ISSN: 2580-3298 (cetak) 2580-7277 (online)
DOI: 10.32501/jhmb.v3.i1.45 57
PERMASALAHAN AKSES KEADILAN MELALUI PEMBERI
BANTUAN HUKUM DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT
Rini Setiawati
Kantor Wilayah Hukum dan HAM Kalimantan Barat e-mail korespondensi: rini090366@gmail.com
Abstrak
UUD 1945 menjunjung tinggi persamaan kedudukan di depan hukum, termasuk dalam hal pemenuhan hak atas Bantuan Hukum bagi masyarakat miskin. Secara normatif pengaturan Bantuan Hukum dimuat dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, salah satu implementasinya adalah penyelenggaraan Bantuan Hukum di Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini akan mengkaji mengapa akses keadilan melalui Pemberi Bantuan Hukum di Provinsi Kalimantan Barat belum terpenuhi. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiolegal (sociolegal research) dengan jenis data kualitatif yang bersumber dari data primer melalui wawancara mendalam dengan Kepala Sub Bidang Penyuluhan dan Bantuan Hukum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kalimantan Barat serta anggota dan paralegal Pemberi Bantuan Hukum Terverifikasi dan Terakreditasi; dan data sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan Pemberi Bantuan Hukum di Provinsi Kalimantan Barat masih sangat minim dimana keseluruhan hanya berjumlah 5 (lima) Pemberi Bantuan Hukum dan hanya tersebar di 4 (empat) daerah kabupaten/kota sementara keseluruhan daerah kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat berjumlah 14 (empat belas) daerah kabupaten/kota. Dengan minimnya keberadaan Pemberi Bantuan Hukum ini sementara kebutuhan masyarakat miskin untuk mendapatkan pendampingan dalam menghadapi perkara hukum akan mustahil dapat terwujud dengan maksimal. Pada akhirnya, masyarakat miskin di Provinsi Kalimantan Barat dalam mengakses keadilan menjadi terbatas.
Kata Kunci: Permasalahan, Pemberi Bantuan Hukum, Akses Keadilan
A. PENDAHULUAN
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Persamaan di dalam hukum tersebut dapat terealisasi dan dapat dinikmati oleh masyarakat apabila ada kesempatan yang sama untuk mendapatkan keadilan.(1) Hal ini senada dengan pendapat Oliver Gerstenberg menyatakan bahwa:
“... the inclusion of socioeconomic
rights into a constitution (or their
recognition alongside the
constitution as constitutive
commitments) is a prerequisite a
guaranteeing or upholding a
constitution’s
‘legitimation-worthiness’...”.
(.... dimasukkannya hak-hak sosial ekonomi ke dalam konstitusi (atau pengakuan mereka di samping konstitusi sebagai komitmen konstitusional) adalah prasyarat yang menjamin atau menjunjung tinggi “kelayakan legitimasi konstitusi...).
Kelayakan legitimasi konstitusi dimaksud sama halnya dengan persamaan kedudukan di depan hukum, dimana harus diiringi oleh berbagai kemudahan masyarakat untuk mendapatkan keadilan termasuk di dalamnya pemenuhan hak atas Bantuan Hukum bagi masyarakat miskin. Secara normatif, Bantuan Hukum telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan termasuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.(2) Berturut-turut muatan Pasal 1 angka (1), angka (2) dan angka (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum memberikan pengertian: “Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum; Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin; serta Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini”.
Banyaknya masyarakat miskin yang terjerat kasus hukum dan tidak mampu membayar jasa penasihat hukum dalam mendampingi perkaranya menjadi salah satu alasan dibentuknya suatu wadah berupa Bantuan Hukum. Peranan Pemberi Bantuan Hukum dalam memberikan Bantuan Hukum dalam proses perkara bagi masyarakat miskin sangat penting dikarenakan seringkali masyarakat miskin yang terjerat kasus belum memahami hak-haknya sebagai tergugat, sehingga diperlakukan tidak adil atau dihambat haknya.(3,4) Kebijakan Pemerintah Pusat untuk menghadirkan Pemberi Bantuan Hukum bagi masyarakat miskin sebenarnya sudah tepat tetapi pada kenyataannya masyarakat miskin belum mampu mengakses Bantuan Hukum melalui Lembaga Pemberi Bantuan Hukum.
Provinsi Kalimantan Barat adalah provinsi terbesar ke empat di Indonesia dengan luas sekitar 146.807 km2 (7,53% dari luas Indonesia) atau 1,13 kali Pulau Jawa. Dikutip dari website resmi Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat diketahui bahwa terdapat 14 (empat belas) daerah kabupaten/kota di
Provinsi Kalimantan Barat, diantaranya Kota Pontianak, Kota Singkawang, Kabupaten Mempawah, Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kabu Raya, Kabupaten Kayong Utara.(5) Pada umumnya, masyarakat Provinsi Kalimantan Barat lebih memilih tinggal di daerah dibandingkan perkotaan (Kota Pontianak). Letak geografis yang berbatasan langsung dengan Serawak (Malaysia) dan tingkat perekonomian serta Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih rendah berkontribusi dalam peningkatan kasus hukum yang tinggi di Provinsi Kalimantan Barat, termasuk masyarakat miskin. Sementara, tingkat pengetahuan dan kurangnya informasi yang diperoleh masyarakat miskin pada saat terjerat kasus hukum menjadikan mereka tidak dapat mengakses keadilan melalui pendampingan oleh Pemberi Bantuan Hukum.
Telah ada beberapa penelitian terdahulu yang mengkaji tentang pemberian Bantuan Hukum kepada masyarakat miskin akan tetapi belum ada satupun penelitian yang telah mengkaji secara spesifik terkait perwujudan akses keadilan bagi masyarakat miskin melalui Bantuan Hukum di Provinsi Kalimantan Barat. Seperti halnya artikel penelitian Iwan Wahyu Pujiarto dkk berjudul “Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum”.(3)
Hasil penelitian beliau menyimpulkan bahwa pemberian Bantuan Hukum kepada masyarakat miskin yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum tidak berjalan sesuai
aturan, syarat sebagai Pemberi Bantuan Hukum menghambat pemberian Bantuan Hukum, pemberian Bantuan Hukum tidak berjalan sesuai harapan karena masih dipengaruhi oleh aturan pelaksanaan yang kurang tepat. Penelitian tersebut tidak menyebutkan secara rinci aturan yang kurang tepat sebagaimana disebutkan sebelumnya. Penelitian ini akan mengkaji aspek yuridis keterbatasan akses keadilan melalui Pemberi Bantuan Hukum di Provinsi Kalimantan Barat.
B. PERMASALAHAN
Permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengapa akses keadilan melalui Pemberi Bantuan Hukum di Provinsi Kalimantan Barat belum terpenuhi?.
C. METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiolegal (sociolegal
approach) dengan pendekatan
empirisme kualitatif dan normatif kritikal dalam satu kajian dengan mengumpulkan data yang bersifat naratif melalui hasil wawancara mendalam (indepth interview) dengan informan penelitian terkait keterbatasan akses keadilan melalui Pemberi Bantuan Hukum bagi masyarakat miskin di Provinsi Kalimantan Barat.
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dengan Kepala Sub Bidang Penyuluhan dan Bantuan Hukum di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kalimantan Barat; serta perwakilan anggota dan paralegal Pemberi Bantuan Hukum yang Terakreditasi dan Terverifikasi di Provinsi Kalimantan Barat.
Kemudian data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan dan bahan hukum tersier(6) yang berkaitan dengan perwujudan akses keadilan bagi masyarakat miskin melalui Pemberi Bantuan Hukum di Provinsi Kalimantan Barat, diantaranya:
1. Bahan hukum primer (primary law
material), antara lain:(7)
a. UUD 1945;
b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; c. Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2011 tentang Bantuan Hukum; dan
2. Bahan hukum sekunder (secondary
law material), berupa:
a. buku-buku referensi ilmiah; b. makalah-makalah seminar; c. naskah tulisan di media massa; d. arsip; dan
e. data penelitian yang dipublikasikan.
3. Bahan hukum tersier berupa kamus bahasa Indonesia, kamus hukum, dan kamus lainnya yang bersangkutan dengan penelitian ini.
D. PEMBAHASAN
1. Minimnya Lembaga Pemberi
Bantuan Hukum yang
Terverifikasi dan Terakreditasi di Provinsi Kalimantan Barat
Provinsi Kalimantan Barat merupakan daerah provinsi terbesar ke empat di Indonesia, dengan luas sekitar 146.807 km2 atau 7,53 persen dari lusa Indonesia atau 1,13 kali pulau Jawa dengan batas wilayah administratif sebagai berikut:(5)
Utara : Serawak (Malaysia) Selatan : Kalimantan Tengah Timur : Kalimantan Timur Barat : Laut Natuna dan Selat
Berdasarkan website resmi Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Barat diketahui bahwa terdapat 14 (empat belas) daerah kabupaten/kota, diantaranya Kota Pontianak, Kota Singkawang, Kabupaten Mempawah, Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kabu Raya, Kabupaten Kayong Utara.
Luas dan banyaknya daerah di Provinsi Kalimantan Barat tidak seimbang dengan Lembaga Pemberi Bantuan Hukum yang Terverifikasi dan Terakreditasi. Dari keempat belas kabupaten/kota tersebut, hanya 4 (empat) daerah kabupaten/kota yang memiliki Lembaga Bantuan Hukum yang Terverifikasi dan Terakreditasi hingga saat ini.
Hal yang sama juga diutarakan oleh Kepala Sub Bidang Penyuluhan dan Bantuan Hukum di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kalimantan Barat:
“Wilayah di Provinsi Kalimantan Barat cukup luas dan terbagi atas 14 (empat belas) daerah kabupaten/kota. Akan tetapi, diantara 14 daerah tersebut, baru 4 (empat) daerah yang sudah memiliki lembaga Bantuan Hukum dan sudah menjadi Lembaga Bantuan Hukum Terverifikasi dan Terakreditasi hingga saat ini”. Pada tanggal 7 Januari 2016, melalui Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-01.HN.03.03 Tahun 2016 tentang Lembaga/Organisasi Bantuan Hukum yang Lulus Verifikasi Akreditasi sebagai Pemberi Bantuan Hukum Periode Tahun 2016 sampai
dengan 2018 menetapkan bahwa lembaga-lembaga yang disebutkan dalam lampirannya dapat memberikan Bantuan Hukum dan mengakses anggaran Bantuan Hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keputusan tersebut menetapkan bahwa terdapat sejumlah 405 lembaga Bantuan Hukum yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, 6 (enam) diantaranya terdapat di Provinsi Kalimantan Barat sebagaimana tabel di bawah ini:
Tabel 1. Lembaga Pemberi Bantuan Hukum Terverifikasi dan Terakreditasi di Provinsi
Kalimantan Barat Periode 2016-2018 No. Institusi Wilayah
1 Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Kota Pontianak 2 Posbakumadin Pengadilan Negeri Pontianak Kota Pontianak 3 Gerakan Masyarakat (Gema) Bersatu Ketapang Kabupaten Ketapang 4 Lembaga Kajian dan
Konsultasi Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti Kota Pontianak 5 Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga (LKBH PEKA) Kota Singkawang 6 Galaherang Kabupaten Mempawah
Sumber: Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kalimantan Barat
Sementara Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia terbaru yang juga dapat dilansir melalui website resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional diperoleh Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH-01.HN.07.02
Tahun 2019 tentang Lembaga/Organisasi Bantuan Hukum yang Lulus Verifikasi dan Akreditasi sebagai Pemberi Bantuan Hukum Periode Tahun 2019-2021 disahkan pada tanggal 27 Desember 2018. Lembaga Pemberi Bantuan Hukum di Provinsi Kalimantan Barat ditunjukkan dalam tabel berikut:(8)
Tabel 2. Lembaga Pemberi Bantuan Hukum Terverifikasi dan Terakreditasi di Provinsi
Kalimantan Barat Periode 2019-2021 No Institusi Wilayah 1 Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Gerakan Masyarakat Bersatu (LBH Gema Bersatu) Kabupaten Ketapang 2 Lembaga Kajian, Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti (LKKBH FH UPB) Kota Pontianak 3 Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga Kalimantan Barat Kota Singkawang 4 LBH Galaherang Mempawah Kabupaten Mempawah 5 Pusat Konsultasi dan
Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Tanjung Pura
Kota Pontianak
Sumber: Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kalimantan Barat
Artinya, terdapat 1 (satu) lembaga Pemberi Bantuan Hukum yang berkurang, yaitu Posbakumadin Pengadilan Negeri Pontianak sehingga semula terdapat 6 (enam) Lembaga Pemberi Bantuan Hukum menjadi 5 (lima) Lembaga Pemberi Bantuan Hukum. Hal ini juga menjadi pemicu rendahnya akses yang dimiliki masyarakat untuk mampu menjangkau lembaga Pemberi Bantuan Hukum yang Terverifikasi dan Terakreditasi,
dikarenakan Lembaga Pemberi Bantuan Hukum hanya terdapat di 4 (empat) daerah saja dari total 14 (empat belas) kabupaten/kota di seluruh Provinsi Kalimantan Barat.
Rendahnya jumlah Lembaga Pemberi Bantuan Hukum yang Terverifikasi dan Terakreditasi ini menyebabkan sulitnya masyarakat miskin menjangkau Lembaga Pemberi Bantuan Hukum yang Terverifikasi dan Terakreditasi. Tentu saja jika dibandingkan dengan luas dan banyaknya daerah di Provinsi Kalimantan Barat menjadikan pemberian Bantuan Hukum kepada masyarakat miskin dengan maksimal menjadi sesuatu yang mustahil untuk dilakukan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu anggota dan paralegal Lembaga Kajian dan Konsultasi Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti mengatakan bahwa:
“Bantuan Hukum cuma-cuma berdiri antara cita dan fakta, pada tataran idealis Bantuan Hukum cuma-cuma haruslah diberikan kepada para pencari keadilan khususnya masyarakat miskin dan tidak mampu. Akan tetapi, di sisi lain realitas mengatakan bahwa dalam proses beracara memerlukan biaya terkait misalnya pemanggilan saksi, transportasi dan akomodasi jika advokasi dilakukan di luar kota yang mempunyai jarak tempuh yang sangat jauh, sehingga Bantuan Hukum cuma-cuma menjadi dilema antara cita yang merupakan wilayah idealisme dan fakta yang merupakan wilayah realitas empiris”.
Hal ini dikarenakan dalam 1 (satu) tahun, anggaran untuk Lembaga Pemberi Bantuan Hukum yang
Terverifikasi dan Terakreditasi hanya diberikan untuk 10 (sepuluh) perkara yang didampingi mulai proses penyidikan hingga beracara dan mendapatkan putusan berkekuatan hukum tetap. Sementara, tidak jarang jumlah permohonan yang disampaikan oleh masyarakat miskin kepada Pemberi Bantuan Hukum yang Terverifikasi dan Terakreditasi melebihi dari jumlah tersebut. Selain itu, tidak jarang proses sidang sebuah kasus yang cukup lama dan berkepanjangan di luar kota menjadikan anggota dan paralegal Lembaga Bantuan Hukum harus mengeluarkan biaya lebih dikarenakan anggaran tidak mampu mencukupi
2. Sulitnya menjadi Pemberi Bantuan Hukum Terverifikasi dan Terakreditasi
Sulitnya menjadi Pemberi Bantuan Hukum Terverifikasi dan Terakreditasi menjadi salah satu alasan sulitnya masyarakat miskin mengakses Bantuan Hukum. Pengaturan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum menyebutkan sebagai:
(1) Bantuan hukum diselenggarakan
untuk membantu penyelesaian
permasalahan hukum yang
dihadapi Penerima Bantuan
Hukum.
(2) Pemberian Bantuan Hukum kepada
Penerima Bantuan Hukum
diselenggarakan oleh Menteri dan
dilaksanakan oleh Pemberi
Bantuan Hukum berdasarkan
Undang-Undang ini.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas:
a. menyusun dan menetapkan
kebijakan penyelenggaraan
Bantuan Hukum;
b. menyusun dan menetapkan
Standar Bantuan Hukum
berdasarkan asas-asas
pemberian Bantuan Hukum;
c. menyusun rencana anggaran Bantuan Hukum;
d. mengelola anggaran Bantuan Hukum secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel; dan
e. menyusun dan menyampaikan
laporan penyelenggaraan
Bantuan Hukum kepada
Dewan Perwakilan Rakyat pada setiap akhir tahun anggaran.
Lebih lanjut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum:
(1) Untuk melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (3), Menteri
berwenang:
a. mengawasi dan memastikan
penyelenggaraan Bantuan
Hukum dan pemberian
Bantuan Hukum dijalankan sesuai asas dan tujuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini: dan
b. melakukan verifikasi dan
akreditasi terhadap lembaga
bantuan hukum atau
organisasi kemasyarakatan
untuk memenuhi kelayakan sebagai Pemberi Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Untuk melakukan verifikasi dan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10 huruf b, Menteri membentuk panitia yang unsurnya terdiri atas:
a. kementerian yang
menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi
manusia; b. akademisi;
d. lembaga atau organisasi
yang memberi layanan
Bantuan Hukum.
(3) Verifikasi dan akreditasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setiap 3 (tiga) tahun.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara verifikasi dan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b diatur dengan
Peraturan Menteri.
Ketentuan tersebut di atas menyatakan bahwa sebenarnya penyelenggaraan Bantuan Hukum itu diselenggarakan oleh Menteri dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan Hukum. Artinya, Pemberi Bantuan Hukum sangat terikat dengan Menteri. Posisi Pemberi Bantuan Hukum hanyalah sebatas penyelenggara baik dalam hal kebijakan, standar, maupun anggaran. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum tidak mengatur secara rinci ketentuan tentang tata cara verifikasi dan akreditasi.
Hal tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri, yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan. Tahapan dalam melakukan verifikasi dan akreditasi dilakukan dengan cara sebagai berikut: (1) pengumuman; (2) permohonan; (3) pemeriksaan administrasi; (4) pemeriksaan faktual; (5) pengklasifikasian Pemberi Bantuan Hukum; dan (6) penetapan Pemberi Bantuan Hukum. Sebagaimana hasil wawancara dengan Ketua Lembaga Kajian dan Konsultasi Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti Pontianak menyatakan bahwa:
“Di Provinsi Kalimantan Barat terdapat cukup banyak Organisasi Bantuan Hukum (OBH). Akan tetapi, dikarenakan prosedur verifikasi dan akreditasi yang cukup sulit menjadikan hingga saat ini hanya terdapat 5 (lima) saja Lembaga Bantuan Hukum Terverifikasi dan Terakreditasi.
Berdasarkan SK
KEMENKUMHAM pada tanggal 27 Desember lalu, Posbakumadin Pengadilan Negeri Pontianak dinyatakan tidak lagi sebagai Lembaga Pemberi Bantuan Hukum yang Terverifikasi dan Terakreditasi. Sehingga, kita dari Lembaga Kajian dan Konsultasi Bantuan Hukum diminta untuk membantu mendampingi bersama dengan Peradi”.
Rumitnya proses verifikasi dan akreditasi menjadi salah satu pro kontra diantara para Pemberi Bantuan Hukum. Di satu sisi tujuannya adalah agar penyelenggaraan Bantuan Hukum sesuai dengan asas keadilan, persamaan kedudukan di dalam hukum, keterbukaan, efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas.
Akan tetapi, di sisi lain justru bertentangan tujuan yang ingin dicapai. Bagaimana tidak, sulitnya untuk menjadi Pemberi Bantuan Hukum yang Terakreditasi dan Terverifikasi menjadi persoalan baru dan menjadi kendala dalam rangka menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan, mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum, menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, dan mewujudkan peradilan
yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.
E. PENUTUP
Akses keadilan melalui Pemberi Bantuan hukum di Provinsi Kalimantan Barat belum terpenuhi dipengaruhi oleh
minimnya Pemberi Bantuan Hukum Terverifikasi dan Terakreditasi dan Pemberi Bantuan Hukum yang sudah ada belum tersebar secara merata di 14 (empat belas) daerah kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi Kalimantan Barat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gerstenberg O. Negative/Positive Constitutionalism, “fair balance” and The Problem of Justiciability. Icon Oxford J Vol [Internet]. 10. Tersedia pada: http://icon.oxfordjournals.org/ 2. Pemerintah Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2011, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248). In: Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248). 3. et. al IWP. Pelaksanaan Pemberi
Bantuan Hukum Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun. In Jurnal Arena Hukum;
4. Budimansyah. Tinjauan Terhadap Pelaksanaan Bantuan Hukum Cuma-Cuma di Wilayah Hukum Pengadilan
Negeri Pontianak. J Huk Media Bhakti [Internet]. 2017;1(1). Tersedia pada: http://www.jhmb.ac.id/index.php/jhmb/ article/view/6
5. Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat [Internet]. Tersedia pada: http://kalbarprov.go.id/
6. Suteki, Taufani G. Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan Praktik). Depok: PT RajaGrafinfo Persada; 2018.
7. Leiboff M, Mark T. Legal Theories in Principle. Sydney: Lawbook Co; 2004. 8. Badan Pembinaan Hukum Nasional,
diakses melalui [Internet]. Tersedia pada: https://www.bphn.go.id//data/ documents/sk_menkumham_verasi_pbh _2019-2021.pdf