• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSTRUKSI PERKEMBANGAN KEAMANAN DAN KESELAMATAN PELAYARAN DI LAUT INDONESIA DAN DI LAUT INTERNASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSTRUKSI PERKEMBANGAN KEAMANAN DAN KESELAMATAN PELAYARAN DI LAUT INDONESIA DAN DI LAUT INTERNASIONAL"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSTRUKSI PERKEMBANGAN KEAMANAN DAN KESELAMATAN PELAYARAN DI LAUT INDONESIA DAN DI LAUT INTERNASIONAL

A. Keamanan dan Keselamatan pelayaran di laut Indonesia 1. Konsepsi negara kepulauan Indonesia

Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari berbagai gugusan pulau yang sangatlah banyak apabila dijabarkan yang sampai pada masa sekarang belum semua pulau tersebut berhasil dihuni oleh penduduk Indonesia sehingga bias dibilang beberapa pulau di Indonesia masih tidak berpenghuni. Konsepsi negara kepulauan diterima oleh masyarakat internasional dan dimasukan kedalam UNCLOS III 1982, utamanya pada pasal 46. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa, “Negara Kepulauan” berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain”1. Sedangkan pengertian kepulauan disebutkan sebagai, “ kepulauan” berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis disebut demikian.”Dan dalam sejarah hukum laut Indonesia sudah dijelaskan dalam deklarasi Juanda 1957 , yaitu pernyataan Wilayah Perairan Indonesia: “Segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang       

(2)

termasuk daratan negara RI dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan RI dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak daripada negara RI”.2 Sedangkan dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.” Sementara itu, dimasukannya poin-poin negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 yang berisi 9 pasal, yang berisi antara lain: Ketentuan-ketentuan tentang negara-negara kepulauan, garis-garis pangkal lurus kepulauan, status hukum dari perairan kepulauan, penetapan perairan pedalaman, dalam perairan kepulauan, hak lintas damai melalui perairan kepulauan, hak lintas alur-alur laut kepulauan, hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing dalam pelaksanan hak lintas alur-alur laut kepulauan.

Pengaturan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 dimulai dengan penggunaan istilah negara kepulauan (archipelagic state). Pada pasal 46 butir (a) disebutkan bahwa, “negara kepulauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Maksud dari pasal 46 butir (a) tersebut adalah, secara yuridis, pengertian negara kepulauan akan berbeda artinya dengan definisi negara yang secara geografis wilayahnya berbentuk kepulauan. Hal ini dikarenakan, dalam pasal 46 butir (b) disebutkan bahwa kepulauan adalah suatu gugusan pulau-pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama       

(3)

lainnya demikian erat sehingga pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatui kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki atau yang secara historis dianggap sebagai demikian. Dengan kata lain, pasal 46 ini membedakan pengertian yuridis antara negara kepulauan (archipelagic state) dengan kepulauan (archipelago) itu sendiri.

Perbedaan ini menimbulkan konsekuensi bahwa penarikan garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline) tidak bisa dilakukan oleh semua negara yang mengatasnamakan dirinya sebagai negara kepulauan. Hal ini dikarenakan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bila ingin melakukan penarikan garis pangkal lurus kepulauan yaitu sebagai berikut :3

a. satu kesatuan geografis, b. Ekonomi,

c. Politik, d. Historis.

Adapun persyaratan obyektif yang harus dipenuhi oleh negara kepulauan dalam melakukan penarikan garis pangkal lurus kepulauan yang tercantum dalam pasal 47 yaitu:

a. Rasio (perbandingan) antara luas wilayah perairan dengan daratan, yaitu suatu negara kepulauan minimal harus memiliki luas perairan yang sama besar atau makasimal hanya 9 kali dengan luas daratannya.

      

(4)

b. Panjang maksimum setiap segmen garis pangkal, yaitu panjang setiap garis lurus yang menghubungkan dua titik pangkal ditetapkan diteteapkan tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bila tiga persen dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulaaun dapat melebihi kepanjangan tersebut, maka dapat digunakan batas maksimum 125 mil laut.

c. Penarikan garis pangkal tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan tersebut.

d. Garis pangkal demikian tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut, kecuali apabila diatasnya telah dibangun mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen berada diatas permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau terdekat

e. Sistem garis pangkal demikian, tidak boleh diterapkan oleh suatu negara kepulauan dengan cara yang demikian rupa sehingga memotong laut teritorial negara lain dari laut lepas atau ZEE.

f. Apabila suatu bagian perairan kepulauan suatu negara kepulauan, terletak diantara dua bagian suatu negara tetangga yang langsung berdampingan, hak-hak yang ada dan kepentingan-kepentingan sah lainnya yang dilaksanakan secara tradisional oleh negara tersebut terakhir diperairan mereka, serta segala hak yang ditetapkan dalam perjanjian antara negara tersebut akan tetap berlaku dan harus dicermati.

(5)

g. Untuk maksud menghitung perbandingan perairan dengan daratan, daerah daratan dapat mencakup didalamnya perairan yang terletak didalam tebaran karang pulau-pulau dan Atol, termasuk bagian plateau oceanic yang bertebing curam yang tertutup atau hampir tertutup oleh serangkaian pulau batu gamping dan karang kering diatas permukaan laut yang terletak disekeliling plateau tersebut.

h. Garis pangkal yang ditarik sesuai dengan ketentuan pasal ini, harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya, dapat dibuat daftar koordinat geografis titiktitik yang secara jelas memerinci datum geodetik.

i. Negara kepulauan harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau daftar koordinat geografis demikian dan harus mendepositkan satu salinan setiap peta atau daftar demikian ke Sekjen PBB.

Selanjutnya, diatur bahwa ketentuan yang tertuang dalam pasal 47 merupakan garis pangkal untuk pengukuran lebar laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen bagi suatu negara kepulauan (pasal 48). Dengan kata lain, pasal 48 mengukuhkan bahwa untuk suatu negara kepulauan, garis-garis pangkal lurus kepulauan mempunyai fungsi yang sama dengan garis-garis pangkal lain yang diakui oleh Konvensi Hukum Laut 1982, seperti garis-garis pangkal biasa dan garis-garis pangkal lurus.

Status Indonesia sebagai negara kepulauan diperkuat dengan berbagai penjelasan yang ada diatas sehingga jelas bahwa Indonesia yang berstatus sebagai

(6)

negara kepulauan akan diuntungkan, karena dapat menggunakan kelebihan-kelebihan yang dimiliki cara penarikan garis-garis pangkal kepulauan. Oleh karena itu, Indonesia menuangkan Konsepsi Negara Kepulauan dalam amandemen ke 2 UUD 1945 Bab IXA tentang wilayah negara. Pada pasal 25 E berbunyi ” Negara Kesatuan RI adalah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah-wilayah yang batasbatasnya dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”. Selain itu, dalam pasal 2 Undang-Undang No 6 tahun 1996 tentang Perairan indonesia, pemerintah Indonesia secara tegas menyatakan bahwa negara RI adalah negara kepulauan. Sebagaimana yang disyaratkan oleh pasal 46 Konvensi Hukum Laut PBB 1982, tidak semua negara yang wilayahya terdiri dari kumpulan pulau-pulau dapat di anggap sebagai negara kepulauan. Dari peraturan perundang-undangan nasional yang dikumpulkan oleh UN-DOALOS ada 19 negara yang menetapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan negara kepulauan, yaitu; Antigua dan Barbuda, Bahama, Komoro, Cape Verde, Fiji, Filipina, Indonesia, Jamaika, Kiribati, Maldives, Kepulauan Marshall, PNG, Kepulauan Solomon, Saint Vincent dan Grenadines, Sao Tome dan Principe, Seychelles, Trinidad dan Tobago, Tuvalu, dan Vanuatu.4 Selanjutnya dalam peraturan pelaksanannya, pemerintah RI mengeluarkan PP No 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis titiktitik garis pangkal kepulauan Indonesia yang telah diubah dengan PP No. 37 tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia. Pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah menarik garis pangkal kepulauan untuk

      

(7)

menetapkan lebar laut teritorial. Sedangkan penarikan garis pangkal kepulauan dilakukan dengan menggunakan; garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis penutup teluk, garis penutup muara sungai, terusan dan kuala, serta garis penutup pada pelabuhan.

Namun kepemilikan Indonesia terhadap pulau-pulau kecil, khususnya pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, masih menyisakan permasalahan. Kalahnya pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia telah mamberikan pelajaran kepada Indonesia dimuka Internasional. Hal ini mencerminkan bahwa pemerintah RI hanya sekedar memilki tanpa mempunyai kemampuan untuk menguasai dan memberdayakannya. Berkaca dari maraknya potensi konflik dipulau-pulau kecil terluar, pemerintah Indonesia mengeluarkan Perpres No 78 Tahun 2005 tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Perpres tersebut bertujuan untuk :

a. Menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan.

b. Memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan.

c. Memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.

Pulau-pulau kecil terluar sangatlah rentan terhadap kejahatan yang sangat mengancam perdagangan dan keselamatan dalam pelayaran laut Indonesia maupun pelayaran laut Internasional yang melintasi daerah Indonesia yang pada akhirnya akan menimbulkan pertikaian antar Negara tentang sebab akibat dan

(8)

akuntabilitas sebuah Negara dalam mengamankan jalur pelayaran negaranya yang akan cenderung merugikan Indonesia. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar juga diharapkan dapat mengatasi ancaman keamanan yang meliputi kejahatan transnasional penangkapan ikan ilegal, penebangan kayu ilegal, perdagangan anak-anak dan perempuan (trafficking), imigran gelap, penyelundupan manusia, penyelendupan senjata dan bahan peledak, peredaran narkotika, pintu masuk terrorisme, serta potensi konflik sosial dan politik. Hal ini penting agar kesaradaran untuk menjaga pulau-pulau kecil diperbatasan tetap ada, dan pualu-pulau kecil diperbatasan tidak dianggap sekedar halaman belakang.

Sebelum lahirnya Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982) yang menetapkan lebar laut teritorial adalah 12 mil laut. Pada konvensi hukum laut I dan II yang dilangsungkan di Jenewa tidak mampu menyelesaikan masalah kesepakatan tentang luas laut teritorial dan hanya menetapkan lebar laut teritorial seluas 3 mul laut berdasarkan praktek kebiasaan waktu itu. Selain itu, penetapan batas wilayah menurut “Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939” yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442 Pasal 1 (1) yang juga menetapkan lebar wilayah laut teritorial Indonesia adalah 3 mil, dalam konteks negara kepulauan (archipelagic state) seperti Indonesia, hal ini jelas sangat merugikan. Mengingat adanya kelemahan atas hukum yang mengatur mengenai wilayah laut (perairan) di Wilayah Negara Republik Indonesia yang masih merupakan warisan kolonial Belanda dahulu, dengan tolak ukur jarak tiga mil laut dari pantai itu, ternyata ada juga negara-negara lain yang menyimpanginya hal ini dikarenakan oleh Negara

(9)

Indonesia belumlah kuat dalam hal pengaturan peraturan pelayaran dan pembatasan laut Indonesia tersebut. .Negara-negara itu yaitu negara-negara Skandinavia sejauh empat mil, dan Spanyol dengan jarak enam mil dari pantai. Karena itu, wajarlah apabila pemerintah RI mempunyai gagasan baru untuk merombak total (masalah lebar laut) dan kemudian mengembangkan ke aspek-aspek selanjutnya.

Perombakan yang dimaksudkan di atas untuk pertama kali dilaksanakan oleh pemerintah RI dengan mengeluarkan pengumuman pada tanggal 13 Desember 1957 yang disebut Deklarasi 13 Desember 1957, atau dikemudian hari dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda karena pada saat itu Indonesia masih memakai konstitusi RIS 1949 dengan Perdana Menteri-nya Ir, Djuanda. Pergerakan pengakuan Negara Indonesia sebagai Negara kepulauan merupakan langkah yang sangat krusial dalam pengaturan pelayaran laut Indonesia maupun Internasional dengan pertimbangan menguntungkan segala pihak dalam menyebrangi lautan Indonesia. Adapun pertimbangan-pertimbangan yang mendorong pemerintah RI sebagai suatu negara kepulauan sehingga mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia, adalah sebagai berikut :

a. Bahwa bentuk geografis Indonesia yang berwujud negara kepulauan, yang terdiri atas tiga belas ribu lebih pulau-pulau, besar dan kecil yang tersebar dilautan.

(10)

b. Demi untuk kesatuan wilayah negara RI, agar semua kepulauan dan perairan (selat) yang ada diantaranya merupakan satu kesatuan yang utuh, dan tidak dapat dipisahkan antara pulau yang satu dengan lainnya, atau antara pulau dengan perairannya.

c. Bahwa penetapan batas perairan wilayah sebagaimana menurut “Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939” yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442 Pasal 1 (1) sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan Indonesia setelah merdeka.

d. Bahwa Indonesia setelah berdaulat sebgai suatu negara yang merdeka, mempunyai hak sepenuhnya dan berkewajiban untuk mengatur segala sesuatunya, demi untuk keamanan dan keselamatan negara serta bangsanya.5

Deklarasi Djuanda 1957 merupakan titik pangkal lahirnya klaim Wawasan Nusantara, yang merupakan konsepsi kewilayahan. Dalam masalah pengumuman pemerintah RI tentang konsep Wilayah Perairan, pemerintah RI bukan satu-satunya negara yang melakukan klaim atas wilayah pantainya. Sebab sebelumnya, Presiden AS, S. Truman, pada tanggal 25 Desember 1945 mengumumkan dua pernyataan, yaitu:

a. Proklamasi tentang landas kontinen b. Proklamasi tentang perikanan.

      

(11)

Istilah Wawasan Nusantara sebenarnya baru dikenal pada seminar pertahanan keamanan tahun 1966. Pada waktu itu Wawasan Nusantara dipergunakan untuk mengembangkan kekuatan pertahanan dan keamanan yang terpadu, untuk menggantikan tiga wawasan yang pernah ada, dan sifatnya sektoral, yaitu :

a. Wawasan Benua, yang diprakarsai oleh AD. b. Wawasan Bahari yang diprakarsai oleh AL. c. Wawasan Dirgantara yang diprakarsai oleh AU

Ketiga wawasan tersebut di atas masing-masing sebagai perwujudan konsep kekuatan (power concept) sehingga menimbulkan adu kekuatan, yang dapat mengakibatkan gejolak atau ketegangan dalam kehidupan politik bangsa dan negara, atau kemungkinan dapat menimbulkan terjadinya instabilitas nasional dalam kehidupan masyarakat negara.6 Lain halnya dengan Wawasan Nusantara yang dikembangkan menjadi kebudayaan politik (political culture) dan merupakan milik bangsa dan negara RI. Dua tahun setelah keluarnya Deklarasi Djuanda 1957, pada tanggal 18 Februari 1960 dikuatkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (LN. 1960. No. 22) dengan maksud agar klaim tersebut memiliki kekuatan hukum dan mengikat.

Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966, Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang tersebut diatas, dikukuhkan       

6 S.  Toto  Pandoyo,  Wawasan  Nusantara  dan  Implementasinya  Dalam  UUD  1945  Serta  Pembangunan Nasional. 1985. PT Bina Aksara. Jakarta.  

(12)

menjadi undang-undang No. 4 Prp. Tahun 1960. Adapun isi pokok UU No. 4. Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia adalah :

a. Perairan Indonesia ialah Laut Wilayah beserta perairan Pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara).

b. Laut Wilayah Indonesia ialah jalur laut selebar dua belas mil laut dari pulaupulau yang terluar atau bagian pulau-pulau yang terluar dengan dihubungkan garis lurus antara satu dengan lainnya.

c. Apabila ada selat yang lebarnya tidak melebihi dua puluh empat mil laut, dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi (artinya ada negara tetangga), maka garis batas Laut Wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.

d. Perairan Pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara) adalah semau perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis besar.

e. Hak Lintas Damai kendaraan air (kapal) asing, diakui dan dijaman sepanjang tidak mengganggu atau bertentangang dengan keamanan serta keselamatan negara dan bangsa.

f. Tidak berlakunya lagi pasal 1 ayat (1) angka 1 sampai dengan 4 ‘Territoriale Zee Maritieme Kringen Ordonantie” 1939.

Implikasi positif klaim wawasan nusantara yang tercantum dalam UU No. 4/ Prp 1960 adalah :

a. Wilayah Indonesia berdasarkan TZMKO 1939 luasnya hanya: 2.027.087 km2; setelah berlakunya UU No. 4/Prp. 1960 tersebut, luas

(13)

wilayah Indonesia menjadi: 5.193.250. km2 (daratan dan lautan); berarti luas wilayah bertambah 3.166.163 km2 (Perairan) atau lebih kurang: 145%. Meskipun pertambahan wilayah tersebut berwujud perairan, tetapi banyak mengandung sumber daya alam.

b. Realisasi makna ketentuan yang tercantum didalam alinea IV pembukaan UUD 1945, Juga Pasal 1 (1) UUD 1945 dapat dilaksanan.

Dalam usaha mewujudkan konsep wawasan nusantara ini, pemerintah RI telah dua kali mengajukan suatu konsep klaim wawasan nusantara itu di forum internasional, yaitu dalam konferensi hukum laut Internasional pada tahun 1958 dan tahun 1960; tetapi belum mendapatkan hasil sebagaimana diharapkan. Dengan telah dijadikannya Deklarasi Djuanda 1957 kedalam bentuk undang-undang, yang berarti mempunyai kekuatan hukum dan mengikat. Dalam hal ini, ada dua macam jalur jalur yang ditempuh pemerintah RI dalam memperjuangkan konsep wawasan nusantara. Kedua macam jalur tersebut adalah :

a. Jalur internasional; yaitu seperti yang sudah dilakukan, dengan jalan memperjuangkan dalam pembicaraan-pembicaraan di forum internasional, konferensi hukum laut,dan forum-forum internasional lainnya.

b. Jalur nasional; yaitu dengan langsung mengadakan perundingan baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara-negara tetangga yang berkepentingan.

Dalam dua macam jalur cara memperjuangkan klaim wawasan nusantara tersebut, ternyata dalam jangka waktu pendek lebih terlihat hasilnya meskipun

(14)

terbatas hanya negara-negara yang berkepentingan saja adalah yang melalui jalur nasional. Hal ini terbukti dengan adanya perundingan-perundingan antar negara yang menghasilkan perjanjian (treaty) atau persetujuan (agreement), mengenai perbatasan laut wilayahnya dengan wilayah RI. Perjanjian dan persetujuan yang dimaksudkan antara lain, termuat dalam :

a. UU No. 22 tahun 1971 (LN. 1971 No. 16) tentang Perjanjian antara RI dan Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Laut kedua negara di selat Malaka.

b. Keputusan Presiden No. 66 Tahun 1972 (LN. 1972 No. 45) tentang Penetapan Batas Laut Antara RI – Australia di Laut Timor dan Laut Arafuru.

c. UU No. 6 Tahun 1973 (LN. 1973 No. 58), tentang Perjanjian Antara Indonesia dengan Australia Mengenai Garis-garis Batas Tertentu Antara Indonesia dengan PNG.

d. UU No. 7 tahun 1973 (LN. 1973 No. 59) tentang Perjanjian Antara Indonesia dengan Singapura Mengenai Penetapan Garis Batas Laut Wilayah kedua negara di Selat Singapura.

e. Keppres No 24 Tahun 1978 (LN. 1978 No 37) Mengesahkan Persetujuan Antara Pemerintah RI, Pemerintah Republik India dan Pemerintah Kerajaan Thailand, Tentang Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas dan Penetapan Garis Batas Ketiga Negara di Laut Andaman.

(15)

f. Keppres No. 6 Tahun 1980 (LN. 1980 No. 3) tentang Pengesahan Persetujuan Dasar Antara RI dan PNG tentang Pengaturan-Pengaturan Perbatasan Kedua Negara.7

2. Sejarah pengaturan pelayaran laut di Indonesia

Indonesia merupakan Negara Kepulauan dengan laut yang terbesar di dunia yang memiliki bentang laut luas dengan ribuan pulau besar dan kecil. Jumlah pulaunya lebih dari 13.500 buah dan mencakup wilayah sepanjang 3.000 mil laut dari Sabang sampai Merauke. Namun sayangnya, potensi lautan yang luas tersebut belum mampu dijaga secara maksimal, sementara aktivitas pemanfaatan wilayah laut Indonesia untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi potensi ekonomi laut dan jasa transportasi laut semakin meningkat, sehingga potensi terjadinya pelanggaran semakin besar. Persoalan utama yang mendapatkan perhatian sampai saat ini dan belum terselesaikan dengan baik adalah adanya beberapa lembaga yang berwenang menangani pelanggaran hukum di wilayah laut Indonesia secara tersendiri dan terpisah, seperti TNI AL, Polair, Ditjen Imigrasi, Ditjen Bea Cukai, Kejaksaan, Ditjen Perhubungan Laut (Armada PLP/KPLP), Kehutanan dan KKP.8

Tumpang tindih kewenangan dalam aparat tersebut kerap kali terjadi, misalnya yang terjadi antara TNI AL dan Bea Cukai. TNI AL bertugas mengawasi hingga Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), namun wilayah tugas Bea dan

       7 Ibid hal 4041  

(16)

Cukai tidak begitu jelas pengaturannya, sehingga tidak jarang terjadi persinggungan antara TNI AL dan Bea Cukai dalam menangani kasus pelanggaran di perairan Indonesia.

RUU Kelautan sebagai bagian dari upaya untuk memberikan kepastian hukum dalam penegakan hukum harus sekaligus mampu menyelesaikan masalah tumpang tindihnya sistem penegakan hukum di wilayah laut.

Keberadaan RUU Kelautan ketika diundangkan seharusnya tidak menimbulkan masalah baru, akan tetapi justru membantu menyederhanakan kerumitan persoalan penegakan hukum di laut, sehingga lebih mampu memberikan kepastian hukum bagi institusi yang memiliki kewenangan di wilayah laut dan memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha, pengguna jasa, dan transportasi laut. Untuk memastikan RUU Kelautan mampu mengelaborasi dan mengakomodasi seluruh kepentingan nasional terhadap kedaulatan, pengamanan, dan pengembangan wilayah laut Indonesia maka harus dipastikan mekanisme sistem penegakan hukum di wilayah laut terakomodasi dan Rancangan Undang-Undang. Selebihnya, proses pembahasan RUU Kelautan yang sudah masuk dalam agenda Prolegnas dan diperkirakan akhir September 2014 diundangkan, hendaknya proses tersebut dikawal seluruh elemen dan komponen masyarakat. Harapannya, RUU Kelautan mampu memainkan peran penting dan signifikan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, penegakan kedaulatan dan hukum di wilayah laut, menjamin kepastian hukum, serta

(17)

meminimalisasi masuknya berbagai kepentingan yang bertujuan keuntungan pribadi, kelompok, dan institusi.

Perwujudan keamanan di laut pada hakikatnya memiliki dua dimensi, yaitu penegakan kedaulatan dan penegakan hukum yang saling berkaitan satu sama lain, sesuai ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang berlaku. Penegakan hukum di laut tidak dapat dilepaskan dari peran TNI Angkatan Laut sebagai komponen utama pertahanan negara di laut yang secara konsisten mengemban tugas untuk menjaga keutuhan wilayah Indonesia, mempertahankan stabilitas keamanan di laut, serta melindungi sumberdaya alam di laut dari berbagai bentuk gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di wilayah perairan yurisdiksi nasional Indonesia. Hal tersebut jelas tertuang dalam tugas Angkatan Laut yaitu menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

TNI Angkatan Laut tidak sendirian dalam melakukan pengelolaan dan mekanisme penegakan kedaulatan serta penegakan hukum di laut. Karena, sampai saat ini tugas tersebut ditangani oleh beberapa kementerian dan lembaga negara di bawah koordinasi Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Instansi-instansi tersebut memiliki kewenangan, sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam rangka penegakan hukum dengan melakukan periksaan dan penyelidikan serta penyidikan terhadap tindak pidana tertentu di laut. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,

(18)

masalah penegakan hukum di laut tidak dapat ditangani satu instansi saja, karena undang-undang memberikan mandat kepada beberapa instansi pemerintah. Instansi yang berwenang melaksanakan penegakan hukum di laut dan pantai serta pelabuhan nasional sebagai berikut :

a. TNI Angkatan Laut, yang bertugas menjaga keamanan teritorial, kedaulatan wilayah NKRI di laut dari ancaman negara asing.

b. Polisi Perairan (Polair), yang melakukan penyidikan terhadap kejahatan di wilayah perairan Hukum Indonesia.

c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (P2), yang bertugas mengawasi pelanggaran lalu lintas barang impor/ekspor (penyelundupan).

d. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Armada PLP/KPLP) bertugas sebagai penjaga pantai dan penegakan hukum di laut.

e. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), bertugas sebagai penyidikan kekayaan laut dan perikanan.

f. Kementerian ESDM, bertugas mengawasi pekerjaan usaha pertambangan dan pengawasan hasil pertambangan.

g. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, bertugas mengawasi benda cagar budaya serta pengamanan terhadap keselamatan wisatawan, kelestarian, dan mutu lingkungan.

h. Kementerian Hukum dan HAM, bertugas sebagai pengawas, penyelenggara keimigrasian dan penyidikan tindak pidana keimigrasian. i. Kejaksaan Agung RI bertugas untuk penuntutan mengenai tindak pidana

(19)

j. Kementerian Pertanian, bertugas untuk pengamanan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.

k. Kementerian Negara Lingkungan hidup bertugas di bidang lingkungan hidup.

l. Kementerian Kehutanan, bertugas melakukan penegakan hukum di bidang kehutanan meliputi penyelundupan satwa dan illegal logging.

m. Kementerian Kesehatan, bertugas melakukan pengawasan/pemerikasaan kesehatan di kapal meliputi awak kapal, penumpang, barang, dan muatan.9

Pada kenyataannya, penegakan hukum di wilayah laut sampai kini masih mengalami berbagai kendala yang belum terselesaikan. Masing-masingstakeholder keamanan dan keselamatan laut melakukan fungsi penegakan hukum yang tidak terkoordinasi dengan baik dan meninggalkan permasalahan kepastian hukum bagi para pelaku usaha dan pengguna sarana transportasi laut. Penegakan hukum di laut yang masih bersifat sektoral karena banyak instansi yang berwenang dalam penegakan hukum di laut dengan berbagai dasar hukum yang dimilikinya dan berpotensi menimbulkan banyak permasalahan hukum, di antaranya tumpang tindih wewenang antar instansi penegak hukum yang menimbulkan konflik antar lembaga penegak hukum. Di samping itu, mekanisme sistem penegakan hukum yang meliputi penyidikan, penuntutan, dan peradilan juga belum terdefinisi jelas dalam peraturan perundang-undangan yang diatur tersendiri. Terlalu banyaknya jumlah instansi yang menangani masalah keamanan dan keselamatan laut membuat bingung para pengguna jasa di wilayah laut.       

(20)

Ketika salah satu lembaga berwenang melakukan pemeriksaan, lembaga lain yang memiliki kewenangan pada teritori tersebut merasa tidak perlu untuk memeriksa dan memilih melakukan pemeriksaan secara bersamaan. Akibatnya, timbul kerugian dari pengguna jasa, baik materiil maupun non-materiil yang menyebabkan terjadinya peningkatan biaya transportasi laut, menjadi lebih mahal. Permasalahan konflik kewenangan antar-penegak hukum di wilayah laut ditambah dengan permasalahan lain yang tidak kalah penting, menyangkut perizinan, bahkan sebagian besar pelanggaran yang terjadi di laut menyangkut soal perizinan, misalnya tindak pidana penangkapan ikan tanpa izin, berlayar tanpa izin, membawa hasil hutan tanpa izin, pencarian benda berharga tak berizin, menangkap dan membawa satwa yang dilindungi tanpa dokumen resmi atau tidak berizin dan kegiatan di perairan Indonesia tanpa izin.

Perizinan juga menghadapi kendalanya sendiri karena adanya pembagian kewenangan pengelolaan wilayah laut antara provinsi dan daerah kota/kabupaten, sehingga harus melakukan pengurusan perizinan di tingkat propinsi dan pengurusan perizinan di tingkat kota/kabupaten. Mengingat permasalahan tumpang tindihnya kewenangan penegakan hukum di laut dan rumitnya perizinan maka seharusnya penegakan hukum di laut dan proses perizinan dilakukan terpadu antar-berbagai instansi yang berwenang di wilayah laut dan tunduk pada undang-undang tersendiri, mengingat pelanggaran di laut merupakan tindak pidana yang memiliki kekhasannya sendiri (tindak pidana khusus) yang hanya terjadi di wilayah laut, memiliki kompleksitas dan tantangannya sendiri.

(21)

Berdasarkan ketentuan pasal 8 dan penjelasannya dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, mengisyaratkan dapat dibentuk Pengadilan Khusus sebagai diferensiasi/spesialisasi di lingkungan Peradilan Umum, yaitu Pengadilan Khusus terhadap tindak pidana di Perairan Indonesia, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan Landas Kontinen.Penting dan mendesaknya penyelenggaraan peradilan pidana laut yang dilakukan secara adhoc dengan membentuk badan khusus peradilan di bawah Badan Keamanan Laut (Bakamla), sebagaimana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatukan seluruh kasus pelanggaran hukum pidana di wilayah laut dari seluruh institusi yang memiliki wewenang penegakan hukum dalam proses peradilan tunggal di Bakamla.10

Tingginya pertimbangan kebutuhan kepastian hukum akan berdampak luas, karena melibatkan hubungan antarnegara. Pengadilan umum dinilai kurang kompeten menangani proses penegakan hukum di laut dan permasalahan yang khusus bersangkutan dengan keamanan dan keselamatan di laut, termasuk upaya mewujudkan penyelenggaraan peradilan yang sederhana, murah, dan cepat. Dengan menerapkan kekhususan dalam upaya penegakan hukum di wilayah laut maka permasalahan pengaturan keterlibatan berbagai institusi keamanan dan keselamatan di laut dalam sistem penegakan hukum dapat diatur secara lebih detail dan khusus sampai pada proses peradilan. Selanjutnya, penegakan hukum lebih dapat dioptimalkan dengan memastikan penanganan kasus pidana sederhana

      

10 Susanto,  Dicky  Rezady  Munaf.  (2015),  “Komando  dan  Pengendalian  Keamanan  dan  Keselamatan Laut” Berbasis Peringatan Dini. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 

(22)

ditangani masing-masing institusi, dan kasus-kasus besar ditangani di bawah supervisi langsung Bakamla. Terakhir, kepastian hukum lebih dapat dijamin. Para pelaku dan pengguna laut dan jasa transportasi laut memiliki kepastian segala sesuatu yang berkaitan dengan pidana kelautan, mendapatkan informasi sebagaimana yang diharapkan, dan mendapatkan kepastian proses hukum yang sedang dijalani.

Keberadaan Bakamla dimaksudkan untuk lebih mengefektifkan dan mengefisienkan tugas penegakan hukum di laut yang single agency multi task. Bakamla harus mampu mengelola kewenangan berbagai instansi penegakan hukum di laut untuk bekerja bersama melakukan pemeriksaan (on board).

Contoh, instansi A memeriksa dokumen kapal, instansi B muatan kapal, sesuai tugasnya. Misalnya, pemeriksaan muatan ikan di kapal oleh Departemen Kelautan dan Perikanan, pemeriksaan muatan kayu oleh Departemen Kehutanan atau pemeriksaan cukai oleh Bea Cukai dalam satu waktu, sehingga kapal yang diperiksa tidak mengalami penundaan terlalu lama.

Kebutuhan Bakamla yang single agency multi task dapat diwujudkan dengan diberlakukannya peraturan yang mengatur eksistensi Badan Keamanan Laut (Bakamla). Sistem penegakan hukum di wilayah laut harus memperjelas peran Bakamla dalam proses penegakan hukum, di antara instansi yang berwenang di wilayah laut, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan yang berwawasan maritim. Sistem penegakan hukum di wilayah laut juga mengatur tentang jenis pelanggaran pidana yang terjadi dan sanksi pidananya

(23)

sebagai akibat dari terjadinya pelanggaran hukum di laut yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Penyelidikan dan Penyidikan

Mengingat peran Bakamla sebagai lembaga yang diharuskan mampu mewujudkan penegakan hukum secara terpadu maka peran Bakamla adalah menyelenggarakan proses pemeriksaan dan penyidikan termasuk dengan menggunakan operasi patroli secara terpadu di bawah kendali Bakamla dengan berbagai instansi yang berwenang dalam penegakan hukum di laut, sehingga mampu mencegah instansi-instansi tersebut melakukan pemeriksaan secara terpisah. Keterlibatan Bakamla juga harus memastikan supervisi terhadap instansi berwenang untuk menindaklanjuti pelanggaran hukum berskala besar sampai proses peradilan dan diputus penaltinya.

b. Penuntutan dan Peradilan

Penuntutan dan proses peradilan dibentuk secara adhoc, yang harus diatur dalam ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Kelautan dengan mengedepankan asas penyelenggaraan peradilan murah, cepat, dan sederhana.

i. Asas biaya murah, berarti biaya penyelenggaraan peradilan ditekan, sehingga dapat dijangkau oleh para pencari keadilan dan menghindari pemborosan yang tidak perlu.

(24)

ii. Asas cepat menghendaki agar peradilan dilakukan secara cepat. Penyelenggaraan peradilan diharapkan dapat selesai sesegera mungkin dan dalam waktu yang singkat.

iii. Asas sederhana memiliki maksud bahwa dalam penyelenggaraan peradilan dilakukan dengan sederhana, singkat, dan tidak berbelit-belit.11

Dengan memastikan sistem penegakan hukum dan mekanismenya terakomodasi jelas dalam RUU Kelautan maka keteraturan dan ketertiban dalam upaya penegakan hukum di laut akan melahirkan kepastian hukum, menjamin keamanan dan keselamatan laut dalam rangka mendukung eksistensi laut Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, dan menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan kawasan laut Indonesia, termasuk pengembangan perekonomian dalam menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Pengesahan undang-undang kelautan ini dilakukan dalam sidang paripurna DPR RI, senin 29 september 2014 yang dipimpin oleh Sohibul Iman dan disetujui oleh semua fraksi. Kehadiran undang-undang kelautan memiliki makna penting karena undang-undang kelautan mempertegas kebijakan maupun peraturan yang ada, termasuk tata ruang laut nasional (zonasi) diatas 12 mil yang belum diatur dalam UU Pesisir No.1 tahun 2014. Selain itu UU Kelautan juga menegaskan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan, dimana sesuai konvensi hukum laut international tahun 1982, Indonesia memiliki kesempatan untuk memanfaatkan       

(25)

potensi maritim di laut lepas, selain di laut teritorial, wilayah yuridiksi maupun kawasan dasar laut. Setidaknya tercatat potensi ekonomi kelautan Indonesia diperkirakan mencapai US$ 1,2 triliun per tahun yang dibagi dalam empat kelompk sumber daya kelautan: renewable resources (perikanan, terumbu karang, mangrove, rumput laut, padang lamun); non-renewable resources (minyak, gas bumi, tambang, mineral); energi kelautan (gelombang laut, pasang surut, arus laut, panas laut); environmental services (transportasi, pariwisata, pertahanan dan keamanan).

Dengan adanya UU Kelautan tersebut menandakan bahwa UU inilah merupakan produk hukum pertama yang dihasilkan secara tripartit antara pemerinta, DPR, dan DPD serta menunjukkan bahwa Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki ciri nusantara dan maritime. Dengan UU ini diharapkan bahwa 23 subsektor yang terintegrasi dengan sistem kelautan dapat dikembangkan dan berjalan searah dengan tujuan dari undang-undang berikut.

B. Keamanan dan keselamatan pelayaran di laut Internasional 1. Historis pengaturan pelayaran laut internasional

Hukum Laut Internasional merupakan hukum yang essential didalam dunia internasional terlepas dari kompleksnya pengaturan yang memerlukan segala hal dalam aturannya dikarenakan oleh luasnya faktor yang dicakup dalam pelayaran laut, maka dengan begitu kita tentu telah mengetahui dasar dari hukum laut internasional tersebut terdiri dari :

(26)

a. Res nullius, berpendapat bahwa laut sebagai ranah tak bertuan, atau kawasa yang tidak ada pemiliknya. Karena tidak ada pemiliknya, maka laut dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing Negara.

b. Res communis, berpendapat bahwa laut adalah milik masyarakat dunia, karena itu tidak dapat diambil dan dimiliki secara individual oleh Negara-negara. Sebagai milik bersama, maka laut harus dipergunakan untuk kepentingan semua Negara, dan pemanfaatannya terbuka bagi semua Negara. Ini sesuai dengan pendapat Ulpian yang menyatakan bahwa “the sea is open to everybody by nature”, dan Celcius yang menyatakan “ the sea like the air, is common to all mankind”. 12

Dalam pelaksanaannya, kedua teori tersebut tidak dapat diterapkan secara kaku. Keduanya saling melengkapi, yakni dalam batas-batas tertentu dapat dimiliki, tetapi dibatasi sampai jarak tertentu ini dapat dilihat dalam praktik yang dianut Negara-negara sejak dahulu sampai sekarang. Berikut adalah timeline pengaturan hukum laut internasional selengkapnya :13

a) Zaman sebelum Romawi

Punisia kuno, sebuah kerajaan sebelum zaman Romawi menganggap laut yang mereka kuasai sebagai milik Negara mereka. Paham ini juga dianut oleh bangsa Persia, Yunani dan Rhodia. Di zaman Rhodia, hokum laut telah mulai berkembang, yang kemudian menjadi dasar bagi Hukum Romawi tentang laut.       

12 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, cetakan keempat, BPHN, CV. Trimitra  Mandiri, Jakarta, 1999. 

(27)

b) Zaman Romawi

Setelah perang Punis III Romawi telah menjadi penguasa tunggal di Laut Tengah. Laut Tengah kemudian dianggap oleh orang-orang Romawi sebagai “danau” mereka. Dalam melaksanakan kekuasaannya di laut tersebut banyak tanda yang menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Romawi laut bias dimiliki. Orang Romawi memandang laut sebagai “public property” yakni sebagai milik Kerajaan Romawi.

c) Setelah Zaman Romawi

Setelah zaman Romawi terdapat banyak Negara di sekitar Laut Tengah yang merupakan pecahan dari Kerajaan Romawi. Negara-negara ini menuntut laut yang berdekatan dengan pantai mereka sebagai wilayah mereka. Karena itu masa ini dipandang sebagai awal dari berkembangnya konsep laut wilayah.

Tuntutan atas kepemilikan laut ini misalnya dilakukan oleh: Venesia yang menuntut sebagian besar Laut Adriatik. Tuntutan ini diakui oleh Alexander III pada Tahun 1117. Di kawasan ini Venesia memungut kepada setiap kapal yang melewati kawasan laut Adriatik, Genoa menuntut Laut Liguarian dan sekitarnya, dan Pysa menuntut dan melaksanakan kedaulatannya atas laut Tyraania. Tuntutan-tuntutan itu cenderung menimbulkan penyalahgunaan hak oleh Negara-negara tersebut (misalnya memungut biaya pelayaran). Untuk mengatasi hal ini, para penulis pada waktu itu membatasi tuntutan tersebut sampai batas tertentu saja. Misalnya, Bartolus, Solorzan dan Cosaregis membatasi laut Negara pantai itu sampai 100 mil Italia (pada waktu itu = 1480 m). Baldus, Bodin dan Targa

(28)

membatasinya sampai 60 mil, Loccanius membatasinya sampai batas yang diinginkan oleh Negara pantai tanpa merugikan negara tetangganya.

d) Zaman Portugal dan Spanyol

Jatuhnya Constantinopel ke tangan Turki pada tahun 1443, menyebabkan bangsa Portugis mencari jalan laut lain ke timur menuju Indonesia melalui Samudera Hindia. Selain itu, Portugal juga menuntut Laut Atlantik sebelah selatan Maroko sebagai wilayah mereka. Bersamaan dengan ini Spanyol sudah sampai di Maluku melalui Samudera Pasifik, dan menuntut Samudera ini bersama dengan bagian Barat Samudera Atlantik dan Teluk Mexico sebagai kepunyaan mereka. Tuntutan kedua Negara ini diakui oleh Paus Alexander VI, yang membagi dua lautan di dunia menjadi dua bagian dengan batas garis meridian 100 leagues (lk. 400 mil laut) sebelah Barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut (Samudera Atlantik Barat, Teluk Mexico dan Samudera Pasifik) menjadi miliki Spanyol, dan sebelah Timur (Atlantik sebelah Selatan Maroko, dan Samudera Hindia) menjadi milik Portugal. Pembagian ini kemudian diperkuat dengan perjanjian Tordissilias antara Spanyol dan Portugis (1494) dengan memindahkan garis perbatasannya menjadi 370 leagues sebelah Barat Pulau0pulau Cape Verde di pantai Barat Afrika. Sementara itu, Swedia dan Denmark menuntut kedaulatan atas Laut Baltik, dan Inggris atas Narrow Seas, dan Samudera Atlantik dari Cape Utara sampai ke Cape Finnistere,3 atau laut di sekitar kepulauan Ingrris (Mare Anglicanum).4 dan untuk melaksanakan kedaulatannya atas laut-laut tersebut, pada abad ke-17 Inggris memaksa orang-orang asing untuk mendapat lisensi

(29)

Inggris untuk melakukan penangkapan ikan di Laut Utara, dan ketika dalam 1636 Belanda mencoba menangkap ikan, mereka diserang dan dipaksa mebayar 30.000 found sebagai harga kegemaran (the price of indulgence).

e) Zaman Belanda

Tuntutan kedaulatan atas Samudera Pasifik, Atlantik, dan Hindia oleh Portugal dan Spanyol serta kedaulatan atas Mare Anglicanum oleh Inggris dirasa sangat merugikan Belanda di bidang pelayaran dan perikanan. Di bidang pelayaran Belanda sudah sampai di Indonesia melalui Samudera Hindia pada tahun 1596, dan mendirikan Verenigde Oost Indische Compgnie (VOC) pada tahun 1602. Penerobosan melalui Samudera Hindia ini langsung berbenturan dengan kepentingan dan tuntutan Portugal. Di bidang perikanan orang-orang Belanda selama berabad-abad telah menangkap ikan di sekitar perairan Mare Anglicanum, dan kegiatan ini telah dijamin oleh berbagai perjanjian antara kedua Negara. Untuk memperkuat dalil penentangannya atas kepemilikan laut, Belanda berusaha mencari dasar-dasar hokum yang menyatakan laut adalah bebas untuk semua bangsa. Untuk kepentingan ini Belanda menyewa Hugo de Groot, seorang ahli hokum untuk menulis sebuah buku yang membenarkan pendirian Belanda, shingga orang-orang Belanda dapat bebas berlayar ke Indonesia. Hasilnya, Grotius menyusun sebuah buku dengan judul “Mare Liberum”. Buku ini menguraikan teori kebebasan lautan dalam arti bahwa laut bebas bagi setiap orang, dan tak dapat dimiliki oleh siapa pun. Teori Grotius mendapat tentangan dari banyak penulis seangkatannya. Gentilis misalnya membela tuntutan Spanyol

(30)

dan Inggris dalam bukunya “Advocatio Hispanica” yang diterbitkan setelah ia meninggal, tahun 1613. Pada tahun yang sama William Wellwood membela tuntutan Inggris dalam bukunya “de Dominio Maris”.njohn Seldon menulis Mare Clausum sive de Domino Marsnya pada tahun 1618 dan terbit pada tahun 1635. Paolo Sarpi menerbitkan “Del Dominio del mare Adriatico” 1676 untuk membela tuntutan Venesia atas laut lautan Adriatik. Yang terpenting dari buku-buku yang membela kepentingan kepemilikan atas laut adalaah Mare Clausum Shelden. Karya ini diperintahkan untuk diterbitkan pada tahun 1635 pada masa raja Charles I, yang meminta agar penulis Mare Liberium dihukum. 6. Inggris Pada mulanya, sebelum tahun 604 Inggris menganut faham kebebasan lautan. Faham ini dianut terutama untuk menghadapi tuntutan Denmark atas kebebasan di laut Utara.. namun dalam tahun 1604 Charles I memproklamirkan “King Chamber Area” yang meliputi 26 wilyayah di sepanjang dan sekitar lautan Inggris (Mare Anglicanum) sebagai wilayah kedaulatan Inggris. Di daerah-daerah ini, diantaranya ada yang melebihi 100 mil, Charles I melarang kapal-kapal nelayan asing menangkap ikan di kawasan tersebut. Tuntutan ini ditentang oleh Belanda dalam perkembangan selanjutnya, umum diterima bahwa Negara-negara dapat memiliki jalur-jalur laut yang terletak di sekitar atau di sepanjang pantainya, dan di luar jalur-jalur tersebut dianggap bebas bagi semua umat manusia. Beberapa jalur laut yang dapat dimiliki tidak sama untuk semua Negara, dan ini tergantung pada jenis dan fungsi jalur-jalur tersebut. Lebar laut untuk kepentingan perikanan misalnya, tidak sama dengan untuk kepentingan netralitas, pengawasan pabean dan kepentingan yurisdiksi perdata, pidana dan lain-lain.

(31)

f) Tahapan-tahapan Pelaksanaan Konferensi Hukum Laut

a. Konferensi Kodifikasi Den Haag Tahun 1930 Salah satu masalah Hukum Internasional yang dibicarakan dalam konferensi ini adalah perairan teritorial (territorial water). Walaupun di dalam konferensi ini belum diperoleh kesepakatan mengenai lebar laut territorial (laut wilayah), Namun demikian, sudah ada rekaman hukum atau kejadian di dalam praktek bernegara mengenai batasan wilayah laut,. Konferensi Internasional utama yang membahas masalah laut teritorial ialah “codificationconference” (13 Maret – 12 April 1930) di Den Haag, di bawah naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara. Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara), dan4 mil. Konferensi ini menetapkan :

i. Wilayah negara yang meliputi jalur laut disebut Laut Teritorial. Wilayah negara pantai meliputi ruang udara di atas laut territorial, dasar laut dan tanah dibawahnya yang dikenal dengan istilah tiga demensi laut teritorial. Khusus batasan ruang udara, dikenal teori grafitasi, yaitu benda yang masih jatuh ke bawah, masih masuk ke dalam wilayah ruang udara/angkasa negara tersebut.

ii. Hak Lintas Damai, pada prinsipnya kapal asing boleh masuk, melintas wilayah laut asal tidak membuang jangkar,

(32)

mencemarkan lingkungan, menyelundup, dan lain-lain yang dapat menimbulkan keadaan tidak damai (the right of innocence)

iii. Yurisdiksi criminal dan sipil atas kapal-kapal asing

iv. Pengejaran seketika (hot pursuit) bila melanggar Sesudah Perang Dunia Kedua (tahun 1945).

Sesudah perang dunia kedua, ada 2 (dua) hal yang dipermasalahkan, yaitu :

g) Proklamasi Presiden Amerika Serikat tahun 1945 (Truman)

Continental shelf (landas continental) menjadi bagian wilayah laut negara yang bersangkutan. Tujuannya untuk mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut (seabed) dan tanah di bawahnya (subsoil) yang berbatasan dengan dan gas bumi. Continental shelf dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah daratan, sehingga kekuasaan untuk mengaturnya ada pada negara pantai yang berbatasan dengan daratan kontenen yang bersangkutan. Penggunaan wilayah ini tidak untuk mengganggu pelayaran bebas melalui perairan di atasnya yang tetap sebagai status laut lepas. Dengan adanya Proklamasi Presiden Amerika Serikat, Truman ini , walaupun dianggap tindakan sepihak Amerika Serikat, tetapi membawa akibat yang besar atas perkembangan hukum laut internasional, karena banyak diikuti oleh negara-negara lain. Proklamasi Truman ini mendorong untuk diadakannya konferensi hukum laut di Jenewa tahun 1958 guna menentukan batas-batas dan isi yang pasti dari continental shelf . Walaupun Perikanan tidak sepenting dengan continental self, tetapi dari

(33)

sudut adanya kebebasan menagkap ikan di laut lepas merupakan contoh pemanfaatan hak suatu negara menyangkut Perikanan di luar batas laut teritorialnya. Suatu monument sejarah yang terjadi pada tahun 1951, yaitu sengketa antara Inggeris dan Norwegia tentang pemilikan dan pemanfaatan laut. Norwegia menetapkan batas wilayah laut dengan cara straight baselines (garis pangkal lurus). Inggris menggugat pada Mahkamah Internasional mengenai keabsahan penetapan batas Perikanan exclusif yang ditetapkan sepihak oleh Norwegia tahun 1935 sebagai hukum internasional. Gugatan Inggeris bukan lebar laut yang ditetapkan Norwegia sepanjang 4 mil, tetapi cara penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada pantai Norwegia (straight baselines). Keputusan Mahkamah Internasional ini menolak gugatan Inggeris dan menyatakan bahwa cara penarikan garis pangkal lurus oleh Norwegia dapat dibenarkan sebagai penetapan dari suatu kaidah Hukum Internasional yang berlaku umum pada suatu keadaan khusus. Keputusan Mahkamah Internasional ini menjadi salah satu sumber hukum internasional (yurisprudensi)

h) Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 tentang Hukum Laut

Sebagaimana halnya Amerika Serikat, yang membuat hukum laut secara sepihak melalui proklamasi Presiden Truman tentang continental self dan Norwegia yang menetapkan straight baselines, Indonesia setelah Perang Dunia ke dua, yaitu tahun 1957 juga tidak ketinggalan membuat Deklarasi yang dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 tentang

(34)

Hukum Laut. Hal ini dilakukan karena ketentuan peninggalan Belanda Kringen Ordonansi 1939 mengenai perairan Indonesia, dianggap bisa berbahaya sebagai negara kepulauan, karena masing-masing pulau mempunyai laut sendiri yang disebut perairan Nusantara, sehingga perairan antara pulau adalah laut lepas

Dengan demikian, pertimbangan deklarasi Djuanda adalah :

a. Bila diantara pulau-pulau terdapat laut bebas, maka Indonesia tidak dapat melakukan kedaulatannya secara penuh di perairan Indonesia.

b. Dapat membahayakan integritas negara kesatuan Republik Indonesia. Deklarasi Djuanda, merupakan strategi Indonesia dan mengandung 4 (empat) hal, yaitu :

i. Seluruh kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan dan laut antara pulau-pulau Indonesia dianggap perairan pedalaman. ii. Lalulintas damai bagi Kapal asing dimungkinkan diperairan

pedalaman (hak lintas damai = right of innocence passage),asal tidak berhenti, membuang jangkar, membuang limbah, mondar-mandir

iii. Lebar laut wilayah Indonesia adalah 12 mil laut

iv. Penentuan lebar laut wilayah diukur dari garis yang menghubungkan titik pulau-pulau terluar.

i) Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut I tahun 1958 (UNCLOS I)

(35)

Setelah perdebatan panjang dan tidak menemukan kata kesepakatan diantara negara-negara yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka PBB yang sebelumnya bernama Liga Bangsa-Bangsa mengadakan konferensi hukum laut pertama pada tahun 1958 dan konfrensi hukum laut yang kedua pada tahun 1960 yaitu yang lebih dikenal dengan istilah UNCLOS 1 dan UNCLOS 2. Dalam konferensi hukum laut pertama ini melahirkan 4 buah konvensi, dan isi dari konvensi Unclos pertama ini adalah :

a. Konvensi tentang laut teritorial dan jalur tambahan (convention on the territorial sea and contiguous zone) belum ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan di UNCLOS II

b. Konvensi tentang laut lepas (convention on the high seas)

c. Konvensi tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumber hayati di laut lepas (convention on fishing and conservation of the living resources of the high sea)

d. Konvensi tentang landas kontinen (convention on continental shelf). Konvensi ini telah disetujui. 14

Pada tanggal 17 Maret – 26 April 1960 kembali dilaksanakan konferensi hukum laut yang kedua atau UNCLOS II, membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi. 4. Konferensi Hukum Laut UNCLOS II tahun 1960 dan UNCLOS III tahun 1982 Pada pertemuan konfrensi       

14 Koers,  A.W.,  1994.  Konvensi  Perserikatan  Bangsa  Bangsa  tentang  Hukum  Laut,  Suatu  Ringkasan, Cetakan II, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 

(36)

hukum laut kedua, telah disapakati untuk mengadakan kembali pertemuan untuk mencari kesepakatan dalam pengaturan kelautan maka diadakan kembali Konferensi Hukum Laut PBB III atau Unclos III yang dihadiri 119 negara.

Setelah menjalani 12 kali sidang konferensi UNCLOS sejak tahun 1973 sampai 1982, dalam mencapai hasil yang diharapkan, yang dimulai dengan suatu sidang pertama “keorganisasian” pada tahun 1973 dan berakhir pada pengesahan naskah akhir konvensi dan penanda tanganannya di Montego Bay tanggal 10 desember 1982, oleh 118 negara. Catatan resmi mengenai prosedur pengesahan, dan keputusan-keputusan yang tercapai pada tiap tahapan, dimuat-ulang dalam Final Act UNCLOS yang juga ditandatanggani pada tanggal yang sama. Hasil pertemuan UNCLOS III Secara garis besar memuat beberapa hal penting, yaitu :

a. Negara-negara pantai memiliki kedaulatan teritorial sampai 12 mil, tetapi kapal-kapal asing diizinkan melakukan lintas damai melalui perairan tersebut

b. Kapal dan pesawat udara dari semua negara diizinkan melakukan lintas transit melalui selat yang dipergunakan bagi pelayaran internasional, negara-negara yang terletak di sepanjang selat bias mengatur navigasi dan segi-segi lintas lainnya

c. Negara-negara kepulauan adalah negara yang terdiri dari satu kelompok atau kelompok-kelompok pulau yang saling berhubungan memiliki kedaulatan atas laut wilayah yang tertutup oleh garis selat dari kepulauan tersebut; negara lain berhak melakukan lintas di garis yang ditetapkan

(37)

d. Negara-negara pantai memiliki hak berdaulat atas zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil laut dalam hubungannya dengan sumber-sumber alam dan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu, dan juga memiliki yurisdiksi atas riset ilmiah kepulauan dan perlindungan lingkungan. Negara-negara lain memiliki kebebasan penerbangan di atas kawasan tersebut serta kebebasan meletakkan kabel bawah laut dan jaringan pipa. Negara-negara yang hanya dikelilingi daratan dan letak geografisnya tidak menguntungkan memiliki kesempatan turut mengeksploitasi bagian penangkapan ikan berdasarkan prinsip sederajat bila negara pantai tidak dapat melakukannya sendiri. Spesies ikan yang tingkat perpindahannya tinggi dan binatang-binatang laut menyusui akan dilindungi secara khusus.

e. Negara-negara pantai memiliki hak berdaulat atas eksploitasi dan eksplorasi landas kontinen. Landas kontinen ini sekurangnya 200 mil dari garis pangkal, dan dalam keadaan tertentu dapat lebih jauh. Negara-negara pantai berbagi dengan masyarakat internasional dari bagian yang mereka peroleh dari pengelolaan sumber kekayaan alam yang berasal dari dasar laut dalam yang berada di luar batas 200 mil. Komisi mengenai batas-batas Landas Kontinen akan memberikan rekomendasi kepada negara-negara mengenai batas di luar zona ekonomi eksklusif (ZEE).

f. Semua negara menikmati kebebasan pelayaran tradisional, lintas penerbangan, penelitian ilmiah dan penagkapan ikan di laut bebas, dan wajib bekerjasama dengan negara-negara lain untuk mengelola dan melestarikan sumber-sumber hayati.

(38)

g. Laut wilayah, ZEE dan landas kontinen dari kepulauan akan ditentukan sesuai dengan ketentuan yang bias diterapkan atas wilayah daratan, tetapi karang tak dapat menampung habitat manusia atau kehidupan ekonomi mereka sendiri, tidak memiliki ZEE dan landaus kontinen

h. Negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup diharapkan bekerjasama dalam pengelolaan sumber-sumber daya hayati dan dalam kebijakan dan kegiatan lingkungan dan penelitian

i. Negara-negara yang dikelilingi hanya oleh daratan memiliki hak akses dari laut, dan bebas melakukan transit melalui negara-negara transit;

j. Semua kegiatan eksploitasi dan eksplorasi di wilayah dasar laut internasional berada di bawah kekuasaan Otoritas Dasar Laut Internasional (International Seabed Authority) yang akan dibentuk berdasarkan Konvensi Hukum Laut ini. Otoritas ini akan diberi wewenang untuk melaksanakan operasi pengembangaannya sendiri melalui badan operasionya, Enterprise, dan juga melaksanakan kontrak dengan perusahaan-perusahaan swasta dan negara-negara untuk memberikan kepada mereka hak penambangan di wilayah tersebut sehingga mereka dapat beroperasi sejalan dengan Otoritas tersebut. generasi penambang dasar laut pertama, pioneer investor, akan memiliki jaminan produksi jika wewenang itu sudah diberikan.

k. Negara-negara terikat untuk mencegah dan mengendallikan pencemaran laut dan dapat dituntut atas kerusakan yang disebabkan oleh pelanggaran kewajiban-kewajiban mereka untuk memerangi pencemaran seperti itu.

(39)

l. Semua penelitian ilmiah ZEE dan landas kontinen harus disetujui oleh negara-negara pantai, tetapi dalam banyak hal kegiatan seperti itu akan memperoleh persetujuan jika penelitian ini dilakukan untuk tujuan damai dan memenuhi kriteria tertentu

m. Negara-negara terikat untuk menggalakkan pembangunan dan alih teknologi laut “berdasarkan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang adil dan masuk akal” dengan memperhatikan secara seksama semua kepentingan yang sah;

n. Negara-negara berkewajiban menyelesaikan sengketa mereka secara damai sejauh menyangkut penafsiran atau penerapan Konvensi; sengketa dapat diajukan kepada Pengadilan International untuk Hukum Laut (International Tribunal for the Law of the Sea) yang akan dibentuk berdasarkan Konvensi Hukum Laut ini, kepada Mahkamah Internasional, atau kepada badan arbitrasi. Juga dapat dilakukan melalui konsiliasi, dan dalam keadaan tertentu kepatuhan kepada konsiliasi merupakan keharusan.

Referensi

Dokumen terkait

Generator didesain menggunakan rotor pada motor induksi yang telah dimodifikasi dengan mengunakan 10 pasang magnet permanen jenis neodymium dengan dimensi magnet 20 x 15

Menurut Mulyani (2009: 28), terjemahan inggih menikå ngéwahi båså saking basaning teks utawi båså sumber-ipun dhatêng båså sasaran-ipun utawi båså ingkang sampun

Jum'at, 22 Januari 2016 19.00 WIB s.d 22.00 WIB Menghadiri Siaran Langsung (Live Streaming) Malam Tasyakuran dalam rangka HAB Kemenag ke-70 Kemenag Prov.Sumsel Ruang Rapat Kanwil

Selain dijadikan campuran abon, menurut Prof Dr Ir Imas Siti Setiasih SU dari Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, koro pedang

Berdasarkanpembahasan pada bab-bab sebelumnya disimpulkan bahwa dalam novel The Guardian ditemukan jenis-jenis penolakan dalam ujaran langsung dan tidak langsung

[r]

Hasil : setelah dilakukan terapi sebanyak kali didapatkan hasil adanya penurunan spasme dengan palpasi yaitu pada m.upper trapezius, penurunan spastisitas

Telex persetujuan penerbitan Visa dari Direktorat Jenderal Imigrasi di Jakarta ( Khusus untuk pemohon Visa Tinggal Terbatas, dan bagi Warga Negara dari Negara yang memerlukan