• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH FARMAKOLOGI MOLEKULER RESEPTOR ASETILKOLIN NIKOTINIK (OBAT PELEMAS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH FARMAKOLOGI MOLEKULER RESEPTOR ASETILKOLIN NIKOTINIK (OBAT PELEMAS)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH FARMAKOLOGI MOLEKULER

RESEPTOR ASETILKOLIN NIKOTINIK (OBAT PELEMAS)

Disusun oleh: Kelompok 9 Kelas A

Bina Maraya Lestyoningrum G1F014051 Amyda Ayu Dianritami G1F014053 Raras Ravenisa G1F014055

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO 2015

(2)

RESEPTOR ASETILKOLIN NIKOTINIK

Reseptor ini merupakan reseptor terhubung dengan kanal ion. Reseptor nikotinik dapat berikatan dengan nikotin, tetapi juga memiliki beberapa ikatan dengan senyawa lain. Reseptor nikotinik merupakan suatu protein pentamer yang terdiri dari lima subunit yaitu: subunit 2α, β, γ, dan δ yang masing-masing berkontribusi membentuk kanal ion, dengan dua tempat ikatan untuk molekul ACh. Ion K+ dan Na+ dapat keluar masuk melintasi membran. Reseptor ini berlokasi di neuromuscular junction, ganglia otonom, medula adrenal, dan susunan saraf pusat. Paling banyak ditemukan di neuromuscular junction (neuromuscular junction adalah sinaps yang terjadi antara saraf motorik dengan serabut otot). Reseptor nikotinik berperan memperantarai terjadinya kontraksi otot polos.

Aktivasi reseptor nikotinik pada neuromuscular junction

Potensial aksi pada ujung presinaptik saraf motorik menyebabkan terjadinya pembukaan kanal ion Ca++ yang teraktivasi oleh voltase. Kemudian ion Ca++ masuk dan memicu pelepasan ACh pada ujung saraf. ACh berikatan dengan reseptor nikotinik, menyebabkan pembukaan kanal ion Na+. Kemudian Na+ masuk dan menyebabkan terjadi depolarisasi lokal yang memicu terbukanya kanal ion Na+ yang teraktivasi voltase. Selanjutnya Na+ berikutnya masuk memicu potensial aksi lebih lanjut sampai mencapai T tubule dan membuka kanal Ca++ teraktivasi voltase pada membran retikulum sarkoplasma (RS). Pelepasan Ca++ dari RS ke sitosol menyebabkan terjadinya kontraksi otot.

Ada impuls saraf → membuka kanal Ca2+ pada presinaptik → Ca2+ memobilisasi Ach untuk lepas dari presinaptik → Ach berikatan dengan reseptor nikotinik → Kanal Na membuka → depolarisasi parsial → membuka kanal Na yang lain → depolarisasi berlanjut → membuka kanal Ca2+ di RE/RS → Ca2+ masuk ke sitoplasma → kontraksi.

(3)

Obat yang beraksi menghambat reseptor Asetilkolin Nikotinik : Golongan Penyekat neuromuskular (Antikolinergik).

Obat golongan ini banyak digunakan pada pelaksanaan operasi /pembedahan atau pada kondisi dimana kontraksi otot harus dihindari. Obat ini diklasifikasikan lagi menjadi dua golongan, yaitu : Non-depolarizing blocking agent dan Depolarizing blocking agent.

a. Non-Depolarizing blocking agent

Non-Depolarizing blocking agent merupakan suatu antagonis yang bekerja dengan cara berkompetisi dengan ACh untuk berikatan dengan reseptor yang berada di sel otot sehingga menyebabkan aksi ACh menjadi terhambat dan terjadi relaksasi otot. Contohnya adalah tubokurarin. Tubokurarin awalnya digunakan oleh orang pedalaman Amerika selatan untuk racun anak panah untuk berburu. Tubokurarin bersifat kurang selektif karena juga mengikat reseptor ACh nikotinik di ganglion sehingga menyebabkan efek samping tidak terkontrolnya tekanan darah. Contoh obat lain adalah pankuronium, vekuronium, rokuronium, atrakurium dan mivakurium. b. Depolarizing blocking agent

Depolarizing blocking agent merupakan agonis partial reseptor ACh nikotinik. Contohnya adalah suksametonium atau suksinilkolin. Jika obat ini berikatan pada reseptor ACh nikotinik, kanal ion Na+ terbuka yang menyebabkan depolarisasi. Untuk menghasilkan potensi aksi, kanal ion harus diaktivasi dan kemudian diinaktivasi. Kanal ion yang terinaktivasi harus repolarisasi untuk kembali ke kondisi istirahat dan kemudian dapat diaktivasi lagi. Ikatan suksinilkolin dengan reseptor nikotinik menyebabkan perpanjangan lama depolarisasi sehingga justru akan menghambat penghantaran potensil aksi lebih lanjut. Hal ini akan menyebabkan terjadinya relaksasi otot.

OBAT NEUROMUSCULAR BLOCKER NON-DEPOLARIZING 1. D-Tubokurarin

a. Struktur fisik

Merupakan alkaloid kuartener, suatu derivate isoquinolin yang berasal dari tanaman tropis Chondronderon tomentosum. Pada dosis terapeutik menyebabkan kelumpuhan otot mulai dengan ptosis, diplopia, otot muka,

(4)

rahang, leher dan eksremitas. Paralisis otot dinding abdomen dan diafragma terjadi paling akhir. Lama paralisis bervariasi antara 15-50 menit.

b. Sifat

Blockade ganglion simpatis, dilatasikapiler, inotropic negative. Ekresi terjadi di ginjal, kadang-kadang hepar.

c. Kontraindikasi

Asma bronchial, Renal disfungsi, Myasthenia grevis, Diabetes mellitus, dan Hipotensi.

d. Dosis

Paralisis otot intraabdomen : 10-15 mg Intubasi traea : 10-20 mg

Dilakukan secara intravena atau inramuskular, dengan efek samping hipotensi dan bradikardia. Reaksi utama yang sering terjadi adalah:

- Kardiovaskular: hipotensi, vasodilatasi, takikardia sinus, bradikardi sinus

- Pulmonary: hipoventilasi, apnue, bronkospasme, laringospasme, dyspnue

- Muskuloskelet: apabila tidak adekuat akan menyebabkan blok lama Dermatologi : ruam dan urtikaria

2. Pancuronium a. Struktur fisik

Cincin Steroid dari 2 molekul Ach ( relaksasi bisquaternary). Pancuronium adalah pelumpuh otot golongan non-depolarisasi dengan mula kerja yang lambat dan masa kerja panjang. Masa kerja obat golongan ini ditentukan oleh konsentrasinya di plasma yang akan menurun sampai batas minimal yang dapat menimbulkan efek blok pada otot skeletal.

b. Metabolisme dan eksresi

Dimetabolisme oleh hepar. Eksresi terutama pada ginjal 40%,sebagian oleh empedu (10%). Eliminasi pancuronium melambat bilaada gagal ginjal. Pasien dengan sirosis membutuhkan dosis awalyang besar tapi dosis rumatan yang kecil karena penurunan plasmaclearance.

c. Dosis

0,08 – 0,12 mg/kg pancuronium memberikan relaksasi adekuatuntuk intubasi 2 – 3 menit. Selama operasi dosis awal 0,04 mg/kgdiikuti setiap 20 – 40 menit dengan 0,01 mg/kg.Anak-anak membutuhkan dosis lebih besar. Sediaan cairan

(5)

1sampai 2 mg/cc disimpan dalam suhu 2 – 8 dan stabil selama 6bulan pada suhu ruangan.

d. Efek samping dan pertimbangan klinis Hipertensi dan Takikardi

Terjadi karena vagal refleks dan stimulasi simpatis. Perhatian bilamemberikan pancuronium pada pasien dengan peningkatan denyut jantung. (penyakit jantung koroner, stenosis subaortik hipertropicidiopathic).

Aritmia

Peningkatan konduksi atrioventikuler dan pelepasan katekolamin menyebabkan disritmia. Kombinasi pancuronium, trisiclicantidepressant dan halotan dapat menyebabkan aritmogenik. Reaksi Alergi Hipersensitif pada bromida dapat menyebabkan reaksi alergi pada pancuronium.

3. Atracurium

a. Struktur fisik

Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice Leontopeltalum. Keunggulannya adalah metabolisme terjadi di dalam darah, tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.

b. Dosis

0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi intraoperative 0,25 mg/kg initial, laly 0,1 mg/kg setiap 10-20 menit. Infuse 5-10 mcg/kg/menit efektif menggantikan bolus.

Lebih cepat durasinya pada anak dibandingkan dewasa.

Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan dalam suhu 2-8OC, potensinya hilang 5-10 % tiap bulan bila disimpan pada suhu ruangan. Digunakan dalam 14 hari bila terpapar suhu ruangan.

c. Efek samping dan pertimbangan klinis

Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg 4. Vekuronium

a. Struktur fisik

Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan lebih besar dan lama kerjanya singkat Zat anestetik ini tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.

(6)

b. Metabolisme dan eksresi

Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka panjang dapat memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena akumulasi metabolit 3-hidroksi, perubahan klirens obat atau terjadi polineuropati.

Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid yang lama dan sepsis. Efek pelemas otot memanjang pada pasien AIDS. Toleransi dengan pelemas otot memperpanjang penggunaan.

c. Dosis

Dosis intubasi 0,08 – 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01 mg/kg setiap 15 – 20 menit. Drip 1 – 2 mcg/kg/menit.

Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi pada pasien post partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow.

Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya. 5. Rekuronium

a. Struktur Fisik

Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih cepat. Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal, sedangkan kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek kerja yang lebih lama.

b. Metabolisme dan eksresi

Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi tidak terpengaruh oleh kelainan ginjal, tapi diperpanjang oleh kelainan hepar berat dan kehamilan, baik untuk infusan jangka panjang (di ICU). Pasien orang tua menunjukan prolong durasi.

c. Dosis

Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya. 0,45 – 0,9 mg / kg iv untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis kecil 0,4 mg/kg dapat pulih 25 menit setelah intubasi. Im ( 1 mg/kg untuk infant ; 2 mg/kg untuk anak kecil) adekuat pita suara dan paralisis diafragma untuk intubasi. Tapi tidak sampai 3 – 6 menit dapat kembali sampai 1 jam. Untuk drip 5 – 12 mcg/kg/menit. Dapat memanjang pada pasien orang tua.

d. Efek samping dan manifestasi klinis

Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya mahal. Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental.

(7)

Rocuronium (0,1 mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk prekurasisasi sebelum suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik.

MEKANISME OBAT

Hambatan gabungan asetilkolin dengan reseptor di membran ujung motor terjadi karena pemberian tubokurarin, galamin, alkuronium, dan sebagainya. Karena reseptor asetilkolin diduduki oleh molekul-molekul obat pelumpuh otot nondepolarisasi, tidak terjadi proses depolarisasi membran otot dan otot menjadi lumpuh. Pemulihan fungsi saraf otot terjadi jika jumlah molekul obat yang menduduki reseptor asetilkolin telah berkurang, antara lain karena proses eliminasi dan atau distribusi. Pemulihan juga dapat dipercepat dengan pemberian obat antikolinesterase (neostigmin) yang meningkatkan jumlah asetilkolin.

Transmisi neuromuskular normal secara umum bergantung pada ikatan asetilkolin pada reseptor nikotinik-kolinergik di motor-end-plate. Pelumpuh otot non-depolarisasi bekerja dengan mekanisme kompetisi dengan asetilkolin pada sisi ikatan ini, sehingga memblok transmisi neuromuskular. Pemulihan efek blokade ini tergantung pada difusi bertahap, redistribusi, metabolisme dan ekskresi obat pelumpuh otot non-depolarisasi dari dalam tubuh (pemulihan spontan) ataupun dengan pemberian agen pemulih spesifik (pemulihan farmakologik). Inhibitor kolinesterase secara tidak langsung menambah jumlah asetilkolin yang tersedia untuk berkompetisi dengan pelumpuh otot non-depolarisasi, sehingga mengembalikan transmisi neuromuskular normal.

(8)

LAMPIRAN 1. Suci

Bisa tolong diulang mekanisme kontraksi otot dan mekanisme obat?

Ada impuls saraf → membuka kanal Ca2+ pada presinaptik → Ca2+ memobilisasi Ach untuk lepas dari presinaptik → Ach berikatan dengan reseptor nikotinik → Kanal Na membuka → depolarisasi parsial → membuka kanal Na yang lain → depolarisasi berlanjut → membuka kanal Ca2+ di RE/RS → Ca2+ masuk ke sitoplasma → kontraksi.

Pelumpuh otot non-depolarisasi bekerja dengan mekanisme kompetisi dengan asetilkolin pada reseptor asetilkolin nikotinik, sehingga kanal Na tidak dapat membuka dan proses kontraksi otot tidak terjadi.

2. Mega

Bagaimana kerja dari turbokurarin spesifik atau bagaimana? Kalau tidak spesifik apakah dia bisa mengeblok jantung atau bagaimana.

Jadi, d-Turbokurarin itu bekerja pada neuromuscular junction pada otot-otot penggerak seperti mata, lidah, tangan.

3. Laksmi

Kenapa d-Tubokurarin hanya bekerja tidak boleh diberikan secara peroral?

Karena pelumpuh otot merupakan golongan amonium kuartener, sehingga tidak diserap dengan baik melalui usus. Namun d-tubokurarin diserap dengan baik melalui penyuntikan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Brody, T. M., Larner, J. and Minneman, K. P. (Eds.), 1998, Human Pharmacology:

Molecular to Clinical, 3th ed., Mosby Inc., St. Louis, Missouri.

Erwin, Iswandi, Donni I.K., 2012, Inhibitor Asetilkolinesterase untuk Menghilangkan Efek Relaksan Otot Non-depolarisasi. CDK-193. vol 39 (5).

Korolkovas, A., 1970, Essentials of Molecular Pharmacology: Background for Drug Design, Wiley-Interscience, New York.

Offermanns,S. and Rosenthal,W.,(Eds), 2008, Encyclopedia of Molecular Pharmacology, USA.

Referensi

Dokumen terkait