BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN
1.1
1.1Latar Belakang.
Latar Belakang.
Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat adanya Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat adanya obat lain (precipitant drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat obat lain (precipitant drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang memang dikehendaki (Desirable Drug Interaction), atau efek menghasilkan efek yang memang dikehendaki (Desirable Drug Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki (Undesirable/Adverse Drug Interaction) yang lazimnya yang tidak dikehendaki (Undesirable/Adverse Drug Interaction) yang lazimnya menyebabkan efek samping obat dan atau toksisitas karena meningkatnya kadar obat menyebabkan efek samping obat dan atau toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma, atau sebaliknya menururnya kadar obat dalam plasma yang di dalam plasma, atau sebaliknya menururnya kadar obat dalam plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal. Sejumlah obat baru yang dilepas menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal. Sejumlah obat baru yang dilepas dipasaran setiap tahunnya menyebabkan munculnya interaksi baru antar obat akan dipasaran setiap tahunnya menyebabkan munculnya interaksi baru antar obat akan semakin sering terjadi.
semakin sering terjadi.
Beberapa laporan studi menyebutkan proporsi interaksi obat dengan obat lain Beberapa laporan studi menyebutkan proporsi interaksi obat dengan obat lain berkisar antara
berkisar antara 2,2 % s2,2 % sampai 30 ampai 30 % terjadi % terjadi pada pasien pada pasien rawat inapp rawat inapp dan 9,2 dan 9,2 % sampai% sampai 70 % terjadi pada pasien rawat jalan, walaupun kadang
70 % terjadi pada pasien rawat jalan, walaupun kadang – – kadang evaluasi interaksi obat kadang evaluasi interaksi obat tersebut memasukkan pula interaksi obat secara teoritik selain interaksi obat tersebut memasukkan pula interaksi obat secara teoritik selain interaksi obat sesungguhnya yang ditemukan dan terdokumentasi.
sesungguhnya yang ditemukan dan terdokumentasi.
1.2
1.2Tujuan pembuatan makalah
Tujuan pembuatan makalah
Makalah ini dibuat bertujuan untuk menggali pemahaman tentang interaksi obat Makalah ini dibuat bertujuan untuk menggali pemahaman tentang interaksi obat yang terjadi pada fase farmakodinamik terutama pada i
BAB II ISI
2.1 RESEPTOR
Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan reseptor pada sel organisme. Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu makromolekul fungsional, yang pada umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor fisiologis bagi ligan-ligan endogen (semisal: hormon dan neurtransmiter). Interaksi obat dengan reseptor pada tubuh dapat mengubah kecepatan kegiatan fisiologis, namun tidak dapat menimbulkan fungsi faali yang baru.
Terdapat bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor hormon, faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, neurotransmitter, enzim metabolik dan regulator (seperti dihidrofolat reduktase, asetilkolinesterase). Namun demikian, reseptor untuk obat pada umumnya merupakan reseptor yang berfungsi sebagi ligan endogen (hormon dan neurotransmitter). Reseptor bagi ligan endogen seperti ini pada umumnya sangat spesifik (hanya mengenali satu struktur tertentu sebagai ligan). Obat-obatan yang berinteraksi dengan reseptor fisiologis dan melakukan efek regulator seperti sinyal endogen ini dinamakan agonis Ada obat yang juga berikatan dengan reseptor fisioloigs namun tanpa menghasilkan efek regulator dan menghambat kerja agonis (terjadi persaingan untuk menduduki situs agonis) disebut dengan istilah antagonis, atau disebut juga dengan bloker. Obat yang berikatan dengan reseptor dan hanya menimbulkan efek agonis sebagian tanpa memedulikan jumlah dan konsentrasi substrat disebut agonis parsial. Obat agonis- parsial bermanfaat untuk mengurangi efek maksimal agonis penuh, oleh karena itu disebut pula dengan istilah antagonis parsial Sebaliknya, obat yang menempel dengan reseptor fisiologik dan justru menghasilkan efek berlawanan dengan agonis disebut agonis negatif .
Pembagian reseptor fisiologik adalah :
1. Reseptor enzim – mengandung protein permukaan kinase yang memfosforilasi protein efektor di membran plasma. Fosforilasi mengubah aktivitas biokimia protein tersebut. Selain kinase, siklase juga dapat mengubah aktivitas biokimia efektor. Tirosin kinase, tirosin fosfatase, serin/treonin kinase, dan guanil siklase berfungsi sebagai situs katalitik, dan berperan layaknya suatu enzim. Contoh ligan untuk reseptor ini: insulin, epidergmal growth factor (EGF), platelet-derived growth factor (PDGF), atrial natriuretic factor (ANF), transforming growth factor-beta (TGF- β ), dan sitokin.
2. Reseptor kanal ion – reseptor bagi beberapa neurotransmitter, sering disebut dengan istilah ligand- gated ion channels atau receptor operated channels. Sinyal mengubah potensial membran sel dan komposisi ionik instraselular dan ekstraselular sekitar. Contoh ligan untuk reseptor ini: nikotinik, γ-aminobutirat tipe A (GABAA), glutamat, aspartat, dan glisin.
3. Reseptor tekait Protein G – Protein G merupakan suatu protein regulator pengikatan GTP berbentuk heterotrimer. Protein G adalah penghantar sinyal dari reseptor di permukaan sel ke protein efektor. Protein efektor Protein G antara lain adenilat siklase, fosfolipase C dan A2, fosfodiesterase, dan kanal ion yang terletak di membran plasma yang selektif untuk ion Ca 2+ dan K +. Obat selain antibiotik pada umumnya bekerja dengan mekanisme ini. Contoh ligan untuk reseptor ini: amina biogenik, eikosanoid, dan hormon-hormon peptida lain.
4. Reseptor dalam sel -
Reseptor faktor transkripsi
– Mengatur transkrip gen tertentu. Terdapat daerah pengikatan dengan DNA (DNA bnding domain) yang berinterak secara spesifik pada genom tertentu mengaktifkan atau menghambattranskripsi. Contoh ligan : hormon steroid, hormon tiroid, vitamin D, dan retinoid.
Secon messenger pada sitoplasma
– Dalam transduksi sinyalproses daur ulang. Contoh : AMP, sikli GMP, siklik ADP-ribosa, ion Ca2+, inositol fosfat, diasil gliswrol, dan nitrit oksida.
Gambar 1. Bentuk Reseptor.
Tabel 1. Contoh reseptor obat pada tubuh manusia
Selain daripada reseptor, obat juga dapat bekerja tanpa melalui reseptor, misalnya obat yang mengikat molekul atau ion dalam tubuh. Contohnya penggunaan antasida sebagai penetral keasaman lambung yang berlebihan. 2-merkapoetana sulfonat (mesna) meniadakan radikal bebas disaluran perkemihan. Obat lain juga berfungsi sebagai analog struktur normal tubuh yang bisa “bergabung” ke dala sel sehingga menganggu fungsi sel dan tubuh. Misalnya analog purin dan pirimidin yang dapat
diinserasi ke dalam asam nukleat, mampu menjadi obat antivirus dan kemoterapi untuk kangker.
2.2 MEKANISME INTERAKSI OBAT
–RESEPTOR
Bagian pertama dari interaksi obat reseptor adalah ikatan reseptor. Ikatan obat – reseptor ini mengikuti teori gembok dan anak kunci. Setiap ligan baik endogen
maupun eksogen memiliki keterikatan khusus pada reseptornya yang disebut afinitas. Afinitas adalah ukuran seberapa kuat suatu obat berikatan dengan reseptornya. Ikatan obat – reseptor dapat menimbulkan efek (Angonis) dan dapat pula meniadakan efek (Antagonis).
AGONIS
Obat agonis adalah obat yang dapat menghasilkan efek fisiologis yang sama dengan ligan endogen tubuh yang diserupainya. Obat agonis penuh menghasilkan suatu kompleks dengan afinitas yang tinggi. Sementara agonis parsial mempunyai afinitas yang lebih rendah. Saat agonis parsial bekerja pada reseptor, agonis ini akan menstimulus efek fisiologi, akan tetapi agonis ini dapat mengantagonis efek dari antagonis penuh reseptor yang ditempati oleh agonis penuh sebelumnya ditempati oleh agonis parsial.
Obat agonis yang bekerja pada sisi aktif yang sama dengan ligan endogen tubuh disebut agonis kompetitif, sedangkan agonis yang bekerja pada sisi aktif lain dari suatu reseptor disebut agonis non-kopetitif karena agonis ini tidak perlu berkopetisi dengan ligan endogen tubuh.
ANTAGONIS
Sebagian besar antagonis adalah obat – obat yang berikatan dengan reseptor tetapi tidak mengaktivasinya. Antagonis dapat bersifat kompetitif dan
Antagonis non-kompetitif tidak berikatan dengan sisi aktif reseptor namun bekerja secara terselubung melalui sisi aktif yang lain untuk mencegah respon
dari agonis.
2.3 INTERAKSI FARMAKODINAMIK
Interaksi farmakodinamik – merupakan suatu interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja, atau sistem fisiologik yang sama. Interaksi ini bisa menimbuolkan efek yang sinergistik, atau antagonistik. Interaksi farmakodinamik ini biasanya dapat diramalkan (misalnya: pengelompokan obat antihipertensi yang dapat saling sinergik menurunkan
tekanan darah).
Interaksi pada reseptor: misalnya asetilkolin yang bekerja pada reseptor kolinergik (muskarinik) sebagai agonis; sementara adanya atropine, kuinidin, dan antihistamin H1 sebagai antagonis untuk reseptor yang sama.
Interaksi fisiologik : merupakan interaksi pada sistem fisiologik yang sama, sehingga dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan respons. Misalnya penggunaan antidiabetes (bekerja pada sistem endokrin) dengan tiazid atau kortikosteroid (juga bekerja pada sistem endokrin) dapat menurunkan efek antidiabetik. Demikian juga penggunaan obat β-bloker dengan verapamil dapat menyebabkan gagal jantung dan bradikardia.
BAB III PENUTUP
Interaksi obat pada fase farmakodinamik dapat terjadi secara langsung (Pada reseptor) dan secara tidak langsung (Interaksi fisiologis). Interaksi obat pada reseptor bekerja secara agonis dan antagonis kompetitif maupun non-kompetitif. Interaksi obat
secara langsung maupun tidak langsung dapat menghasilkan efek yang agonis maupun antagonis. Efek agonis dapat berupa efek additif, summation maupun sinergis.
DAFTAR PUSTAKA
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
Gitawati, R., 2008. Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya. Media Litbang Kesehatan volume XVIII No. 4, pp. 175 - 184.