• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN UU NO 14 TAHUN 2005

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN UU NO 14 TAHUN 2005"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN UU NO 14

TAHUN 2005

A. Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Fisik Dalam Hukum Pidana

Kekerasan fisik adalah agresi fisik diarahkan pada seorang anak oleh orang dewasa. Hal ini dapat melibatkan meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, membakar, membuat memar, menarik telinga atau

rambut, menusuk, membuat tersedak atau menguncang seorang anak.39

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 89 dinyatakan bahwa

membuat orang pingsan atau membuat orang tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Dengan demikian kejahatan kekerasan merupakan kejahatan yang dilakukan dan disertai dengan menggunakan kekuatan fisik yang mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya.40 Selain itu kekerasan sering dilakukan bersama dengan salah satu bentuk tindak pidana, misalnya pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), perkosaan (Pasal 285 KUHP), dan seterusnya.41

Tindak pidana tersebut dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, sedangkan cara bagaimana kekerasan dilakukan atau alat apa yang dipakai, masing-masing tergantung pada kasus yang timbul. Jadi sifatnya

39 https://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak Judul Artikel : Kekerasan

Terhadap Anak, diakses pada Senin 3 Agustus 2015, Pukul 13.40 WIB

40

R.Soesilo, Loc.cit

(2)

kasuistis. Perbuatan tersebut dapat menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, dari anak-anak sampai dewasa.42

Dalam Undang-undang Perlindungan anak (UU No 23 Tahun 2002) mengenai kekerasan ini telah diatur dalam Pasal 4 yaitu salah satu hak anak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, juga dalam Pasal 13 dijelaskan tentang perlindungan anak selama dalam pengasuhan salah satunya pada huruf (d) dijelaskan perlindungan dari kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan. 43Adapun kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan yang ditujukan pada anak yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan baik fisik maupun psikis, baik yang terjadi didepan umum atau dalam kehidupan pribadi. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan itu bukan hanya tindakan secara fisik, tetapi juga dapat secara psikis. Tindakan fisik langsung bisa dirasakan akibatnya oleh korban serta dapat dilihat oleh siapa saja.

Kekerasan anak secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda–benda tertentu, yang menimbulkan luka–luka fisik atau kematian pada anak.44 Sedang dalam UU PKDRT sebagaimana yang disebutkan pada pasal 9, kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.45

Sehingga dapat dsimpulkan bahwa kekerasan fisik merupakan tindakan fisik yang ditujukan kepada anak dengan menggunakan kekuatan fisik baik dengan cara meninju, memukul, menendang, menampar dan sebagainya yang

42 Ibid., 43

Ibid, hal 60

44

Abu Huraerah, Op.Cit, hal 37

45

Badriyah Khaleed, Penyelesaian hukum KDRT, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015, hal 18.

(3)

dapat menimbulkan penderitaan fisik baik luka-luka atau dapat berujung kematina pada anak. Kekerasan fisik ini dapat langsung dirasakan serta dapat dirasakan oleh siapa saja.

B. Perlindungan Terhadap Hak-Hak Anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 Dikaitkan Dengan Kekerasan yang Dilakukan Guru Terhadap Anak dalam Proses Belajar Mengajar

Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapun perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Perlindungan anak merupakan suatu bidang Pembangunan Nasional. Melindungi anak adalah melindungi manusia, adalah membangun manusia seutuhnya. Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan Pembangunan Nasional.46

Konsepsi perlindungan anak meliputi ruang lingkup yang luas, dalam arti bahwa perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan atas semua hak serta kepentingan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial, dan perlindungan anak juga menyangkut aspek pembinaan generasi muda. Terhadap anak dalam kasus apapun, kepentingan anak selalu diutamakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan :

(4)

a. Bahwa anak–anak harus dijunjung tinggi oleh setiap orang dengan tidak lupa menanamkan rasa tanggung jawab kepadanya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara, warga masyarakat, dan anggota keluarga dalam batas–batas tertentu yang menghimbau anak dalam melaksanakan kewajiban itu.

b. Bahwa perlindungan anak dalam arti hak–hak dan kebutuhannya secara optimal bertanggung jawab, merupakan usaha bagi kepentingan masa depan anak dan pembinaan generasi mendatang. 47

Oleh Aminah Aziz, mengutip pendapat Barda Nawawi Arief dengan menggunakan istilah perlindungan hukum anak dan diartikan sebagai perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental right and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.48

Masalah perlindungan hukum dan hak–haknya anak bagi anak–anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak–anak Indonesia. Agar perlindungan hak–hak anak dapat dilakukan secara teratur, tertib dan bertanggung jawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila dan UU Dasar 1945. Dalam kaitannya dengan persoalan perlindungan hukum bagi anak–anak, maka dalam UUD 1945 pada Pasal 34 telah ditegaskan bahwa “fakir miskin dan anak–anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Hal ini menunjukkan

47

Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak,USU Press,Medan, 1998, hal 26

(5)

adanya perhatian serius dari pemerintah terhadap hak–hak anak dan perlindungannya.

Pengaturan perlindungan anak diatur dalam UU No 23 Tahun 2002, dimana pada Pasal 1 ayat (2) menyebutkan : Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak–haknya agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang, dan berpastisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Sehingga yang menjadi cakupan dari perlindungan anak adalah meliputi non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, dan penghargaan terhadap pendapat anak. Perlindungan anak memiliki tujuan, sebagaimana yang diatur didalam Pasal 3 UU No 23 Tahun 2002 yaitu “untuk menjamin terpenuhinya hak–hak agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Undang–Undang Perlindungan Anak dibuat dan dirancang dalam rangka bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap–tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap anak yang merupakan hak asasi manusia, dimana bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Oleh karena itu, setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas–

(6)

luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, dan perlu dilakukan perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Sebagaimana tertulis dalam Pasal 1 ayat (2), yang disebut dengan perlindungan anak adalah : Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak–haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Serta, pada Pasal 2, ayat 3 dan 4, Undang–Undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1979, Tentang Kesejahteraan Anak berbunyi sebagai berikut : Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semsa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perindungan–perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Kedua ayat ini dengan jelas menyatakan dan mendorong perlu adanya perlindungan anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap anak.49

Dan perlindungan anak ini memiliki tujuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 yaitu : Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak–hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat pelindungann dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak indonesia

(7)

yang berkualitas, berakhlak, dan sejahtera. Sehingga berdasarkan uraian diatas, anak yang merupakan tunas, potensi, dan generasi muda diberikan suatu jaminan dan perlindungan untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial, dan berakhlak mulia yang nantinya dapat berperan untuk menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

Dalam konteks kegiatan belajar mengajar, anak ketika dalam proses pendidikan disebut dengan peserta didik, yang sehari–hari dapat disebut dengan murid atau anak didik. Anak didik pada dasarnya merupakan anak yang masih dibawah umur yang memerlukan didikan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 UU No 23 Tahun 2003 menyebutkan : Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Sehingga dalam mendukung pengembangan pribadi sebagaimana pada pasal diatas, diperlukan seorang guru yang merupakan sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pedidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Namun pada dasarnya anak didik memiliki karakteristik yang secara pribadi belum dewasa dan masih didalam tahap penyempurnaan suatu aspek kedewasaan tertentu dan memiliki sifat-sifat dasar manusia yang sedang berkembang secara terpadu yaitu kebutuhan biologis, rohani, sosial, inteligensi, emosi, kemampuan berbicara, anggota tubuh untuk bekerja (kaki, tangan, jari),

(8)

latar belakang sosial, latar belakang biologis (warna kulit, bentuk tubuh, dan lainnya), serta perbedaan individual. Yang pada tahap tersebut anak didik rentan untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak baik (nakal, bandel). Guru sebagai pendidik yang memiliki tanggungjawab dalam perkembangan pribadi anak didik, kadang kala memberikan suatu tindakan disiplin kepada anak didik yang nakal tersebut yaitu berupa hukuman, salah satunya berupa hukuman fisik, seperti mencubit, menjewer, memukul tangan, dan sebagainya.

Tindakan disiplin berupa pemberian hukuman fisik inilah yang dapat diindikasikan dengan tindak pidana kekerasan atau penganiayaan apabila kurangnya komunikasi antara guru dengan anak didik (murid). Hal ini tentu bertentangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UU No 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan :

“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :

a. Diskriminasi

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual c. Penelantaran

d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan e. Ketidakadlian

f. Perlakuan salah lainnya

Dan ditegaskan kembali dalam Pasal 16 ayat (1) dan (2) yang berbunyi :

(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(9)

C. Perlindungan Terhadap Guru dalam Kegiatan Belajar Mengajar di Beberapa Peraturan

C.1. Perlindungan Terhadap Guru dalam UU No.23 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Didalam Undang–Undang ini tidak mengatur secara eksplisit mengenai masalah perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan secara umum dan guru secara khususnya. Didalam Undang–undang ini mengatur tentang apa yang menjadi hak dan kewajiban oleh seorang Pendidik dan tenaga kependidikan. Hal ini terdapat didalam pasal 40 UU No 20 Tahun 2003, yang menyebutkan :

(1) Pendidik dan Tenaga Kependidikan berhak memperoleh :

a. Penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;

b. Penghargaan yang sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;

c. Pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas; d. Perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil

kekayaan intelektual; dan

e. Kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran untuk melaksanakan tugas.

Berdasarkan uraian pasal 40 diatas, masalah perlindungan hukum bagi guru secara khusus hanya disebutkan didalam Ayat 1 huruf d, dan hanya secara ringkas disebutkan yaitu perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas. Perlindungan hukum disini meliputi perlindungan untuk rasa aman, perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja, dan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam melaksanakan tugas yang dimaksud meliputi ketika guru melaksanakan tugas

(10)

keprofesionalannya yaitu didalam merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,baik didalam satuan pendidikan formal ataupun non formal. C.2. Perlindungan Terhadap Guru dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang

Guru dan Dosen

Didalam UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, masalah perlindungan guru telah diatur secara eksplisit dan khusus pada Pasal 39 Bagian Ketujuh. Dalam pasal 39 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dikemukakan:

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.

(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakantugas.

(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.

Frasa perlindungan hukum yang dimaksudkan disini mencakup semua dimensi yang terkait dengan upaya mewujudkan kepastian hukum, kesehatan, keamanan, dan kenyamanan bagi guru dalam menjalankan tugas–tugas profesionalnya. Sehingga semua guru harus dilindungi secara

(11)

hukum dari segala anomali atau tindakan semena–mena dari yang mungkin atau berpotensi menimpanya dari pihak–pihak yang tidak bertanggungjawab. Perlindungan hukum yang dimaksud meliputi perlindungan yang muncul akibat tindakan dari peserta didik, masyarakat,birokrasi atau pihak lain, berupa :

a. Tindak kekerasan

b. Ancaman, baik secara fisik ataupun psikologis c. Perlakuan diskriminatif

d. Intimidasi

e. Perlakuan tidak adil

Pasal 39 pada dasarnya merupakan jaminan dan perlindungan secara yuridis bagi guru didalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.50 C.3. Pengaturan tentang Perlindungan Profesi Guru dalam MoU PGRI

dengan POLRI No.B/53/XII/2012 dan No 1003/UM/PB/XX/2012

MoU antara PGRI dan POLRI ini merupakan suatu pedoman kerja antara POLRI dengan PGRI yaitu tentang mekanisme penanganan perkara dan pengamanan terhadap profesi guru. Yang menjadi latar belakang lahirnya MoU ini dikarenakan perlindungan hukum dan keamanan bagi guru dalam menjalankan profesinya sampai sekarang belum ada rumusan atau pedoman kerja yang komprehensif sehingga terjadi kesimpangsiuran dan kesalahpahaman antara Guru dan Polri. Sehubungan dengan hal itu maka perlu dirumuskan pedoman kerja yang memungkinkan terwujudnya perlindungan hukum, dan keamanan bagi profesi guru.

50

(12)

Didalam MoU ini menjelaskan pengaturan tentang penggolongan perbuatan guru yang dapat mengakibatkan timbulnya perbuatan tindak pidana pada saat melaksanakan tugas keprofesiannya. Hal ini diatur pada Bab II tentang penggolongan dan Kedudukan. Penggolongan perbuatan guru ini adalah :

1. Perbuatan guru yang tidak disengaja

Perbuatan guru yang tidak disengaja yang dapat menimbulkan perbuatan tindak pidana menurut kesalahpahaman atau salah pengertian dari peserta didik atau orang tua / wali pada saat melaksanakan tugas keprofesionalan antara lain adalah :

a. Guru yang tidak menanyakan kesiapan kesehatan, kondisi fisik, dan psikis kepada peserta didik sebelum memulai proses pembelajaran, tidak merupakan tanggung jawab guru karena kesiapan proses belajar adalah tanggungjawab orang tua/wali dan peserta didik.

b. Guru menyentuh bagian badan peserta didik yang dianggap pelecehan seksual pada saat serangkaian kegiatan proses pembelajaran.

c. Guru yang dalam melakukan serangkaian kegiatan proses pembelajaran, tanpa disengaja, alat/bahan praktik mengajarnya mengenai bagian tubuh peserta didik yang mengakibatkan cedera/luka.

d. Guru yang tidak sengaja memberi penjelasan yang mengandung nilai SARA dan politik tidak dianggap bersalah jika kemudian dilakukan

(13)

perbaikan atau pembetulan dari materi/referensi/bahan ajar yang disampaikan dalam proses pembelajaran.

e. Perbuatan lain yang tidak disengaja oleh guru yag dapat menimbulkan perbuatan pidana menurut kesalahpahaman atau salah pengertian dari peserta didik dan atau orang tua/wali.

2. Perbuatan guru yang rawan menimbulkan tindak pidana

Perbuatan guru yang disengaja yang rawan mengakibatkan timbulnya tindak pidana pada saat melaksanakan tugas keprofesian yang apabila disikapi sepihak dan tidak bijaksana oleh peserta didik dan atau orang tua/wali/masyarakat. Adapun perbuatan guru yang termasuk pada golongan yang kedua ini adalah :

a. Guru yang memberikan penguatan (enforcement) dengan menepuk pundak, menepuk punggung, berjabat tangan, dan memegang kepala peserta didik sepanjang tidak bertentangan dengan nilai budaya bangsa pada saat serangkaian kegiatan proses pembelajaran.

b. Guru yang memberi sanksi kepada peserta didik berupa fisik maupun psikis sepanjang bertujuan untuk mendidik dan tidak bermaksud mencederai pada saat serangkaian kegiatan proses pembelajaran. c. Guru yang melakukan tindakan menegakkan tata tertib sekolah yang

sudah disepakati oleh orang tua/wali, peserta didik, dan pihak sekolah. d. Guru dalam menjelaskan materi pembelajaran yang mengandung unsur-unsur kesusilaan selama tidak menyimpang dari materi pembelajaran.

(14)

e. Guru berhak membawa peralatan apapun selama tidak menyimpang dari materi pembelajaran yang diajarkan.

f. Guru yang menjelaskan materi pembelajaran yang mengandung unsur–unsur kesusilaan selama tidak menyimpang dari materi pembelajaran.

g. Guru yang mengadakan les/tambahan pelajaran disekolah maupun di luar sekolah yang dapat menimbulkan tindak pidana.

h. Guru yang membedakan memberikan hukuman pada muridnya. i. Perbuatan lain yang disengaja oleh guru yang rawan menimbulkan

perbuatan tindak pidana apabila disikapi sepihak oleh peserta didik dan atau orang tua/wali.

3. Perbuatan Guru yang disengaja

Perbuatan guru yang disengaja yang mengakibatkan timbulnya perbuatan tindak pidana pada saat melaksanakan tugas keprofesian antara lain adalah :

a. Guru yang dengan sengaja melakukan tindak pidana berupa penganiayaan kepada peserta didik pada saat dilaksanakan serangkaian proses pembelajaran.

b. Guru yang dengan sengaja melakukan perbuatan tindak pidana berupa pelecehan seksual kepada peserta didik pada saat dilaksanakan serangkaian kegiatan proses pembelajaran.

(15)

c. Guru yang dengan sengaja melakukan perbuatan tindak pidana berupa perbuatan yang tidak menyenangkan keada peserta didik pada saat dilaksanakan serangkaian kegiatan pembelajaran.

d. Guru yang dengan sengaja melakukan perbuatan tindak pidana berupa pencurian terhadap barang milik sekolah dan barang milik peserta didik.

e. Guru yang dengan sengaja melakukan perbuatan tindak pidana berupa pengrusakan terhadap barang milik sekolah dan barang milik peserta didik.

f. Guru dengan sengaja menyuruh peserta didik untuk melakukan perbuatan yang tergolong tindak pidana.

g. Guru yang dengan sengaja melakukan pungutan uang atau barang kepada peserta didik di luar ketentuan sekolah.

h. Perbuatan lain yang dengan sengaja dapat menimbulkan perbuatan tindak pidana pada saat kegiatan proses pembelajaran.

4. Perbuatan guru dengan niat melakukan tindak pidana

Perbuatan guru yang disengaja yang dapat mengakibatkan timbulnya perbuatan tindak pidana pada saat melaksanakan pekerjaan keprofesian antara lain adalah :

a. Guru melakukan dan atau jual beli narkoba.

b. Guru melakukan perbuatan perjudian dan atau sebagai bandar perjudian.

(16)

d. Perbuatan tindak pidana yang lainnya sebagaimana yang diatur dalam perundang–Undangan.

5. Perbuatan guru tidak disengaja yang dapat menimbulkan tindak pidana Guru yang tindak sengaja melakukan perbuatan tindak pidana yang tidak berkaitan dengan profesinya, misalnya guru yang karena kelalaiannya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas.

Berdasarkan uraian pengaturan mengenai penggolongan perbuatan guru diatas, dapat dilihat penjelasan terhadap perbuatan–perbuatan guru yang dapat menimbulkan tindak pidana dalam kegiatan belajar mengajar. Penggolongan perbuatan tersebut seharusnya dapat menjadi dasar pertimbangan bagi hakim atau kepolisian terhadap guru yang diindikasikan melakukan tindak pidana terhadap guru. Penggolongan perbuatan guru ini dapat menjadi dasar perlindungan bagi guru dalam proses belajar mengajar apabila guru memberikan suatu hukuman yang bertujuan untuk mendidik, menegakkan displin, untuk kebaikan anak didik (murid) dan tidak bermaksud untuk mencederai.

Pada MoU ini juga dijelaskan tentang kedudukan guru dalam proses hukum, dimana disebutkan :

a. Penyidikan tindak pidana yang dilakukan terhadap guru tetap berdasar kepada azas praduga tak bersalah dan guru tidak mempunyai hak istimewa, namun demikian :

1. Dalam rangka upaya paksa terhadap guru, tidak dilakukan dalam proses pembelajaran kecuali patut diduga terdapat barang bukti yang ada padanya terhadap tindak pidana tertentu (misalnya :

(17)

narkoba) dan atau tindak pidana yang dapat membahayakan jiwanya.

2. Upaya paksa yang dilakukan oleh POLRI memperhatikan etika, situasi, dan sosial hukum dalam rangka memberikan perlindungan profesi dan keamanan guru.

b. Perbuatan tindak pidana yang tidak disengaja dan perbuatan yang rawan timbulnya tindak pidana yang berkaitan dengan profesi, proses penyelesaian hukumnya diutamakan dengan perdamaian, dalam rangka menjaga kewibawaan guru dengan tidak menyalahi dan tetap berdasarkan peraturan perundang–undangan.

Berdasarkan uraian diatas, ketika guru dalam proses hukum, tetap dengan berdasarkan pada azas praduga tak bersalah, dan dalam menggunakan upaya paksa dilakukan tidak pada saat proses kegiatan belajar atau proses pembelajaran. Dan diutamakan dengan perdamaian dalam rangka menjaga status dan kewibawaan guru.

MoU ini juga mengatur tentang pedoman pelaksanaan perlindungan hukum dan keamanan, sebagaimana diatur dalam Bab IV, yaitu sebagai berikut :

a. Perlindungan hukum dalam upaya paksa 1. Penyelidikan

PGRI berikut komponennya yang berkepentingan membantu penyidik untuk dapat segera memperoleh informasi untuk menentukan saksi dan tersangka serta barang bukti guna membuat terang suatu perkara tindak

(18)

pidana dimana penyelidikan yang dilakukan oleh Polri tersebut mempertimbangkan hal–hal sebagai berikut :

a. Waktu pada saat kegiatan proses pembelajaran b. Situasi dan tempat kegiatan proses pembelajaran c. Menjaga harmonisasi antara guru dengan peserta didik. 2. Pemanggilan

Polri dalam hal memanggil guru yang melakukan tindak pidana memperhatikan hal–hal sebagai berikut :

a. Dalam hal tindak pidana yang berkaitan dengan profesi

1. Surat panggilan diberikan melalui kepala sekolah langsung. 2. Apabila kepala sekolah tidak ada disekolah, surat panggilan

diberikan langsung kepada yang bersangkutan disekolah. 3. Apabila kepala sekolah dan yang bersangkutan tidak ada di

sekolah, surat panggilan dialamatkan kepada tempat tinggal yang bersangkutan.

4. Apabila yang melakukan tindak pidana adalah kepala sekolah maka surat panggilan diberikan melalui kepala dinas.

b. Dalam hal tindak pidana diluar profesi

1. Surat panggilan diberikan dan/atau dialamatkan kepada yang bersangkutan.

2. Apabila situasi tidak memungkinkan pemeriksaan dapat dilakukan menurut penilaian penyidik.

(19)

Polri di dalam melakukan penggeledahan terhadap guru yang sedang melaksanakan kegiatan proses pembelajaran dilaksanakan dengan memperhatikan :

a. Tindak pidana yang berkaitan dengan profesi

1. Penggeledahan terhadap guru, tidak dilakukan pada saat proses kegiatan pembelajaran.

2. Penggeledahan terhadap guru wanita dilakukan oleh polisi wanita, didampingi guru wanita, atau warga masyarakat yang wanita.

3. Penggeledahan terhadap tempat dan barang dilingkungan sekolah dilakukan di luar jam sekolah atau dikoordinasikan dengan kepala sekolah sesuai tingkat kebutuhan.

b. Tindak pidana di luar profesi

1. Dalam hal tindak pidana narkoba, terorisme, dan korupsi Polri dapat melakukan pengeledahan dengan mengabaikan perlindungan terhadap profesi guru.

2. Diluar tindak pidana narkoba, terorisme dan korupsi Polri tetap memperhatikan perlindungan hukum, perlindungan profesi, dan keamanan kerja guru.

5. Penyitaan

Polri di dalam melakukan penyitaan terhadap barang bukti baik yang berkaitan degan profesi guru maupun tidak memperhatikan:

(20)

a. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang menyita barang bukti

b. Dalam hal barang bukti yang berkaitan dengan alat pembelajaran tetap dilakukan penyitaan namun demikian dapat dipinjamkan pakaikan oleh pihak sekolah sesuai prosedur hukum yang berlaku. 6. Penangkapan

Penangkapan terhadap guru yang melakukan tindak pidana memperhatikan:

a. Tindak pidana yang berkaitan dengan profesi

1. Tidak dilakukan pada saat proses kegiatan pembelajaran. 2. Dilakukan dengan taktik dan teknik kepolisian yang tetap

memperhatikan perlindungan hukum, perlindungan profesi, dan keamanan guru.

b. Tindak pidana diluar profesi

1. Dalam hal tindak pidana narkoba, teroris, dan korupsi Polri dapat melakukan penangkapan dengan mengabaikan perlindungan terhadap profesi guru.

2. Di luar tindak pidana narkoba, terorisme, dan korupsi Polri tetap memperhatikan perlindungan hukum, perlindungan profesi, dan keamanan kerja guru pada saat ditempat proses kegiatan pembelajaran.

(21)

3. Di luar tempat proses pembelajaran, dapat langsung dilakukan proses penangkapan sesuai tindak pidana yang dilakukan.

7. Penahanan

Penahanan terhadap guru yang melakukan tindak pidana memperhatikan:

a. Tindak pidana yang berkaitan dengan profesi

1. Penahanan dilakukan berdasarkan penilaian penyidik guna melindungi keselamatan jiwanya.

2. Dapat dilakukan penangguhan penahanan sesuai dengan prosedur berdasarkan penilaian penyidik.

3. Dapat dilakukan penahanan kota atau rumah sesuai dengan prosedur berdasarkan penilaian penyidik.

b. Tindak pidana di luar profesi

Polri dapat melakukan penahanan dengan mengabaikan perlindungan terhadap profesi guru sesuai undang–undang yang berlaku.

Berdasarkan uraian di atas, guru telah diberikan suatu upaya perlindungan terkhusus pada saat upaya paksa dilakukan, sehingga walaupun telah ada bukti awal yang menguatkan tuduhan sebagai pelaku kejahatan, guru yang bersangkutan telah tetap berkedudukan sebagai manusia dan guru dalam profesinya dengan hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Terlebih apabila atas

(22)

perbuatannya itu belum ada putusan hakim yang menyatakan pelaku bersalah (asas praduga tidak bersalah).51

51Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007,hal 20

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan sebanyak dua siklus. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII A SMP N 2 Ngawen dan guru mata

2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2Ot6-2O21 (Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2O16 Nomor 11, Tambahan Lembaran.. Daerah Kabupaten Bantul

Pertama Peran humas DPRD Kabupaten Nganjuk yakni penasehat ahli Humas sebagai penasehat ahli yaitu berperan untuk menampung ide-ide atau aspirasi yang ditemukan

Data-data yang telah didapat tersebut digunakan untuk mendapatkan nilai hidrodinamik koefisien yang terdiri atas drag coefficient dan lift coefficient .Dari hasil

MEMENUHI Auditee melakukan pembelian bahan baku dari pengepul berupak kayu rakyat dengan disertai Kwitansi pembelian bahan baku, dokumen angkutan hasil hutan yang

tidak mendapat asupan gizi yang baik. Namun ada sisi positif yang bisa dilihat dimana adanya jaminan kesehatan dan penambahan rumah sakit dan tenaga medis meskipun belum

Berdasarkan hasil penelitian dan manfaat yang diperoleh, maka beberapa saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut 1) Perlu dilakukan penelitian lanjutan