• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa menurut Dardjowidjojo (2003: 16) adalah suatu sistem simbol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Bahasa menurut Dardjowidjojo (2003: 16) adalah suatu sistem simbol"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa menurut Dardjowidjojo (2003: 16) adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer, dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antarsesama, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama. Dalam aktivitas berbahasa dimungkinkan adanya penyimpangan-penyimpangan, baik dalam tataran fonologis, morfologis, sintaksis, semantis, dan pragmatis. Penyimpangan-penyimpangan tersebut salah satunya diakibatkan oleh adanya gangguan dalam berbahasa.

Gangguan dalam proses berbahasa bisa berupa gangguan alat wicara dan gangguan wicara. Gangguan alat wicara berhubungan dengan gangguan pada alat ucap. Pada dasarnya, penderita gangguan ini masih bisa berkomunikasi dengan baik, namun karena salah satu bagian alat ucapnya terganggu, ia mengalami masalah ketika berbicara (Darmojuwono dan Kushartanti dalam Kushartanti dkk., 2005:29).

Gangguan wicara berkaitan dengan gangguan pada otak. Gangguan wicara terjadi karena pecahnya pembuluh darah, tersumbatnya pembuluh darah, atau terhambatnya aliran oksigen ke otak (Darmojuwono dan Kushartanti dalam Kushartanti dkk., 2005:30). Selain gangguan alat wicara dan gangguan wicara, gangguan berbahasa juga bisa disebabkan oleh gangguan mental, seperti retardasi mental dan autisme yang biasanya terjadi sejak masa kanak-kanak.

(2)

kanak-kanak. Safaria(2005:1) menjelaskan autisme sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain akibat adanya gangguan berbahasa yang ditunjukkan pada keterlambatan penguasaan bahasa, ecocalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.

Subjek autis dalam penelitian ini adalah siswa Sekolah Lanjutan Autis (SLA) Fredofios dengan kemampuan verbal yang cukup bagus. Berikut adalah salah satu data transkripsi percakapan dengan subjek.

(1) I:”Sebelum dipindahkan ke kain, terlebih dahulu digambar di kertas, gambar apa tadi?” (menunjuk gambar kapal laut)

D:”Pesawat, Pe ̶ sawá ̶ t." I:"Pesawat?" D:"Pe ̶ sawă ̶ t." I:"Ká ̶ ?" D:"Ká. " I:"Kapal." D:"Kapal layă ̶ ."

Dari awal percakapan subjek autis sangat interaktif. Padahal, dalam kondisi nonpercakapan subjek autis sangat pasif, bahkan ketika istirahat ia hanya duduk dan tidak berbicara selama tiga puluh menit, namun ketika diajak berbicara dia sangat responsif meskipun terkadang kualitas jawabannya kurang baik.

Dilihat dari segi fonologisnya, kata pesawat pada data (1) diujarkan dengan unik, yaitu diujarkan dengan memvariasikan tinggi rendahnya intonasi serta memanjang dan memendekkan interval vokal. Silabe pertama pada kata pesawat diujarkan dengan memanjangkan interval vokal /e/, sedangkan pada silabe akhir diujarkan dengan memanjangkan interval dan menaikkan intonasi

(3)

vokal /a/.

Jika data (1) dianalisis dari segi pragmatisnya, dapat ditemukan adanya penyimpangan dalam prinsip kerjasama yang berkaitan dengan penerapan maksim kualitas. Prinsip maksim kualitas menuntut peserta tutur untuk memberikan kontribusi berupa fakta yang sebenar-benarnya.

Pada data (1) subjek melakukan kesalahan dalam menyebutkan nama alat transportasi yang digambar oleh guru. Guru kemudian mengujarkan kata Pesawat? Dilihat dari konteksnya, pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk memberitahu bahwa jawaban subjek autis salah, namun subjek justru merepetisi kata pesawat karena tidak memahami maksud tuturan dari guru.

Kajian penyimpangan bahasa pada penyandang autisme ini berhubungan dengan aspek linguistik secara umum, baik dari tataran fonologis, morfologis, sintaksis, semantis, maupun pragmatis. Penelitian semacam ini belum banyak dilakukan oleh peneliti karena data kebahasaan pada penyandang autisme selalu berbeda-beda pada setiap subjeknya. Hal lain yang mendorong dilakukannya penelitian ini adalah karena adanya dorongan sosial untuk mengetahui cara seorang penyandang autisme berkomunikasi dengan orang lain. Penelitian ini juga menjadi tantangan bagi peneliti dalam beradaptasi dengan penyandang autisme di sekolah, sehingga bermanfaat dalam mendapatkan pengalaman baru.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang dibahas di dalam penelitian ini adalah:

1. Apa dan bagaimana penyimpangan bahasa subjek autis dalam tataran fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantis?

(4)

2. Apa dan bagaimana penyimpangan bahasa subjek autis dalam tataran pragmatis?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menyebutkan dan mendeskripsikan penyimpangan bahasa subjek autis dalam tataran fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantis.

2. Menyebutkan dan mendeskripsikan penyimpangan bahasa subjek autis dalam tataran pragmatis.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan manfaat teoretis, penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan keilmuan untuk penelitian longitudinal. Data dalam penelitian ini bisa dijadikan sebagai data dasar untuk mengawali penelitian yang selanjutnya, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih luas mengenai penyimpangan bahasa pada penyandang autisme.

Berdasarkan manfaat praktisnya, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pembaca nonilmuwan sebagai literatur penambah wawasan mengenai cara seorang penyandang autisme berkomunikasi dengan orang lain. Penelitian ini juga bermanfaat bagi peneliti untuk mendapatkan pengalaman baru dalam berinteraksi dengan penyandang autisme.

(5)

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai gangguian berbahasa pada penyandang autisme telah dilakukan oleh Fajria Fatmasari dengan judul tesis “Kompetensi Berbahasa pada Anak Autis”. Penelitian ini menggunakan subjek tunggal bernama Andika Budi Nugroho yang berusia sebelas tahun. Subjek diketahui menderita autisme sejak balita, namun telah mendapatkan penanganan atau terapi secara berkelanjutan. Selain itu, subjek bersekolah di sekolah reguler SD Alam Ar Ridho Semarang.

Penelitian ini memaparkan bahwa ujaran-ujaran subjek muncul dalam bentuk kalimat, klausa, frasa, dan kata. Tiap-tiap ujaran mengandung maksud, antara lain untuk menjawab, bercerita, meminta, melarang, dan bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Selain itu, terjadi penghadiran konteks kembali (rekontekstualisasi) mengenai topik perjalanan dalam percakapan yang diwujudkan dalam peralihan topik yang muncul secara spontan dan tidak dapat diprediksi waktu kemunculannya. Topik alihan berupa bus dan kereta api yang kemudian berkembang menjadi lalu lintas, jurusan, nama armada, jadwal keberangkatan, dan tempat tempat pemberhentian.

Terdapat penelitian lain dengan judul “Media Komunikasi Augmentatif bagi Anak Autis Spektrum Disorder (ASD)”. Penelitian ini dilakukan secara berkelompok oleh Ahmad Nawawi, Anik Dwi H., Munce R.. Therie, dan Yulian Agus S. dari jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) Fakultas Ilmu Pendidikan, UPI Bandung pada tahun 2009. Penelitian ini memakai subjek tunggal bernama KVL yang berusia 8 tahun.

Penelitian ini menunjukkan bahwa subjek memiliki kemampuan pragmatik yang rendah karena adanya kesulitan dalam berbicara. Aspek-aspek

(6)

pragmatik lebih banyak ditunjukkan melalui bahasa tubuh dengan sedikit penambahan unsur verbal kata mama atau papa. Dalam penelitian ini berhasil dibuktikan bahwa KVL memiliki kecocokan dengan metode kartu bergambar dalam berkomunikasi.

Selain itu, terdapat penelitian yang berjudul “Pola Komunikasi Guru dengan Siswa Autis Kelas IV Sekolah Dasar di Sekolah Autisme Laboratorium Universitas Negeri Malang”. Penelitian ini dilakukan oleh Siti Robiah, Dawud, dan Kusubakti Andajani dari Universitas Negeri Malang.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD di Sekolah Autisme Laboratorium Universitas Negeri Malang terbagi menjadi dua, yaitu verbal dan nonverbal. Pada bentuk komunikasi verbal ditemukan empat kategori, yaitu asertif, direktif, ekspresif, dan komisif, Sementara untuk bentuk komunikasi nonverbal ditemukan dua kategori, yaitu isyarat dan tindakan. Bentuk komunikasi isyarat dengan kategori isyarat asertif dan isyarat direktif. Sementara bentuk komunikasi tindakan hanya satu kategori, yaitu tindakan direktif.

1.6 Landasan Teori

Autisme menurut istilah ilmiah kedokteran, psikiatri, dan psikologi termasuk dalam gangguan perkembangan pervasif (pervasive developmental disorders). Beberapa gangguan yang menyertai penyandang autis di antaranya adalah distorsi perkembangan fungsi psikologis dasar majemuk yang meliputi perkembangan keterampilan sosial dan berbahasa, seperti perhatian, persepsi, daya nilai terhadap realitas, dan gangguan gerakan-gerakan motorik. (Triantoro,

(7)

2005:1). Hans Asperger (dalam Prasetyono, 2008:11) menyebutkan bahwa gangguan ini disebut dengan psikopat autistik masa kanak-kanak.

Dulu anak-anak yang mengalami gangguan ini telah dideskripsikan dalam berbagai istilah, misalnya atypical children, symbiolic, psychoyic children, chilhood schizofrenia, dan lainnya (Safaria, 2005:2). Safaria (2005:2) menjelaskan secara sederhana bahwa autisme merupakan suatu gangguan perkembangan pervasif yang secara menyeluruh menganggu fungsi kognitif, emosi, dan psikomotorik anak. Autisme bukanlah gangguan mental yang begitu saja muncul pada seorang anak. Beberapa penyebab dari autisme pada anak-anak antara lain, keracunan logam berat ketika anak dalam kandungan, spasma infantil, rubella kongenital, sklerosis tuberosalipidosis serebral, dan anomali kromosom X (Safaria, 2005:2-3).

Autisme sebagai salah atu faktor penyebab terjadinya penyimpanan aspek kebahasaan berkaitan dengan kajian psikolinguistik dalam ilmu bahasa. Harley (dalam Dardjowidjojo, 2005: 7) berpendapat bahwa psikolinguistik adalah studi tentang proses mental-mental dalam pemakaian bahasa. Chaer (2003: 6) berpendapat bahwa psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, bagaimana struktur itu diperoleh dan digunakan pada waktu bertutur dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu.

Sistem berbicara seseorang dapat tidak selalu berfungsi dengan semestinya. Penyimpangan fungsi bahasa dalam komunikasi itu disebabkan oleh banyak faktor. Jenis-jenis penyimpangan yang paling umum di antaranya adalah keraguan, jeda, pembetulan, permulaan yang salah, pengulangan, kegagapan, dan lidah keseleo (Nababan, 1992:59).

(8)

Bahasa digunakan untuk berkomunikasi sehingga penyimpangan bahasa tidak hanya ditemukan pada tataran struktural sistem berbicara saja, namun juga dimungkinkan adanya penyimpangan pada aspek eksternal ketika bahasa itu digunakan dalam berkomunikasi. Penyimpangan pada tataran eksternal ini berkaitan dengan penutur dan lawan tutur yang sedang berkomunikasi untuk menjalin kerja sama karena menurut prinsip kooperatif Grice, ketika berkomunikasi, penutur mencoba untuk kooperatif atau bekerja sama dengan para peserta komunikasi (Ihsan, 2011:109-111).

Pada tahap produksi ujaran terdapat tiga proses, yaitu konseptualisasi, formulasi, dan artikulasi (Dardjowidjojo, 2005:141). Tahap konseptualisasi adalah tahap ketika pembicara merencanakan struktur konseptual yang akan disampaikan. Tahap formulasi adalah tahap ketika lema yang cocok akan diretrif dari leksikon mental yang kemudian diberi kategori dan struktur sintaktik serta afiksasinya. Tahap artikulasi adalah tahap ketika kerangka dan isi yang sudah jadi diwujudkan dalam bentuk bunyi (Dardjowidjojo, 2005:141).

Pengujaran yang ideal terwujud dalam suatu bentuk ujaran yang lancar sejak ujaran itu dimulai sampai ujaran itu selesai. Kata-kata yang diujarkan terangkai dengan rapi, tidak terputus, dan kalaupun ada senyapan, senyapan itu terjadi pada konstituen-konstituen yang memungkinkan untuk disenyapi. Intonasi ujarannya pun merupakan suatu kesatuan dari awal sampai akhir (Dardjowidjojo, 2005:142).

Pada umumnya orang berbicara sambil berpikir sehingga semakin sulit topik yang dibicarakan, maka semakin banyak jumlah senyapan yang muncul (Dardjowidjojo, 2005:142). Kesenyapan disebabkan oleh tiga hal. Pertama,

(9)

senyap karena terlanjur memulai ujaran, namun penutur belum siap untuk mengujarkan seluruh kalimat. Kedua, senyap karena lupa dengan kata-kata yang akan diujarkan. Ketiga, senyap karena sebagai bentuk kehati-hatian atau keragu-raguan, senyapan ini bisa berupa senyapan diam dan senyapan terisi (Dardjowidjojo, 2005:144).

Bentuk-bentuk penyimpangan yang lain adalah kekeliruan semantik. Kekeliruan semantik terjadi jika kata yang diretrif tidak sesuai dengan yang diinginkan. Kekeliruan ini biasanya terjadi pada kata-kata yang berada pada satu medan makna yang sama (Dardjowidjojo, 2005:147). Selain itu, juga terdapat penyimpangan berupa campur kata. Campur kata muncul apabila penutur tergesa-gesa sehingga dia mengambil satu atau sebagian suku dari kata pertama dan kedua yang kemudian dua kata tersebut disatukan (Dardjowidjojo, 2005:148).

Kekeliruan asembling adalah bentuk kekeliruan ketika kata-kata yang dipilih sudah benar, tetapi asemblingnya keliru. Bentuk kekeliruan asembling ini bisa berupa transposisi, antisipasi, dan perseverasi. Transposisi adalah kekeliruan yang terjadi karena pemindahan kata atau bunyi dari suatu posisi ke posisi yang lain. Antisipasi adalah penyimpangan yang terjadi jika pembicara mengantisipasi munculnya suatu bunyi, lalu bunyi itu diucapkan sebagai ganti dari bunyi yang seharusnya. Perseverasi atau disebut juga dengan repetisi adalah kebalikan dari antisipasi, pada perseverasi kekeliruan terjadi pada kata yang di belakang (yang mengikuti) (Dardjowidjojo, 2005:150).

Aspek penyimpanan kebahasaan pada anak autisme bisa diteliti dengan pendekatan dalam ilmu linguistik. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari, menganalisis, dan meneliti bahasa sebagai objeknya berdasarkan struktur bahasa

(10)

tersebut; bahasa merupakan bagian kebudayaan (Parera, 1991: 18-19). Kajian dalam linguistik di antaranya adalah fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik.

Fonologi berkenaan dengan fungsi bunyi-bunyi bahasa sebagai satuan bahasa yang memiliki fungsi pembeda (distingtif). Jadi, objek fisik bahasa yang dipelajari dalam fonetik dan fonologi sebenarnya sama, tetapi objek tersebut dipandang dari keperluan dan tujuan yang berbeda (Rahyono, 2005:45). Menurut Chaer (1994: 340), fonologi membicarakan tulisan/huruf: litterae atau bagian terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan. Salah satu objek kajian dalam fonologi adalah fonem. Menurut Muslich (2008: 77) fonem adalah bagian dari objek kajian fonologi yang berupa kesatuan terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna.

Pada tataran pembentukan kata dikenal ilmu morfologi. Kata morfologi dalam KBBI (2008:544) mempunyai makna cabang linguistik yang mempelajari tentang morfem dan kombinasinya. Pada kamus linguistik (Kridalaksana, 2008: 159) menyebutkan pengertian morfologi sebagai bidang linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasi-kombinasinya atau bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagian kata, yaitu morfem.

Morfologi membahas mengenai kata. Kata adalah bagian minimum dari sebuah ujaran dan harus diartikan terpisah dalam makna sebagai satu keseluruhan (Chaer,1994: 341). Kridalaksana (2001:98) mendefinisikan kata sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas. Kata juga merupakan satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal (misalnya, batu, rumah, datang) atau gabungan morfem. Proses pembentukan kata dalam

(11)

ilmu morfologi disebut sebagai proses morfologis. Proses morfologis pada dasarnya adalah proses pembentukan kata dari sebuah bentuk dasar melalui pembubuhan afiks (afiksasi), pengulangan (reduplikasi), penggabungan (komposisi), pemendekan (akronimisasi), dan pengubahan status (konversi) (Chaer, 2008: 25).

Cabang linguistik yang selanjutnya adalah sintaksis. Di dalam KBBI (2008:1357), kata sintaksis mempunyai makna (1) pengaturan dan hubungan kata dengan kata atau dengan satuan lain yang lebih besar; (2) cabang linguistik tentang susunan kalimat dan bagiannya; ilmu tata kalimat. Menurut Ramlan (1976:57), sintaksis adalah bagian dari tata bahasa yang membicarakan struktur frasa dan kalimat.

Objek kajian dari sintaksis adalah frasa, klausa, dan kalimat. Kridalaksana (2001:59) menyatakan bahwa frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat, dapat renggang. Menurut Kridalaksana (2001:110) klausa adalah satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangya terdiri dari subjek dan predikat dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat. Menurut Kridalaksana (2001:92) kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final, dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa. Verhaar (2001:161) secara singkat menyatakan bahwa kalimat adalah satuan yang memiliki intonasi tertentu sebagai pemarkah keseluruhan.

Cabang linguistik yang selanjutnya adalah semantik. Kata semantik dalam KBBI (2008:1300) mempunyai makna (1) ilmu yang mempelajari makna kata dan kalimat; (2) pengetahuan mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti kata; (3)

(12)

bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan atau struktur makna suatu ujaran.

Cabang linguistik yang lain adalah pragmatik. Dalam kajian pragmatik terdapat teori Grice (dalam Kushartanti dkk, 2005:106-107) yang mengungkapkan bahwa dalam prinsip kerjasama seorang pembicara harus mematuhi empat maksim. Maksim adalah prinsip yang harus ditaati oleh peserta pertuturan dalam berinteraksi baik secara tekstual maupun interpersonal dalam upaya melancarkan jalannya proses komunikasi. Keempat maksim percakapan itu adalah maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara.

Berdasarkan maksim kuantitas, penutur harus memberikan kontribusi yang secukupnya kepada mitra tuturnya. Maksim. kuantitas juga dipenuhi ujaran pembatas yang menunjukkan keterbatasan penutur dalam mengungkapkan informasi dengan menambahkan ungkapan singkatnya, dengan kata lain, kalau boleh dikatakan, dan sebagainya (Kushartanti dkk., 2005:107).

Berdasarkan maksim kualitas, peserta percakapan harus mengatakan hal yang sebenar-benarnya. Untuk pemenuhan maksim kualitas, penutur bisa menambahkan ungkapan pada awal ujarannya dengan setahu saya, kalau tidak salah dengar, katanya, dan sebagainya (Kushartanti dkk, 2005:107).

Berdasarkan maksim relevansi, setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan situasi pembicaraan. Topik-topik yang berbeda dalam sebuah percakapan dapat menjadi relevan jika mempunyai kaitan. Ungkapan pembatas untuk pemenuhan maksim relevansi, misalnya ungkapan ngomong-ngomong..., sambil lalu..., By the way... (Kushartanti dkk., 2005:107-108).

(13)

Berdasarkan maksim cara, setiap peserta percakapan harus berbicara langsung dan lugas serta tidak berlebihan. Di dalam maksim ini, seorang penutur juga harus menafsirkan kata-kata yang dipergunakan oleh mitra tuturnya berdasarkan konteks pemakaiannya (Kushartanti dkk., 2005:108).

1.7 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam subbab ini dibagi menjadi ruang lingkup subjek dan ruang lingkup keilmuan. Penelitian ini menggunakan satu sampel sebagai subjek penelitian. Subjek tunggal dalam penelitian ini disamarkan namanya. Subjek merupakan siswa laki-laki SLA Fredofios Yogyakarta. Subjek berasal dari Pangkal Pinang, saat ini dia berusia 18 tahun. Sebelum bersekolah di SLA, subjek autis menamatkan studi di SLB N Pembina 1 Yogyakarta.

Pemilihan subjek penelitian ini didasarkan pada hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti di SLA Fredofios secara langsung. Subjek autis ini memiliki kemampuan verbal yang cukup baik dibandingkan dengan siswa yang lainnya. Ia termasuk individu autis yang responsif, namun subjek cenderung pasif saat di luar aktivitas percakapan.

Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini dibatasi oleh analisis pada tataran fonologis, morfologis, sintaksis, semantis, dan pragmatis. Ruang lingkup fonologis meneliti aspek-aspek penyimpangann dalam pengujaran bunyi bahasa Indonesia. Ruang lingkup morfologis meneliti aspek-aspek penyimpangan dalam proses morfologis suatu kata yang diujarkan oleh subjek. Ruang lingkup sintaksis meneliti aspek-aspek penyimpangan dalam pembentukan frasa, klausa, dan kalimat. Ruang lingkup pragmatis meneliti ujaran dalam wacana komunikasi dua

(14)

arah antara subjek autis dengan lawan tuturnya.

1.8 Metode Penelitian

Metode penelitian ini dibagi menjadi metode dalam pengambilan data, metode analisis data, dan metode penyajian data. Metode pengambilan data mencakup alat-alat dan cara yang digunakan dalam mendapatkan data, metode analisis data mencakup teknik-teknik yang digunakan dalam memilah data, dan metode penyajian data berkaitan dengan teknik dalam menyajikan data.

Alat yang digunakan di dalam menjaring data dalam penelitian ini antara lain: alat perekam suara, digunakan untuk merekam bentuk-bentuk ujaran yang dihasilkan oleh subjek penelitian; alat tulis, digunakan untuk mencatat data-data yang bersifat tak terduga; laptop, digunakan untuk mengolah data-data yang berupa data audio. Selain alat-alat pendokumentasi data, dalam penelitian ini juga disediakan instrumen kartu bergambar untuk memancing subjek agar mampu berimprovisasi dan menghasilkan ujaran-ujaran yang berbeda tergantung data yang ingin didapatkan oleh peneliti.

Data dalam penelitian ini diambil menggunakan metode simak libat cakap dengan teknik sadap, catat, dan pancing. Data ujaran juga diambil dengan metode simak bebas libat cakap dengan teknik sadap dan catat. Teknik simak libat cakap dilakukan dengan merekam dan mencatat setiap ujaran subjek autis dalam setiap aktivitas di sekolah; peneliti juga melibatkan diri dalam aktivitas tersebut. Teknik simak bebas libat cakap dilakukan dengan cara merekam dan mencatat ujaran subjek; peneliti tidak melibatkan diri dalam aktivitas percakapan subjek autis. Teknik pancing dalam metode simak libat cakap dilakukan dengan pengujian

(15)

eksperimental, pengujian ini dilakukan dengan menggunakan instrumen kartu bergambar.

Data yang terkumpul kemudian ditransliterasi dan diberi nomor. Setelah itu data dianalisis menggunakan metode padan dan agih. Data yang berupa penyimpangan fonologis dianalisis menggunakan metode padan fonetis artikulatoris dengan teknik dasar pilah unsur penentu. Daya pilah yang digunakan adalah daya pilah pembeda organ wicara. Setelah itu dilanjutkan dengan teknik hubung banding membedakan.

Data yang berupa penyimpangan morfologis dianalisis menggunakan metode agih dengan teknik dasar bagi unsur langsung. Setelah itu data dianalisis menggunakan teknik lesap dan teknik ubah wujud.

Data yang berupa penyimpangan sintaksis dianalisis menggunakan metode agih dengan teknik dasar bagi unsur langsung. Teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik lesap, teknik ganti, teknik sisip, teknik balik, dan teknik ubah wujud.

Data penyimpangan semantis dianalisis menggunakan metode padan referensial dengan teknik dasar pilah unsur penentu. Daya pilah yang digunakan adalah daya pilah pembeda referen. Teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik hubung banding menyamakan hal pokok.

Data penyimpangan pragmatis dianalisis menggunakan metode padan pragmatis dengan teknik dasar pilah unsur penentu. Daya pilah yang digunakan adalah daya pilah pembeda reaksi. Teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik hubung banding menyamakan hal pokok.

(16)

data. Penyajian data dilakukan dengan metode formal dan metode informal. Metode formal dilakukan dengan cara menyajikan data transkripsi yang dilengkapi penomoran data dan deskripsi mendalam sebagai analisisnya. Selain itu, juga disajikan bagan peta berpikir pada setiap analisis data. Metode informal dilakukan dengan cara menambahkan simbol-simbol fonetis pada transkripsi data yang disajikan.

1.9 Sistematika Penyajian Hasil Penelitian

Hasil penelitian akan dipaparkan dalam bentuk deskripsi kualitatif yang terdiri dari tiga bab yaitu: (1) pendahuluan, memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian hasil penelitian; (2) penyimpangan fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantis pada ujaran penyandang autisme; (3) penyimpangan bahasa anak autis yang meliputi penyimpangan pada maksim kualitas, maksim relevansi, maksim kuantitas, dan maksim pelaksanaan; (4) kesimpulan dan saran.

Data yang disajikan dalam penelitian ini diberi kode penomoran angka dengan pola urutan pemunculan data di dalam laporan. Data tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan kategori penyimpangan pada bab yang sesuai dengan kriteria penyimpangan kemudian dijelaskan secara mendalam dalam bentuk deskriptif.

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan hal itu perlu dilakukan penelitian ini dengan tujuan mengkaji dosis substitusi azolla dalam pakan komersil sebagai pakan yang memberikan nilai tinggi

P (Participants) P1 dalam dialog tersebut adalah Lorna yang sedang berbicara pada P2 yaitu James... 145 No

Penyusunan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dalam

Aksi diselenggarakan kelompok afi nitas akan menjadi tujuan akhirnya, namun tindakan kolektif infoshop hanya salah satu dari berbagai tugas yang dibutuhkan untuk mempertahankan

Fungsi speaker ini adalah mengubah gelombang listrik menjadi getaran suara.proses pengubahan gelombag listrik/electromagnet menjadi gelombang suara terjadi karna

[r]

Latar Belakang: Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat

Berangkat dari masalah yang ditemukan, penulis mengadakan penelitian dengan metode studi pustaka, observasi, perancangan, instalasi, uji coba serta implementasi untuk menemukan