• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sferositosis Herediter Translate

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sferositosis Herediter Translate"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Sferositosis herediter adalah kelainan bawaan yang umum terjadi dan ditandai Sferositosis herediter adalah kelainan bawaan yang umum terjadi dan ditandai dengan anemia, ikterus, dan splenomegali. Sferositosis herediter ini terjadi di seluruh dengan anemia, ikterus, dan splenomegali. Sferositosis herediter ini terjadi di seluruh dunia dan merupakan anemia herediter yang paling sering terjadi pada masyarakat dunia dan merupakan anemia herediter yang paling sering terjadi pada masyarakat keturunan Eropa utara.

keturunan Eropa utara.

Sferositosis herediter ini memiliki derajat keparahan klinis yang cukup Sferositosis herediter ini memiliki derajat keparahan klinis yang cukup  bervariasi dan mayoritas pasien mengalami anemia hemolitik yang masih terkompensasi  bervariasi dan mayoritas pasien mengalami anemia hemolitik yang masih terkompensasi dengan baik. Beberapa pasien tidak menunjukkan gejala, sedangkan yang lain menderita dengan baik. Beberapa pasien tidak menunjukkan gejala, sedangkan yang lain menderita anemia hemolitik berat sehingga membutuhkan transfusi eritrosit. Lesi primer pada anemia hemolitik berat sehingga membutuhkan transfusi eritrosit. Lesi primer pada sferositosis herediter dapat berupa hilangnya luas permukaan membran, yang sferositosis herediter dapat berupa hilangnya luas permukaan membran, yang menyebabkan penurunan deformabilitas akibat defek pada protein membran ankyrin, menyebabkan penurunan deformabilitas akibat defek pada protein membran ankyrin,  band

 band 3, 3, β β spectrin, spectrin, α α spectrin, spectrin, atau atau protein protein 4.2.4.2. Hingga saat ini telah banyak diketahuiHingga saat ini telah banyak diketahui mutasi yang terjadi pada gen yang mengkodekan protein membran ini, namun mutasi mutasi yang terjadi pada gen yang mengkodekan protein membran ini, namun mutasi spesifik yang menyebabkan sferositosis herediter hingga saat ini masih belum diketahui. spesifik yang menyebabkan sferositosis herediter hingga saat ini masih belum diketahui. Sferosit yang abnormal akan terjebak dan kemudian dihancurkan di limpa. Hal ini Sferosit yang abnormal akan terjebak dan kemudian dihancurkan di limpa. Hal ini merupakan

merupakan penyebab utama penyebab utama hemolisis pada hemolisis pada sferositosis herediter.sferositosis herediter.

Komplikasi yang umum terjadi pada sferositosis herediter adalah kolelitiasis, Komplikasi yang umum terjadi pada sferositosis herediter adalah kolelitiasis, episode hemolitik, dan krisis aplastik. Splenektomi pada kasus sferositosis herediter episode hemolitik, dan krisis aplastik. Splenektomi pada kasus sferositosis herediter dapat bersifat kuratif namun harus dipertimbangkan secara hati-hati antara manfaat dan dapat bersifat kuratif namun harus dipertimbangkan secara hati-hati antara manfaat dan risiko yang dapat terjadi pada pasien.

(2)

SFEROSITOSIS HEREDITER

Definisi

Sferositosis herediter adalah kelompok penyakit heterogen yang mempengaruhi sel darah merah (eritrosit). Ciri umum sferositosis herediter adalah adanya defek pada struktur membran yang menyebabkan penurunan deformabilitas eritrosit. Manifestasi klinis penyakit ini sangat bervariasi dan bergantung pada berat/ringannya mutasi yang terjadi pada gen yang mengkodekan protein membran, dampak sferositosis herediter terhadap fungsi tubuh lainnya, dan adanya riwayat sferositosis herediter pada anggota keluarga lain.

Penyakit ini pertama kali dijelaskan pada paruh kedua abad kesembilan belas. Pada tahun 1900 Oskar Minkowski mempublikasikan pengamatan sferositosis herediter yang terjadi pada suatu keluarga. Sferositosis herediter termasuk dalam anemia hemolitik bawaan dan nama penyakit tersebut berdasarkan pada perubahan eritrosit secara mikroskopis saat dilakukan pemeriksaan darah.

Prevalensi

HS terjadi pada semua kelompok etnis. Frekuensi tertinggi 1:5.000 ditemukan  pada masyarakat dari negara-negara Eropa Utara. Mutasi yang terjadi pada ankyrin atau  protein membran lainnya secara de novo sering menyebabkan HS sporadis. Sekitar dua  pertiga pasien memiliki gen sferositosis herediter yang bersifat dominan sehingga dapat diwariskan ke generasi-generasi berikutnya. Mayoritas kasus tersebut memiliki derajat keparahan sferositosis herediter yang sama. Sedangkan pada sepertiga kasus memiliki orang tua yang normal atau tidak mengalami sferositosis herediter.

Prevalensi sferositosis herediter di Jerman diperkirakan mencapai 1: 2000 -2500. Spherocytosis herediter adalah anemia hemolitik bawaan yang paling sering terjadi pada penduduk asli Eropa utara atau tengah.

Efek patofisiologis

Membran sel darah merah atau eritrosit adalah struktur yang dinamis dan merupakan struktur yang merupai cairan dengan kekuatan dan fleksibilitas yang

(3)

dibutuhkan untuk bertahan selama 120 hari dalam sirkulasi. Lipid bilayer pada membran tersebut terutama terdiri dari fosfolipid dan kolesterol, dengan protein integral yang tertanam dalam lipid bilayer yang membentang di membran dan kerangka membran di sisi sitoplasma (gambar 1). Kepala kutub dari lipid bilayer memutar ke arah luar dan rantai asam lemak yang tidak memiliki kutub saling berhadapan dan membentuk inti dalam. Kompleks band-3, ditarik menuju ke pusat oleh band-3 tetramer; Band 3 juga dapat berperan sebagai dimer. Setiap monomer band 3 terdiri dari segmen transmembran besar, dengan polylactosaminoglycan yang bercabang, panjang dan menempel di sisi luar/non-sitoplasma, dan sitoplasmik yang menyerupai tangkai  berperan sebagai lokasi perlekatan/sandaran dari ankyrin-1. Ankyrin-1 juga berikatan dengan daerah terminal C dari rantai β-spectrin dan protein 4.2. Glikophorin A juga  berperan sebagai dimer dengan beberapa glikol pendek yang mengandung asam sialik. Kompleks Rhesus (Rh) mengandung Rh polipeptida, glikoprotein terkait Rh (disusun sebagai heterotetramer), CD47, glikoprotein Landsteiner-Wiener, dan dimer glikophorin B. CD47 berinteraksi dengan protein 4.2 dan polipeptida Rh untuk membangun lokasi  perlekatan ankyrin-1. Kompleks Rh dan kompleks band-3 diperkirakan membentuk

kompleks yang besar/macrocomplex. Pada lokasi perhubungan/kompleks junctional,  protein 4.1R berinteraksi dengan satu ujung dari beberapa tetramer spektrin di terminal  N β-spektrin, di daerah yang mengandung filamen pendek aktin dan serangkaian protein  pengikat aktin - yaitu, dematin, tropomiosin, β- Adducin, dan tropomodulin. Di luar kompleks junctional, protein 4.1R berinteraksi dengan glikophorin C transmembran dan  p55. Tetramer α2β2 dari spektrin membentuk jaringan padat, melapisi permukaan dalam lipid bilayer. α-spektrin dan rantai β antiparalel dengan dua dimer yang saling  berhubungan dengan posis head-to-head yaitu, daerah terminal N dari rantai α-spectrin dengan daerah terminal C dari rantai β-spectrin - pada lokasi asosiasi mandiri untuk menghasilkan tetramer dan oligomer tingkat tinggi (gambar 1). Membran dan kerangkanya memberikan deformabilitas pada eritrosit -yaitu, kemampuan untuk mengalami distorsi substansial tanpa mengalami fragmentasi atau tanpa mengalami kehilangan integritas selama berada di peredaran darah kecil dan kemampuan menahan tegangan geser sirkulasi arteri. Dua faktor yang terlibat dalam efek patofisiologis dari spherocytosis herediter – defek intrinsik pada membran sel darah merah dan limpa yang

(4)

dalam kondisi utuh dapat secara selektif mempertahankan, merusak, dan menghilangkan eritrosit yang rusak (gambar 2) .

Meskipun defek molekular utama pada spherocytosis herediter bersifat heterogen, satu ciri umum gangguan pada eritrosit ini adalah adanya hubungan vertikal yang lemah antara kerangka membran dan lapisan ganda lipid dengan protein integralnya (tabel 1). Hubungan vertikal ini meliputi interaksi antara spektrin, ankyrin-1, band-3, dan protein-4.2; Spektrin, protein-4.1R, glikophorin-C, dan p55; Interaksi Rh-kompleks dan ankyrin-1; Dan lainnya, namun sekarang tidak disebut sebagai interaksi kerangka membran lipid bilayer (gambar 1). Ketika interaksi ini terganggu, kerangka bilayer akan kehilangan kohesi dengan membran, sehingga menyebabkan destabilisasi lapisan ganda lipid dan terjadi pelepasan vesikel lipid yang tidak memiliki kerangka. Dua jalur berbeda yang dapat menyebabkan berkurangnya area permukaan membran antara lain: (1) defek pada Spektrin, ankyrin, atau protein 4.2 yang dapat mengurangi kerapatan kerangka membran, menyebabkan gangguan keseimbangan /stabilisasi lapisan ganda lipid dan dapat melepaskan vesikel-vesikel kecil yang mengandung band-3; dan (2) defek pada band-3 menyebabkan defisiensi dan hilangnya efek stabilisasi lipid, yang menyebabkan hilangnya mikrovesikel yang tidak mengandung band-3 dari membran. Kedua jalur tersebut dapat menurunkan luas  permukaan membran, menurunkan rasio luas permukaan terhadap volume, dan membentuk sferosit dengan deformabilitas yang menurun. Sehingga sferosit tersebut secara selektif akan tertahan dan dihancurkan di limpa (gambar 2).

Saat eritrosit terjebak dalam limpa, eritrosit abnormal mengalami kerusakan yang lebih berat atau mengalami perubahan kondisi akibat limpa sehingga luas  permukaan eritrosit menjadi semakin berkurang dan kepadatan sel menjadi semakin

meningkat. Selain itu, juga dapat terjadi perubahan Ph menjadi lebih rendah, konsentrasi glukosa dan adenosin trifosfat menurun, menyebabkan eritrosit mengalami kontak dengan makrofag, dan konsentrasi oksidan lokal menjadi lebih tinggi. Meski  begitu, tidak semuanya mengalami penghancuran di limpa. Beberapa eritrosit tersebut

dapat lolos dan masuk kembali ke sirkulasi sistemik, dan dapat dilihat sebagai ekor sel saat dilakukan uji kerapuhan osmotik (gambar 2). Penghancuran eritrosit abnormal oleh limpa merupakan penyebab utama hemolisis pada pasien dengan sferositosis herediter.

(5)

Analisis deformabilitas menunjukkan bahwa splenektomi lebih bermanfaat untuk pasien dengan defisit spektrin atau ankyrin pada sel darah merah daripada pasien dengan defisit band-3. Splenektomi mencegah hilangnya sel imatur terlalu awal pada kedua jenis defisit di atas tetapi memiliki efek menguntungkan tambahan pada sel darah merah yang mengalami defisit spektrin atau ankyrin. Efek tambahan tersebut adalah dapat meningkatkan kemampuan sel darah merah untuk bertahan hidup. Eritrosit yang mengalami defisit spektrin atau ankyrin dapat melewati/lolos dari opsonisasi dengan melepaskan vesikel yang mengandung band-3. Oleh karena itu, kelompok band-3 yang dibutuhkan untuk mengikat ikatan bivalen dengan afinitas rendah, biasanya antibodi IgG yang terbentuk secara alami dapat terus berada di eritrosit yang mengalami defisit  band-3 dan dengan kelebihan protein kerangka namun IgG pada eritrosit yang memiliki defisit spektin atau ankyrin akan terlepas dan pembentukan vesikel dibantu oleh kerangka yang telah mengalami kerusakan.

Etiologi

Penyebab utama dari sferositosis herediter adalah adanya defek/kecacatan pada membran sel. Defek ini dapat menurunkan deformabilitas eritrosit dan mempercepat degradasi eritrosit di limpa. Hal ini disebabkan oleh adanya mutasi pada gen yang mengkodekan protein membran ankyrin, band 3, dan spectrin (spektrin yang paling sering mengalami gangguan). Mutasi gen yang mengkode protein 4.2, kompleks RH dan kasus-kasus dengan defek yang tidak terdefinisi sampai saat ini jarang terjadi. Pada 70% kasus, penyakit ini dapat diturunkan melalui gen autosom dominan, sedangkan sebanyak 15% kasus diturunkan melalui gen autosom resesif. Sedangkan sissnya mendapat penyakit ini karena mengalami mutasi baru. Tabel 1 menunjukkan klasifikasi sferositosis herediter berdasarkan molekul yang mengalami gangguan

Manifestasi klinis Gejala

Spektrum klinis sferositosis herediter dapat sangat bervariasi, mulai dari sferositosis herediter yang parah dan memerlukan transfusi pada anak usia dini hingga sferositosis herediter yang tidak menunjukkan gejala dan baru didiagnosis secara tidak

(6)

sengaja saat dilakukan analisis laboratorium. Ciri-ciri dan komplikasi yang khas pada sferositosis herediter ditampilkan dalam Tabel 2 dan 3.

Krisis hemolitik dapat terjadi secara berulang apabila pasien mengalami infeksi. Krisis hemolitik ini mayoritas masih bersifat ringan, terjadi pada orang dewasa muda, dan tidak memerlukan transfusi darah. Krisis aplastik mayoritas hanya terjadi sekali. Krisis aplastik ini dapat menurunkan konsentrasi hemoglobin secara hebat, sehingga  pasien memerlukan transfusi darah. Komplikasi yang jarang terjadi antara lain gangguan pada kardiovaskular, hematopoiesis ekstrameduler, atau hemokromatosis sekunder.

Pada pasien dengan bentuk penyakit ringan yang tidak menjalani splenektomi -hemolisis yang terus meningkat secara kronis juga dapat menyebabkan hematopoiesis extrameduler. Apabila hematopoiesis tersebut terus berkembang selama beberapa dekade, akan tampak gambaran tumor di intratorakal dan di paravertebral. Ulkus varises mungkin terjadi pada pasien yang sudah lanjut usia. Hingga saat ini ada/tidaknya hubungan antara sferositosis herediter dengan ataksia spinocerebellar (bentuk/ganbaran klinis sferositosis herediter yang langka) namun memiliki lokasi defek genetik yang sama masih belum dapat dijelaskan.

Komplikasi

Penyakit kandung empedu

Hemolisis kronis dapat menyebabkan pembentukan batu empedu bilirubin. Pembentukan batu empedu ini merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada sferositosis herediter. Terbentuknya batu empedu tersebut terjadi pada setidaknya 5% anak-anak yang berusia kurang dari 10 tahun; angka kejadian tersebut semakin meningkat menjadi 40-50% pada dekade kedua sampai kelima, mayoritas terjadi pada usia 10 dan 30 tahun. Adanya penyakit penyerta seperti sindrom Gilbert dapat meningkatkan risiko kolelitiasis sebanyak empat kali lipat hingga lima kali lipat. Diagnosis dan pengobatan tepat waktu akan membantu mencegah timbulnya komplikasi  pada traktus biliaris, termasuk obstruksi empedu dengan pankreatitis, kolesistitis, dan kolangitis. Metode terbaik untuk mendeteksi ada/tidaknya batu empedu adalah dengan menggunakan ultrasonografi. Sebaiknya pasien dengan riwayat keluarga sferositosis melakukan pemeriksaan ultrasonografi abdomen setiap tiga sampai lima tahun,

(7)

sedangkan pada pasien sferositosis herediter dengan sindrom Gilbert sebaiknya menjalani pemeriksaan setiap tahun dan sebelum menjalani splenektomi. Setelah limpa diangkat, pasien dengan sferositosis herediter tidak akan mengalami pembentukan  pigmen batu.

Krisis Haemolitik, aplastik, dan megaloblastik

Pasien dengan spherocytosis herediter, seperti orang-orang dengan penyakit hemolitik lainnya, berisiko mengalami peningkatan krisis. Krisis hemolitik merupakan salah satu krisis yang paling sering terjadi, sering dipicu adanya infeksi virus dan  biasanya timbul pada masa kanak-kanak. Peningkatan hemolisis mungkin disebabkan oleh pembesaran limpa selama infeksi dan pengaktifan sistem retikuloendotelial. Krisis hemolitik umumnya ringan dan ditandai dengan ikterus, splenomegali, anemia, dan retikulositosis; pasien tersebut jarang memerlukan intervensi. Krisis hemolitik berat ditandai dengan ikterus, anemia, kelesuan, sakit perut, muntah, dan splenomegali. Mayoritas pasien hanya memerlukan terapi suportif; Transfusi sel darah merah hanya diperlukan jika konsentrasi hemoglobin sangat berkurang.

Krisis aplastik yang terrjadi akibat supresi sumsum tulang oleh virus lebih jarang terjadi dibandingkan dengan krisis hemolitik, namun dapat menyebabkan anemia berat sehingga pasien memerlukan perawatan di rumah sakit, memerlukan transfusi darah dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius seperti gagal jantung kongestif atau bahkan kematian. Meski begitu, krisis aplastik yang parah muncul hanya sekali seumur hidup. Agen penyebab krisis aplastik yang paling sering adalah parvovirus B penyebab eritema infectiosum (penyakit kelima) namun dapat memberi kekebalan seumur hidup. Parvovirus secara selektif menginfeksi sel progenitor erythropoietic dan menghambat  pertumbuhannya. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah retikulosit yang rendah meski pasien mengalami anemia berat. Tanda laboratorium pertama kali muncul adalah peningkatan konsentrasi besi serum karena hilangnya eritroblas di sumsum tulang dan menurunnya sintesis hemoglobin. Konsentrasi bilirubin dapat turun apabila  jumlah sel darah merah abnormal yang dapat mengalami lisis semakin berkurang. Orangtua harus disarankan untuk memperhatikan tanda-tanda seperti pucat, kelesuan yang ekstrem, dan konjungtiva asena apabila anak menunjukkan tanda-tanda infeksi yang tidak spesifik seperti demam, menggigil, muntah, diare, sakit perut, dan mialgia.

(8)

Pasien sferositosis herediter jarang menunjukkan ruam infeksi parvovirus yang khas dan apabila ruam tersebut muncul mungkin berkaitan dengan deposit kompleks imun. Krisis aplastik biasanya berlangsung 10-14 hari.

Klasifikasi

Klasifikasi sferositosis herediter yang berdasarkan pada tingkat keparahan klinis ditunjukkan pada Tabel 4.

Pasien Sferositosis Herediter Asimtomatik namun dengan Parameter Laboratorium yang Mencolok

Kelompok khusus dari sferositosis herediter adalah pasien yang membawa kelainan genetik sferositosis herediter namun tidak menunjukkan gejala klinis dan tidak ada keluarga yang mengalami sferositosis herediter. Dimana sferositosis herediter pada  pasien ini secara tidak sengaja ditemukan berdasarkan parameter laboratorium. Temuan

laboratorium yang menunjukkan sferositosis herediter dirangkum dalam Tabel 5.

Kombinasi beberapa parameter diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis sementara sferositosis herediter apabila terdapat faktor predisposisi genetik. Jika tidak ada sferosit yang terdeteksi, jika indeks eritrosit tetap tidak berubah, dan jika retikulosit  berada dalam kisaran normal, sferositosis herediter tidak dapat dikesampingkan, tetapi

tidak mungkin orang tersebut akan menunjukkan gejala apapun. Bentuk klinis sferositosis herediter asimtomatik dapat sangat sulit dibedakan dengan bentuk sferositosis herediter yang ringan. Bentuk ringan kadang-kadang dapat memburuk karena splenomegali yang disebabkan oleh penyakit lain (misalnya limfoma) atau karena infeksi virus (EBV, parvovirus).

MCHC sebagai Indikator Penyakit Membran RBC

 Nilai MCHC (mean cell hemoglobin concentration) yang meningkat sangat relevan untuk mengidentifikasi apakah pasien mengalami sferositosis atau tidak. MCHC ini dapat melaporkan konsentrasi hemoglobin atau jumlah hemoglobin per 100ml eritrosit.

Meningkatnya nilai MCHC dapat ditemukan dalam situasi berikut:

(9)

• Jumlah RBC yang digunakan terlalu rendah, mis. Dalam kasus sampel darah yang mengalami koagulasi.

• Titer aglutinin dingin yang tinggi

• Gangguan membran sel darah merah yang dapat diturunkan/diwariskan seperti sferositosis dan varian lainnya, mis. Xerositosis

• Anomali hemoglobin CC

• Anemia sel sabit homozigot (kadang kala)

• Pasien hemokromatosis dengan kelebihan zat besi namun juga bergantung pada genotipnya.

Diagnosa

Diagnostik Kasus yang Diduga Sferositosis Herediter

Riwayat medis dan pemeriksaan fisik yang teliti dapat memberikan dasar diagnostik yang rasional. Langkah diagnostik lebih lanjut yang harus dilakukan pada orang dewasa ditunjukkan pada Tabel 6 dan 7 dan algoritma diagnosis ditampilkan pada Gambar 1.

Tidak ada tes tunggal yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi semua  bentuk sferositosis herediter. Maka dari itu, dianjurkan untuk menggabungkan dua  prosedur pengujian. Sebuah studi baru-baru ini dengan 150 pasien menunjukkan bahwa kombinasi tes AGLT dan EMA dapat mencapai sensitivitas hingga 100%. Pemeriksaan ketahanan osmotik dengan larutan garam hipotonik memiliki sensitivitas yang jelas lebih rendah daripada uji AGLT dan EMA.

. Uji kerapuhan osmotik

Uji tradisional ini dilakukan dengan menggunakan 14 konsentrasi NaCl, berkisar antara 0,1 sampai 0,8 g / dL NaCl. Namun, modifikasi uji ini dilakukan dengan metode 4 tabung menggunakan empat konsentrasi larutan NaCl (0,5 g / dL untuk sel darah merah yang tidak diinkubasi, 0,60, 0,65, dan 0,75 g / dL NaCl untuk sel darah merah yang diinkubasi) [93], dan pada metode tabung 17, 3 tabung terakhir menggunakan  NaCl dengan konsentrasi 0,85, 0,9, dan 1,0 g / dL (Milan). Sferosit lebih mudah mengalami lisis pada setiap konsentrasi NaCl bila dibandingkan dengan sel darah merah

(10)

normal. Preincubation seluruh sampel darah selama 24 jam pada suhu 37 ° C akan meningkatkan derajat lisis sel.

Kelemahan dari uji kerapuhan osmotik adalah kurang spesifik, karena cacat atau kondisi sel merah bawaan lainnya juga dapat memberi hasil positif (yaitu peningkatan lisis sel darah merah). Contohnya antara lain anemia hemolitik karena sistem imun, transfusi darah yang baru saja dilakukan (yaitu lisis sel darah merah yang baru saja ditransfusikan secara ex vivo karena minimnya ATP di sel ini), defisiensi enzim RBC (misalnya kekurangan G6PD dan piruvat kinase), dan varian penyakit lain dengan hemoglobin yang tidak stabil. Hasil tes kerapuhan osmotik harus ditafsirkan bersamaan dengan anamnesis riwayat penyakit keluarga dan pemeriksaan hapusan darah perifer.

Kini flow cytometric osmotic fragility test telah tersedia. Pemeriksaan ini didasarkan pada kerentanan sel darah merah untuk mengalami lisis dan dilakukan di sebuah medium yang telah ditambah dengan air deionisasi. Meskipun pemeriksaan ini memiliki spesifisitas dan sensitivitas tinggi untuk mendeteksi sferositosis herediter, namun hingga saat ini masih belum diketahui apakah metode ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi sel darah merah dengan permeabilitas membran yang tidak normal terhadap kation.

Acidified Glycerol Lysis Time/Rentang waktu lisis gliserol yang telah diasamkan (AGLT)

Glycerol lysis time (GLT) yang asli digunakan untuk mengukur waktu yang dibutuhkan bagi 50% sampel darah untuk mengalami hemolisis dalam larutan buffer garam hipotonik/gliserol. Gliserol menghambat masuknya air ke dalam sel darah merah, sehingga memperpanjang waktu lisis. Penambahan 0,0053M natrium fosfat dapat menurunkan pH larutan buffer menjadi 6,85 sehingga dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas uji sferositosis herediter ini. Hal ini adalah dasar dari acidified glycerol lysis time (AGLT) test . Akibatnya, lisis sel darah merah normal dapat diukur pada waktu yang lebih mudah diatur> 900 detik, bukan lisis pada waktu 23-45 detik. AGLT juga dapat memberikan hasil positif pada sferositosis yang didapat, seperti AIHA, sekitar sepertiga wanita hamil, dan pada beberapa pasien dengan gagal ginjal kronis dan dengan sindrom myelodysplastic [96, 97].

(11)

 Acidified glycerol lysis time (AGLT) adalah metode yang sangat spesifik untuk mengukur hemolisis. Sensitivitas tes berkisar antara 80 dan 95%. Tes ini harus dilakukan dalam beberapa jam setelah pengambilan sampel darah atau dengan menggunakan sampel yang telah dikirim oleh kurir (sampel harus dingin tergantung  pada musimnya).

Flow Cytometry (Uji EMA)

Metode flow cytometry (uji EMA) telah diperkenalkan pada tahun 2000. Metode ini didasarkan kemampuan pewarna fluorescent eosin-5-maleimide untuk berikatan dengan eritrosit. Kemampuan pengikatan pewarna fluorescent ini lebih rendah pada  pasien dengan sferositosis herediter dibandingkan dengan orang sehat. Sensitivitas tes ini berkisar antara 90 - 95%, spesifisitasnya adalah 95 - 99%. Hasilnya hanya berlaku  jika pengukuran dilakukan dalam waktu 48 jam sejak pengambilan sampel darah. Meski  begitu kemampuan fluoresensi untuk berikatan dengan eritrosit ini tampak lebih rendah  pada pyropoikilocytosis herediter, dan kemampuan ini meningkat pada kasus

stomatositosis.

Ektacytometry

Penentuan gradien osmotik dengan Ektacytometry merupakan cara yang tepat untuk menentukan tingkast kerapuhan osmotik sel darah merah (sehingga dapat digunakan untuk membedakan antara sferositosis dan stomatositosis makrositik).  Namun, hingga saat ini metode tersebut hanya tersedia di Zurich dan di Paris, Rumah

Sakit Kremlin Bicêtre.

Karena tes hanya dapat dilakukan dengan sampel darah segar yang diambil di lokasi analisis, pemeriksaan ektacytometry dapat menjadi metode diagnosis pilihan apabila terdapat beberapa kasus luar biasa dimana diagnosis tidak dapat diperoleh dengan cara lain.

Analisis Membran

Analisis biokimia dengan cara elektroforesis gel dapat diterapkan sebagai metode kuantitatif untuk membuktikan penurunan jumlah protein membran, dan secara

(12)

kualitatif untuk mengidentifikasi protein tertentu yang terkena. Namun metode ini  jarang sekali digunakan untuk diagnosis sferositosis.

Analisis Genetik

Diagnosis genetik molekuler dapat digunakan untuk mengidentifikasi kelainan genetik secara spesifik untuk pasien dan / atau keluarga. Namun metode diagnostik ini hanya digunakan untuk kasus khusus karena lokasi mutasi gen pada penyakit ini sangat  bervariasi. Selain itu, biaya yang harus dikelurakan untuk melaksanakan metode ini

terbilang cukup tinggi.

Semua metode diagnostik dapat memberikan hasil positif palsu dan / atau negatif palsu. Maka dari itu, diagnosis pasien yang tidak memiliki riwayat penyakit  pada keluarga tidak boleh hanya mengandalkan satu metode saja (misalnya hanya resistensi osmotik, hanya EMA, hanya diagnostik membran biokimia). Untuk tujuan  penyaringan, setidaknya dilakukan dua metode yang berbeda, terutama uji EMA dan

AGLT. Spesifisitas dan sensitivitas tes diagnostik yang berkembang di masa depan harus dibandingkan dengan kedua prosedur laboratorium tersebut (uji EMA dan AGLT).

Diagnosis Banding

Diagnosis banding hyperegenerative, anemia normochromic dan spherocytes  pada pasien dewasa dapat dikelompokkan menjadi kelainan kongenital dan didapat:

Kelainan kongenital

Anhidositosis herediter: Temuan pada prosedur diagnostik dasar penyakit ini hampir mirip dengan sferositosis herediter, namun kerapuhan osmotik sel darah merah mayoritas akan meningkat jika penyakit ini berkembang menjadi semakin parah. Sangat  penting untuk melakukan analisis mikroskopis dari hapusan darah tepi pada kasus ini. Selain itu, analisis mikroskopis dari hapusan darah tepi juga sebaiknya dilakukan pada kasus eliptositosis spherocytic, di mana spherocytes ditemukan di sebelah elliptocytes.

Pirofoikilositosis herediter: Dasar patofisiologis dari penyakit ini adalah adanya anomali spektrin homozigot disertai dengan adanya riwayat penyakit keluarga menderita eliptositosis herediter. Flow cytometry (EMA Test) menunjukkan penurunan

(13)

kemampuan pengikatan zat warna pada sel darah merah secara signifikan, hal ini sama dengan sferositois herediter. Sangat penting untuk bagi dokter untuk melakukan  pemeriksaan morfologi dari hapusan darah tepi dan berbeda dengan penyakit membran

lainnya, penurunan nilai MCV pada penyakit ini dapat mencapai di bawah 70fl.

Kelainan herediter dari permeabilitas kation membran sel darah merah: Diagnosis banding dirangkum dalam Tabel 8.

Stomatositosis herediter: pemeriksaan hapusan darah sangat penting dalam diagnosis kasus penyakit yang sangat langka ini. Penyakit ini harus dibedakan dengan  penyakit lainnya karena splenektomi seringkali tidak efektif malah dapat meningkatkan

risiko komplikasi tromboemboli. Penyimpanan sampel darah dari pasien dengan stomatositosis herediter selama 2 jam pada suhu 4 ° C biasanya menyebabkan  peningkatan kadar kalium serum dan peningkatan MCV, namun MCHC menjadi

normal.

Xerositosis herediter (sebelumnya juga disebut sebagai stomatositosis herediter dehidrasi): Jumlah sel darah pada mayoritas kasus xerositosis herediter tidak terlalu  berbeda jauh, stomatosit dan echinosit jarang ditemukan (dibuktikan terutama dengan  pemeriksaan mikroskop yang menggunakan kontras). Kerapuhan osmotik pada kasus xerositosis herediter ini sedikit menurun. Seringkali terdapat riwayat obstetri hidrops intrauterin yang disertai dengan asites. Splenektomi tidak efektif dan menjadi kontraindikasi dalam kasus ini karena dapat meningkatkan risiko komplikasi terjadinya tromboemboli.

Anemia diseritropoiesis kongenital tipe II: Terlepas dari kenyataan bahwa sferosit tunggal juga dapat ditemukan dalam pemeriksaan h apusan darah tepi pada kasus ini, namun jenis anemia pada kasus ini merupakan anemia poikilositosis dan sering kali  juga ditemukan basofil. Jumlah retikulosit sering kali dalam batas normal. Namun jika

retikulosit tersebut meningkat, peningkatan tersebut tidak setinggi peningkatan retikulosit pada pasien anemia. Apabila pada kasus-kasus tertentu, penyakit ini sulit untuk dibedakan dengan penyakit lain, maka diperlukan untuk melakukan aspirasi sumsum tulang guna mengetahui adanya diseritropoiesis. Pergeseran band-3 di SDS PAGE dapat digunakan sebagai dasar diagnosis. Penyakit ini dapat dipastikan dengan mendeteksi adanya mutasi gen SEC23B.

(14)

Bentuk lain dari anemia hemolitik kongenital: kelainan enzim yang diwarskan atau defek struktural gen hemoglobin yang menyebabkan anemia hemolitik. Perbedaan  jumlah sel darah melalui pemeriksaan mikroskopik sering dapat digunakan sebagai

acuan untuk menentukan prosedur diagnostik lebih lanjut.

Kelainan yang didapat

• Anemia hemolitik autoimun, khususnya pada kasus yang langka dan memilki hasil uji Coombs yang negatif

• Anemia hemolitik mikroangiopatik • Sindrom hemolitik-uremik

• Hipofosfatemia

• Reaksi transfusi hemolitik (Tertunda)

• Hemolisis akibat racun/bisa atau etiologi infeksi lainnya

Terapi

Tidak ada terapi kausatif pada penyakit yang disebabkan oleh adanya defek genetik. Terapi simtomatik yang paling efektif adalah splenektomi. Kolesistektomi dapat dilakukan apabila pasien mengalami kolelitiasis.

Splenektomi

Splenektomi sering kali dapat menekan anemia dan menurunkan angka hemolisis. Namun, perubahan yang ditemukan dalam pemeriksaan hapusan darah tepi akan menjadi lebih khas/jelas dari sebelumnya. Splenektomi sebagian besar dilakukan  pada masa kanak-kanak, namun sebaiknya, jika mungkin, tidak dilakukan sebelum usia sekolah. Splenektomi juga harus dipertimbangkan pada orang dewasa dengan penyakit simtomatik. Splenektomi merupakan pilihan terapi untuk sferositosis pada orang dewasa dengan hematopoiesis extramedular. Masih menjadi pertanyaan terbuka apakah hematopoiesis extramedullary dapat berkurang setelah pasien menjalani splenektomi.

Jika hemolisis berlanjut setelah splenektomi, diagnosis harus dipertimbangkan kembali. Adanya limpa aksesori harus dicari dan, jika ada, harus dibuang. Indikasi splenektomi tergantung pada tingkat keparahan klinis, lihat Tabel 9

Risiko splenektomi terdiri dari risiko-risiko operasi dan peningkatan risiko  pasien mengalami infeksi parah seumur hidup, terutama karena pneumokokus dengan

(15)

mortalitas 0,1 - 0,4%. Risiko tersebut dapat berkurang apabila splenektomi dilakukan secara parsial (subtotal splenektomi) atau bukan total splenektomi. Subtotal splenektomi dianjurkan pada pasien dengan sferositosis herediter. Kondisi anemia ringan mungkin terjadi pada pasien dengan varian penyakit yang parah, terutama jika terjadi kerusakan  pada spectrin. Sebelum dan sesudah splenektomi, harus dipertimbangkan secara matang

mengenai vaksinasi yang akan dilakukan dan / atau pemberian antibiotik profilaksis.

Pemantauan Pasien Asimtomatik

Hingga saat ini masih belum ada bukti tentang keefektifan pemeriksaan secara reguler. Hitung jenis sel harus dilakukan sesuai kebutuhan, terutama jika terjadi gejala anemia yang berhubungan dengan adanya infeksi. Karena sesekali pasien dapat mengalami kelebihan zat besi dengan derajat sedang-berat, maka disarankan bagi pasien untuk melakukan pemeriksaan feritin serum setiap tahun. Pada saat pemeriksaan ini, kadar vitamin B12 dan asam folat harus ditentukan karena kebutuhan mereka meningkat. Pemeriksaan ultrasonografi saluran empedu dan limpa direkomendasikan setidaknya setiap tiga tahun.

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian berbagai macam istilah diatas, maka definisi judul penelitian Studi Ergonomi Bangunan Perpustakaan Kota Yogyakarta dengan Pendekatan Antropometri adalah Penelitian

Dalam menghitung jumlah persediaan bantuan yang dibutuhkan kota Padang dalam menanggulangi bencana gempa yang berkekuatan tsunami, dibutuhkan data kebutuhan awal

Graf disini digunakan bukan untuk mencari alur tercepat dalam penyusunan dan eksekusi materi dan metode dalam kaderisasi, tetapi digunakan agar hasil akhir yang diharapkan

Strategi Pembelajaran Bahasa Arab Untuk Siswa Madrasah Ibtidaiyah Setelah mengetahui dan memahami bagaimana karakteristik siswa Madrasah Ibtidaiyah yang lebih suka bermain,

Ketiga subjek menyadari bahwa rasa kecewa, sakit hati, marah bahkan dendam yang dialami subjek akibat KDP yang dialami harus dihilangkan demi kebaikan subjek,

Habiskan banyak usaha untuk pelanggan paling bernilai. Terapkan penentuan biaya berdasarkan aktivitas dan hitung nilai seumur hidup. Terapkan penentuan

Kelak, misalnya, ketika telah dikenal sebagai tokoh Islam terkemuka yang pada suatu hari dalam dasawarsa 1980-an diundang turut bicara tentang “nilai-nilai ‘45” di hadapan

Peserta AMSA Youth Project Medical Olympiad and Public Poster Competition 2017 (Public Poster Competition) akan mengikuti perlombaan poster publik yang terbagi menjadi babak