• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JASA FERI PENYEBRANGAN DI SUNGAI MAHAKAM TENGGARONG KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA ABSTRAKSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JASA FERI PENYEBRANGAN DI SUNGAI MAHAKAM TENGGARONG KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA ABSTRAKSI"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JASA FERI PENYEBRANGAN DI SUNGAI MAHAKAM TENGGARONG KABUPATEN

KUTAI KARTANEGARA ABSTRAKSI

Leo Vernando Simbolon, Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Feri

Penyeberangan Di Sungai Mahakam Tenggarong, di bawah bimbingan Bapak DR.

La Sina, S.H., M.Hum selaku pembimbing utama dan Bapak Deny Slamet Pribadi, S.H., M.H selaku pembimbing pendamping.

Berkaitan musibah runtuhnya jembatan Mahakam II di Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara pada pada hari sabtu tanggal 26 november 2011, telah membuat duka masyarakat kutai kartanegara. Adanya kesulitan penyeberangan dari kota Tenggarong menuju Tenggarong seberang dan tujuan kedaerah lainnya, maka munculah ide dari masyarakat yang memiliki kapal feri tradisional untuk mebuat fasilitas jasa penyeberangan kepada masyarakat paska runtuhnya jembatan mahakam II.

Jasa feri penyeberangan disungai mahakam Tenggarong merupakan kegiatan pelayaran diperairan khususnya sungai dengan melakukan pengangkutan di perairan. Pengertian “pelayaran” menurut ketententuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran,“Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim”. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, yaitu berupa pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskriptif). Data yang digunakan adalah data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan dengan memberikan pertanyaan secara langsung wawancara yang bersifat tertutup atau terbuka yang dipilih responden dalam penelitian, serta data sekunder yang berupa studi kepustakaan. Analisa data yang digunakan adalah analisis kualitatif yang penarikan kesimpulannya secara deduktif. Hasil penelitian yang diperoleh, kegiatan penyeberangan feri yang sangat penting saat ini, harus mendapat pengawasan dan penertiban serta sanksi hukum dari instansi terkait.

Tidak adanya awak kapal untuk mengarahkan kapal feri yang resmi mendapat sertifikasi, ada feri yang tidak memiliki awak kapal, bahkan ada yang belum memiliki ijin beroperasi hingga saat ini. Selanjutnya korban tenggelamnya feri tidak ada asuransi mengingat hingga hari ini instansi terkait masih sebatas mengusulkan dan belum terealisasi sehingga pengguna jasa feri belum mendapatkan perlindungan hukum sesuai ketentuan yang berlaku. Mengenai kewajiban pemilik feri untuk mengasuransikan pengguana jasanya diatur dalam Pasal 41 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, yaitu: Pasal 41 (3) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)

Pendahuluan

Berkaitan musibah runtuhnya jembatan mahakam II di Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara pada hari sabtu tanggal 26 november 2011, telah membuat duka masyarakat kutai kartanegara. Karena dari musibah tersebut menimbulkan banyak korban meninggal dunia dan luka-luka.

Selain adanya korban diatas, permasalahan lain akibat runtuhnya jembatan tersebut adalah terputusnya akses lalu lintas, yang awalnya dengan mudah menggunakan akses jembatan dan setelah runtuh menimbulkan kemacetan untuk lalulintas terutama dari kota Tenggarong menuju Tenggarong Seberang dan menuju ke kota Samarinda dan kedaerah lainnya. Mengingat jembatan itu merupakan akses utama bagi masyarakat untuk penyeberangan darat.

Adanya kesulitan penyeberangan dari kota Tenggarong menuju Tenggarong seberang dan tujuan kedaerah lainnya, maka munculah ide dari masyarakat yang memiliki kapal feri tradisional untuk mebuat fasilitas jasa penyeberangan kepada masyarakat paska runtuhnya jembatan mahakam II. Hasilnya terbukti banyak masyarakat yang menggunakan jasa feri tradisional tersebut dengan membayar tarif per kendaraan roda dua sebesar RP.3.000,00, dan roda empat berkisar anatara RP. 15.000,00 sampai Rp.20.000,00, sementara jumlah feri tradisional yang ada yaitu 18 (delapan belas buah kapal feri) (Kantor Dinas perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara).

Jasa feri penyeberangan disungai mahakam Tenggarong merupakan kegiatan pelayaran diperairan khususnya sungai dengan melakukan pengangkutan di perairan. Pengertian “pelayaran” menurut ketententuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, “Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta

perlindungan lingkungan maritim”.1 Sedangkan pengertian angkutan perairan

menurut ketentuan Pasal 3 peraturan yang sama dijelaskan bahwa “Angkutan

1 Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang

(3)

di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal”. Sedangkan pengertian angkutan penyeberangan berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Perairan, berbunyi: “Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (3)2 diatas, maka

kegiatan pelayaran berupa feri penyeberangan di sungai mahakam

Tenggarong harus melengkapi persyaratan pelayaran. Namun

penyelenggaraan penyeberangan menggunakan jasa feri tradisional itu tidak berjalan dengan baik. Karena awal penyelenggaraannya atau sehari setelah runtuhnya jembatan Mahakam, pada tanggal 27 November 2011 telah terjadi tenggelam 2 (dua) feri tradisional disungai mahakam, dengan posisi feri dari desa Loa raya Tenggarong Seberang menuju kota Tenggarong. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang menyebabkan tenggelamnya dua feri tersebut, yaitu: kelebihan muatan berupa sepeda motor dan penumpang; ukuran feri yang kecil tidak sesuai ukuran; tidak ada ijin dan tidak adanya pengawasan secara langsung atau pengaturan serta penertiban dari dinas perhubungan kabupaten Kuatai Kartanegara; tidak lengkapnya alat navigasi seperti alat komunikasi, lampu, pelampung, dan tidak adanya awak kapal untuk mengarahkan kapal feri yang resmi mendapat sertifikasi, bahkan ada feri yang tidak memiliki awak kapal sesuai standarisasi kapal feri. Perihal tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 61 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Diperairan, sebagai berikut:

(3) Setiap kapal yang melayani angkutan penyeberangan wajib:

a. memenuhi persyaratan teknis kelaiklautan dan persyaratan pelayanan minimal angkutan penyeberangan;

(4)

b. memiliki spesifikasi teknis sesuai dengan fasilitas pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan atau terminal penyeberangan pada lintas yang dilayani;

c. memiliki dan/atau mempekerjakan awak kapal yang memenuhi persyaratan kualifikasi yang diperlukan untuk kapal penyeberangan; d. memiliki fasilitas bagi kebutuhan awak kapal maupun penumpang

dan kendaraan beserta muatannya;

e. mencantumkan identitas perusahaan dan nama kapal yang ditempatkan pada bagian samping kiri dan kanan kapal; dan

f. mencantumkan informasi atau petunjuk yang diperlukan dengan

menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.3

Ketidaklengkapan persyaratan penyeberangan diperairan mahakam Tenggarong itu telah menimbulkan beberapa kali terjadi tenggelamnya korban, baik kendaraan roda empat, roda dua, dan korban jiwa. Berikut beberapa kejadian tenggelamnya feri tradisional paska runtuhnya jembatan Mahakam 2 Tenggarong selain tenggelamnya 2 feri diatas, yaitu:

1. Tanggal 20 Mei 2012, feri dengan nama “Lambung Ilham” tenggelam

yang mengangkut 2 (dua) mobil, yaitu mitsubishi strada KT. 8660 ML, toyota kijang KT. 1352 CZ. Feri dimotori oleh Jumadi dan ABK Fajar Ikwan, dan 9 (sembilan ) penumpang yang kesemuanya selamat, serta akhirnya mobil dapat dievakuasi. Kejadian ini disebabkan kelebihan kapasitas karena terlalu kecil feri untuk mengangkut mobil, ada yang bocor pada bagian lambung feri, dan lemahnya pengawasan dari dinas perhubungan Kabupaten Kukar serta tidak

adanya penertiban.4

2. Tanggal 21 Mei 2012, satu feri mengangkut dua mobil, dan 1 sepeda

motor tenggelam, dan sepuluh penumpang yang kesemuanya selamat. Kejadian ini sama seperti tanggal 20 Mei 2012.

3

Pasal 61 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Diperairan.

4 www.Kutaikartanegara.com. Diakses tanggal 30 Januari 2013 Pukul 20.00 WITA. Tentang

(5)

3. Tanggal 25 Desember 2012, feri mengangakut belasan motor dan sejumlah penumpang tenggelam karena ditabrak kapal feri lain pada hari Sabtu petang jam 29.20 WITA. Kejadian ini akibat tidak adanya lampu navigasi sehingga jarak pandang tidak jelas, dan kejadian ini

menimbulkan korban meninggal bernama Yuli Setiawan.5

Berdasarkan kejadian beberapa kali tenggelamnya feri tradisional diatas, yang menimbulkan korban baik kendaraan maupun jiwa, hingga hari ini belum ada upaya signifikan dari pemerintah daerah dalam hal ini dinas Perhubungan Kabupaten kutai Kartanegara. Upaya-upaya yang telah dilakukan dinas perhubungan dan yang telah dilengkapi pihak pemilik feri adalah: sudah adanya sejumlah pelampung, sudah adanya beberapa feri memiliki ABK untuk pengarah jalannya feri, sudah ada lampu, sudah ada pelabuhan feri dibeberapa tempat. Sedangkan upaya-upaya dinas perhubungan yang belum dipatuhi oleh pemilik feri adalah: sering kali kelebihan kapasitas muatan baik kendaraan roda dua maupun roda empat, tidak semua feri memiliki anak buah kapal untuk pemandu, tidak semua feri memiliki lampu navigasi, tidak adanya asuransi baik asuransi jiwa dan asuransi kendaraan bagi pengguna jasa feri ketika terjadi kecelakaan, seperti kecelakaan yang pernah terjadi yang hingga hari ini tidak ada asuransi. Tidak lengkapnya persyaratan penyeberangan feri itu karena lemahnya pengawasan dan penertiban serta sanksi hukum yang tegas dari dinas perhubungan kabupaten Kutai Kartanegara baik sanksi administrasi maupun pidana terhadap feri yang tidak memenuhi syarat berlayar, selain sanksi hukum bagi pemilik atau nahkoda feri yang mengalami kecelakaan dan menimbulkan korban jiwa (Kantor Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara).

Berdasarkan uraian diatas selanjutnya penulis tertarik untuk meneliti dan

mengkaji lebih lanjut mengenai: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PENGGUNA JASA FERI PENYEBERANGAN DI SUNGAI MAHAKAM

TENGGARONG KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA. Dengan rumusan

5 www-sapos.com, diakses tanggal 28 Nopember 2012, Pukul 21.00, tentang “Feri Ditabrak Kapal Feri Lain”.

(6)

masalah sebagai berikut, Bagaimana penyelenggaraan jasa feri penyeberangan

di sungai mahakam Tenggarong?, Bagaimana perlindungan hukum

terhadap pengguna jasa feri penyeberangan disungai mahakam Tenggarong?. Hasil penelitian ini diharapkan bertujuan untuk memberikan masukan dan bahan kajian memperoleh informasi tentang analisis yuridis.

1. Pengertian perlindungan hukum

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Perlindungan adalah tempat berlindung bagi setiap orang yang membutuhkannya, dan perlindungan adalah suatu proses cara perbuatan untuk melindungi seseorang. Hukum adalah peraturan atau adat yang secara resmi dan dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah, dan berkaitan dengan undang-undang peraturan untuk mengatur pergaulan hidup mayarakat serta berpatokan pada kaidah-kaidah ketentuan mengenai peristiwa yang tertentu,

dan keputusan/pertimbangan yang ditetapkan oleh hakim di pengadilan.6

Istilah atau pengertian hukum konsumen dengan hukum perlindungan konsumen merupakan istilah yang sering disama artikan. Ada yang mengatakan hukum konsumen adalah juga hukum perlindungan konsumen. Namun ada pula yang membedakannya, dengan mengatakan bahwa baik mengenai substansi maupun penekanan luas lingkupnya adalah berbeda satu sama lain.

2. Hak dan Kewajiban Pengguna Jasa Feri Penyeberangan

Pengertian tentang konsumen secara yuridis telah diletakkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang ini memberikan definisi atau pengertian tentang konsumen. Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, merumuskannya sebagai berikut : “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

6 Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://www.kbbi.web.id/ diakses pada tanggal 20 Nopember

(7)

orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.7 Ketentuan Pasal 1 ayat (2) diatas, bahwa konsumen memiliki makna juga sebagai pengguna jasa, sehingga pengguna jasa feri penyeberangan disungai mahakam Tenggarong dapat juga disebut konsumen.

Pengertian konsumen menurut ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen merumuskan sejumlah hak-hak konsumen. Menurut Pasal 4 ada 9 (Sembilan) hak dari konsumen, 8 (delapan) diantaranya hak yang eksplisit diatur didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan satu hak lainnya diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak-hak tersebut adalah :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan atas barang dan jasa.

b. Hak atas memilih barang dan jasa.

c. Hak mendapatkan informasi yang benar, jelas, jujur, atas barang dan

jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya.

e. Hak untuk mendapat bantuan hukum (Advokasi), perlindungan dan

penyelesaian sengketa.

f. Hak dalam pembinaan dan pendidikan konsumen.

g. Hak untuk diberlakukan secara benar, jujur dan tidak diskriminatif.

h. Hak untuk mendapatkan konpensasi atas barang atau jasa yang

merugikan.

i. Hak-hak yang ditentukan dalam perundang-undangan lainnya.

Hak-hak konsumen harus dikaitkan dengan kewajibannya, berbicara tentang konsumen hendaknya membahas pula masalah produsen beserta hak-hak dan kewajibannya. Kewajiban konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 5 yaitu :

a. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

yang benar.

b. Beritikad baik dalam transaksi pembelian barang atau jasa.

(8)

c. Membayar sesuai kesepakatan.

d. Mengikuti penyelesaian sengketa secara patut.

Sebagaimana ketentuan Pasal 5 undang-undang diatas, bahwa konsumen dalam hal ini dikorelasikan sebagai pengguna jasa feri penyeberangan di sungai mahakam Tenggarong memiliki kewajiban membayar sesuai tarif yang ditetapkan.

Berkaitan hak pengguna jasa feri penyeberangan disungai mahakam Tenggarong dapat dilihat ketentuan mengenai tanggung jawab penyelenggara jasa feri penyeberangan. Ketentuan itu sebagaimana Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran yang berbunyi: Perusahaan angkutan di perairan bertangggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 40 ini mensiratkan adanya hak pengguna jasa feri berupa keselamatan dan keamanan penumpang dan barang.

Kemudian pengguna jasa atau penumpang angkutan perairan memiliki hak berupa ganti rugi karena kecelakaan selama pengangkutan yang merupakan hak penumpang atas pembayaran iuran wajib dana pertanggungan kecelakaan saat akan naik angkutan, hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 3 huruf (a) dan huruf (c) Undang-undang Nomor 33 Tahun1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, yaitu: (a). Tiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat terbang,

perusahaan penerbangan nasional, dan kapal perusahaan

perkapalan/pelayaran nasionalwajib melakukan pembayaran melalui

pengusaha/ pemilik yang bersangkutan untuk menutup akibat keungan disebabkan kecelakaan penumpang dalam perjalanan; (c). Iuran wajib tersebut pada sub (a) diatas digunakan untuk mengganti kerugian berhubung

dengan: kematian dan cacat tetap, akibat dari kecelakaan.8 Ketentuan

mengenai ganti kerugian penumpang akibat kecelakaan angkutan juga diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintan

8 Pasal 3 huruf (a) dan huruf (c) Undang-undang Nomor 33 Tahun1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang.

(9)

Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan-ketentuan Pelaksanaan dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang. Yaitu: Pasal 2 ayat (1) ditentukan: untuk jaminan pertanggungan kecelakaan ini, tiap penumpang kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat terbang, perusahaan penerbangan nasional, dan kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional, untuk tiap perjalanan wajib membayar iuran wajib; Pasal 3 ayat (1). Iuran wajib harus dibayar bersama dengan pembayaran biaya pengangkutan penumpang kepada pengusaha alat angkutan umum yang bersangkutan.

3. Kegiatan Angkutan Penyeberangan

Kegiatan angkutan penyeberangan merupakan kegiatan usaha diperairan yang dilakukan oleh seorang pemilik usaha dalam hal ini terkait usaha jasa feri penyeberangan disungai mahakam Tenggarong paska runtuhnya jembatan Mahakam 2 Tenggarong. Selanjutnya pengertian usaha angkutan perairan sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (19) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Diperairan, berbunyi: ”Usaha Angkutan Perairan Pelabuhan adalah kegiatan usaha untuk memindahkan penumpang dan/atau barang dari dermaga ke kapal atau

sebaliknya, dan dari kapal ke kapal di perairan pelabuhan”.9

Kemudian pengertian angkutan penyeberangan sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Perairan, berbunyi: “Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya”. Adanya angkutan penyeberangan, maka tidak terlepas dari istilah pengankut, yang menurut Siti Utari dalam H. M. N. Purwosutjipto bahwa “Pengangkut” adalah orang yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengankutan barang atau orang

dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat.10

9 Pasal 1 ayat (19) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Diperairan

(10)

Selanjutnya ketentuan mengenai angkutan penyeberangan juga diatur didalam ketentuan Pasl 22 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, berbunyi: “Angkutan penyeberangan merupakan angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya”.

Berdasarkan ketentuan pasal diatas dapat diketahui mengenai fungsi angkutan penyeberangan diperairan. Kemudi setiap usaha jasa angkutan perairan wajib memiliki ijin usaha. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 27 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, berbunyi: “Untuk melakukan kegiatan angkutan di perairan orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha wajib memiliki ijin

usaha”.11

Ketentuan Pasal 27 diatas seharusnya juga dilakukan oleh pemilik usaha jasa feri penyeberangan disunga mahakam tenggarong sejak awal usaha dilakukan, karena ijin usahanya baru dimiliki pemilik feri setelah adanya kejadian tenggelamnya feri beberapa kali dan baru ditertibkan pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara. Namun kenyataanya tidak semuanya melengkapi persyaratan pelayaran, serta hingga hari ini masih 5% feri penyeberangan yang belum memiliki ijin beroperasi.

Sementara ijin usaha angkutan sungai diatur dalam ketentuan Pasal 28 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, yaitu: “Izin usaha angkutan sungai dan danau diberikan oleh: (a). bupati/walikota sesuai dengan domisili orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha; atau (b). Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta”. Kemudian setelah memperoleh ijin usaha, maka sebagaimana ketentuan Pasal 28 ayat (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, ditentukan bahwa: “Selain memiliki izin usaha sebagaimana

(11)

dimaksud pada ayat (3) untuk angkutan sungai dan danau kapal yang dioperasikan wajib memiliki izin trayek yang diberikan oleh: (a). bupati/walikota yang bersangkutan bagi kapal yang melayani trayek dalam wilayah kabupaten/kota; (b). gubernur provinsi yang bersangkutan bagi kapal yang melayani trayek antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi; atau (c).

Menteri bagi kapal yang melayani trayek antarprovinsi dan/atau

antarnegara”.12

Kemudian mengenai standar perijinan penyelenggaraan feri

penyeberanagan tidak diatur secara khusus didalam peraturan perundang-undangan dan hanya mendaftarkan melalui Dinas Perhubungan, selanjutnya dilanjutkan ke kepada daerah dalam hal ini bupati. Mengenai kelayakan feri yang tidak ada yang mengatur secara khusus terkait lebar dan panjang feri, namun ada tanda lambung yang harus diperhatikan oleh pengemudi feri agar tanda tersebut tidak tenggelam ketika bermuatan sehingga layak melakukan

penyeberangan.13

4. Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha Jasa Feri Penyeberangan.

Sebelum menguraikan tentang hak dan kewajiban pelaku usaha jasa feri penyeberangan, terlebih dahulu diuraikan pengertian feri. Feri merupakan kapal yang digunakan oleh pemiliknya untuk memberikan jasa angkutan air atau penyeberangan dari satu tempat ketempat lainnya, dengan tarif yang telah ditentukan (Kantor Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara). Pengertian kapal menurut ketentuan Pasal 1 ayat (36) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, yaitu: “ Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah”.

12 Pasal 28 ayat (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran

(12)

Menganai Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengangkut, dalam hal ini jasa angkutan diperairan atau angkutan penyeberangan, diatur Pasal 40, Pasal 41, dan Pasal 42 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, yaitu: Pasal 40 (1) Perusahaan angkutan di perairan bertangggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya; (2) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati. Pasal 41 (1) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa: (a). kematian atau lukanya penumpang yang diangkut; (b). musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut; (c). keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau (d). kerugian pihak ketiga; (2) Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (b), huruf (c), dan huruf (d) bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya; (3) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; Pasal 42 (1) Perusahaan angkutan di perairan wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia. (2) Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan. Namun kenyataannya ketentuan itu tidak semuanya diterapkan, dalam ini termasuk tidak adanya asuransi bagi penumpang dan barang yang dibawa seperti sepeda motor dan mobil, mengingat korban tenggelamnya feri beberapa kali tidak mendapat asuransi atau perlindungan hukum. Padahal atauran diatas jelas sebagai payung hukum bagi korban kerugian akibat kecelakaan feri.

(13)

Menurut Radiks Purba, mengenai asuransi atas keselamatan penumpang yang diangkut oleh alat pengangkut air (laut, sungai, danau), yaitu asuransi atau jaminan atas kecelakaan penumpang yang dialami selama pengangkutan, dan pengangkut wajib memberikan ganti asurani atau ganti rugi. Menurutnya, dalam pengangkutan penumpang (darat, laut, sungai, danau, udara), ada dua macam Tanggung Jawab Menurut Hukum (TJH) yang dipikul pengangkut, yaitu:

1. TJH terhadap penumpang, yaitu menyangkut kecelakaan penumpang

selama perjalananyang disebabkan oleh kecelakaan alat pengangkut yang menyebabkan penumpang luka-luka, cacat, dan meninggal.

2. TJH terhadap pihak ketiga (bukan penumpang), yaitu yang

menyangkut kecelakaan pihak ketiga yang disebabkan oleh alat pengangkut yang bersangkutan, misalnya mobil menabrak orang dipinggir jalan, kapal terbang jatuh, atau benda jatuh dari kapal terbang dan menimpa orang didarat atau di laut, dan kapal laut menyenggol atau menabrak perahu, atau motor boat berpenumpang

yang menyebabkan kecelakaan.14

Kewajiban pemilik usaha jasa angkutan sungai untuk mengasuransikan penumpangnya diatur dalam ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 33 Tahun1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, yaitu: “Paling lambat tanggal 27 dari setia, pengusaha dari perusahaan-perusahaan kendaraan tersebut pada Pasal 3 huruf (a) harus sudah menyetorkan hasil penerimaan uang wajib dari penumpang kepada Dana

Pertanggungan melalui Bank atau asuransi yang ditunjuk oleh Menteri”.15 Dana

yang disetorkan pemilik usaha angkutan menurut Pasal 5 ini nantinya diberikan kepada penumpang yang mengalami kecelakaan akibat kesalahan manusia (Human eror).

14 Radiks Purba, 1997,330, Asuransi angkuta Laut,Rineka Cipta,Jakarta.

15 Pasal 5 Undang-undang Nomor 33 Tahun1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib

(14)

Ketentuan kewajiban dan tanggung jawab pelaku usaha jasa angkutan penyeberangan atau perairan tersebut diatas juga seharusnya diterapkan oleh pemilik jasa feri penyeberangan disungai mahakam Tenggang, namun kenyataannya tidak dilakukan termasuk dalam hal asuransi. Menurut Radiks Puba bahwa hak penumpang atas santunan asuransi atas kecelakaan angkutan laut, danau, udara dan sungai diberikan kepada:

(1). Setiap penumpang yang sah dari alat angkutan umum, baik melalui angkutan laut, danau, udara dan sungai kereta api, yang telah membayar/melunasi iuran wajib Dana Pertanggungan Kecelakaan Penumpangun untuk tiap perjalanan yang ditempuhnya dengan pembuktiaN:

a) Kupon iuran wajib Jasa Raharja, atau

b) Telah membayar tiket perusahaan angkutan yang bersangkutan

dimana iuran wajib telah disatuakan pembayarannya dengan sewa angkutan

(2). Pemilik angkutan atau pelaku usaha telah membayar iuran wajib Dana Pertanggungan Kecelakaan Penumpang bagi penumpangnya

kepada PT. Jasa Raharja.16

Selanjutnya terdapat azas-azas tanggung jawab ganti rugi (liability)

utnuk dapat menentukan apakah atau bagaimana sesuatu kerugian yang menimbulkan tanggung jawab ganti rugi, yaitu:

a. azas tanggung jawab ganti rugi berdasarkan adannya unsur

kesalahan (liability based on fault) ,

b. azas tanggung jawab ganti rugi berdasarkan praduga adannya

kesalahan (presumtion of liability) dimana seseorang dianggap selalu bertanggung jawab atas kesalahan ,

c. azas ganti rugi mutlak (absolut liability) yang tidak

mempermasalhkan ada tidaknya bukti kesalahan, dan

d. azas tanggung jawab ganti rugi terbatas (limited 0f liability) dimana

ganti rugi dibatasi sampai sejumlah tertentu.17

(15)

5. Sanksi Hukum

Terkait ketentuan pidana bagi pemilik jasa angkutan penyeberangan, tanpa ijin trayek, dan tidak adanya asuransi, serta tidak memberikan ganti rugi sebagaimana ketentuan Pasal 288, Pasal 289, Pasal 292 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran, yaitu: Pasal 288 Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan sungai dan danau tanpa izin trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); Pasal 289 Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan penyeberangan tanpa memiliki persetujuan pengoperasian kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah; Pasal 292 Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Ketentuan sanksi pidana diatas seharusnya diterapkan dengan tegas oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara, karena fakta dilapangan aturan itu tidak diterapkan termasuk terkait asuransi kecelakaan penumpang. Menurut Radiks Purba, para pengusaha/pemilik alat angkutan melalui darat, laut, sungai, danau, untuk penyeberangan, dan melalui udara, diancam dengan hukuman denda yang besarnya ditentukan oleh menteri keuangan dan ketentuan-ketentuan hukum lainnya berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang junkto Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan wajib kecelakaan Penumpang, apabila ternyata:

17 M. Husseyn Umar,2001,66, Hukum Maritim dan Masalah-masalah Pelayaran di Indonesia, PT.

(16)

1. Menjual atau mengeluargakan atau menyuruh/membiarkan petugas-petugasnya menjual atau mengeluarkan karcis penumpang tanpa memungut iuran wajib,

2. Menyururuh atau membiarkan petugas-petugasnya mengangkut

penumpang (tanpa karcis) tanpa memungut iuran wajib,

3. Melalaikan kewajibannya untuk menyetorkan hasil pungutan iuran

wajib dari parapenumpangnya kepada PT. Jasa Raharja.18

Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Feri Penyebrangan Di Sungai Mahakam Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara

A.Penyelenggaraan Jasa Feri Penyeberangan Di Sungai Mahakam Tenggarong

Penyelenggaraan jasa feri penyeberangan dari kota Tenggarong menuju Tenggarong seberang disungai mahakam Tenggarong paska runtuhnya jembatan mahakam 2 mendapat respon masyarakat. Hal ini ditandai banyaknya masyarakat yang menggunakan jasa feri tradisional tersebut dengan membayar tarif per kendaraan roda dua sebesar RP.3.000,00, dan roda empat berkisar anatara RP. 15.000,00 sampai Rp.20.000,00, sementara jumlah feri tradisional yang ada yaitu 18

(delapan belas buah kapal feri).19

Jasa feri penyeberangan disungai mahakam Tenggarong merupakan kegiatan pelayaran diperairan khususnya sungai dengan melakukan pengangkutan di perairan. Pengertian “pelayaran” menurut ketententuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, “Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim”. Sedangkan pengertian angkutan perairan menurut ketentuan Pasal 3 peraturan yang sama dijelaskan bahwa “Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal” . Sedangkan pengertian angkutan penyeberangan berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Perairan,

18 Radiks Purba,1997,343, Asuransi angkuta Laut, Rineka Cipta, Jakarta. 19 Kantor Dinas perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara.

(17)

berbunyi: “Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (3) diatas, maka kegiatan pelayaran berupa feri penyeberangan di sungai mahakam Tenggarong harus melengkapi persyaratan pelayaran. Namun penyelenggaraan penyeberangan menggunakan jasa feri tradisional itu tidak semuanya mematuhi ketentuan yang berlaku. Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Heru Supadmo (Kasi ASDP Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara) tanggal 6 Januari 2013 dijelaskan, bahwa pada awal penyelenggaraan feri penyeberangan atau sehari setelah runtuhnya jembatan Mahakam, pada tanggal 27 November 2011 telah terjadi tenggelam 2 (dua) feri tradisional disungai mahakam, dengan posisi feri dari Desa Loa Raya Tenggarong Seberang menuju kota Tenggarong. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang menyebabkan tenggelamnya dua feri tersebut, yaitu: kelebihan muatan berupa sepeda motor dan penumpang; ukuran feri yang kecil tidak sesuai ukuran; tidak ada ijin dan tidak adanya pengawasan secara langsung atau pengaturan serta penertiban dari dinas perhubungan kabupaten Kutai Kartanegara; tidak lengkapnya alat navigasi seperti alat komunikasi, lampu, pelampung, dan tidak adanya awak kapal untuk mengarahkan kapal feri yang resmi mendapat sertifikasi, bahkan ada feri yang tidak memiliki awak kapal, hal ini sama dengan penjelasan pemilik feri berdasarkan wawancara dengan penulis pada tanggal 7 Januari 2013 mengenai kelemahan penyelenggaraan feri penyeberanagan. Maka perihal tersebut tentu bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 61 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Diperairan, sebagai berikut: Setiap kapal yang melayani angkutan penyeberangan wajib:

a. memenuhi persyaratan teknis kelaiklautan dan persyaratan pelayanan minimal angkutan penyeberangan;

b. memiliki spesifikasi teknis sesuai dengan fasilitas pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan atau terminal penyeberangan pada

(18)

lintas yang dilayani;

c. memiliki dan/atau mempekerjakan awak kapal yang memenuhi persyaratan kualifikasi yang diperlukan untuk kapal penyeberangan;

d. memiliki fasilitas bagi kebutuhan awak kapal maupun penumpang dan kendaraan beserta muatannya;

e. mencantumkan identitas perusahaan dan nama kapal yang ditempatkan pada bagian samping kiri dan kanan kapal; dan

f. mencantumkan informasi atau petunjuk yang diperlukan dengan menggunakan

bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.20

Ketentuan Pasal 61 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Diperairan diatas seharusnya diterapkan oleh pemilik feri penyeberangan disungai mahakam sejak runtuhnya Jembatan Mahakam dan menjadi dasar hukum bagi Aparatur Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara untuk melakukan pengawasan, penertiban, dan memberi sanksi bagi pemilik feri yang melanggar hukum. Mengingat feri tersebut memberikan jasa penyeberangan penumpang manusia yang tentu memiliki resiko yang tinggi. Namun kenyataannya sejak awal tidak semua memiliki kelengkapan bahkan tidak memiliki ijin beropersai dari Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara, dari total 18 feri penyeberangan terdapat 5% yang belum memiliki ijin hingga hari ini. Ironisnya hingga hari ini bagi feri yang belum memiliki ijin dan tidak memiliki pemandu dan kelengkapan lain, tidak diberi sanksi hukum dari instansi terkait sesuai peraturan yang berlaku.

Ketidaklengkapan persyaratan penyeberangan diperairan mahakam

Tenggarong tersebut diatas telah menimbulkan beberapa kali terjadi tenggelamnya korban, baik kendaraan roda empat, roda dua, dan korban jiwa. Berikut beberapa kejadian tenggelamnya feri tradisional paska runtuhnya jembatan Mahakam 2 Tenggarong selain tenggelamnya 2 feri diatas, yaitu:

1. Tanggal 20 Mei 2012, feri dengan nama “Lambung Ilham” tenggelam

yang mengangkut 2 (dua) mobil, yaitu mitsubishi strada KT. 8660 ML,

20 Pasal 61 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Diperairan.

(19)

toyota kijang KT. 1352 CZ. Feri dimotori oleh Jumadi dan ABK Fajar Ikwan, dan 9 (sembilan ) penumpang yang kesemuanya selamat, serta akhirnya mobil dapat dievakuasi. Kejadian ini disebabkan kelebihan kapasitas karena terlalu kecil feri untuk mengangkut mobil, ada yang bocor pada bagian lambung feri, dan lemahnya pengawasan dari dinas

perhubungan Kabupaten Kukar serta tidak adanya penertiban.21

2. Tanggal 21 Mei 2012, satu feri mengangkut dua mobil, dan 1 sepeda

motor tenggelam, dan sepuluh penumpang yang kesemuanya selamat. Kejadian ini sama seperti tanggal 20 Mei 2012.

3. Tanggal 25 Desember 2012, feri mengangakut belasan motor dan

sejumlah penumpang tenggelam karena ditabrak kapal feri lain pada hari Sabtu petang jam 29.20 WITA. Kejadian ini akibat tidak adanya lampu navigasi sehingga jarak pandang tidak jelas, dan kejadian ini

menimbulkan korban meninggal bernama Yuli Setiawan.22

Berdasarkan kejadian beberapa kali tenggelamnya feri tradisional diatas, yang menimbulkan korban baik kendaraan maupun jiwa, hingga hari ini belum ada upaya signifikan dari pemerintah daerah dalam hal ini dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara untuk melakukan penertiban dan pengawasan, ditandai tidak adanya petugas yang ditempatkan depelabuhan-pelabuhan feri guna melakukan pengawasan . Selanjutnya upaya-upaya yang telah dilakukan dinas perhubungan yaitu pernah melakukan penertiban berupa arahan kepada penyelenggara feri agar melengkapi piranti keselamatan penyeberangan disungai mahakam , dan yang telah dilengkapi pihak pemilik feri adalah: sudah adanya sejumlah pelampung, sudah adanya beberapa feri memiliki ABK untuk pengarah jalannya feri, sudah ada lampu, sudah ada pelabuhan feri dibeberapa tempat. Sedangkan upaya-upaya dinas perhubungan yang belum dipatuhi oleh pemilik feri adalah: sering kali kelebihan kapasitas muatan baik kendaraan roda dua maupun roda empat, tidak semua feri memiliki anak buah kapal untuk pemandu, tidak semua feri memiliki lampu navigasi,

21

www-sapos.com, diakses tanggal 28 Nopember 2012, Pukul 21.00, tentang “Feri Ditabrak Kapal Feri Lain”.

22 www.Kutaikartanegara.com. Diakses tanggal 30 Januari 2013 Pukul 20.00 WITA. Tentang “Lagi, Ferry Tradisional Tenggelam di Tenggarong”.

(20)

masih adanya feri yang belum memiliki ijin hingga hari ini namun telah beroperasi. Tidak lengkapnya persyaratan penyeberangan feri itu karena lemahnya pengawasan dan penertiban serta sanksi hukum yang tegas dari dinas perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara baik sanksi administrasi berupa pencabutan ijin maupun pidana terhadap feri yang tidak memenuhi syarat berlayar, selain sanksi hukum bagi pemilik

atau nahkoda feri yang mengalami kecelakaan dan menimbulkan korban jiwa.23

Berkaitan masih adanya penyelenggara feri penyeberangan di sungai mahakam Tenggarong yang belum memiliki ijin beroperasi hingga hari ini, seharusnya aparatur Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara memberikan sanksi hukum yang tegas dengan cara menghentikan kegiatan penyeberangan atau meminta dengan tegas bagi pemilik feri untuk segera memiliki ijin beroperasi, dan melengkapi piranti keselamatan feri dan penumpang.

B. Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Feri Penyeberangan Disungai Mahakam Tenggarong

Penyelenggaraan feri penyeberangan tradisional di sungai mahakam Tenggarong paska runtuhnya Jembatan Mahakam II, memang mendapat respon pengguna jasa feri mengingat satu-satunya akses transportasi terdekat yang menghubungkan kota Tenggarong dengan Tenggarong Seberang adalah menggunakan feri penyeberangan.

Kegiatan penyeberangan feri yang sangat penting saat ini, harus mendapat pengawasan dan penertiban serta sanksi hukum dari instansi terkait. Ironisnya hal ini tidak dilakukan secara signifikan,sehingga wajar ketika terjadi kecelakaan feri baru muncul berbagai permasalahan seperti tidak lengkapnya peralatan keselamatan feri, tidak adanya pengawasan dari instansi terkait. Padahal peraturan hukum telah mengatur tentang pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.

Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, yang berbunyi:

(1) Pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.

23 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Heru Supadmo, Kepala Seksi ASDP, Kantor Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara.

(21)

(2) Pembinaan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengaturan;

b. pengendalian; dan c. pengawasan.

(3) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf (a) meliputi penetapan kebijakan umum dan teknis, antara lain, penentuan norma, standar, pedoman, kriteria,perencanaan, dan prosedur termasuk persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perizinan. (4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi

pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, perizinan, sertifikasi, serta bantuan teknis di bidang pembangunan dan pengoperasian.

(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi kegiatan pengawasan pembangunan dan pengoperasian agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk melakukan tindakan korektif dan penegakan hukum.

(7) Pemerintah daerah melakukan pembinaan pelayaran sebagaimana

dimaksud pada ayat (6) sesuai dengan kewenangannya.24

Ketentuan Pasal 5 diatas seharusnya diterapkan oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Perhubungan Kabupaten Kuatai Kartanegara terhadap penyelenggaraan feri penyeberanagan disungai mahakam, guna mewujudkan keselamatan feri dan penumpang. Namun ketentuan tersebut tidak dilakukan secara keseluruhan, artinya memang pernah dilakukan sekali oleh instansi terkait mengenai arahan penggunaan perlengkapan keselamatan, namun tidak dilakukan secara terus menerus, termasuk tidak dilakukan bimbingan kepada armada feri, dan tidak dilakukan pengawasan secara terus-menerus, sehingga beberapa kali terjadi kecelakaan yang menurut hasil penyidikan diakibatkan karena manusia bukan alam, seperti tidak melengkapi peralatan keselamatan.

Berkaitan adanya kecelakaan feri penyeberangan di sungai mahakam Tenggarong yang terjadi beberapa kali paska runtuhnya Jembatan Mahakam II, maka tidak terlepas adanya korban yaitu pengguna jasa feri adalah penumpang

(22)

dan barang berupa motor, mobil. Pengguna jasa feri memiliki hak dan kewajiban, sebelum menguraikan tentang hak dan kewajiban pengguna jasa feri terlebih dahulu diuraikan mengenai pengertian pengguna jasa. Pengguna jasa dapat disebut sebagai penumpang, dapat pula disebut sebagai konsumen. Pengertian tentang konsumen secara yuridis telah diletakkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang ini memberikan definisi atau pengertian tentang konsumen. Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, merumuskannya sebagai berikut : “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Ketentuan Pasal 1 ayat (2) diatas, bahwa konsumen memiliki makna juga sebagai pengguna jasa, sehingga pengguna jasa feri penyeberangan disungai mahakam Tenggarong dapat juga disebut konsumen. Pengertian konsumen menurut ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen merumuskan sejumlah hak-hak konsumen. Menurut Pasal 4 ada 9 (Sembilan) hak dari konsumen, 8 (delapan) diantaranya hak yang eksplisit diatur didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan satu hak lainnya diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak-hak tersebut adalah :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan atas barang dan jasa.

2. Hak atas memilih barang dan jasa.

3. Hak mendapatkan informasi yang benar, jelas, jujur, atas barang dan jasa.

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya.

5. Hak untuk mendapat bantuan hukum (Advokasi), perlindungan dan

penyelesaian sengketa.

6. Hak dalam pembinaan dan pendidikan konsumen.

7. Hak untuk diberlakukan secara benar, jujur dan tidak diskriminatif.

8. Hak untuk mendapatkan konpensasi atas barang atau jasa yang

(23)

9. Hak-hak yang ditentukan dalam perundang-undangan lainnya.

Selain adanya hak dan kewajiban pengguna jasa feri, maka ada hak dan kewajiban pelaku usaha feri penyeberangan , dalam hal ini jasa angkutan diperairan atau angkutan penyeberangan, diatur Pasal 40, Pasal 41, dan Pasal 42 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, yaitu: Pasal 40 (1) Perusahaan angkutan di perairan bertangggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya; (2) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati. Pasal 41 (1) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa: (a). kematian atau lukanya penumpang yang diangkut; (b). musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut; (c). keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau (d). kerugian pihak ketiga; (2) Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (b), huruf (c), dan huruf (d) bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya; (3) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; Pasal 42 (1) Perusahaan angkutan di perairan wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia. (2) Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan.

Ketentuan diatas menjelaskan adanya hak asuransi atau ganti rugi pengguna jasa feri dan dapat diterapkan bagi korban kecelakaan feri selama penyeberangan. Namun kenyataannya ketentuan itu tidak semuanya diterapkan, dalam hal ini termasuk tidak adanya asuransi bagi penumpang dan barang yang dibawa seperti sepeda motor dan mobil, mengingat korban tenggelamnya feri beberapa kali tidak

(24)

mendapat asuransi atau perlindungan hukum. Padahal aturan diatas jelas sebagai payung hukum bagi korban kerugian akibat kecelakaan feri.

Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Heru Supadmo, dijelaskan bahwa korban tenggelamnya feri kesemuanya tidak ada asuransi mengingat hingga hari ini Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara masih sebatas

mengusulkan dan belum terealisasi.25 Demikian halnya berdasarkan wawancara

penulis dengan pemilik feri, dijelaskan bahwa korban kecelakaan feri kesemuanya belum diasuransikan hingga hari ini termasuk semua jasa feri juga belum diasuransikan. Namun bagi korban meninggal dunia mendapat santunan dari pemilik feri namun besarnya sesuai kemampuan pemilik feri dan bagi motor yang hilang ada diberikan santunan namun tidak semuanya diberi santunan.

Kemudian Kewajiban pemilik usaha jasa angkutan sungai untuk

mengasuransikan penumpangnya juga diatur dalam ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 33 Tahun1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, yaitu: “Paling lambat tanggal 27 dari setiap pengusaha dari perusahaan-perusahaan kendaraan tersebut pada Pasal 3 huruf (a) harus sudah menyetorkan hasil penerimaan uang wajib dari penumpang kepada Dana

Pertanggungan melalui Bank atau asuransi yang ditunjuk oleh Menteri”.26 Dana yang

disetorkan pemilik usaha angkutan menurut Pasal 5 ini nantinya diberikan kepada penumpang yang mengalami kecelakaan akibat kesalahan manusia (Human eror).

Ketentuan kewajiban dan tanggung jawab pelaku usaha jasa angkutan penyeberangan atau perairan tersebut diatas juga seharusnya diterapkan oleh pemilik jasa feri penyeberangan disungai mahakam Tenggarong, namun kenyataannya tidak dilakukan termasuk dalam hal asuransi. Menurut Radiks Puba bahwa hak penumpang atas santunan asuransi atas kecelakaan angkutan laut, danau, udara dan sungai diberikan kepada:

(1). Setiap penumpang yang sah dari alat angkutan umum, baik melalui angkutan laut, danau, udara dan sungai kereta api, yang telah membayar/melunasi iuran wajib Dana Pertanggungan Kecelakaan

25 Kasi ASDP Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara.

26 Pasal 5 Undang-undang Nomor 33 Tahun1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib

(25)

Penumpangun untuk tiap perjalanan yang ditempuhnya dengan pembuktian:

a) Kupon iuran wajib Jasa Raharja, atau;

b) Telah membayar tiket perusahaan angkutan yang bersangkutan

dimana iuran wajib telah disatuakan pembayarannya dengan sewa angkutan.

(2). Pemilik angkutan atau pelaku usaha telah membayar iuran wajib Dana Pertanggungan Kecelakaan Penumpang bagi penumpangnya kepada PT.

Jasa Raharja.27

Ketentuan-ketentuan dan teori menurut pendapat diatas, dapat diterapkan dalam penyelenggaraan feri penyeberangan disungai mahakam Tenggarong yang hubungannya terkait perlindungan hukum terhadap pengguna jasa feri. Karena faktanya perlindungan hukum bagi pengguna jasa feri sangat lemah, seperti korban tenggelamnya feri yang beberapa kali terjadi tidak diberikan asuransi bagi yang meninggal, dan asuransi masih sebatas usulan dari Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara , serta tidak ada ganti rugi terhadap motor korban yang hilang atau rusak. Padahal ketentuan hak atas ganti rugi atau asuransi harus diberikan kepada pengguna jasa yang mengalami kecelakaan. Hal ini diperparah tidak adanya sanksi hukum yang tegas bagi penyelenggara feri yang tidak melengkapi kelengkapan keselamatan, dan yang belum memiliki ijin operasi.

Terkait ketentuan sanksi hukum dalam hal ini sanksi pidana bagi pemilik jasa angkutan penyeberangan, tanpa ijin trayek, dan tidak adanya asuransi, serta tidak memberikan ganti rugi diatur dalam ketentuan Pasal 288, Pasal 289, Pasal 292 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran, yaitu: Pasal 288 Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan sungai dan danau tanpa izin trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); Pasal 289 Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan penyeberangan tanpa memiliki persetujuan pengoperasian kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 289 ayat (6) dipidana

(26)

dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah; Pasal 292 Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Ketentuan sanksi pidana diatas seharusnya diterapkan dengan tegas oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara, karena fakta dilapangan aturan itu tidak diterapkan termasuk terkait asuransi kecelakaan penumpang. Menurut Radiks Purba, para pengusaha/pemilik alat angkutan melalui darat, laut, sungai, danau, untuk penyeberangan, dan melalui udara, diancam dengan hukuman denda yang besarnya ditentukan oleh menteri keuangan dan ketentuan-ketentuan hukum lainnya berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang junkto Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan wajib kecelakaan Penumpang, apabila ternyata:

1. Menjual atau mengeluargakan atau menyuruh/membiarkan petugas-

petugasnya menjual atau mengeluarkan karcis penumpang tanpa memungut iuran wajib,

2. Menyuruh atau membiarkan petugas-petugasnya mengangkut penumpang

(tanpa karcis) tanpa memungut iuran wajib,

3. Melalaikan kewajibannya untuk menyetorkan hasil pungutan iuran wajib

dari parapenumpangnya kepada PT. Jasa Raharja.28

Melihat lemahnya perlindungan hukum bagi pengguna jasa feri penyeberangan di sungai mahakam Tenggarong, seharusnya instansi terkait harus segera melakukan evaluasi dan tindakan terkait hal ini.

(27)

A. Kesimpulan

Berdasakan uraian pembahasan pada BAB IV dimuka, sehingga diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan penyeberangan menggunakan jasa feri tradisional di sungai

mahakam Tenggarong tidak semuanya mematuhi ketentuan yang berlaku. Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Heru Supadmo (Kasi ASDP Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara) tanggal 6 Januari 2013 dijelaskan, bahwa pada awal penyelenggaraan feri penyeberangan atau sehari setelah runtuhnya jembatan Mahakam, pada tanggal 27 November 2011 telah terjadi tenggelam 2 (dua) feri tradisional disungai mahakam, dengan posisi feri dari Desa Loa Raya Tenggarong Seberang menuju kota Tenggarong. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang menyebabkan tenggelamnya dua feri tersebut, yaitu: kelebihan muatan berupa sepeda motor dan penumpang; ukuran feri yang kecil tidak sesuai ukuran; tidak ada ijin dan tidak adanya pengawasan secara langsung atau pengaturan serta penertiban dari dinas perhubungan kabupaten Kuatai Kartanegara; tidak lengkapnya alat navigasi seperti alat komunikasi, lampu, pelampung, dan tidak adanya awak kapal untuk mengarahkan kapal feri yang resmi mendapat sertifikasi, bahkan ada feri yang tidak memiliki awak kapal, bahkan ada yang belum memiliki ijin beroperasi hingga saat ini. Perihal tersebut tentu bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 61 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Diperairan, sebagai berikut: (3) Setiap kapal yang melayani angkutan penyeberangan wajib:

a. memenuhi persyaratan teknis kelautan dan persyaratan pelayanan minimal

angkutan penyeberangan;

b. memiliki spesifikasi teknis sesuai dengan fasilitas pelabuhan yang

digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan atau terminal penyeberangan pada lintas yang dilayani;

(28)

c. memiliki dan/atau mempekerjakan awak kapal yang memenuhi persyaratan kualifikasi yang diperlukan untuk kapal penyeberangan;

d. memiliki fasilitas bagi kebutuhan awak kapal maupun penumpang dan

kendaraan beserta muatannya;

e. mencantumkan identitas perusahaan dan nama kapal yang ditempatkan

pada bagian samping kiri dan kanan kapal; dan

f. mencantumkan informasi atau petunjuk yang diperlukan dengan

menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

2. Penyelenggaraan feri Kegiatan penyeberangan feri yang Berdasarkan

wawancara penulis dengan Bapak Heru Supadmo (Kasi ASDP Dinas Perhubngan Kabupaten Kutai Kartanegara), dijelaskan bahwa korban tenggelamnya feri tidak ada asuransi mengingat hingga hari ini Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara masih sebatas mengusulkan dan belum terealisasi. Kemudian berdasarkan wawancara penulis dengan pemilik feri, dijelaskan bahwa korban kecelakaan feri memang belum diasuransikan. Namun bagi korban meninggal dunia mendapat santunan dari pemilik feri namun besarnya sesuai kemampuan pemilik feri dan bagi motor yang hilang ada diberikan tidak semuanya diberi santunan. Mengenai kewajiban pemilik feri untuk mengasuransikan pengguana jasanya diatur dalam Pasal 41 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, yaitu: Pasal 41 (3) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian kewajiban pemilik usaha jasa angkutan sungai untuk mengasuransikan penumpangnya juga diatur dalam ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 33 Tahun1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, yaitu: “Paling lambat tanggal 27 dari setiap pengusaha dari perusahaan-perusahaan kendaraan tersebut pada Pasal 3 huruf (a) harus sudah menyetorkan hasil penerimaan uang wajib dari penumpang kepada Dana Pertanggungan melalui Bank atau asuransi yang ditunjuk oleh Menteri”. Dana yang disetorkan pemilik

(29)

usaha angkutan menurut Pasal 5 ini nantinya diberikan kepada penumpang yang mengalami kecelakaan akibat kesalahan manusia (human eror).

B. Saran

1. Mengingat masih adanya feri penyeberangan di sungai mahakam

Tenggarong yang belum lengkap peralatan keselamatan, dan pentingnya penggunaan peralatan yang tepat seperti pentingnya lampu yang tepat untuk malam hari, maka instansi terkait harus segera melakukan penertiban;

2. Perlu adanaya penertiban dan penghentian terhadap feri yang belum

memiliki ijin operasi, dikarenakan kegiatan tersebut memiliki resiko yang tinggi bagi pengguna jasa feri penyeberangan;

3. Perlu adanya pembatasan waktu kegiatan penyeberangan, karena

kegiatannya saat ini dilakukan 24 jam, sehingga rawan dilakukan ketika malam hari. Dikarenakan waktu dimalam hari jarak pandang terbatas untuk melihat lintasan guna menghindari kayu-kayu batang yang hanyut, untuk menghindari ponton-ponton batubara yang lewat dimalam hari;

4. Perlu segera dilakukan pengurusan asuransi bagi masing-masing pemilik

feri, dan Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara pun harus mengawal realisasinya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Muhamad, Abdul Kadir, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Nasution Az, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung.

Purba, Radiks, 1997, Asuransi angkutan Laut, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Utari, Siti, 1999, Pengangkutan Laut di Indonesia (suatu tinjauan yuridis), Balai Pustaka, Jakarta).

(30)

Umar, Husseyn, 2001, Hukum Maritim dan Masalah-masalah Pelayaran di Indonesia) PT. Multazam Mitra Prima, Jakarta.

Subekti. R, 1991, Hukum perjanjian, PT Intermasa, cetakan Ke-VII, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-undang Dasar 1945.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 33 Tahun1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1964 NO. 137).

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, (TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIANO. 4849). Republik Indonesia, Peraturan Pemerintan Nomor 17 Tahun 1965 Tentang

Ketentuan-ketentuan Pelaksanaan dana Pertanggungan Wajib

Kecelakaan Penumpang (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1965 NO. 28).

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Diperairan (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 26).

C. Artikel Jurnal Ilmiah, Arttikel Koran, Artikel Internet, dan Makalah Seminar

Kantor Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara.

www.Kutaikartanegara.com. Diakses tanggal 30 Januari 2013 Pukul 20.00 WITA. Tentang “Lagi, Ferry Tradisional Tenggelam di Tenggarong”. www-sapos.com, diakses pada tanggal 28 november 2012, pukul 21.00 wita

Referensi

Dokumen terkait

MENURUT SEKTOR EKONOMI ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993.. Juta) PERTAMBAHAN SEKTOR

Pengembangan Modul Dasar-dasar Akuntansi Berbasis International Financial Reporting Standards (IFRS) Melalui Pendekatan Problem Based Learning Untuk Meningkatkan Hasil

Sehingga dapat diartikan bahwa motif menonton merupakan alasan ataupun dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia menyaksikan sebuah acara yang diselenggarakan

Bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 3 Peraturan Pemerintah nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang – Undang nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan

Sejarah Singkat Sekolah Menengah Pertama Islam Sunan Kali Jaga Yayasan babul jannah yang terletak di desa karangpring kecamatan sokorambi jember didirikan pada tahun

Faktor–faktor yang mempengaruhi terhadap kejadian bayi lahir khususnya bayi dengan BBLR, ada hubungannya dengan karakteristik sosial ekonomi (pendidikan ibu, pengetahuan gizi

Tujuan dari penelitian ini untuk melihat persepsi dari Dinas-dinas selaku auditee terhadap permasalahan yang dihadapi oleh Inspektorat sebagai auditor internal pada

admin juga bertugas untuk melihat harga pasaran dari yang lama sampai terbaru. Dalam produk yang ada di baby fish nusantara terdapat dua kategori di antaranya. adalah : ikan air