• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL SOLVABLE TEST PADA PEMBUKTIAN KEPAILITAN DI PENGADILAN NIAGA SEBAGAI BENTUK KEADILAN BAGI DEBITORPERUSAHAAN. Mulyani Zulaeha

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODEL SOLVABLE TEST PADA PEMBUKTIAN KEPAILITAN DI PENGADILAN NIAGA SEBAGAI BENTUK KEADILAN BAGI DEBITORPERUSAHAAN. Mulyani Zulaeha"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

South Kalimantan, Indonesia. ISSN: 2502-3136 | e-ISSN: 2502-3128. Open Access at: http://lamlaj.ulm.ac.id/web/

LamLaj

MODEL SOLVABLE TEST PADA PEMBUKTIAN KEPAILITAN

DI PENGADILAN NIAGA SEBAGAI BENTUK KEADILAN BAGI

DEBITORPERUSAHAAN

Mulyani Zulaeha

Faculty of Law, University of Lambung Mangkurat Brigjen H. Hassan Basry Street Banjarmasin 70124 Telp/Fax: +62-4321658; e-mail: mulyani.zulaeha@yahoo.co.id Submitted : 23/09/2018 Reviewed 27/09/2018 Accepted:30/09/2018

Abstract: The proofing system in bankruptcy applies the simple evidentiary principle

as stipulated in Article 8 paragraph (4) of Act Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations, namely an application for bankruptcy statements must be granted if there is a simple proven fact or condition that the conditions for bankruptcy fulfilled, namely the fact that there are two or more creditors and the fact that the debt has not been paid are due and can be billed. This simple proof does not pay attention to the debtor’s ability to pay, so that if the substantive requirements as stipulated in Article 2 paragraph (1) are met, the debtor must be declared bankrupt. This simple proof on the one hand applies the aspect of legal certainty but on the other hand ignores the aspect of justice because debtors who still have the ability to pay will also be bankrupted. The purpose of this study is to find a proof model in bankruptcy that provides justice to corporate debtors who have the ability to pay. Using a normative juridical research method, it can be explained that the proof model that can provide justice for corporate debtors is by adding a solvable test model in proof at the Commerce Court, namely a system of proof of the debtor’s ability to pay debts, in addition to proof of substantive conditions, namely more than one creditor and the debts that have not been paid are due and can be billed.

Keywords: Corporate Debtor; Proof of Bankruptcy; Solvable Test.

Abstrak: Sistem pembuktian dalam kepailitan menerapkan prinsip pembuktian

sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi yaitu adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan

(2)

dapat ditagih. Pembuktian sederhana tidak memperhatikan aspek kemampuan membayar debitor, sehingga apabila syarat substantif sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) terpenuhi debitor harus dinyatakan pailit. Pembuktian sederhana disatu sisi menerapkan aspek kepastian hukum namun disisi lain mengabaikan aspek keadilan karena debitor yang masih mempunyai kemampuan membayar juga akan dipailitkan.Tujuan penelitian ini adalah menemukan model pembuktian dalam kepailitan yang memberikan keadilan terhadap debitor perusahaan yang mempunyai kemampuan membayar. Menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat dijelaskan bahwa model pembuktian yang dapat memberikan keadilan bagi debitor perusahaan adalah dengan menambahkan model solvable test dalam pembuktian di Pengadilan Niaga, yaitu sistem pembuktian terhadap aspek kemampuan debitor dalam membayar utang, disamping pembuktian terhadap syarat subtantif yaitu kreditor lebih dari satu dan adanya utang yang belum lunas telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Kata Kunci: Debitor Perusahaan; PembuktianKepailitan; Solvable Test

PENDAHULUAN

Tujuan Undang-Undang Nomor 37 Ta-hun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah meny-elesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif dengan mengede-pankan aspek keseimbangan perlindungan antara para pihak. Namun terkait perlind-ungan seimbang dalam proses penyelesaian di Pengadilan Niaga ternyata menimbulkan ketidakadilan terhadap debitor dalam proses pembuktian karena aspek kemampuan debitor tidak dipertimbangkan.

UU Nomor 37 Tahun 2004 menentukan debitor dapat dinyatakan pailit, berdasarkan dua syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1), yaitu:

1. Adanya debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor;

2. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat di-tagih.

Kreditor yang dimaksud baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor

preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat menga-jukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk didahulukan. Bilamana terdapat sindikasi kreditor, maka masing-masing kredi-tor adalah kredikredi-tor. Sedangkan utang meru-pakan kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang as-ing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka rumusan tentang utang dapat dijabarkan ke dalam beberapa unsur antara lain:

1. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang; 2. Baik dalam uang Indonesia maupun mata

(3)

uang asing;

3. Baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen: 4. Yang timbul karena perjanjian atau

un-dang-undang;

5. Bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenu-hannya dari harta debitor.

Makna utang yang luas dan makna kredi-tor yang luas tidak diikuti dengan pembatasan nilai utang serta tidak disertai dengan uji ke-mampuan debitor untuk membayar utang se-bagai syarat untuk mengajukan permohonan pailit, mempunyai arti bahwa tagihan seke-cil apapun baik yang timbul dari hubungan utang piutang maupun hubungan keperdataan lainnya yang dapat menimbulkan kewajiban pembayaran uang dapat diajukan permohonan pailit oleh kreditor baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen, dan hakim Pengadilan Niaga harus mengab-ulkan permohonan itu jika terpenuhi adanya unsur debitor yang memiliki kreditor lebih dari satu dan setidaknya ada satu utang yang tidak dibayar lunas padahal utang itu telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Hakikat pailit adalah ketidakmampuan debitor dalam membayar utang. Indonesia memaknai hakikat pailit sebagai kondisi de-bitor yang tidak mau membayar bukan yang tidak mampu membayar. Sebagaimana din-yatakan dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Ke-wajiban Pembayaran Utang, yaitu “Permoho-nan pernyataan pailit harus dikabulkan apa-bila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit berupa debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar

lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih telah dipenuhi”.

Sistem pembuktian sederhana yang dia-tur undang-undang kepailitan Indonesia tidak memberikan perbedaan antara debitor yang masih mempunyai kemampuan membayar dengan debitor yang tidak mampu membayar. Model pembuktian demikian membawa im-plikasi bahwa kondisi keuangan debitor tidak diperhatikan oleh Pengadilan Niaga. Syarat subtantif1 satu-satunya yang diperhatikan

pada model pembuktian sederhana. Pembuk-tian syarat substantif ini disatu sisi menerap-kan aspek kepastian hukum, namun disisi lain model pembuktian sederhana ini mengabai-kan aspek keadilan bagi debitor yang masih mempunyai kemampuan untuk membayar.

Model pembuktian yang diterapkan saat ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak berikan keadilan kepada debitor yang mem-punyai kemampuan membayar, karena model pembuktian sederhana tidak terdapat tes uji kemampuan membayar debitor. Jika model pembuktian sederhana terus dipertahankan maka tidak menutup kemungkinan banyak debitor mampu yang dipailitkan. Jika debitor perusahaan yang masih mempunyai kemam-puan membayar dipailitkan, maka akibat pail-it tidak saja bagi perusahaan tersebut, tetapi kepailitan perusahaan juga berimbas pada kepentingan masyarakat seperti kepentingan pekerja atau buruh perusahaan yang meng-gantungkan hidupnya pada perusahaan dan juga secara makro berimbas pada sistem

per-1 Syarat subtantif kepailitan adalah debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih telah dipenuhi

(4)

ekonomian.2

Berdasarkan hal tersebut maka akan di-kaji bagaimana model pembuktian dalam ke-pailitan yang memberikan keadilan terhadap debitor perusahaan yang mempunyai kemam-puan membayar.

METODE

Penelitian ini menggunakan jenis peneli-tian yuridis normatif, yaitu penelipeneli-tian hukum yang dilakukan untuk menjawab isu hukum dengan mengkaji dan menganalisis ketentuan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer dan bahan hukum lainnya yaitu bah-an bahbah-an hukum sekunder dbah-an bahbah-an hukum tersier. Penelitian ini menggunakan pendeka-tan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konsep (conseptual ap-proach). Pendekatan undang-undang dilaku-kan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang diangkat, pendekatan konsep di-lakukan dengan cara medi-lakukan penelusuran terhadap pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum yang bersumber dari pendapat para ahli mau-pun teori.

Semua bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah dikumpulkan, diklasifikasi, dan dikategorisasikan sesuai dengan isu hukum. Dalam penelitian ini

anal-2 Salah satu tujuan utama dalam agenda Rencana Pembangunan Pembangunan Menengah Nasional 2015-2019 adalah melakukan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja, mendorong pembangunan investasi disertai dengan pertumbuhan inklusif dan pembangunan yang berkelanjutan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka pelaksanaan hukum kepailitan dengan model pembuktian sederhana dapat mematikan suatu usaha yang sehat (mampu membayar) merupakan perbuatan yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan usaha prospektif di Indonesia.

isis terhadap bahan hukum dilakukan secara preskriptif analitis, yaitu bertujuan untuk menghasilkan prekripsi mengenai apa yang seharusnya sebagai esensi dalam penelitian hukum yang berpegang pada karakter ilmu hukum sebagai ilmu terapan.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Adil merupakan unsur konstitutif yang berkaitan dengan hukum. Unsur adil berada pada posisi tertinggi untuk memecahkan kekakuan-kekakuan yang terhalang oleh tembok-tembok prosedural dalam pencarian keadilan dan kebenaran. Positivisme yang menempatkan kepastian hukum sebagai tu-juan hukum menjadikan dasar rasionalitas akan valid apabila berbentuk norma-norma yang ditetapkan oleh sebuah instrumen dan dapat dipaksakan berlakunya.3

Keadilan merupakan tujuan hukum un-tuk sebesar-besar kemakmuran dan keter-tiban bagi rakyatnya. UU Nomor 37 Tahun 2004 pada bagian konsideran menimbang menyatakan:

“Bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik In-donesia Negara Republik InIn-donesia Tahun 1945 harus dapat mendukung dan menja-min kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum yang berintikan ke-adilan dan kebenaran”

Menurut Asep Warlam, “nilai keadilan merupakan sesuatu perwujudan yang sifatnya mutlak, keadilan adalah saripati dalam ke-hidupan manusia Indonesia yang beradab”.4

3 E. Sumaryono. 2006. Etika Hukum. Yogyakarta : Kanisius, hlm. 183.

4 Asep Warlan Yusuf. 2008. Memuliakan Hukum

(5)

Nilai-nilai dasar kemanfaatan mengarahkan hukum pada pertimbangan pemenuhan kebu-tuhan masyarakat pada suatu saat tertentu, se-hingga hukum itu mempunyai peranan yang nyata bagi masyarakat. Sedangkan kepastian hukum akan lebih melihat bekerjanya hukum sebagai suatu susunan peraturan yang logis dan tertutup. Keadilan, kepastian dan keman-faatan sebagai tujuan hukum adalah satu ke-satuan keseimbangan. Prinsip keseimbangan antara ketiganya adalah asas penting dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila.5

Persoalan hukum dan keadilan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.6 Aristoteles

mengatakan bahwa “keadilan itu kebaikan politis, dimana ukuran sesuatu yang benar itu tertuang dalam aturan-aturan”.7 Setiap

aturan diharapkan dapat memenuhi keadilan hukum, keadilan moraldan keadilan sosial. Keadilan sosial tidak saja diharapkan terako-modir dalam aturan, tetapi juga mempunyai kedudukan penting terkait perlindungan bagi masyarakat. Keadilan umum dapat diterima dengan kesesuaian hukum. untuk menyetujui tuntutan keadilan perlu meyakinkan bahwa semua yang dilibatkan telah mempertimbang-kan dan tidak seorangpun diberi preferensi pada dasar yang tidak relevan. Keadilan utama atau keadilan khusus terbagi menjadi keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif harus membedakan perbedaan in-dividu. Keadilan distributif ini sangat relevan

Berkeadilan, Dalam Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum, memperingati 70 Tahun Prof Dr. Arief Sidharta,SH .Bandung : PT. Refika Aditama, hlm

221.

5 Teguh Prasetyo. 2015.Keadilan Bermartabat

Perspektif Teori Hukum. Cetakan Kedua. Bandung

: Nusa Media, hlm 113.

6 Theo Huijbers. 1991. Filsafat Hukum.Yogyakarta : Kanisius, hlm 63.

7 HR. Daeng Naja. 2006.Contract Drafting. Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm 13.

untuk diterapkan dalam kepailitan.

Keadilan distributif menjadi ukuran ke-baikan yang diinterpretasikan secara berbe-da berbe-dalam masyarakat yang berbeberbe-da, stanberbe-dar disesuaikan dalam perbedaan masyarakatnya. Secara konkrit suatu peraturan hukum ke-pailitan tidak saja memperhatikan kepent-ingan kreditor dan debitor tetapi juga mem-perhatikan kepentingan masyarakat sehingga tercipta keseimbangan. Keadilan distributif dapat dilihat dalam asas keseimbangan dalam hukum kepailitan, asas ini menghendaki hu-kum kepailitan digunakan sebagai sarana untuk menyelesaikan persoalan antara kedua belah pihak tanpa dilandasi adanya itikad buruk dan ketidakjujuran. Asas ini meng-inginkan adanya keseimbangan pemenuhan kepentingan antara kreditor dan debitor. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas keadilan yaitu asas yang menempatkan kepentingan para pihak yaitu kreditor dan debitor secara adil.

Keadilan sepanjang masa tidak akan pernah habis dibicarakan, bahkan akan se-makin mencuat seiring dengan perkemban-gan masyarakat, hal ini karena tuntutan dan kepentingan yang berbeda, bahkan seringkali terjadi pertentangan. Keadilan sesungguhn-ya merupakan konsep sesungguhn-yang bersifat relatif. Ketidakadilan terhadap perusahaan yang prospektif terletak pada syarat kepailitan yang tidak memuat syarat kemampuan debi-tor, selanjutnya pembuktian dalam kepaili-tan dilakukan secara sederhana yaitu hakim cukup membuktikan adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar, adapun besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon dan termohon tidak menghalangi dijatuhkan-nya putusan perdijatuhkan-nyataan pailit.

(6)

diabai-kan dalam ikon masyarakat modern yang mengedepankan kepastian aturan, hukum merupakan pernyataan keadilan yang dapat tertuang dalam hukum positif ataupun tidak. Tugas hukum positif adalah mencapai suatu keserasian dari kepastian hukum, makna kes-erasian berarti keadilan. Menurut Radbruch, hukum sebagai pengemban keadilan maka nilai keadilan adalah sebagai mahkota dari setiap tata hukum.8

Hukum kepailitan juga memerlukan adanya kepastian aturan merupakan dasar keabsahan hukum, maka dalam kepailitan diperlukan adanya aturan tertulis yang mem-pertimbangkan keadilan dan kemanfaatan. Kepastian aturan dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk mewujudkan keadilan. Konsep kepailitan yang bernilai kepastian hu-kum maka rumusan konsep harus memberi-kan kejelasan maksud dan tujuan serta sesuai dengan hakikat kepailitan. Menurut Sajtipto Rahardjo ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hu-kum adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan fakta, bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan serta mudah dijalankan. Keem-pat, hukum positif itu tidak boleh sering di-ubah-ubah.9

Kepastian hukum tentang pembuktian dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pem-8 Bernard L. Tanya, dkk. 2010.Teori Hukum

: Strategi Tertib Manusia Lintas ruang dan Generasi. Yogyakarta : Genta Publishing,hlm 129.

9 Satjipto Rahardjo. 2006.Hukum Dalam Jagat

Ketertiban. Jakarta : Nuansa Cipta Warna,hlm 135.

bayaran Utang tidak memberikan penjela-san secara rinci tentang tata cara penerapan pembuktian sederhana ini dilakukan dalam memeriksa permohonan pailit. Definisi dan batasan dalam penggunaan pembuktian seder-hana tidak dijelaskan dalam undang-undang sehingga membuka perbedaan yang semakin lebar diantara para hakim dalam menafsirkan pengertian pembuktian sederhana dalam me-nyelesaikan permohonan kepailitan.10

Batasan pembuktian sederhana terdapat pada Rakernas Mahkamah Agung Rakernas yang diadakan pada bulan September 2002, yaitu karena jenis penyelesaian perkara ke-pailitan adalah permohonan (voluntair), maka pemeriksaannya bersifat sepihak. Dalam pemeriksaan permohonan, Majelis Hakim hanya bertugas memeriksa kelengkapan do-kumen persyaratan untuk dikabulkannya suatu permohonan dengan melakukan cross check dengan si pemohon atau pihak ter-kait. Pemeriksaan perkara permohonan tidak mengenal adanya eksepsi, jawaban, replik, duplik dan kesimpulan seperti halnya dalam gugatan (contentiosa).11Dalam UU Nomor 37

Tahun 2004, tidak mengatur mengenai eksep-si (kecuali eksepeksep-si mengenai kewenangan mengadili).12

Pemeriksaan permohonan kepailitan dalam kaitannya dengan pembuktian, majelis hakim memfokuskan pada:

1. Apakah ada hubungan perutangan antara kreditor dan debitor dimana utang

terse-10 Aria Suyudi, Eryanto Nugroho dan Herni Sri Nurbayanti. 2004.“Analisis Hukum kepailitan

Indonesia : Kepailitan Di Negeri Pailit”.Jakarta :

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, hlm 148.

11 Ibid, hlm 148.

12 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Hakim.

(7)

but telah jatuh waktu dan dapat ditagih? 2. Apakah hubungan perutangan antara

deb-itor dan kreddeb-itor dengan kreddeb-itor lainnya? Mahkamah Agung dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Hakim (Hukum Per-data Khusus) menyatakan bahwa parameter atau indikator dari terbukti secara sederhana adalah merujuk pada ketentuan Penjelasan Pasal 8 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004, parameternya adalah pada waktu pembuktian adanya hutang.

Indikator yang harus dibuktikan dalam pemeriksaan permohonan kepailitan pertama, membuktikan adanya utang berarti melihat ada atau tidaknya hubungan perutangan. Pen-gadilan Niaga hanya membuktikan eksistensi adanya hubungan perutangan, sedangkan mengenai besaran jumlah utang tidak meng-halangi. Selain pembuktian adanya hubungan perutangan, maka pembuktian utama yang lain adalah pembuktian adanya kreditor lain dalam pemeriksaan permohonan kepailitan. Agar permohonan pailit dapat dikabulkan, maka pemohon pailit mempunyai beban un-tuk membuktikan adanya kreditor lain dalam persidangan.

Beberapa arahan Mahkamah Agung yang termuat dalam SEMA No. 07 Tahun 2012 berkaitan dengan pembuktian adanya kreditor lain dalam kepailitan sebagai berikut:

1. Pihak yang harus melakukan pemanggi-lan kreditor lain untuk menghadiri sidang permohonan pailit adalah pemohon pailit, oleh karena kreditor lain merupakan ba-gian pembuktian dari pemohon pailit. 2. Pembuktian adanya kreditor kedua tidak

cukup dibuktikan dengan Neraca/ Lapo-ran keuangan dari Termohon Pailit.

Me-lainkan kreditor kedua harus dibuktikan dengan bukti surat (loan agreement) atau saksi (kreditor kedua hadir) kecuali diakui oleh debitor.

Pertanyaan mendasar apabila terdapat fakta atau keadaan yang tidak dapat dibukti-kan secara sederhana, apakah perkara terse-but tidak dapat diajukan ke pengadilan niaga, karena merupakan yurisdiksi dari pengadilan negeri (pengadilan perdata biasa), untuk itu perlu diberi tafsiran bahwa Pasal 8 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004 hanyalah bertu-juan mewajibkan hakim untuk tidak menolak permohonan pernyataan pailit apabila dalam perkara itu dapat dibuktikan secara sederhana fakta dan keadaannya, yaitu fakta dan keadaan sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1). Akan tetapi bukanlah berarti apabila ternyata dalam perkara yang diajukan permohonan pernyata-an pailitnya itu tidak dapat dibuktikpernyata-an secara sederhana maka majelis hakim menolak un-tuk memeriksa perkara kepailitan tersebut. Majelis hakim pengadilan niaga tetap wajib memeriksa dan memutus permohonan per-nyataan pailit.

Pengaturan pembuktian dan dasar pen-gadilan mengambil putusan terhadap debi-tor merupakan ketentuan yang sangat pent-ing karena Pasal 8 ayat (4) merupakan ujung tombak yang mengakibatkan terjadinya pailit. Pasal 8 ayat (4) berisi “belenggu” terhadap hakim dalam membuat putusan pernyataan pailit. Hakim tidak diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan faktor di luar ketentuan pasal, sebagaimana terlihat dalam bunyi Pasal 8 ayat (4) yaitu: “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit se-bagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi”

(8)

Frase “harus” dalam Pasal 8 ayat (4) men-jadi frase yang membelenggu hakim dalam memutus. Hakim tidak memiliki pertimban-gan selain harus menerima permohonan pailit yang diajukan apabila telah memenuhi unsur Pasal 2 ayat (1). Meskipun hakim diberikan kekuasaan dan kemandirian untuk dapat ke-luar dari bunyi ketentuan pasal, namun dalam kenyataannya sifat legalistik positivistik lebih dominan pada hakim di Pengadilan Niaga. Bunyi pasal diterapkan untuk kepastian hu-kum dan dapat mengikis makna ketidakdilan dan kemanfaatan secara luas.

Perlindungan hukum terhadap debitor dapat dilakukan dengan mengganti frase “ha-rus” menjadi frase “dapat” dikabulkan, hal ini akan memberikan ruang kepada hakim Pengadilan Niaga untuk mempertimbangkan faktor lain dalam putusan, seperti melakukan analisis terhadap laporan keuangan debitor dan faktor itikad baik serta prinsip-prinsip perlindungan terhadap debitor perusahaan yang prospektif, meliputi pertimbangan kes-ejahteraan masyarakat terkait, perkembangan dunia usaha serta pertimbangan penguatan ekonomi nasional” . Hakim dapat memberikan putusan berdasarkan pada keadilan substantif yaitu keadilan yang terkandung makna filoso-fis bahwa hakim tidak harus dibelenggu oleh bunyi undang-undang. Hal ini sesuai dengan makna bahwa hakim mempunyai kewajiban untuk menggali nilai-nilai untuk menemu-kan putusan yang berkeadilan. Sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat“ maka oleh undang-undang Hakim dibebani tugas sebagai

legis-lator judge.13 Hakim “boleh” membuat

hu-kum sendiri keluar dari bunyi undang-undang yang tidak adil, tetapi “tidak harus” selalu keluar dari ketentuan atau isi undang-undang selama keadilan masih bisa ditemukan dalam bunyi undang-undang. Hakim baru boleh ke-luar dari isi undang-undang jika setelah digali sedemikian rupa, rasa keadilan itu tetap tidak dapat ditemukan di dalamnya”.14

Frase “secara sederhana” juga harus di-hilangkan karena dikaji dari model pengajuan pailit yang sifatnya permohonan, secara oto-matis semua proses pemeriksaan akan dilaku-kan lebih sederhana dibandingdilaku-kan dengan pemeriksaan gugatan. Secara sederhana yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) di penjelasan menggambarkan kesederhanaan pembuktian terhadap syarat adanya kreditor dan adanya utang yang tidak dibayar lunas, jatuh waktu dan dapat ditagih dalam proses persidangan. Adanya frase yang harus dibuktikan yang dimaksud adalah “debitor yang berada dalam keadaan tidak mampu membayar”, maka sey-ogyanya diperlukan suatu tambahan pembuk-tian dan prosedur yang dapat membuktikan bahwa debitor memang berada dalam ketida-kmampuan membayar.

Hukum kepailitan dalam sistem common law prosedur ini dinamakan dengan istilah insolvency test (tes ketidakmampuan mem-bayar). Terdapat perbedaan antara insolvensi yang dianut dalam undang-undang kepaili-tan Indonesia dengan insolvency test dalam

13 Romli Atmasasmita. 2012.Teori Hukum Integratif,

Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif.Yogyakarta : Genta

Publishing, hlm 39.

14 Moh. Mahfud MD. Penegakan Keadilan di

Pengadilan, Kumpulan Tulisan Mahfud MD, posted

15 Juli 2015, https://profmahfud.wordpresscom/

penegakan-keadilan-di-pengadilan. akses 10

(9)

sistem common law. Insolvency test di dalam sistem hukum common law dilakukan sebe-lum putusan pernyataan pailit dijatuhkan, harus dibuktikan oleh pihak pemohon sebe-lum debitor dinyatakan pailit dan merupakan syarat untuk dapat dinyatakan pailit, seba-liknya disisi lain sebelum dinyatakan pailit, debitor dapat membuktikan solvabilitas debi-tor melalui laporan keuangan bahwa dirinya solvent. Sedangkan insolvensi menurut hu-kum kepailitan Indonesia dibuktikan setelah adanya putusan pailit dan merupakan penentu apakah harta debitor akan dieksekusi atau ti-dak.

Secara normatif konsep insolvensi yang dianut Indonesia saat ini tertuang dalam penjelasan Pasal 57 ayat (1), insolvensi diarti-kan sebagai keadaan tidak mampu membayar. Namun keadaan tidak mampu membayar ini ternyata bukan menjadi syarat untuk dapat dijatuhkannya pernyataan pailit, sehingga ti-dak diatur lebih lanjut dalam salah satu pasal dalam UU Kepailitan, karenanya hal ini ti-dak dapat dijabarkan bagaimana ketentuan UU Kepailitan ini menentukan keadaan tidak mampu membayar. Selain Pasal 57 ayat (1) terdapat beberapa pasal lain dalam UU No-mor 37 Tahun 2004 yang menyebutkan kata insolvensi yaitu:

a. Pasal 57 ayat (1) menyatakan: “jangka waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi seb-agaimana dimaksud Pasal 178 ayat (1)” b. Pasal 59 ayat (1) menyatakan: “Dengan

tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58 Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut

dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan sejak dimulainya keadaan insol-vensi sebagaimana dimaksud Pasal 178 ayat(1)”

c. Pasal 187 ayat (1) menyatakan: “Setelah harta pailit berada dalam keadaan insol-vensi maka Hakim Pengawas dapat men-gadakan suatu rapat kreditor pada hari jam dan tempat yang ditentukan untuk men-dengar seperlunya mengenai cara pembe-resan harta pailit dan jika perlu mengada-kan pencocomengada-kan piutang yang dimasuk-kan setelah berakhirnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) dan belum juga dicocokkan. d. Penjelasan Pasal 292 menyatakan

“Keten-tuan dalam Pasal ini berarti bahwa putu-san pernyataan pailit mengakibatkan harta pailit debitor langsung dalam keadaan in-solvensi”.

Pasal-pasal tersebut tidak memberikan definisi yang jelas tentang apa yang dimak-sud insolvensi menurut UU Nomor 37 Tahun 2004. Makna insolvensi menurut UU Nomor 37 Tahun 2004 sesungguhnya adalah seb-agaimana ketentuan Pasal 178 ayat (1) yang berbunyi: “ jika dalam rapat pencocokan piu-tang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian di-tolak berdasarkan putusan yang telah mem-peroleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam dalam keadaan in-solvensi.”

Insolvensi terjadi jika tidak terjadi per-damaian dan demi hukum harta pailit berada dalam keadaan tidak mampu membayar selu-ruh utang yang wajib dibayar, sehingga secara prosedural menurut ketentuan pasal ini dalam suatu proses kepailitan, harta pailit dianggap berada dalam keadaan insolvensi atau tidak

(10)

mampu membayar apabila dipenuhi keadaan sebagai berikut:

a. Dalam rapat verifikasi tidak ditawarkan perdamaian;

b. Perdamaian yang ditawarkan telah ditolak; c. Pengesahan perdamaian tersebut dengan

pasti telah ditolak.

Pembuktian terjadinya insolvensi dilaku-kan apabila dalam rapat kreditor tersebut de-bitor tidak mengajukan rencana perdamaian atau rencana perdamaian yang diajukan de-bitor ditolak, maka dalam kondisi ini dede-bitor telah berada dalam keadaan insolvensi, arti-nya UU Kepailitan menetapkan keadaan ber-henti membayar setelah dilakukannya veri-fikasi utang ketika debitor telah dinyatakan pailit dan akibat kepailitan telah berjalan.

Berdasarkan beberapa kelemahan dalam pembuktian yang terdapat dalam undang-undang kepailitan Indonesia, maka pembuk-tian kepailitan di masa depan perlu dilakukan perubahan. Model pembuktian yang ditawar-kan dalam pembuktian di Pengadilan Niaga untuk memberikan keadilan terhadap debi-tor yang mempunyai kemampuan membayar adalah melalui solvable test(tes kemampuan). Tes ini berbeda dengan yang dilakukan di dalam sistem common law yang dilakukan dalam bentuk tes ketidakmampuan, melaink-an membayar debitor. Tes kemampumelaink-an mem-bayar ditujukan pada debitor prospektif. Tes kemampuan membayar memberikan keadi-lan kepada debitor prospektif dari terjadinya kepailitan. Tes kemampuan membayar lebih bernilai positif dan lebih mudah dilakukan.

Konsep debitor yang mampu menurut teori analisis ekonomi terhadap hukum di-maknai sebagai debitor yang sehat apabila debitor berupa perusahaan,maka termasuk

dalam kategori liquid dan solvable.15Menurut

Hery,“likuiditas menunjukan kemampuan dalam memenuhi kewajiban utang dalam jangka pendek. Sedangkan Solvabilitas meru-pakan kemampuan memenuhi kewajiban jangka panjang. Indikator tingkat kemam-puan dapat dilihat dari tingkat solvabilitas yang dicapai”.16

Solvable test merupakan kegiatan anali-sis terhadap prospektif perusahaan melalui laporan keuangan yang disesuaikan untuk mencerminkan kinerja ekonomis perusahaan secara akurat. Analisis prospektif merupakan inti penilaian. Analisis prospektif juga bergu-na untuk menguji ketepatan rencabergu-na strategis perusahaan. Untuk itu perlu di analisis apak-ah perusapak-ahaan mampu menghasilkan arus kas yang cukup untuk mendanai pertumbu-han yang diharapkan atau apakah perusahaan memerlukan pendanaan utang atau ekuitas di masa depan. Perlu di analisis pula apakah ren-cana strategis kini akan menghasilkan man-faat seperti yang direncanakan oleh manaje-men perusahaan.

Analisis rasio keuangan digunakan untuk dapat menilai sebuah perusahaan me-miliki potensi dan prospek. Rasio keuangan merupakan alat utama untuk melakukan anal-isis keuangan. Analanal-isis rasio keuangan dapat mengungkapkan hubungan yang penting an-tara laporan keuangan dan dapat digunakan untuk mengevaluasi kondisi keuangan dengan kinerja perusahaan.17 Analisis rasio keuangan

dapat memberikan gambaran mengenai ke-adaan finansial perusahaan serta dapat

mem-15 Hery. 2005. Analisis Laporan Keuangan :

Pendekatan Rasio Keuangan. Cetakan Pertama.

Yogyakarta : Center for Academic Publishing Servise CAPS, hlm 191.

16 Ibid.

(11)

berikan informasi apakah kondisi keuangan perusahaan itu sehat atau tidak. Informasi kondisi kesehatan keuangan perusahaan san-gat diperlukan untuk menjaga eksistensi se-buah perusahaan di masa depan.18

Analisis rasio keuangan sebagai kegiatan inti dari solvable test pada dasarnya adalah model pembuktian yang dibebankan pada pihak debitor prospektif, yang disampaikan debitor pada hakim berupa laporan keuangan. Menurut hukum pembuktian perdata maka pembuktian harus dibebankan terhadap pi-hak dengan beban pembuktian yang bersi-fat positif dalam hal ini adalah kemampuan membayar debitor, tidak pada hal-hal yang bersifat negatif yaitu ketidakmampuan mem-bayar. Mahkamah Agung dalam putusan-nya tanggal 15 Maret 1972 Nomor: 547 K/ Sip/1971 menyatakan bahwa, “pembuktian yang diletakan kepada para pihak yang ha-rus membuktikan sesuatu yang negatif adalah lebih berat daripada beban pembuktian pihak yang harus membuktikan sesuatu yang posi-tif, yang tersebut terakhir ini termasuk pihak yang lebih mampu untuk membuktikan”.

Teori pembuktian perdata Negativa Non Sunt Probanda merupakan teori yang bertitik tolak pada asas beban pembuktian yang me-nyatakan bahwa sesuatu yang negatif sifat-nya sulit dibuktikan.19 Sehingga untuk dapat

menyatakan debitor tidak mampu membayar utang, justru dengan melakukan pembuktian

18 Wicak Lingga Bahara, Muhammad Saifi dan Zahroh Z.A.“Analisis Tingkat Kesehatan

Perusahaan Dari Aspek Keuangan Berdasarkan Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor : KEP-100/MBU/2002 (Studi Kasus pada PT. ADHI KARYA (Pesero) Tbk. Periode 2012-2014)”.

Jurnal Administrasi Bisnis (JAB) Vol. 26. No.1 september 2015, hlm 2.

19 Achmad Ali dan Wiwie Heryani. 2013.

“Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata”. Cetakan ke-2.

Jakarta : Prenada Media Group, hlm 117.

terhadap kemampuan membayar debitor, me-lalui laporan keuangan yang disampaikan de-bitor.

Tahap pemeriksaan ini hakim akan melakukan penilaian terhadap laporan keuan-gan berstandar akutansi keuankeuan-gan yang dis-ampaikan oleh debitor, atau apabila diperlu-kan hakim dapat meminta tim ahli independen untuk melakukan penilaian terhadap laporan keuangan tersebut. Hasil pemeriksaan pen-dahuluan terhadap laporan keuangan debi-tor sebagai bahan pertimbangan hakim dalam membuat putusan. Hakim akan melakukan pertimbangan terhadap hasil analisa laporan keuangan tersebut, apabila berdasarkan hasil analisa laporan keuangan debitor dinyatakan perusahaan debitor masih memiliki potensi dan prospek disertai adanya itikad baik dari debitor untuk melakukan pembayaran utang, maka seyogyanya hakim membuat putusan untuk tidak mempailitkan debitor.

Sebaliknya apabila dalam pemeriksaan diketahui hasil perusahaan debitor tidak me-miliki prospek dan kemampuan untuk mem-bayar utang karena jumlah utang melebihi total harta, maka debitor layak untuk dipailit-kan Selanjutnya apabila berdasardipailit-kan analisis laporan keuangan debitor masih prospektif namun tidak menunjukan itikad baik dalam pembayaran utang, maka juga diserahkan pada pertimbangan hakim. Debitor yang ma-sih memiliki prospek dan kemampuan untuk membayar utang serta memiliki itikad baik untuk membayar utang diberikan perlindun-gan denperlindun-gan tidak dijatuhi putusan pernyataan pailit. Itikad baik debitor dapat ditunjukan dengan adanya suatu perjanjian atau per-nyataan kesanggupan membayar dari debitor prospektif.

Mekanisme ini memberikan perlindun-gan yang adil terhadap para pihak, debitor

(12)

yang beritikad baik dan prospektif diberikan perlindungan dari terjadinya kepailitan, se-baliknya debitor yang nakal dan tidak beriti-kad baik karena tidak mau membayar utang meskipun menurut analisis laporan keuangan dinyatakan masih prospek, hakim dapat mem-pertimbangkan untuk tetap dipailitkan karena dinilai tidak adanya itikad baik, sehingga ti-dak diberikan perlindungan oleh hukum.

Melalui mekanisme pemeriksaan laporan keuangan debitor dalam tahap pembuktian, maka debitor yang akan dipailitkan adalah debitor yang benar-benar berada dalam keti-dakmampuan membayar utang dan benar-benar tidak memiliki potensi dan prospek serta itikad baik. Tahapan ini adalah tahap penyaringan atau penyeleksian terhadap debi-tor solven dan insolven, yang akan dijadikan bahan hakim dalam pertimbangan membuat putusan pernyataan pailit.

PENUTUP Kesimpulan

Model solvable test pada pembuktian kepailitan di Pengadilan Niaga dapat men-gakomodir aspek keadilan bagi debitor peru-sahaanyang mempunyai kemampuan mem-bayar. Solvable testmerupakan mekanisme pembuktian yang dilakukan terhadap rasio keuangan perusahaan untuk membuktikan aspek kemampuan membayar utang perusa-haan. Model Solvable test pada pembuktian kepailitan melengkapi pembuktian kepailitan terhadap syarat subtantif yaitu adanya fakta kreditor lebih dari satu dan adanya fakta utang yang tidak lunas telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Saran

Model solvable test pada pembuktian kepailitan memiliki keniscayaan untuk diako-modir dalam Undang-Undang Nomor 37

Ta-hun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, karena dapat mewujudkan aspek keadilan bagi debitor perusahaan yang mempunyai kemampuan membayar.

BIBLIOGRAFI

Ali, Achmad dan Wiwie Heryani. 2013. Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata. Cetakan ke-2. Jakarta: Prenada Media Group.

Atmasasmita, Romli. 2012.Teori Hukum In-tegratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Yogyakarta: Genta Publishing. Hery. 2005. Analisis Laporan Keuangan :

Pendekatan Rasio Keuangan. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Center for Aca-demic Publishing Servise CAPS.

Huijbers, Theo. 1991. Filsafat Hukum.Yogya-karta: Kanisius.

Naja, HR. Daeng. 2006. Contract Drafting. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Prasetyo, Teguh. 2015. Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum. Cetakan Kedua. Bandung: Nusa Media.

Rahardjo, Satjipto.2006. Hukum Dalam Ja-gat Ketertiban. Jakarta: Nuansa Cipta Warna.

Sumaryono, E. 2006. Etika Hukum. Yogya-karta: Kanisius.

Suyudi, Aria. Eryanto Nugroho dan Herni Sri Nurbayanti. 2004.Analisis Hukum ke-pailitan Indonesia: Keke-pailitan Di Negeri Pailit. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Ta-hun 2012 Tentang Rumusan Hukum Ha-sil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Hakim.

(13)

Tanya, Bernard L., dkk. 2010. Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing. Wicak Lingga Bahara, Muhammad Saifi dan

Zahroh Z.A. Analisis Tingkat Kesehat-an PerusahaKesehat-an Dari Aspek KeuKesehat-angKesehat-an Berdasarkan Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor: KEP-100/MBU/2002 (Studi Kasus pada PT. ADHIKARYA (Pe-sero) Tbk. Periode 2012-2014). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB) Vol. 26. No.1 september 2015.

Yusuf, Asep Warlan. 2008. Memuliakan Hu-kum Yang Berkeadilan Dalam Alam Demokrasi Yang Berkeadilan, Dalam Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum, memperingati 70 Tahun Prof Dr. Arief Sidharta,SH.Bandung: PT. Refika Adita-ma.

Moh. Mahfud MD, Penegakan Keadilan di Pengadilan, Kumpulan Tulisan Mah-fud MD, posted 15 Juli 2015, https:// profmahfud.wordpresscom/penegakan-keadilan-di-pengadilan. akses tanggal 10 Agustus 2018

Referensi

Dokumen terkait

se-Kabupaten Kebumen, Kepala SMP Negeri/Swasta se-Kabupaten Kehumen untuk mengusulkan penerima Bantuan Eleasiswa/Penghargaan Peserta didik, Pendidik dan Tenaga

Dalam penulisan ilmiah ini penulis mengamati pola penataan taman pada lahan terbatas yang erat kaitannya dengan kenyamaan dan keindahan tempat tinggal. Kehadiran aneka tanaman

Bentuk dan Naskah beberapa formulir tentang perkara, tahanan, barang bukti, denda dan hasil dinas pada KEPJA Nomor : KEP-1 32/JA/I 1/1994 tanggal 7 Nopember 1994 seperti

Bentuk dan Naskah lima Formulir Benda Sitaan dan Barang Bukti serta Petunjuk/Cara Pengisian Formulir LB-2 dan LB-3 yang dimaksud dalam Pasal 2 KEPJA Nomor: KEP-120/J.A/12/1992 seperti

Gaya minimalis merupakan gaya yang tidak terdapat banyak ornamen atau desain khusus pada bentuk bangunan Di Indonesia arsitektur minimalis berkembang pesat melalui kelompok

[r]

[r]

[r]