• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PRODUKSI TAMBAK DI KELURAHAN KARIANGAU KECAMATAN BALIKPAPAN BARAT KOTA BALIKPAPAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PRODUKSI TAMBAK DI KELURAHAN KARIANGAU KECAMATAN BALIKPAPAN BARAT KOTA BALIKPAPAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PRODUKSI TAMBAK DI KELURAHAN

KARIANGAU KECAMATAN BALIKPAPAN BARAT

KOTA BALIKPAPAN

The Analysis of Productivity on The Traditional Ponds at Kariangau

District, West Balikpapan Sub-District, Balikpapan City

Ratna Sari1), Achmad Syafei Sidik2) dan Noryadi2)

Abstract. The aims of this research were to identify whether any factors influenced to the traditional ponds productivity. The research was conducted from April to August 2005 at Kariangau District, Balikpapan City. The data were sampled in purposive sampling method with all of population to be respondents. The data were collected by census, namely identification and interview. The results showed by multiple linear regression as follows: Y = 24.29 + 0.98 X1  8.70 X2 + 0.77 X3 + 0.01 X4 + 0.01 X5 + 0.02 X6 + 0.14 X7

+ 0.16 X8. The results of this research showed that mangrove spacing, number

of fry and feeding dosage were significantly and dominantly influenced to the productivity, while another factors were not influenced significantly. The average of productivity of traditional ponds at Kariangau District was as much as 100–250 kg/ha, with mangrove spacing as far as more than 100 m, the number of fry were 10,000–20,000 fry/ha and the feeding dosage were 200–300 kg.

Kata kunci: analisis produksi, tambak, udang, faktor-faktor yang berpengaruh.

Permasalahan yang timbul dengan meningkatnya pertambakan adalah konversi hutan mangrove oleh petani tambak terus berkembang, makin luas dan sukar dicegah. Di kawasan Kariangau konversi hutan mangrove untuk lahan tambak mulai berkembang sekitar tahun 1982/1983. Pembukaan lahan tambak menyebabkan terjadinya deforestasi hutan mangrove, yang bila kondisi ini dibiarkan tanpa upaya penanganan yang cukup serius, maka kerusakan tersebut dikhawatirkan akan terus menjalar ke medan-medan baru hingga jauh menembus kawasan hutan yang tadinya tidak atau belum terjangkau.

Petani tambak di Kelurahan Kariangau melakukan usaha budidaya di tambak dengan pola tunggal dan ganda dengan sistem budidaya secara tradisional hingga tradisional plus, yaitu membuka lahan tambak yang sebesar-besarnya (ekstensifikasi), sedangkan teknologi budidaya pengelolaan tambak yang _

____________________________________________________________

1) SubDinas Perikanan & Kelautan Provinsi Kaltim, Samarinda

2) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unmul, Samarinda

(2)

175 JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007

dianjurkan adalah teknologi yang direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal Perikanan yaitu Sapta Usaha Pertambakan yang meliputi (1) perbaikan konstrruksi tambak, (2) penyediaan dan pengaturan air sesuai dengan kebutuhan, (3) pengolahan tanah, pemupukan dan pemberian pakan, (4) penebaran benih unggul, (5) pengendalian hama dan penyakit, (6) pengolahan dan (7) manajemen usaha.

Sementara aplikasi penggunaan pupuk, pakan dan pestisida oleh petani tambak di Kelurahan Kariangau dengan teknologi yang rendah dan membawa resiko terhadap lingkungan di sekitarnya. Penggunaan pupuk yang berlebihan akan mengakibatkan eutrofikasi, sedangkan pemberian pakan berlebihan adalah cikal bakal terjadinya asidifikasi yang menghantarkan pada terbentuknya tanah sulfat asam (tidak produktif). Pestisida sendiri membawa dampak yang berkepanjangan bagi tambak, yaitu mengganggu sistem rantai makanan melalui biotransformasi dan biomagnifikasi. Konsekwensi dari hal tersebut, menyebabkan produksi tambak makin lama bisa makin berkurang dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kesuburan lahan tambak itu sendiri.

Untuk mengetahui keberhasilan usaha pertambakan di wilayah Kelurahan Kariangau Kota Balikpapan secara aktual, antara lain dapat diukur dengan mengamati produksi tambak dan penerimaan hasil dari petambak yang ada dengan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan secara optimal dan berkesinambungan.

Usaha pertambakan secara optimal dalam peningkatan produksi tambak dapat dilakukan dengan perbaikan pemeliharaan tambak serta kondisi lingkungan dan kombinasi masukan yang efisien, maka memungkinkan peningkatan produksi pada budidaya tambak masih sangat besar. Persoalan ini erat kaitannya dengan faktor input seperti lingkungan, manajemen tambak dan teknis pengelolaannya terhadap peningkatan produksi.

Faktor-faktor lingkungan serta masukan yang perlu diatur dan dikendalikan dapat diidentifikasi dari faktor biofisik per unit tambak dalam wilayah tersebut selanjutnya faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap produksi tambak di Kelurahan Kariangau di antaranya adalah jarak mangrove, luas lahan, umur tambak, jumlah penebaran, dosis pupuk, dosis kapur, dosis pestisida dan dosis pakan yang merupakan penyebab dari penurunan produksi tambak di Kelurahan Kariangau selama beberapa tahun belakangan ini, namun demikian belum dapat diperkirakan faktor-faktor mana yang paling dominan mempengaruhi produksi tambak, sehingga diperlukan penelitian untuk dapat mengetahui pengaruh faktor-faktor produksi terhadap produksi tambak di Kelurahan Kariangau pada khususnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi tambak dan alternatif upaya penanganan yang dapat dilakukan berkaitan dengan penurunan produksi tambak yang berada di wilayah Kelurahan Kariangau Kecamatan Balikpapan Barat Kota Balikpapan.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di wilayah pertambakan Kelurahan Kariangau Kecamatan Balikpapan Barat Kota Balikpapan dan dilakukan selama 3 bulan mulai bulan April hingga bulan Agustus 2005.

(3)

Sari dkk. (2007). Analisis Produksi Tambak 176 Teknik untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah dengan metode sensus yaitu pengisian form tabel, daftar pertanyaan dan wawancara. Data yang digunakan adalah data primer yang berkaitan dengan produksi tambak yang meliputi jarak mangrove, luas lahan, umur tambak, jumlah penebaran, dosis pupuk, dosis kapur, dosis pestisida dan dosis pakan. Wawancara didasarkan pada kuisioner yang diperoleh dalam observasi, kegiatan wawancara ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas perihal pemilik, pendidikan, kondisi lahan dan sistem pengelolaan tambak di Kelurahan Kariangau.

Data yang diperoleh diharapkan dapat menguji hubungan kausal antara variabel jarak mangrove, luas lahan, umur tambak, jumlah penebaran, dosis pupuk, dosis kapur, dosis pestisida dan dosis pakan dengan produksi tambak. Pengujian data di atas dikaitkan dengan beberapa teori dasar yang mempunyai hubungan normatif dengan permasalahan yang diteliti, sehingga juga diperlukan data yang bersumber dari pustaka, untuk ini dilakukan penelusuran buku-buku yang ada relevansinya dengan penelitian ini.

Analisis data dilakukan sesuai dengan Santoso (2001) yang menggunakan statistik parametrik dengan program SPSS (Statistical Product and Service Solutions). Yang ingin diketahui meliputi:

a. Hubungan antara jarak mangrove (meter) (X1), luas lahan (ha) (X2 ), umur tambak (tahun) (X3), jumlah penebaran (ekor) (X4), dosis pupuk (kg/ha) (X5), dosis kapur (kg/ha) (X6), dosis pestisida (kg/ha) (X7) dan dosis pakan (kg/ha) (X8) dengan produksi tambak (kg/ha) (Y). Model analisis Regresi Linear Berganda yang mencakup 9 variabel menurut Supranto (1986) dan Suparmoko (1999) adalah sebagai berikut:

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8

b. Pengaruh variabel X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7 dan X8 terhadap Y diuji dengan Uji Fisher (Fisher Test).

c. Koefisien korelasi digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7 dan X8) dengan variabel tidak bebas (Y). Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui sumbangan variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7 dan X8) terhadap variasi (naik turunnya) Y. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kawasan pertambakan Kariangau yang terletak di wilayah Kelurahan Kariangau, Kecamatan Balikpapan Barat Kota Balikpapan adalah satu di antara kota-kota di Propinsi Kalimantan Timur dengan posisi 1˚1,50˚ LS dan 116,50˚117˚ BT. Luas Kelurahan Kariangau adalah 17.532,75 ha dengan jarak dari Kota Balikpapan adalah 15 km.

Kelurahan Kariangau merupakan daerah berbukit dengan ketinggian hingga 100 m di atas permukaan laut dan suhu udara berkisar antara 21,8–32,8o C. Luas wilayah pertambakan Kelurahan Kariangau 514 ha, dengan potensi produksinya 68 ton/tahun. Selain potensi-potensi tersebut masih terdapat kawasan budidaya khususnya tambak yang masih dibuka dengan komoditas udang, rumput laut, ikan kerapu, ikan bandeng dan kepiting.

(4)

177 JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007

Usaha tambak udang windu sejak seabad yang lalu mulai dikenal di beberapa negara Asia termasuk Indonesia. Usaha pertambakan itu sendiri telah dikenal sejak tahun 1200, tetapi hingga dasawarsa yang lalu komoditi udang umumnya dilakukan sebagai hasil sampingan di tambak, karena tambak hanya digunakan untuk memelihara ikan bandeng. Benih udang secara alami masuk ke dalam tambak bersama air pasang yang mengairi tambak tersebut. Produksi udang yang diperoleh tidak dapat ditentukan, karena tergantung dari banyak sedikitnya benih udang yang secara alamiah di laut sekitar pertambakan atau dengan kata lain masih secara tradisional (Mujiman dan Suyanto, 1989).

Salah satu cara yang dilakukan pemerintah dalam rangka peningkatan produksi udang windu adalah melalui program Intensifikasi Tambak (Intam). Program ini bertujuan untuk menutupi penurunan produksi dan ekspor akibat pembatasan trawl, tambak menjadi sumber utama produksi udang windu di Indonesia untuk diekspor dan konsumsi dalam negeri. Melalui program tersebut terlihat bahwa produksi udang windu di tambak terus meningkat khususnya selama periode 1985–1990 sebagai hasil usaha dari pemerintah Indonesia meningkatkan produksi udang dari tambak untuk mengatasi penurunan produksi udang tangkapan dari laut (Darma, 1994).

Pada tambak tradisional, tambak tidak dipupuk, sehingga produksi semata-mata tergantung dari pakan alami dan kepadatannya tergantung dari kesuburan tanah secara alamiah pula. Pemberantasan hama juga belum dilakukan secara optimal, sehingga benih yang ditebar banyak yang mati. Tetapi setelah pemerintah mengadakan kegiatan penyuluhan yang semakin intensif sejak awal tahun 1970-an, para petani tambak mulai mengenal teknik pemupukan dan memberi pakan tambahan meskipun hanya berupa dedak atau hasil pertanian lainnya. Sejak saat itu petani mulai menyadari perlunya perubahan cara pengelolaan tambak dan pada akhirnya mereka mulai berusaha memelihara udang windu secara monokultur, sehingga produksi yang diperoleh dapat ditingkatkan.

Sehubungan dengan usaha peningkatan produksi udang windu, diharapkan setiap petani tambak memperbaiki teknik budidayanya. Misalnya dengan cara memperbaiki kesuburan tambak melalui pemupukan dan pengelolaan air yang lebih intensif untuk memperoleh daya dukung yang lebih besar. Di samping itu pemberantasan hama lebih diintensifkan dan diadakan perbaikan terhadap konstruksi tambak serta saluran air, sehingga akan diperoleh kualitas air tambak yang dapat dikendalikan dan cocok untuk kehidupan udang yang dipelihara.

Produksi perikanan budidaya di Kelurahan Kariangau Kota Balikpapan selama 5 tahun terakhir rata-rata mengalami peningkatan sebesar 3,2 %. Tabel 1 menunjukkan adanya penurunan setiap tahunnya yakni pada tahun 2001 (1,2 %), tahun 2002 (6,1 %), sedangkan produksi mulai meningkat lagi dari tahun 2003 (2,03 %) dan tahun 2004 sebesar 5,00 %. Produksi menunjukkan, bahwa potensi perikanan budidaya Kota Balikpapan masih cukup besar untuk dimanfaatkan dan dikembangkan.

Data yang diperoleh selama penelitian terhadap sumber-sumber yang menjadi faktor dan mempengaruhi produksi menghasilkan bahwa produksi rata-rata di wilayah Kelurahan Kariangau antara 100–250 kg/ha, yang mana kondisi ini masih

(5)

Sari dkk. (2007). Analisis Produksi Tambak 178

dalam kategori baik dengan produktivitas yang masih baik pula. Hal ini dapat dilihat selama penelitian bahwa para petani tambak yang ada di Kariangau sudah sebagian besar melaksanakan teknologi terapan/anjuran yang ada, sehingga produksinya dapat ditingkatkan. Selain itu juga pola yang diterapkan oleh petambak di Kariangau adalah pola tradisional plus dengan sistem Tambak Ramah Lingkungan, yang mana masih sering dijumpainya mangrove, baik di luar maupun di dalam tambak yang dipelihara dan dibiarkan hidup di kawasan budidaya.

Tabel 1. Produksi Tambak di Kelurahan Kariangau Kota Balikpapan Selama 5 Tahun dari Tahun 2000 Sampai Tahun 2004

Tahun Luas lahan (ha) Volume (kg) Persen (%) 2000 2001 2002 2003 2004 450 470 479 489 514 70.125 69.788 65.752 66.580 68.000 -1,20 -6,00 2,00 5,00 Sumber: Anonim (2004)

Yang tidak kalah penting dalam peningkatan produksi adalah kesuburan dan umur lahan, dari hasil penelitian ditemukan bahwa lahan di Kariangau termasuk dalam lahan yang subur, yang mana penggunaan pupuk, kapur dan racun oleh petani tambak masih kecil dan di bawah standar yang dianjurkan, yaitu rata-rata 100–150 kg/ha, sedangkan umur lahan tambak di Kariangau relatif tua dengan kisaran usia antara 10–25 tahun.

Tricahyo (1995) menyatakan, bahwa vegetasi yang tumbuh di suatu daerah dapat merupakan indikasi elevasi dan tipe tanah. Beberapa vegatasi yang tumbuh di daerah yang terkena pasang surut antara lain adalah pada kawasan hutan bakau (mangrove swamps) yaitu Avicennia, Rhizophora, Sonneratia, Bruguiera,

Exoccaria dan Ceriops. Yang memiliki produktivitas yang rendah pada tahap awal,

produktivitasnya akan tinggi bila lahan tersebut telah berumur di atas 10 tahun. Produksi udang ekspor di Kelurahan Kariangau setiap tahun rata-rata terjadi peningkatan, adapun realisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Balikpapan tahun 2000–2004 di sektor perikanan selalu mengalami kenaikan yang sangat signifikan, sedangkan data produksi, jarak mangrove, luas dan umur tambak, padat penebaran, dosis pupuk, dosis kapur, dosis racun, serta dosis pakan yang diikuti pula dengan data paramater kualitas air selama 30 hari penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3 sebagai berikut :

Jarak mangrove merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi tambak karena hutan mangrove selain bersifat multiguna, salah satunya mampu memberi berbagai ragam manfaat baik langsung maupun tidak langsung. Baik diukur dari skala standar kehidupan tradisional maupun inovasi modern dibidang industri atau baik secara ekologis yang menekankan pelestarian alam maupun aspek ekonomis bagi lingkungan sekitarnya. Selain itu hutan mangrove memiliki fungsi bio-ekologis dan sosio-ekonomis antara lain sebagai nursery ground (media pembiakan), habitat alami yang membentuk keseimbangan ekologis, tempat bersarangnya burung-burung, perlindungan pantai dari bahaya abrasi, dan

(6)

179 JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007

perlindungan tempat pemukiman dari bahaya angin laut serta menghambat intrusi air laut.

Dari hasil penelitian menunjukkan, bahwa jarak mangrove baik dari tambak ke anak sungai maupun yang ada di dalam tambak Kelurahan Kariangau berkisar antara 15–100 m. Jarak mangrove berpengaruh terhadap produksi, yang mana semakin jauh jarak mangrove, maka semakin tinggi produksi tambaknya, begitu juga sebaliknya semakin dekat jarak mangrove, maka semakin rendah produksi tambaknya. Mangrove juga sangat berpengaruh terhadap daya tahan kelangsungan hidup udang yang dipelihara, karena mangrove juga berfungsi sebagai filter alami untuk menyaring bibit penyakit yang menyerang udang di tambak, selain itu mangrove memiliki zat yang terdapat pada batangnya yang dapat meningkatkan kesuburan dan kualitas air untuk pertumbuhan udang. Wilayah Kelurahan Kariangau dapat dikatakan hutan mangrovenya cukup tebal dan dapat dijadikan sebagai green belt, meskipun di bawah standar ketentuan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan.

SKB Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan tahun 1984 memutuskan, bahwa green belt berupa hutan mangrove harus tetap dipertahankan selebar 200 m dari bibir pantai dan Keppres nomor 32 tahun 1990 tentang Kawasan Lindung, yaitu lebar garis sempadan pantai 200 m, lebar garis sempadan sungai 100 m dan lebar garis sempadan anak sungai 50 m.

Selain itu tumbuhan mangrove sebagaimana tumbuhan lainnya mengkonversi cahaya matahari dan zat hara (nutrisi) menjadi jaringan tumbuhan (bahan organik) melalui proses fotosintesis. Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem hutan mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya). Sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan menjadi zat hara (nutrisi) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) yang dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya. Proses makan memakan dalam berbagai kategori dan tingkatan biota membentuk suatu jala makanan.

Menurut Bengen (2002), fungsi dan manfaat hutan mangrove adalah sebagai penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove, sebagai daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makanan (feeding ground), daerah pemijahan (spawning ground) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya, daerah pemasok larva ikan, udang dan sebagai daerah sumber makanan serta sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen.

Mangrove juga merupakan tumbuhan yang mampu beradaptasi pada kondisi salinitas yang tinggi. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara berbeda-beda, beberapa di antaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya, sehingga mangrove sangat cocok dipelihara di dalam tambak karena sangat cocok bagi

(7)

Sari dkk. (2007). Analisis Produksi Tambak 180

kehidupan udang, ikan dan biota lainnya, sehingga produksi tambak dapat meningkat. Selanjutnya mangrove merupakan habitat penting bagi berbagai jenis krustasea, ikan, moluska dan kepiting, terutama jenis kepiting mangrove (Scylla

serrata). Dari hasil lapangan ditemukan 10–50 ekor setiap meter perseginya, selain

itu juga mangrove sebagai tempat berlindung terutama dari predator.

Jumlah penebaran benur atau nener yang harus ditebarkan ke tambak sangat erat hubungannya dengan besarnya target produksi yang hendak dicapai (yang memungkinkan untuk dicapai). Bila seorang petani tambak hendak memulai memelihara udang, tentu ingin menentukan berapa target produksi yang hendak dicapai, tentu saja target produksi tidak dapat didasarkan kepada keinginan saja, melainkan harus didasarkan kepada kondisi, kesuburan serta keterampilan pengelolaan tambak yang diusahakan.

Benih merupakan masalah utama dalam pengelolaan budidaya tambak, karena benih merupakan satu faktor penentu keberhasilan usaha budidaya tambak dan meningkatkan produksi, untuk itulah pemilihan benih unggul harus benar-benar diperhatikan, karena sedikit sekali pembenihan (hatchery) yang mau menerapkan sistem yang sangat terkontrol terhadap kemungkinan kontaminasi/infeksi virus (penyakit). Sebagai petani tambak benih harus dipilih dengan cermat bahkan harus melewati beberapa tahap pengujian.

Benih nener dan benur untuk tambak tidak terlalu sulit diperoleh petani tambak Kota Balikpapan, karena banyak terdapat di Balai Benih Udang Manggar, Balai Benih Udang Swasta (Surindah), Backyard-backyard atau pada para pengumpul/penampung nener dan benur yang tersebar di daerah ini. Di samping itu dapat pula dengan cara menangkap langsung di perairan pantai Balikpapan memakai seser atau di pinggiran Sungai Manggar atau sungai-sungai kecil di Kariangau dengan bantuan alat pengumpul benih (balabar) dan serok. Setelah pemilihan benih, maka tahap selanjutnya adalah penebaran benih, yang mana benih yang akan ditebar harus memenuhi kriteria kondisi benih dan lingkungan yang sama-sama siap agar hasil dapat lebih dipastikan. Tambak yang akan ditebari benih harus siap secara fisik, kimiawi dan biologis, di antaranya: (1) harus dipastikan air telah netral dari pengaruh krustasida, kurang lebih telah mencapai hari ke 6; (2) bebas atau sedikit dari residu klorin terlarut (maksimum 0,5 ppm klorin bebas); (3) kadar oksigen terlarut minimum 4 ppm, tidak berlapis salinitas dan suhu (sehabis hujan); (4) sedapat mungkin telah memiliki populasi fitoplankton yang cukup (kecerahan minimum 25–35 cm); (5) bila air didominasi oleh kelompok dinoflagellata, maka dilakukan persiapan ulang. Sangat baik bila telah ditumbuhi zooplankton dari jenis copepoda dan artropoda; (6) tidak ada ikan penyaing dan pemangsa; (7) benih dapat ditebar pada salah satu sudut, salah satu sudut yang diberi jaring atau melalui hapa transisi.

Dari hasil penelitian menunjukkan, bahwa rata-rata padat penebaran benur dan nener yang ditebarkan oleh petani tambak di Kelurahan Kariangau berkisar antara 10.000–15.000 ekor/ha, ini berarti bahwa padat penebaran yang dilakukan oleh petani tambak di Kariangau sesuai dengan pola tradisional, sehingga padat penebaran berpengaruh terhadap produksi. semakin banyak penebaran benih, maka semakin tinggi produksi tambaknya dan semakin sedikit penebaran benih, maka

(8)

181 JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007

semakin rendah produksinya yang disesuaikan dengan kondisi dan luas lahan tambaknya.

Mujiman dan Suryanto (1989) menyatakan, bahwa pada tambak yang diusahakan secara tradisional biasanya produksi yang dihasilkan tidak dapat mencapai 400 kg/ha. Untuk mencapai produksi sebesar itu, maka padat penebaran per hektar tambak berkisar antara 15.000–25.000 ekor. Bila ditebarkan benur lebih banyak dari jumlah itu, maka udang tidak dapat tumbuh mencapai ukuran lebih dari 30 gram/ekor setelah masa pemeliharaan 4 bulan. Penyebabnya adalah pada sistem budidaya secara tradisional, tambak tidak diberikan pakan yang sesuai anjuran, mengandalkan pasang surut air laut, sehingga pergantian air tidak maksimal dan oksigen yang ada tidak mencukupi kebutuhan udang untuk berkembang dan tumbuh, karena tidak dipasang kincir. Selain itu udang hanya tergantung pada pakan alami yang tumbuh di dalam tambak.

Dosis pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan peningkatan produksi tambak,meskipun makanan alami untuk udang dan ikan seperti plankton, klekap dan lumut tersedia, dalam pelaksanaannya usaha pertambakan modern tidak hanya memanfaatkan makanan alami, tetapi juga menggunakan makanan tambahan pada saat yang tepat, yaitu pada tahap pembesaran. Petani tambak di wilayah Kelurahan Kariangau dalam pemberian pakan sangat kurang dosisnya, mereka sebagian besar hanya memberikan makanan tambahan bila terlihat udang peliharaannya kecil dan tidak mau besar, pemberian pakan yang dilakukan oleh petambak Kariangau hanya bila umur udang mencapai 2 bulan, jadi pemberian pakan hanya dalam waktu antara 2 minggu hingga 1 bulan saja.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis pakan yang digunakan oleh petambak Kariangau berkisar antara 100–600 kg dalam satu periode musim tanam atau sekitar 7–40 kg per 3 hari. Penggunaan pakan sangat kecil dan di bawah standar rata-rata yang dianjurkan.

Murtidjo (1988) menyatakan, bahwa pemberian pakan tambahan untuk udang memiliki keuntungan ekonomis dan dengan memberikan makanan tambahan produksi dapat ditingkatkan. Diketahui bahwa peningkatan produksi karena penambahan pakan buatan mencapai 20–30 %. Selain itu juga pakan buatan memperpendek waktu pemanenan dan menekan angka kematian (mortalitas) akibat kanibalisme.

Penggunaan pupuk selama masa pemeliharaan tidak dilakukan oleh petani tambak di wilayah Kariangau. Pupuk hanya digunakan dalam masa persiapan lahan dan diperlukan bila kualitas tanah belum optimal tingkat kesuburannya, demikian pula pengapuran. Untuk wilayah Kariangau, kapur digunakan dalam masa pemeliharaan jika terjadi hujan (diberikan setelah hujan), dengan tujuan agar air tambak tidak terlalu masam, sedangkan pestisida digunakan tidak saja pada saat persiapan lahan, namun juga diberikan pada saat udang berumur sekitar 2 bulan.

Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan SPSS untuk mengetahui hubungan variabel jarak mangrove (x1), luas lahan tambak (x2), umur tambak (x3), padat penebaran (x4), dosis pupuk (x5), dosis kapur (x6), dosis pestisida (x7), dosis pakan (x8) terhadap variabel produksi (Y) yang diperoleh pada tambak rakyat di Kelurahan Kariangau selama 30 hari penelitian, hasil persamaan regresi menunjukkan bahwa:

(9)

Sari dkk. (2007). Analisis Produksi Tambak 182

Y = 24,29 + 0,98 X1 8,70 X2 + 0,77 X3 + 0,01 X4 + 0,01 X5 + 0,02 X6 + 0,14 X7 + 0,16 X8

Koefisien regresi b1 = 0,98 menyatakan bahwa setiap kenaikan jarak mangrove sebesar 1 m, maka produksi akan bertambah sebesar 0,98 kg dengan anggapan variabel lainnya (luas lahan, umur tambak, padat tebar, dosis pupuk, dosis kapur, dosis racun dan dosis pakan) konstan. Berarti jarak mangrove berpengaruh positif terhadap peningkatan produksi. Koefisien regresi b2 = 8,70 menyatakan bahwa setiap terjadi penambahan luas lahan (1 ha), maka produksi akan berkurang sebesar 8,70 kg dengan anggapan jarak mangrove, umur tambak, padat tebar, dosis pupuk, dosis kapur, dosis racun dan dosis pakan konstan. Berarti luas lahan tambak berpengaruh negatif terhadap peningkatan produksi.

Koefisien regresi b3 = 0,77 menyatakan bahwa setiap kenaikan/bertambahnya umur tambak (1 tahun), maka produksi akan bertambah sebesar 0,77 kg dengan anggapan jarak mangrove, luas lahan tambak, padat tebar, dosis pupuk, dosis kapur, dosis racun dan dosis pakan konstan. Berarti umur tambak berpengaruh positif terhadap peningkatan produksi. Koefisien regresi b4 = 0,01 menyatakan bahwa setiap penambahan padat penebaran (1 ekor), maka produksi akan bertambah sebesar 0,01 kg dengan anggapan jarak mangrove, luas lahan tambak, umur tambak, dosis pupuk, dosis kapur, dosis racun dan dosis pakan konstan. Berarti padat tebar berpengaruh positif terhadap peningkatan produksi.

Koefisien regresi b5 = 0,01 menyatakan bahwa setiap penambahan dosis pupuk (1 kg), maka produksi akan bertambah sebesar 0,01 kg dengan anggapan jarak mangrove, luas lahan tambak, umur tambak, padat tebar, dosis kapur, dosis racun, dosis pakan konstan. Berarti dosis pupuk berpengaruh positif terhadap peningkatan produksi.

Koefisien regresi b6 = 0,02 menyatakan bahwa setiap kenaikan dosis kapur sebesar 1 kg akan meningkatkan produksi sebesar 0,02 kg dengan anggapan jarak mangrove, luas lahan tambak, umur tambak, padat tebar, dosis pupuk, dosis racun, dosis pakan konstan. Berarti dosis kapur memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan produksi. Koefisien regresi b7 = 0,14 menyatakan bahwa setiap penambahan dosis racun sebesar 1 kg akan menambah produksi sebesar 0,14 kg dengan anggapan jarak mangrove, luas lahan tambak, umur tambak, padat tebar, dosis pupuk, dosis kapur, dosis pakan konstan. Berarti dosis racun berpengaruh positif terhadap peningkatan produksi.

Koefisien regresi b8 = 0,16 menyatakan bahwa setiap penambahan dosis pakan (1 kg), maka produksi akan bertambah sebesar 0,16 kg dengan anggapan jarak mangrove, luas lahan tambak, umur tambak, padat tebar, dosis pupuk, dosis kapur, dosis racun konstan. Berarti dosis pakan berpengaruh positif terhadap peningkatan produksi.

Nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,857 menunjukkan, bahwa antara produksi dengan jarak mangrove, luas lahan tambak, umur tambak, padat tebar, dosis pupuk, dosis kapur, dosis racun dan dosis pakan mempunyai hubungan yang erat. Berarti produksi sangat dipengaruhi oleh jarak mangrove, luas lahan tambak, umur tambak, padat tebar, dosis pupuk, dosis kapur, dosis racun dan dosis pakan.

Nilai koefisien determinasi (r square) untuk variabel bebas yang jumlahnya lebih dari dua sebesar 0,734. Nilai besarnya pengaruh variasi dari produksi sebesar

(10)

183 JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007

73,1 % disebabkan adanya faktor variasi dari jarak mangrove, luas lahan tambak, umur tambak, padat tebar, dosis pupuk, dosis kapur, dosis racun dan dosis pakan. Sisanya sebesar 26,90 % disebabkan oleh faktor-faktor lain selain variabel bebas yang mempengaruhi peningkatan produksi, seperti tingkat penguasaan teknologi dan keterampilan petani yang masih kurang.

Dari hasil uji analisis varians (uji F) didapatkan nilai F hitung sebesar 10,71 dengan tingkat signifikansi 0,000. Nilai probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05 maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi produksi tambak di Kelurahan Kariangau. Berdasarkan uji F tersebut, maka jarak mangrove, luas lahan tambak, umur tambak, padat tebar, dosis pupuk, dosis kapur, dosis racun dan dosis pakan secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap produksi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Faktor yang sangat berpengaruh dan paling dominan terhadap produksi tambak di Kariangau Kota Balikpapan adalah jarak mangrove, jumlah penebaran dan dosis pemberian pakan. Untuk meningkatkan produksi tambak di Kariangau adalah dengan menjaga dan memelihara ekosistem hutan mangrove serta meningkatkan padat penebaran, penggunaan kapur dan pemberian pakan sesuai dosis dan anjuran yang ditetapkan. Rata-rata produksi tambak di Kelurahan Kariangau adalah sebesar 100–250 kg/ha dengan jarak mangrove 100 m, jumlah penebaran antara 10.000– 20.000 ekor/ha dan dosis pakan sebesar 200–300 kg/ha. Faktor-faktor produksi seperti luas lahan, umur tambak, dosis pupuk, dosis pengapuran dan dosis racun tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap produksi tambak di Kelurahan Kariangau.

Saran

Dalam rangka meningkatkan produksi tambak udang windu di Kota Balikpapan melalui sektor perikanan, khususnya produksi yang dihasilkan dari tambak-tambak yang berada di Kelurahan Kariangau, yaitu meningkatkan penggunaan sarana produksi seperti padat penebaran, dosis pemberian kapur dan dosis pemberian pakan yang sesuai dengan anjuran yang diterapkan serta menjaga kelestarian lingkungan ekosistem hutan mangrove sehingga bebas dari pencemaran.

Memberikan pembinaan dan pelatihan keterampilan bagi para petambak yang ada di wilayah Kelurahan Kariangau, sehingga mereka dapat menjadi petani tambak yang mandiri serta dapat meningkatkan produksi terutama ekspor udang windu di Kalimantan Timur umumnya dan Kota Balikpapan khususnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2004. Laporan Tahunan Statistik Perikanan dan Kelautan. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Timur, Samarinda.

(11)

Sari dkk. (2007). Analisis Produksi Tambak 184

Bengen, D.G. 2002. Sinopsis Ekosistem Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Pesisir dan Lautan IPB, Bogor. 65 h.

Darma, A. 1994. Budidaya Ikan dan Udang Windu dalam Tambak. Gramedia, Jakarta. 179 h.

Mudjiman, A. dan Suyanto. 1989. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya, Jakarta. 211 h.

Murtidjo, B.A. 1989. Tambak Air Payau, Budidaya Udang dan Bandeng. Kanisius, Yogyakarta. 138 h.

Santoso. 2001. Analisis Non Parametrik (Anova). SPSS (Statistical Product and Service Solutions). Gramedia, Jakarta.

Suparmoko. 1999. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Edisi Ketiga. BPFE, Yogyakarta.

Supranto, J. 1986. Ekonometrik. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. 335 h. Tricahyo, E. 1995. Biologi dan Kultur Udang Windu (Penaeus monodon FAB). Edisi

(12)

Gambar

Tabel  1.  Produksi  Tambak  di  Kelurahan  Kariangau  Kota  Balikpapan  Selama  5  Tahun  dari  Tahun 2000 Sampai Tahun 2004

Referensi

Dokumen terkait

(5) Hal ini sejalan pula dengan AHRQ dengan survei rumah sakit tentang pelaksanaan budaya keselamatan pasien yang menyatakan respon tidak menghukum terhadap

Hasil pengujian hipotesis empat dengan menggunakan analisis jalur dalam penelitian membuktikan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan beban kerja terhadap

Gambaran ini mengindikasikan bahwa pada siswa yang meiliki motivasi belajar rendah, ditemukan bahwa secara signifikan hasil belajar matematika yang diajar melalui

Tampak jelas sekali kalau Pandan Wangi terkejut mendengar jawaban Rangga barusan Sungguh tidak sempat terpikir kalau Pendekar Rajawali Sakti baru saja bertarung melawan

Dengan demikian, yang pertama kali terlintas dibenak calon karyawan adalah bahwa bekerja pada perusahaan yang ada dihadapannya merupakan pilihan yang menitikberatkan

Persamaan regresi linier yang digunakan dalam perhitungan kedalaman air, mempunyai koefisien korelasi lebih baik dibandingkan dua fungsi sebelumnya, Sementara itu Gambar

Hal ini adalah wajar apabila tidak bertujuan komersial, apabila cover lagu di media sosial dilakukan untuk tujuan komersial, maka pelaku cover harus tetap memperhatikan