• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. terutama karena wilayah paparan dampak letusan yang sangat luas. Dalam beberapa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. terutama karena wilayah paparan dampak letusan yang sangat luas. Dalam beberapa"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Letusan gunung Kelud pada 14 Februari silam terasa sangat mengejutkan, terutama karena wilayah paparan dampak letusan yang sangat luas. Dalam beberapa jam saja, abu vulkanik sudah terbang ratusan kilometer menjangkau Daerah Istimewa Yogyakarta. Sepagian, pembicaraan yang muncul memuat kekagetan atas “serbuan kilat” dari gunung kelud, bahkan seolah memanggil kembali ingatan atas letusan dahsyat gunung merapi empat tahun silam. Letusan gunung kelud seakan menjadi salah satu bagian kisah panjang “kebencanaan” di Indonesia.

Sifat ketidakpastian dalam konteks bencana alam jauh lebih kuat dibandingkan kecelakaan atau bencana yang diakibatkan tindakan manusia, bahwa bencana alam bisa terjadi tiba-tiba dan bahkan tidak terprediksi sama sekali. Ketidakmampuan mengendalikan atau mengontrol kapan atau dimana terjadinya bencana tentu menghadirkan situasi ketidakpastian (uncertainty) di masyarakat. Terkait diskusi tentang bahaya, tentu tidak dapat melepaskan kata “resiko” didalamnya.

Resiko sering dianggap sebagai kemungkinan seseorang akan mengalami efek bahaya. Tentu tidak mudah mengambil generalisasi atas penilaian resiko, karena ketidakpastian sebagai unsur dasar resiko tidak terikat pada sifat fisik atau materi. Ketidakpastian dalam konstrak psikologis diasumsikan menjadi mediator penting atas berbagai bentuk respon manusia dalam situasi yang hasilnya tidak dapat diketahui (Sjöberg, 2003). Mearns dan Flin (1995) menyebutkan bahwa seseorang sebenarnya

(2)

belum tentu merasakan "resiko" sesungguhnya, namun lebih pada adanya kendala dalam mengambil keputusan yang menimbulkan perasaan bahaya atau tidak aman.

Suatu keadaan/kejadian dianggap sebagai beresiko dan penilaian atas besaran resiko bergantung pada persepsi resiko, yang dipahami sebagai kemungkinan atau probabilitas suatu kecelakaan akan terjadi dan seberapa peduli kita dengan konsekuensi yang dimunculkan. Wogalter, DeJoy dan Laughery (1999) menggambarkan persepsi resiko sebagai gagasan terhadap kesadaran akan keselamatan, kesadaran dan pengetahuan tentang bahaya, kemungkinan, dan kemungkinan potensial dari suatu situasi atau keadaan yang berpotensi bahaya.

Salah satu pendekatan dalam memahami persepsi resiko yakni paradigma psikometrik. Asumsi yang penting dalam pendekatan psikometri adalah bahwa resiko secara inheren adalah subyektif. "Resiko tidak ada 'di luar sana', independen dari pikiran dan budaya kita, dan menunggu untuk diukur" (Slovic, 1992). Kajian paradigma psikometri banyak berbicara tentang bagaimana sifat-sifat personal berkontribusi terhadap tingkatan persepsi resiko, seperti perasaan (Sjoberg, 2007), kepercayaan terhadap otoritas (Siegrist & Cvetkovich, 2000), kepercayaan terhadap komunitas (Paton, 2007), pengetahuan dan pengalaman (Bateman, Georgiou, Day & Langford, 2000) dan ciri kepribadian (Rundmo, Moen & Sjöberg, 2004; Gulliver & Begg, 2007). Paradigma psikometri meyakini dengan penggunaan desain dan instrumen yang tepat maka faktor-faktor persepsi resiko dapat diukur, sekaligus mengungkap perbedaan karakter persepsi resiko antar kelompok (Slovic, 1992).

Beragam atribut personal yang dapat berkontribusi terhadap persepsi resiko ternyata belum sepenuhnya mampu mengupas dinamika persepsi resiko. Hal tersebut melatari pertanyaan “adakah hal lain yang bisa menumbuhkan persepsi

(3)

resiko di luar unsur internal dalam diri?” (Carlin, Somma & Mayberry, 2008). Mearns dan Flin (1995) mungkin bisa memberikan jawaban, yakni persepsi resiko sebenarnya juga menggambarkan keyakinan, sikap, penilaian dan perasaan tentang bahaya dalam konteks sosial dan budaya secara khusus. Hal itu ditegaskan pula oleh Joffe (2003), dengan menyebut bahwa persepsi resiko merupakan entitas yang sangat sosial, emosional dan simbolis. Resiko merupakan fenomena yang dikonstruksi secara sosial, oleh sebab itu struktur relasi yang menjelaskan posisi, peran dan ruang lingkup individu dalam kehidupan sehari-harinya juga harus diletakkan dalam kerangka analisis.

Ketika seseorang memahami sebuah fenomena, kekayaan informasi serta pengaruh-pengaruh eksternal menjadi salah satu kunci utama acuan penilaian. Selain melihat muatan dan kekuatan penyampai informasi, posisi dan peran individu dalam struktur sosial punya peran krusial (Borgatti, 2009). Informasi dan pengaruh tersebut akan memiliki nilai, makna dan kekuatan yang berbeda tergantung dari siapa yang menyampaikan, kekuatan penyampai, dan posisi individu yang menerima pengaruh. Variasi yang muncul belum tentu mengarah pada ciri khas individual, tapi lebih kepada posisi dan alur referensi yang ditarik oleh individu (Marin & Wellman, 2010).

Burt (1987) dalam contagion theory menjelaskan bahwa persepsi resiko individu dipengaruhi oleh persepsi orang lain dalam jaringan komunikasinya, kesamaan persepsi berkaitan dengan frekuensi dan alur komunikasi antara aktor. Individu dalam posisi dan struktur yang serupa dapat membangun penilaian yang sama terhadap sebuah fenomena, sedangkan individu dengan posisi berbeda bisa memiliki penilaian berbeda karena perbedaan jalur komunikasi, sumber referensi maupun peran berbeda. Pertukaran gagasan dan pengetahuan antar individu dalam

(4)

sebuah jaringan sosial melalui hubungan antar aktor sangat membantu dalam mengelola dan menafsirkan ketidakpastian, yang selanjutnya mendasari persepsi resiko (Borgatti & Foster, 2003). Perspektif yang dipaparkan di atas menjelaskan bagaimana persepsi resiko dipahami melalui analisis jaringan sosial (Sosial Network Analysis

Analisis jaringan sosial (Sosial Network Analysis) bersandar pada pemahaman bahwa manusia adalah interdependen, memiliki ketergantungan besar terutama terhadap lingkungan dan konteks sosial tempatnya berada, berperan, berposisi yang tertuang dalam pola relasinya. Manusia bahkan dapat memunculkan atribut yang berbeda ketika diletakkan dalam konteks yang berbeda. Selanjutnya pertanyaan yang muncul dalam struktur jaringan sosial dapat kita analogikan misalnya ”Siapa yang menerima informasi tentang resiko? dari siapa informasi itu bersumber? dimana posisi A dalam jaringan sosialnya? siapa yang menyampaikan informasi kepada si-A?”. Pertanyaan-pertanyaan analisis jaringan sosial di atas menekankan pada satu proses utama, yakni mengalirnya informasi antar individu atau bisa disebut sebagai aktor dalam sebuah jaringan. Arus informasi tidak hanya memuat siapa yang menjadi sumber, siapa yang terlewati atau seberapa rumit proses didalamnya, namun juga menegaskan posisi dan peran seseorang dalam konteks sosialnya. Arus komunikasi beserta muatannya tidak berjalan begitu saja kepada semua aktor dalam jaringan, artinya tidak semua orang atau aktor bisa mengakses informasi serupa.

Misalnya dalam memahami posisi sentral dalam jaringan sosial, adanya relasi (dengan banyak aktor lain), pengaruh dan aksesibilitas informasi karena kedekatan dengan aktor penting lainnya, tentu secara tidak langsung menempatkan aktor tersebut dalam posisi kunci. Sentral tidak semata-mata menjelaskan banyaknya

(5)

hubungan, namun peran strategis yang dapat digali aktor atas dasar posisinya dalam jaringan. Aktor sentral akan memiliki kemampuan mendapatkan, menyampaikan bahkan mengolah informasi dalam jaringan, hal ini menjelaskan kenapa posisi sentral dalam jaringan menjadi indikator prestise dan kekuasaan (Wasserman & Faust, 1994).

Arus informasi (information flow) dalam jaringan sosial, diulas oleh Daly dan Haahr (2009) menggunakan komponen analisis jaringan sosial (Social Network Analysis) dalam kerangka sentralitas. Stead, Polunin dan Turner (2014) menempatkan sentralitas sebagai kunci utama mengungkap arus informasi dalam jaringan. Sentralitas tinggi artinya terdapat peran aktif aktor dalam menyebarkan informasi, bisa mengalirkan informasi dengan cepat dalam jaringan (Reed, Prell & Hubacek, 2009).

Freeman (1978) mengenalkan tiga unsur dasar dalam jaringan, yang mampu mendefinisikan posisi dan peran aktor di dalamnya, yakni aktivitas, kontrol dan independensi. Aktivitas dalam jaringan terbagi dalam dua indikator utama, yakni In-degree dan out-In-degree centrality, yang secara khusus menunjukkan banyaknya aktivitas komunikasi yang masuk dan keluar dari aktor (Stead, dkk., 2014; Valente & Costenbader, 2003; Reed, dkk., 2009). Kontrol dalam jaringan dapat diartikan sebagai seberapa banyak interaksi antara aktor lain yang bisa diperantarai oleh aktor. Ketika seorang aktor secara strategis berada dalam jalur komunikasi yang menghubungkan aktor lain, maka dapat dikatakan aktor tersebut memiliki kontrol, yang terepresentasikan dalam betweenness centrality (Freeman (1978). Posisi sentral aktor dalam jaringan diartikan pula bahwa aktor tersebut tidak bergantung pada aktor lain, artinya aktor tersebut memiliki akses untuk menjangkau aktor lain yang

(6)

menjadi sumber informasi dalam jaringan, atau sebaliknya mampu menjangkau aktor lain ketika menyampaikan informasi. Independensi aktor tersebut menurut Leavitt (Freeman, 1978) dapat diungkap dari indeks kedekatan aktor dalam jaringan (closeness centrality).

Selain tiga unsur dasar jaringan yang disampaikan Freeman, Bonacich (1987) mengajukan konsepsi tentang kekuatan yang dimiliki aktor dalam jaringan sebagai determinan utama peran seorang aktor. Kekuatan aktor tidak hanya dilihat dari banyak relasi langsung atau kedekatan dengan aktor lain, namun dengan siapa aktor menjalin relasi. Konsepsi tersebut dituangkan Bonacich (1987) dalam kalkulasi eigenvector centrality. Semakin tinggi nilai eigenvector centrality, maka semakin tinggi kekuatan pengaruh aktor terhadap aktor lain dalam jaringannya.

Maka selanjutnya penelitian ini menempatkan bentuk-bentuk implikasi sentralitas jaringan yakni; aktivitas, kontrol, independensi dan pengaruh aktor untuk mengurai peran dan posisi aktor (individu) dalam jaringan-nya. Keempat variabel tersebut tidak hanya penting, namun juga menggambarkan kemampuan aktor untuk menerima, menjangkau dan menyampaikan informasi dalam jaringan sosialnya.

Proses penyampaian informasi itu sendiri juga menyertakan atribut lain dalam jaringan, yakni soal kepercayaan. Trust atau kepercayaan ditengarai juga mampu memberikan kontribusi terhadap persepsi resiko, misalnya dalam kajian Siegrist dan Cvetkovich (2000) mendapati korelasi sebesar -0,27 antara kepercayaan terhadap otoritas dan persepsi resiko. Tingkat kepercayaan terhadap seseorang akan menentukan sekiranya informasi apa yang tepat dan pantas diberikan.

Keberadaan kepercayaan tentu berkait erat dengan situasi, kondisi, ataupun sesuatu yang memuat ketidakpastian, atau mengandung resiko didalamnya.

(7)

Kepercayaan dapat muncul sebagai reduktor atas potensi resiko yang bisa dihadapi, dengan menempatkan perkiraan atau harapan akan hal-hal positif dari orang/pihak lain. Kepercayaanlah yang menjadikan seseorang mau menerima resiko dari orang/pihak lain atau menganggap suatu hal sebagai beresiko tinggi atau rendah berdasarkan preferensi dari orang-orang yang dipercayainya. Kepercayaan terhadap seseorang terbangun berlandaskan relevansi antara muatan informasi dengan bangunan kepercayaan antar individu. Upaya individu untuk mencari relevansi materi (informasi) dapat mengacu pada bagaimana orang lain bereaksi, merespon atau menindaklanjuti isu/materi yang disampaikan (Luo, 2005).

Kepercayaan spesifik tentu menjadi hal rumit untuk digali ketika kita dihadapkan pada kompleksitas situasi sosial, Yamagishi, T (1989) mengajukan konsepsi tentang kepercayaan sosial, yang tidak mengarah pada individu atau kelompok tertentu, namun lebih terhadap orang-orang, lingkungan atau konteks yang melingkupi seseorang. Kepercayaan sosial menjadi modal, ketika dihadapkan pada situasi yang benar-benar anonim dan bahkan ambigu, seseorang akan bersandar akan keyakinannya terhadap ada tidaknya niatan baik orang lain. Ini menjelaskan kenapa kepercayaan sosial sering dianggap sebagai representasi sosial atas standar moral masyarakat.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat disarikan bahwa penelitian ini meletakkan tumpuan pada dua hal, yakni persepsi resiko dan kepercayaan sosial sebagai atribut individual serta sentralitas dalam jaringan sosial yang menempatkan masyarakat atau kelompok sebagai objek kajian. Kedua tumpuan tersebut memungkinkan adanya analisis secara individual dan terpisah tentang persepsi resiko dan kepercayaan sosial yang diasumsikan bisa berbeda antara individu satu dengan

(8)

yang lain. Sekaligus membangun pemahaman yang lebih menyeluruh tentang bagaimana persepsi resiko tercipta dan terkomunikasikan dalam konteks sesungguhnya, tanpa menghilangkan faktor penghambat dan pendukung sosial yang muncul akibat struktur dan sistem masyarakat/kelompok.

Maka rumusan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana kontribusi kepercayaan sosial, aktivitas, kontrol, independensi dan pengaruh aktor dalam jaringan sosial terhadap persepsi resiko bencana alam?”

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya kontribusi maupun besaran kontribusi kepercayaan sosial dan implikasi sentralitas jaringan sosial (aktivitas, kontrol, independensi dan pengaruh aktor) terhadap persepsi resiko bencana alam.

2. Manfaat

a. Manfaat teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan yang berarti bagi ilmu Psikologi Sosial dan Mitigasi Bencana di Indonesia. Secara khusus, hasil penelitian ini dapat memerkaya konsep-konsep untuk bidang Psikologi Sosial terutama melalui penggunaan analisis jaringan sosial untuk memetakan arus komunikasi dan proses pembentukan atribut personal.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian nantinya diharapkan dapat memberikan arahan terutama bagi pemangku kebijakan dalam memetakan karakteristik psikologis dan sosial

(9)

dari masyarakat di wilayah rawan bencana. Termasuk dalam membangun sistem peringatan dini yang berbasis pada persepsi dan karakteristik masyarakat setempat.

C. Kajian Penelitian Sebelumnya

Kajian tentang persepsi resiko bencana alam sebenarnya sudah jamak dilakukan, terutama dalam jurnal-jurnal internasional. Namun demikian, dalam lingkup Universitas Gajah Mada (Tesis dan Desertasi), penulis belum menemukan penelitian yang secara spesifik membahas tentang persepsi resiko khususnya terhadap bencana alam. Demikian halnya dengan penempatan analisis jaringan sosial (Social Network Analysis) untuk mengurai arus informasi dalam jaringan. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan, misalnya Rahayu (2012) dalam penelitian berjudul; “Peranan Keterlibatan Dalam Jejaring Sosial Dan Kehatihatian Dalam Membentuk Persistensi Pada Pelanggan Online Yang Pernah Mengalami Penipuan” lebih menyoroti keterlibatan dalam jaringan dengan mengacu pada teori Valck, tanpa melibatkan analisis jaringan sosial.

Kajian sebelumnya yang turut membangun pemahaman penulis terhadap tentang persepsi resiko antara lain kajian Daniel, Ellen dan Paul (2008) yang berjudul “Affect, risk perception and future optimism after the tsunami disaster”. Penelitian ini secara khusus mengkaji akibat/dampak dari bencana tsunami 2004 terhadap persepsi dan afeksi masyarakat swedia yang tidak terdampak langsung. Model konseptual yang digunakan oleh Daniel dan koleganya yakni; 1) Peristiwa bencana alam dapat memengaruhi pengalaman emosional 2) Pengalaman emosional pada gilirannya berdampak berbagai penilaian afektif dan kognitif. 3) Pengaruh dari pengalaman

(10)

emosional dapat dikurangi dengan memperkenalkan informasi yang mempertanyakan kebenaran pengalaman emosional tersebut.

Selanjutnya penelitian dalam jurnal internasional yang memiliki garis besar mirip dengan penelitian kali ini adalah penelitian Stead, dkk (2014) yang berjudul “Social networks and fishers’ behavior: exploring the links between information flow and fishing success in the Northumberland lobster fishery”. Penelitian Stead dan koleganya ini menggunakan pendekatan jaringan sosial dengan mengukur in-degree centrality dan out-degree centrality sebagai indikator arus informasi dalam jaringan nelayan. Model serupa nantinya akan digunakan penulis untuk mengungkap arus informasi tentang bencana alam dalam lingkungan masyarakat rawan bencana.

Penelitian lain yang memuat pendekatan senada dengan penelitian ini dilakukan oleh Samadda dan Tatano (2012) dengan judul “Role of Social Networks in Community’s Flood Risk Perception and Mitigation Behavior: A Case Study from Mumbai, India” yang mengkaji bagaimana peran jaringan sosial dalam memengaruhi kesiagaan dan penerimaan individu terhadap resiko bencana banjir. Jaringan sosial dalam kajiaan Samaddar dan Tatano ini diungkap menggunakan sosiometrik memuat interaksi sehari-hari responden, dilanjutkan dengan melakukan kategorisasi responden berdasarkan kekuatan ikatan yang dibangun dalam jaringan.

Berdasarkan gambaran diatas, penulis berani menyatakan bahwa penelitian yang hendak dilakukan memiliki nilai keaslian. Kemiripan model pendekatan dalam beberapa jurnal internasional justru menjadi acuan penulis dalam menyusun kerangka berpikir. Terlebih konteks kajian dalam penelitian ini jelas berbeda, yakni pada masyarakat di wilayah rawan bencana Merapi.

Referensi

Dokumen terkait

Note : Setelah selesai dari Menu Basic kita pilih Menu “ Exit” di Menu Utama dan pilih “ Yes ” untuk Menyimpan setting-an lalu masuk ke menu exit dan restart DVR kita

Berdasarkan permasalahan yang terjadi pada Pabrik Pengolahan Coklat Chokato maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk merumuskan serta menentukan prioritas alternatif strategi

Metoda Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis) digunakan untuk mengekstraksi faktor. Pengumpulan data opini responden, tabulasi data dan analisa

36 pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui PKH, pemerintah Kota Malang terutama Dinas Sosial sebagai leading sector serta koordinator dari penerapan

Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa pengajian Muslimat NU ini mempunyai peran yang sangat penting dalam melaksanakan Pembinaan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Rotating Trio.. Exchange Terhadap Hasil

Ekstrak air berpengaruh terhadap kadar total fenol dan kemampuan menangkal radikal bebas DPPH ekstrak bunga kecombrang pada berbagai suhu pengeringan dengan

Fatwa DSN – MUI tentang bagi hasil dengan cara musyarakah ditetapkan dengan nomor 08/DSN – MUI / IV / 2000 Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa bagi hasil dengan cara musyarakah