17 Okt. 2008
1/3
JURUS EMITEN MENAGGULANGI KRISIS GLOBAL
Mas Achmad Daniri
Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance
Langkah pemerintah meminta BUMN untuk membeli kembali (buy back) saham
mereka demi menyelamatkan bursa saham merupakan langkah berbahaya.
Demikian disampaikan pengamat ekonomi Revrison Baswir dalam diskusi bertajuk
“Krisis Finansial di AS dan Eropa berikut dampaknya bagi Indonesia”. Sebagian
pengamat lain meng-amini kebijakan pemerintah mendorong buy back saham BUMN.
Mereka berdalih bahwa kebijakan ini bukan menyelamatkan bursa, namun lebih
kepada kesempatan beli saham murah di saat harga tidak wajar, karena sentimen
pasar dan aksi jual investor asing dan investor margin. Pemerintah bakal untung
karena bisa membeli saham dengan harga sangat murah. Argumen yang juga tak
kalah canggih, buy back penting untuk megirim sinyal positif ke pasar bahwa
pemerintah mampu mengendalikan krisis. Krisis di pasar modal punya dampak yang
mengerikan kalau tidak ditangani secara baik.
Secara hitungan sederhana, kita tahu bahwa transaksi saham di Bursa Efek
Indonesia didominasi oleh investor asing. Bayangkan andaikan semua saham yang
dimiliki investor asing dijual sekaligus ke pasar, maka apa jadinya dengan nilai rupiah
kita jika secara tiba-tiba ada tambahan permintaan US dolar yang demikian sangat
besar. Penurunan nilai rupiah akan berdampak pada inflasi yang tentu saja akan
mempengaruhi kinerja sektor riil. Jadi dengan kata lain kita sudah terlanjur memiliki
pasar modal yang memang masih perlu menggalang dominasi investor lokal yang
rasional dan perlu menambah emiten “blue chip” baik dari sudut kinerja maupun
penerapan GCG. Oleh karena itu, kita mau tak mau harus juga menjaga pasar modal
kita dari gonjang-ganjing krisis ekonomi global. Tidak benar bahwa kita tidak perlu
memperhatikan pasar modal, atau dengan bahasa lain kita harus dapat
mengendalikan dampak negatif pasar modal terdahap sektor riil.
Lalu bagaimana seharusnya jurus emiten termasuk BUMN dalam berpartisipasi
menangkis krisis global. Penulis berpandangan ada dua resep manjur. Pertama,
17 Okt. 2008
2/3
efisiensi disegala bidang dan mengoptimalkan investasi guna meningkatkan
keuntungan perusahaan. Jika masih ada dana kas yang tersisa secara jangka
panjang, barulah perusahaan dapat membeli kembali sahamnya yang lagi anjlok di
bursa. Kemudian, pada saat harga saham itu naik, BUMN bisa menjualnya kembali
dan mendapatkan keuntungan dari selisih harga. Namun bagaimanapun emiten
harus berhati-hati karena buy back tidak berdampak langsung pada perbaikan
kinerja emiten yang bersangkutan. Selama krisis global berlangsung, selalu ada saja
ancaman kepanikan seperti aksi jual saham secara besar-besaran. Yang pertama
menjadi sasaran empuk tentu saja saham-saham yang harganya naik akibat
kebijakan buy back perusahaan. Jika hal itu yang terjadi maka akan membuat emiten
atau BUMN yang melakukan buy back tadi mengalami kerugian. Dari sudut
corporate governance, kebijakan buy back harus merupakan kebijakan korporasi
bukan karena intervensi pihak luar. Jadi kebijakan buy back memang karena
perusahaan memiliki kelebihan dana secara jangka panjang yang tidak lagi mungkin
dioptimalkan penggunaannya dalam koridor bisnis inti perusahaan.
Resep yang kedua adalah hendaknya emiten menyediakan informasi yang
selengkap-lengkapnya mengenai kinerja bisnis perusahaan dan memudahkan publik
untuk mengakses informasi tersebut. Dalam hal ini bisa saja bursa dan atau
Bapepam memerintahkan emiten untuk melakukan public expose khususnya bagi
emiten-emiten yang harga sahamnya sedemikian anjlok di pasar. Hal ini paling tidak
akan mengerem kepanikan pasar sekaligus memberikan sinyal positif bahwa secara
fundamental kinerja perusahaan sesungguhnya masih baik atau mengalami
peningkatan.
Jika kita simak semua peraturan pasar modal, baik yang dikeluarkan Bapepam
maupun lembaga-lembaga Self Regulatory Organization (Bursa Efek, Kliring
Pemjamin Efek, Kustodion Sentral Efek), sesungguhnya semuanya berpijak pada
penerapan prinsip-prinsip governance yang baik dari korporasi (Transparansi,
Akuntabilitas, Responsibilitas, Fairness). Belajar dari krisis di tahun 1998 maupun
ditahun 2008, semuanya dipicu oleh sifat serakah, menghalalkan segala cara, tidak
jujur, mengabaikan risiko yang mungkin muncul terutama pada pihak lain
(masyarakat), bahkan membohongi publik. Di pasar modal lebih diperparah lagi
17 Okt. 2008
3/3
disebut sebagai transaksi “naked short sell”. Secara akuntansi pada kedua krisis
tersebut, mempunyai kemiripan yakni kewajiban hutang yang muncul tidak dapat
tertutupi secara signifikan oleh aset yang tersedia.
Jika sebuah negara tidak memiliki reputasi penerapan GCG yang baik, maka
investasi akan pergi ke tempat lain. Jika investor tidak yakin dengan tingkat
keterbukaan, maka investasi akan pergi ke tempat lain. Jika sebuah negara memilih
untuk menerapkan standar akuntansi dan pelaporan yang seadanya saja, maka
investasi juga akan pergi ke tempat lain. Setiap perusahaan yang ada dalam sebuah
negara, walaupun perusahaan tertentu menunjukkan komitmen dan penerapan GCG
yang tinggi, tetap terkena imbas dari praktik dan kondisi governance yang kurang
baik dari negara tersebut.
Jadi jurus emiten didalam menangkis krisis global adalah dengan cara fokus
memperbaiki kinerja, membangun rambu-rambu dan mengasah kalbu (good
corporate governance) agar kita selalu dapat amanah, jujur dan adil dalam