• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Desa (HD) untuk Menjamin Keberlanjutan Fungsi Lindung di Hulu DAS Musi BAB I. PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Model Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Desa (HD) untuk Menjamin Keberlanjutan Fungsi Lindung di Hulu DAS Musi BAB I. PENDAHULUAN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rehabilitasi hulu DAS telah lama diusahakan namun belum menunjukkan keberhasilan. Risiko kerawanan pangan masyarakat meningkat ketika terjadi tanah longsor pada areal sepanjang jalur irigasi. Meskipun pemerintah telah memberikan pengakuan legal terhadap masyarakat sekitar hutan melalui skema perhutanan sosial dalam bentuk Hutan Desa (HD), lembaga yang dibentuk berdasarkan fasilitasi pemerintah (pihak luar) ini belum menunjukkan peran dan fungsinya. Ini menunjukkan bahwa kelembagaan HD belum dinternalisasi masyarakat lokal.

Uphoff (1992) menyatakan bahwa kelembagaan lokal lebih dimungkinkan untuk berhasil dalam mengelola sumberdaya alam jika sumberdayanya bersifat jelas dan hasilnya dapat diprediksi, dikelola oleh pengguna yang teridentifikasi dan didukung oleh struktur otoritas. Hak-hak properti berhubungan erat dengan otoritas (Sikor & Lund 2009). Beberapa penelitian meyakini bahwa akses lebih efektif dibandingkan properti (Ginger et al. 2012; Sikor & Lund 2009; Forsyth & Sikor 2013; Deni 2014). Menurut Ribot & Peluso (2003) akses adalah kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu. Namun demikian, saat ini masih minim sekali praktik terbaik (best practices) yang menggambarkan kelembagaan lokal efektif dan akses dalam konteks program perhutanan sosial, termasuk kasus HD di hulu DAS/hutan lindung.

Salah satu kelembagaan lokal efektif di hulu DAS Musi adalah kelembagaan ulu ayek di wilayah Semende, Kabupaten Muara Enim (Martin et al. 2016c). Ulu ayek adalah areal yang dilindungi masyarakat secara turun temurun karena berfungsi sebagai hulu dan pelindung bagi sistem pengairan persawahan masyarakat. Kelembagaan ini berpotensi untuk diintegrasikan dengan HD, sebagai kelembagaan baru di masyarakat.

Sumberdaya lokal penting yang berpotensi meningkat akses masyarakat terhadap kawasan hutan terdeforestasi adalah pemanfaatan jenis pohon penghasil pangan (JPPP). JPPP, terutama jenis asli setempat, telah menarik perhatian banyak ilmuwan, karena manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat dan lingkungan. JPPP tradisional masih jarang diperhatikan dan digunakan secara konsisten sebagai pintu masuk peningkatan akses masyarakat terhadap kawasan hutan di Indonesia.

(2)

2

B. Rumusan Masalah

Di wilayah hulu DAS Musi Sumatera Selatan, sebagian besar areal kerja HD adalah berupa perkebunan kopi monokultur yang dikelola secara tradisional. Pemberian izin pengelolaan HD dan pembentukan organisasi pengelola yang disebut LPHD (Lembaga Pengelola Hutan Desa) belum menjadi insentif insiatif reforestasi oleh masyarakat. Manfaat reforestasi HD belum menjadi wacana pengetahuan masyarakat. Ini menjadi penyebab minimnya manfaat (outcome) kelembagaan HD, sebagai bagian program perhutanan sosial, bagi peningkatan kesejahteraan dan keseimbangan lingkungan. Penelitian ini hendak menjawab pertanyaan tentang bagaimana langkah-langkah yang dapat dilakukan agar kelembagaan HD dapat diinternalisasi masyarakat, sekaligus meningkatkan kapabilitas masyarakat dalam memanfaatkan areal HD.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah merancang model pengelolaan dan pemanfaatan areal kerja Hutan Desa di wilayah wilayah hulu DAS rawan bencana, sebagai upaya mengembalikan fungsi lindung dan meningkatkan akses masyarakat terhadap HD terdeforestasi. Tujuan penelitian tahun 2018 adalah merumuskan model pengelolaan dan pemanfaatan areal hutan desa (HD) terdeforestasi yang menjadi jalur irigasi persawahan melalui aksi partisipatif pembangunan persemaian Jenis Pohon Penghasil Pangan (JPPP)

D. Luaran

Luaran yang diharapkan dari penelitian tahun 2018 adalah:

1. Teridentifikasi jenis-jenis pohon penghasil pangan tradisional dan potensial di wilayah hulu DAS Musi: Jenis, sebaran, status pemanfaatan lokal, potensi pasar, dan persepsi masyarakat

2. Rencana aksi pemanfaatan JPPP untuk reforestasi areal HD yang menjadi hulu persawahan: Lokasi persemaian, lokasi tanam, peserta dan pengawas, cara pelaksanaan, waktu pelaksanaan

3. Persemaian dan penyebaran ilmu pengetahuan perbanyakan JPPP skala kelompok HD

E. Dampak Kegiatan

Dampak kegiatan penelitian yang diharapkan secara umum adalah tersedianya teladan atau model pengelolaan dan pemanfaatan Hutan Desa terdeforestasi yang mampu meningkatkan akses masyarakat dan mengembalikan fungsi lindung kawasan. Dampak

(3)

3 kegiatan yang diharapkan pada tahun 2018 adalah teridentifikasinya JPPP tradisional dan potensial yang dapat dikembangkan di areal kerja HD melalui langkah awal pembangunan persemaian skala kelompok LPHD yang juga berperan sebagai petani/pemilik sawah, sehingga terjadi peningkatan kapabilitas anggota LPHD dalam memperbanyak dan membudidayakan JPPP.

F. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi aspek sosial kelembagaan dan aspek teknis terkait potensi jenis-jenis pohon penghasil pangan dan membangun rencana aksi pembangunan model persemaian partisipatif sebagai bagian pengelolaan hutan desa yang terintegrasi dengan model pengelolaan irigasi sawah di tingkat lokal.

Tujuan khusus penelitian yang akan dicapai pada tahun ini adalah :

1. Mengidentifikasi dan menganalisis potensi jenis-jenis pohon pangan dan status pemanfaatannya oleh masyarakat desa di hulu DAS Musi.

2. Membangun rencana aksi dan model kelembagaan pengembangan jenis-jenis pohon penghasil pangan sebagai bagian dari rencana pengelolaan hutan desa adaptif dan partisipatif.

3. Membangun dan mengevaluasi model persemaian jenis-jenis pohon penghasil pangan pada tingkat tapak (kelompok tani) sebagai bagian dari pengelolaan hutan desa yang integratif.

(4)

4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis

Istilah „Hutan Desa‟ didefinisikan sebagai hutan negara yang belum dibebani izin/hak, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa (Peraturan Menteri Kehutanan No. 89/2014). Pemerintahan desa menetapkan Peraturan Desa untuk membentuk Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) sebagai organisasi pengelola Hutan Desa (HD). Skema HD sebagai salah satu opsi pengelolaan hutan negara oleh masyarakat pada awalnya diatur melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 49 tahun 2008, kemudian diperbaiki dengan Permenhut No. 53 tahun 2011, selanjutnya disempurnakan melalui Permenhut No. 89 tahun 2014. Pada saat pertama diatur (P.49/2008), konsideran menyebut bahwa HD dikelola dalam rangka pemberdayaan

masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan

yang adil dan lestari.

Menurut Permen LHK No. 89 tahun 2016, Hutan Desa adalah salah satu bentuk Perhutanan Sosial. Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/adat yang dilaksanakan oleh

masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya. Konsideran Permen LHK No.89 tahun 2016 menyebut bahwa peraturan tentang

perhutanan sosial merupakan penyempurnaan dari peraturan-peraturan lainnya dalam rangka penyederhanaan pemberian akses kepada masyarakat dalam perhutanan sosial (Pertimbangan hurup c). Bagi HD, peraturan tentang Perhutanan Sosial lebih dimaksudkan untuk memberikan pedoman pemberian hak pengelolaan, sementara pertanyaan lanjutan tentang bagaimana pemberian hak tersebut dapat mencapai tujuan HD/Perhutanan sosial berupa peningkatan kesejahteraan dan keseimbangan lingkungan tidak dapat dijawab oleh peraturan ini.

Hutan Desa (HD) merupakan bentuk dari desentralisasi bidang kehutanan. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, desentralisasi didefinisikan sebagai setiap tindakan/kebijakan dimana pemerintah pusat menyerahkan hak-hak pembuatan keputusan atas sumberdaya kepada aktor-aktor dan institusi-insitusi di taraf lebih rendah dalam hal administrasi politik dan hierarki teritorial (Agrawal & Ostrom 2001). Konsep desentralisasi berangkat dari asumsi bahwa pengelolaan hutan yang terdesentralisasi dapat

(5)

5 meningkatkan efisiensi, keadilan, demokrasi, dan pengelolaan sumberdaya (Larson & Ribot 2004). Desentralisasi juga diyakini mampu membantu kepemilikan dan tenurial lahan menjadi lebih baik (Larson & Soto 2008). Tenurial lahan yang jelas menjadi prasyarat bagi pengelolaan sumberdaya alam secara lestari (Agrawal 2007). Dalam banyak literatur, konsep tenure setara dengan konsep hak-hak properti (lihat Arnot et al. 2011). Rejim hak-hak properti adalah sekumpulan hak-hak mulai hak untuk memasuki, mengambil manfaat, mengelola, dan mengeluarkan orang lain atas sebuah sumberdaya (Schlager & Ostrom 1992). Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) yang diberikan oleh pemerintah kepada desa adalah bentuk formal dari desentralisasi hak-hak properti. Konsep lain yang berhubungan dengan hutan desa dan desentralisasi kehutanan adalah pengelolaan kehutanan masyarakat (community forestry management) atau pengelolaan hutan berbasis masyarakat (community based forest management ) (lihat Brown & Lassoie 2010; Rasolofoson et al. 2015; Lund & Treue 2008; Persha & Andersson 2014; Shi et al. 2016; Resosudarmo et al. 2014; Hayes & Persha 2010; Benjamin 2008; Pulhin & Dressler 2009 dan Sahide et al. 2016 untuk kasus Indonesia).

Desentralisasi memang dapat meningkatkan hak-hak properti lokal, namun tidak menjamin perubahan akses aktual terhadap sumberdaya alam dan manfaat (Ribot & Peluso 2003; Maryudi & Krott 2012). Dalam kasus mencegah deforestasi, meta-analisis yang dilakukan oleh Robinson et al. (2014) menunjukkan bahwa manfaat positif dari suatu hutan lebih penting dari bentuk tenurial. Memperbesar peluang dan aliran manfaat dari hutan yang telah diformalkan secara tenurial, seperti hutan desa, melalui aktivitas-aktivitas yang mengakar secara tradisional dan dalam jangkauan kemampuan masyarakat adalah strategi untuk memperbaiki akses aktual dan manfaat hutan desa, serta citra pengelolaan hutan desa. Ini penting dilakukan karena program desentralisasi semacam hutan desa menyediakan hanya sedikit mekanisme untuk mengangkat masyarakat keluar dari kemiskinan (Adam & Eltayeb 2016).

B. Hasil Penelitian Yang Telah Dilakukan

12 Desa yang berada di wilayah hulu Das Musi di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan pada tahun 2014 mendapatkan SK Menteri Kehutanan tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Desa, dengan total luas areal kerja seluas 16.845 hektare. Desa-desa tersebut didiami warga dari Suku Semende yang telah sejak lama bermukim dan menetap di wilayah perbukitan yang didominasi oleh hutan lindung. Areal yang menjadi wilayah

(6)

6 hutan desa merupakan hutan lindung yang telah dikonversi menjadi perkebunan kopi masyarakat. Hasil penelitian (Martin et al. 2016b) menunjukkan sebagian areal tersebut merupakan hulu bagi aliran air untuk persawahan. Hulu air atau dalam bahasa lokal disebut ulu ayek merupakan institusi tradisional yang hidup di masyarakat, namun cenderung menjadi luntur akibat pertentangan di dalam masyarakat sendiri. Hutan desa sebagai program yang ditawarkan oleh pemerintah bergerak sebagai institusi formal yang berpotensi menguatkan kembali institusi tradisional ulu ayek. Menurut Martin et al. (2016a), peran pemerintah tidak bisa diabaikan dalam mempertahankan kelestarian hutan yang berbasis institusi tradisional.

Sumber nafkah yang berperan penting membentuk budaya menjaga kelestarian hutan di Semende adalah pertanian sawah (Martin et al. 2016c). Belajar dari praktik pelestarian hutan ulu ayek yang diwariskan antargenerasi, Martin et al. (2016b) merekomendasikan agar pengelolaan hutan lindung (termasuk hutan desa dengan fungsi lindung) membuat definisi yang jelas antara subjek pelaku/masyarakat yang melindungi dan objek sumberdaya yang dilindungi. Jadi, areal yang dinilai sebagai wilayah lindung bagi aliran air untuk persawahan dan kebutuhan rumah tangga desa berpotensi untuk direhabiitasi oleh masyarakatnya sendiri.

Program penanaman pohon telah sejak lama dilakukan untuk petani kopi di hutan lindung Semende, namun tidak menunjukkan perubahan yang nyata. Hasil penelitian (Martin et al. 2016a) mengungkapkan bahwa petani kopi enggan menanam pohon di kebun kopinya karena menghindari kegagalan bertani kopi yang dapat mengancam kemandirian keluarga mereka. Martin et al. (2016a) merekomendasikan agar kebijakan rehabilitasi lahan, penghijauan dan agroforestri di kebun kopi dataran tinggi (hulu DAS) seperti di Semende dirancang berdasarkan prinsip yang menguatkan keswadayaan petani. Gunakan jenis pohon yang berperan sebagai pelindung kopi; meningkatkan kesuburan tanah dan memacu pembungaan kopi.

C. Kajian Topik Terkait

Hasil penelitian Pagdee (2004) menyebutkan bahwa kehutanan masyarakat yang sukses menampilkan beberapa atribut utama. Atribut tersebut berupa faktor-faktor seperti keamanan tenurial, kejelasan kepemilikan, kesesuaian antara batas biofisik dengan sosial ekonomi, penegakan aturan dan regulasi yang efektif, pemantauan, sanksi, kepemimpinan kuat dengan organisasi lokal yang eektif, harapan memperoleh manfaat, berbagi

(7)

7 kepentingan yang sama antaranggota masyarakat, dan otoritas lokal. Keberhasilan kehutanan masyarakat umumnya dinilai dari dua sisi, kondisi hutan yang membaik dan kesejahteraan masyarakatnya meningkat (Edmunds & Wollenberg 2003).

Dalam beberapa kasus kehutanan masyarakat yang dianggap berhasil, misalnya di Nepal, keberhasilan justru memunculkan kesenjangan kesejahteraan dan akses antara elit dengan anggota kelompok (Gautam et al. 2008; Gautam 2009; Oli et al. 2016; Sunam & McCarthy 2010; Thoms 2008), terutama karena aktivitas kehutanan masyarakat lebih fokus pada aspek pengelolaan. Kehutanan masyarakat yang berhasil di Nepal tidak hanya dipengaruhi faktor kinerja tata kelola dan kerangka kerja kelembagaan tetapi diikuti dengan eksistensi manfaat sosial dan ekonomi, praktik pengelolaan hutan, dan banyaknya sumberdaya hutan (Pokharel et al. 2015). Ini berarti bahwa kehutanan berbasis masyarakat yang berhasil menghendaki keberadaan aspek pengelolaan dan pemanfaatan, tanpa terpisahkan.

Jenis pohon penghasil pangan, terutama dalam bentuk buah (fruit trees, edible trees) dikenal dan diakui sebagai komponen utama penyusun hutan yang dikelola masyarakat (lihat Peluso 1996; Oke & Odebiyi 2007; Rahman et al. 2016; Chandrashekara 2009; Shackleton et al. 2000). Jenis-jenis pohon penghasil pangan ini secara tradisional telah dikembangkan oleh masyarakat tanpa rancangan budidaya yang mapan, sehingga berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut guna memperbesar manfaat kehutanan masyarakat (termasuk hutan desa). Pohon penghasil pangan dalam konteks kehutanan masyarakat dapat berperan sebagai media aksi bersama (Adhikari et al. 2016).

(8)

8

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Tanjung Agung Kecamatan Semende Darat Ulu dan Desa Muara Danau Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim.

B. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan terdiri dari alat dan bahan untuk aspek sosial kelembagaan dan alat bahan untuk aspek teknis. Untuk aspek sosial kelembagaan, digunakan kuesioner terstruktur dan panduan wawancara untuk menggali informasi secara mendalam mengenai jenis-jenis pohon penghasil pangan kepada masyarakat. Selain itu digunakan alat Voice Recorder digunakan untuk merekam wawancara dan workshop antara tim peneliti dengan masyarakat, GPS untuk mengetahui lokasi potensi pohon penghasil pangan. Untuk aspek teknis, digunakan bahan dan peralatan untuk membangun persemaian seperti benih jenis pohon penghasil pagan, media persemaian, alat dan bahan untuk membangun sarana persemaian dan pemeliharaan persemain. Kebutuhan alat dan bahan disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya yang mendukung kegiatan penelitian.

C. Prosedur Kerja

Metode yang digunakan dalam penelitian ini secara umum adalah adalah riset aksi. Pendekatan riset aksi secara umum adalah suatu proses perubahan dan peningkatan pemahaman terhadap dinamika situasi sesuai dengan yang diharapkan dan dicapai dalam waktu yang sama (Dick, 1997). Hal ini dapat dipahami bahwa riset aksi merupakan suatu siklus dengan aksi dan refleksi kritis yang terjadi secara berkelanjutan. Riset Aksi dapat diimplementasikan pada suatu lokasi yang sangat dinamis sehingga membutuhkan respon yang cepat terhadap dinamika yang ada (Dick, 1997).

Siklus Riset Aksi terdiri dari Refleksi, Perencanaan, Aksi dan Monitoring yang terjadi secara berulang (Gambar 1). Pengertian dari setiap langkah adalah:

• Refleksi adalah upaya untuk memahami masalah dan mengkritisi apa yang sudah terjadi. Menigkatnya pemahaman yang muncul akibat proses refleksi kritis kemudian digunakan untuk merancang langkah selanjutnya (Dick, 2000).

• Rencana merupakan kegiatan untuk merespon masalah yang dihadapi berupa langkah-langkah yang akan dilakukan

(9)

9  Melakukan aksi atau tindakan merupakan pelaksanaan dari rencana yang

dilakukan, dan di dalamnya juga termasuk hasil dari tindakan

 Melakukan monitoring merupakan upaya untuk menilai dampak dari kegiatan atau Aksi yang telah dilakukan dan melihat sejauh mana perubahan telah terjadi. Apabila ada perbaikan, maka perlu dikaji apakah data yang dimiliki bisa menjadi bukti terjadinya perubahan? Apabila tidak terjadi perubahan, maka perbaikan apa yang harus dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih baik? (Ferrance, 2000).

Gambar 1. Siklus Riset Aksi (Aliadi, 2011 diadaptasi dari Kemmis dan Mc Taggart, 1988a)

Lebih jauh lagi, Dick (2000) menyatakan bahwa Riset Aksi cenderung untuk:

 Siklus – langkah-langkah yang sama cenderung berulang, dalam urutan yang sama

 Partisipatif – klien dan informan terlibat sebagai mitra, atau paling tidak sebagai partisipan aktif, dalam proses penelitian

 Kualitatif – lebih sering menggunakan cerita daripada angka dan

 Reflektif – refleksi kritis terhadap proses dan outcomes adalah bagian penting dari setiap siklus.

(10)

10

D. Analisa Data

Analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis pohon penghasil pangan, potensi dan status pemanfaatannya saat ini oleh masyarakat. Analisis teks juga dilakukan untuk mengetahui infomasi berbagai jenis pohon pangan, potensi sosial ekonomi dan cara budidayanya. Informasi ini selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk menentukan jenis-jenis pohon yang prospektif untuk dikembangkan.

(11)

11

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Identifikasi masalah dan potensi

 Beberapa kelompok HD berhasil menerima kuasa pengelolaan Hutan Lindung yang semula terpusat pada pemerintah menjadi pengelolaan oleh lembaga masyarakat (LPHD dan Pemerintah Desa). Namun demikian, makna dan tujuan perhutanan sosial dalam skema HD belum mengakar kepada anggota sebagai petani yang berada di lokasi/areal HD. Belum ada perubahan cara budidaya dan situasi sosial ekonomi terkait kebun kopi, antara sebelum dan setelah menjadi areal HD.

 Konsep sistem hutan lestari yang dikelola oleh masyarakat sebagai makna perhutanan sosial belum menjadi rencana aksi yang dibuat sendiri dan dipahami pengurus HD, masih mengandalkan fasilitasi lembaga luar (NGO). Pohon pangan sebagai jenis yang biasa didomestikasi petani belum dilirik untuk dijadikan komoditas pelengkap kebun kopi.

 Belum ada pengetahuan tentang potensi ekonomi dan ekologi komoditas pohon pangan khas antar unit pengelola HD.

 Budidaya pohon pangan di tingkat petani anggota HD masih mengandalkan perbanyakan alam. Pohon pangan belum diposisikan sebagai pohon penaung kopi. Hasil observasi lapangan menunjukkan, misalnya pohon jengkol ternyata berasosiasi positif dengan tanaman kopi, namun hanya dianggap sebagai pohon sela, bukan pohon yang dapat meningkatkan dan mempertahankan produktivitas kopi.

 Dominansi vegetasi yang ada di HD adalah tanaman kopi. Satu unit, dalam bahasa lokal disebut bidang, kebun kopi biasanya dikuasai oleh satu keluarga petani yang umumnya terdiri dari 3000 sampai dengan 4000 batang tanaman kopi. Petani di Cahaya Alam menyebut luas satu bidang itu sebagai 70 Depe. Dalam setiap kebun, ditemukan paling banyak 5 (lima) pohon pangan, berupa pohon buah seperti alpukat, nangka, dan jambu, jarang ditemukan jenis pohon lainnya.

 Hamparan kebun kopi di areal HD ini sangat berpotensi diperkaya dengan pohon alpukat dan nangka, jenis ini terbukti berbuah dan laku di pasaran. Untuk HD di Desa Muara Danau direkomendasikan jengkol dan pinang sebagai komoditi unggulan.

(12)

12

2. Aksi partisipatif pembangunan persemaian JPP dan hubungannya dengan Pengelolaan Hutan Desa

a. Di Desa Tanjung Agung

Kegiatan diawali dengan diskusi bersama Pengurus HD, berupa:

 Menawarkan konsep Hutan Desa sebagai Hutan Sumber Pangan, sebagai sumber komoditas komersil dan subsistensi

 Gunakan jenis pelindung kopi/penghasil buah komersil: Pohon buah tradisional di sekitar desa; Pohon buah komersial; Pohon Buah yang berasosiasi positif dengan tanaman kopi

 Membangun persemaian LPHD-KTH; Terencana, disiapkan beradasarkan kebutuhan penanaman; jelas lokasi tanam dan siapa penanam

 Mencita-citakan model HDHP yang sukses; Data sebelum-sesudah; Berapa potensi tutupan pohon, usaha tani pokok, pendapatan.

 Pengelolaan berdasarkan ataran (kelompok tani yang dibentuk berdasarkan kesamaan lokasi usaha tani)

 Perubahan pengetahuan/peningkatan kapasitas petani dalam mengelola lahan: Terencana, terjadwal, disengaja (designed-prescribed)--Membuat bibit pohon buah unggulan lokal, Merencanakan penananam pohon buah unggulan lokal seperti menanam kopi; ditawarkan jarak tanam 5 x 10 m, 10 x 10 m, 10 x 20 m per ha; Menggunakan media sosial sebagai alat promosi kegiatan dan kontrol perkembangan internalisasi konsep Hutan Desa Hutan pangan

Hutan Desa (HD) Tanjung Agung mendapatkan SK Penetapan Areal Kerja dari Menteri Kehutanan pada tahun 2014, melalui Surat Keputusan No.SK.332/Menhut-II/2014 tanggal 27 Maret 2014, untuk areal seluas 1400 Ha. Areal HD Tanjung Agung secara tradisional merupakan lokasi kebun kopi masyarakat, yang terdiri dari 6 satuan kelompok areal kebun kopi, yaitu lokasi Batu Pikak (76 satuan penguasaan kebun kopi, dalam bahasa lokal disebut bidang), Talang Jabut (56 bidang), Joko Pauh (28 bidang), Pinang Teguh (tdk ada data), Talang Mayan (10 bidang), Pematang Lawu (43 bidang).

Pohon buah komersil yang dapat ditemukan di areal HD Tanjung Agung yaitu Nangka, Durian, Alpukat, dan Cengkeh. Pohon buah yang belum komersil namun dimanfaatkan/dikonsumsi secara tradisional yaitu kacang barangan (Castanea mollissima), Sali (Syzygium polycephalum), dan Lenggigir.

(13)

13 Hasil diskusi bersama pengurus dan anggota LPHD Tanjung Agung menyimpulkan bahwa jenis pohon buah yang layak untuk dikembangkan dalam skala komersil di areal HD adalah nangka dan alpukat. Kedua jenis tersebut selain saat ini telah menjadi komoditas perdagangan yang dapat membantu pendapatan petani, juga dinilai berasosiasi postif dengan tanaman kopi, sebagai tanaman utama HD. Kesimpulan ini persis dengan hasil identifikasi masalah yang telah dilakukan Balitbang LHK sebelumnya. Jenis-jenis lain tetap direkomendasikan untuk dapat dikembangkan di areal HD, namun dalam jumlah terbatas dan untuk areal tertentu saja

Hasil obervasi lapang tim peneliti dan pengurus HD Tanjung Agung menunjukkan bahwa hampir semua bidang kebun kopi dapat ditemui pohon nangka dan alpukat, namun dalam jumlah terbatas. Ada beberapa petani yang mulai menanam nangka dan alpukat dalam jumlah cukup banyak dan terencana. Kebanyakan petani menanam nangka dan alpukat belum untuk untuk tujuan komersil, hanya untuk kebutuhan sendiri, sehingga kebanyakan petani menanam dengan cara meletakkan biji di tanah/lahan dan tidak diatur. Pohon buah secara tradisional ditanam di sekitar pondok kebun saja. Tim peneliti dan pengurus HD sepakat untuk memperbanyak jumlah dan sebaran pohon nangka dan alpukat di kebun-kebun kopi.

Tantangan utama Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) adalah bagaimana melembagakan peran dan fungsi Hutan Desa, dan keberadaan LPHD, di dalam kehidupan petani yang telah sejak lama memanfaatkan kawasan hutan lindung untuk bertani kopi.

Gambar 2. Diskusi informal dengan pengurus LPHD tentang rancangan awal penelitian “Hutan Desa Hutan

Pangan”

Gambar 3. Observasi status pohon buah di kebun-kebun kopi di dalam areal Hutan Desa

(14)

14 Pelembagaan ini membutuhkan media dan proses. Jika tidak, maka Hutan Desa hanya akan ada di atas kertas, situasi di lapangan dan di masyarakat tidak akan berbeda antara sebelum dan setelah keluar izin pengelolaan hutan desa. Salah satu media dan proses pelembagaan hutan desa adalah dengan membangun persemaian yang dikelola oleh LPHD sendiri. Ide dasar persemaian ini adalah bahwa konsep Hutan Desa Hutan Pangan harus terwujud melalui aksi sistematik, gradual dan berkelanjutan, dimulai dari identifikasi jenis pohon buah, membangun persemaian, menentukan petani dan lokasi tanam, membangun jaringan dan dukungan untuk produksi bibit secara kontinyu.

Persemaian LPHD Tanjung Agung direncanakan dapat menghasilkan 3000 s.d 4000 bibit pohon buah unggul lokal. Selain direncanakan memroduksi bibit nangka dan alpukat sebagai jenis utama, persemaian juga mengalokasikan ruang untuk bibit tanaman unggulan lokal lain, seperti kacang barangan, Sali, dan rimau. Pengurus LPHD Tanjung Agung merencanakan 2/3 jumlah produksi bibit digunakan untuk membangun Hutan Pangan di areal kerja Hutan Desa, sementara sisa 1/3 bibit diperjualbelikan untuk kepentingan kelangsungan usaha persemaian.

Aktor pengurus LPHD yang berpotensi terlibat dalam pengambilan keputusan penelitian yaitu Pak Samlon, Pak Akrim, Pak Ahdi Rohman, Pak Agus Salim, dan Pak Aris Munandar.

Gambar 4. Kegiatan pembangunan persemaian LPHD; petani belum terbiasa membuat bibit pohon buah, namun

terampil dalam produksi bibit kopi

Gambar 5. Persemaian LPHD Tanjung Agung dibangun selain untuk mewujudkan Hutan Desa Hutan pangan,

(15)

15

b. Di Desa Muara Danau

Persemaian pohon buah unggulan lokal dipersiapkan oleh KTH Bukit Indah Desa Muara Danau yang bekerjsama dengan LPHD. KTH membuat persemaian seluas 5 x 12 M di areal yang dinilai cocok sebagai lokasi persemaian; dekat dengan sumber air, topografi datar, dekat dengan permukiman dan di lokasi yang sering dilewati anggota HD. KTH menyemaikan benih nangka, jengkol, dan pinang.

Secara operasional, persemaian untuk Hutan Desa Muara Danau ini akan dikelola oleh KTH Bukit Indah. Persemaian ini akan dikelola oleh pengurus dan anggota KTH, yaitu Pak Saprin, Pak Arifal Munadi, Pak Hadarumi, Pak Hafizin, dan Pak Sultan Khairun. Persemaian direncanakan memroduksi 4000an bibit; 3000 bibit untuk ditanam di HD, 1000 bibit sebagai sumber pendapatan untuk biaya produksi tahun berikutnya. Khusus untuk bibit nangka, direncanakan untuk dibuat sebagai bibit unggul dengan cara sambung sisip. Cara ini dipilih dengan pertimbangan bahwa petani telah memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam membuat sambung sisip tanaman kopi. Proses sambung sisip ini direncanakan dilaksanakan pada Bulan Oktober-November. Pengelola persemaian akan memilih pohon sumber entres dari pohon-pohon yang terbukti berbuah lebat dan sehat.

Secara kontekstual, hasil diskusi dan wawancara mendalam dengan petani di Desa Muara Danau memberikan indikasi tentang minimnya kerja-kerja sukarela/gotong royong tanpa upah. Petani tidak terbiasa bekerja dalam kelompok atau untuk kepentingan bersama. Ini merupakan dampak dari kegiatan pembangunan dari pemerintah yang hampir selalu Gambar 6. Pak Sarmanudin (kiri), Ketua LPHD

Muara Danau dan Pak Saprin (kanan), Ketua KTH Bukit Indah melakukan kerjasama membangun

persemaian pohon buah unggulan lokal

Gambar 7. Persemaian KTH-LPHD Muara Danau pada tahun 2018 direncanakan memroduksi bibit nangka, jengkol, pinang, dan jenis penghasil pangan lainnya

(16)

16 bersifat keproyekan, menggerakkan massa dengan upah, dan dengan modal sosial yang rendah. Hutan Desa juga dipersepsikan sebagai program pemerintah. Karenanya, tim peneliti dari Balitbang LHK Palembang merencanakan akan melakukan evaluasi eksistensi dan manfaat persemaian KTH-LPHD Muara Danau ini pada Bulan Oktober-November 2018. Untuk mengevaluasi kegiatan ini, maka akan disusun kriteria dan indikator “urgensi persemaian LPHD-KTH”. Tim akan menilai apakah persemaian ini berhasil atau tidak, kemudian dihubungkan dengan faktor-faktor yang dianggap memengaruhi berhasil atau tidaknya persemaian tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain: jumlah aktor aktif di persemaian, peran aktif ketua HD/KTH, banyaknya kegiatan/aktivitas harian yang diikuti pengurus persemaian, dukungan pemerintah desa, ada aktor yang bersikap altruistik, jumlah eksistensi gotong royong di desa, ketersediaan waktu pengurus, dukungan penyuluh.

Bibit hasil produksi persemaian LPHD-KTH ini direncanakan akan ditanam ataran Karetan, unit areal kebun kopi yang terdekat dengan desa. Ataran ini terdiri dari 15 unit penguasaan kebun kopi, dengan luas masing-masing kebun 1-4 ha. Rencana penanaman bibit tanaman buah dapat menjadi cikal bakal usaha perhutanan sosial LPHD Muara Danau. Hasil observasi dan wawancara tim peneliti dengan anggota HD di ataran Karetan menunjukkan bahwa semua kebun kopi pada dasarnya telah ditanami pohon-pohon penghasil buah seperti jengkol, durian, nangka, dan alpukat, namun jumlah yang tidak dominan. Salah satu masalah yang mengemuka yaitu serangan hama ulat batang pada tanaman jengkol dan penyakit embun upas pada tanaman alpukat dan nangka.

Gambar 8. Serangan ulat batang pada tanaman jengkol banyak dikeluhkan petani di Desa Muara Danau

Gambar 9. Anggota tim peneliti melakukan observasi dan wawancara dengan petani kopi di ataran Karetan HD

(17)

17 Konteks lain yang ditemukan peneliti dalam pembangunan persemaian dan obervasi lapang yaitu bahwa tanaman buah seperti pinang, jengkol, nangka, dan alpukat saat ini belum diposisikan sebagai komoditas komersil seperti kopi. Meskipun dapat diperdagangkan, buah-buahan seperti pinang dan nangka masih dinilai sebagai objek relasi sosial, sehingga menjadi tantangan untuk membangun keswadayaan/kerelaan berkorban bekerja mandiri membangun hutan pangan ini tanpa bantuan pemerintah, seperti dalam kasus tanaman kopi.

3. Evaluasi aksi persemaian

Ikhtisar hasil evaluasi bersama tim peneliti, pengurus LPHD dan Pengurus Persemaian terhadap aksi pembangunan persemaian JPP tahun 2018 disajikan dalam Tabel 1 dan tabel 2 berikut:

Tabel 1 Evaluasi aksi persemaian LPHD Desa Tanjung Agung, Kecamatan SDU

Indikator Nilai Keterangan

(Verifikator) Buruk (1) Kurang (2) Baik (3) Kinerja persemaian Rutinitas pemeliharaan (pembersihan gulma) √ 1. tidak terjadwal; 2. 2 minggu atau 1 bulan sekali;

3. 1. Minggu sekali Intensitas Penyiraman √ 3. Jarang; 2. Kadang-kadang;

3. Sering

Pertumbuhan bibit √ 1. Tumbuh kurang dari 50 %; 2. Tumbuh antara 50% -

80%; 3. Lebih dari 80%

Kesehatan bibit √ 1. Daun menguning; 2. Daun

hijau namun terkulai; 3. Daun hijau dan segar Kinerja kelembagaan

Pengurus persemaian √ 1. Hanya 1 orang; 2. Hanya 2 orang; 3. Lebih dari 2 orang Kunjungan anggota HD √ 1. Tidak pernah; 2. Pernah 1-2 orang; 3. Dikunjungi lebih

dari 3 orang

Gotong royong pemeliharan √ 1. Tidak pernah; kurang dari atau sama dengan 2 kali; 3. Lebih dari atau sama dengan

3 kali

Kunjungan pemerintah desa √ 1. Tidak pernah; 2. Pernah satu kali/satu orang; 3. Lebih

dari satu kali

Keberadaan persemaian √ 1. Hanya diketahui 1-2 orang saja; 2. Hanya diketahui pengurus HD; 3. Diketahui

(18)

18 Peran aktif ketua LPHD √ 1. Tidak aktif; 2. Menunggu

panggilan; 3. Selalu terdepan Kunjungan penyuluh/KPH

terhadap persemaian

√ 1. Tidak pernah; 2. Pernah 1-2 kali; 3. Lebih dari 1-2 kali Pengorbanan pengurus LPHD

untuk persemaian

√ 1. Tidak ada, hanya menunggu bantuan; 2.

Berkorban waktu; 3. Berkorban waktu, tenaga,

dan biaya Minat masyarakat untuk

meminta bibit

√ 1. Hanya 1-2 orang; 2. 3-5 orang; 3. Lebih dari 5 orang Tabel 2. Evaluasi aksi persemaian LPHD Desa Muara Danau, Kecamatan SDL

Indikator Nilai Keterangan

(Verifikator) Buruk (1) Kurang (2) Baik (3) Kinerja persemaian Rutinitas pemeliharaan (pembersihan gulma) √ 1. tidak terjadwal; 2. 2 minggu atau 1 bulan sekali;

3. 1. Minggu sekali Intensitas Penyiraman √ 3. Jarang; 2. Kadang-kadang;

3. Sering

Pertumbuhan bibit √ 1. Tumbuh kurang dari 50 %; 2. Tumbuh antara 50% -

80%; 3. Lebih dari 80%

Kesehatan bibit √ 1. Daun menguning; 2. Daun

hijau namun terkulai; 3. Daun hijau dan segar Kinerja kelembagaan

Pengurus persemaian √ 1. Hanya 1 orang; 2. Hanya 2 orang; 3. Lebih dari 2 orang Kunjungan anggota HD √ 1. Tidak pernah; 2. Pernah 1-2 orang; 3. Dikunjungi lebih

dari 3 orang

Gotong royong pemeliharan √ 1. Tidak pernah; kurang dari atau sama dengan 2 kali; 3. Lebih dari atau sama dengan

3 kali

Kunjungan pemerintah desa √ 1. Tidak pernah; 2. Pernah satu kali/satu orang; 3. Lebih

dari satu kali

Keberadaan persemaian √ 1. Hanya diketahui 1-2 orang saja; 2. Hanya diketahui pengurus HD; 3. Diketahui

pengurus dan anggota HD Peran aktif ketua LPHD √ 1. Tidak aktif; 2. Menunggu

panggilan; 3. Selalu terdepan Kunjungan penyuluh/KPH

terhadap persemaian

√ 1. Tidak pernah; 2. Pernah 1-2 kali; 3. Lebih dari 1-2 kali Pengorbanan pengurus LPHD

untuk persemaian

√ 1. Tidak ada, hanya

(19)

19 Berkorban waktu; 3. Berkorban waktu, tenaga,

dan biaya Minat masyarakat untuk

meminta bibit

√ 1. Hanya 1-2 orang; 2. 3-5 orang; 3. Lebih dari 5 orang Dampak proses kegiatan penelitian terhadap pemahaman masyarakat dan aktivitas pengelolaan Hutan Desa disajikan dalam Tabel 3 berikut:

Tabel 3 Pemahaman Pengurus LPHD dan petani di dalam areal HD terhadap Hutan Desa dan kelembagaannya

No Kronik aktivitas penelitian

Desa informan Deskripsi pemahaman tentang Hutan Desa (pengelolaan dan pemanfaatan)

1 Maret 2018; Observasi lapang pemilihan lokasi penelitian Cahaya Alam SDU

 Pengurus HD menyebut bahwa mereka telah memiliki RPHD yang penyusunannya difasilitasi LSM PINUS dan HaKi. Pengurus HD tidak menyimpan dokumen tersebut dan tidak paham substansi dan cara melaksanakan RPHD

 3 (tiga) orang petani Petani memberikan evaluasi terhadap program rehabilitasi hutan sebelumnya di areal mereka; program tidak berhasil karena bibit terlalu kecil, 30 cm, sementara dana perawatan/pembersihan gulma minim atau tidak ada dan tidak berlanjut; bibit dipasok dari dari luar tanpa ada diskusi tentang jenisnya dengan petani

 Nangka dan alpukat menunjukkan pertumbuhan dan hasil cocok dan diterima pasar

 Belum ada pengurus yang bersedia berkorban waktu, tenaga, dan biaya sendiri (swadaya) untuk membangun persemaian

Muara Danau SDL

 Tidak aktivitas Hutan Desa, baik secara kelembagaan maupun usaha tani

 Aktivitas Kelompok Tani Hutan (KTH)m dan Penyuluh (PKSM) tergantung tawaran kegiatan dari luar

 Jengkol, Nangka, dan Pinang menunjukkan pertumbuhan yang baik dan diterima pasar 2 April 2018;

Observasi lapang dan FGD usaha tani di areal Hutan Desa; membangun persemaian partisipatif Desa Tanjung Agung  LPHD tanpa kegiatan

 Pengurus LPHD antusias dan aktif dalam membangun persemaian bersama

 Petani di areal HD tidak tahu tentang Hutan Desa dan kelembagaannya

 Persemaian dibuat perencanan pemeliharaan dan produksi bibit

3 Mei 2018; Observasi lapang dan FGD usaha

Desa Muara Danau

 Kepala Desa tidak paham tentang Hutan Desa dan kelembagaannya

(20)

20 tani di areal Hutan

Desa; membangun persemaian

partisipatif

 Pengurus KTH dan Penyluh pendamping sangat sibuk dalam kegiatan Pembangunan Desa dan lainnya.

 Persemaian dibangun secara partisipatif oleh KTH dan keluarga

4. November 2019; Observasi lapang calon lahan dan petani, FGD, wawancara

Desa Tanjung Agung dan Muara Danau

 LPHD baru saja difasilitasi Pokja PPS menyusun RPHD dan RKT tahun 2019

 Jenis komoditas dalam persemaian partisipatif menjadi komodtas utama di dalam RPHD  KTH mendapatkan pekerjaan rehabilitasi lahan

Hutan Desa; 50 Ha di Tanjung Agung dan 60 Ha di Muara Danau

 Bibit untuk kegiatan rehabilitasi DAS sama dengan jenis di persemaian, namun tinggi bibit hanya 30 cm, sehingga petani menghindari untuk ditanam di kebun kopi

 Bibit persemaian dialokasikan kepada para petani untuk ditanam di kebun kopi; saat tanam diproyeksikan tinggi bibit 50-60 cm

(21)

21

BAB V. KESIMPULAN

Aksi partisipatif pembangunan persemaian JPPP mendapat respon positif, direncanakan, dilaksanakan, hasil bibitnya akan digunakan oleh petani untuk ditanam pada areal kebun kopi mereka. Prinsip utama dari aksi partisipatif ini adalah pemilihan benih/bibit yang disukai petani; asosiatif dengan tanaman kopi, menghasilkan produk yang bersifat subsisten dan komersil, dan terbukti berbuah. Aksi partisipatif atau aksi kolektif terjadi karena persemaian menawarkan pengetahuan baru, cara baru, kesetaraan anggota, dan dikoordinasikan oleh pemimpin sukarelawan.

(22)

22

DAFTAR PUSTAKA

Aliadi, A. 2011. Pengembangan kolaborasi Taman Nasional Gunung Ciremai: kajian melalui riset aksi. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Dick, B. 1997. Action learning and action research [On line]. Available at http://www.scu.edu.au/schools/gcm/ar/arp/actlearn.html. Download tanggal 16 Mei 2017.

---.2000. Cycles within cycles. Available on line:

http://www.scu.edu.au/schools/gcm/ar/arp/cycles.html.Download tanggal 16 Mei 2017.

Kemmis, Stephen and Robin McTaggart (eds) 1988a. The Action Research Planner. Deakin University, Australia: Deakin University opress (3rd edition).

Ferrance, E. 2000. Action Research. LAB Northeast and Islands Regional Educational Laboratory at Brown University.

Adam, Y.O. & Eltayeb, A.M., 2016. Forestry decentralization and poverty alleviation: A review. Forest Policy and Economics, 73, pp.300–307.

Adhikari, J., Ojha, H. & Bhattarai, B., 2016. Edible forest? Rethinking Nepal‟s forest governance in the era of food insecurity. International Forestry Review, 18(3),

pp.265–279. Available at:

http://www.bioone.org/doi/full/10.1505/146554816819501646.

Agrawal, A., 2007. Forests, governance, and sustainability: common property theory and its contributions. International Journal of the Commons, 1(1), pp.111–136. Available at:

https://www.thecommonsjournal.org/index.php/ijc/article/view/URN%3ANBN%3A NL%3AUI%3A10-IJC-07006.

Agrawal, A. & Ostrom, E., 2001. Collective action, property rights, and decentralisation in resource use in India and Nepal. Politics & Society, 29(4), pp.485–514.

Arnot, C.D., Luckert, M.K. & Boxall, P.C., 2011. What Is Tenure Security? Conceptual Implications for Empirical Analysis. Land Economics, 87(2), pp.297–311. Available at:

http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=bth&AN=60435904&site=eh ost-live.

Benjamin, C.E., 2008. Legal Pluralism and Decentralization: Natural Resource Management in Mali. World Development, 36(11), pp.2255–2276. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.worlddev.2008.03.005.

Brown, H.C.P. & Lassoie, J.P., 2010. Institutional choice and local legitimacy in community-based forest management: lessons from Cameroon. Environmental Conservation, 37(3), pp.261–269.

(23)

23 Chandrashekara, U.M., 2009. Tree species yielding edible fruit in the coffee-based homegardens of Kerala, India: their diversity, uses and management. Food Security, 1(3), pp.361–370. Available at: http://link.springer.com/10.1007/s12571-009-0032-0. Deni, 2014. Akses dan kontrol sumberdaya hutan gunung ciremai. Bogor Agricultural

University.

Edmunds, D. & Wollenberg, E. eds., 2003. Local Forest Management: The Impacts of Devolution Policies, London: Earthscan.

Forsyth, T. & Sikor, T., 2013. Forests, development and the globalisation of justice. Geographical Journal, 179(2), pp.114–121.

Gautam, A.P., 2009. Equity and livelihoods in Nepal‟s community Forestry. International Journal of Social Forestry, 2(2), pp.101–122.

Gautam, A.P., Karmacharya, M.B. & Karna, B.K., 2008. Community Forestry, Equity and Sustainable Livelihoods in Nepal. Governing shared resources: connecting local experience to global challenges. The 12th Biennial Conference of the International Association for the Study of Commons, pp.1–22.

Ginger, C. et al., 2012. Access to natural resources on private property: Factors beyond right of entry. Society & Natural Resources, 25(November 2014), pp.700–715.

Available at:

http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/08941920.2011.633596%5Cnhttp://ww w.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/08941920.2011.633596?src=recsys#.Ve6l_xHtm ko.

Hayes, T. & Persha, L., 2010. Nesting local forestry initiatives: Revisiting community forest management in a REDD+ world. Forest Policy and Economics, 12(8), pp.545– 553. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.forpol.2010.07.003.

Larson, A.M. & Ribot, J.C., 2004. Democratic Decentralisation through a Natural Resource Lens: An Introduction. The European Journal of Development Research, 16(1), pp.1–25.

Larson, A.M. & Soto, F., 2008. Decentralization of Natural Resource Governance Regimes. Annu. Rev. Environ. Resour, 33, pp.213–39.

Lund, J.F. & Treue, T., 2008. Are We Getting There? Evidence of Decentralized Forest Management from the Tanzanian Miombo Woodlands. World Development, 36(12), pp.2780–2800. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.worlddev.2008.01.014. Martin, E. et al., 2016a. Etika subsistensi petani kopi: Memahami dinamika pengembangan

agroforestri di Dataran Tinggi Sumatera Selatan. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 4(1), pp.92–102.

Martin, E. et al., 2016b. Traditional Institution for Forest Conservation within Changing Community: Insight from the Case of Upland South Sumatra. Komunitas: International Journal of Indonesian Society and Culture, 8(2), pp.236–249.

Martin, E. et al., 2016c. Tunggu Tubang and Ulu Ayek: Social Mechanism of Sustainable Protected Forest Management. JMHT, 22(2), pp.85–93.

(24)

24 Maryudi, A. & Krott, M., 2012. Local Struggle for Accessing State Forest Property in a Montane Forest Village in Java, Indonesia. Journal of Sustainable Development, 5(7), pp.62–68.

Oke, D.O. & Odebiyi, K.A., 2007. Traditional cocoa-based agroforestry and forest species conservation in Ondo State, Nigeria. Agriculture, Ecosystems and Environment, 122(3), pp.305–311.

Oli, B.N., Treue, T. & Smith-Hall, C., 2016. The relative importance of community forests, government forests, and private forests for household-level incomes in the Middle Hills of Nepal. Forest Policy and Economics, 70, pp.155–163. Available at: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S1389934116301459.

Pagdee, A., 2004. What makes community forestry successful: A meta-study worldwide and the analysis of the Northern Arizona University Centennial Forest. Northern Arizona University.

Peluso, N.L., 1996. Fruit Trees and Family Trees in an Anthropogenic Forest: Ethics of Access, Property Zones, and Environmental Change in Indonesia. Comparative Studies in Society and History, 38(3), p.510.

Persha, L. & Andersson, K., 2014. Elite capture risk and mitigation in decentralized forest governance regimes. Global Environmental Change, 24, pp.265–276. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2013.12.005.

Pokharel, R.K. et al., 2015. Assessing the sustainability in community based forestry: A case from Nepal. Forest Policy and Economics, 58(June 1992), pp.75–84. Available at: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1389934114001932.

Pulhin, J.M. & Dressler, W.H., 2009. People, power and timber: The politics of community-based forest management. Journal of Environmental Management, 91(1), pp.206–214. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.jenvman.2009.08.007.

Rahman, S.A. et al., 2016. Tree Culture of Smallholder Farmers Practicing Agroforestry in Gunung Salak Valley, West Java, Indonesia. Small-scale Forestry, 15(4), pp.433– 442.

Rasolofoson, R.A. et al., 2015. Effectiveness of Community Forest Management at reducing deforestation in Madagascar. Biological Conservation, 184, pp.271–277. Available at: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0006320715000488.

Resosudarmo, I.A.P. et al., 2014. Does tenure security lead to REDD+ project effectiveness? Reflections from five emerging sites in Indonesia. World Development, 55, pp.68–83. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.worlddev.2013.01.015.

Ribot, J.C. & Peluso, N.L., 2003. A theory of access. Rural Sociology, 68(2), pp.153–181. Available at: http://dblp.uni-trier.de/db/conf/fossacs/fossacs1999.html#BorealeNP99. Robinson, B.E., Holland, M.B. & Naughton-Treves, L., 2014. Does secure land tenure

save forests? A meta-analysis of the relationship between land tenure and tropical deforestation. Global Environmental Change, 29, pp.281–293. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2013.05.012.

(25)

25 Sahide, M. et al., 2016. Decentralisation policy as recentralisation strategy: forest management units and community forestry in Indonesia. International Forestry Review, 18(1), pp.78–95.

Schlager, E. & Ostrom, E., 1992. Property-rights regimes and natural resources: A conceptual analysis. Land Economics, 68(3), pp.249–262.

Shackleton, C.M. et al., 2000. The use of and trade in indigenous edible fruits in the Bushbuckridge Savanna region, South Africa. Ecology of Food and Nutrition, 39(3), pp.225–245.

Shi, M. et al., 2016. Empirical linkages between devolved tenure systems and forest conditions: Selected case studies and country experiences. Forest Policy and

Economics. Available at:

http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S138993411630096X.

Sikor, T. & Lund, C., 2009. Access and property: A question of power and authority. Development and Change, 40(1), pp.1–22.

Sunam, R.K. & McCarthy, J.F., 2010. Advancing equity in community forestry: Recognition of the poor matters. International Forestry Review, 12(4), pp.370–382. Available at: http://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.0-78650456019&partnerID=40&md5=f073d630abb4129e6ada85d5bc26a017.

Thoms, C. a., 2008. Community control of resources and the challenge of improving local livelihoods: A critical examination of community forestry in Nepal. Geoforum, 39, pp.1452–1465.

Uphoff, N.T., 1992. Local Institutions and Participation for Sustainable Development Gatekeeper., London, UK: International Institute for Environment and Development (IIED). Available at: http://pubs.iied.org/pubs/pdfs/6045IIED.pdf.

Gambar

Gambar  1.  Siklus  Riset  Aksi  (Aliadi,  2011  diadaptasi  dari  Kemmis  dan  Mc  Taggart,  1988a)
Gambar 2. Diskusi informal dengan pengurus LPHD  tentang rancangan awal penelitian “Hutan  Desa Hutan
Gambar 4. Kegiatan pembangunan persemaian LPHD;
Gambar 6. Pak Sarmanudin (kiri), Ketua LPHD  Muara Danau dan Pak Saprin (kanan), Ketua KTH
+5

Referensi

Dokumen terkait

Metode simulasi merupakan induk dari metode soiodrama, bermain peran ( role playing ), psikodrama, dan permainan. Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan

testing , gambar (a) wajah mahasiswa tidak berhasil teridentifikasi dengan benar pada video meskipun komposisi warnanya (warna kerudung) sama dengan komposisi warna

Suorakylvökoekentällä kynnetyn maan lämpötila jäi katekoekenttää alemmaksi, ja se saavutti sänkipeitteisen maan lämpötilan noin viikkoa myöhemmin kuin

[r]

1. Bentuk alih kode terjadi pada penyiar radio Jazirah 104,3 FM yakni alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Melayu Bengkulu, bahasa Serawai dialek Kaur, dan

6 2 Mampu memahami konsep keperawatan anak dalam konteks keluarga - Perspektif keperawat an anak dalam konteks keluarga - Konsep atraumatic care - Konsep family

Ciri-ciri simulasi sistem telah digunakan untuk mewakili sistem sebenarnya yang telah diuji, metode ini bisa memberi informasi yang lengkap tentang karakteristik dari

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas 5 jenis rizobakteri pemacu tumbuh tanaman (RPTT) dalam menekan pertumbuhan Athelia rolfsii (Curzi) dan