• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil berpikir metaforis (metaphorical thinking) dalam memecahkan masalah aljabar ditinjau dari gaya belajar VAK (visual, auditori, kinestetik) pada siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sidoarjo.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil berpikir metaforis (metaphorical thinking) dalam memecahkan masalah aljabar ditinjau dari gaya belajar VAK (visual, auditori, kinestetik) pada siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sidoarjo."

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL BERPIKIR METAFORIS (METAPHORICAL

THINKING) DALAM MEMECAHKAN MASALAH

ALJABAR DITINJAU DARI GAYA BELAJAR VAK

(VISUAL, AUDITORI, KINESTETIK) PADA SISWA

KELAS VII SMP NEGERI 3 SIDOARJO

SKRIPSI

Oleh:

BADRIYATUSSHOLIHAH NIM. D74212082

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

(2)

PROFIL BERPIKIR METAFORIS (METAPHORICAL

THINKING) DALAM MEMECAHKAN MASALAH

ALJABAR DITINJAU DARI GAYA BELAJAR VAK

(VISUAL, AUDITORI, KINESTETIK) PADA SISWA

KELAS VII SMP NEGERI 3 SIDOARJO

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam mennyelesaikan

Program Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh :

BADRIYATUSSHOLIHAH NIM D74212082

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN MIPA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

PROFIL BERPIKIR METAFORIS (METAPHORICAL THINKING) DALAM MEMECAHKAN MASALAH ALJABAR DITINJAU DARI GAYA BELAJAR VAK (VISUAL, AUDITORI, KINESTETIK) PADA SISWA

KELAS VII SMP NEGERI 3 SIDOARJO

Oleh : Badriyatussholihah

ABSTRAK

Berpikir metaforis adalah suatu aktivitas mental yang dilakukan siswa yang didasari dengan pengetahuan awal yang dimilikinya guna memahami, menjelaskan dan menalar konsep-konsep (permasalahan) dalam matematika khususnya aljabar menjadi lebih konkret dengan membandingkan dua hal atau lebih yang berbeda makna baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan. Berpikir metaforis dapat dipengaruhi oleh gaya belajar ataupun kemampuan siswa itu sendiri dalam memahami suatu permasalahan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil berpikir metaforis dalam memecahkan masalah aljabar ditinjau dari gaya belajar VAK.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, subjek penelitian terdiri dari 2 siswa bergaya belajar visual, 2 siswa bergaya belajar auditori, dan 2 siswa bergaya belajar kinestetik di kelas VII SMPN 3 Sidoarjo. Teknik pengumpulan data menggunakan tes tertulis dan wawancara, kemudian dianalisis berdasarkan indikator pada tahap-tahap berpikir metaforis yang digambarkan denganCREATE(Connect, Relate, Explore, Analyze, Transform,

danExperience).

Hasil penelitian menujukkan bahwa subjek bergaya belajar visual pada tahapconnect

mampu membuat perumpamaan metafora dari permasalahan yang diberikan ke dalam bentuk timbangan, tahap relate mampu menjelaskan hubungan konsep yang digunakan dengan permasalahan yang diberikan meskipun tidak sempurna. Tahap explore mampu membuat model matematika dari permasalahan. Tahapanalyzedapat menyebutkan kesesuaian antara perumpamaan dengan permasalahan. Tahap transform mampu menunjukkan jawaban permasalahan dari aljabar secara tepat, dan tahap experience mampu menentukan permasalahan baru dari soal tes. Hasil penelitian pada subjek bergaya belajar auditori pada tahapconnectmampu membuat perumpamaan berupa timbangan dengan variatif, tahaprelate

mampu menjelaskan hubungan konsep yang digunakan dengan permasalahan namun tidak rinci. Tahapexploremampu membuat model matematika dengan tepat. Tahapanalyzemampu mendeskripsikan kesesuaian yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan aljabar, tahap transform proses operasionalisasi siswa dalam model metematika terhadap permasalahan aljabar tepat hingga menafsirkan hasil akhir dari permasalahan aljabar yang diberikan. Tahapexperiencedalam membuat permasalahan baru cenderung sama dengan soal yang diberikan sebelumnya. Hasil penelitian pada subjek yang bergaya belajar kinestetik pada tahap connect mampu membuat perumpamaan metafora berupa timbangan, tahap relate

mampu menjelaskan hubungan antara konsep matematika yang digunakan dengan permasalahan aljabar yang diberikan namun kurang detail. Tahapexploremampu membuat model matematika dari permasalahan yang disajikan, tahap analyze dapat menunjukkan kesesuaian antara perumpamaan timbangan dengan permasalahan. Tahaptransform mampu menafsirkan hasil akhir dari penyelesaian permasalahan dan pada tahap experiencedalam membuat permasalahan baru subjek masih sama dengan permasalahan dalam soal tes.

(8)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Batasan Masalah ... 8

F. Definisi Operasional ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Berpikir Metaforis (Metaphorical Thinking) ... 11

B. Matematika dan Aljabar ... 18

C. Pemecahan Masalah Dalam Matematika dan Aljabar ... 20

D. Hubungan Berpikir Metaforis Dengan Pemecahan Masalah .. 21

E. Gaya Belajar ... 23

F. Hubungan Antara Berpikir Metaforis Dengan Gaya Belajar .. 28

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 33

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 33

C. Subjek Penelitian ... 33

D. Teknik Pengumpulan Data ... 36

E. Instrumen Penelitian ... 37

F. Keabsahan Data ... 39

G. Teknik Analisis Data ... 40

(9)

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Berpikir Metaforis Siswa Bergaya Belajar Visual Dalam

Memecahkan Masalah Aljabar ... 45

B. Berpikir Metaforis Siswa Bergaya Belajar Auditori Dalam Memecahkan Masalah Aljabar ... 72

C. Berpikir Metaforis Siswa Bergaya Belajar Kinestetik Dalam Memecahkan Masalah Aljabar ... 97

BAB V PEMBAHASAN A. Pembahasan Profil Berpikir Metaforis Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Sidoarjo Yang Bergaya Belajar Visual, Auditori, dan Kinestetik Dalam Memecahkan Masalah Aljabar ... 123

B. Diskusi Hasil Penelitian ... 128

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ... 131

B. Saran ... 132

DAFTAR PUSTAKA ... 133

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kriteria dan Keterangan Berpikir Metaforis Pada Masalah

Aljabar ... 17

Tabel 3.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 33

Tabel 3.2 Hasil Gaya Belajar Siswa ... 34

Tabel 3.3 Data Subjek Penelitian ... 36

Tabel 3.4 Daftar Validator Instrumen Penelitian ... 39

Tabel 3.5 Kategori Jenis Berpikir Metaforis ... 42

Tabel 4.1 Berpikir Metaforis V1dalam Memecahkan Masalah Aljabar .. 56

Tabel 4.2 Berpikir Metaforis V2dalam Memecahkan Masalah Aljabar .. 66

Tabel 4.3 Berpikir Metaforis Siswa Bergaya Belajar Visual dalam Memecahkan Masalah Aljabar ... 68

Tabel 4.4 Berpikir Metaforis A1dalam Memecahkan Masalah Aljabar .. 82

Tabel 4.5 Berpikir Metaforis A2dalam Memecahkan Masalah Aljabar .. 92

Tabel 4.6 Berpikir Metaforis Siswa Bergaya Belajar Auditori dalam Memecahkan Masalah Aljabar ... 93

Tabel 4.7 Berpikir Metaforis K1dalam Memecahkan Masalah Aljabar .. 107

Tabel 4.8 Berpikir Metaforis K2dalam Memecahkan Masalah Aljabar .. 117

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 KonsepMetaphorical Thinking... 14

Gambar 2.2 Keadaan Awal Timbangan ... 15

Gambar 2.3 Keadaan Akhir Timbangan ... 16

Gambar 4.1 Jawaban Tertulis Subjek V1... 46

Gambar 4.2 Jawaban Tertulis Subjek V2... 57

Gambar 4.3 Jawaban Tertulis Subjek A1... 72

Gambar 4.4 Jawaban Tertulis Subjek A2... 83

Gambar 4.5 Jawaban Tertulis Subjek K1... 97

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A (Instrumen Penelitian)

1. Angket Gaya Belajar Siswa ... 137

2. Tes Pemecahan Masalah ... 140

3. Kunci Jawaban Tes Pemecahan Masalah ... 141

4. Pedoman Wawancara ... 148

Lampiran B (Lembar Validasi) 1. Lembar Validasi Tes Pemecahan Masalah ... 151

2. Lembar Validasi Pedoman Wawancara ... 160

Lampiran C (Hasil Penelitian) 1. Angket Gaya Belajar Subjek V1... 166

2. Angket Gaya Belajar Subjek V2... 169

3. Angket Gaya Belajar Subjek A1... 172

4. Angket Gaya Belajar Subjek A2... 175

5. Angket Gaya Belajar Subjek K1... 178

6. Angket Gaya Belajar Subjek K2... 181

7. Lembar Jawaban Tes Pemecahan Masalah Subjek V1 ... 184

8. Lembar Jawaban Tes Pemecahan Masalah Subjek V2 ... 185

9. Lembar Jawaban Tes Pemecahan Masalah Subjek A1 ... 186

10. Lembar Jawaban Tes Pemecahan Masalah Subjek A2 ... 187

11. Lembar Jawaban Tes Pemecahan Masalah Subjek K1 ... 188

12. Lembar Jawaban Tes Pemecahan Masalah Subjek K2 ... 189

13. Transkip Wawancara Subjek V1... 190

14. Transkip Wawancara Subjek V2... 195

15. Transkip Wawancara Subjek A1... 200

16. Transkip Wawancara Subjek A2... 205

17. Transkip Wawancara Subjek K1... 209

18. Transkip Wawancara Subjek K2... 213

Lampiran D (Surat dan Lain-Lain) 1. Biodata Peneliti ... 218

2. Surat Izin Penelitian ... 219

3. Surat Keterangan Penelitian ... 220

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Adanya pendidikan menjadi prioritas penting untuk meningkatkan taraf hidup. Peran dari pendidikan ini sebagaimana telah dirangkum menjadi empat pilar oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) sebagai salah satu badan organisasi dunia yang bergelut dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya. Pemaparan tersebut, memperlihatkan bahwa pendidikan merupakan hak dari semua warga negara dan menjadi hal yang terpenting untuk kemajuan bangsa1.

Adapun empat pilar pendidikan tersebut antara lain: 1) Learning to know atau belajar untuk mengetahui, yang bertujuan untuk menumbuhkan generasi yang berintelektul dan memiliki kemampuan yang tinggi; 2) Learning to do atau belajar untuk melakukan, pada pilar ini didorong agar dapat mengembangkan potensi sesuai dengan minat dan bakatnya; 3) Learning to live together atau belajar untuk bekerjasama, ini bertujuan agar siswa dapat bekerjasama dan saling menghargai; dan 4) Learning to be atau belajar menjadi manusia yang utuh, yaitu proses pembelajaran yang melatih peserta didik untuk memiliki rasa percaya diri yang tinggi, sebagai bekal dalam menghadapi permasalahan di masyarakat2.

1

Rohman & Muslim, “Studi Implementasi Empat Pilar Pendidikan Rekomendasi Unesco Dengan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah Pada Standar Kompetensi Dasar Memasang Instalasi Penerangan Listrik Bangunan Sederhana Di SMK Negeri 7 Surabaya”,Jurnal Pendidikan Teknik Elektro, 3: 3, (2014), 46.

2

(14)

2

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut adalah dengan meningkatkan mutu pembelajaran, salah satunya adalah dalam proses pembelajaran. Kendati demikian, keberhasilan belajar siswa tidak serta merta ditentukan oleh proses pembelajaran, akan tetapi tergantung pada faktor intern dari siswa itu sendiri. Sebagaimana yang disampaikan oleh Purwanto bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar adalah ditentukan dari faktor eksternal dan faktor internal. Adapun faktor eksternal terdiri dari lingkungan (alam dan sosial) dan instrumental (kurikulum, guru, sarana dan fasilitas, serta administrasi). Sementara itu, faktor internal terdiri dari fisiologi (kondisi fisik dan kondisi panca indera) dan psikologi (bakat, minat, kecerdasan, motivasi, dan kemampuan kognitif)3.

Lebih lanjut, Marpaung & Napitupulu mengungkapkan bahwa salah satu faktor siswa yang dapat berpengaruh terhadap hasil belajar adalah gaya belajar. Gaya belajar merupakan kecenderungan cara atau teknik seseorang untuk mempermudah dirinya memproses informasi dalam rangka melakukan perubahan yang lebih baik pada dirinya. Oleh karena itu, gaya belajar merupakan suatu hal yang penting untuk dijadikan sebuah kajian bagi seorang guru dalam merancang program pembelajaran yang akan dilaksanakan. Adapun gaya belajar ini terbagi menjadi tiga jenis yaitu gaya belajar visual, gaya belajar auditori, dan gaya belajar kinestetik. Gaya belajar visual lebih menekankan pada kegiatan penglihatan, gaya belajar auditori lebih cenderung menggunakan pendekatan terfokus dari satu tinjauan yaitu pandangan orang pada umumnya melalui langkah-langkah hierarkis, sedangkan gaya belajar kinestetik adalah menggunakan pendekatan fleksibel dalam pemecahan masalah4.

Ketiga gaya belajar tersebut merupakan sebuah kombinasi yang dapat mempengaruhi siswa dalam perolehan

3

M. Ngalim Purwanto.,Psikologi Pendidikan(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 107.

4

(15)

3

prestasi belajar. Terutama pada bagaimana cara dia memperoleh prestasi belajar. Setiap siswa memiliki gaya belajar dengan pola pikir yang berbeda-beda. Dalam matematika, salah satu kegiatan yang menjadi penentu perolehan prestasi belajar siswa adalah kegiatan pemecahan masalah. Sebagian besar siswa menganggap bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit. Hal ini berdampak pada kegiatan pemecahan masalah. Tidak sedikit siswa yang mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah. Hal ini dibuktikan denganhasil tes PISA 2012 yang menunjukkan bahwa siswa Indonesia memperoleh nilai rata-rata skor matematika sebesar 375 dan menempati peringkat 64 dari 65 negara peserta PISA5. Prosentase kecakapan siswa Indonesia dalam menyelesaikan masalah matematika dengan menggunakan prosedur dan strategi pemecahan masalah matematika pada level tinggi tergolong rendah jika dibandingkan dengan standar internasional. Sementara itu, 75,7% siswa Indonesia berada di bawah level 2, yang merupakan batas terendah kecakapan dalam menyelesaikan masalah dengan menggunakan rumus matematika yang ditentukan pada PISA 20126. Lebih lanjut, hasil TIMSS 2011 menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa Indonesia masih berada di bawah siswa dari negara-negara lain7.

Berdasarkan hasil tes di atas menunjukkan bahwa pemecahan masalah menjadi satu hal yang penting dalam matematika. Hudjono berpendapat bahwa, pemecahan masalah merupakan proses penerimaan masalah sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Lebih lanjut Polya menjelaskan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu usaha mencari jalan keluar dari kesulitan, mencapai suatu

5

Anwaril Hamidy, Tesis: “Kemampuan Matematika Siswa SMP Kalimantan Timur Dalam Menyelesaikan Soal Model PISA Dan TIMSS” (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2016), 4.

6

Ibid, halaman 4.

7

Z. Rofiqoh, dkk., “Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Kelas X dalam

(16)

4

tujuan yang tidak segera dapat tercapai8. Melihat pendapat dari beberapa ahli tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa pemecahan masalah menjadi sangat urgen dalam proses pemahaman siswa. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk menarik perhatian siswa terutama dalam proses pemecahan masalah adalah dengan membuat masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa dengan menyajikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, maka siswa akan tertarik untuk menggali pengetahuan yang telah mereka miliki untuk menyelesaikan masalah tersebut. Mereka akan mencoba menggunakan konsep-konsep yang telah mereka ketahui dalam matematika dan pengalaman mereka untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa siswa menghubungkan pengetahuan matematika mereka dengan dunia nyata yang disebut dengan berpikir metaforis (metaphorical thinking).

Berpikir metaforis (methaporical thinking) merupakan suatu proses berpikir dengan menggunakan berbagai metafora untuk memahami sebuah konsep. Pola pikir ini diperlukan oleh siswa dalam pembelajaran matematika untuk memperjelas jalan pikiran seseorang yang berhubungan dengan aktivitas matematik. Adapun bentuk konseptual dari metafor yakni meliputi: (1) grounding methapors, yaitu konsep dasar untuk memahami ide-ide matematika yang dihubungkan dengan pengalaman sehari-hari; (2) linking methapors, yaitu membangun keterkaitan antara dua hal yaitu memilih, menegaskan, membiarkan, dan mengorganisasikan karakteristik dari topik utama dengan didukung oleh topik tambahan dalam bentuk pernyataan metaforik; dan (3) redefinitional methapors, yaitu mendefinisikan kembali metafor-metafor tersebut dan memilih hal yang paling cocok

8Rostina Sundayana, “Kaitan antara Gaya Belajar, Kemandirian Belajar, dan Kemampuan

(17)

5

dengan topik yang akan diajarkan9. Dari penjabaran di atas dapat diketahui bahwa berpikir metaforis merupakan salah satu konsep berpikir yang menekankan hubungan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari.

Dalam matematika salah satu materi yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari adalah aljabar. Aljabar merupakan salah satu cabang ilmu dari matematika yang digunakan sebagai bahasa komunikasi matematika. Di samping itu hal yang perlu menjadi perhatian seorang guru dalam meningkatkan pemahaman siswa pada materi aljabar adalah kemampuan siswa dalam pemahaman konsep persamaan linear satu variabel. Pemilihan objek serta materi tersebut didasarkan pada pengalaman peneliti ketika melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di MTs Jabal Noer Geluran. Banyak siswa kelas VII beranggapan bahwa materi aljabar sulit untuk dipahami karena menggunakan simbol-simbol serta memiliki pola yang harus dipahami. Padahal pada materi aljabar banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan pembelian buah, alat tulis, ataupun pembelian benda yang lebih dari satu. Selain itu, siswa kelas VII sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman materi matematika dasar ketika duduk di bangku Sekolah Dasar, sehingga mampu mengkomunikasikan pikiran serta ide dengan baik melalui lisan maupun tertulis.

Kemampuan berpikir metaforis siswa bergaya belajar visual, auditori, dan kinestetik sangat terkait dengan pengetahuan serta pemahaman siswa. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Sri Dewi yang mengungkapkan bahwa subjek visual dalam menyelesaikan masalah adalah memahami masalah dengan baik dan cepat, menetukan konsep dan mejelaskan hubungan konsep dengan masalah dengan baik, menyusun rencana penyelesaian dengan baik dan menyelesaikan masalah sesuai rencana dengan tepat dan baik serta cepat10.

9

M. Afrilianto, “Peningkatan Pemahaman Konsep dan Kompetensi Strategis Matematis

Siswa SMP Dengan PendekatanMetaphorical Thinking”, Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, 1: 2, (September, 2012), 196.

10

(18)

6

Mubarik menyatakan bahwa siswa dengan gaya belajar auditori dalam menyelesaikan masalah adalah dapat menyusun rencana penyelesaian dengan baik, dapat menjelaskan rencana penyelesaian yang disusun dengan baik, menghubungkan pengalaman, pengetahuan yang dimiliki dengan masalah serta rencana untuk menyelesaikan masalah dan menyelesaikan masalah sesuai rencana dengan baik11. Jumadi menyatakan bahwa siswa dengan gaya belajar kinestetik dalam menyelesaikan masalah adalah menyebutkan dengan jelas apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan12.

Sementara itu, Afrilianto dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa adanya pola pikir metaphorical thinking menunjukkan perbedaan peningkatan pemahaman konsep serta menunjukkan sikap yang positif terhadap pembelajaran tersebut13. Hal ini berarti pola pikir dengan konsep metaphorical thinking terbukti lebih efektif dalam meningkatkan pemahaman siswa sehingga akan berpengaruh juga terhadap prestasi belajar yang diperoleh siswa.

Dari pernyataan yang telah diungkapkan oleh para ahli di atas, peneliti memiliki simpulan bahwa perbedaan karakteristik siswa yang diakibatkan oleh perbedaan gaya belajar mereka juga menyebabkan perbedaan pada cara mereka menghubungkan matematika dengan dunia nyata, hal ini juga menunjukkan perbedaan pada kemampuan berpikir metaforis mereka dalam memecahkan masalah. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk melakukan kajian yang lebih mendalam mengenai “Profil Berpikir Metaforis (Metaphorical Thinking) Dalam Memecahkan Masalah Aljabar Ditinjau Dari Gaya Belajar VAK (Visual, Auditori, Kinestetik) Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Sidoarjo”.

11

Mubarik, “Profil Pemecahan Masalah Siswa Auditorial Kelas X SLTA Pada Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel”, Jurnal Elektronik Pendidikan Matematika Tadulako, 1: 1, (September, 2013), 14-15.

12

Jumadi, “Profil Pemecahan Masalah Matematika Berdasarkan Tingkat Kecerdasan Kinestetik Di Kelas X-Tari 3 SMK Negeri 12 Surabaya”, Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika, 3 : 2, (2014), 126

13

(19)

7

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang diambil dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana profil berpikir metaforis dalam memecahkan masalah aljabar siswa bergaya belajar visual di kelas VII SMP Negeri 3 Sidoarjo?

2. Bagaimana profil berpikir metaforis dalam memecahkan masalah aljabar siswa bergaya belajar auditori di kelas VII SMP Negeri 3 Sidoarjo?

3. Bagaimana profil berpikir metaforis dalam memecahkan masalah aljabar siswa bergaya belajar kinestetik di kelas VII SMP Negeri 3 Sidoarjo?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan profil berpikir metaforis dalam memecahkan masalah aljabar siswa bergaya belajar visual di kelas VII SMP Negeri 3 Sidoarjo.

2. Untuk mendeskripsikan profil berpikir metaforis dalam memecahkan masalah aljabar siswa bergaya belajar auditori di kelas VII SMP Negeri 3 Sidoarjo.

3. Untuk mendeskripsikan profil berpikir metaforis dalam memecahkan masalah aljabar siswa bergaya belajar kinestetik di kelas VII SMP Negeri 3 Sidoarjo.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang lebih tentang profil berpikir metaforis dalam memecahkan masalah aljabar yang ditinjau dari gaya belajar VAK (Visual, Auditori, Kinestetik) pada siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sidoarjo.

2. Manfaat praktis a. Bagi penulis

(20)

8

masyarakat secara langsung. Selain itu, penulis juga bisa memperoleh ilmu-ilmu dan pengalaman-pengalaman baru dari fenomena yang ditemui selama proses penelitian.

b. Bagi pembaca

Penulis memiliki harapan yang besar pada penelitian ini agar bisa menjadi sumber referensi bagi semua kalangan dalam memahami tentang profil berpikir metaforis dalam memecahkan masalah aljabar yang ditinjau dari gaya belajar VAK (Visual, Auditori, Kinestetik).

c. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi para peneliti selanjutnya yang mengambil tema sama agar dapat melengkapi hal-hal yang menjadi kekurangan dalam penelitian ini.

E. Batasan Masalah

Mengacu pada tujuan penelitian dan definisi operasional yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka penelitian ini memiliki batasan masalah yang bertujuan agar penelitian memiliki kefokusan untuk mencapai tujuan penelitian. Batasan masalah dari penelitian ini yaitu dalam melakukan analisis deskripsi pada profil berpikir metaforis siswa menggunakan peninjauan yang berdasarkan pada gaya belajar siswa, yang meliputi gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik dengan tidak memperhatikan gender.

F. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi perbedaan penafsiran, maka perlu dijelaskan beberapa istilah dalam penelitian ini, antara lain: 1. Profil adalah gambaran atau deskripsi tentang sesuatu sesuai

dengan keadaan sebenarnya, baik yang diungkap dengan kata-kata atau gambar.

2. Berpikir adalah aktivitas mental siswa dalam mengolah informasi yang melibatkan penilaian, abstraksi, penalaran, imajinasi, dan pemecahan masalah.

(21)

9

pengetahuan awal yang dimilikinya guna memahami, menjelaskan dan menalar konsep-konsep (permasalahan) dalam matematika khususnya aljabar menjadi lebih konkret dengan membandingkan dua hal atau lebih yang berbeda makna baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan. Berpikir metaforis ini dapat dilihat dari tahap-tahap berpikirnya yang digambarkan dengan singkatan “CREATE” (Connect, Relate, Explore, Analyze, Transform, Experience).

4. Pemecahan masalah adalah aktivitas siswa dalam mencari penyelesaian dari permasalahan yang dihadapi dengan menggunakan pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya. 5. Gaya belajar adalah kecenderungan cara atau teknik seseorang

untuk mempermudah dirinya memproses informasi dalam rangka melakukan perubahan yang lebih baik pada dirinya. 6. Gaya belajar visual adalah gaya belajar yang lebih banyak

memanfaatkan kemampuan “penglihatan”, mulai gambar, diagram dan sebagainya yang melibatkan penglihatan seperti pertunjukan serta film dan video.

7. Gaya belajar auditori adalah gaya belajar yang lebih banyak memanfaatkan kemampuan “pendengaran”, seperti mendengarkan kaset, ceramah, diskusi, debat dan instruksi verbal, lebih mengedepankan pendengaran daripada panca indera yang lain.

8. Gaya belajar kinestetik adalah gaya belajar yang lebih banyak memanfaatkan kemampuan “fisiknya”. Dalam proses belajar mengajar lebih mengedepankan keterlibatan langsung yang selalu melibatkan aktivitas fisik dan gerakan tubuh seperti suka menangani, bergerak, menyentuh supaya pemahaman konsep lebih mudah dan siswa tidak jenuh karena proses pembelajaran yang ada.

(22)

10

(23)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Berpikir Metaforis (Metaphorical Thinking) 1. Berpikir

Sobur mengemukakan bahwa berpikir adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak. Berpikir juga berarti berjerih payah secara mental untuk memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi. Kegiatan berpikir dimulai ketika muncul keraguan dan pernyataan untuk dijawab atau berhadapan dengan persoalan atau masalah yang memerlukan pemecahan1.

Solso mendefinisikan berpikir sebagai proses yang menghasilkan representasi mental baru melalui transformasi informasi yang melibatkan interaksi secara kompleks antara atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, penalaran, imajinasi, dan pemecahan masalah. Adapun representasi mental baru dapat dilihat dari hasil berpikir berupa ide, tindakan dan keputusan yang bertujuan untuk memecahkan suatu masalah. Dapat dikatakan, bahwa berpikir merupakan proses mengolah informasi yang melibatkan aktivitas mental seperti penilaian, abstraksi, penalaran, imajinasi, dan pemecahan masalah2.

Berdasarkan beberapa definisi tentang berpikir, dapat disimpulkan bahwa berpikir dalam penelitian ini adalah aktivitas mental siswa dalam mengolah informasi yang melibatkan penilaian, abstraksi, penalaran, imajinasi, dan pemecahan masalah.

2. Metaforis

Metaphorical berasal dari kata meta yang bermakna transcending melampaui dunia nyata, dan kata phora yang terkait dengan transfer. Metaphorical dimulai dengan memindahkan arti dan asosiasi baru dari satu objek atau

1Alex Sobur,Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), 201.

2M. Mahrus Ali, Skripsi: “Profil Berpikir Siswa Dalam Mengkonstruk Bukti Geometri Sebagai Prosep Berdasarkan Teori Gray-Tall”, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya,

(24)

12

gagasan ke objek atau gagasan yang lain3. Dalam kamus besar bahasa Indonesia metafora didefinisikan sebagai pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya melainkan sebagai lukisan atau kiasan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan4.

Lakoff dan Nunez menyatakan bahwa metafora tidak hanya sebuah kiasan semata, tetapi metafora merupakan sarana mendasar yang menjadikan konsep berpikir abstrak menjadi mungkin untuk dibuat5. Hal itu membuat metafora memberi gambaran yang jelas dan unik pada suatu keutuhan hubungan antara makna eksplisit dan implisit dari suatu konsep.

Pengertian lain diungkapkan oleh Hendriana dalam definisi tradisional, yaitu metafora merupakan sebuah alat retoris untuk mengatakan sesuatu sebagai analogi terhadap sesuatu hal lainnya. Sedangkan dalam definisi modern, metafora merupakan sebuah alat yang memainkan fungsi yang sangat diperlukan dalam proses kognisi manusia yaitu untuk memperjelas pemikiran seseorang6.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, metaforis merupakan sarana untuk memindahkan konsep abstrak menjadi nyata sebagai usaha untuk memperjelas pemikiran seseorang. Berikut adalah beberapa contoh metafora: 1. Terang adalah pengetahuan dan gelap adalah kebodohan 2. Cinta adalah tumbuhan

3. Kata-kata adalah senjata

Contoh-contoh di atas merupakan perbandingan dari dua hal yang berbeda makna. Sehingga dengan menggunakan metafora, siswa secara langsung dapat diajak untuk membuka cakrawala baru dalam meningkatkan pemahaman seseorang terhadap

3Indira Sunito, dkk.,Metaphorming: Beberapa Strategi Berpikir Kreatif, (Jakarta: Indeks,

2013), 60.

4Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus versi online dalam

http://kbbi.web.id/metaforadiakses pada 19 Mei 2016 pukul 12.05.

5CigdemKilic, “Belgian and Turkish Pre-Service Primary School MathematicsTeachers’

Metaphorical Thinking about Mathematics”, Turkey: Education Faculty, Mersin University, 1.

6M. Afrilianto,Peningkatan Pemahaman Konsep Dan Kompetensi Strategis Matematis

(25)

13

suatu konsep yang tak terbayangkan. Di samping itu, konsep dapat dipahami secara konkret dan dapat membantu meningkatkan kemampuan penalaran siswa dengan menggabungkan konsep-konsep yang tidak berhubungan menjadi berhubungan sehingga mudah untuk dipahami.

3. Berpikir Metaforis (Metaphorical Thinking)

Menurut Heris Hendriana,metaphorical thinking(berpikir metaforik) merupakan suatu proses berpikir untuk memahami dan mengkomunikasikan konsep-konsep abstrak dalam matematika menjadi hal yang lebih konkrit dengan membandingkan dua hal yang berbeda makna7. Berpikir metaforis adalah proses berpikir yang menggunakan metafora-metafora untuk memahami suatu konsep. Holyoak & Thgard juga mengungkapkan bahwa metafora berawal dari suatu konsep yang diketahui siswa menuju konsep lain yang belum diketahui atau sedang dipelajari siswa”8. Metafora ini sangat bergantung pada konsep yang dihadapi dan pengalaman siswa.

Lakoff dan Nunez menjelaskan lebih lanjut bahwa ide-ide abstrak dalam otak diorganisir melalui metaphorical thinking yang dikonseptualisasikan dalam bentuk konkret melalui susunan kesimpulan yang tepat dan cara bernalar yang didasari oleh sistem sensori-motor yang disebut metafora konseptual. Metafora konseptual merupakan mekanisme kognitif fundamental yang memungkinkan pemahaman konsep-konsep abstrak dalam bentuk konsep-konsep konkret. Metafora konseptual dibagi menjadi 3 macam, yaitu grounding metaphors,linking metaphors, danredefinitional metaphors9.

Sejalan dengan itu, Heris Hendriana menyatakan bahwa metafora konseptual merupakan konsep-konsep abstrak yang diorganisasikan melalui berpikir metaforik, dinyatakan dalam hal-hal konkrit berdasarkan struktur dan cara-cara bernalar yang didasarkan sistem sensori-motor. Seperti yang telah

7Heris Hendriana, Pembelajaran Matematika Humanis dengan Metaphorical Thinking

untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa”,Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi, 1: 1 (2012), 96.

8Heris Hendriana, Op. Cit., hal 95. 9

(26)

14

disebutkan di atas bahwa bentuk metafora konseptual meliputi10:

1. Grounding metaphors: dasar untuk memahami ide-ide matematika yang dihubungkan dengan pengalaman sehari-hari.

2. Linking metaphors: membangun keterkaitan antara dua hal yaitu memilih, menegaskan, memberi kebebasan, dan mengorganisasikan karakteristik dari topik utama dengan didukung oleh topik tambahan dalam bentuk pernyataan-pernyataan metaforik.

3. Redefinitional metaphors: mendefinisikan kembali metafora-metafora tersebut dan memilih yang paling cocok dengan topik yang akan diajarkan.

Sehubungan dengan hal itu juga, Carreira mengembangkan konsep metaphorical thinking sebagai berikut11:

Gambar 2.1

KonsepMetaphorical Thinking

Penggunaan metafora dalam pembelajaran mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu menciptakan minat dan meningkatkan motivasi belajar para siswa. Berawal dengan penerapan pada situasi masalah yang dihadapi, siswa diajak

10Heris Hendriana, Op. Cit., hal 95-96.

11Susana Carreira,Where There’s a Model, There’s a Metaphor: Metaphorical Thinking in

Sttudent’s Understanding of a Mathematical ModelMathematical Thinking and Learning, (Portugal: Lawrence Erlbaum Associates, Inc, 2001), 262.

Interpretation

Applied Problem Situation

Metaphorical Thinking

(27)

15

untuk memikirkan dan menghasilkan ide/gag menginterpretasikan konsep yang ada. Siswa berpikir dengan menggunakan metafora-metafora buat sendiri sesuai dengan pengalaman dan peng siswa sehingga siswa diarahkan untuk menggabun konsep matematika dengan konsep-konsep lai dikenal siswa dalam kehidupan sehari-hari. Sit mengarahkan siswa pada satu pemaham konsep/materi yang diberikan secara me komprehensif.

Sebagai ilustrasi, dapat dilihat pada contoh b Misalkan ada sebuah kantong tertutup yang be buah kelereng. Di luar kantong tersebut terd kelereng. Jika diketahui bahwa jumlah seluruh k berbeda di dalam dan di luar kantong ada 8 buah jumlah kelereng yang berada di dalam kantong caranya?

Permasalahan di atas dapat dimetafor menimbang 1 kantong dan 2 kelereng disatu sisi d disisi lain. Ambil kelereng yang di luar kantong p kemudian ambil kelereng dari sisi lain dengan sama, sehingga setelah pengambilan kelere timbangan masih dalam keadaan seimbang. Ha digambarkan sebagai berikut:

Keadaan pertama:

Satu kantong dan 2 kelereng disisi kiri dan 8 k kanan. Timbangan dalam keadaan seimbang.

Gambar 2.2 Keadaan Awal Timbangan

15

agasan dengan a juga diajak ra yang mereka ngetahuan awal ungkan konsep-lain yang telah Situasi ini akan aman tentang endalam dan

berikut: berisi beberapa terdapat 2 buah h kelereng yang uah, tentukanlah ng? Bagaimana

forakan seperti i dan 8 kelereng pada suatu sisi, an jumlah yang lereng tersebut, Hasilnya dapat

(28)

16

Keadaan kedua:

Setelah 2 kelereng diambil dari timbangan pada sisi kiri.

Gambar 2.3

Keadaan Akhir Timbangan

Dari keadaan timbangan kedua, dapat diperole kantong tersebut sama beratnya dengan 6 kelereng. tersebut dapat dimodelkan dalam bentuk matema + 2 = 8, sehingga diperoleh hasil = 6 (d merupakan jumlah kelereng di dalam kantong).

Dari ungkapan-ungkapan yang dikemukakan ahli di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir (Metaphorical Thinking) adalah suatu aktivitas me dilakukan siswa yang didasari dengan pengetahuan dimilikinya guna memahami, menjelaskan dan menala konsep (permasalahan) dalam matematika khususn menjadi lebih konkret dengan membandingkan dua lebih yang berbeda makna baik yang berhubunga yang tidak berhubungan.

Profil berpikir metaforis (metaphorical thinkin digambarkan melalui proses metaforis dengan men singkatan CREATE yang berarti “Connect, Relate Analyze, Transform, Experience”. Untuk memperje langkah-langkah berpikir metaforis tersebut, penjelasannya berdasarkan uraian dari Siler12.

1. Connect adalah menghubungkan dua hal atau le berbeda baik benda maupun ide.

12Indira Sunito, dkk., Op. Cit., hal 71-73.

16

isi kanan dan

roleh bahwa ng. Metafora matika yaitu

+ 2 = 8 = 6 (dimana

n oleh para ir metaforis mental yang n awal yang alar konsep-snya aljabar dua hal atau gan maupun

inking) dapat enggunakan te, Explore, rjelas uraian ut, berikut

(29)

17

2. Relate adalah mengaitkan suatu perbedaan baik benda maupun ide untuk hal-hal dari yang sudah diketahui atau dikenal, dimulai dengan mengamati kesamaannya.

3. Explore adalah menjajaki kesamaan: menarik ide, membangun model dan menggambarkan model tersebut. 4. Analyze adalah analisis tentang hal-hal yang telah

dipikirkan. Oleh karena itu, perlu untuk menguraikan kembali ide-ide dan model yang telah ada untuk menemukan hubungan antara ide dan model tersebut. 5. Transformadalah mengenali atau menemukan sesuatu yang

baru berdasarkan koneksi, eksplorasi dan analisis terhadap gambar, model atau objek yang dibuat tersebut.

6. Experience adalah menerapkan gambar, model, atau penemuan tersebut sebagai konteks baru sebanyak mungkin. Ini artinya, memulai proses kreatif dari awal lagi.

Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka pada penelitian ini kriteria berpikir metaforis dirumuskan sebagai berikut dilengkapi dengan indikatornya.

Tabel 2.1

Kriteria dan Keterangan Berpikir Metaforis pada Masalah Aljabar

No. Proses

Berpikir Indikator

1. Connect Menghubungkan dua ide (materi) yang berbeda

2. Relate Menghubungkan antara konsep dengan permasalahan yang disajikan 3. Explore Membuat model dari permasalahan

yang disajikan

4. Analyze Membaca ulang perumpamaan yang telah dibuat dan kesesuaiannya dengan permasalahan

Mendeskripsikan kesesuaian antara perumpamaan dengan permasalahan 5. Transform Menafsirkan hasil akhir dari

(30)

18

No. Proses

Berpikir Indikator

6. Experience Membuat permasalahan baru berdasarkan model yang diperoleh sebelumnya

B. Matematika dan Aljabar

Matematika adalah suatu disiplin ilmu untuk yang lebih menitikberatkan kepada proses berpikir dibanding hasilnya saja. Jika siswa dihadapkan pada suatu permasalahan (soal)/situasi matematis, maka siswa akan berusaha menemukan solusi pemecahannya melalui sarangkaian tahapan berpikir. Siswa tersebut perlu menentukan dan menggunakan strategi untuk menyelesaikan soal tersebut13.

Pada hakikatnya, matematika lebih ditekankan pada penggunaan metode daripada persoalan pokok matematika itu sendiri14. Menurut Sari, matematika memiliki fungsi untuk mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur dan mengungkapkan rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari menggunakan matematika pengukuran dan geometri, aljabar dan trigonometri15.

Terdapat beberapa tujuan dari pembelajaran matematika, yakni: (1) melatih cara berpikir dan menalar dalam menarik kesimpulan, (2) mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan secara mencoba-coba, (3) mengembangkan kemampuan problem solving, (4) menyampaikan, mengembangkan kemampuan

13Dindin Abdul Muiz L., “Heuristik Dalam Pemecahan Masalah Matematika dan

Pembelajarannya Di Sekolah Dasar.” http://file.upi.edu/Direktori/KD- TASIKMALAYA/DINDIN_ABDUL_MUIZ_LIDINILLAH_(KD-TASIKMALAYA)-

197901132005011003/132313548%20-%20dindin%20abdul%20muiz%20lidinillah/Heuristik%20Pemecahan%20Masalah.pdf, diakses pada 08 Oktober 2016 pukul 19.05.

14Supardi U. S.,Pengaruh Adversity Qoutient Terhadap Presentasi Belajar Matematika”, Jurnal Formatif, 3: 1,64.

15

(31)

19

informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, atau diagram.

Salah satu bidang kajian dalam matematika ialah mengenai aljabar. Menurut Watson, aljabar merupakan cara individu untuk menyatakan generalisasi mengenai bilangan, kuantitas, relasi dan fungsi16. Rodiyah menerangkan bahwa aljabar merupakan kajian matematika untuk menyelesaikan masalah secara matematis dengan menggunakan huruf dan simbol17. Pada level sekolah, aljabar dapat dideskripsikan sebagai:

1. Manipulasi dan transformasi pernyataan dalam bentuk simbol 2. Generalisasi aturan mengenai bilangan dan pola

3. Kajian mengenai struktur dan sistem abstraksi dari komputasi dan relasi

4. Aturan dalam transformasi dan penyelesaian persamaan 5. Pembelajaran mengenai variabel, fungsi dan mengekspresikan

perubahan dan hubungannya

6. Pemodelan struktur matematika dari situasi di dalam atau di luar konteks matematika.

Pemahaman yang baik mengenai hubungan antar bilangan, kuantitas, dan relasi menjadi kunci sukses untuk dapat menguasai aljabar. Yachel menjelaskan bahwa penekanan dalam pembelajaran aljabar adalah pada proses berpikir dan penalaran pada siswa. Dalam mempelajari simbol aljabar, individu dituntut untuk memahami operasi dan terbiasa dalam menggunakan notasi. Individu dituntut untuk dapat membedakan makna dari simbol huruf sebagai sesuatu yang belum diketahui (unknown), variabel, konstanta atau parameter serta memahami makna persamaan dan ekuivalen18.

16Andriani, P., Penalaran Aljabar Dalam Pembelajaran Matematika”, Beta Jurnal Pendidikan Matematika, 8: 1, (Mei, 2015), 3-4.

17

Rodiyah, S.,Matematika Untuk Kelas VII(Jakarta: PT. Setia Purna Inves, 2005), 52.

(32)

20

C. Pemecahan Masalah Dalam Matematika dan Aljabar

Krulik dan Rudnik mendefinisikan pemecahan masalah sebagai suatu proses berpikir sebagai berikut ini:19

“It (problem solving) is the mean by wich an individual uses previously acquired knowledge, skill, and understanding to satisfy the demand of an unfamiliar situation”

Dari definisi tersebut pemecahan masalah adalah suatu usaha individu menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan pemahamannya untuk menemukan solusi dari suatu masalah. Zeni Rofiqoh berpendapat bahwa pemecahan masalah dalam matematika adalah suatu aktivitas untuk mencari penyelesaian dari masalah matematika yang dihadapi dengan menggunakan semua bekal pengetahuan matematika yang dimiliki20. Ilmiyah dan Masriyah menerangkan bahwa pemecahan masalah merupakan usaha untuk mencari jalan keluar atau solusi dari sebuah kesulitan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai21.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah adalah mencari penyelesaian dari permasalahan yang dihadapi dengan menggunakan pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya.

Pada pelajaran matematika dan aljabar, profil pemecahan masalah yang dimaksud ialah mendeskripsikan mengenai upaya siswa atau individu dalam menyelesaikan soal matematika aljabar dengan mengaplikasikan pengetahuan aljabar yang dimiliki.

Tahapan dalam memecahkan masalah secara teori menurut Polya dapat dibagi menjadi empat tahapan penting, yakni memahami masalah yang sedang dihadapi, setelah memahami masalah yang sedang dihadapi, individu melakukan penyusunan rencana untuk penyelesaian masalah yang dihadapi, kemudian pelaksanaan rencana dan memeriksa hasil atau evaluasi dari pelaksanaan rencana dapat menyelesaikan masalah yang sedang

19

Dindin Abdul Muiz L., Loc. Cit.

20Zeni Rofiqoh, Skripsi: “Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas X Dalam Pembelajaran Discovery Learning Berdasarkan Gaya Belajar Siswa”,

(Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2015), 43.

21SailatulIlmiyah, & Masriyah, “Profil Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP Pada

(33)

21

dihadapi atau tidak22. Secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Memahami masalah

Aspek yang harus dicantumkan siswa pada langkah ini meliputi apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan.

2. Membuat rencana

Aspek yang harus dicantumkan siswa pada langkah ini meliputi urutan langkah penyelesaian dan mengarahkan pada jawaban yang benar.

3. Melaksanakan rencana

Aspek yang harus dicantumkan siswa pada langkah ini meliputi pelaksanaan cara yang telah dibuat dan kebenaran langkah yang sesuai dengan cara yang dibuat.

4. Memeriksa kembali

Aspek yang harus dicantumkan siswa pada langkah ini meliputi penyimpulan jawaban yang telah diperoleh dengan benar/memeriksa jawabannya dengan tepat.

D. Hubungan Antara Berpikir Metaforis Dengan Pemecahan Masalah

Menurut Sobur berpikir berarti berjerih payah secara mental untuk memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi. Hal ini berkaitan dengan pemecahan masalah. Menurut Ilmiyah dan Masriyah pemecahan masalah merupakan usaha untuk mencari jalan keluar atau solusi dari sebuah kesulitan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut jelas bahwa berpikir dan pemecahan masalah merupakan proses untuk mencari penyelesaian dari suatu masalah.

Berpikir metaforis (Metaphorical Thinking) adalah suatu aktivitas mental yang dilakukan siswa yang didasari dengan pengetahuan awal yang dimilikinya guna memahami, menjelaskan dan menalar konsep-konsep (permasalahan) dalam matematika. Memahami, menjelaskan dan menalar konsep-konsep (permasalahan) dalam matematika dapat dilihat dari proses pemecahan masalah. Oleh karena itu peneliti berusaha menemukan hubungan antara berpikir metaforis dengan pemecahan masalah.

(34)

22

Berpikir metaforis siswa akan tampak ketika mereka menerima masalah dan mulai memahami masalah tersebut.

Setelah memahami masalah selanjutnya siswa diajak melakukan penerapan dari situasi masalah yang dihadapi dengan menghubungkan konsep matematika dengan fenomena nyata yang ada di sekitar siswa. Siswa diajak berpikir dengan menggunakan metafora-metafora yang mereka buat sendiri sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan awal siswa sehingga ide-ide atau gagasan-gagasan dalam menghubungkan konsep matematika yang abstrak dengan fenomena nyata yang ada disekitar dapat dirangsang dengan baik.

Selanjutnya dari proses berpikir melalui metafora, siswa belajar mengidentifikasi konsep-konsep utama yang sedang dipelajari, belajar mengilustrasikan konsep dan memahami ide-ide matematik yang dihubungkan dengan pengalaman sehari-hari. Kegiatan seperti ini akan mengarahkan siswa pada suatu konsep pemahaman yang diberikan secara mendalam dan komprehensif. Selanjutnya menurut Ferrara “konsep-konsep matematika yang abstrak tidak dapat dirancang secara langsung oleh otak ataupun sifat tubuh secara alami, akan tetapi diorganisasikan melalui berpikir secara metaforis”23.

Dengan metafora, konsep-konsep matematika yang abstrak dapat dinyatakan dalam hal-hal yang konkret berdasarkan struktur dan cara-cara bernalar yang didasarkan pada sistem sensori-motori. Ferrara juga mengungkapkan melalui linking metaphor, siswa dapat membangun keterkaitan antara dua hal yang memilih, menegaskan memberi kebebasan dan mengorganisasikan karakteristik dari konsep (masalah) yang didukung dengan pengetahuan awal siswa dalam bentuk pernyataan-pernyataan metafora. Dengan situasi seperti itu siswa akan belajar bernalar untuk membuat kesimpulan/analogi dalam memilih dan memperkirakan metafora yang tepat dalam mengilustrasikan konsep yang dipelajari sebagai solusi.

Sebuah konsep berpikir metaforis didefinisikan sebagai korespondensi antara dua konseptual domain. Ini terdiri dari sebuah mekanisme yang memungkinkan siswa untuk memahami satu domain dalam konsep lain, biasanya lebih akrab atau dekat

(35)

23

dengan pengalaman sehari-hari. Dalam kata-kata Lakoff, korespondensi ini adalah pemetaan nyata atau proyeksi dari domain asal ke sebuah target domain24.

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa dengan adanya berpikir metaforis, maka konsep (permasalahan) matematika akan dipecahkan dengan membuat metafora-metafora, baik itu dari konsep yang telah dipelajari atau dari bidang-bidang lainnya bahkan dari kehidupan sehari-hari, inilah yang disebut dengan domain asal (anak topik). Dan permasalahan (konsep) yang dituju merupakan target domain, yang akan diselesaikan dengan menggunakan konsep berpikir metaforis. Hal ini jelas bahwa pada akhirnya permasalahan dalam matematika dengan berpikir metaforis akan dibawa ke dalam bentuk pemodelan matematika. Hubungan interaktif antara dua domain hanya dapat diproduksi di bawah keberadaan metafora. Tertanam dalam metafora adalah cara yang dibutuhkan untuk memproyeksikan kesimpulan dari satu domain ke yang lainnya. Oleh karena itu, metafora bertindak sebagai elemen utama dalam pembangunan model, dan dalam tindakan menyediakan struktur mediasi antara dua domain.

E. Gaya Belajar

Gaya belajar merupakan modalitas belajar yang dimiliki oleh tiap individu yang mem”built up” sejak manusia lahir25. Gaya belajar juga merupakan metode atau cara terbaik seseorang atau individu untuk dapat mencerna sebuah informasi26. Riani menjelaskan bahwa gaya belajar merupakan pola perilaku spesifik dalam menerima informasi baru dan mengembangkan keterampilan baru serta proses menyimpan informasi baru tersebut27. Gaya belajar juga dapat dijelaskan sebagai cara yang konsisten yang dilakukan oleh pelajar atau seseorang dalam menangkap informasi

24Susana Carreira, Op. Cit., hal 264-265.

25Hasrul, “Pemahaman Tentang Gaya Belajar”,Jurnal Medtek, 1: 2, (Oktober, 2009), 8. 26Poedjiadi, A., Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian III: Pendidikan Disiplin Ilmu(Bandung: Imperial Bhakti Utama, 2007), 212.

27Erna Riani, “Pengaruh Gaya Belajar Terhadap Prestasi Belajar Siswa Pada Mata

(36)

24

atau stimulus, yang meliputi cara mengingat, cara berpikir dan memecahkan soal28.

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dijelaskan maka dapat dijelaskan bahwa gaya belajar merupakan salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian. Hal ini dikarenakan gaya belajar merupakan salah satu kunci keberhasilan seseorang atau seorang siswa dalam belajar. Ketika individu mengetahui cara mengolah informasi yang sesuai dengan karakter individu, maka individu akan merasa lebih mudah dalam belajar29. Oleh karena itu, gaya belajar tiap individu atau tiap siswa berbeda-beda sesuai dengan cara pandang dan karakteristik siswa dalam menerima sebuah informasi.

Septiana menjelaskan bahwa secara umum gaya belajar dapat dibagi menjadi tiga jenis, yang biasa dikenal dengan istilah VAK, yaitu visual (penglihatan), auditori (pendengaran) dan kinestetik (gerakan)30.

1. Gaya Belajar Visual

Individu yang memiliki gaya belajar visual memiliki daya melihat atau ketajaman indera penglihatan yang lebih, sehingga memudahkan dalam proses belajar31. Individu dengan gaya belajar visual lebih nyaman belajar dengan variasi warna, garis dan bentuk. Di dalam kelas, individu atau siswa dengan gaya belajar visual cenderung lebih suka mencatat hingga detail, seperti memperhatikan kerapian catatan, membutuhkan bantuan gambar untuk dapat menerima sebuah informasi. Selain itu individu atau siswa dengan gaya belajar visual lebih mudah menangkap informasi yang disampaikan oleh guru dengan menatap ekspresi wajah dan mengamati bahasa tubuh yang digunakan oleh guru32.

28

N. P. Sari, Op. Cit. hal. 7.

29A. Septiana,Hubungan Gaya Belajar Dan Persepsi Siswa Tentang Metode Mengajar

Guru Terhadap Prestasi Belajar Matematika Pada Siswa-Siswi Kelas XI SMA NEGERI 1 Sangatta Utara Kutai Timur”,Ejournal Psikologi, 4: 2, (2016), 166.

30Ibid, halaman 169.

31Astuti, E. S., Bahan Dasar Untuk Pelayanan Konseling Pada Satuan Pendidikan

Menengah Jilid I(Jakarta: PT Grasindo, 2010), 5. 32

(37)

25

Sari menjelaskan bahwa terdapat beberapa karakteristik yang khas bagi individu atau siswa dengan gaya belajar visual, yakni: (a) kebutuhan melihat sesuatu secara visual untuk mengetahui dan memahaminya, (b) memiliki kepekaan yang kuat terhadap warna, (c) memiliki pemahaman yang cukup terhadap masalah artistik33. Selain itu, juga terdapat ciri-ciri lain dari individu atau siswa dengan gaya belajar siswa, diantaranya34:

a. Berbicara dengan cepat

b. Mengingat apa yang dilihat, daripada yang didengar c. Tidak mudah terganggu oleh keributan

d. Lebih suka membaca daripada dibacakan

Strategi untuk mempermudah proses belajar anak visual, yaitu: (a) gunakan materi visual seperti, gambar-gambar, diagram, dan peta; (b) gunakan warna untuk melihat hal-hal penting; (c) ajak anak untuk membaca buku-buku berilustrasi; (d) gunakan multi-media (contohnya: komputer dan video); (e) ajak anak untuk mencoba mengilustrasikan ide-idenya ke dalam gambar35.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa dengan gaya belajar visual mempunyai ciri perilaku tertentu dalam menerima dan mengolah informasi. Demikian halnya dalam pemecahan masalah. Siswa dengan gaya belajar visual juga mempunyai ciri tertentu dalam menyelesaikan masalah. Hal ini disajikan dalam penelitian Sri Dewi yang menyatakan bahwa siswa dengan gaya belajar visual dalam menyelesaikan masalah adalah memahami masalah dengan baik dan cepat, menetukan konsep dan mejelaskan hubungan konsep dengan masalah dengan baik, menyusun rencana penyelesaian dengan baik dan

33N. P. Sari, Op. Cit., hal. 7. 34Hasrul, Op. Cit., hal. 4.

35Tia Christina Sari, Skripsi: “Profil Inkuiri Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Berbasis Proyek Dibedakan Berdasarkan Gaya Belajar”, (Surabaya: UIN Sunan Ampel

(38)

26

menyelesaikan masalah sesuai rencana dengan tepat dan baik serta cepat36.

2. Gaya Belajar Auditori

Kemudian gaya belajar auditori, yakni gaya belajar yang lebih mengandalkan indera pendengar. Anak yang memiliki gaya belajar auditori cenderung lebih bisa memahami informasi dengan menyimak perkataan dan penjelasan dari guru atau pihak lain yang memberikan informasi37. Individu atau siswa dengan gaya belajar auditori dapat belajar lebih cepat bila informasi disajikan dengan diskusi verbal dan mendengarkan apa yang disampaikan oleh guru. Individu atau siswa dengan gaya belajar auditori dapat lebih cepat untuk menghafal dengan membaca teks dengan keras dan mendengarkan teks dalam bentuk audio, serta kurang suka membuat catatan, cenderung lebih suka mendengarkan temannya belajar38.

Karakter dari individu atau siswa dengan gaya belajar auditori ialah sulit untuk menerima atau menyerap informasi berupa bacaan dan tulisan. Hasrul menjelaskan bahwa terdapat beberapa ciri yang dimiliki oleh individu dengan gaya belajar auditori, yakni39:

a. Berbicara kepada diri sendiri ketika sedang belajar atau menyerap informasi

b. Mudah terganggu oleh keributan

c. Senang membaca dengan keras dan mendengarkannya d. Merasa kesulitan untuk menulis, namun memiliki kelebihan

dalam bercerita

e. Senang berbicara, berdiskusi dan menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar

f. Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya

Strategi untuk mempermudah proses belajar anak auditori, yaitu: (a) ajak anak untuk ikut berpartisipasi dalam diskusi baik di dalam kelas maupun di dalam keluarga; (b) dorong anak

36Sri Dewi, dkk., “Analisis Pemecahan Masalah Matematika Pada Siswa Tipe Visual

Berbasis Realistic Mathematics Education (RME) Di Kelas VIII SMP N 2 Kota Jambi”, Tekno-Pedagogi, 3 : 2, (September, 2013), 50.

37Handoyo H. B., Op. Cit., hal 43. 38

(39)

27

untuk membaca materi pelajaran dengan keras; (c) gunakan musik untuk mengajarkan anak; (d) diskusikan ide dengan anak secara verbal; (e) biarkan anak merekam materi pelajarannya ke dalam kaset dan dorong dia untuk mendengarkannya sebelum tidur40.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa dengan gaya belajar auditori mempunyai ciri perilaku tertentu dalam menerima dan mengolah informasi. Demikian halnya dalam pemecahan masalah. Siswa dengan gaya belajar auditori juga mempunyai ciri tertentu dalam menyelesaikan masalah. Hal ini disajikan dalam penelitian Mubarik yang menyatakan bahwa siswa dengan gaya belajar auditori dalam menyelesaikan masalah adalah sedikit mengalami kesulitan untuk memahami masalah, dapat menyusun rencana penyelesaian dengan baik, dapat menjelaskan rencana penyelesaian yang disusun dengan baik, menghubungkan pengalaman, pengetahuan yang dimiliki dengan masalah serta rencana untuk menyelesaikan masalah dan menyelesaikan masalah sesuai rencana dengan baik41. 3. Gaya Belajar Kinestetik

Yang terakhir ialah gaya belajar kinestetik, yakni cara belajar yang lebih didominasi dengan bergerak, menyentuh, dan melakukan sesuatu. Individu dengan gaya belajar kinestetik ini cenderung sulit untuk duduk diam dalam jangka waktu yang lama. Hal ini dikarenakan keinginan individu tersebut untuk melakukan aktivitas dan bereksplorasi cukup kuat42. Dalam berkomunikasi, individu dengan gaya belajar kinestetik, lebih suka menggunakan kata yang berhubungan dengan perasaan.

Sari menjelaskan bahwa individu dengan gaya belajar kinestetik memiliki karakteristik yakni selalu menggunakan tangan sebagai alat penerima informasi utama agar dapat mengingat dan menyerap informasi yang diberikan. Selain itu,

40Tia Christina Sari, Op. Cit., hal 29.

41Mubarik, “Profil Pemecahan Masalah Siswa Auditorial Kelas X SLTA Pada Materi

Sistem Persamaan Linear Dua Variabel”, Jurnal Elektronik Pendidikan Matematika Tadulako, 1: 1, (September, 2013), 12.

(40)

28

terdapat ciri-ciri yang dimiliki oleh individu dengan gaya belajar kinestetik, yakni43:

a. Berbicara dengan perlahan

b. Belajar melalui manipulasi dan praktik c. Menghafal dengan cara berjalan dan melihat

d. Menggunakan jari sebagai penunjuk ketika sedang membaca

e. Tidak dapat duduk diam dalam jangka waktu lama f. Menyukai permainan yang menyibukkan

Strategi untuk mempermudah proses belajar anak kinestetik, yaitu: (a) jangan paksakan anak untuk belajar berjam-jam; (b) ajak anak untuk belajar sambil mengeksplorasi lingkungannya (contohnya: ajak dia baca sambil bersepeda, gunakan objek sesungguhnya untuk belajar konsep baru); (c) izinkan anak untuk mengunyah permen karet pada saat belajar; (d) gunakan warna terang untuk melihat hal-hal penting dalam bacaan; (e) izinkan anak untuk belajar sambil mendengarkan musik.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa dengan gaya belajar kinestetik mempunyai ciri perilaku tertentu dalam menerima dan mengolah informasi. Demikian halnya dalam pemecahan masalah. Siswa dengan gaya belajar kinestetik juga mempunyai ciri tertentu dalam menyelesaikan masalah. Hal ini disajikan dalam penelitian Jumadi yang menyatakan bahwa siswa dengan gaya belajar kinestetik dalam menyelesaikan masalah adalah menyebutkan dengan jelas apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, merencanakan penyelesaian namun tidak mengarah kepada penyelesaian masalah, konsep yang dipilih tidak sesuai dengan masalah, menyelesaikan masalah dengan tidak tepat44.

F. Hubungan Antara Berpikir Metaforis Dengan Gaya Belajar Menurut Astuti seorang dengan gaya belajar visual memiliki daya melihat atau ketajaman indera penglihatan yang lebih,

43Hasrul,Op. Cit., hal 4.

44 Jumadi, “Profil Pemecahan Masalah Matematika Berdasarkan Tingkat Kecerdasan

(41)

29

sehingga memudahkan dalam proses belajar45. Menurut Handoyo siswa dengan gaya belajar visual lebih mudah menangkap informasi yang disampaikan oleh guru dengan menatap ekspresi wajah dan mengamati bahasa tubuh yang digunakan oleh guru46. Dengan kata lain siswa yang mempunyai gaya belajar visual mempunyai kecenderungan dalam penglihatan, dengan kelebihan pada penglihatannya siswa visual lebih mudah dalam menganalisis suatu permasalahan. Hal ini sesuai dengan indikator dari berpikir metaforis yaitu analyze, dimana pada tahap ini siswa diharuskan untuk teliti dan cermat dalam memperhatikan setiap kata ataupun angka yang tertulis, dengan begitu siswa dapat memastikan jawaban yang ia buat benar dan sesuai dengan permasalahan yang diberikan. Menurut Hasrul seseorang dengan gaya belajar visual adalah seorang perencana dan pengatur jangka panjang yang baik, juga teliti terhadap detail47. Hal ini sesuai dengan indikator berpikir metaforis yaitu connectdanexplore, dimana pada tahap ini siswa diharuskan untuk memikirkan perumpamaan yang sesuai dengan permasalahan juga rencana penyelesaian yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah. Berdasarkan hasil penelitian Sri Dewi siswa dengan gaya belajar visual dapat menetukan konsep dan mejelaskan hubungan konsep dengan masalah dengan baik48. Hal ini sesuai dengan indikator berpikir metaforis yaitu relate, dimana pada tahap ini siswa menentukan konsep yang sesuai dengan permasalahan serta menentukan hubungan antara konsep dengan permasalahan.

Menurut Handoyo, anak yang memiliki gaya belajar auditori cenderung lebih bisa memahami informasi dengan menyimak perkataan dan penjelasan dari guru atau pihak lain yang memberikan informasi49. Menurut Astuti, individu atau siswa dengan gaya belajar auditori dapat lebih cepat untuk menghafal dengan membaca teks dengan keras dan mendengarkan teks dalam bentuk audio, serta kurang suka membuat catatan, cenderung lebih

45Astuti, E. S., Bahan Dasar Untuk Pelayanan Konseling Pada Satuan Pendidikan Menengah Jilid I(Jakarta: PT Grasindo, 2010), 5.

46Handoyo H. B., Op. Cit.,, hal 44. 47Hasrul, Op. Cit., hal 4. 48

Sri Dewi, dkk., Op. Cit., hal 50.

(42)

30

suka mendengarkan temannya belajar50. Dengan kata lain siswa yang mempunyai gaya belajar auditori cenderung lebih suka merekam pada kaset daripada mencatat, karena mereka suka mendengarkan informasi berulang-ulang. Hal ini sesuai dengan indikator dari berpikir metaforis yaitu transform, dimana pada proses ini siswa tidak mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal, hal ini tidak lepas dari kelebihan yang dimiliki siswa yang bergaya belajar auditori yang mudah menyerap informasi pada saat guru menjelaskan soal yang diberikan, meskipun keterangan tersebut singkat. Menurut Hasrul seseorang dengan gaya belajar auditori suka berbicara, suka berdiskusi dan menjelaskan sesuatu panjang lebar51. Hal ini sesuai dengan indikator berpikir metaforis yaitu relate dan analyze, dimana pada tahap ini siswa dengan mudah menyatakan hubungan antara konsep yang berkaitan dengan permasalahan dan perumpamaan, siswa juga dengan mudah mendeskripsikan kesesuaian antara perumpaman dengan permasalahan. Berdasarkan hasil penelitian Mubarik siswa dengan gaya belajar auditori dapat menghubungkan antara pengalaman, pengetahuan dan masalah serta rencana yang disusun untuk menyelesaikan masalah, selain itu dapat menyusun dan menjelaskan rencana penyelesaian dengan baik52.

Menurut Hasrul, individu dengan gaya belajar kinestetik ini cenderung sulit untuk duduk diam dalam jangka waktu yang lama. Hal ini dikarenakan keinginan individu tersebut untuk melakukan aktivitas dan bereksplorasi cukup kuat53. Menurut Hartati, gaya belajar ini mengandalkan aktivitas belajarnya kepada gerakan dan mereka lebih suka duduk di lantai dan menyebarkan pekerjaan di sekeliling mereka54. Dengan kata lain siswa dengan gaya belajar kinestetik memiliki kecenderungan untuk melakukan aktivitas belajarnya dengan gerakan. Dalam metaforis, lebih tepatnya pada tahap explore siswa dengan gaya belajar kinestetik lebih mudah melalui tahap ini, ini disebabkan karena pada tahap ini siswa diharuskan menyusun serta menentukan apa saja yang diketahui

50

Astuti, E. S., Op. Cit., hal 5-6. 51Hasrul, Op. Cit., hal 4. 52Mubarik., Op. Cit., hal 12. 53Astuti, E. S., Op. Cit., hal 6. 54

(43)

31

dan apa yang ditanyakan dalam soal, dan dengan tanpa membayangkan soal. Selain itu Hasrul juga berpendapat bahwa siswa dengan gaya belajar kinestetik belajar melalui manipulasi dan praktek55. Hal ini sesuai dengan indikator berpikir metaforis yaitu explore, dimana pada tahap ini siswa membuat model matematika dari permasalahan yang disajikan untuk memudahkan mereka menyelesaikan masalah.

(44)

32

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif karena ingin menjelaskan secara rinci mengenai profil berpikir metaforis dalam memecahkan masalah aljabar ditinjau dari gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik berdasarkan data yang diperoleh dari tes tulis dan wawancara.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

[image:45.420.70.371.120.461.2]

Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas VII-E SMP Negeri 3 Sidoarjo tahun ajaran 2016/2017. Pengambilan data dilakukan pada 02 sampai 13 Desember 2016. Berikut adalah jadwal pelaksanaan penelitian yang dilakukan di SMP Negeri 3 Sidoarjo.

Tabel 3.1

Jadwal Pelaksanaan Penelitian

No. Kegiatan Tanggal

1 Permohonan izin penelitian Kepala Sekolah

29 November 2016

2 Observasi sekolah 1 Desember 2016

3 Pemberian angket gaya belajar 2 Desember 2016 4 Tes Pemecahan masalah dan

wawancara untuk subjek visual, auditori, kinestetik

13 Desember 2016

5 Surat keterangan penelitian 17 Desember 2016

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII-E SMP Negeri 3 Sidoarjo tahun ajaran 2016/2017. Peneliti mengambil subjek didasarkan pada hasil angket gaya belajar.

(46)

34

masing-masing 2 orang siswa dengan gaya belajar visual, 2 orang siswa dengan gaya belajar auditori, dan 2 orang siswa dengan gaya belajar kinestetik. Peneliti mengambil masing-masing 2 subjek karena sebagai pembanding antara subjek pertama dan subjek kedua berdasarkan klasifikasi gaya belajar.

Peneliti memilih dua subjek dari masing-masing kategori gaya belajar siswa berdasarkan tes angket gaya belajar tersebut juga tidak lepas dari pertimbangan guru yang berkaitan dengan kecakapan siswa dalam mengemukakan pendapat secara lisan maupun tulisan dan untuk melihat kesetaraan kemampuan dari subjek yang terpilih.

Pada penelitian ini, peneliti melibatkan 31 siswa kelas VII-E SMP Negeri 3 Sidoarjo yang dilaksanakan pada Bulan Desember 2016.

[image:46.420.75.348.197.519.2]

Hasil Identifikasi Gaya Belajar Siswa dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3.2

Hasil Gaya Belajar Siswa

No. NAMA GAYA BELAJAR

1. AAM Visual

2. AAR Auditori

3. AK Auditori

4. AZP Visual

5. ADP Visual

6. ARL Visual

7. ABP Auditori

8. AP Auditori

9. BPP Kinestetik

10. DMR Auditori

11. FRK Visual

12. FKA Auditori

13. FR Visual

14. FAH Auditori

15. HDW Visual, Auditori

16. HTMPR Visual

17. KZR Visual

(47)

35

No. NAMA GAYA BELAJAR

19. MRP Auditori

20. MUNR Visual

21. MJAZ Visual

22. NF Auditori

23. OCL Auditori

24. RNWK Visual

25. RHASK Visual

26. RMF Auditori

27. RFPH Visual

28

Gambar

Gambar 2.1 Konsep
Gambar 2.1 Konsep Metaphorical Thinking
 Gambar 2.2Keadaan Awal Timbangan
Gambar 2.3Keadaan Akhir Timbangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam menyelesaikan soal tes subjek dengan gaya kognitif Field Indpendent (FI23) kurang mampu memahami soal apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam

Berdasarkan jawaban subjek D pada gambar 4.28 hasil tes tulis soal nomor 1 subjek D mampu menunjukkan apa yang diketahui dengan tepat. Analisis ini didukung oleh hasil

Subjek 1 subjek dengan gaya belajar visual, sebelum mengerjakan soal cerita kesan pertama yang terlihat dari Subjek 1 adalah penampilannya apa adanya tapi tetap

Hasil penelitian yang didapat menjelaskan bahwa pemecahan soal matematika open ended oleh siswa SMP dengan gaya belajar sensing menunjukkan kemampuan berpikir kreatif yang

L2 Berdasarkan hasil tes tulis dan wawancara subjek L2 telah memenuhi komponen flexibility, karena telah memenuhi indikator menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang