.5.5. Kontrol

Pada level puncak pemberdayaan, perempuan harus memiliki kontrol setara dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupan, sehingga tidak ada lagi dominasi serta diskriminasi terhadap perempuan. Dalam pemberdayaan perempuan, perempuan didorong untuk mempunyai kontrol terhadap beberapa sumber daya materi dan non-materi yang penting dan pembagian kembali kekuasaan di dalam maupun di antara masyarakat (Moser, 1989: 18).

Kontrol berhubungan dengan aspek kekuasaan seseorang untuk menentukan segala sesuatu yang menyangkut berbagai kepentingan termasuk memperoleh sumber daya bagi dalam dirinya (Winati, 2002). Konsep kontrol menurut Winati dapat dianalisis melalui bagaimana pengambilan keputusan yang dilakukan oleh individu untuk melakukan sesuatu baik dalam rumah tangga maupun masyarakat luas. Dengan demikian, konteks kontrol mendorong perempuan mempunyai kekuasaan untuk mengubah kondisi dan posisi masa depan keluarga dan komunitasnya (Widianto, 2014: 44).

1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kantor Yasanti sebagai tempat diselenggarakan kegiatan sekolah kepemimpinan buruh rumahan perempuan, terutama materi in class. Kantor Yasanti berada di Jalan Puntodewo DK No. 1, Jomogatan RT 11 RW 22, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Selanjutnya, penelitian

(20)

20 dilakukan di Dusun Bojong, Desa Wonolelo, Pleret, Bantul, Yogyakarta, karena buruh rumahan perempuan lebih mudah dijumpai, dalam kegiatan buruh rumahan Kreatif Bunda untuk melihat langsung kondisi peserta sekolah buruh rumahan di lapangan.

1.6.2. Metode Pengumpulan Data

Data yang terkumpul merupakan hasil penelitian kualitatif yang menekankan pada deskripsi pengalaman hidup informan yang relevan dengan tema kajian untuk menganalisis suatu perubahan perilaku informan. Penelitian ini membutuhkan frekuensi bertemu yang relatif tinggi, di mana pada 1,5 bulan pertama peneliti aktif observasi partisipasi dalam kegiatan buruh rumahan, yaitu sekolah buruh rumahan, baik in class maupun out class, kegiatan Kreatif Bunda, hingga kegiatan audiensi ke berbagai dinas terkait dalam rangka mengetahui sejauh mana kesadaran kritis peserta buruh rumahan dalam memperjuangkan haknya sebagai perempuan dan pekerja.

Observasi partisipasi (participant observation) dilakukan juga di tempat tinggal informan, untuk terlibat langsung dalam kehidupan informan selama 3 hari dalam seminggu, guna melakukan wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara mendalam digunakan untuk memperoleh keterangan sejauh mana peserta sekolah memahami materi serta menerapkan materi yang didadapat selama mengikuti sekolah buruh rumahan. Dalam wawancara mendalam memungkinkan penulis untuk mengembangkan pertanyaan lebih lanjut, di mana informan dapat leluasa memberi jawaban sehingga mendapat data yang rinci dan mendalam.

(21)

21 Penelitian dilakukan selama 3 bulan, mulai tanggal 11 Januari hingga tanggal 18 April 2016.

1.6.3. Pemilihan Informan

Penulis menggali informasi dari staf Yasanti secara langsung terlibat dalam kegiatan sekolah, Mbak Imma selaku kepala sekolah, Bu Mar dan Mbak Anna selaku pendamping lapangan. Informan yang memberikan informasi mengenai Yasanti adalah Bu Amin, selaku direktur Yasanti. Selain itu, informan yang berasal dari peserta sekolah berjumlah empat orang dari 25 peserta sekolah yang dipilih berdasarkan jenjang pendidikan peserta sekolah. Dari empat informan peserta sekolah buruh rumahan terdiri dari dua orang pemimpin buruh rumahan dan dua orang peseta sekolah buruh rumahan.

1.7. Sistematika Penulisan

Pada tulisan ini, bab pertama memaparkan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, studi pustaka, kerangka teori, dan metode penelitian. Bab kedua memaparkan profil Yayasan Annisa Swasti, yang meliputi sejarah terbentuknya, kelompok dampingan, struktur organisasi, serta jaringan kerjasama lembaga.

Gagasan awal sekolah buruh rumahan, tim pendamping, proses sekolah buruh rumahan, pelaksanaan kegiatan sekolah buruh rumahan, serta empat profil peserta, sekolah buruh rumahan, diuraikan pada bab tiga. Pada bab empat penulis menguraikan hasil sekolah pada ke-empat peserta sekolah, dengan melihat perubahan perilaku pada aspek-aspek penting dalam pemberdayaan dalam kehidupan sehari-hari, yakni akses-partisipasi, kesadaran kritis, kontrol, dan

(22)

22 kesejahteraan. Tulisan ditutup dengan bab lima yang berisikan kesimpulan dari tulisan ini.

Referensi

Dokumen terkait

Hardware yang digunakan dalam perancangan alat ini adalah sensor water level untuk mengukur ketinggian air, mikrokontroller ATMega8535 sebagai sistem pengendali dan

Perbedaan pengenalan warna anak usia 5-6 tahun di TK Bela Bangsa Mandiri antara kelas yang diberi perlakuan dan kelas yang tidak diberi perlakuan menggunakan

Hasil penghitungan unit cost dengan metode ABC klinik spesialis bedah saraf RS “X” Surabaya berasal dari penjumlahan biaya langsung dan biaya tidak langsung setiap

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat setempat (Gambar 4), diketahui bahwa sebagian besar berpendapat bahwa Pantai Bilato cukup baik jika di lihat dari segi daya

khalifah mendeklarasikan dirinya sebagai “Tukang Jagal” dan para gubernur menyebut dirinya “Ular Anak Si Ular”, apakah masih tersisa dalam benak kita prasangka bahwa

Upaya lain yang dilakukan dosen STAI Al-Amin Dompu dalam menerapkan prinsip pendidikan kritis dalam pendidikan Islam di STAI Al-Amin Dompu adalah dengan cara

Susu steril adalah produk susu cair yang diperoleh dari susu segar atau susu rekonstitusi atau susu rekombinasi yang dipanaskan pada suhu tidak kurang dari 100 0 C selama

Berdasarkan grafik yang ditunjukkan pada Gambar 5, semakin tinggi iterasi yang digunakan semakin optimal solusi dari dihasilkan oleh sistem dengan ditandainya hasil