• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTEN KREATIF BAHASA BALI SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN MASA PANDEMIPERSPEKTIF SEMIOTIKA VISUAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONTEN KREATIF BAHASA BALI SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN MASA PANDEMIPERSPEKTIF SEMIOTIKA VISUAL"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

KONTEN KREATIF BAHASA BALI SEBAGAI MEDIA

PEMBELAJARAN MASA PANDEMIPERSPEKTIF

SEMIOTIKA VISUAL

I Gst Md Swastya Dharma Pradnyan

Universitas Teknologi Indonesia Email: [email protected],

I Wayan Juliana

Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja Email: [email protected]

Abstrak

Efektivitas pembelajaran online menimbulkan spekulasi beragam dikalangan masyarakat khususnya di Bali. Salah satunya, menurunnya kualitas materi yang disampaikan oleh guru kepada siswa. Akan tetapi, para akademisi mejawab keresahan orang tua murid melalui media-media pembelajaran inovatif untuk memastikan eksistensi Pendidikan di Bali tetap berlangsung. Khususnya mata pelajaran Bahasa Bali terdapat beberapa upaya yang dilakukan oleh para akademisi termasuk aktivis pelestarian Bahasa Bali, salah satunya adalah pembuatan konten kreatif sebagai media pembelajaran. Berbagai transformasi menghadirkan inovasi terbaru demi mengurangi abstraksi pemahaman siswa terhadap materi Bahasa Bali yang notabena dibutuhkan bimbingan khusus dalam penyampaiannya.

Adapun hasil karya yang telah diunggah melalui media sosial ataupun aplikasi handphone. Mengandung bermacam interpretasi makna berdasarkan paradigma semiotika visual. Proses visualisasi dikolaborasikan antara pengetahuan kedaerahan dengan teknologi sehingga merepresentasi nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya di antaranya, tradisi upacara tumpek wariga, pembentukan karakterisasi siswa melalui gambaran tokoh punakawan wayang, dan nilai etika moral dalam berkomunikasi.

Semiotika visual mendeskripsikan konsep dasar salah seorang pakar semiotika terdahulu yaitu Charles Sanders Pierce, dengan memfokuskan pada relasi tipologi tanda antara Ikonisitas, Indeks dan Simbol, sehingga mampu menghasilkan sistem produksi tanda. Selain itu, dalam proses interpretasi makna kata yang terdapat dalam media pembelajaran tersebut dianalisis sesuai dengan enam fungsi Bahasa dari Roman Jakobson.

Kata Kunci ; Konten Kreatif, Media Pembelajaran, Semiotika Visual. Abstract

The effectiveness of online learning has led to various speculations among the public, especially in Bali. One of them is the decline in the quality of the material delivered by teachers to students. However, academics answer parents's concerns through innovative learning media to ensure the existence of education in Bali. In particular in the Balinese language subject, there are several efforts made by

(2)

2

academics including Balinese language conservation activists, one of which is the creation of creative content as a medium of learning. Various transformations present the latest innovations in order to reduce the abstraction of students' understanding of Balinese language material which in fact requires special guidance in its delivery.

The works that have been uploaded via social media or mobile applications. Contains various interpretations of meaning based on the visual semiotic paradigm. The visualization process is collaborated between regional knowledge and technology so that it represents the cultural values contained in it, including the tradition of the tumpek wariga ceremony, the formation of student characterization through depictions of puppet figures, and moral ethical values in communication.

Visual semiotics describes the basic concept of one of the previous semiotics experts, namely Charles Sanders Pierce, by focusing on the typological relation of signs between Iconicity, Index and Symbol, so as to be able to produce a sign production system. In addition, in the process of interpreting the meaning of words contained in the learning media, they are analyzed according to the six language functions of Roman Jakobson.

Keywords ; Creative Content, Learning Media, Visual Semiotics.

I. PENDAHULUAN

Perkembangan Ilmu

pengetahuan dan teknologi menjadi tolok ukur sebagian Negara maju di Dunia. Kualitas pendidikan merupakansalah satu syarat utama, yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Beberapa Negara seperti Jepang, Cina bahkan Thailand yang lebih muda dari Indonesia mampu menguasai pasar global. Mereka berlomba-lomba menciptakan dan memperbaharui teknologi demi terciptanya lapangan pekerjaan. Bagi sebagian Negara berkembang yang belum mampu berperan sebagai aktor di Negaranya, mereka memilih untuk melakukan kerjasama sebagai tokoh pendukung dibidang pengembangan teknologi sehingga berharap di masa depan mampu menguasai panggung perekonomian dunia.

Kecepatan teknologi tidak semata-mata mampu menuntaskan

segala bentuk permasalahan dunia. Salah satu ikhwal menjamin kesehatan masyarakat terhadap dampak dari Covid-19. Peran teknologi hanya sebatas mampu meminimalisir meningkatnya klaster penderita virus tersebut. Untuk masalah vaksin, perlu diakui bahwa teknologi tetap harus berkolaborasi dengan sistem peningkatankekebalan tubuh secara alamiah. Oleh karenannya, walaupun sebagian masyarakat telah di vaksin namun, mereka tetap harus waspada beraktivitas sesuai dengan protokol kesehatan. Situasi tersebut memaksa Pemerintah terutama Kementerian Pendidikan sementara memberlakukan sistem pembelajaran Online atau Daring. Suatu wilayah secara tidak langsung akan digiring menjadi desa atau kota virtual karena, komunikasi antar manusia di dalamnya tidak lagi berlangsung secara alamiah, tetapi lewat mediasi teknologi digital. Tempat dan ruang kota kini digantikan tempat

(3)

3 elektronik atau ruang virtual (Piliang, 2014:231).

Pemberlakuan sistem pembelajaran daring menemui beberapa kendala, terutama bagi Indonesia yang notabene tergolong negara kepulauan diantaranya, pemerataan tempat tinggal penduduk, sehingga bagi masyarakat terpencil sulit mengakses aplikasi belajar online, kemudian untuk kelas ekonomi menengah kebawah tentunya kepemilikan fasilitas belajar online belum sepenuhnya terjangkau. Hal tersebut menyebabkan Kementerian Pendidikan mengisyaratkan agar kebijakan mengenai proses belajar mengajar disesuaikan dengankondisi daerah masing-masing. Upaya Pemerintah berdamai dengan keadaan Pandemi menimbulkan kekhawatiran bagi para orang tua siswa khususnya di Pulau Dewata. Hal tersebut dikarenakan, beberapa kalangan masyarakat masih tertanam di benak mereka mengenai pola pembelajaran lama yaitu seratus persen tatap muka di sekolah, sedangkan apabila Negara telah didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai, sistem pembelajaran seyogyanya bersifat dinamis, berkolaborasi dengan metode pembelajaran digital bahkan salah satu media di dunia menyebut perguruan tinggi di Inggris telah mulai menerapkan sistem pembelajaran berbasis teknologi hologram.Sementara di Indonesia, para akademisi di bidang teknik elektronika mulai menyumbangkan ide-ide kreatif dalam bentuk paper terkait "Teknologi Holografi Untuk Pembelajaran Virtual Pada Sekolah Menengah Kejuruan" Jaya (2017:1) menjelaskan bahwa, Teknologi Hologram 3D merupakan

tampilan visual 3-dimensi yang terbentuk dari cahaya, sebagai alat penyimpan, menjadi sebuah alat yang efektif bagi para guru di masa depan.Hologram 3D dapat mengatasi hambatan bagi siswa SMK dalam memahami pelajaran baik pembelajaran dikelas maupun pembelajaran praktek. Hologram 3D dengan tampilan visual dapat menggantikan peralatan real untuk dijadikan sebagai bahan praktek di SMK, sehingga di masa depan, Seorang guru akan tergantikan oleh sebuah teknologi hologram.

Khususnya di Bali, sistem pembelajaran masih bersifat semi hologram karena keterbatasan teknologi dan akses internet. Akan tetapi, sebagai fasilitator beberapa guru tidak menyerah begitu saja, mereka turut berupaya menghadirkan media pembelajaran berupa video sesuai bidang studi masing-masing. Selain itu, para akademisi non formal seperti Penyuluh Bahasa Bali juga turut andil berusaha menampilkan lokal genius pelajaran Bahasa Bali dalam bentuk visual. Materi yang diangkat berupa pengetahuan tradisional dikemas dalam bentuk visual kekinian. Tujuan dari transformasi tersebut yaitu untuk meminimalisir abstraksi dari peserta didik terkait pengetahuan Bahasa, Sastra dan Aksara Bali. Proses kratif dari Penyuluh Bahasa Bali tentunya mendapat respon positif dari masyarakat sosial media para orang tua merasa terbantu ketika mengajari anaknya di rumah.

Pembuatan konten kreatif berbahasa Bali dibutuhkan ketrampilan pengkolaborasian antara tampilan visual kekininan tanpa mengurangi makna atau pesan yang ingin

(4)

4 disampaikan sehingga tetap merujuk pada hipogram materi yang diresepsi. Berdasarkan konsep dasar tanda-tanda visual, Danesi (2017:75-85) menjelaskan bahwa selain warna hal utama dalam tanda visual adalah pencitraan mental. Citra Mental adalah pengganti bagi hal sesungguhnya, memungkinkan seseorang untuk berencana dan memprediksi perihal apa yang dicerna melalui indra penglihatan. Khusus untuk media berbasis Bahasa Bali, selain berupa refresentasi gambar dibutuhkan pula reportoar dalam memahami simbol-simbol yang mendukung gambar tersebut seperti aksara Bali.

Berdasarkan permasalahan di atas, tulisan ini akan membahas mengenai Konten kreatif Bahasa Bali sebagai Media Pembelajaran Masa Pandemi Perspektif Semiotika Visual. II. PEMBAHASAN

Karya Sastra merupakan sebuah orkestra yang mampu menyuarakan suara-suara terbaru. Pernyataan tersebut telah lama digaungkan oleh Jauzz dalam bukunya "Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis" (Suarka, 2007:18). Proses resepsi sastra untuk melahirkan karya-karya baru atau interpretasi baru agar sesuai dengan semangat jiwa zaman, hendaknya bertumpu pada teori estetika resepsi. Sejalan dengan hal tersebut di era digital para reseptor dituntut untuk berevolusi berangkat dari pendekatan resepsi sastra dari Jauzz memanfaatkan teknologi dalam proses transformasi kedalam bentuk gambar, konten kreatif hingga film-film pendek salah satunya yaitu memahami tanda-tanda visual.

Berbicara masalah tanda visual studi yang membahas tentang hal

tersebut dikenal dengan istilah semiotika visual.Sebelum memahami lebih jauh tentang Semiotika Visual, apabila menyinggung mengenai ilmu tanda. Pembaca selalu dibayang-bayangi oleh beberapa tokoh Semiotik yang fenomenal di eranya diantaranya, Ferdinand De Saussure dengan empat pilar teorinya yaitu 1) Sinkronik-Diakronik, 2) Langue-Parole, 3) Tanda Bahasa, 4) Sintagmatik-Paradimagtik, selanjutnya, Charles Sanders Pierce melalui konsep triadiknya yakni, Representament, Objek dan Interpretan, Kemudian Roland Bhartes dikenal dengan Mitosnya yaitu makna Konotatif, Denotatif hingga Konotasi tahap kedua, dilanjutkan olehMachael Riffaterre terkenal dengan bukunya Semiotics Of Poetry terkait dengan Matriks, Model dan Varian termasuk juga membahas tentang Hipogram, berikutnya, Umberto Eco berfokus pada interpretasi makna tanpa batas, hingga Amir Piliang seorang tokoh perumus Hipersemiotika. (Zaimar, 2014: 8-24).

Sejatinya ihkwal Semiotika Visual bukan merupakan ilmu baru jika disejajarkan dengan teori-teori sebelumnya, hanya saja Tanda Visual tersebut lebih spesifik mengacu pada penggunaan indra penglihatan dalam proses semiosisnya. Seperti yang telah dikatakan oleh Budiman, (2011:9) bahwa Semiotika Visual merupakan sebuah studi yang secara khusus menaruh minat pada penyelidikan terhadap segala jenis makna yang disampaikan melalui saranaindra lihatan (visual sense). Oleh karenanya, apabila dalam proses analisis konsisten dengan pengertian ini, maka Semiotika Visual tidak lagi terbatas pada pengkajian seni rupa (seni lukis,

(5)

5 patung, ukiran dan arsitektur semata, melainkan segala macam tanda visual.

Ruang lingkup dimensi semiotika visual lebih awal dirumuskan oleh Charles Moris meliputi, dimensi sintaktik, semantik, dan pragmatik.Persoalan di dalam dimensi sintatik berkisar pada homologi bahasa dan gambar atau lukisan (Budiman, 2011:10). Perdebatan panjang telah terjadi diantara para pakar semiotika. Hal tersebut dikarenakan masih belum disepakati istilah yang menyangkut elemen-elemen satuan terkecil untuk mengidentifikasi antara sistem-sistem tanda yang bersifat non kebahasaan terkait masalah gramatikal. Sehingga permasalahan sintatik visual perlu mecurahkan perhatian terhadap relasi-relasi rantai proses semiosis agar tidak kehilangan keutuhan makna sebuah objek (lukisan, gambar). Selanjutnya dimensi semantik dan pragmatik, pada hakikatnya isu central mengenai pemaknaan karya visual dari tataran semantik dibutuhkan serangkaian proses semiosis antara tipologi Charles Sanders Pierce dengan enam fungsi Bahasa dari Roman Jakobson.

Teori Pierce dalam (Rusmana, 2014:108-112), yang diadopsi pada analisis perspektif semiotika visual terpenting dari pemikirannya adalah tipologi objek yaitu relasi antara icon, Indeks dan simbol.

a. Icon. hubungan Representament (R) dan Object (O) yang memiliki keserupaan (similitude atau resemblance) atau “tiruan tak serupa” dengan bentuk objek (terlihat pada gambar atau lukisan). b. Indeks adalah hubungan yang

mempunyai jangkauan eksistensial. c. Simbol adalah tanda yang paling

canggih, karena sudah berdasarkan

persetujuan dalam masyarakat (konvensi).

Mengacu pada konten-konten kreatif Bahasa Bali sebagai Media Pembelajaran, secara visual sungguh sangat tepat bila analisisnya diadopsi berdasarkan pemikiran Pierce. Akan tetapi bila dalam proses visualisasi tersebut menampilkan aspek kebahasaan maka, untuk menambah kesempurnaan dalam proses pemaknaan para pakar semiotika

menyarankan untuk

mengkolaborasikan dengan rumusan fungsi Bahasa menurut Jakobson seperti berikutnya, enam fungsi struktur bahasa yaitu; (1) fungsi emotif (apabila pembicara mengarahkan ekspresi langsung dari sikapnya terhadap topik atau situasi), contohnya; “alangkah indahnya rumah itu”, (2) fungsi konatif (apabila penerima diberi tekanan agar melakukan sesuatu secara tidak langsung, dalam artian pembicara meminta perhatian untuk melakukan sesuatu), contohnya; “panas sekali ruangan ini”, (3) fungsi konteks atau refrensial (apabila tekanan diberikan pada acuan baik pengirim maupun penerima), contohnya; sebuah penonjolan peristiwa, “ kemarin ada kecelakaan di tol padaleunyi”, (4) fungsi fatik (apabila tekanan diberikan pada faktor kontak akan tetapi tidak menghasilkan pesan apapun), seperti kata “halo” dalam permulaan sebuah komunikasi sebenarnya tidak mempunyai makna tetapi mempunyai fungsi sebagai pembuka kontak, (5) fungsi metalinguistik (apabila komunikasi memberikan tekanan pada faktor kode, bahasa mempunyai fungsi metalinguistik atau fungsi sosial budaya), contohnya; “kuda adalah hewan menyusui, bertulang belakang,

(6)

6 dan berkaki empat”, (6) fungsi puitika (apabila komunikasi memberikan tekanan pada pesan, bahasa mengandung fungsi puitik atau estetis yang ditandai oleh perulangan, penyimpangan, keambiguan), contohnya; “Amin Rais adalah Rais Amin (pemimpin yang terpercaya) (Rusmana, 2014:132-136).

Keenam fungsi bahasa di atas sejalan dengan pernyataan Danesi sebelumnya tentang pencitraan mental terhadap hasil pembacaan media visual berdasarkan indra penglihatan. Beberapa contoh konten kreatif yang akan dianalisis di bawah ini.

Gambar. 1

Gambar pertama di atas di unggah oleh salah satu Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Buleleng Bapak Putu Sidang. Secara Ikonik gambar menunjukan kemiripan sosok perempuan dengan pakaian adat Bali

lengkap dengan sarana

persembahyangan menghadap sebuah pohon dengan kain berwarna putih hitam (poleng). Selanjutnya dari aspek indeksikal, gambar itu mengindikasikan telah terjadinya suatu tindakan yang mengacu pada pelaksanaan tradisi warisan nenek moyang umat Hindu di Bali, Kemudian dari sisi simbolik, simbol-simbol visual yang ditampilkan mewakili ceremonial umat hindu di Bali. Karena, pada hari

tersebut diperingatinya rangkaian upacara keagamaan. Sehingga dapat diinterpretasikan bahwa, sosok perempuan Bali yang akrab dengan keuletan mereka saat mempersiapkan sesajen ketika upacara keagamaan akan dilaksanakan. Kemudian visualisasi pohon memberikan gambaran bahwa upacara keagamaan yang dilaksanakan menyangkut tentang sujud bakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai manifestasinya dalam menciptakan pepohonan. Selain itu, berdasarkan fungsi Bahasa dari Jakobson bahwa, wacana central dalam gambar yaitu aksara Bali "tumpek wariga" dan "sarwa prani" atau tumbuh-tumbuhan mengacu pada fungsi metalingual atau mewakili fungsi budaya masyarakat Bali.

Upacara yang dilaksanakan untuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa melalui pepohonan diperingati sebagai hari raya Tumpek Wariga/Pengatag/uduh/bubuh. Tumpek Pengatag jatuh pada saniscara kliwon wuku wariga. Lontar Sundari Gama menyebutkan Tumpek Pengatag dinyatakan sebagai hari pemujaan kepada Dewa Sangkara, dalam pantheon Hindu Dewa Sangkara itu adalah Dewanya tumbuh-tumbuhan (Titib. dkk, 2015:256-266). Secara ilmiah sejatinya hari raya tumpek pengatag merupakan sebuah momentum yang diwariskan kepada generasi muda agar berusaha menjaga eksistensi flora khususnya di Bali. Kemudian, Citra mental yang ditampilkan dari segi bidang studi Bahasa Bali, pengunggah berharap agar para siswa ikut melestarikan alam beserta isinya dan selalu ingat bahwa, terdapat rangkaian upacara keagamaan Hindu di Bali berdasarkan Pawukon

(7)

7 atau terdiri dari 30 Wuku dalam perhitungan Bali.

Gambar. 2

Gambar kedua di uanggah oleh salah satu Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Jembrana Bapak Wahyu Wirayuda. Menurut relasi tanda Pierce, gambar diatas secara ikonik menunjukan bentuk tokoh punakawan dalam seni pertunjukan wayang beserta atribut-atribut dan corak warna sesuai dengan karakter masing-masing tokoh. Sementara menurut indeksikalnya, keempat nama tokoh dalam gambar dikaitkan dengan prilaku atau sifat-sifat seseorang. Kemudian simbolis penokohan dari punakawan wayang mencerminkan karakter dari Delem, Sangut, Merdah dan Tualen. Apabila nama-mana itu dirangkai dari perspektif linguistik mengacu pada sifat kemalasan ditunjukan dari gambar berikutnya seseorang kebiasaannya hanya tidur dan makan saja sehingga kurang baik untuk ditiru bagi para generasi muda.

Sesuai dengan relasi tanda visual gambar, dapat diinterpretasikan bahwa, sebagai generasi muda seyogyanya mampu bekerja secara efektif semasih produktif. Masa muda diisi dengan kegiatan-kegiatan positif supaya tidak merugikan diri sendiri, keluarga, serta masyarakat. Dalam ajaran Agama Hindu masyarakat Bali mengenal istilah Tri Guna terdiri dari Sattwam, Rajas, Tamas. Sattwam berarti sifat yang cirinya suci, hening, terang, ringan dan damai. Rajas adalah cirinya aktif, liar, buas dan tak pernah puas. Tamas yakni sifat malas, pasif, berat, lambat, dan ngantuk (Palguna, 2008:47-48). Sejatinya manusia memiliki ketiga sifat atau Tri Guna dalam dirinya akan tetapi, sebagai manusia yang berbudi hendaknya mampu menyeimbangkan ketiga sifat tersebut agar tidak didominasi oleh salah satu seperti sifat Tamas.

Apabila ditelaah kembali dari sisi fungsi Bahasa Jakobson yaitu, gambar diatas dilihat dari rangkaian kebahasaan menjadi sebuah sindiran bagi prilaku anak muda yang memiliki sifat pemalas. Karena dalam bidang studi bahasa Bali terdapat pelajaran mengenai bahasa metafora yang dikenal dengan Basita Paribasa Bali salah satunya mengacu pada jenis wewangsalan (sindiran) contohnya, "Delem Sangut Werdah Tualen, medem bangun ngamah dogen". Secara

kontekstual pengunggah

mengisyaratkan bahwa diharapkan agar para siswa tidak seperti pengandaian yang telah disebutkan kebanyakan sifat pemalas kesehariannya hanya makan tidur saja memaknai perjuangan hidup memperlajari berbagai keterampilan non akademis. Proses pembentukan karakter sangat penting ditumbuhkan

(8)

8 pada siswa baik itu melalui karya sastra ataupun beberapa contoh konten-konten menarik agar lebih mudah diserap oleh siswa. Terlebih lagi masalah karakter berkaitan dengan kejiwaan dibandingkan dengan pendidikan formal secara teori disekolah. Dua masalah penting yang memegang peranan dalam hubungan ini adalah pembawaan sebagai ciri-ciri tertentu dalam kehidupan manusia secara individual dan kesadaran sebagai kemauan untuk berubah yang ada pada setiap orang (Ratna, 2014: 549).

Gambar. 3

Gambar ketiga diunggah oleh salah satu penyuluh Kabupaten Buleleng atas nama bapak Made Diarta. Proses semiosis dalam gambar tersebut, menunjukan ikonisitas seorang anak berpakaian putih merah mengenakan dasi serta terdapat beberapa tulisan yang menunjukan identitas anggota tubuh dalam Bahasa Bali. atribut yang ditunjukan pada gambar secacra iconik merupakan refresentasi dari seorang siswa SD karena menggunakan identitas siswa SD saat memperkenalkan beberapa anggota tubuhnya. Simbol yang ditampilkan seorang siswa SD berpakaian rapi dan sopan lengkap dengan nama anggota tubuh dalam Bahasa Bali seperti, batis (kaki), jagut (dagu), peningalan (mata)

dan lainnya. Selanjutnya disampingnya terdapat kotak identifikasi antara rasa bahasa lumrah dengan bahasa halus. Sesuai relasi tanda pada gambar, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa, pengunggah bermaksud untuk memberikan pembelajaran kepada peserta didik dari segi nilai sopan santun. Disamping dari segi tata Bahasa Bali, visualisasi siswa SD secara implisit telah menunjukan karakter kesopanan berpakaian. Sebagai pendukung gambar, terselip identifikasi perbandingan antara bahasa lumrah dengan bahasa halus seperti contoh Bahasa halus dari Peningalan yaitu Penyingakan, cunguh yakni hirung.

Nilai sopan santun orang Bali terlihat dari cara berbicara dan pemilihan kata dalam berkomunikasi, sesuai dengan kode budaya atau fungsi metalingual, secara kontekstual pemilihan rasa bahasa halus dipilih apabila orang Bali berbicara dengan orang lain dengan tingkat perbedaan umur atau pada orang yang tidak dikenal. Misalnya, ketika seorang anak berbicara pada orang tuanya. Covarrubias, (2014:54) menyebutkan bahwa, variasi bahasa Bali dalam berkomunikasi ketika bertemu orang dijalan menggunakan kata (kamu) dengan istilah "jero", sebuah cara aman dan sopan untuk menegur seseorang. Kerena tidak adanya tanda luar dari gelar sesorang. Bila digunakan kata lumrah untuk mengatakan kamu dengan (cai, nyai, nani) itu akan bermakna menghina. Dengan demikian jelas bahwa tujuan dari pengunggah adalah berusaha menanamkan konsep etika berbicara sesuai kebudayaan leluhur orang Bali sejak SD.

(9)

9 III. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, ilmu semiotika visual sangat berperan dalam proses interpretasi makna konten kreatif bahasa Bali sebagai media pembelajaran. Karena dalam proses transformasi materi kedalam bentuk visual, tidak hanya sekadar memberikan pelatihan soal bidang studi Bahasa Bali semata melainkan, terdapat relasi tanda yang ingin disampaikan mewakili pesan pengunggah sesuai kebudayan orang Bali. Itulah sebabnya keberlangsungan sistem pembelajaran online tidak perlu ditanggapisecara negatif, karena beberapa aktivis akademisi telah berupaya membuat pembelajaran tersebut sekreatif mungkin tujuannya, untuk menarik minat belajar peserta didik ketika di rumah salah satunya Penyuluh Bahasa Bali.

Daftar Pustaka

Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual; Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas. Yogyakarta: Jalasutra. Covarrubias, Miguel. 2014. Pulau Bali:

Temuan yang Menakjubkan. Denpasar: Udaya University Press. Danesi, Marcel. 2017. Pesan, Tanda,

dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Diari, K. P. Y. (2020). Satua Katuturan I Kedis Sangsiah Teken I Bojog

Sumber Penguatan Karakter

Anak. Widyacarya: Jurnal

Pendidikan, Agama dan

Budaya, 3(2), 58-64.

Jauss, Hans Robert. 1983. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University Of Minnesota.

Juliawan, I Nengah dan I Wayan Juliana. 2019. Eksistensi

Pendidikan Informal Bali Aga Dalam Era Revolusi Industri 4.0 Di Desa Adat Tenganan Pegringsingan. Prosiding Seminar Nasional Dharma Acarya.

Palguna, IBM.Dharma. 2008. Leksikon Hindu. Lombok: Sadampaty Aksara.

Piliang, Yasraf Amir. 2012. Semiotika dan HiperSemiotika: Kode, gaya& matinya makna. Bandung: Pustaka Matahari.

Ratna, I Nyoman Kutha. 2014. Peranan Karya Seni, dan Budaya dalam Pendidikan Karakter. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Rusmana, Dadan. 2014. Filsafat

Semiotika: Paradigma, Teori, dan Metode Interpretasi Tanda dari Semiotika Struktural hingga Dekonstruksi Praktis. Bandung: CV Pustaka Setia.

Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar: Pustaka Larasan.

Titib, I Made, dkk. 2011. Ensiklopedi Hindu. Surabaya: Paramitha. Zaimar, Okke Kusuma Sumantri. 2013.

Semiotika dalam Analisis Karya Sastra. Jakarta: PT Komodo Books.

Widana, I Nengah Adi dan I Nengah Arimbawa. 2020. Pendidikan Karakter Anak Melaui Satua I Cempaka Mas. Widya Kumara: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini. Vol 1, No 2 (2020). ISSN 2721-5075

Zoest, Aart Van. 1993. Semiotika, Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. (Terj. Ani Soekawaty). Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

(10)

10 http://download.garuda.ristekdikti.go.id /article.php?article=1535196&val=434 4&title=TEKNOLOGI%20HOLOGRA FI%20UNTUK%20PEMBELAJARAN %20VIRTUAL%20PADA%20SEKOL AH%20MENENGAH%20KEJURUA N

Gambar

Gambar  kedua  di  uanggah  oleh  salah  satu  Penyuluh  Bahasa  Bali  Kabupaten  Jembrana  Bapak  Wahyu  Wirayuda
Gambar ketiga diunggah oleh salah  satu penyuluh Kabupaten Buleleng atas  nama  bapak  Made  Diarta

Referensi

Dokumen terkait

Prahastho:-“Kula noknon kasinggihan rama parbu, mapan kanjeng paman sampun saged ndhepani paprangan nadyan para raja sewu negara negetok kadigdayan kanoragan, parandene mboten

Hasil ini bisa dipahami bahwa variabel bauran pemasaran jasa yang berupa harga (X 2 ) secara linier sangat berkaitan dan terbukti lebih besar pengaruhnya

( Studi Deskriptif Mengenai Iklim Komunikasi Organisasi Bagian Redaksional Di Media Cetak Harian PT. Jawa Pos Surabaya

Adapun hasil wawancara dengan manajer koperasi Tirta Dharma Khatulistiwa PDAM Kota Pontianak pada hari/tanggal : Rabu, 10 Mei 2017, Waktu : 09.25 WIB, Tempat :

Penelitian ini menggunakan solusi nomor satu, yaitu dengan memasang tapis paralel ( shunt filter ) di dekat beban tak linier penyebab sumber harmonik ( harmonic

Untuk menentukan kekutan kolom dasar, beberapa kondisi perlu diasumsukan bagi sebuah kolom ideal. Sedangkan materialnya dapat diasumsikan bahwa terdapat sifat

Selanjutnya, wawancara dengan koordinator bagian pengembangan koleksi mengenai strategi dalam hal sarana dan prasarana di perpustakaan Universitas Islam Negeri

ABSTRACT: The background of this study is lack of understanding student with Arabic thesis produced by students of Arabic Education department in IAIN Pontianak FTIK. Those