• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. ANNA MUAWANA, SE, MH F-PKB/A-169 KETUA TIM/WAKIL KETUA BALEG 2 DR. H. SUBYAKTO, SH, MM F-PD/A-495 ANGGOTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1. ANNA MUAWANA, SE, MH F-PKB/A-169 KETUA TIM/WAKIL KETUA BALEG 2 DR. H. SUBYAKTO, SH, MM F-PD/A-495 ANGGOTA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

LAPORAN SINGKAT

KUNJUNGAN KERJA BADAN LEGISLASI DPR RI

KE PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

TANGGAL 5-6 OKTOBER 2012

---

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Salam Sejahtera bagi kita semua.

Yth. Sdr. Pimpinan dan Anggota Badan Legislasi

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT – Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kita dapat menghadiri rapat Pansus pada hari ini dalam keadaan sehat wal’afiat.

Pertama-tama saya atas nama rekan-rekan Anggota tim RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat yang melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyampaikan terima kasih kepada Pimpinan Badan Legislasi yang telah menugaskan kami untuk melakukan kunjungan kerja dalam rangka mencari masukan terkait dengan proses penyusunan RUU tersebut.

Kunjungan kerja Panja RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat ke Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 5-6 Oktober 2012 dengan susunan anggota tim sebagai berikut:

NO. N A M A FRAKSI/

NO.ANGGOTA

JABATAN

1. ANNA MUAWANA, SE, MH F-PKB/A-169 KETUA TIM/WAKIL

KETUA BALEG

2 DR. H. SUBYAKTO, SH, MM F-PD/A-495 ANGGOTA

3 INGRID MARIA PALUPI KANSIL,S.SOS F-PD/A- ANGGOTA

4 KRMT ROY SURYO NOTODIPROJO F-PD/A-505 ANGGOTA

(2)

2

6, Pof. DR. Ir. ISMET AHMAD, Msc F-PAN/A-137 ANGGOTA

7. KH. MUHAMMAD UNAIS ALIHISYAM F-PKB/A-171 ANGGOTA

8 PRAMAARTHA PODE, M.SI - TENAGA AHLI

9. LIBER S. SILITONGA, S.IP - SEKRETARIAT

10. NANIK SULISTYAWATI, S.IP - SEKRETARIAT

11. AAN ANDRIANI, SH., MH - LEGAL DRAFTER

Yth. Sdr. Pimpinan dan Anggota Badan Legislasi DPR RI.

Pertemuan dan Kegiatan yang dilakukan Tim Kunjungan Kerja di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilaporkan sebagai berikut:

1. Pertemuan dan diskusi dengan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Pertemuan dan diskusi dengan Staf Pengajar dan Tim Pakar Masyarakat Hukum Adat Universitas Gadjah Mada, Universita Atmajaya, dan Universitas Islam Indonesia.

Berdasarkan pertemuan dan diskusi yang dilakukan baik di Jajaran Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Civitas akademika Universitas Gadjah Mada, Universita Atmajaya, dan Universitas Islam Indonesia, dapat disarikan beberapa pokok pikiran masukan sebagai berikut:

1. Menyambut dengan baik dan memberikan apresiasi kepada Badan legislasi DPR RI yang telah menginisiasi RUU tentang Pangakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat karena memang selama ini belum ada payung hukum yang memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat hukum adat. Diharapkan juga agar RUU tentang Pangakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat ini kiranya tidak hanya menjadi pajangan saja yang dibuat tetapi tidak dapat diaplikasikan bagi masyarakat hokum adat Indonesia.

2. Secara filosofis, RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat harus dapat menjabarkan secara benar dan tepat tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia

(3)

3

dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Pada alinea ke empat pembukaan tersebut ditentukan bahwa, ”untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...Dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa Mayarakat Hukum Adat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Warga negara Republik Indonesia. Melindungi masyarakat Indonesia sementara masyarakat hukum adatpun merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. RUU ini harus menjabarkan Pasal 28I ayat (3) dan pasal 18B ayat (2).

3. Secara sosiologis, RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat ini diharapkan menjadi payung hukum dalam melaksanakan kegiatan perlindungan masyarakat hukum adat yang tergolong masyarakat rentan, sehingga diperlukan perlindungan yang memadai dibandingkan dengan Warga negara Indonesia lainnya. Masyarakat Hukum Adat dapat dikelompokkan sebagai masyarakat yang membutuhkan Affirmative Action (perlakuan khusus).

4. Secara Yuridis, RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat harus dapat menjabarkan secara benar dan tepat Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Pada pasal 18B ayat (2) ditentukan bahwa ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia diatur dalam Undang-Undang. Pasal 18I ayat 93) menentukan bahwa identitas Budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa Mayarakat Hukum Adat adalah masyarakat yang perlu mendapatkan perlindungan hukum secara memadai. Persyaratan ”sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat” jangan sampai dijadikan alat untuk kepentingan politik pihak-pihak tertentu, tetapi harus diukur secara obyektif berdasarkan riset ilmiah.

(4)

4

5. Dalam setiap pembentukan undang-undang perlu dipastikan tujuan hukum bisa tercapai yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum sudah diatur dalam RUU ini. Tetapi aspek keadilan belum masuk karena masih memarginalkan Masyarakat Hukum Adat apalagi dikaitkan dengan kemanfaatan yang belum ada dalam RUU ini. Berkaitan dengan prinsip kemanfaatan perlu ada prinsip subsistem bahwa masyarakat hukum adata punya hal untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Lalu prinsip hak untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya, equality agar masyarakat hukum adat tidak mendapat perlakuan diskriminatif.

6. Judul sebaiknya dipersingkat saja menjadi: RUU tentang Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Alasannya:

a. Kata “pengakuan” tidak perlu digunakan karena makna/pengertian pengakuan sudah tercakup dalam kata “perlindungan”.

b. Penggunaan kata “pengakuan” justru terkesan merendahkan dan

mendiskriminasikan Masyarakat Hukum Adat dengan Warga Negara Indonesia lainnya. Sepertinya Masyarakat Hukum Adat adalah anak luar kawin yang membutuhkan pengakuan orang tuanya, padahal keberadaannya jauh sebelum lahirnya NKRI Tahun 1945.

c. Secara yuridis, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tidak diperlukan karena masyarakat Hukum Adat adalah bagian dari Warnag negara Indonesia yang secara otomatis sudah sah sejak berdirinya NKRI.

d. Secara faktual masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang tergolong rentan oleh karena itu yang dibutuhkan adalah ”perlindungan” oleh negara atas hak-haknya, keberadaannya, pembinaannya, dll.

e. Dalam ilmu negara sebuah pengakuan (recognition) diberikan oleh suatu negara kepada negara yang baru lahuir dengan tujuan politik yaitu memperkuat secara politis keberadaan negara baru tersebut. Jika hal ini menjadi analogi, bukankah keberadaan Masyarakat Hukum adat justru lebih duluan dibandingkan NKRI? Jika demikian logikanya justru pengakuan Masyarakat Hukum Adat kepada NKRI itu yang dibutuhkan

(5)

5

f. Kata-kata ”Hak-Hak” sebaiknya dihilangkan saja, sebab yang perlu dilindungi tidak sebatas haknya, tapi lebih luas lagi.

7. Ketentuan umum Pasal 1 tentang definisi ”pengakuan hak masyarakat hukum adat” dihilangkan saja karena secara yuridis Masyarakat Hukum Adat adalah bagian dari Warga negara Indonesia yang sah dan tidak perlu pengakuan lagi, yang dibutuhkan adalah jaminan perlindungan hukumnya karena tergolong masyarakat yang rentan. Demikian juga mengenai Definisi tentang ”perlindungan hak masyarakat hukum adat” perlu dipertajam dan diperluas pengertiannya dan tidak sebatas pada ”pelayanan” tetapi pengertiannya juga perlu meliputi: menjaga, merawat, memelihara, dan menyelamatkan (Kamus besar bahasa Indonesia).

8. Terkait dengan definisi masyarakat hukum adat perlu dibuat standar pengertian karena di setiap UU berbeda-beda. Pengertian yang ada pun harus jelas yang mengedepankan masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Negara kesatuan Republik Indonesia. 9. Dalam pengertian Hukum adat masih tercampur hukum tertulis dan hukum tidak

tertulis. Harusnya tidak tertulis saja, karena memang hukum adat tidak tertulis.

10. Penetapan Masyarakat Hukum Adat sebaiknya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah Pusat saja tetapi juga melibatkan pemerintah Daerah, karena Pemerintah Daerah tahu persis tentang Masyarakat Hukum Adat yang ada di daerahnya. Sebagai contoh terhadap masyarakat hukum adat yang disebut nagari maka pemerintah Daerah Sumatera Baratlah yang lebih tahu dibandingkan dengan pemerintah Pusat. Demikian pula terhadap masyarakat hukum adat yang disebut ondoafi hanya Pemerintah Daerah papua yang lebih tahu dari pada Pemerintah Pusat. Sedangkan keterlibatan Pemerintah Pusat dalam memberikan penetapan sebagai masyarakat hukum adat adalah untuk memperkuat legitimasi keberadaan masyarakat hukum adat, sehingga penetapan tersebut berlaku secara nasional. Namun yang perlu diperhatikan yaitu bahwa keterlibatan Pemerintah Pusat dalam penetapan Masyarakat Hukum Adat justru tidak menjadi penghambat.

11. Terkait dengan hak masyarakat hukum adat Masih perlu ditambahkan satu hak lagi yaitu hak untuk menentukan diri sendiri. Lalu hak spiritualitas dan kebudayaan perlu ditegaskan kembali, bahwa masalah spiritualitas itu adalah masalah budaya dan bukan

(6)

6

agama, sebab agama adalah salah satu urusan yang tidak diserahkan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintahan dibawahnya, sehingga perlu pengaturan lebih rinci bagaimana memisahkan hak spiritualitas yang menyatu dengan kebudayaan dengan agama sebagai keyakinan.

12. Sampai dengan sekarang peran pemerintah Daerah terhadap hak ulayat atas tanah kurang sempurna, peran pemerintah khususnya Pemerintah Pusat terhadap hak ulayat atas tanah baru sebatas pemberian pengakuan dalam peraturan perundangan. Sampai dengan sekarang sudah lebih dari satu UU yang menyangkut tentang hak ulayat tentang Tanah (UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pertanahan/UUPA, UU Kehutanan, UU Pertambangan), namun pengaturan hak ulayat tentang tanah dari berbagai UU tersebut tidak sejalan bahkan dapat dikatakan sendiri-sendiri atau berbeda antara Undang-Undang yang satu dengan yang lain. Semestinya hal ini tidak akan terjadi, pengaturan yang terkait dengan tanah semestinya harus mengacu pada UUPA ( UU No. 5 Tahun 1960) sebagai hukum dasar yang mengatur terkait pertanahan. Akibatnya hal ini rentan menimbulkan konflik apabila ada pihak yang akan memanfaatkan tanahulayat, karena ketentuan yang dipakai yaitu UU berbeda dalam mengatur obyek yang sama (hak ulayat atas tanah). Oleh karena itu pemerintah daerah harus berperan dengan membuat regulasi/pengaturan terkait dengan hak ulayat atas tanah.

13. Mengenai tanah dan tata ruang hal ini harus diatur lebih rinci kembali, sebab walaupun telah diamanatkan dalam UU bahwa adanya pengaturan tanah adat diakui dalam UU ini namun jika tidak diatur secara rinci mengenai pengaturan tanah, tata ruang, dan sumber daya alamnya, maka akan berbenturan dengan UU yang mengatur mengenai substansi yang sama serta mengatur secara rinci tentang tanah, tata ruang/wilayah, dan sumber daya alamnya oleh masyarakat adat.

14. Terkait dengan ketentuan Pasal 11, yang menjadi wakil penentu siapa? Karena bisa saja kepala adat mewakili kepentingan pribadi. Pasal 11 bedakan antara jenis dan hak atas tanah. Tanah perseorangan yang mana? Apakah tanah adat apa tanah milik? Tanah adat yang tunduk pada adat atau tanah milik yang tunduk pada hukum agraria.

15. Pasal 17 ayat (2) menyatakan masyarakat hukum adat mendapatkan hak untuk pendidikan lingkungan hidup? Pengaturan ini perlu ditinjau kembali karena justru

(7)

7

masyarakat hukum adat telah memiliki kearifan lokal dalam menangani setiap masalah lingkungan hidup.

16. Pola Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat yang Ideal adalah dengan tetap memperhatikan keharmonisan kehidupan mereka dan jangan sampai pemberdayaan masyarakat hukum adat justru menimbulkan ketidakharmonisan. Pemberdayaan masyarakat hukum adat seharusnya dilakukan secara terencana dengan menyesuaikan kondisi atau kemampuan dari masyarakat hukum adat yang diberdayakan. Dan pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat tidak bisa hanya dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat dimana masyarakat hukum adat berada, tetapi dilakukan bersama-sama dengan Pemerintah Pusat dengan tidak meninggalkan masyarakat yang bersangkutan.

17. Terkait dengan tugas dan wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang paling utama adalah membina termasuk membimbing masyarakat hukum adat, sehingga tidak menjadi masyarakat yang terbelakang, tetapi menjadi masyarakat yang bisa mengikuti perkembangan zaman. Sedangkan kewenangan utama dari Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah disamping menentapkan keberadaan Masyarakat Hukum Adat juga menetapkan program kerja untuk pembinaan, bimbingan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat.

18. Terkait dengan peran lembaga adat atau peradilan terhadap sengketa yang terjadi dalam masyarakat hukum adat perlu diperhatikan beberapa hal antara lain bahwa sebelum berlakunya UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 di Indonesia diakui keberadaan dari perasilan adat, tetapi dengan diundangkannya UU Darurat No 1 Tahun 1951 lembaga peradilan adat dihapus. Diundangkannya UU Darurat No 1 Tahun 1951 menjadikan lembaga peradilan adat yang merupakan salah satu lembaga yang ada di Hukum Adat menjadi punah. Berkurangnya efektifitas lembaga-lembaga adat lebih diperparah dengan diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 1959 yaitu Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah. UU tersebut pada dasarnya menyeragamkan sistem pemerintahan terdepan di Republik Indonesia, yaitu dengan menghapus lembaga pemerintahan masyarakat hukum adat dan menetapkan Pemerintahan Desa sebagai lembaga pemerintahan terdepan yang langsung berhubungan dengan masyarakat.

(8)

8

19. Berkaitan dengan pengaturan mengenai konflik sudah ada peraturan menteri agraria no 5/1999 yang dapat menjadi pedoman bagi penyusunan ruu ini. Penyelesaian sengketa antara masyarakat Hukum Adat dengan pihak ketiga siapapun idealnya mendasarkan pada kearifan lokal. Hasil penyelesaian sengketa dengan pendekatan kearifan lokal diharapkan tidak menimbulkan kegoncangan pada pihak manapun. Penyelesaian sengketa dengan pendekatan kearifan lokal hasilnya diharapkan keharmonisan diantara para pihak tetap terjaga.

20. Pasal 24 dan pasal 25 mengenai sengketa internal: Dalam Hukum Adat tidak dikenal pembagian Hukum Privat dan Hukum Publik. Keduanya merupakan satu kesatuan. kalau mengacu tidak dikenal pembagian hukum privat dan hukum publik. Disamping itu hukum adat yang berlaku pada Masyarakat Hukum Adat, khususnya bersifat komun (kebersamaan), tolong menolong, dinamis-platis dan musyawarah mufakat.

21. Pasal 28 perwakilan dalam sengketa: pihak mana yang mewakili masyarakat hukum adat harus disebut secara jelas agar ada kepastian hukum, misalnya kepala persekutuan adat. Ini untuk menghindarkan konflik Internal dalam penentuan wakil Masyarakat Hukum Adat.

22. Mekanisme solusi konflik yang berhubungan dengan penguasaan dan pemanfaatan atas tanah ulayat di masyarakat hukum adat idealnya tidak diatur secara rinci dalam Rancangan Undang-Undang ini. Mekanisme solusi konflik yang berhubungan dengan penguasaan dan pemanfaatan tanah ulayat di masyarakat hukum adat lebih tepat apabila diatur tersendiri dalam peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang mengatur tentang masyarakat hukum adat.

(9)

9

Demikian laporan singkat dari kunjungan kerja Panja RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat ke Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kekuatan lahir dan batin kepada kita semua, sehingga kita dapat menjalankan tugas-tugas konstitusional dengan sebaik-baiknya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

JAKARTA, OKTOBER 2012 KETUA TIM KUNJUNGAN KERJA

RUU TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT,

ANNA MUAWANA, SE, MH A-169

Referensi

Dokumen terkait

Saya bersedia menjadi responden dalam penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswi Jurusan Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar yang

[r]

Hal ini menunjukkan bahwa bahan jenis tumpatan amalgam banyak digunakan oleh karena jenis bahan ini memiliki harga yang relatif murah selain itu tumpatan amalgam memiliki

Ĥ ari ș ah (pembantu yang diangkat menjadi anak), dan Abu Bakar Siddik (sahabat). Selanjutnya secara perlahan tetapi pasti, pengikut Rasulullah saw. Di antara mereka adalah U¡ man

 Peserta didik mengerjakan beberapa soal dari - dalam buku paket mengenai penentuan koefisien, variabel, konstanta, suku sejenis, dan derajat dari bentuk aljabar, penentuan

Oleh karena itu, dalam penelitian ini disimpulkan bahwa, perjalanan haji ke Puncak Bawa Karaeng adalah bentuk artikulasi dari jemaat Haji Bawa Karaeng, yang

Bagian ini mengatur properti (ukuran, tata letak dan tampilan) dari segala sesuatu yang ada didalam Main-wrapper, seperti Date Header, Post, Comment, Feed Link, dan setiap widget

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan