• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN PROFESIONALITAS KEPUSTAKAWANAN MELALUI KNOWLEDGE SHARING Oleh : Rhoni Rodin, S.Pd.I., M.Hum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN PROFESIONALITAS KEPUSTAKAWANAN MELALUI KNOWLEDGE SHARING Oleh : Rhoni Rodin, S.Pd.I., M.Hum"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN PROFESIONALITAS KEPUSTAKAWANAN MELALUI KNOWLEDGE SHARING

Oleh : Rhoni Rodin, S.Pd.I., M.Hum

Abstrak :

Pengembangan profesionalitas kepustakawanan merupakan suatu tuntutan zaman. Dengan adanya profesionalitas yang dimiliki pustakawan diharapkan bisa memberikan pelayanan terbaik dan bermutu kepada pemustaka. Ketika kita mengharapkan kepustakawanan untuk terus eksis maka diperlukan suatu upaya untuk mewujudkan eksistensi tersebut melalui pengembangan profesionalitasnya. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengembangkan profesionalitas kepustakawanan adalah melalui knowledge sharing. Knowledge Sharing ini penting untuk meningkatkan rasa kebersamaan dan rasa memiliki diantara personalia perpustakaan untuk menciptakan team-work. Sehingga dengan adanya team-work ini diharapkan bisa mewujudkan visi dan misi perpustakaan serta menciptakan profesionalitas kepustakawanan.

Kata Kunci :

(2)

Pendahuluan

Salah satu hal yang menyebabkan keberhasilan dalam suatu kegiatan organisasi adalah adanya kebersamaan diantara personalia organisasi. Mempunyai rasa kebersamaan dan rasa memiliki terhadap suatu organisasi merupakan suatu indikator kerberhasilan suatu organisasi dalam upaya menyukseskan kegiatan organisasinya. Sehingga apabila rasa individualitas yang muncul maka suatu organisasi akan sulit untuk berkembang dan maju, karena masing-masing memikirkan kepentingan individunya. Begitu juga halnya dengan institusi yang bernama Perpustakaan ini, juga memerlukan kebersamaan dan rasa memiliki dari semua personalianya, sehingga apa yang menjadi visi dan misi Perpustakaan akan mudah untuk diwujudkan.

Untuk mewujudkan rasa kebersamaan dan rasa memiliki, maka disinilah letak urgensinya Knowledge Sharing (berbagi pengetahuan) diantara personalia perpustakaan, sehingga suatu knowldege (pengetahuan) tidak akan tertumpuk pada suatu individu. Share pengetahuan ini penting dalam menunjang pengembangan profesionalitas kepustakawan. Sebagaimana dijelaskan oleh Setiarso et.al (2008) bahwa sebagian pengetahuan itu berada dalam pikiran karyawan suatu organisasi yaitu sebesar 42%. Hal ini mengindikasikan bahwa disinilah urgensinya Knowledge Sharing pada suatu organisasi.

Di sisi lain, penulis berpendapat bahwa urgensi atau keutamaan kajian ini adalah sebagaimana kita ketahui bahwa dalam proses penciptaan knowledge diperlukan proses knowledge sharing diantara staf organisasi dalam hal ini perpustakaan. Upaya implementasi knowledge sharing ini merupakan suatu hal yang sangat sulit dan langka dalam dunia perpustakaan. Oleh karena itu, memerlukan upaya maksimal dan ekstra dari semua komponen yang ada mulai dari pimpinan sampai kepada para staf perpustakaan. Perpustakaan tidak jauh beda dengan perusahaan, hanya saja perpustakaan bersifat non-profit, oleh karena itu dalam prakteknya kegiatan knowledge sharing ini sangat diperlukan dalam rangka menunjang kegiatan dan aktivitas di perpustakaan.

Di sisi lain kita ketahui bahwa bergesernya kebutuhan organisasi dari kebutuhan material ke informasi merupakan salah satu pendororng maraknya implementasi knowledge management dan knowledge sharing. Di masa lampau organisasi bergantung pada sumber daya alam, tenaga kerja (labor), mesin-mesin, dan kapital. Akan tetapi sekarang organisasi sangat bergantung pada kemampuan

(3)

knowledge worker yang mereka miliki. Knowledge aset telah menggeser aset-aset berupa tanah, buruh, dan kapital. Sehingga Davenport & Prusak menyatakan bahwa organisasi modern menyadari bahwa aset yang paling berharga adalah pengetahuan yang dimiliki oleh staf-nya (Davenport & Prusak, 1998), oleh karena itu wajar jika knolwledge management berkembang pesat dan melalui konsep knowledge management inilah organisasi berusaha memperkuat organizational knowledge demi keberlangsungan organisasi.

Tidak banyak organisasi yang mengetahui dan sadar bahwa terdapat potensi pengetahuan tersembunyi di dalam organisasi. Menurut Setiarso et.al (2008) menyatakan bahwa Delphi Group pada tahun 1997 melakukan riset tentang komposisi pengetahuan yang tersimpan pada :

- 42% di pikiran karyawan - 26% dalam dokumen kertas - 20% dalam dokumen elektronik - 12% dalam knowledge-base elektronik.

Pengetahuan yang tersimpan di dalam pikiran anggota organisasi adalah tacit knowledge. Menurut Filos (2008) tacit knowledge bersifat personal, sebuah kombinasi antara pengalaman dan intuisi, serta tidak banyak perusahaan dapat mengcapture dan mengkomunikasikan pengetahuan tersebut. Komitmen individu di dalam organisasi menjadi faktor penentu, sehingga perlu diciptakan kepercayaan dan loyalitas di antara individu dan organisasi agar pengetahuan tersebut dapat tersebar luas di dalam organisasi. Menurut Setiarso et.al (2008), tacit knowledge memang sangat sulit dibagi ke orang lain, dan dokumentasi menjadi faktor penting dalam mengubah tacit knowledge menjadi explicit knowledge. Tanpa dokumentasi, tacit knowledge tidak akan berarti dan menjadi sulit diakses oleh siapapun dan kapanpun di dalam organisasi.

Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk melihat bagaimana pengembangan profesionalitas kepustakawanan melalui knowledge sharing.

Kompetensi Pustakawan

Dalam Undang-undang No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan dinyatakan bahwa pustakawan adalah seorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung

(4)

jawab untuk melaksanakan pengelolaan fasilitas layanan perpustakaan. Keberadaan pustakawan dalam suatu organisasi perpustakaan memiliki kedudukan yang penting karena pustakawan memiliki keterampilan tersendiri berdasarkan tingkat pendidikan profesi yang dimilikinya.

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, begitu pula dengan kemajuan teknologi informasi yang sangat cepat, maka dibutuhkan pustakawan yang memiliki kompetensi agar dapat memberikan pelayanan yang prima dan bernilai, sehingga perpustakaan tidak hanya membutuhkan pencapaian produktivitas kerja yang tinggi tetapi lebih pada kinerja pustakawan dalam proses pencapaiannya. Penekanannya disini yang menjadi kata kunci dalam definisi tersebut karena siapapun individu, asal memiliki kompetensi dan bekerja di perpustakaan tanpa memandang perpustakaan negeri maupun swasta dapat masuk menjadi pustakawan.

Sedangkan pustakawan merupakan suatu profesi karena pustakawan merupakan pekerjaan yang memerlukan pendidikan atau pelatihan khusus. Kinerja setiap kegiatan dan individu pustakawan merupakan kunci pencapaian produktivitas. Karena kinerja adalah suatu hasil dimana orang-orang dan sumber daya lain yang ada dalam perpustakaan secara bersama-sama membawa hasil akhir yang didasarkan pada tingkat mutu dan standar yang telah ditetapkan. Konsekuensinya adalah perpustakaan memerlukan sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan kemampuan yang unik sesuai dengan visi dan misi perpustakaan dan lembaga induknya. Dimana visi perpustakaan perguruan tinggi adalah menjadi perpustakaan unggulan berbasis teknologi informasi, sedangkan misi perpustakaan perguruan tinggi adalah mampu memberikan layanan yang terbaik dan mempunyai produk unggulan untuk bersaing dan mengembangkan kelangsungan operasional perpustakaan secara efektif dan efisien, serta ditandai dengan adanya keragaman koleksi tercetak maupun elektronik, layanan berbasis website, memiliki link dengan perpustakaan lain baik nasional maupun internasional serta didukung oleh pustakawan handal.

Peran Pustakawan dalam mengembangkan kompetensi dalam dirinya dilakukan agar dapat memberikan hasil yang sesuai dengan tujuan dan sasaran organisasi dengan standar kinerja yang telah ditetapkan. Peran yang utama adalah sebagai pengorganisasian bahan pustaka bagi pemenuhan kebutuhan pengguna dan sebagai pembimbing tentang cara-cara bagaimana menggunakan bahan pustaka yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan pengguna. Dengan kata lain

(5)

keberadaan pustakawan di perpustakaan perguruan tinggi di perlukan untuk mendayagunakan bahan pustaka yang dimiliki secara maksimal. Untuk mewujudkannya, maka pustakawan harus mampu dan selalu berusaha membangun atau mengembangkan kinerjanya kearah yang lebih baik lagi dengan lebih memperhatkan kualitas layanan terhadap panggunannya.

Untuk keperluan ini maka diperlukan peningkatan dan dukungan dari organisasi induknya antara lain: (1) Digital Libraries, koleksi, sarana dan prasarana, akses yang mudah dan pengguna yang mandiri; (2) Teknologi informasi dimanfaatkan secara optimal oleh pustakawan untuk pengelolaan informasi dan kerjasama dengan pihak lain; (3) Pustakawan harus termotivasi dengan perubahan yaitu terus belajar, berkreasi dan berinovasi; (4) Kehandalan pustakawan sangatlah diperlukan untuk integrasi system, program, dana, kerjasama, pengelolaan koleksi dan sebagainya. Pada saat ini yang dibutuhkan adalah pengembangan profesionalisme dan kemandirian pustakawan dengan membina kompetensinya.

Kemudian mengenai pengertian istilah Kompetensi. Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan: pasal 1 (10) kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Menurut Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 46 A Tahun 2003 tanggal 21 Nopember 2003, kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki seorang Pegawai Negeri Sipil berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat melaksanakan tugasnya secara professional, efektif dan efisien.

Kompetensi dapat pula didefinisikan sebagai “an underlying characteristic’s of an individual which is casually related to criterion-referenced effective and or superior performance in a job or situasion.” (Akbar dalam Mitrani et al,1992; Spencer and Spencer, 1993). Atau karakteristik yang mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektivitas kinerja individu dalam pekerjaanya.

Menurut Jackson & Schuler, 2003 sebagaimana dikutip Akbar bahwa Kompetensi dapat diartikan pula sebagai keahlian, pengetahuan, dam kemampuan serta karakteristik lain yang dibutuhkan seseorang untuk melakukan tugas/pekerjaan dengan efektif. Dari pengertian diatas maka kompetensi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan tugas yang

(6)

mencakup pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku. Oleh karena itu kompetensi tidak dapat lepas dari kegiatan kerja secara professional seorang pustakawan.

Sebelum menginjak pada kompetensi pustakawan kita perlu mengetahui apa ciri-ciri dari suatu profesi menurut pendapat Sulistyo-Basuki (1991). Ada beberapa ciri dari suatu profesi antara lain: “(1) adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian; (2) terdapat pola pendidikan yang jelas; (3) adanya kode etik profesi; (4) berorientasi pada jasa; (5) adanya kemandirian”.

Menurut Abraham Flexner, seperti yang dikutip oleh Nasihuddin, suatu profesi paling tidak harus memenuhi 6 persyaratan, sebagai berikut : “(1) profesi itu merupakan pekerjaan intelektual. Maksudnya menggunakan intelegensi yang bebas yang diterapkan pada problem dengan tujuan untuk memahami dan menguasainya. (2) profesi merupakan pekerjaan saintifik berdasarkan pengetahuan yang berasal dari sains. (3) Profesi merupakan pekerjaan praktikal, artinya bukan melulu – teori – akademik tetapi dapat diterapkan dan dipraktekkan. (4) Profesi terorganisir secara sistematis. (5) Ada standar cara melaksanakannya dan mempunyai tolok ukur hasilnya. (6) profesi merupakan pekerjaan altruisme yang berorientasi pada masyarakat yang dilayaninya bukan kepada diri professional”.

Adapun profesionalisme pustakawan hanya dapat dimiliki seorang pustakawan tingkat ahli/professional atau pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk pengangkatan pertama kali serendah-rendahnya sarjana perpustakaan, dokumentasi dan informasi atau sarjana bidang lain yang disetarakan.

Sedangkan profesionalisme pustakawan menurut Rusmana sebagaimana dikutip Aliyyul Akbar, adalah “pelaksanaan kegiatan perpustakaan yang didasarkan pada keahlian, rasa tanggung jawab dan pengabdian, adapun mutu dari hasil kerja dilakukan tidak akan dapat dihasilkan oleh tenaga yang bukan pustakawan, dikarenakan pustakawan memiliki jiwa keprofesionalan terhadap pekerjaanya akan selalu mengembangkan kemampuan dan keahliannya untuk memberikan hasil kerja yang lebih bermutu dan selalu memberikan sumbangan yang besar kepada masyarakat pengguna perpustakaan”.

Pustakawan harus memiliki kemampuan mengelola informasi dengan baik mencakup kegiatan antara lain:

1. Coleccting of information

Pengumpulan bahan pustaka tidak harus menyimpannya didalam ruangan/rak tetapi pustakawan tahu di mana informasi tersebut berada dan bagaimana cara

(7)

mengaksesnya sesuai kebutuhan pengguna. Menurut Stueart & Moran dalam Damayani, 2002. Menjelaskan bahwa telah terjadi pergeseran paradigma pada sumber-sumber informasi seperti perpustakaan harus memiliki sendiri koleksinya dan disimpan dalam satu bentuk media, maka dewasa ini koleksi perpustakaan ada yang bersifat virtual dan disimpan dalam berbagai bentuk media. Perubahan ini juga memerlukan kesiapan mental untuk berbagi informasi dengan yang lain juga kesadaran adanya desentralisasi informasi. Oleh karena itu literasi informasi merupakan kemampuan penting yang harus dimiliki oleh pustakawan agar dapat merujuk informasi secara akurat.

2. Processing of information

Pustakawan harus memiliki pengetahuan, keterampilan dalam memproses dan mengolah informasi agar mudah ditemukan kembali apabila dibutuhkan oleh pengguna. Sistem informasi yang digunakan hendaknya berwawasan lingkungan dan user friendly, tak kalah penting pustakawan harus memiliki pengetahuan cara pengunaan/pengoperasian teknologi informasi dan komunikasi.

3. Disseminating of information

Pustakawan harus memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap perilaku melaksanakan penelitian atau kajian pengguna agar mengetahui dan memperoleh gambaran yang jelas tentang karakteristik pengguna agar tepat sasarannya. Penyebaran informasi yang tadinya layanan pasif menjadi aktif menekankan pada nilai tambah informasi yang disediakan/ditawarkan oleh perpustakaan dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh pengguna dan mendapatkan masukan untuk memenuhi harapan dan kepuasan pengguna.

4. Preserving of information

Menyelamatkan dan mengoptimalkan hasil pemikiran manusia yang terekam dan terdokumentasikan dengan baik, agar pendayagunaan usia koleksi/informasi dapat bertahan lebih lama mulai dari seleksi, akuisisi, penyimpanan dan desiminasi koleksi dengan tujuan menyelamatkan/merawat nilai informasi untuk menghindari/meminimalkannya dari kerusakan. Dan tak kalah pentingnya soft skill berupa kemampuan membangun relasi, interaksi dan bekerjasama dengan orang lain dalam mengelola informasi, seperti communication skill, interpersonal skill, entrepreneurship, leadership.

Selain kemampuan seperti tersebut di atas pustakawan juga dituntut memiliki beberapa keterampilan antara lain:

(8)

1. Adaptability

Pustakawan hendaknya cepat berubah menyesuaikan keadaan yang menantang seperti memanfaatkan teknologi informasi, di mana dalam memberikan informasi tidak bergantung pada koleksi di rak, tetapi memanfaatkan informasi yang actual melaui internet.

2. People skills (soft skill)

Pustakawan adalah mitra intelektual yang memberikan jasa kepada penggunanya, mampu berkomunikasi dengan baik secara lisan maupun tertulis. People skills dapat dikembangkan dengan membaca, mendengarkan secara positif informasi melalui bahan pustaka elektronik/teknologi media, bergabung/berkenalan dengan masyarakat dan organisasi positif dan diterapkan, diaplikasikan dalam kegiatan sehari-hari.

3. Berpikir positif

Pustakawan harus dapat menguasai kegiatan apapun yang dihadapinya secara positif, dan dapat menyelesaikan dengan tepat dan benar, mempunyai pikiran yang positif agar kegiatan sesulit apapun dapat mengatasinya dengan tenang.

4. Personal added value

Pustakawan harus mempunyai nilai tambah, tidak hanya mampu menguasai pekerjaan rutin tetapi dapat membimbing, menelusur dan mencarikan informasi melalui teknologi digital.

5. Kewirausahaan

Pustakawan harus berwawasan wirausaha/bisnis di mana informasi yang dikelolanya dapat mendatangkan income bagi institusi, sehingga pustakawan mendapatkan citra yang positif dalam melakukan kegiatannya, semakin hari semakin cerdas dan mempunyai wawasan yang luas.

6. Team work and sinergi

Pustakawan harus dapat bekerja secara tim antara satu bagian dengan bagian yang lain, saling membantu, mendukung, melengkapi dan bekerjasama dalam mengolah informasi yang dimilikinya.

Demikian beberapa kompetensi dan keterampilan yang harus dimiliki oleh para pustakawan dalam rangka menunjang efektifitas keprofesionalan pustakawan. Kesemua hal ini berangkat dari pemahaman para pustakawan akan profesinya. Kemudian berpijak dari kompetensi yang harus diterapkan sebagai seorang profesional di bidang kepustakawanan.

(9)

Knowledge Sharing

Di dalam sebuah kelompok manusia, mungkin saja ada satu atau dua orang yang berpengetahuan lebih dari orang lainnya, mungkin saja seorang pemimpin di sebuah organisasi berpengetahuan lebih banyak dari pada yang dimiliki oleh anggota organisasinya. Tetapi untuk memastikan bahwa si pemimpin memiliki ” pengetahuan yang lebih” maka para anggota itu pun harus tahu pengetahuan apakah yang dimiliki pemimpinnya, dengan kata lain anggota itu harus punya pengetahuan tentang pengetahuanpemimpin mereka. Dan jika seseorang telah melepas pengetahuannya kepada orang-orang lain, atau orang teresebut telah meraih/mendapatkan pengetahuan dari seseorang tidaklah mungkin pengetahuan itu berkurang. Seorang pemimpin yang berhasil artinya telah melepaskan pengetahuan yang dipunyai untuk dimiliki oleh anggota-anggotanya, namun si pemimpin tidak pernah kehilangan pengetahuan itu, justru sebaliknya, pengetahuan si pemimpin menjadi semakin besar karena kini pengetahuan itu tidak hanya ada di dirinya sendiri melainkan ada di seluruh anggotanya. Seringkali pengetahuan yang dimiliki bersama-sama oleh anggota organisasi dan masih berada di kepala masing-masing, dan baru terlihat jika mereka secara bersama-sama melakukan sesuatu pekerjaan tertentu.

Seringkali kita lihat sebagai pengetahuan bersama itu adalah kegiatan bersama atau kerjasama, misalnya pengetahuan yang dimiliki oleh para pemain, pelatih dan manajer Timnas U-19 sehingga mengantarkan menjadi juara AFF U-19. Kita tidak bisa melihat pengetahuan perorangan di Timnas tersebut ketika mereka mencetak gol demi gol, tidak bisa melihat pengetahuan Ilham Udin Armayn semata dibandingkan dengan pengetahuan Evan Dimas Darmono yang menempati posisi gelandang serang, tapi ketika terjadi sebuah gol yang kita lihat adalah kerjasama antar pemain.

Sebuah organisasi atau sebuah perusahaan atau apapun dapat bekerja sama jika memiliki pengetahuan bersama yang tertanam dibenak masing-masing anggotanya dan terwujud dalam praktek-praktek yang melibatkan semua anggotanya. Tanpa pengetahuan bersama itu, tidak akan ada pengetahuan sama sekali yang dimiliki oleh siapapun diantara mereka, jika yang terakhir terjadi maka yang tampak adalah tidak berpengetahuan belaka, walaupun masing-masing orang mungkin menggangap bahwa diri mereka berpengetahuan.

Davenport dan Prusak memberikan metode mengubah informasi menjadi pengetahuan melalui kegiatan yang dimulai dengan huruf C : comparation,

(10)

consequences, connections dan conversation. Dalam organisasi, pengetahuan diperoleh dari individu-individu atau kelompok orang-orang yang mempunyai pengetahuan,atau kadang kala dalam rutinitas organisasi. Pengetahuan diperoleh melalui media yang terstruktur seperti: buku, dokumen,hubungan orang ke orang yang berkisar dari pembicaraan ringan sampai ilmiah. Pengetahuan merupakan suatu yang eksplisit sekaligus tacit, beberapa pengetahuan dapat dituliskan di kertas, diformulasikan dalam bentuk kalimat-kalimat, atau diekspresikan dalam bentuk gambar. Namun ada pula pengetahuan yang terkait erat dengan perasaan, keterampilan, dan bentuk bahasa utuh, presepsi pribadi, pengalaman fisik, petunjuk praktis, dan intuisi, dimana pengetahuan terbatinkan seperti itu sulit sekali digambarkan kepada orang lain.

Penciptaan pengetahuan secara efektif tergantung pada konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan tersebut yaitu konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaaan pengetahuan yang dimunculkan oleh hubungan-hubungan. Seringkali ada berbagai asumsi yang salah tentang knowledge management, tiga diantara asumsi itu adalah 1). jika infrastruktur teknologi informasi sudah dibangun, maka dengan senang hati berbagi pengetahuan antar sesama, 2). teknologi informasi dapat menggantikan kekuatan percakapan langsung dan memperlancar pertukaran pengetahuan, 3). sebuah organisasi harus terlebih dahulu membangun infrastruktur teknologi dan kultur belajar sebelum bisa belajar. Ketiga asumsi itu seringkali mengabaikan kenyataan bahwa KM sesungguhnya berawal dari satu kata yaitu : berbagi-bersama (share).

Tidak seluruh pengetahuan dengan serta merta dibagi bersama. Pengetahuan yang paling sering dibagi-bersama adalah pengetahuan praktis (know-how) sebuah organisasi, bukan pengetahuan teoritis (know-what). Berbagi bersama pengetahuan praktis ini sangat berguna jika dilakukan dalam konteks kegiatan bersama (team-work). Sangatlah penting bagi suatu organisasi untuk membedakan, mana pengetahuan pribadi dan mana pengetahuan kolektif yang diperlukan untuk kepentingan bersama. Secara umum ada lima jenis kegiatan berbagi-pengetahuan yaitu:

1. di dalam satu kelompok untuk pekerjaan rutin yang serupa dan terus menerus; 2. antar dua atau lebih kelompok yang berbeda tetapi melakukan pekerjaan yang

hampir sama;

3. antar dua atau lebih kelompok, tetapi yang dibagi bersama adalah pengetahuan tentang pekerjaan non-rutin;

(11)

4. antar organisasi dalam rangka kelangsungan hidup bersama;

5. dari luar kelompok, ketika menghadapi persoalan yang belum pernah mereka jumpai sebelumnya. (Setiarso, h. 7)

Seiring makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari masa ke masa, semakin banyak pula inovasi yang mampu dihasilkan oleh manusia. Fenomena hadir dan berkembangnya suatu inovasi merupakan bentuk konsekuensi logis dari adanya dinamika masalah dan kebutuhan hidup manusia yang selalu hadir dan semakin meningkat (Suwarno, 2008 : h. 2). Dalam rangka menjaga supaya proses inovasi terus berkembang dan berkesinambungan maka dibutuhkan adanya sarana atau kegiatan yang mampu memfasilitasi setiap individu atau anggota suatu organisasi untuk dapat menyampaikan gagasan atau idenya. Hal ini disebabkan sebagaimana menurut Riset Delphi Group menunjukkan bahwa pengetahuan atau knowledge dalam organisasi tersimpan dalam struktur antara lain 42 % di pikiran atau otak karyawan, 26 % dokumen kertas, 20 % dokumen elektronik dan 12 % knowledge base elektronik (Setiarso, 2009: h. 8). Artinya sebesar 42 % pengetahuan yang masih berada di pikiran atau otak masing-masing individu inilah yang perlu mendapatkan ruang atau sarana sehingga dapat disampaikan atau dikomunikasikan kepada orang lain. Sehingga tidak hanya menambah pengetahuan atau informasi orang tersebut namun juga bisa mendorong memunculkan lahirnya suatu ide atau gagasan baru untuk menciptakan produk atau sistem baru atau juga melakukan perbaikan pada produk atau sistem yang lama. Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan suatu organisasi adalah dengan berbagi pengetahuan atau knowledge sharing.

Knowledge sharing adalah tahapan disseminasi (penyebaran) dan penyediaan knowledge pada saat yang tepat untuk karyawan yang membutuhkan (Tobing, 2007, hal: 9). Knowledge sharing dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya secara tatap muka (face to face) misalnya rapat, diskusi, pertukaran dokumen, training atau diklat, hingga melalui media intranet atau internet. Dengan kegiatan knowledge sharing, seseorang dapat menshare atau membagikan seluruh pengetahuan yang dimilikinya kepada orang lain sehingga bermanfaat baik untuk orang lain ataupun organisasinya. Hal ini juga didukung oleh pendapat dari Lin (2006) yang menyatakan bahwa melalui best practices transfer atau penyebaran pengetahuan terbaik yang dimiliki oleh karyawan atau employees dalam satu departemen atau unit bisa bermanfaat bagi employees lainnya dalam departemen atau unit yang sama atau yang berbeda (Pasaribu, 2009 : hal.33)

(12)

Knowledge Sharing adalah tahapan disseminasi dan penyediaan Knowledge pada saat tepat untuk karyawan yang membutuhkan. Knowledge Sharing didefinisikan sebagai aktivitas mentransfer atau menyebarkan pengetahuan dari seseorang, grup atau organisasi ke orang, grup atau organisasi yang lain (Lee : 2001). Proses terjadi tergantung pada lingkungan terjadinya sharing tersebut. Indikator dapat terlaksananya Knowledge Sharing :

a. Terjadinya dan terbentuknya team work dalam sebuah permasalahan dan diskusi serta tercipata budaya kerja yang tepat.

b. Melakoni proses learning by doing, sharing akan terbentuk dengan keadaan yang ada yang menuntut untuk saling berbagi pengetahuan.

c. Adanya rasa bersaing dan berkompetisi antar instansi untuk dapat mewujudkan instansi yang menyediakan berbagai informasi dengan penerapan Knowledge Sharing.

d. Kecepatan dan kelambatan penerimaan dan penyampaian Knowledge dapat menjadi penghambat dan pendorong proses Knowledge Sharing di perpustakaan.

e. Rasa motivasi dari pustakawan sendiri untuk melayani pemustaka yang ada dan membutuhkan informasi.

Disamping itu, kegiatan knowledge sharing memiliki pengaruh penting dalam upaya peningkatan inovasi individu. Menurut WP2 Partners (2002) menjelaskan bahwa knowledge sharing dapat mempercepat inovasi dengan memfasilitasi terjadinya sinergi dan pengkombinasian gagasan dengan mempertimbangkan semua masukan yang tersedia secara simultan. Pendapat tersebut didukung oleh Lin (2007) yang menyatakan jika perusahaan yang mampu mendorong karyawannya untuk mengkontribusikan knowledge yang dimiliki ke dalam kelompok organisasi akan memiliki peluang yang lebih besar untuk meningkatkan kemampuan karyawannya dalam menciptakan ide-ide baru dan mengembangkan peluang bisnis baru yang pada gilirannya aktivitas tersebut akan mendorong pengembangan dan peningkatan inovasi individu atau karyawan (Aulawi, 2009).

Pengembangan Profesionalitas Kepustakawanan Melalui Knowledge Sharing di Perpustakaan

Pengimplementasian knowledge management tidak bisa terlepas dari kegiatan knowledge sharing. Dimana kemauan untuk membagi pengetahuan antar individu

(13)

sangat diperlukan dan dari pengetahuan individu-individu disimpan sebagai pengetahuan organisasi. Budaya individualisme harus sudah mulai ditinggalkan, ilmu yang dimiliki individu sudah mulai di-sharing ke para kolega demi kemajuan organisasi. Sehingga dengan adanya knowledge sharing dimungkinkan terciptanya ide-ide baru terutama dalam hal peningkatan nilai jual, kualitas produk serta kinerja.

Pengetahuan adalah salah satu aset paling bernilai dari sebuah organisasi dan factor penting dalam kompetisi. Siakas dan Giorgiadou (2008) menyebutkan bahwa organisasi menempatkan pengetahuan sebagai faktor penting di dalam pembentukan, penggunaan, dan distribusi informasi untuk memperkuat modal pengetahuan di dalam organisasi tersebut dalam persaingan global. Kemampuan organisasi belajar, beradaptasi, dan berubah menjadi kompetensi inti untuk tetap bertahan. Organisasi yang sukses adalah organisasi yang berhasil menciptakan pengetahuan baru, menyebarkannya di dalam organisasi dan mendorong penciptaan produk dan layanan baru.

Lee berpandangan (2005) bahwa perpustakaan di sebuah institusi memiliki nilai dan orientasi untuk mendukung tujuan organisasi. Untuk itu, perpustakaan harus melakukan berbagai langkah yang sesuai dengan pengelolaan pengetahuan dalam organisasi tersebut. Langkah itu diantaranya adalah manajamen sumber daya pengetahuan, berbagi sumber daya dan jaringan, pengembangan teknologi informasi, layanan pengguna, dan manajemen sumber daya manusia di perpustakaan.

Agar pengetahuan tetap memberi manfaat dalam jangka panjang, sebuah organisasi harus menyadari keberadaan pekerja, pencipta pengetahuan, dan penggunanya agar berbagi pengetahuan (knowledge sharing) dapat berjalan efektif dan inovasi dapat terus muncul. Menurut Saenz, Aramburu, dan Rivera (2010) “penciptaan pengetahuan merupakan proses berkelanjutan dari seorang individu yang memiliki keterbatasan pengetahuan kemudian memperoleh pengetahuan baru”. Dengan interaksi dan knowledge sharing, antar individu, individu tersebut akan memiliki pandangan dan pengetahuan baru untuk menghadapi masalah yang akan terjadi. Dalam konteks organisasi, dorongan pada penciptaan pengetahuan dan inovasi akan membentuk perubahan ide dan pengalaman pada anggota organisasi tersebut.

Implementasi knowledge sharing sebagai bagian dari knowledge management di Indonesia sudah mulai dijalankan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di berbagai bidang seperti perusahaan jasa, telekomunikasi, infrastruktur, produksi, dan jenis perusahaan lainnya. Perusahaan-perusahaan tersebut menggunakan berbagai

(14)

pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan budaya masing-masing perusahaan (Fatwan. 2009). Dalam konteks tersebut, implementasi di perpustakaan menjadi salah satu kasus yang penting mengingat jenis perpustakaan memiliki ciri cakupan layanan yang luas.

Ada satu artikel penelitian yang berjudul Managing And Sharing Knowledge In Academic Libraries. Artikel ini ditulis oleh Nazim (2012). Dalam penelitiannya mereka menyimpulkan bahwa dari pengambilan sampel secara terbatas studi tersebut, tampak bahwa jenis strategi yang digunakan di perpustakaan akademik adalah kodifikasi dan personalisasi dengan sedikit dominasi kodifikasi atas personalisasi. Namun, beberapa elemen dari kedua strategi kodifikasi dan personalisasi tidak sedang digunakan oleh perpustakaan. Data Mining, Knowledge Discovery Tools, Benchmarking, praktik terbaik, Kelompok Kerja, Komunitas praktek, Videoconference, Direktori Keahlian dan Story Telling diakui sebagai alat penting dan praktek manajemen pengetahuan, tetapi mereka tidak banyak digunakan di perpustakaan akademik yang disurvei. Internet, Intranet, Telepon / telekonferensi, Search Engine dan Sistem Manajemen Dokumen / Manajemen Konten yang paling sering menggunakan alat-alat dan praktek di perpustakaan akademik. Dengan demikian, perpustakaan hanya menggunakan alat-alat dan praktik yang mudah diakses dan pustakawan sadar dengan penggunaan mereka.

Selanjutnya Nazim (2012) menjelaskan bahwa penelitian di masa depan harus mencakup sampling yang lebih besar dan meneliti masalah yang lebih konkret pelaksanaan strategi manajemen pengetahuan di perpustakaan akademis seperti faktor-faktor apa mempengaruhi penggunaan kedua kodifikasi dan strategi personalisasi dan mengembangkan model baru strategi KM untuk perpustakaan akademik.

Berbagi pengetahuan antar pegawai khususnya di lingkungan perpustakaan itu sendiri pun penting untuk dilakukan. Karena dengan adanya sharing maka seorang pegawai akan bertambah wawasannya tentang kegiatan-kegiatan yang ada di lingkup kerjanya. Kegiatan ini bisa dilakukan secara rutin tergantung pada kebijakan dari pimpinan perpustakaan.

Sharing ini dilakukan dalam rangka keberlangsungan suatu lembaga. Sebagai contoh seorang karyawan yang ahli dalam bidang otomasi perlu berbagi pengetahuan dengan karyawan bidang sirkulasi dan pelayanan. Karena kalau seandainya ada kendala menyangkut otomasi ini, sedangkan karyawan yang paham otomasi sedang

(15)

dinas luar, maka karyawan yang telah mendapat sharing pengetahuan tadi sekurang-kurangnya bisa memahami kendala yang sedang ia hadapi.

Berbagi pengetahuan ini membawa banyak nilai positif bagi organisasi, selain untuk menambah pengetahuan, juga sebagai sarana komunikasi antar pegawai. Komunikasi ini penting juga dalam keberlangsungan organisasi, karena tanpa adanya komunikasi antar pegawai maka kegiatan suatu organisasi tidak akan berjalan dengan baik disebabkan masing-masing pegawai bersifat individualitas dan mementingkan ego masing-masing. Maka dari itu stakeholder hendaknya memberikan kesempatan sharing ini selain untuk berbagi pengetahuan juga untuk mempererat tali silaturrahim antar pegawai.

Dalam melaksanakan sharing rutin ini sudah seharusnya menjadi schedule yang sudah terjadual secara matang dalam perpustakaan. Bahkan harus dijadikan program kegiatan rutin. Bila perlu perpustakaan menjadi pelopor kegiatan sharing untuk unit-unit yang lainnya. Dari kegiatan ini diharapkan pengetahuan yang ada bisa terserap secara komprehensif di seluruh unit.

Penciptaan budaya knowledge sharing bukanlah hal yang mudah dimana individu cenderung memiliki kebanggaan jika berhasil memecahkan suatu masalah sendiri tanpa meminta nasehat dari pihak lain (Skyrme, 2008). Hal inilah yang menjadi salah satu penghambat proses sharing. Kondisi ini didukung dengan pemahaman knowledge is power yang ditanamkan oleh individu selama beberapa tahun ini bahwa siapa yang mempunyai knowledge dialah yang berkuasa maka banyak individu yang menyimpan pengetahuan/ knowledge mereka untuk kepentingan sendiri. Selain itu banyak juga individu yang enggan men-sharing pengetahuan dan keahliannya karena mereka tidak merasakan keuntungan dari kegiatan tersebut. Beberapa individu enggan bersharing karena mereka takut jika keahliannya jatuh ke tangan kolega dan kehilangan exclusivisme di mata pemimpin.

Menurut Robertson (2004), knowledge sharing sangat penting tetapi banyak staf yang mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan knowledge sharing seperti apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara untuk men-sharing knowledge. Ketika istilah knowledge sharing muncul dalam organisasi mungkin staf berpikir pengetahuan apa yang harus di-sharing dan bagaimana cara men-sharingnya, inilah pertanyaan yang timbul dalam proses knowledge sharing, untuk mengatasi hal ini menurut Anna (2011) maka seorang manajer haruslah mempunyai panduan yang lengkap dan banyak memberikan contoh-contoh praktis bagaimana ber-sharing

(16)

pengetahuan dalam organisasi. Hal ini bisa disosialisasikan melalui rapat staf, membentuk tim khusus yang mampu menerapkan dan membantu selama proses berlangsungnya knowledge sharing, atau memberikan seminar mengenai knowledge sharing.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulakan bahwa untuk memajukan dan mengembangkan profesionalitas kepustakawanan diperlukan suatu upaya maksimal untuk mengaplikasikan knowledge sharing di Perpustakaan. Suatu organisasi yang bernama Perpustakaan tidak akan bisa berjalan kegiatannya tanpa adanya rasa kebersamaan dan rasa memiliki diantara semua personalia yang ada. Oleh karena itu, rasa kebersamaan dan rasa memiliki tersebut bisa diwujudkan melalui knowledge sharing antar personalia perpustakaan.

Ada beberapa alternatif implementatif yang bisa dilakukan dalam rangka untuk profesionalitas kepustakawanan, yaitu melalui :

- Pertemuan/ diskusi/ seminar ilmiah - Pertemuan/rapat rutin

- Melalui media sosial elektronik

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Aliyyul. Kompetensi dan Peran Perpustakaan Perguruan Tinggi. Diunduh dari http://aliyyulakbar.blogspot.com/2013/02/kompetisi-dan-peran-perpustakaan.html tanggal 10/05/14

Anna, Nove E. Variant. (2011). Peran pemimpin dalam menciptakan knowledge sharing di organisasi,dalam Jurnal PALIMPSEST Tahun II, Nomor 2, Desember 2010-Mei 2011.

Aulawi, Hilmi, et al. 2009. Hubungan Knowledge Sharing Behaviour Dan Individual Innovation Capability.Jurnal Teknik Industri, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp 174-187, ISSN 1411-2485

Davenport, T. H. & Prusak, L. (1998). Working Knowledge: How Organizations Manage What They Know. Boston : Harvard Business School Press.

(17)

Filos, Erastos (2008). Smart Organization in The Digital Age. In Jennex, Murray E. (Ed). Knowledge Management : Concept, Methodologies, Tools, and Application. (vol. 1, pp.48-72). Hershey : Information Science Reference.

Indonesia. Undang-undang No. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan.

Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Lee, Hwa Wei (2005). Knowledge Management and The Role of Libraries. 3rd China-US Library Conference. Shanghai,Cina.

Nasihuddin, Wahid. Menumbuhkan Kompetensi dan Profesionalisme Pustakawan:

Sebuah Catatan. Diakses dari http://agafur903.blogspot.com/2013_02_01_archive.html, pada tanggal

01/05/2014.

Nazim, Mohammad and Mukherjee, Bhaskar. (2012). Managing And Sharing Knowledge In Academic Libraries, in Journal of Knowledge Management Practice, Vol. 13, No. 2, June 2012. Banaras Hindu University, Varanasi, India. diunduh dari http://www.tlainc.com/articl305.htm pada tanggal 25/06/2014 Pasaribu, Manerep, 2009. Knowledge Sharing : Meningkatkan Kinerja Layanan

Perusahaan, PT Elex Media Komputindo Kompas Gramedia, Jakarta.

Robertson, J. (2004). Knowledge sharing should be avoided. http://www.steptwo.com.au/papers/cmb_knowledgesharing / indexs.html. diunduh tanggal 16/11/2013

Saenz, J.,Aramburu,N.,Rivera,O. (2010) Exploring the Links between Structural Capital, Knowledge Sharing, Innovation Capability, and Business Competitiveness : An Empirical Study. In Harorimana, Deogratius (Ed). Cultural Implications of Knowledge Sharing, Management and Transfer.(pp.321-354). Pennsylvania : Information Science Reference.

Setiarso, Bambang., et.al (2008). Penerapan Knowledge Manajemen Pada Organisasi. Yogyakarta : Graha Ilmu.

---. Berbagi Pengetahuan: Siapa yang Mengelola Pengetahuan ? dalam Ilmu Komputer.com. diunduh dari http://eprints.rclis.org/8261/1/bse-berbagi.pdf pada tanggal 09/06/2014.

Skyrme, DJ. (2008). The 3Cs of knowledge sharing: culture, co-opetition and commitment. http://www.skyrme.com/updates/u64_fl.htm (diakses tanggal 15/06/2014)

Spencer LMJ, Spencer SM., 1993, “Competence at Work: Models For Superior Performance”, 1st ed. New York: Wiley; 1993.

Sulistyo-Basuki. 2006. Metode Penelitian. Jakarta : Wedatama Widya Sastra

Suwarno, Yogi, 2008. Inovasi di Sektor Publik, diakses tanggal 08/05/2014, tersedia pada http://www.ucs.mun.ca/-resxty/business1000/glossary/I.htm.

Tobing, Paul L. (2007). Knowledge Management : Konsep, Arsitektur dan Implementasi. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur bibit batang bawah berpengaruh nyata terhadap persentase keberhasilan pertautan sambungan, sedangkan konsentrasi pupuk

Pertumbuhan industri sangat berpengaruh terhadap tingkat alih fungsi lahan pertanian, karena industri memerlukan bangunan fisik untuk melakukan aktifitas

Agar mampu memberikan pendidikan agama dengan baik pada remaja Hindu sejak dini, orang tua harus memiliki pemahaman yang cukup baik tentang ajaran agama Hindu.. Dalam

Nilai pada setiap sub kriteria seperti Tabel 0.6 di bawah ini didapat berdasarkan penilaian decision maker terhadap setiap dokumen yang diajukan oleh supplier dalam

Sedangkan tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan karakteristik responden, untuk mengukur beban kerja yang dialami petugas cleaning service di Rumah

Pada KAS betina perkembangan yang diamati adalah fase nimfa instar satu dengan rataan lama hidup 8.58 hari, fase nimfa instar dua dengan rataan lama 10.08 hari, lama fase nimfa

Berdasarkan dari pelaksanaan kegiatan pengabdian pada masyarakat dalam bentuk pelatihan ini dapat disimpulkan bahwa: Hasil pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada

pandangan benar di sini ialah kita harus lebih dalam lagi mengenal diri kita sendiri, seperti kita mempunyai sesuatu kelebihan yang dapat kita pergunakan dengan baik di