• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. seksual hingga masalah percintaan kerap menjadi pemicu penyakit kejiwaan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. seksual hingga masalah percintaan kerap menjadi pemicu penyakit kejiwaan."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di zaman yang semakin sulit, tuntutan kehidupan semakin tinggi. Perubahan sosial yang semakin cepat menuntut masyarakat untuk harus mudah beradaptasi. Himpitan ekonomi, sulitnya mendapatkan pekerjaan, kekerasan seksual hingga masalah percintaan kerap menjadi pemicu penyakit kejiwaan. Kerumitan masalah yang dihadapi dan tingginya tuntutan hidup di masyarakat membuat setiap orang harus berjuang mempertahankan eksistensi hidupnya. Selain itu das sein dan das sollen yang terjadi terkadang jauh dari harapan memaksa mereka untuk menghadapinya dengan berlapang dada, namun sayangnya tidak semua orang mampu untuk menyelesaikan masalahnya dengan baik, banyak yang pesimis dan tidak bisa tetap berfikir postif. Tidak jarang hal inilah yang menjadi faktor pemicu seseorang mengalami gangguan jiwa. Masalah-masalah rumit yang dialami serta kenyataan dan harapan yang tidak selaras dengan yang diinginkan memaksa mereka harus ikhlas menerima keadaan dan kenyataan yang terjadi pada dirinya.

Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (WHO, 2001). Menurut definisi inilah, seseorang dapat dikatakan sehat jika seluruh aspek yang ada dalam dirinya tidak terganggu baik itu aspek sosial yakni kehidupan bermasyarakat, aspek mental yang berkaitan dengan psikis, dan aspek fisik dengan tidak

(2)

commit to user

2

terjadinya gangguan fungsi dan sistem organ dalam tubuhnya. Dan apabila salah satu diantara ketiga aspek tersebut tidak terpenuhi, maka seseorang tidak dapat dikatakan sehat sebagaimana mestinya. Seharusnya jika fisiknya sehat, maka mental (jiwa) dan sosialpun sehat, demikian pula sebaliknya, jika mentalnya terganggu atau sakit, maka fisik dan sosialnyapun akan sakit. Karena masalah kesehatan harus disoroti secara menyeluruh sehingga kesehatan jiwa merupakan bagian penting dari kesehatan yang tidak dapat dipisahkan (Stuart & Laraia, 2005).

Seseorang dikatakan sehat jiwa menurut Stuart dan Laraia (2005) apabila terpenuhi kriteria seperti memiliki perilaku positif, tumbuh kembang dan aktualisasi diri, memiliki integritas diri, memiliki otonomi, memiliki persepsi sesuai realita yang ada serta mampu beradaptasi dengan lingkungannya sehingga mampu melaksanakan peran sosial dengan baik. Menurut Maslow (1970, dalam Shives, 2005) menyatakan bahwa seseorang yang sehat jiwa mampu mengaktualisasikan dirinya yang ditunjukkan dengan memiliki konsep diri positif dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain dan lingkungannya, terbuka dengan orang lain, membuat keputusan berdasarkan realita yang ada, optimis, menghargai dan menikmati hidup, mandiri dalam berfikir dan bertindak sesuai dengan standar perilaku dan nilai-nilai, serta kreatif menggunakan berbagai pendekatan dalam penyelesaian masalah kesehatan jiwa. Dari sinilah dapat kita ketahui, bahwa orang dengan gangguan kejiwaan tidak memenuhi kriteria yang telah dijabarkan di atas karena penyakitnya.

(3)

commit to user

3

Gangguan mental menurut American Psychiatric Association adalah gejala atau pola dari tingkah laku psikologi yang tampak secara klinis, yang terjadi pada seseorang akibat berhubungan dengan keadaan distress (gejala yang menyakitkan) atau ketidakmampuan (gangguan pada satu area atau lebih dari fungsi-fungsi penting) yang meningkatkan resiko terhadap kematian, nyeri, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan yang penting atau tidak jarang respon tersebut dapat diterima pada kondisi tertentu. Penderita gangguan mental di Indonesia kerap di sebut dengan “sakit jiwa” atau “orang gila”. Orang yang menderita penyakit kejiwaan ini kerap mengalami perubahan kesadaran, merasa kesepian, gangguan ingatan dan lain sebagainya.

Masalah gangguan jiwa yang menyebabkan menurunnya kesehatan mental ini terjadi hampir di seluruh negara di dunia. WHO (World Health Organization) badan dunia PBB yang menangani masalah kesehatan dunia, memandang serius masalah kesehatan mental dengan menjadikan isu global WHO.

American Psychiatric Association (APA) (1995), menyebutkan bahwa 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. Penelitian yang sama oleh WHO juga menjelaskan bahwa prevalensi skizofrenia dalam masyarakat berkisar antara satu sampai tiga per mil penduduk dan di Amerika Serikat penderita skizofrenia lebih dari dua juta orang. Skizofrenia lebih sering terjadi pada populasi urban dan pada kelompok sosial ekonomi rendah (Kartini Kartono, 1981:285). WHO (2009) memperkirakan 450 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan mental, sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan

(4)

commit to user

4

jiwa saat ini dan 25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Usia ini biasanya terjadi pada dewasa muda antara usia 18-21 tahun (WHO, 2009). WHO (2000) juga menyebutkan hanya 40% yang terdiagnosis. Menurut National institute of mental health gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan diperkirakan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030. Kejadian tersebut akan memberikan andil meningkatnya prevalensi gangguan jiwa dari tahun ke tahun di berbagai negara. Berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika Serikat tahun 2004, diperkirakan 26,2 % penduduk yang berusia 18 – 30 tahun atau lebih mengalami gangguan jiwa (NIMH, 2011).

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (2007), menunjukkan bahwa prevalensi gangguan jiwa secara nasional mencapai 5,6% dari jumlah penduduk, dengan kata lain menunjukkan bahwa pada setiap 1000 orang penduduk terdapat empat sampai lima orang menderita gangguan jiwa. Berdasarkan dari data tersebut bahwa data pertahun di Indonesia yang mengalami gangguan jiwa selalu meningkat. Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di Indonesia terdapat di provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta (24,3%), diikuti Nagroe Aceh Darussalam (18,5 %), Sumatera Barat (17,7 %), NTB (10,9 %), Sumatera Selatan (9,2 %) dan Jawa Tengah (6,8%).

Banyak faktor yang menyebabkan penderita gangguan jiwa berat, namun yang sering terlupakan adalah dampak dari gangguan jiwa yaitu “dissabily” ketidakmampuan seseorang melakukan pekerjaanya karena Hasil Studi Bank Dunia WHO pada tahun 1995 di beberapa negara menunjukkan bahwa

(5)

commit to user

5

beban yang ditimbulkan gangguan jiwa sangat besar, di mana terjadi global burden of disease akibat masalah kesehatan jiwa mencapai 8,1%. Angka ini lebih tinggi dari TBC (7,2%), kanker (5,8%), penyakit jantung (4,4%), dan malaria (2,6%). Tingginya masalah tersebut menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang besar dibandingkan dengan masalah kesehatan lainnya yang ada di masyarakat. Kondisi masalah kesehatan jiwa lebih besar angkanya dibandingkan dengan masalah kesehatan lainnya, pendekatan kesehatan masyarakat terutama keluarga dalam penanganan kesehatan mental memiliki peranan yang penting, pemahaman keluarga menjadi hal utama dalam mendukung kesembuhan penderita gangguan jiwa.

Menurut hasil penelitian di Indonesia, terdapat sekitar 1-2% penduduk yang menderita skizofrenia yang berarti 2-4 juta jiwa dan dari jumlah tersebut diperkirakan penderita skizofrenia yang aktif sekitar 700.000-1,4 juta jiwa. Bahkan penderita yang dirawat di rumah sakit jiwa di Indonesia hampir 70% karena skizofrenia (Wicakna, 2001).

Skizofrenia merupakan bentuk gangguan jiwa berat yang berdampak bagi penderita, keluarga, masyarakat. Prevalensi skizofrenia di dunia yaitu tujuh dari 10.000 populasi dewasa, dengan angka kejadian terbesar berada pada kelompok umur 25-35 tahun (WHO, 2001). Prevalensi skizofrenia di Indonesia berdasarkan data riset kesehatan dasar Republik Indonesia (Riskesdas RI, 2007) menunjukkan terjadinya gangguan jiwa berat sebesar 4,6 per mil. Prevalensi gangguan jiwa berat di Propinsi Jawa Tengah sebesar 3,3 per mil (Balitbang

(6)

commit to user

6

Depkes RI, 2008). Prevalensi ini akan cenderung meningkat karena sifat penyakit skizofrenia yang menahun.

Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Proporsi RT yang pernah memasung ART gangguan jiwa berat 14,3 persen dan terbanyak pada penduduk yang tinggal di perdesaan (18,2%), serta pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (19,5%). Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia 6,0 persen. Provinsi dengan prevalensi ganguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur. (Riskedes, 2013)

Survey Kesehatan Mental Rumah Tangga oleh Jaringan Epidemiologik Psikiatrik Indonesia menjelaskan gangguan kesehatan jiwa berdasarkan lokasi di Indonesia adalah sebagai berikut : Bangli (Bali) 10,7%, Banjarmasin 15%, Palembang 17,1%, Semarang 17,3%, Solo 19,1%, Manado 19,1%, Padang 19,7%, Jakarta 20,0%, Bogor 20,6%, Jambi 23,2%, Banda Aceh 24,1% (Bahar, 1995). Jumlah penderita gangguan jiwa terus meningkat di Indonesia. Jumlah kunjungan pasien di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Surakarta pada 2010 tercatat sebanyak 1.534 orang. Sementara pada 2011 naik menjadi 1.828 orang, kemudian 2012 meningkat hingga 2.151 orang. Angka tertinggi terekam di 2013 yang mencapai 2.186 orang. Adapun hingga Oktober 2014 ada 1.531 orang (Data dilansir dari Harian Joglosemar tanggal 16 Desember 2014).

(7)

commit to user

7

Data yang di publikasikan Kompasiana bahwa di tilik dari analisis diskripsi sederhana dari data hasil Riskesdas 2013 dikombinasi dengan Data Rutin dari Pusdatin dengan waktu yang disesuaikan.Secara Nasional terdapat 0,17 % penduduk Indonesia yang mengalami Gangguan Mental Berat (Skizofrena) atau secara absolute terdapat 400 ribu jiwa lebih penduduk Indonesia.Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi Jogjakarta dan Aceh sedangkan yang terendah di Provinsi Kalimantan Barat. Selain itu gambaran diatas juga menunjukkan kalau ada 12 Provinsi yang mempunyai prevalensi gangguan jiwa berat melebihi angka Nasional. Susanto (2007), menyatakan bahwa gangguan jiwa merupakan suatu kondisi yang sangat berkaitan dengan masalah diri individu, keluarga dan sosial. Klien gangguan jiwa juga dapat mengalami kondisi yang tidak menguntungkan karena aspek stigma & labeling yang melekat pada dirinya. Hal inilah yang menyebabkan ketidakpedulian dan faktor penelataran anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.

Gangguan jiwa berat masih banyak yang belum mendapatkan penangan optimal, pemasungan terkadang menjadi pilihan karena alasan ekonomi yang tak mencukupi untuk di rujuk ke rumah sakit jiwa. Di Rumah Sakit Jiwa, banyak penderita jiwa yang ditelantarkan keluarganya dikarenakan keluarga tidak tahu bagaimana cara mengatasi kondisi keluarga saat di rumah keluarga hanya mampu memberikan obat itupun kadang putus obat hal ini dapat menyebabkan penderita gangguan jiwa dapat terjadi kekambuhan. Banyak pula orang dengan gangguan jiwa namun tidak mendapatkan dukungan dari keluarga. Penderita gangguan jiwa juga banyak yang terlantar yang kemudian di bawa oleh satpol PP

(8)

commit to user

8

dan dinas sosial ke Griya PMI Peduli sebagai tempat tinggal dan mendapatkan perawatan medis maupun sosial. Banyak dari mereka yang belum diketahui berasal darimana dan siapa keluarganya karena faktor kejiwaan yang membuat mereka tidak mengetahui latar belakang dan identitas diri mereka. Bagi keluarga yang miskin juga memiliki hak untuk menitipkan anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa tanpa di tarik biaya oleh pihak Griya PMI Peduli Surakarta. Sekalipun sudah di titipkan, keluarga tak bisa lepas dari jerat stigma atas anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan jiwa.

Salah satu masalah terbesar yang dihadapi dalam gangguan jiwa adalah masalah stigma. Stigma berarti suatu tanda atau identifikasi dari tanda yang terdiri dari rasa malu, noda atau kecemaran. Stigma erat kaitannya dengan ketidak-mengertian atau salah pengertian tentang gangguan jiwa termasuk pengobatannya dan profesi psikiater dan tenaga medis yang terlibat di dalamnya (Carol et al,2008).

Masyarakat cenderung untuk mempersepsikan dan memandang gangguan jiwa sebagai rasa takut; takut akan penyakitnya, takut dari ketidaktahuan, dan takut akan kekerasannya. Beberapa kultur masyarakat masih mempercayai bahwa gangguan jiwa adalah pekerjaan makhluk halus, darah yang kotor, racun, dan integritas moral yang rendah. Di dalam masyarakat sendiri terdapat diskriminasi dalam bidang pekerjaan, pelayanan masyarakat, pelayanan asuransi, dan hak untuk menerima pendidikan pada individu yang mengalami gangguan jiwa (Andriyanti, 2004).

(9)

commit to user

9

Menurut Syamsulhadi (2006), sebagian besar masyarakat di Indonesia dengan salah satu anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa biasanya akan merasa malu dan memilih untuk menyembunyikan, mengucilkan klien, bahkan tidak jarang mereka memperlakukannya dengan tidak manusiawi. Hal seperti ini masih erat kaitannya dengan stigma dari masyarakat luas bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang memalukan dan merupakan aib bagi keluarga. Sehingga pihak keluarga lebih memilih untuk membiarkan gangguan jiwa itu dan tidak memberikan perawatan kepada klien. Hal seperti ini tentunya akan mempersulit tingkat kesembuhan klien.

Hal ini dikarenakan rendahnya pengetahuan tentang kesehatan jiwa dan masih ada stigma dimasyarakat dimana masyarakat banyak mempunyai penilaian negatif tetang gangguan jiwa sehingga banyak kasus gangguan jiwa yang justru disembunyikan atau dibiarkan tampa penanganan. (Rancangan Instrumen Deteksi Dini Gangguan Jiwa untuk Kader dan Masyarakat di Kabupaten Pekalongan Mokhamad Arifin Jurnal Ilmiah Kesehatan Vol V No 2 September 2012)

Keluarga sering merasa kewalahan dan 95% keluarga merasa terbebani merawat pasien dengan gangguan jiwa berat yang memiliki risiko perilaku kekerasan. Sekitar 36 % keluarga merasa terstigma oleh masyarakat karena anggota keluarganya ada yang mengalami gangguan jiwa di rumahnya dan 8% di antaranya keluarga enggan mencari bantuan pelayanan kesehatan akibat stigma (Drapalsky, et al., 2008).

(10)

commit to user

10

Prasangka (prejudice) dan stigma otomotasi menempel dengan status pasien skizofrenia menyebabkan bertambahnya kesulitan yang dihadapi pasien skizofrenia. Kondisi inilah yang menyebabkan kebingungan pada pasien dan menjadi beban tersendiri. Keluarga menghadapi masalah yang muncul secara dramatis dan menimbulkan beban, berupa beban subjektif maupun beban objektif bagi pasien skizofrenia dan keluarganya. Bagi pasien skizofrenia, hal tersebut menjadikan halangan untuk mendapat perlakuan yang layak, kesulitan dalam mencari pekerjaan dan sebagainya. Hal ini pun turut menambah beban keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia, karena dirasa menimbulkan aib bagi keluarga dan membuat mereka mengalami isolasi sosial di masyarakat. Stigma sosial atau disebut juga stigma eksternal yaitu seseorang atau kelompok termasuk keluarga sendiri yang memberikan penilaian atau sikap negatif terhadap penderita skizofrenia.

Menurut Fleischacker, Stigma sosial sosial ini mempunyai unsur, sebagai berikut :

1. Menghindar (avoidance), pasien skizofrenia dihindari karena kondisi lingkungannya.

2. Penolakan (rejection), dalam hubungan interaksi sosial tertentu kecenderungan orang dengan riwayat skizofrenia tidak akan diterima termasuk mencari pengobatan.

3. Penghakiman moral (moral judgement), mereka dianggap sebagai kutukan, oleh karena kesalahan mereka sendiri.

(11)

commit to user

11

4. Berhubungan dengan label (stigma of association), pemberian tanda atau label yang diberikan oleh individu atau kelompok lain yang berhubungan dengan kondisi yang pernah dialaminya.

5. Keengganan atau ketidakadilan (unwillingless), kesenjangan dalam berinteraksi akan diberikan oleh orang lain atau social distance.

6. Pembedaan (discrime), penderita skizofrenia sangat jelas akan dibedakan dalam kesempatan bekerja atau berinteraksi di lingkungannya.

7. Penganiayaan (abuse), situasi yang cukup ekstrim akan dialami pasien skizofrenia untuk mengalami tindakan penganiayaan baik verbal maupun fisik oleh komunitas yang tidak mengetahuinya. Stigma sosial ini juga merupakan alasan pasien dirawat kembali (Fleischacker, 2003).

Menurut survey yang dilakukan oleh Otto F Wahl (1999) menjelaskan masyarakat merupakan sumber stigma yang utama. Adanya lelucon tentang rumah sakit jiwa dan tentang penderita gangguan jiwa sangat sering dijumpai dalam media ataupun pada masyarakat. Keluarga dan penderita yang seharusnya terluka oleh lelucon tersebut kehilangan hak untuk marah dan akhirnya terbawa untuk ikut menikmatinya. Stigma jika dibiarkan akan mengukuhkan pelecehan masyarakat terhadap penderita. Masyarakat berhak menjauhi, mengucilkan, menganggap penderita skizofrenia sebagai lelucon yang dapat dipermainkan dan diolok-olok.

Didalam bukunya, Goffman memperhatikan beberapa aspek penyajian diri yang problematis. Aib (stigma) menunjuk pada orang-orang yang memiliki cacat sehingga tidak memperoleh penerimaan sosial yang sepenuhnya. Mereka

(12)

commit to user

12

merupakan orang yang direndahkan atau dapat direndahkan. Yang direndahkan ialah orang yang aibnya terlihat dengan mudah, misalnya orang penyandang cacat atau penderita gangguan jiwa yang menggelandang tanpa busana. Karena aib tersebut selalu tergantung pada pada kelompok dimana orang selalu mencari penerimaan sosial sepenuhnya, maka di sini pun struktur institusi dan situasi kembali berperan. Sedangkan yang dapat direndahkan ialah mereka yang memilik kekurangan untuk mengikuti standar penerimaan sosial, tidak langsung terlihat. Pada individu tersebut terdapat masalah menarik bagaimana cara menangani informasi yang dapat membuka kelemahan mereka masing-masing. (Ritzer. 2012)

Goffman (1963) tertarik pada jurang antara seperti apa seseorang seharusnya, (identitas sosial virtual atau maya), dan seperti seseorang secara aktual, “identitas sosial aktual”. Siapapun yang memiliki kesenjangan antar kedua identitas tersebut akan mendapatkan stigma. Stigma memusatkan perhatian pada interaksi dramaturgis antara orang yang mendapatkan stigma dengan orang-orang normal. Sifat interaksi tersebut tergantung pada salah satu diantara dua stigma yang melekat pada individu. Pada kasus stigma yang didiskreditkan, aktor berasumsi bahwa perbedaan diketahui oleh anggota audiens atau dapat mereka buktikan disebut stigma diskredit atau orang yang direndahkan misalnya orang yang memiliki cacat yang dapat dilihat secara kasat mata seperti orang buta, orang yang tidak memiliki kaki, tangan atau ketidaklengkapan anggota tubuh lainnya. Stigma yang dapat direndahkan atau didiskreditkan (discreaditable stigma) adalah seseorang yang perbedaannya tidak diketahui anggota audiens atau tidak dapat mereka persepsi dan rasakan misalnya, seseorang yang memiliki anus buatan,

(13)

commit to user

13

orang dengan homoseksual dan lain sebagainya. Untuk seseorang dengan stigma yang didiskreditkan, masalah dramaturgis ialah masalah mengelola ketegangan yang dihasilkan oleh fakta bahwa orang-orang mengetahui masalah itu. Untuk seseorang dengan stigma yang dapat didiskreditkan, masalah dramaturgis ialah mengelola informasi sehingga masalah itu tetap tidak diketahui oleh para audiance. (Ritzer, 2012)

Stereotipe merupakan generalisasi seseorang berdasarkan kelompok atau grup yang diikutinya, sebagai contoh, seorang dokter yang bekerja di sebuah klinik yang sedang bermasalah karena kasus malpraktek, sekalipun ia bukanlah dokter yang melakukan malprakter tersebut, namun pandangan audiens yang dalam hal ini adalah masyarakat tetap menaruh curiga terhadapnya, curiga dengan adanya kemungkinan malpraktek juga. Begitupun dengan kasus Orang Dengan Skizofrenia (ODS) yang dimana sekalipun ia tidak pernah mengamuk atau membahayakan orang lain, namun audiens menaruh kecurigaan yang besar kepadanya mengingat pernah terjadinya kasus orang dengan gangguan jiwa yang mengamuk dan membahayakan di tempat lain. Seseorang dengan mudah memberi cap buruk dengan cara mengenaralisir. Hal inilah yang membuat penanggulangan stigma pada pasien skizofrenia mengalami kendala yang cukup berarti. Pada berbagai kalangan, stigma tersebut dapat tampak dalam bentuk keinginan memasukkan setiap anggota masyarakat yang dicurigai menderita gangguan jiwa ke rumah sakit jiwa. Penelitian oleh Lai et al (2000) mengemukakan bahwa terdapat dampak stigma terhadap pasien psikiatri, yaitu percaya diri yang rendah, rasa malu akan penyakitnya dan penolakan sosial, disertai kesulitan mendapat

(14)

commit to user

14

pekerjaan dan hak atas layanan kesehatan. Bahkan seperti yang dinyatakan oleh Carol et al (2008), stigma dapat mempengaruhi keluarga dari penderita, yang dapat mempengaruhi secara psikologi pada kesehatan mental penderita. Maka tidaklah berlebihan jika Erving Goffman mengatakan bahwa Stigma adalah penamaan yang sangat negatif kepada seseorang/kelompok sehingga mampu mengubah secara radikal konsep diri dan identitas sosial orang yang distigma.

Dari latar belakang di atas, maka hal ini menjadi menarik untuk diteliti terkait bagaimana pandangan stigma masyarakat terhadap Orang Dengan Skizofrenia (ODS) yang di rawat dan direhabilitasi di Griya PMI Peduli Surakarta yang dimana mereka adalah orang dengan gangguan jiwa yang hilang, terlantar, sebatang kara dan ditemukan oleh satpol PP yang kemudian di rawat oleh Griya PMI Peduli Surakarta. Apakah tanpa sanak saudara atau orang yang mengenalnya di tempat ini juga tidak bisa melepaskan stigma yang menempel pada mereka dari orang disekitarnya? Maka penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan sejauh mana stigma pada gangguan jiwa seperti pada Orang Dengan Skizofrenia berlaku di kehidupan sosial masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah

1. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang dengan skizofrenia?

(15)

commit to user

15

2. Apakah yang menyebabkan stigma pada orang dengan skizofrenia?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian untuk Mengetahui pandangan masyarakat tentang stigma yang diberikan dan apa yang menyebabkan stigma tersebut diberikan kepada Orang Dengan Skizofrenia di Griya PMI Peduli Surakarta.

C. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang akan di capai penulis melalui penelitian ini adalah memberikan kebermanfaatan yang lebih luas untu masyarakat melalui sumbangsih ilmu pengetahuan, hingga akhirnya penelitian tidak hanya mendatangkan kebemanfaatn pribadi namun juga berguna untuk orang lain. sehingga melalui penelitian ini, manfaat yang ingin penulis capai, antara lain sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini akan dapat memberikan tambahan dalam body of knowledge dengan memberikan informasi yang mendalam mengenai kondisi stigma yang menimpa pada orang dengan skizofrenia di Griya PMI Peduli Surakarta dan pengembangan terhadap teori sosiologi yang telah ada dan melengkapi penelitian terdahulu, yaitu teori stigma dari Erving Goffman.

(16)

commit to user

16 2. Manfaat Praktis

Penelitian ini akan dapat memberikan masukan kepada : a. Masyarakat Kota Surakarta.

Hasil dari penelitian ini akan dapat memberikan pengetahuan mengenai stigma yang menimpa pada orang dengan skizofrenia agar masyarakat peduli pada nasib yang menimpa pada orang dengan skizofrenia dan harapannya bisa merubah cara pandang masyarakat tentang gangguan jiwa untuk memberikan informasi yang benar agar stigma negatif bisa berkurang dijatuhkan bagi penderita gangguan jiwa.

b. Pemerintah Kota Surakarta.

Hasil dari penelitian ini akan dapat memberikan masukan kepada pemerintah Kota Surakarta dalam pengambilan kebijakan yang berdasarkan kebutuhan masyarakat khususnya terkait stigma yang menimpa pada orang dengan skizofrenia di Griya PMI peduli Surakarta. Harapannya, semoga kelak pengambilan kebijakan pemerintah Surakarta turut memperjuangkan nasib penderita gangguan jiwa seperti Orang Dengan Skizofrenia (ODS) agar mendapat kehidupan yang lebih baik.

c. Griya PMI Peduli

Hasil dari penelitian ini akan bisa memberi penjelasan terkait stigma yang beredar di masyarakat yang banyak merugikan bagi orang yang distigma. Semoga dengan pemahaman yang benar

(17)

commit to user

17

tentang penderita gangguan jiwa mampu mendatangkan kebermanfaatan serta dukungan akademis untuk Griya PMI Peduli Surakarta yang berjuang dan merawat penderita gangguan jiwa yang hilang, terlantar dan menggelandang. Semoga hasil penelitian ini mampu menggugah kepedulian hati banyak orang untuk akhirnya turut peduli dan membantu baik moril maupun materil untuk penderita gangguan jiwa di Griya PMI Peduli Surakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Baik Fleming dan Bond merupakan lulusan dari sekolah yang sama, memiliki makanan kesukaan yang sama (telur dadar dan minum kopi), memilikikegemaran yang sama

Model Student Facilitator and Explaining adalah rangkai penyajian materi ajar yang diawali dengan menjelaskannya dengan didemonstrasikan, kemudian diberikan kesempatan

PENYAKIT AUTOIMMUN MELALUI PENYAKIT AUTOIMMUN MELALUI

Sebelum dibongkar Loading Master dan Surveyor melakukan sounding ke tanki-tanki dan mengambil temperatur serta density untuk dilakukan perhitungan, setelah dilakukan

Produk adalah sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian untuk dibeli, untuk digunakan

Tahap 3.. Berdasarkan penuturan dari salah seorang pihak desa, tidak adanya bantuan langsung dari pemerintah maupun desa, disebabkan oleh status lahan yang

 Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran keluarga untuk pencegahan penyakit tidak menular pada remaja sebagian besar berada pada kategori cukup optimal (61,1%) dan