• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Interpretasi Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra Landsat

Berdasarkan hasil interpretasi visual citra Landsat didapatkan beberapa kelas penggunaan lahan yaitu badan air (sungai, danau, dan laut), hutan, kebun campuran, kebun coklat, kebun jati, kebun karet, kebun tebu, kebun teh, ladang, mangrove, tambak, sawah, semak, dan permukiman. Kombinasi band yang digunakan untuk memudahkan identifikasi penutupan/penggunaan lahan pada citra Landsat adalah 421 (RGB) untuk tahun 1972, sedangkan kombinasi band 542 (RGB) untuk citra Landsat tahun 1990 dan 2008. Kombinasi band tersebut dipilih karena memiliki kekontrasan yang tinggi sehingga memudahkan untuk membedakan penutupan/penggunaan lahan. Kenampakan penggunaan lahan tersebut pada citra Landsat dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan di Citra Landsat dan di Lapang No. Nama Obyek Gambar Obyek Landsat Lapang 1 Badan air 2 Hutan htn ba

(2)

3 Kebun campuran 4 Kebun coklat 5 Kebun jati 6 Kebun karet kc cklt jati krt

(3)

7 Kebun tebu 8 Kebun teh a. Kebun teh

b. Kebun teh yang telah dikonversi menjadi kebun kelapa sawit 10 Ladang/te

galan

tbu

teh

(4)

11 Mangrove diantara galengan tambak 12 Tambak 13 Sawah 14 Semak mgv tmk swh smk tmk mgv

(5)

15 Permuki-man

Badan air. Badan air dalam hal ini meliputi sungai, danau/situ, dan laut.

Kenampakan tubuh air (danau dan laut) pada citra Landsat berwarna biru tua dengan tekstur halus. Kedalaman air mempengaruhi kegelapan warna. Semakin tinggi kedalaman air maka warnanya semakin gelap (biru tua). Di dalam citra Landsat, badan air (sungai) mempunyai bentuk yang berkelok-kelok (meander).

Hutan adalah lahan yang ditumbuhi oleh pepohonan dengan lebat sehingga

membentuk suatu komunitas kehidupan biologi alami atau ekologi tersendiri. Hutan pada citra berwarna hijau tua hingga hijau kehitaman, sesuai dengan kandungan klorofil pada pohon-pohon di hutan. Tekstur hutan tampak kasar karena vegetasi pada hutan mempunyai ukuran yang bervariasi dengan pola yang tidak teratur, ada bayangan igir-igir puncak gunung yang menunjukkan sebaran hingga daerah yang curam, identik dengan letak di sekitar puncak gunung. Kenampakan hutan di lapang didominasi oleh pohon besar dengan kanopi yang rapat. Pohon yang terdapat dalam hutan beraneka ragam, namun didominasi oleh pohon pinus karena dikelola oleh Perum Perhutani. Di Desa Cimanggu, Kecamatan Cisalak, Subang terdapat Hutan Kota Rangga Wulung yang didominasi oleh pohon mahoni, nangka, dan pinus.

Kebun campuran adalah kebun yang terdiri atas campuran vegetasi antara

tanaman tahunan yang menghasilkan buah-buahan dan sayuran serta tanaman semusim. Dibandingkan dengan hutan, kenampakan kebun campuran pada citra Landsat lebih berwarna terang (hijau terang) dengan tekstur relatif kasar. Lokasi kebun campuran umumnya lebih dekat dengan permukiman jika dibandingkan dengan lokasi perkebunan (seperti jati, karet, tebu, dan teh). Di lapang,

(6)

penggunaan lahan kebun campuran terdiri atas pohon-pohon pisang, kelapa, mangga, bambu, singkong, dan jambu. Pepohonan ini ditanam secara tidak teratur, sehingga terlihat sangat rapat. Umumnya tersebar di sekitar permukiman atau lahan kosong dekat dengan sawah dan sungai.

Kebun coklat. Kenampakan kebun coklat pada Landsat lebih terang

dibandingkan dengan kebun karet serta memiliki tekstur yang halus. Kebun coklat di daerah penelitian dikelola oleh PTPN VIII Teh, Kina, dan Kakao yang terletak di Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang.

Kebun jati. Kenampakan kebun jati berwarna merah cerah pada citra Landsat. Di

lapang, pohon jati mempunyai penutupan kanopi yang tidak rapat. Tinggi pohon jati yang ada dalam wilayah penelitian berkisar antara 10-15 meter.

Kebun karet. Kenampakan kebun karet pada citra terlihat mempunyai tekstur

yang kasar. Warna yang tampak pada citra lebih gelap daripada kebun coklat karena karet mempunyai daun yang rimbun. Kenampakan penutupan daun di perkebunan karet sangat lebat. Lokasi kebun karet di daerah penelitian terletak di Kecamatan Cibogo dan Cipunagara. Kebun karet yang ada di wilayah penelitian selain dikelola oleh masyarakat juga dikelola oleh PTPN VIII.

Kebun tebu. Perkebunan tebu pada citra tampak berwarna hijau muda dan

teksturnya lebih kasar dibandingkan dengan kenampakan kebun lainnya. Kebun tebu mempunyai luasan yang lebih besar dibandingkan dengan kebun karet. Di daerah penelitian, kebun tebu terdapat di Kecamatan Cibogo, Haurgeulis, Pagaden, Cipunagara, dan Compreng.

Kebun teh. Kenampakan kebun teh pada citra Landsat berwarna hijau dan kuning

terang dengan tekstur yang halus, mempunyai pola yang teratur (berpetak-petak) yang dikelola oleh PTPN VIII. Perkebunan teh ini terletak di jalan cagak, Desa Tambakan, Kecamatan Cisalak dan Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang. Namun demikian, di lapang ditemukan wilayah perkebunan teh yang telah dikonversi menjadi kelapa sawit karena teh yang dihasilkan kurang baik kualitasnya. Konversi ini dimulai pada tahun 2008.

Ladang. Kenampakan ladang atau tegalan pada citra Landsat berwarna hijau

(7)

berada di daerah sekitar sungai, terdapat di lereng bawah sampai dengan daerah yang berbukit-bukit dengan pola menyebar. Di lapang penggunaan lahan ladang tampak menempati areal kosong bekas sawah, lahan kosong dekat sungai, areal sekitar permukiman, dan di sela-sela kebun campuran. Ladang umumnya diisi oleh tanaman jagung dan singkong.

Mangrove. Mangrove merupakan tanaman yang tumbuh di atas rawa berair

payau yang terletak pada pinggir pantai. Kenampakan mangrove pada citra Landsat berwarna hijau dengan tekstur kasar dan berada di pinggir laut atau tambak. Kawasan mangrove memiliki pola yang memanjang pada pinggir pantai. Bentuk petak-petak yang tampak di Landsat dan di lapangan menunjukkan bahwa mangrove tersebut adalah hasil budidaya, dan bukan mangrove yang tumbuh secara alami.

Tambak. Tambak merupakan kolam buatan untuk budidaya ikan/udang.

Kenampakan tambak berwarna biru tua dengan tekstur halus. Tambak memiliki batas yang jelas dan ukuran petakan lebih besar dari sawah. Di lapang, bentuk tambak umumnya persegi panjang dan tiap petakan dapat meliputi areal seluas 0,5 sampai 2 ha. Tambak ikan air payau banyak dijumpai di Desa Legon Kulon, Kabupaten Subang. Selain itu juga ditemui tambak ikan air tawar.

Sawah. Kenampakan sawah pada Landsat berwarna hijau muda dengan tekstur

halus, dan berada dekat dengan ladang atau permukiman atau berada tidak jauh dari aliran sungai. Sawah yang digunakan secara intensif yaitu tiga kali panen dalam setahun merupakan sawah irigasi dengan lereng yang relatif datar (0-8%). Sawah di Subang bagian selatan umumnya merupakan sawah terasering karena berada di daerah pegunungan dengan elevasi yang cukup tinggi (500-1000 mdpl).

Semak. Kenampakan semak berwarna hijau terang, bertekstur kasar, memiliki

pola yang tidak teratur, dan umumnya dijumpai di perbatasan antara hutan dengan lahan budidaya (kebun campuran atau ladang). Semak yang ditemukan di lapang umumnya terdiri dari tanaman ilalang, melastoma, tanaman perdu, dan tanaman buah liar seperti kersen.

Permukiman merupakan tempat tinggal yang terdiri atas bangunan-bangunan

(8)

sampai ungu dengan pola yang cenderung mengelompok. Kenampakan permukiman di lapang dipengaruhi oleh adanya aksesibilitas. Semakin dekat jaraknya dengan jalan-jalan utama maka luasan permukiman akan semakin besar. Selain itu dipengaruhi oleh adanya jalan, persebaran permukiman juga dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Hal ini berkaitan dengan mata pencaharian umum masyarakat di lokasi penelitian di bidang pertanian, sehingga permukiman berkembang dekat dengan lokasi persawahan. Permukiman dalam hal ini meliputi ruang terbangun seperti : perumahan, sekolah, pasar, masjid, dan gedung layanan masyarakat, dan bangunan lainnya.

5.2 Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1972, 1990, dan 2008

Seperti telah diuraikan di depan, penutupan/penggunaan lahan di DAS Cipunagara dan sekitarnya meliputi 15 tipe yaitu badan air, hutan, kebun campuran, kebun coklat, kebun jati, kebun karet, kebun tebu, kebun teh, ladang, mangrove, tambak, sawah, semak, dan permukiman. Luas dari masing-masing tipe penggunaan disajikan secara grafis dan mencakup tiga titik tahun yaitu 1972, 1990, dan 2008 pada Gambar 9.

Berdasarkan Gambar 9 tipe penggunaan lahan yang mendominasi pada tiga titik tahun tesebut adalah sawah. Luas masing-masing sawah pada tahun 1972, 1990, dan 2008 adalah 36,1%, 46,5%, dan 44,6%. Adapun luasan tipe penggunaan lahan yang paling kecil di tiga titik tahun tersebut adalah tubuh air dengan luasan sekitar 0,2%. Tipe pengunaan lahan lainnya mempunyai luas yang relatif bervariasi.

Pada tahun 1972, penggunaan lahan DAS Cipunagara didominasi oleh sawah yang mencakup luasan 61561,1 ha atau 36,1% dan kebun campuran sebesar 39206,6 ha (23,0%). Kemudian kebun jati sebesar 25727,2 ha (15,1%), sedangkan penggunaan lahan yang lainnya masing-masing luasannya hanya kurang dari 10% dari luas total penggunaan lahan, yaitu meliputi tambak (1,2%), mangrove (2,6%), ladang (3,4%), semak (4,3%), hutan (9,5%), kebun tebu (0,8%), kebun teh (0,7%), kebun coklat (0,5%), badan air (0,2%), dan kebun karet (0,2%).

(9)

Gambar 9. Grafik Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1972, 1990, dan 2008 Bdn

Air htn Kc Cklt Jti Krt Tbu Teh Ldg Mgv Pmk Swh Smk Sgi Tmk Laut

1972 367.2 16255 39206 825.7 25727 293.8 1399. 1245. 5830. 4387. 1372. 61561 7296. 1454. 1996. 1126. % 0.2 9.5 23.0 0.5 15.1 0.2 0.8 0.7 3.4 2.6 0.8 36.1 4.3 0.9 1.2 0.7 1990 271.8 23212 9671. 802.3 18942 851.6 1282. 5452. 6377. 3875. 3642. 79818 12006 1454. 3542. 525.6 % 0.2 13.5 5.6 0.5 11.0 0.5 0.7 3.2 3.7 2.3 2.1 46.5 7.0 0.8 2.1 0.3 2008 271.8 17379 7900. 943.8 17971 787.4 2031. 5014. 7253. 3256. 12822 76521 14076 1454. 3970. 75.3 % 0.2 10.1 4.6 0.5 10.5 0.5 1.2 2.9 4.2 1.9 7.5 44.6 8.2 0.8 2.3 0.0 0.2 9.5 23.0 0.5 15.1 0.2 0.8 0.7 3.4 2.6 0.8 36.1 4.3 0.9 1.2 0.7 0.2 13.5 5.6 0.5 11.0 0.5 0.7 3.2 3.7 2.3 2.1 46.5 7.0 0.8 2.1 0.3 0.2 10.1 4.6 0.5 10.5 0.5 1.2 2.9 4.2 1.9 7.5 44.6 8.2 0.8 2.3 0.0 0.0 10000.0 20000.0 30000.0 40000.0 50000.0 60000.0 70000.0 80000.0 90000.0 L u a s (H a ) Penggunaan Lahan 1972 % 1990 % 2008 %

(10)

Penggunaan lahan sawah pada tahun 1990 masih mendominasi luas penggunaan lahan di daerah penelitian yang mencakup 79818,0 ha atau 46,5% dari luas total pengunaan lahan. Kemudian hutan sebesar 23212,7 ha (13,5%), dan kebun jati sebesar 18942 ha (11,0%), sedangkan penggunaan lahan yang lainnya masing-masing hanya mencakup kurang dari 10% dari luas total penggunaan lahan, meliputi semak (7,05%), kebun campuran (5,6%), ladang (3,7%), kebun teh (5,2%), mangrove (2,3%), permukiman (2,1%), tambak (2,1%), kebun tebu (0,7%), kebun karet (0,5%), kebun coklat (0,5%), dan badan air (0,2%).

Pada tahun 2008 penggunaan lahan di DAS Cipunagara masih didominasi oleh sawah dengan luasan 76521,6 ha atau 44,6%. Kemudian kebun jati sebesar 17971,5 ha (10,5%), dan hutan sebesar 17379,0 ha (10,1%), sedangkan penggunaan lahan yang lainnya masing-masing hanya mencakup kurang dari 10% dari luas total penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang luasannya kurang dari 10% adalah semak (8,2%), permukiman (7,5%), kebun campuran (4,6%), ladang (4,2%), kebun teh (2,9%), tambak (2,3%), mangrove (1,9%), kebun tebu sebesar (1,2%), kebun coklat (0,5%), kebun karet (0,5%), dan badan air (0,2%). Peta penggunaan lahan tahun 1972, 1990, dan 2008 dapat dilihat pada Gambar 10, Gambar 11, dan Gambar 12.

5.3 Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Periode 1972-1990 dan 1990-2008

Grafik persen perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 1972-1990 dan 1990-2008 disajikan pada Gambar 13 dan 14. Berdasarkan Gambar tersebut nampak bahwa tipe penggunaan lahan yang cenderung mengalami penambahan luas adalah permukiman, masing seluas 1,3% dan 5,3%, semak masing-masing 2,7% dan 1,2%, ladang masing-masing-masing-masing 0,3% dan 0,5%, dan tambak masing-masing 0,9% dan 0,2%. Penambahan permukiman secara dominan berasal dari sawah (Tabel 12) diperkirakan pertambahan jumlah penduduk dari tahun ke tahun mendorong masyarakat untuk merubah penggunaan lahan yang ada untuk dijadikan sebagai lahan permukiman. Penambahan pada kelas semak lebih disebabkan karena kebun campuran yang dibiarkan begitu saja dalam waktu yang lama oleh masyarakat, sehingga menjadi semak belukar. Pada umumnya semak merupakan penggunaan lahan transisi dari penggunaan lahan satu ke penggunaan lahan lain.

(11)
(12)
(13)
(14)

Penggunaan lahan yang cenderung mengalami penurunan pada dua periode adalah kebun campuran masing-masing 17,4% dan 0,1%, kebun jati masing-masing 4,1% dan 0,5%, dan mangrove masing-masing 0,3% dan 0,4%. Berdasarkan Tabel 13 dan 14 diketahui bahwa kebun campuran mengalami penurunan luasan yang cukup signifikan karena banyak beralih fungsi menjadi penggunaan lahan lain seperti sawah, permukiman, kebun tebu, kebun coklat, ladang, dan beberapa penggunaan lahan lain sedangkan kebun jati sebagian besar terkonversi menjadi sawah. Pengurangan ini terjadi karena sebagian besar penduduk mempunyai mata pencaharian sebagai petani (Subang Dalam Angka Tahun, 2008). Sehingga mendorong masyarakat untuk merubah penggunaan lahan yang ada untuk dijadikan sawah. Sedangkan mangrove berubah menjadi tambak karena penjualan hasil tambak dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

Penggunaan lahan hutan, kebun karet, dan kebun teh mengalami peningkatan luas pada periode 1972-1990 dan menurun pada periode 1990-2008. Hutan menurun menjadi 3,4%, kebun karet menjadi 0,04%, sedangkan kebun teh berkurang menjadi 0,3%. Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa penggunaan lahan hutan menurun karena terkonversi menjadi semak, kebun jati, ladang, sawah, kebun campuran, dan permukiman. Sedangkan kebun karet terkonversi menjadi sawah, permukiman, dan ladang. Kebun teh berkurang luasannya karena terkonversi menjadi kebun campuran, permukiman, dan sawah. Adapun dinamika perubahan penggunaan lahan disajikan pada Tabel 12.

Penggunaan lahan DAS Cipunagara di kawasan pesisir banyak dipengaruhi oleh karakteristik fisik lahannya (dinamika perubahan garis pantai). Untuk kawasan DAS bagian hulu lebih didominasi oleh faktor manusia. Sedangkan untuk kawasan DAS bagian tengah relatif statis atau tidak berubah, karena didominasi oleh dataran rendah dengan penggunaan lahan berupa sawah, yang sebagian besar beririgasi. Grafik Persen Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan 1972-1990 dan 1990-2008 disajikan pada Gambar 13 dan 14.

(15)

Gambar 13. Grafik Persen Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan 1972-1990

Gambar 14. Grafik Persen Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan 1990-2008 -20.0 -15.0 -10.0 -5.0 0.0 5.0 10.0 15.0 -0.1 4.0 -17.4 0.0 -4.1 0.3 -0.1 2.4 0.3 -0.3 1.3 10.3 2.7 0.0 0.9 -0.4 % Pe ru b ah a n Penggunaan Lahan ba htn kc cklt jti krt tbu teh ldg mgv pmk swh smk sgi tmk lt -4.0 -3.0 -2.0 -1.0 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 0.0 -3.4 -1.0 0.1 -0.6 0.0 0.4 -0.3 0.5 -0.4 5.3 -1.9 1.2 0.0 0.2 -0.3 % P e ru b a h a n Penggunaan Lahan ba htn kc cklt jti krt tbu teh ldg mgv pmk swh smk sgi tmk lt

(16)

Tabel 12. Arah Perubahan Penutup/Penggunaan Lahan

Penggunaan Tahun

Lahan 1972-1990 1990-2008

Badan Air (-) swh,kc,ldg (-) swh

(+) kc,ldg,smk,tbu,swh (+) ldg

Hutan (-) smk,swh,kc,jti,teh,ldg,swh,smk (-) smk,jti,ldg,swh,kc,pmk

(+) kc,jti,teh,ldg,swh,smk (+) teh,ldg

Kebun

Campuran (-) smk,htn,swh,jti,krt,tbu,teh,ldg,pmk (-) swh,pmk,tbu,cklt,ldg (+) smk,htn,jti,cklt,tbu,swh (+) smk,jti,htn,ldg,swh,teh Kebun Coklat (-) jti,swh,ldg,pmk.kc (-) pmk

(+) jti,kc,swh (+) jti,swh,kc,ldgldg,kc

Kebun Jati (-) htn,swh,kc,cklt,krt,teh,ldg,pmk,smk (-) swh,pmk,smk,ldg,kc,cklt,krt (+) kc,swh,smk,htn,krt,cklt (+) htn,smk,swh,ldg

Kebun Karet (-) jti,swh (-) swh,pmk,ldg

(+) kc,jti,ldg,swh (+) swh,jti

Kebun Tebu (-) swh,kc,ldg,pmk,ba (-) pmk,ldg,swh

(+) swh,ldg,kc (+) swh,kc

Kebun Teh (-) swh,htn (-) pmk,kc,swh

(+) htn,kc,jti,ldg,smk (+) kc,smk

Ladang (-) swh,kc,smk,pmk,teh,tbu,krt,htn,ba,tmk (-) swh,pmk,kc,jti,cklt,htn,ba,tbu (+) kc,htn,jti,mgv,swh,smk,ba (+) htn,swh,jti,kc,mgv,tbu,smk,krt,tmk

Mangrove (-) tmk,lt,ldg (-) tmk,swh,ldgldg,swh,pmk,lt

(+) ldg,swh,tmk,lt (+) tmk,lt

Permukiman (+) htn,kc,cklt,jti,tbu,ldg,swh,smk (+) swh,kc,jti,smk,ldg,teh,htn,cklt,krt,tbu Sawah (-) kc,jti,cklt,krt,tbu,ldg,mgv,pmk,smk,tmk,lt,ba,htn (-) pmk,kc,jti,ldg,smk,cklt,krt,tbu,lt

(+) htn,kc,cklt,jti,krt,tbu,teh,ldg,swh,smk,ba (+) jti,kc,smk,htn,tmk,ba,krt,tbu,teh,ldg,mgv,lt Semak (-) jti,htn,swh,kc,teh,ldg,pmk (-) jti,pmk,swh,kc,ldg

(+) htn,kc,jti,ldg,swh (+) htn,kc,jti,swh

Tambak (-) mgv,lt (-) mgv,lt,swh,ldg

(+) mgv,lt,ldg,swh (+) mgv,lt

(17)

Tabel 13. Matriks Perubahan penggunaan Lahan Tahun 1972-1990 1990

1972

Badan

Hutan

Kebun Kebun Kebun Kebun Kebun Kebun

Ladang Mangrove Permukiman Sawah Semak Sungai Tambak Laut

Jumlah Air Campuran Coklat Jati Karet Tebu Teh

Badan Air 244,1 0,0 21,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 17,1 0,0 0,0 84,3 0,0 0,0 0,0 0,0 367,2 Hutan 0,0 8264,8 748,7 0,0 964,7 0,0 0,0 235,8 565,8 0,0 89,3 1873,4 3513,2 0,0 0,0 0,0 16255,7 Kebun Campuran 14,4 6775,1 5687,3 161,2 3739,8 424,7 16,8 3010,6 2643,3 0,0 865,5 11589,0 4278,9 0,0 0,0 0,0 39206,6 Kebun Coklat 0,0 0,0 4,9 322,3 315,4 0,0 0,0 0,0 23,1 0,0 18,8 141,2 0,0 0,0 0,0 0,0 825,7 Kebun Jati 0,0 6202,9 158,7 193,5 10082,7 61,1 0,0 332,4 940,0 0,0 73,8 5186,2 2495,9 0,0 0,0 0,0 25727,2 Kebun Karet 0,0 0,0 0,0 0,0 103,1 92,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 98,4 0,0 0,0 0,0 0,0 293,8 Kebun Tebu 10,0 0,0 284,4 0,0 0,0 0,0 556.4 0,0 38,9 0,0 41,9 1024,5 0,0 0,0 0,0 0,0 1399,6 Kebun Teh 0,0 284,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 758,5 0,0 0,0 0,0 202,6 0,0 0,0 0,0 0,0 1245,6 Ladang 0,0 44,9 771,6 0,0 0,0 52,3 72,7 517,1 1276,9 23,2 210,3 2126,8 375,7 0,0 330,5 0,0 5830,0 Mangrove 0,0 0,0 40,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 94,3 2730,2 0,0 0,0 0,0 0,0 1380,1 143,4 4387,9 Permukiman 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1372,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1372,3 Sawah 3,3 67,2 1217,7 114,0 1086,8 187,6 606,2 0,0 436,8 29,9 1079,7 55660,9 812,4 0,0 190,5 37,6 61561,1 Semak 0,0 1491,9 472,2 0,0 2555,7 0,0 0,0 598,4 103,4 0,0 50,7 1491,2 552,0 0,0 0,0 0,0 7316,8 Sungai 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1454,1 0,0 0,0 1454,1 Tambak 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 976,6 0,0 0,0 0,0 0,0 760,7 239,5 1976,8 Laut 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 110,9 0,0 117,4 0,0 0,0 897,8 0,0 1126,1 Jumlah 271,8 23131,4 9427,1 791,1 18848,2 818,0 695,7 5452,6 6139,4 3870,7 3802,3 79635,9 12028,0 1454,1 3559,6 420,5 170346,6

(18)

Tabel 14. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1990 – 2008 2008

1990

Badan Hutan Kebun Kebun Kebun Kebun Kebun Kebun

Ladang Mangrove Permukiman Sawah Semak Sungai Tambak Laut Jumlah Air Campuran Coklat Jati Karet Tebu Teh

Badan Air 233,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 38,2 0,0 0,0 0,0 0,0 271,8 Hutan 0,0 17378,8 141,1 0,0 1349,8 0,0 0,0 0,0 738,6 0,0 95,1 344,9 3164,4 0,0 0,0 0,0 23212,7 Kebun Campuran 0,0 0,0 5401,2 31,8 0,0 0,0 428,2 0,5 275,3 0,0 1088,8 1484,9 960,7 0,0 0,0 0,0 9671,3 Kebun Coklat 0,0 0,0 0,0 762,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 39,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 802,3 Kebun Jati 0,0 0,0 162,7 85,0 14378,2 3,4 0,0 0,0 381,4 0,0 723,1 2513,3 695,7 0,0 0,0 0,0 18942,8 Kebun Karet 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 708,5 0,0 0,0 4,7 0,0 28,1 110,2 0,0 0,0 0,0 0,0 851,6 Kebun Tebu 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1122,1 0,0 37,0 0,0 90,5 33,1 0,0 0,0 0,0 0,0 1282,7 Kebun Teh 0,0 0,2 127,0 0,0 0,0 0,0 0,0 5013,7 2,0 0,0 302,4 7,5 0,0 0,0 0,0 0,0 5452,7 Ladang 38,2 0,1 149,7 27,7 46,3 0,0 3,3 0,0 5028,3 0,0 419,4 664,6 0,0 0,0 0,0 0,0 6377,6 Mangrove 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 108,9 2941,0 99,2 107,6 0,0 0,0 602,2 16,8 3875,7 Permukiman 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 3642,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 3642,8 Sawah 0,0 0,0 1815,8 36,7 293,9 75,4 477,9 0,0 653,4 0,0 5530,6 70629,5 303,7 0,0 0,9 0,1 79818,0 Semak 0,0 0,0 90,7 0,0 1903,3 0,0 0,0 0,2 16,1 0,0 675,8 368,2 8951,9 0,0 0,0 0,0 12006,2 Sungai 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1454,1 0,0 0,0 1454,1 Tambak 0,0 0,0 12,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 8,0 269,8 0,0 219,5 0,0 0,0 2975,1 58,4 3542,7 Laut 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 133,3 0,0 0,1 0,0 0,0 392,2 0,0 525,6 Jumlah 271,8 17379,0 7900,3 943,8 17971,5 787,4 2031,4 5014,4 7253,6 3344,1 12735,5 76521,6 14076,3 1454,1 3970,4 75,3 171730,6

(19)

5.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan

Dari hasil analisis statistik dengan program Statistica 7.0, diperoleh suatu gambaran peluang tentang nilai penaksiran (estimate) koefisien peubah yang berpengaruh terhadap pola perubahan penggunaan lahan. Nilai penaksiran positif menggambarkan pendugaan pengaruh peubah-peubah yang diukur bersifat meningkatkan peluang terjadinya perubahan dari jenis penggunaan tertentu ke penggunaan lainnya, sedangkan nilai penaksiran negatif artinya sifatnya kecil untuk meningkatkan peluang perubahan dari jenis penggunaan lahan tertentu ke penggunaan lain. Perubahan penggunaan lahan yang dianalisis pada penelitian ini adalah perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan pertanian dan dari lahan pertanian menjadi permukiman.

5.4.1 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian Periode 1972-2008

Dalam penelitian ini, faktor fisik yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi pertanian adalah kemiringan lereng, elevasi, curah hujan, geologi dan tanah (berpengaruh nyata pada p<0,005). Tabel 15 menunjukkan bahwa nilai yang berwarna merah mempunyai pengaruh nyata yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi pertanian. Faktor kemiringan lereng yang berpengaruh nyata adalah kelas lereng 0-8% dengan nilai penaksiran 0,39. Hal ini disebabkan di DAS Cipunagara dan sekitarnya sebagian besar berupa dataran rendah dengan kemiringan lereng 0-8% yang penggunaan lahannya didominasi oleh sawah. Kondisi lahan dengan tingkat kelerengan yang tinggi tidak efisien untuk lahan pertanian karena membutuhkan biaya dan tenaga yang sangat besar untuk mendapatkan hasil yang optimal.

(20)

Tabel 15. Penaksiran Peluang Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Menjadi Pertanian

Keterangan Effect Estimate p

Jenis Tanah Aluvial -0.64322 0.001544

Andosol 0.95591 0.000757 Latosol 0.24306 0.031648 Podsolik 1.81701 0.000000 Regosol -0.67355 0.000288 Elevasi 0-25 mdpl -1.05409 0.078100 25-100 mdpl 2.95350 0,016945 100-250 mdpl -0.52691 0.093748 250-500 mdpl 0.04041 0.892823 500-1000 mdpl 0.18333 0.558018 Lereng 0-8 % 0.39561 0.001529 8-15 % -0.11508 0.257123 15-25 % -0.10798 0.271961 25-40 % -0.03873 0.720492

Geologi Qa, Qad, Qac 1.18470 0.061855

(penyusun : alluvium)

Pk, Mss, Qav2, Pt -0.49755 0.011348

(penyusun : pasir, formasi alluvium)

Qol, Msc, Qaf 0.57670 0.019637

(penyusun : claysto, formasi sedimen)

Qyl -1.12664 0.000097

(penyusun : lava, formasi vulkanik)

Curah Hujan 76,47 mm/bulan 1.85763 0.004452

147,73 mm/bulan -0.36060 0.384545 222,62 mm/bulan 1.06669 0.068218 229,30 mm/bulan -0.70342 0.221968 261,98 mm/bulan -0.35428 0.684025 287,88 mm/bulan -0.98764 0.027666 418,74 mm/bulan -0.46588 0.261084

Faktor elevasi juga berpengaruh nyata terhadap peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan hutan menjadi pertanian. Kelas elevasi tersebut adalah elevasi 0-25 mdpl dengan nilai penaksiran 2,95. Penggunaan lahan untuk pertanian banyak dilakukan pada ketinggian 0-25 mdpl. Faktor curah hujan 76,47 mm/bulan dengan nilai penaksiran 1,85 juga mempengaruhi peningkatan peluang perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi pertanian. Curah hujan tersebut sesuai untuk penanaman padi sawah. Faktor curah hujan 287,88 mm/bulan dengan

(21)

nilai penaksiran -0,98 menandakan pengaruhnya bersifat kecil meningkatkan peluang perubahan penggunaan lahan hutan menjadi pertanian.

Faktor geologi dengan formasi alluvium menunjukkan nilai penaksiran -0,49, sedimen dengan nilai penaksiran 0,59, dan vulkanik dengan nilai penaksiran -1,12 berpengaruh nyata terhadap peluang perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan pertanian. Formasi alluvium dengan bahan induk pasir ini kurang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian karena ketersediaan unsur hara yang rendah dan meliliki porositas tinggi sehingga tidak dapat mengikat air. Selain itu juga dipengaruhi oleh ketersediaan air yang berada pada daerah tersebut. Sedangkan formasi sedimen dengan penyusun claystone tergolong subur untuk lahan pertanian. Faktor tanah yang juga berpengaruh nyata adalah tanah aluvial, andosol, podsolik, dan regosol. Tanah berkaitan dengan bahan induk. Tanah aluvial dan regosol tergolong subur untuk lahan pertanian, karena didominasi oleh endapan liat, pasir, dan tuf vulkan. Sedangkan andosol juga termasuk subur karena berkembang dari bahan induk vulkanik dengan kandungan bahan amorf yang tinggi.

Hasil perhitungan goodness of fit yang disajikan pada Tabel 16 menunjukkan nilai scaled deviance sebesar 1,03 dan pearson chi 1,05 diartikan bahwa hasil estimasi ini sama dengan kondisi yang ada di lapangan.

Tabel 16. Perhitungan goodness of fit Peluang Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Menjadi Pertanian

Stat. Df Stat. Stat/Df

Deviance 2221 2298.65 1.034961

Scaled Deviance 2221 2298.65 1.034961

Pearson Chi2 2221 2345.83 1.056202

Scaled P. Chi2 2221 2345.83 1.056202

Loglikelihood -1149.32

5.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Menjadi Permukiman Periode 1972-2008

Salah satu perubahan penggunaan lahan pada DAS Cipunagara adalah perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi permukiman. Hal ini menunjukkan kebutuhan akan permukiman merupakan faktor terbesar yang mendorong terjadinya konversi lahan tersebut. Tabel 17 menunjukkan faktor yang

(22)

mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi permukiman adalah kemiringan lereng, elevasi, geologi, dan tanah.

Tabel 17. Penaksiran Peluang Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Menjadi Permukiman

Keterangan Effect Estimate p

Jenis Tanah Aluvial -0.04427 0.766709

Andosol -1.15737 0.003688 Latosol 0.00160 0.988135 Podsolik 0.31096 0.040173 Regosol -0.33743 0.065213 Elevasi 0-25 mdpl -0.82425 0.000687 25-100 mdpl 0.13738 0.547689 100-250 mdpl 0.89404 0.000020 250-500 mdpl 0.43610 0.077588 500-1000 mdpl 0.60587 0.015682 Lereng 0-8 % 1.55581 0.000000 8-15 % -0.50687 0.028482 15-25 % -0.34052 0.149356 25-40 % 0.53914 0.016945

Geologi Qa, Qad, Qac 0.62793 0.000156

(penyusun : alluvium)

Pk, Mss, Qav2, Pt -0.16839 0.219905 (penyusun : pasir, formasi alluvium)

Qol, Msc, Qaf 0.17248 0.267102

(penyusun : claysto, formasi sedimen)

Qyl -0.18881 0.363004

(penyusun : lava, penyusun vulkanik)

Curah Hujan 76,47 mm/bulan -0.30381 0.214933

147,73 mm/bulan 0.43559 0.029408 222,62 mm/bulan -0.20485 0.222376 229,30 mm/bulan 0.07023 0.618597 261,98 mm/bulan 0.10348 0.482014 287,88 mm/bulan 0.30922 0.164013 418,74 mm/bulan -0.47187 0.033874

Kemiringan lereng yang mepengaruhi perubahan penggunaan lahan lahan dari pertanian menjadi permukiman adalah 0-8% dengan nilai penaksiran 1,55, dan 8-15% dengan nilai penaksiran -0,50. Peluang terjadinya perubahan lahan dengan nilai penaksiran negatif, dapat diartikan pengaruhnya kecil meningkatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi permukiman.

Seperti halnya perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian, faktor elevasi juga berpengaruh nyata terhadap probabilitas perubahan lahan pertanian menjadi permukiman. Faktor elevasi tersebut adalah kelas elevasi

(23)

0-25 mdpl dengan nilai penaksiran -0,8, kelas elevasi 100-250 mdpl dengan nilai penaksiran 0,89, dan kelas elevasi 500-1000 mdpl dengan nilai penaksiran 0,60. Dengan demikian, semakin luas area dengan tingkat elevasi dengan nilai penaksiran positif, maka probabilitas perubahan lahan pertanian menjadi permukiman semakin meningkat. Pembangunan permukiman pada kelas elevasi 500-1000 mdpl menunjukkan bahwa kelas elevasi yang tinggi bukan lagi merupakan faktor pembatas untuk membangun permukiman. Pembangunan permukiman pada kelas elevasi yang tinggi biasanya diikuti oleh pembangunan sarana aksesibilitas sehingga menjadi penarik untuk menuju ke lokasi permukiman tersebut. Geologi dan jenis tanah tanah sebenarnya tidak berhubungan dengan permukiman, tetapi lebih berhubungan dengan bentuklahan dimana permukiman lebih banyak ditemukan pada bentuklahan yang relatif datar.

Berdasarkan hasil perhitungan goodness of fit yang disajikan pada Tabel 18 diperoleh nilai scaled deviance sebesar 0,92 dan pearson chi 1,01 yang menunjukkan bahwa hasil penaksiran terhadap peluang perubahan ini sama dengan kondisi di lapangan.

Tabel 18. Perhitungan goodness of fit peluang perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi permukiman

Stat. Df Stat. Stat/Df

Deviance 4549 4214.8 0.92653

Scaled Deviance 4549 4214.8 0.92653

Pearson Chi2 4549 4595.6 1.01024

Scaled P. Chi2 4549 4595.6 1.01024

Loglikelihood -2107.4

5.5 Perubahan Garis Pantai Periode 1972-2008

Gambar 15 menunjukkan bahwa perubahan garis pantai di pantai utara Subang cukup dinamis selama periode 1972-2008. Namun demikian ada bagian dari garis pantai yang cenderung mengalami penambahan daratan seperti yang nampak pada Gambar (15a) di bagian barat (Kecamatan Blanakan) dan di Tanjung Cipunagara (15c). Penambahan ini kemungkinan berasal dari sedimen yang dibawa oleh aliran Sungai Cipunagara. Penambahan lebih cepat terjadi di muara sungai Cipunagara, dimana terdapat suplai sedimen yang berlimpah dan laut relatif dangkal, serta gelombang air laut yang cenderung kecil menyebabkan gerakan air lebih lambat, sehingga material yang terbawa dari sungai terendap di

(24)

daerah sekitar muara sungai. Fenomena ini menyebabkan proses pengendapan dari sungai lebih leluasa, tidak terganggu oleh gelombang. Tanjung Cipunagara (15c) merupakan tempat bermuaranya Sungai Cipunagara.

Gambar 15. Garis Pantai Tahun 1972, 1990, dan 2008 (a) penambahan, (b) pengurangan, (c) penambahan

Pada bagian Tanjung Pamanukan dan Tanjung Pancerwetan (15b), garis pantai cenderung mundur atau berkurang luasannya karena proses abrasi sehingga garis pantai bergerak mundur ke arah daratan. Abrasi pada umumnya terjadi di daerah terbuka dan berhadapan langsung dengan laut, dimana faktor gelombang sangat berpengaruh terhadap pengikisan pantai.

Gelombang juga berpengaruh terhadap perubahan garis pantai. Arah hempasan gelombang yang menuju pantai berbeda pada teluk dan semenanjung. Gelombang pada teluk arahnya cenderung menyebar dan tekanan yang diperoleh daerah pantai semakin kecil, sehingga proses sedimentasi masih mendominasi. Untuk gelombang yang menuju ke semenanjung, arahnya cenderung memusat pada satu titik, dimana sekitar titik ini merupakan pertemuan gelombang yang datang dari arah laut sehingga tekanan yang terjadi pada daerah pantai semakin

(25)

besar. Gelombang tersebut cenderung mengganggu proses sedimentasi yang sedang terjadi, sehingga proses pengendapan menjadi tidak leluasa.

Gambar 16. Hempasan Gelombang yang Tiba di Garis Pantai (Sumber : Kalay, 2008)

Berdasarkan hasil interpretasi dari citra Landsat tahun 2008, pada bagian Tanjung delta cipunagara (15c), terdapat lahan timbul akibat proses sedimentasi dari Sungai Cipunagara. Jika proses sedimentasi ini terus-menerus terjadi di ujung Tanjung Cipunagara dan mengarah ke barat, maka selama beberapa tahun ke depan dapat terbentuk laguna.

(26)

Laguna pantai yang biasa ditemukan di kawasan pesisir Subang berbentuk memanjang sejajar dengan pantai yang dipisahkan oleh penghalang atau lahan timbul baru yang terbentuk seperti dari liat dan pasir. Penghalang laguna ini dibentuk oleh gelombang dan arus laut yang terus-menerus membuat sedimen kasar lepas pantai. Jika penghalang laguna sudah mulai terbentuk, muatan sedimen yang lebih besar yang berasal dari sungai bisa menetap atau berhenti di air yang relatif tenang di belakang penghalang tersebut.

Pada awalnya Sungai Cipunagara mengalir menuju Pantai Utara Subang dengan arah utara seperti yang nampak pada Gambar 17. Namun sekitar tahun 1962 Sungai Cipunagara mengalami proses pelurusan oleh manusia dengan memindahkan aliran sungai menuju ke arah timur (pantai). Hal ini dilakukan untuk mengimbangi ketimpangan pertumbuhan garis pantai di wilayah muara Sungai Cipunagara yang mengalami pergeseran relatif cepat ke arah lautan.

Gambar 17 menunjukkan bahwa daratan baru cenderung bertambah luasannya pada tiga titik tahun. Hal ini disebabkan karena besarnya volume material yang dibawa oleh Sungai Cipunagara dan kecilnya gelombang air laut merupakan faktor penentu terbentuknya daratan baru yang sangat intensif. Pada Tanjung Cipunagara, proses sedimentasi yang berasal dari pengendapan material-material aliran Sungai Cipunagara tidak terganggu oleh hempasan gelombang karena letaknya tertutup atau terlindungi oleh daratan disekitarnya. Sehingga proses sedimentasi yang terjadi lebih leluasa. Faktor lainnya adalah karena aktivitas manusia yang dapat mempengaruhi suplai sedimen melalui kegiatannya pada kawasan DAS. Kerusakan lahan melalui penebangan hutan atau terbukanya permukaan permukaan lahan akibat longsor dapat menjadi penyebab terjadinya erosi tanah yang menambah muatan sedimen sungai.

Tabel 19 mengilustrasikan ketidakstabilan daratan baru yang ditunjukkan dengan dinamika perubahan penggunaan lahan di kawasan pesisir utara Subang. Penggunaan lahan yang paling dominan di kawasan pesisir adalah mangrove.

(27)

Tabel 19. Penutupan/Penggunaan Lahan di Daerah Pesisir Tahun 1972,1990, dan 2008

1972 1990 2008 1972-1990 1990-2008

Ha % Ha %

Laut Laut Laut 1954.7 22.6 1998.0 23.1

Laut Laut Mangrove 0.4 0.0 93.7 1.1

Laut Laut Tambak 362.0 4.2 237.2 2.7

Laut Mangrove Mangrove 61.1 0.7 46.0 0.5

Laut Mangrove Laut 0.3 0.0 4.5 0.1

Laut Mangrove Tambak 3.6 0.0 14.7 0.2

Laut Tambak Laut 0.3 0.0 3.0 0.0

Laut Tambak Tambak 528.0 6.1 749.7 8.7

Laut Tambak Mangrove 281.0 3.2 51.4 0.6

Laut Sawah Sawah 8.7 0.1 8.7 0.1

Mangrove Mangrove Mangrove 2132.1 24.6 2075.2 23.9

Mangrove Mangrove Tambak 411.1 4.7 412.0 4.8

Mangrove Mangrove Laut 0.0 0.0 8.2 0.1

Mangrove Mangrove Ladang 43.9 0.5 65.8 0.8

Mangrove Mangrove Sawah 0.0 0.0 39.0 0.5

Mangrove Tambak Tambak 1115.8 12.9 1020.5 11.8

Mangrove Tambak Mangrove 0.0 0.0 43.6 0.5

Mangrove Tambak Laut 0.0 0.0 4.1 0.0

Mangrove Tambak Sawah 61.0 0.7 96.8 1.1

Mangrove Laut Laut 37.2 0.4 37.2 0.4

Tambak Tambak Tambak 666.2 7.7 579.2 6.7

Tambak Tambak Laut 0.0 0.0 12.6 0.1

Tambak Tambak Mangrove 0.0 0.0 74.4 0.9

Tambak Mangrove Mangrove 820.1 9.5 760.9 8.8

Tambak Mangrove Tambak 131.4 1.5 159.8 1.8

Tambak Mangrove Laut 0.3 0.0 8.3 0.1

Tambak Mangrove Sawah 0.0 0.0 15.9 0.2

Tambak Laut Laut 9.5 0.1 9.5 0.1

Sawah Tambak Tambak 30.1 0.3 20.3 0.2

Sawah Tambak Sawah 0.0 0.0 9.8 0.1

Sawah Laut Laut 0.1 0.0 0.1 0.0

Total 8658.8 100 8660.0 100

5.6 Kajian Umum Keterkaitan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Garis Pantai

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang menerima air hujan untuk kemudian mengalirkannya kembali melalui satu sungai utama menuju ke hilir. DAS bagian hulu seringkali menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS karena selain fungsinya yang sangat penting yaitu sebagai daerah tangkapan air (Water Catchment Area) juga adanya keterkaitan biofisik dengan daerah tengah

(28)

dan hilir. Segala bentuk kerusakan yang terjadi di daerah hulu pada akhirnya tidak hanya akan membawa dampak bagi daerah hulu saja namun akhirnya juga berdampak pada daerah tengah, dan terutama daerah hilir.

DAS Cipunagara bagian hulu merupakan daerah tangkapan air yang saat ini telah mengalami banyak perubahan penutupan/penggunaan lahan dari hutan dan lahan pertanian menjadi permukiman dan perkebunan. Pada tahun 2008, penggunaan lahan hutan di DAS Cipunagara sebesar 17379,0 ha atau 10,1% dan kebun jati sebesar 17971,5 ha atau 10,5%. Hal ini tidak sesuai dengan UU No.41 Tahun 1999 pasal 18 ayat 2 yang menyatakan bahwa luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Besarnya luas kawasan hutan dan kebun jati yang tidak mencapai 30% ini akan berdampak pada besarnya tingkat erosi di daerah hulu. Faktor lain yang juga cenderung meningkatkan erosi di daerah hulu adalah akibat praktek bercocok tanam yang tidak mengikuti kaidah-kaidah konservasi tanah dan air serta aktivitas pembalakan hutan (logging) atau deforestasi (pengurangan areal tegakan hutan).

Pengendapan akhir atau sedimentasi terjadi pada kaki bukit yang relatif datar, sungai, dan waduk (Sarief, 1985). Demikian juga dengan erosi yang terjadi di hulu DAS Cipunagara, dimana material hasil erosi di daerah hulu diendapkan di Bendung Salamdarma yang membendung Sungai Cipunagara. Bendung Salamdarma berada di lereng bagian hilir Gunung Tangkuban Perahu yang berfungsi sebagai sarana irigasi untuk mengairi sawah di sekitarnya. Berdasarkan fenomena di atas, nampak bahwa Dengan demikian material hasil erosi di daerah hulu kurang berpengaruh terhadap sedimentasi yang terjadi di daerah pantai.

Sedimentasi yang terjadi di pantai utara Subang lebih dipengaruhi oleh erosi yang terjadi di tebing-tebing sungai, terutama di Sungai Cipunagara bagian hilir (di bawah Bendungan Salamdarma) dan sungai-sungai kecil. Erosi ini terjadi karena adanya gerusan air sungai dan adanya longsoran tanah pada tebing sungai. Erosi tebing sungai tersebut memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap sedimentasi di tepi pantai, seperti nampak pada bagian barat (Kecamatan Blanakan), Tanjung Pamanukan, Tanjung Pancerwetan, dan Tanjung Cipunagara.

(29)

Jika proses sedimentasi ini terus berlangsung maka akan timbul daratan baru di bagian hilir dan akan merubah bentuk garis pantai di kawasan pesisir DAS.

Penggunaan lahan yang terdapat pada bagian hilir dari DAS relatif tetap, yaitu sawah dengan kemiringan lereng yang datar. Sawah merupakan vegetasi penutup tanah yang relatif rapat, sehingga dapat memperkecil besarnya aliran permukaan yang berdampak pada erosi yang terjadi. Selain itu, lereng yang datar juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kecepatan aliran permukaan yang membawa material-material erosi yang akan diendapkan di muara sungai. Hal ini tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap erosi yang berdampak pada sedimentasi yang terjadi di pantai.

Gambar

Tabel  11.  Kenampakan  Penutupan/Penggunaan  Lahan  di  Citra  Landsat  dan  di  Lapang  No
Gambar 9. Grafik Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1972, 1990, dan 2008Bdn
Gambar 10. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cipunagara Tahun 1972
Gambar 11. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cipunagara Tahun 1990
+7

Referensi

Dokumen terkait

Modal usaha dari pinjaman kredit tersebut dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima disekitar Jalan Jawa Jember menjadi 3 kepentingan yakni untuk kepentingan produksi,

From the reasons above, the researcher is motivated to analyze The Logico-Semantic Relation of Clause Complexes in the Abstract of Final Project by English

Mengenalkan, mempromosikan dan ke4'asama pemasaran produk gitar Sukoharjo ke pasar nasional Produk gitar Kabupaten Sukoharjo selalu ada dalam moment pameran nasional Ditjen

Menyimak permasalahan di atas, sudah selayaknya dosen dapat mengembangkan materi pembelajaran Fiqih yang ada supaya lebih bermakna bagi mahasiswa dan bisa

Untuk perancangan unified modeling language, dilakukan dengan merujuk pada business model canvas yang terdapat di dalam blok channels, sehingga unified modeling

Staphylococcus epidermidis biofilm formation: mechanisms.. and molecular

Pengaruh dosis iradiasi tehadap tegangan putus arah potong sejajar dan tegak lurus setelah penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 5, Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8. Pada

Tahun 2000-2003, jumlah akomodasi, kamar, dan tempat tidur yang tersedia mencakup pada hotel berbintang dan hotel non bintang Data Untuk Provinsi Kalimantan Utara sampai dengan