• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kesehatan Kerja Dan Keselamatan Kerja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kesehatan Kerja Dan Keselamatan Kerja"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Kesehatan Kerja Dan Keselamatan Kerja

Menurut Notoadmodjo (2007) perkembangan pesat industri mendorong penggunaan mesin, peralatan kerja dan bahan-bahan kimia dalam proses produksi semakin meningkat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat memberikan kemudahan dalam proses produksi, meningkatnya produktivitas kerja, dan meningkatnya jumlah tenaga kerja. Dengan demikian, banyak pula masalah ketenagakerjaan yang timbul termasuk dalamnya masalah-masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Seperti, meningkatnya jumlah dan ragam sumber bahaya di tempat kerja, peningkatan jumlah maupun tingkat keseriusan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, dan pencemaran lingkungan.

Kesehatan kerja merupakan bagian dari kesehatan masyarakat atau aplikasi kesehatan masyarakat di dalam suatu masyarakat pekerja dan masyarakat lingkungannya. Kesehatan kerja bertujuan untuk memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik fisik, mental, dan sosial bagi masyarakat pekerja dan masyarakat lingkungan perusahaan atau organisasi melalui usaha-usaha preventif,

promotif dan kuratif terhadap gangguan kesehatan akibat kerja atau lingkungannya. Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berhubungan dengan peralatan, tempat kerja, lingkungan kerja, serta cara-cara melakukan pekerjaan. Sekarang ini teknologi sudah lebih maju maka keselamatan kerja menjadi salah satu aspek yang sangat penting, mengingat risiko bahayanya dalam penerapan teknologi. Keselamatan

(2)

kerja merupakan tugas semua orang yang bekerja dan juga masyarakat pada umumnya.

Tujuannya adalah sebagai berikut (Daryanto, 2007) :

1. Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melaksanakan pekerjaan. 2. Menjamin keselamatan setiap orang yang berada di tempat kerja.

3. Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan efisien.

Menejemen keamanan (safety management), langsung atau tidak langsung, menaruh perhatian terhadap peristiwa kecelakaan kerja. Pada saat ini, perhatian terhadap masalah kecelakaan kerja di perguruan-perguruan tinggi modern telah tumbuh sampai suatu titik yang menunjukkan bahwa kurikulum menejemen perlu mencakup bidang kecelakaan kerja, ini sebagai salah satu program instruksionalnya.

Oleh karena itu, untuk memastikannya, kita memerlukan definisi mengenai kecelakaan (accident) tersebut. Para ahli telah menyodorkan sejumlah definisi kecelakaan.

1. Kecelakaan adalah suatu peristiwa yang terjadi secara kebetulan (by chance) atau akibat dari penyebab yang tidak diketahui (unknown causes) yang berkaitan dengan pekerjaan.

2. Kecelakaan adalah peristiwa yang tidak diharapkan dan biasanya tiba-tiba atau peluang yang terjadi karena ketidakhati-hatian atau kelalaian atau penyebab yang tidak dapat dihindari yang berhubungan dengan pekerjaan.

3. Kecelakaan adalah setiap peristiwa yang tidak biasa dan tidak diharapkan yang mengganggu kemajuan kegiatan yang tetap, biasa dan teratur.

(3)

Faktor-faktor apakah yang dapat menimbulkan kecelakaan? Penyebab kecelakaan biasanya dibedakan dalam penyebab teknis, penyebab sistem kerja, penyebab manusia, penyebab lingkungan, dan penyebab gabungan (Sastradipoera, 2002) :

1. Penyebab teknis (misalnya, kondisi-kondisi kimiawi, fisik, atau mekanik yang tidak aman).

2. Penyebab sistem kerja (termasuk metode kerja, prosedur kerja, dan koordinasi antara alat-alat dan manusia) yang merupakan penyebab dasar kebanyakan kecelakaan dalam perusahaan. Sistem kerja yang menyebabkan kecelakaan antara lain berkaitan dengan tata letak yang tidak betul, pembuatan mesin yang tidak aman, kerusakan pabrik dan bahan-bahan, kebersihan yang buruk, penerangan yang tidak tepat, ventilasi yang tidak sempurna, dan kurangnya pakaian dan perlengkapan pengaman.

3. Penyebab manusia (misalnya membuang alat-alat keamanan atau membuatnya tidak beroperasi, keengganan atau kelalaian mengikuti prosedur kerja yang aman, atau perkelahian) yang dalam banyak hal timbul dari sistem kerja. Kecelakaan kerja biasanya diantaranya disebabkan oleh penggunaan peralatan yang tidak aman, sistem transportasi yang berbahaya, menjalankan mesin tanpa pengetahuan dan dengan kecepatan yang tidak normal, salah pakai alat keamanan, dan merusak alat-alat keselamatan kerja.

4. Penyebab lingkungan (misalnya, situasi yang tidak aman, perubahan cuaca, kebisingan suara, pencahayaan yang tidak cukup, ventilasi yang buruk,

(4)

pencemaran karena perawatan tempat kerja yang tidak memadai, sanitasi yang jorok, dan tekanan dan ketegangan yang berhubungan dengan pekerjaan).

5. Penyebab gabungan antara penyebab teknis, penyebab manusia, dan penyebab lingkungan.

Kondisi pekerja sangat menentukan terjadinya kecelakaan kerja. Faktor-faktor yang menentukan kondisi pekerja yaitu (Cahyono, 2004) :

1. Kondisi mental dan fisik

Kondisi tersebut sangat berpengaruh dalam menjalankan proses produksi karena dengan kondisi mental dan fisik yang buruk dapat mengakibatkan kecelakaan kerja.

2. Kebiasaan kerja yang baik dan aman

Pada saat melakukan pekerjaan, pekerja harus dapat dituntut untuk bekerja secara disiplin agar tidak lalai, yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja.

3. Pemakaian alat-alat pelindung diri

Kurangnya kesadaran dalam pemakaian alat-alat pelindung diri karena dirasa tidak nyaman oleh pekerja sehingga dapat mengakibatkan kecelakaan kerja.

Alat pelindung diri yang selanjutnya disebut APD adalah peralatan keselamatan yang harus digunakan oleh personil apabila berada pada suatu tempat kerja yang berbahaya. Semua tempat yang dipergunakan untuk menyimpan, memproses, dan pembuangan limbah bahan kimia dapat dikategorikan sebagai tempat kerja yang berbahaya.

(5)

APD merupakan peralatan yang harus disediakan oleh pengusaha untuk karyawannya. APD standar untuk bahan kimia berbahaya adalah pelindung kepala, pelindung mata, pelindung wajah, pelindung tangan, dan pelindung kaki.

2.2. Tanaman Karet 2.2.1. Penyadapan

Pemungutan hasil tanaman karet disebut penyadapan karet. Penyadapan karet (menderes, menoreh, tapping) adalah mata rantai pertama dalam proses produksi karet. Penyadapan dilaksanakan dikebun produksi dengan menyayat atau mengiris kulit batang dengan cara tertentu, dengan maksud untuk memperoleh lateks atau getah.

2.2.2. Cara Pelaksanaan Penyadapan

Menyadap (menderes, menoreh) karet dilakukan dengan cara menyayat kulit batang karet dari kiri ke kanan bawah dengan pisau sadap. Beberapa cara pelaksanaan penyadapan, baik yang sudah umum digunakan maupun yang masih dalam taraf penelitian dan pengembangan. Cara-cara tersebut di antaranya adalah :

1. Sadapan arah ke bawah

Cara sadapan ini sudah banyak dikenal dan dilaksanakan baik oleh perkebunan besar maupun oleh perkebunan rakyat. Yang dimaksud dengan sadapan arah ke bawah (downward tapping) adalah sadapan yang dilaksanakan dengan membuat irisan dari kanan atas ke kiri bawah menuju pangkal batang.

(6)

2. Sadapan arah ke atas

Sadapan arah ke atas (upward tapping) dilakukan pada bidang sadap yang terletak di atas bidang sadap sadapan ke bawah. Arah irisan sadapan adalah dari kiri bawah ke kanan atas, sehingga habisnya kulit menuju ke atas.

3. Sadapan mini(mini-cut tapping)

Sadapan mini adalah penyadapan dengan cara iris dan panjang irisan hanya pendek saja, misalnya 2 cm, 5 cm. Tingginya sadapan tergantung dari jumlah iris mini yang dikehendaki. Makin banyak jumlah irisan, tinggi sadapan akan makin bertambah.

4. Sadapan tusuk(puncture tapping)

Sadapan ini dinamai sadapan tusuk karena dalam pelaksanaan penyadapan menggunakan alat tusuk yang berbentuk seperti sebuah jarum.

2.2.3. Penggunaan Stimulan

Usaha peningkatan produksi lateks dewasa ini dilaksanakan melalui berbagai usaha, antara lain :

1. Melaksanakan teknis budidaya yang baik seperti menanam klon unggul, pemupukan dengan dosis yang tepat dan teratur, sistem penanaman dan pemeliharaan yang baik.

2. Dalam dua-tiga dasa warsa terakhir ini telah dikembangkan pula penggunaan stimulan.

Stimulasi lateks umumnya dilaksanakan pada tanaman karet yang telah dewasa dengan tujuan untuk mendapatkan kenaikan hasil lateks sehingga dapat diperoleh tambahan keuntungan bagi pengusaha perkebunan karet.

(7)

Dalam melaksanakan stimulasi diperlukan peralatan berupa : 1. Alat kerokan

2. Alat pembuat tanda bekas kerokan

3. Kuas atau sabut kelapa berukuran lebar 1 atau 1,5 inci 4. Ember kecil

5. Mangkok tambahan untuk menampung lump dari tetesan lanjut (late drops) pada penyadapan (Setyamidjaja, 1993).

Adapun jenis stimulan yang digunakan di PT Socfin Indonesia Tanah Besih ini adalah jenis stimulan cair yang mana adalah Ethrel 10 ELS.

Menurut panduan Instruksi Kerja Stimulasi pada Tanaman Karet di PT Socfin Indonesia ini yang menjadi pedoman pengenceran Ethrel ini adalah :

1. Untuk mendapatkan Ethrel dengan konsentrasi tertentu dari Ethrel 10 ELS, dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 2.1. Konsentrasi Ethrel Yang Di Inginkan Dengan Perbandingan Jumlah Bagian Ethrel 10 ELS dan Jumlah Bagian Pelarut.

Konsentrasi Ethrel yang diinginkan dari Ethrel 10

ELS

Jumlah bagian Ethrel 10 ELS

Jumlah bagian pelarut *)

2,5 % 1 3

3,3 % 1 2

5,0 % 1 1

(8)

2. Pengenceran harus dilakukan pagi hari sebelum mengancak (jam 5.00 pagi).

Tap Control kebun dan Mandor Stimulasi yang bertanggung jawab untuk pengenceran Ethrel tersebut.

3. Pencampuran Ethrel 10 ELS dengan pelarut untuk konsentrasi tertentu (2,5 %, 3,3 &, atau 5 %) dilaksanakan dengan menggunakan mixer selama ± 15 menit dengan RPM = 300 – 600. Selesai pengenceran, larutan Ethrel tersebut diisikan kedalam jerigen-jerigen plastik Ethrel yang sudah bersih, dan siap untuk diaplikasikan (Sistem Manajemen Socfindo, 2011).

2.3. Alat Pelindung Diri (APD)

2.3.1. Pengertian Alat Pelindung Diri (APD)

Perlindungan keselamatan pekerja melalui upaya teknis pengamanan tempat, mesin, peralatan dan lingkungan kerja wajib diutamakan. Namun, kadang-kadang risiko terjadinya kecelakaan masih belum sepenuhnya dapat dikendalikan, sehingga digunakan alat pelindung diri (personal protective equipment). Jadi penggunaan APD adalah alternatif terakhir yaitu kelengkapan dari segenap upaya teknis pencegahan kecelakaan.

Pakaian kerja harus dianggap suatu alat perlindungan terhadap bahaya kecelakaan. Pakaian pekerja pria yang bekerja melayani mesin seharusnya berlengan pendek, pas (tidak longgar) pada dada atau punggung, tidak berdasi dan tidak ada lipatan atau pun kerutan yang mungkin mendatangkan bahaya. Wanita sebaiknya memakai celana panjang, jala atau ikat rambut, baju yang pas dan tidak mengenakan perhiasaan. Pakaian kerja sintetis hanya baik terhadap bahan kimia korosif, tetapi

(9)

justru berbahaya pada lingkungan kerja dengan bahan yang dapat meledak oleh aliran listrik statis (Suma’mur, 2009).

2.3.2.APD pada pekerja stimulasi di Unit penderesan PT Socfin Indonesia Tanah Besih

Adapun jenis-jenis APD yang dipakai pekerja stimulasi di Unit penderesan PT Socfin Indonesia Tanah Besih adalah :

1. Kacamata 2. Sarung Tangan 3. Masker

4. Sepatu Boot

Pada PT Socfin Indonesia Tanah Besih ini alat pelindung diri (APD) sudah disediakan dengan lengkap. Kriteria dari alat pelindung diri (APD) yang lengkap dan tidak lengkap dalam pemakaian alat pelindung diri adalah apabila pekerja tidak memakai salah satu alat pelindung diri (APD) yang telah disediakan perusahaan maka dikatakan pekerja tidak memakai alat pelindung diri yang lengkap dan apabila pekerja memakai semua alat pelindung diri (APD) yang telah disediakan perusahaan maka dikatakan pekerja memakai alat pelindung diri yang lengkap.

2.4. Syarat-syarat Alat Pelindung Diri (APD)

Dalam menyediakan perlindungan terhadap bahaya, prioritas pertama seorang majikan adalah melindungi pekerjanya secara keseluruhan ketimbang secara individu. Penggunaan PPE hanya dipandang perlu jika metode-metode perlindungan yang lebih

(10)

luas ternyata tidak praktis dan tidak terjangkau. Dengan seluruh jenis PPE yang tersedia, pemasok akan menyarankan jenis yang paling sesuai untuk kebutuhan pelindungan pekerja dan dapat menawarkan beberapa pilihan berdasarkan material, desain, warna dan sebagainya.

Persyaratan umum penyediaan alat pelindung diri (personal protective equipment) tercantum dalam Personal Protective Equipment at Work Regulation

1992.

PPE yang efektif harus :

1. Sesuai dengan bahaya yang dihadapi.

2. Terbuat dari material yang akan tahan terhadap bahaya tersebut. 3. Cocok bagi orang yang akan menggunakannya.

4. Tidak mengganggu kerja operator yang sedang bertugas. 5. Memiliki kontruksi yang sangat kuat.

6. Tidak mengganggu PPE lain yang sedang dipakai secara bersamaan. 7. Tidak meningkatkan risiko terhadap pemakainya.

PPE harus :

1. Disediakan secara gratis.

2. Diberikan satu perorang atau jika tidak, harus dibersihkan setelah digunakan. 3. Hanya digunakan sesuai peruntukannya.

4. Dijaga dalam kondisi baik.

5. Diperbaiki atau diganti jika mengalami kerusakan. 6. Disimpan ditempat yang sesuai ketika tidak digunakan.

(11)

Operator-operator yang menggunakan PPE harus memperoleh : 1. Informasi tentang bahaya yang dihadapi.

2. Intruksi tentang tindakan pencegahan yang perlu diambil. 3. Pelatihan tentang penggunaan peralatan dengan benar.

4. Konsultasi dan diizinkan memilih PPE yang tergantung pada kecocokannya. 5. Pelatihan cara memelihara dan menyimpan PPE dengan rapi.

6. Intruksi agar melaporkan setiap kecacatan atau kerusakan.

2.5 . Masalah Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)

Adapun yang menjadi masalah dalam pemakaian alat pelindung diri (APD), yaitu (Santoso, 2004) :

1. Pekerja tidak mau memakai dengan alasan a. Tidak sadar/tidak mengerti

b. Panas c. Sesak

d. Tidak enak dipakai e. Tidak enak dipandang f. Berat

g. Mengganggu pekerjaan

h. Tidak sesuai dengan bahaya yang ada i. Tidak ada sangsi

(12)

2. Tidak disediakan oleh perusahaan a. Ketidakmengertian

b. Pura-pura tidak mengerti c. Alasan bahaya

d. Dianggap sia-sia (karena pekerja tidak mau memakai) 3. Pengadaan oleh perusahaan

a. Tidak sesuai dengan bahaya yang ada b. Asal beli (terutama memilih yang murah)

2.6. Perundang-undangan

Ketentuan mengenai alat pelindung diri diatur oleh Peraturan pelaksanaan UU RI No. I tahun 1970 yaitu Instruksi Menteri Tenaga Kerja No. Ins. 2/M/BW/BK/1984 tentang Pengesahan Alat Pelindung Diri; Instruksi Menteri Tenaga Kerja No. Ins. 05/M/BW/97 tentang Pengawasan Alat Pelindung Diri; Surat Edaran Dirjen Binawas No. SE 05/BW/97 tentang Penggunaan Alat Pelindung Diri dan Surat Edaran Dirjen Binawas No. SE 06/BW/97 tentang Pendaftaran Alat Pelindung Diri. Intruksi dan Surat Edaran tersebut mengatur ketentuan tentang pengesahan, pengawasan dan penggunaan alat pelindung diri. Jenis APD menurut ketentuan tentang pengesahan, pengawasan, dan penggunaannya meliputi alat pelindung kepala, alat pelindung telinga, alat pelindung muka dan mata, alat pelindung pernafasan, pakaian kerja, sarung tangan, alat pelindung kaki, sabuk pengaman, dan lain-lain (Suma’mur, 2009).

Kebijakan tentang APD, yaitu :

(13)

2. Apabila tidak memungkinkan untuk menghilangkan semua sumber bahaya, APD akan disediakan bagi seluruh pekerja untuk melindungi, baik dari cedera maupun bahaya terhadap kesehatan.

3. Perlindungan dengan APD ini akan diberikan juga kepada para pekerja kontraktor dan tamu, sama seperti yang diberikan kepada pekerja perusahaan.

4. Semua APD yang disediakan harus dibuat sesuai standart yang berlaku, sesuai oleh perusahaan.

5. APD akan diberikan kepada pekerja berdasarkan kebutuhan, dengan pengertian bahwa beberapa pekerjaan mungkin memerlukan standart yang berbeda dengan lainnya, dan beberapa pekerjaan mungkin memerlukan penggantian yang lebih sering dari yang lainnya.

6. Penggunaan APD didalam operasi perusahaan secara terus-menerus dimonitor oleh atasannya, didata dan dilaporkan kepada pimpinan (Rijanto, 2010).

2.7. Jenis-jenis APD

Dalam konsep K3, penggunaan APD merupakan pilihan terakhir atau last resort dalam pencegahan kecelakaan.

Hal ini disebabkan karena alat pelindung diri bukan untuk mencegah kecelakaan (reduce likelihood) namun hanya sekadar mengurangi efek atau keparahan kecelakaan (reduce consequences). Sebagai contoh, seseorang yang menggunakan topi keselamatan bukan berarti bebas dari bahaya tertimpa benda. Namun jika ada benda jatuh, kepalanya akan terlindung sehingga keparahan dapat

(14)

dikurangi. Akan tetapi, jika benda yang jatuh sangat berat atau dari tempat yang tinggi, topi tersebut mungkin akan pecah karena tidak mampu menahan beban.

Alat keselamatan ada berbagai jenis dan fungsi yang dapat dikategorikan sebagai berikut.

1. Alat pelindung kepala, untuk melindungi bagian kepala dari benda yang jatuh atau benturan misalnya topi keselamatan baik dari plastik, aluminium, atau fiber.

2. Alat pelindung muka, untuk melindungi percikan benda cair, benda padat atau radiasi sinar dan panas misalnya pelindung muka (face shield) dan topeng las. 3. Alat pelindung mata, untuk melindungi dari percikan benda, bahan cair, dan

radiasi panas, misalnya kacamata keselamatan, dan kacamata las.

4. Alat pelindung pernafasan, untuk melindungi dari bahan kimia, debu uap dan asap yang berbahaya dan beracun. Alat pelindung pernafasan sangat beragam seperti masker debu, masker kimia, respirator dan breathing apparatus (BA).

5. Alat pelindung pendengaran, untuk melindungi organ pendengaran dari suara yang bising misalnya sumbat telinga (ear plug) dan katup telinga (ear muff).

6. Alat pelindung badan, untuk melindungi bagian tubuh khususnya dada dari percikan benda cair, padat, radiasi sinar dan panas misalnya appron dari kulit, plastik, dan asbes.

7. Alat pelindung tangan, untuk melindungi bagian jari dan lengan dari bahan kimia, panas, atau benda tajam misalnya sarung tangan kulit, PVC, asbes, dan metal. 8. Alat pelindung jatuh untuk melindungi ketika terjatuh dari ketinggian misalnya

(15)

9. Alat pencegah tenggelam melindungi jika jatuh kedalam air misalnya baju pelampung, pelampung, dan jaring pengaman.

10.Alat pelindung kaki, untuk melindungi bagian telapak kaki, tumit, atau betis dari benda panas, cair, kejatuhan benda, tertusuk benda tajam dan lainnya misalnya sepatu karet, sepatu kulit, sepatu asbes, pelindung kaki dan betis. Untuk melindungi dari kejatuhan benda, sepatu keselamatan dilengkapi dengan pelindung logam dibagian ujungnya (steel to cap).

Sesuai dengan ketentuan pasal 14C Undang-undang RI Keselamatan Kerja No. 1 Tahun 1970, pengusaha wajib menyediakan alat keselamatan secara cuma-cuma sesuai dengan sifat bahayanya. Oleh karena itu, pemilihan alat keselamatan harus dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan jenis bahaya serta diperlakukan sebagai pilihan terakhir (Ramli, 2010).

2.8. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pemakaian APD

Peraturan tentang pemakaian alat pelindung diri (APD) pada pekerja stimulasi di Unit penderesan PT Socfin Indonesia Tanah Besih ini telah diadakan tetapi para pekerja stimulasi ini kurang mematuhi peraturan pemakaian alat pelindung diri (APD) yang telah dibuat oleh perusahaan.

Menurut hasil penelitian Mulyanti (2008), adapun yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian alat pelindung diri (APD) adalah :

2.8.1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

(16)

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).

1. Proses Adopsi Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :

a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

b. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus

c. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru.

e. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2. Tingkat Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan. a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

(17)

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2.8.2. Sikap

Sikap menurut Thurston dalam Winarsunu (2008) adalah taraf positif dan negatif dari efek terhadap suatu obyek yang menyatakan bahwa sikap merupakan konstruk hipotetik yang tidak dapat diukur secara langsung, oleh karenanya harus disimpulkan dari respon-respon pengukuran yang dapat diamati. Respon sikap dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu : kognitif, afektif, dan konatif. Respon kognitif adalah

(18)

respon yang menggambarkan persepsi dan informasi tentang obyek sikap. Respon

afektif adalah respon yang menggambarkan penilaian dan perasaan terhadap obyek sikap. Sedangkan respon konatif merupakan kecenderungan perilaku, intensi, komitmen, dan tindakan yang berhubungan dengan obyek sikap. Dengan demikian yang dimaksud dengan sikap terhadap keselamatan kerja adalah taraf kognitif, afektif, dan konatif seseorang pekerja terhadap keselamatan kerja.

Frank E. Bird, Jr., Direktur ekskutif dari International Loss Control Indtitute mendata ada 6 konflik kebutuhan yang dapat menentukan sikap seseorang terhadap keselamatan kerja, yaitu konflik antara kebutuhan-kebutuhan berikut :

1. Safety Versus Saving Time. Jika cara-cara yang selamat membutuhkan lebih banyak waktu daripada cara yang tidak aman, seseorang akan memilih cara yang tidak aman, untuk menghemat waktu. Kebutuhan untuk menghemat waktu menyebabkan tindakan-tindakan yang tidak selamat.

2. Safety Versus Saving Effort. Jika cara-cara yang selamat membutuhkan lebih banyak pekerjaan dari pada cara yang tidak aman, seseorang akan memilih cara yang tidak aman, untuk menghemat tenaga atau usaha. Seseorang akan memilih cara yang aman atau selamat yang melibatkan banyak pekerjaan hanya jika resiko yang ada pada cara yang mudah lebih besar dari pada yang aman, atau mereka menghendaki tidak ada masalah dengan pimpinannya.

3. Safety Versus Comfort. Jika cara-cara yang aman kurang nyaman dibandingkan dengan cara-cara yang tidak aman, seseorang akan memilih cara-cara yang tidak aman, untuk menghindari ketidaknyamanan.

(19)

4. Safety Versus Getting Attention. Jika cara yang tidak aman menarik lebih banyak perhatian dari pada cara yang aman, seseorang akan memilih cara yang tidak aman.

5. Safety Versus Independence. Jika cara-cara yang tidak aman memberikan lebih banyak kebebasan untuk dilakukan dan dibolehkan oleh atasan dari pada cara-cara yang aman, maka seseorang akan memilih cara yang tidak aman, untuk memanfaatkan kebebasan tersebut.

6. Safety Versus Group Acceptance. Jika cara-cara yang tidak aman lebih diterima atau direstui oleh kelompok dari pada cara yang aman, seseorang akan memilih cara-cara yang tidak aman, untuk memperoleh atau memelihara penerimaan kelompok.

Sikap menurut penelitian Efrianis (2007) merupakan pendapat atau pandangan seseorang tentang suatu objek yang mendahului tindakannya. Sikap tidak mungkin terbentuk sebelum mendapatkan informasi atau melihat dan juga mengalami sendiri suatu objek. Sikap dapat diuraikan sebagai suatu bentuk respon evaluatif, yakni suatu respon yang sudah dalam suatu pertimbangan oleh individu yang bersangkutan.

Sikap mempunyai karakteristik, yaitu : 1. Selalu ada objek

2. Biasanya bersifat evaluatif 3. Relatif mantap

(20)

2.8.3. Kondisi APD

Dalam suasana kerja, kenyamanan tempat kerja dan juga fasilitas/ketersediaan alat pelindung diri (APD) akan meningkatkan prestasi kerja dari setiap tenaga kerja. Sehingga dengan demikian, diharapkan setiap fasilitas atau perlengkapan kerja yang di pakai dapat menimbulkan kenyamanan dalam pemakaiannya sehingga pekerja bekerja secara optimal.

2.8.4. Pengawasan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 27 ayat (2) menetapkan bahwa “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. K3 merupakan salah satu aspek perlindungan tenaga kerja sekaligus melindungi aset perusahaan. Hal ini tercermin dalam pokok-pokok pikiran dan pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yaitu bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan dalam melakukan pekerjaan, dan setiap orang lainnya berada di tempat kerja perlu terjamin pula keselamatannya serta setiap sumber produksi perlu dipakai dan dipergunakan secara aman dan efisien, sehingga proses produksi berjalan lancar.

Pemerintah berkepentingan untuk menjaga kelangsungan bekerja dan berusaha bagi masyarakat, melalui pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja di tempat kerja guna mencegah dan mengurangi kecelakaan, penyakit akibat kerja, peledakan, kebakaran, dan pencemaran lingkungan. Oleh sebab itu, pemerintah khususnya Depnaker, mengatur dan mengawasi pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja. Tujuan dilaksanakan pengawasan adalah (Aditama dan Hastuti, 2002) :

(21)

1. Pencapaian tujuan agar target unit dapat tercapai.

2. Untuk meningkatkan disiplin pekerja, khususnya dalam pemakaian.

Pengawasan penyakit akibat kerja. Berupa pengamatan dan evaluasi secara

kualitatif dan kuantitatif :

1. Pengamatan semua bahan/material keadaan serta keadaan lingkungan kerja yang mungkin sebagai penyebab penyakit akibat kerja.

2. Mengamati proses produksi dan alat-alat produksi yang dipergunakan. 3. Pengamatan semua sistem pengawasan itu sendiri :

a. Pemakaian alat pelindung diri/pengaman : jenis, kualitas, kuantitas, ukuran, dan komposisi bahan alat pelindung

b. Pembuangan sisa produksi (debu, asap, gas, larutan)

c. Jenis konsentrasi/unsur-unsur bahan baku, pengolahan, dan penyimpanan bahan baku

d. Keadaan lingkungan fisik (suhu, kelembaban, tekanan pencahayaan, ventilasi, intensitas suara/bising, getaran) (Dainur, 1992)

2.8.5.Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial merupakan peran atau dukungan sosial baik dari sesama karyawan maupun dari pimpinan terhadap penggunaan APD. Peran rekan kerja berupa ajakan untuk menggunakan APD sedangkan peran atasan/pimpinan adalah berupa adanya anjuran untuk menggunakan APD saat bekerja, pemberian sanksi maupun pemberian hadiah/reward.

Lingkungan sosial pada pekerja stimulasi ini juga sangat berpengaruh dalam pemakaian APD disebabkan karena faktor bahaya yang telah diketahui. Pekerja ini

(22)

dapat mengingatkan sesama temannya untuk memakai APD guna mengurangi efek kecelakaan. Pimpinan perusahaan juga berpengaruh pada lingkungan sosial pekerja stimulasi dengan memberikan hadiah/reward pada pekerja yang rajin memakai APD yang lengkap.

(23)

2.9. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Bebas

Variabel Terikat

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Tenaga Kerja 1. Pengetahuan 2. Sikap Faktor APD 1. Kondisi APD Faktor Pendukung 1. Pengawasan 2. Lingkungan Sosial Pemakaian APD

(24)

2.10 Hipotesa Penelitian

1. Terhadap Tenaga Kerja (Pengetahuan dan Sikap)

Ho : Tidak ada pengaruh pengetahuan dan sikap terhadap pemakaian APD Ha : Ada pengaruh pengetahuan dan sikap terhadap pemakaian APD 2. Terhadap Faktor APD (Kondisi APD)

Ho : Tidak ada pengaruh kondisi APD terhadap pemakaian APD Ha : Ada pengaruh kondisi APD terhadap pemakaian APD

3. Terhadap Faktor Pendukung (Pengawasan dan Lingkungan Sosial)

Ho :Tidak ada pengaruh pengawasan dan lingkungan sosial terhadap pemakaian APD

Ha : Ada pengaruh pengawasan dan lingkungan sosial terhadap pemakaian APD

2.11. Variabel Penelitian

2.11.1 Variabel Bebas (Independen Variabel)

Adapun yang menjadi variabel bebas (Independent Variabel) dari judul ini adalah : Pengetahuan, Sikap, Kondisi APD, Pengawasan dan Lingkungan Sosial. 2.11.2 Variabel Terikat (Dependen Variabel)

Adapun yang menjadi variabel terikat (Dependen Variabel) dari judul ini adalah : Pemakaian APD.

Gambar

Tabel  2.1.  Konsentrasi  Ethrel  Yang  Di  Inginkan  Dengan  Perbandingan    Jumlah Bagian Ethrel 10 ELS dan Jumlah Bagian Pelarut

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kaitan susunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah, setelah perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan Desa atau disebut dengan nama

Luaran yang diharapkan dari program ini adalah adanya kesadaran dari siswa bahwa penggunaan gadget untuk hal-hal yang tidak diperlukan tidak akan memberikan sesuatu yang berguna

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah kegiatan intra kurikuler yang wajib diikuti oleh mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNNES) yang mengambil program

atau ide pokok merupakan pernyataan yang menjadi inti pembahasan. Gagasan utama terdapat pada kalimat utama dalam setiap paragraf..

tinggi.Kelapa yang sudah benar-benar tua dan tidak produktif lagi itu yang mempunyai nilai jual yang tinggi Yaitu Rp. 2) Pembeli kayu kelapa secara borongan bisa ikut

Instrumen dalam penelitian ini tes pengukuran keterampilan sosial merujuk dari SSRS (Social Skill Rating Scales) dan untuk mengukur tes kerjasama yang diadopsi dari

Namun, yang penting diketahui adalah bahwa semua kompetensi tersebut harus berisi muatan-muatan yang akan menanamkan landasan kepribadian, mingkatkan penguasaan ilmu

adalah usaha pengelolaan secara optimal penggunan faktor produksi tenaga kerja, mesin-mesin, peralatan, bahan mentah dan faktor produksi lainnya dalam proses tranformasi