• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Kelompok dan Penyebaran Bekantan (Nasalis larvatus Wrumb.) dikuala Samboja, Kalimantan Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Struktur Kelompok dan Penyebaran Bekantan (Nasalis larvatus Wrumb.) dikuala Samboja, Kalimantan Timur"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

29

|

Seminar Ilmiah Nasional Ekologi dan Konservasi – Makassar, 20-21 November 2013

Struktur Kelompok dan Penyebaran Bekantan (

Nasalis larvatus

Wrumb.) diKuala

Samboja, Kalimantan Timur

Tri Atmoko

1

*, Ani Mardiastuti

2

, dan Entang Iskandar

3 1 Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam

Jl. Soekarno-Hatta Km 38 Samboja, Po. Box. 578 Balikpapan, Kalimantan Timur 2 Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB Kampus IPB Dramaga, Po. Box. 168, Bogor, Jawa Barat 16001

3 Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat-IPB Jl Lodaya II No. 5 Bogor, Jawa Barat

*tri.atmoko@forda-mof.org

ABSTRACT: Study of group structure and distribution of proboscis monkey (Nasalis larvatus Wrumb.) was done in Kuala Samboja, East Kalimantan. Concentration method was conducted with boat-based observations. The results of the study showed population of monkey more than 143 monkeys, 98 monkeys divided to 9 groups (6 one male groups, 3 all male groups), whereas 45 monkeys unidentified. Group of one male distributed in three tipes of habitat, that is rambai (1 group), rambai-riparian (4 groups), and riparian (1 group). While, the habitat of all male groups in rambai (2 groups) and riparian (1 group). Sex ratio on one male group is 1 : 3,9. Habitat of proboscis monkey in Kuala Samboja is narrow and fragmented by several community activities.

Key words: Proboscis monkey, distribution, one male group, all male group, sex ratio PENDAHULUAN

Bekantan (Nasalis larvatus Wrumb) adalah salah satu anggota subfamili Colobinae endemik Borneo yang unik dan dilindungi. Bekantan termasuk primata yang sexually dimorphic yaitu memiliki perbedaan yang jelas antara jantan dan betina. Selain itu juga memiliki memiliki morfologi khusus pada hidungnya sehingga termasuk dalam kelompok odd-nosed leaf-monkeys, yaitu monyet pemakan daun yang berhidung aneh.

Bekantan termasuk satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 (Pemerintah RI 1999). Selain itu, bekantan juga termasuk dalam kategori endangered species

sejak tahun 2000 berdasarkan Red Book IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) (Meijaard et al. 2008) dan

Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) (Gron, 2009).

Habitat bekantan bervariasi mulai hutan mangrove, rawa gambut, hutan tepi sungai dan rawa gambut air tawar (Yeager, 1991; Salter et al. 1985; Matsuda et al. 2010). Namun bekantan juga dijumpai di hutan rawa galam (Soendjoto et al. 2006), hutan Dipterocarpaceae, hutan kerangas (Salter et al. 1985), hutan karet dan hutan bukit kapur/karst (Soendjoto et al. 2006).

Meijaard dan Nijman (2000) melaporkan sebanyak 153 titik penyebaran bekantan di Borneo dengan 16 areal diantaranya menjadi prioritas perlindungan bekantan. Penyebaran bekantan di Kalimantan meliputi seluruh provinsi yang

ada, yaitu Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Namun, saat ini habitat bekantan sebagian besar berada di luar kawasan konservasi, sehingga sangat rentan mengalami kerusakan dan perubahan fungsi.

Kuala Samboja adalah salah satu habitat bekantan yang berada di luar kawasan konservasi. Habitatnya terisolasi dan terfragmentasi oleh berbagai infrastruktur dan aktivitas masyarakat sehingga rentan terhadap gangguan manusia (Adinugroho & Ma’ruf, 2005). Oleh karena itu, informasi terkait populasi, penyebaran dan struktur kelompok pada habitatnya penting untuk dilakukan. Informasi tersebut sangat berguna sebagai dasar untuk perlindungan, pengelolaan serta antisipasi konflik yang mungkin terjadi dengan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

METODE

Waktu dan Kondisi Umum Lokasi

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2011 s/d Februari 2012 di habitat bekantan di Kelurahan Kuala Samboja, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Secara geografis habitat bekantan di Kuala Samboja terletak pada koordinat 01o00’40” s/d 01o02’10” LS dan 117o09’12” s/d

117o12’42” BT. Rata-rata curah hujan selama 10

tahun terakhir adalah 2.363 mm/tahun, dengan rata-rata hari hujan 150 hari/tahun dimana curah hujan cenderung turun pada bulan Juli-Oktober.

(2)

Suhu udara selama tahun 2011 yang tercatat di Stasiun BMKG Balikpapan berkisar antara 22-34.7oC, dengan rata-rata 26.8oC. Rata-rata

kelembaban udara bulanan berkisar antara 82-93%. Lokasi stasiun berjarak sekitar 38 km dari lokasi penelitian. Vegetasi pada habitat bekantan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Kondisi tersebut menyebabkan terdapat perubahan formasi vegetasi mulai dari muara sungai menuju ke arah hulu. Komunitas habitat bekantan di lokasi ini dibagi menjadi tiga tipe, yaitu komunitas rambai, komunitas rambai-riparian, dan komunitas riparian (Atmoko et al. in press).

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah perahu kelotok 5 HP (horse power), GPS receiver Garmin CSx60,

binocular Brunton 10 x 40, komputer dengan

software ArcView 3.3 dan MapSources. Bahan yang digunakan adalah kertas kalkir, Snowman

drawing pen, peta dasar digital provinsi Kalimantan Timur dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) IV Kalimantan dan peta Kuala Samboja dari

GoogleEarth yang diakses tahun 2010. Metode Kerja

Perhitungan jumlah individu dilakukan dengan sensus secara langsung menggunakan metode konsentrasi dengan menggunakan perahu (Bennett & Sebastian, 1988). Dalam metode ini penghitungan dilakukan pada semua individu dalam kelompok bekantan dari atas perahu di tepi kiri dan kanan sungai. Sensus dilakukan terutama pada pagi hari (06.00-10.00) saat bekantan masih berada di pohon tidur dan pada sore hari (14.00-18.00) saat bekantan menuju dan berada pada pohon tidur di tepi sungai.

Setiap perjumpaan dengan kelompok bekantan dicatat lokasi, waktu perjumpaan, jumlah individu, struktur umur dan jenis kelaminnya. Jenis kelamin dan kelas umur yang diamati pada penelitian ini didasarkan modifikasi dari Bennett dan Sebastian (1988). Kelas umur dan jenis kelamin yang diamati adalah 6 (enam) tingkat yaitu jantan dewasa, betina dewasa, jantan remaja, betina remaja, anak dan bayi. Bayi bekantan dalam penelitian ini dikelompokkan dalam satu tingkat saja. Identifikasi terhadap individu bekantan tersebut adalah sebagai berikut:

1.

Jantan dewasa yaitu ukuran badan penuh dengan hidung berkembang sempurna dan bulu tengkuk mengurai ke belakang.

2.

Jantan remaja yaitu ukuran lebih dari ¾ ukuran dewasa atau ukuran badan penuh tapi hidung belum berkembang sempurna dan/atau bulu tengkuk mengurai ke belakang

3.

Betina dewasa yaitu ukuran badan penuh

4.

Betina remaja yaitu ukuran lebih dari ¾ tapi tidak sampai ukuran penuh

5.

Anak/juvenile yaitu satwa dengan warna wajah seperti dewasa dan bulu coklat tapi ukuran tidak sampai ¾ ukuran dewasa

6.

Bayi yaitu satwa dengan warna bulu kepala dan badan coklat tapi dengan sedikit gelap pada kulit wajah

Titik-titik perjumpaan bekantan di lokasi penelitian diambil koordinatnya untuk mengetahui indikasi keberadaan bekantan pada hábitat. Peta batas hábitat bekantan dihasilkan dengan melakukan digitasi peta GoogleEarth yang koordinatnya disesuaikan dengan peta dasar Provinsi Kalimantan Timur. Selanjutnya dilakukan overlay dengan titik koordinat perjumpaan bekantan dan hasilnya digambar ulang di atas kertas kalkir.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Populasi bekantan yang teramati secara langsung adalah sekitar 143 ekor. Populasi bekantan tersebut sebanyak 98 ekor yang terbagi dalam 9 kelompok dapat diidentifikasi dan dikenali oleh peneliti, sedangkan 45 ekor lainnya tidak dapat dipastikan jumlah kelompoknya. Hal itu dikarenakan keterbatasan peneliti untuk dapat mengidentifikasi seluruh kelompok, setiap kelompok memiliki daerah jelajahnya masing-masing dan antar kelompok saling tumpang tindih. Sembilan kelompok bekantan yang dapat diidentifikasi, 6 kelompok diantaranya adalah one male group (OMG), yang berada di komunitas rambai sebanyak satu kelompok, di komunitas rambai-riparian empat kelompok dan di komunitas rambai-riparian satu kelompok. Tiga kelompok lainnya adalah all male group (AMG), yang tersebar di komunitas rambai sebanyak dua kelompok dan satu kelompok di komunitas riparian. Bekantan yang tidak dapat diidentifikasi seluruhnya berada di komunitas rambai. Sex ratio yang dihitung berdasarkan jumlah individu dewasa dan remaja pada pada kelompok OMG adalah 1: 3.9. Komposisi kelompok tersaji pada Tabel 1.

Penyebaran bekantan pada habitat berdasarkan indikasi titik perjumpaan dan informasi masyarakat menunjukkan bahwa aktivitas bekantan hanya berada di tepi kiri dan kanan sungai. Karena selebihnya telah berubah menjadi permukiman, jalan, kebun, areal penggembalaan ternak dan sarana infrastruktur lainnya. Kondisi penyebaran bekantan pada habitatnya di Kuala Samboja tersaji pada Gambar 1.

Meskipun menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 menyatakan bahwa setiap orang

(3)

31

|

Seminar Ilmiah Nasional Ekologi dan Konservasi – Makassar, 20-21 November 2013 dilarang menebang pohon dalam jarak 100 meter

dari tepi sungai dan 50 meter dari anak sungai, namun kenyataannya pengakuan kepemilikan lahan oleh masyarakat sampai dengan bibir sungai. Sehingga penebangan pohon di beberapa tempat di tepi sungai tetap terjadi.

PEMBAHASAN Populasi

Apabila dibandingkan dengan laporan penelitian terdahulu menunjukkan bahwa populasi bekantan di Sungai Kuala Samboja mengalami peningkatan. Pada tahun 1989 di lokasi yang sama dilaporkan terdapat lima kelompok bekantan dengan jumlah sebanyak 90 ekor (Yasuma, 1994), pada tahun 1991 populasinya menjadi 98 ekor (Alikodra, 1997), tahun 1993 meningkat menjadi tujuh kelompok dengan populasi 103 ekor (Alikodra

et al. 1995). Persentase keberadaan bayi pada penelitian ini hanya 7.1% dari populasi yang ada, padahal sekitar 20 tahun yang lalu persentase bayi dilaporkan mencapai 21.4% (Alikodra 1997). Hal ini sangat erat kaitannya dengan perubahan kondisi habitat yang berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas sumber pakan.

Sex ratio bekantan pada penelitian ini adalah 1:3.9, masih dalam kisaran sex ratio

hasil penelitian sebelumnya di lokasi yang sama pada tahun 1991, yaitu berkisar antara 1:3-1:6 (Alikodra, 1997). Sex ratio kelompok bekantan di beberapa lokasi lainnya bervariasi, diantaranya di TN Kutai 1:2.55 (Bismark, 1995), di TN Tanjung Puting 1:1.5 (Bismark, 1981), 1:4.2 (Yeager, 1992), di Kabupaten Tabalong 1:2.83 (Soendjoto, 2005), di Kinabatangan 1:8.4 (Boonratana, 2000), dan di Labuk Bay Sabah 1:5 (Agoramoorthy & Hsu, 2005).

Tabel 1.Komposisi kelompok bekantan di Kuala Samboja

Lokasi/Komunitas Kelompok Jumlah JD JR BD BR An By

Riparian AMG 1 6 2 4 Riparian Raja 10 1 1 3 1 3 1 Rambai-Riparian Zacky 12 1 6 4 1 Rambai-Riparian Becky 12 1 5 1 3 2 Rambai-Riparian J-Bond 15 1 6 2 3 3 Rambai-Riparian Baha 5 1 3 1 Rambai AMG 2 15 4 8 3 Rambai AMG 3 13 3 8 2 Rambai Stan 10 1 1 4 4 Rambai Unidentified 45 Total 143 15 22 27 4 23 7

Keterangan: JD=jantan dewasa; JR=jantan remaja; BD=betina dewasa; BR=betina remaja; An=anak; By=bayi

(4)

Seminar Ilmiah Nasional Ekologi dan Konservasi – Makassar, 20-21 November 2013 | 32 Pembentukan Kelompok

Hal yang menarik dari hasil penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu adalah tidak adanya laporan sebelumnya yang melaporkan keberadaan kelompok all-male group

(AMG) di lokasi ini. Pada penelitian ini dijumpai sekurang-kurangnya tiga kelompok AMG dengan jumlah kelompok berkisar antara 6-15 ekor, yang terdiri dari jantan dewasa, jantan remaja dan anak-anak. Satu kelompok AMG berada di komunitas riparian dan dua kelompok lainnya berada di komunitas rambai.

Pada habitat bekantan lainnya jumlah kelompok pada AMG bervariasi, mulai dari 6 ekor di Labuk Bay (Agoramoorthy & Hsu, 2005), 8 ekor di Kinabatangan (Boonratana, 1999), 12 ekor di Samunsam, Serawak (Bennett & Sebastian, 1988) dan 30 ekor di Sungai Menanggul (Murai, 2004). Murai (2004) melaporkan bahwa fragmentasi habitat bekantan akibat pembangunan kebun kelapa sawit di Sungai Menanggul menyebabkan peningkatan ukuran kelompok AMG. Saat kebun kelapa sawit baru dibuka tahun 1990-1991 di sekitar Sungai Menanggul dijumpai tiga kelompok AMG dengan jumlah berkisar antara 8-10 ekor, namun tahun 2000 kelompok AMG mencapai 30 ekor (Murai, 2004). Habitat yang rusak atau

terfragmentasi menyebabkan tajuk pohon lebih terbuka dan ancaman predator akan semakin tinggi, sehingga dengan membentuk kelompok AMG yang besar dapat melawan ancaman dari predator.

Satwa primata secara umum hidup dalam kelompok. Menurut Napier dan Napier (1985) terdapat tiga tipe kelompok pada satwa primata, yaitu: (1) multi-male group, (2) one-male group dan (3) family group. Sedangkan struktur kelompok bekantan sendiri pada dasarnya adalah one-male group yang terdiri dari satu jantan dewasa dengan beberapa betina dewasa dan anak, namun ada juga kelompok yang semuanya jantan (all-male group) (Yeager, 1991), non-breeding group (Boonratana, 1999), dan soliter (Bennett & Sebastian, 1988; Boonratana, 1999).

Proses terbentuknya kelompok bekantan secara umum tersaji pada Gambar 2. Selain perpindahan jantan yang menginjak remaja bergabung dengan AMG terdapat juga betina remaja yang dilaporkan sering bergabung dengan kelompok AMG untuk beberapa waktu untuk kawin dengan jantan remaja atau anak, namun akan kembali lagi ke kelompoknya semula (Murai, 2004). Alasan perpindahan jantan yang menginjak remaja dari kelompok OMG ke AMG adalah salah satu strategi untuk menghindari inbreeding (Murai, 2004).

Gambar 2.Proses terbentuknya kelompok pada bekantan. Keterangan: (1) Jantan di kelompok OMG yang menginjak remaja akan keluar dari kelompok natalnya dan berpindah ke kelompok AMG; (2) Betina remaja dan dewasa kadang-kadang keluar dari kelompoknya dan masuk ke AMG beberapa waktu dan kembali lagi ke kelompoknya semula; (3) Jantan dewasa dalam kelompok AMG melakukan takeover jantan dewasa di kelompok OMG. Jantan yang kalah akan mati atau keluar menjadi soliter; (4) Setelah terjadi takeover pada jantan dewasa, dapat terjadi infanticide terhadap bayi yang ada di kelompok tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kelompok dan populasi bekantan di

Kuala samboja mengalami peningkatan, namun

jika dilihat dari persentase keberadaan bayi yang

rendah kondisi populasi ini cukup

mengkhawatirkan. Indikasi penyebaran

bekantan pada habitatnya hanya berada di tepi

kanan dan kiri sungai, selebihnya sudah

terfragmentasi dan dimanfaatkan oleh

masyarakat. Pembentukan struktur kelompok

pada bekantan merupakan salah satu strategi

untuk bisa bertahan pada habitat.

Saran

Perlu dilakukan monitoring populasi

bekantan secara intensif, pembinaan habitat dan

penyadartahuan masyarakat sekitar terkait

perlindungan dan pelestariannya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Makalah ini adalah bagian dari hasil

penelitian yang dibiayai oleh DIPA Balitek

KSDA dan Pemerintah Daerah Provinsi

Kalimantan Timur. Terima kasih kepada Dr.

Nur Sumedi selaku Kepala Balitek KSDA atas

dukungannya dalam penelitian dan juga

Mudzakir yang telah membantu pengamatan

dan pengambilan data di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho, W.C., dan A. Ma’ruf 2005. Sungai Hitam Samboja habitat bekantan (Nasalis larvatus) yang terabaikan. Warta Konservasi Lahan Basah, Vol. 13(2): 26-28.

Agoramoorthy, G. danM.J. Hsu. 2005. Occurrence of Infanticide among wild proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in Sabah, Northern Borneo. Folia Primatology, Vol. 76:177–179.

1

2

3a

3b

4

All male group

One male group

Mati/Soliter

Gambar 2.Proses terbentuknya kelompok pada bekantan. Keterangan: (1) Jantan di kelompok OMG yang menginjak remaja akan keluar dari kelompok natalnya dan berpindah ke kelompok AMG; (2) Betina remaja dan dewasa kadang-kadang keluar dari kelompoknya dan masuk ke AMG beberapa waktu dan kembali lagi ke kelompoknya semula; (3) Jantan dewasa dalam kelompok AMG melakukan takeover jantan dewasa di kelompok OMG. Jantan yang kalah akan mati atau keluar menjadi soliter; (4) Setelah terjadi takeover pada jantan dewasa, dapat terjadi infanticide terhadap bayi yang ada di kelompok tersebut.

(5)

33

|

Seminar Ilmiah Nasional Ekologi dan Konservasi – Makassar, 20-21 November 2013 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kelompok dan populasi bekantan di Kuala samboja mengalami peningkatan, namun jika dilihat dari persentase keberadaan bayi yang rendah kondisi populasi ini cukup mengkhawatirkan. Indikasi penyebaran bekantan pada habitatnya hanya berada di tepi kanan dan kiri sungai, selebihnya sudah terfragmentasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Pembentukan struktur kelompok pada bekantan merupakan salah satu strategi untuk bisa bertahan pada habitat.

Saran

Perlu dilakukan monitoring populasi bekantan secara intensif, pembinaan habitat dan penyadartahuan masyarakat sekitar terkait perlindungan dan pelestariannya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Makalah ini adalah bagian dari hasil penelitian yang dibiayai oleh DIPA Balitek KSDA dan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur. Terima kasih kepada Dr. Nur Sumedi selaku Kepala Balitek KSDA atas dukungannya dalam penelitian dan juga Mudzakir yang telah membantu pengamatan dan pengambilan data di lapangan. DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho, W.C., dan A. Ma’ruf 2005. Sungai Hitam Samboja habitat bekantan (Nasalis larvatus) yang terabaikan. Warta Konservasi Lahan Basah, Vol. 13(2): 26-28.

Agoramoorthy, G. danM.J. Hsu. 2005. Occurrence of Infanticide among wild proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in Sabah, Northern Borneo.

Folia Primatology, Vol. 76:177–179.

Alikodra, H.S. 1997. Populasi dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus) di Samboja Koala, Kalimantan Timur. Media Konservasi 5(2):67-72.

Alikodra, H.S., A.H. Mustari, N. Santosa, dan Yasuma. 1995. Social interaction of proboscis monkey (Nasalis larvatus Wurmb) group at Samboja Koala, East Kalimantan. Annual Report of Pusrehut Vol. 6: hamalan?.

Atmoko, T., A. Mardiastuti, dan E. Iskandar. Tahun?. In. press. Komunitas habitat bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) pada areal terisolasi di Kuala Samboja, Kalimantan Timur.

Bennett, E.L. danA.C. Sebastian. 1988. Social organization and ecology of proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in Mixed Coastal Forest in

Sarawak. International Journal of Primatology, Vol. 9(3):233-255.

Bismark, M. 1995. Analisis populasi bekantan (Nasalis larvatus). Rimba Indonesia 30(3): Halaman?

Boonratana, R. 1999. Dispersal in proboscis monkey (Nasalis larvatus) in The Lower Kinabatangan, Northern Borneo. Tropical Biodiversity Vol. 6(3):179-187.

Boonratana, R. 2000. Ranging behavior of proboscis monkey (Nasalis larvatus) in the Lower Kinabatangan, Norhern Borneo. International Journal of Primatology Vol. 21(3):497-518. Gron, K.J. 2009. Primate Factsheets: Proboscis monkey

(Nasalis larvatus) Conservation. http://pin. primate.wisc.edu/factsheets/entry/proboscis_ monkey/cons. Diakes 9 Oktober 2010.

Matsuda, I, A. Tuuga, dan S. Higashi. 2010. Effects of water level on sleeping-site selection and inter-group association in proboscis monkeys: why do they sleep alone inland on flooded days?.

Ecological ResearchVol. 25: 475–482.

Meijaard, E.dan V. Nijman. 2000. Distribution and conservation of the proboscis monkey (Nasalis larvatus) in Kalimantan, Indonesia. Biological ConservationVol. 92:15-24.

Meijaard, E., V. Nijman, dan J. Supriatna. 2008. Nasalis larvatus. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2011.2. <www. iucnredlist. org>. Downloaded on 22 April 2012. Murai, T. 2004. Social behaviors of all-male proboscis

monkeys when joined by females. Ecological ResearchVil. 19:451–454.

Napier, J.R., dan P.H. Napier. 1985. The Natural History of The Primate. The MIT Press, Cambridge Massachusetts.

Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 41 tahun 1999 tanggal 30 September 1999 tentang Kehutanan. Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Peraturan

Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Salter, R.E., N.A. Mackenzie, N. Nightingale, K.M. Aken, dan P.K. Chai. 1985. Habitat use, ranging behaviour, and food habits of the proboscis monkey, Nasalis larvatus (van Wurmb), in Sarawak. Primates, Vol. 26(4):436-451.

Soendjoto, M.A. 2005. Adaptasi bekantan (Nasalis larvatus) terhadap hutan karet: Studi kasus di Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan [desertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

(6)

Soendjoto, M.A., H.S. Alikodra, M. Bismark, dan H. Setijanto. 2006. Jenis dan komposisi pakan bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.

Biodiversitas, Vol. 7(1):34-38.

Yasuma, S. 1994. An Invitation to The Mamals of East Kalimantan. Pusrehut Special Publication No.3. Samarinda.

Yeager, C.P. 1991. Possible antipredator behavior associated with river crossings by proboscis monkeys (Nasalis larvatus). American Journal of Primatology, Vol. 24:61-66.

Yeager, C.P. 1992. Changes in proboscis monkey (Nasalis larvatus) group size and density at Tanjung Puting National Park, Kalimantan Tengah, Indonesia. Tropical BiodiversityVol. 1(1):49-55.

Gambar

Gambar 1. Indikasi titik penyebaran bekantan di Kuala Samboja
Gambar 2.Proses terbentuknya kelompok pada bekantan.  Keterangan: (1) Jantan di kelompok OMG yang  menginjak remaja akan keluar dari kelompok natalnya dan berpindah ke kelompok AMG; (2) Betina remaja  dan dewasa kadang-kadang keluar dari kelompoknya dan ma

Referensi

Dokumen terkait

Analisis hubungan asupan energi dan protein dengan kekuatan genggam berkorelasi positif ditunjukkan hubungan asupan energi dengan kekuatan genggam r=0,118 dan

jadi dalam Kode bearing (bantalan) = 6203ZZ seperti contoh di atas, kode pertama adalah angka 6 yang menyatakan bahwa tipe bearing tersebut adalahSingle-Row Deep Groove Ball

Oleh para sarjana objek keramat itu disebut totem (jenis binatang atau lain objek) itu mengkonkritkan prinsip totem yang ada di belakangnya, dan prinsip totem itu adalah

Adapun sistem pengolahan data transaksi pembelian dan penjualan pada apotek An Najah saat ini masih dilakukan secara manual atau belum terkomputerisasi, baik

Kista ateroma adalah benjolan dengan bentuk yang kurang lebih bulat dan berdinding tipis, yang terbentuk dari kelenjar keringat (sebacea), dan terbentuk akibat adanya sumbatan

 Untuk mengetahui hasil uji coba yang dilakukan pada logam aluminium dan timah, tungku pengecoran logam non ferro (aluminium (AI) dan timah) dengan kapasitas 30 kg

Data simpanan merupakan simpanan dari data yang dapat berupa suatu file atau database pada sistem komputer, simpanan data dapat disimbolkan dengan garis horizontal

Artinya: sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer diantara mereka, ataupun suatu kata yang biasa