• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGANTAR A. Latar Belakang B. Tujuan Pembelajaran Tujuan Pembelajaran Umum Tujuan Pembelajaran Khusus C. Deskripsi Singkat D. Metode Pembelajaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGANTAR A. Latar Belakang B. Tujuan Pembelajaran Tujuan Pembelajaran Umum Tujuan Pembelajaran Khusus C. Deskripsi Singkat D. Metode Pembelajaran"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PENGANTAR A. Latar Belakang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, terutama pada Bab VI Bagian Kesatu pasal 28, 29, dan pasal 30 mengamanatkan perlunya dilakukan pendaftaran sebagai bagian dari proses penyusunan Register Nasional. Penyusunan Register Nasional merupakan upaya penting untuk mengetahui jumlah kekayaan Cagar budaya secara nasional. Sehubungan dengan hal tersebut dilakukan pendaftaran sebagai langkah awal dalam pencatatan Objek yang akan diusulkan sebagai Cagar Budaya kepada Pemerintah Kabupaten/Kota atau perwakilan Pemerintah Republik Indonesia di luar negeri.

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, kegiatan pendaftaran menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota. Lebih lanjut agar pelaksanaan pendaftaran dapat berjalan secara terpadu antara Pemerintah Pusat dan Daerah maka perlu disusun sistem dan jejaring pendaftaran Cagar Budaya yang tepat dan berkesinambungan. Guna mempersiapkan sistem dan jejaring tersebut, perlu dipersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang mampu melakukan pendaftaran Cagar Budaya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sebagai tahap awal dalam mempersiapkan tenaga pendaftar, dibutuhkan SDM yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang Cagar Budaya. Menindaklanjuti hal tersebut, dirasakan perlu tenaga pelatih pendaftaran Cagar Budaya, khususnya di tingkat provinsi. Pencapaian kemampuan tenaga pendaftar Cagar Budaya memerlukan bahan ajar berupa modul bagi tenaga pelatih pendaftaran dan tenaga pendaftar Cagar Budaya.

B. Tujuan Pembelajaran

Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah mengikuti pelatihan ini diharapkan peserta pelatihan petugas pendaftar mampu: 1. Memahami pengertian Cagar Budaya.

2. Memahami proses dan prosedur pendaftaran Cagar Budaya.

3. Mampu mengimplementasikan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pendaftaran Cagar Budaya.

Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah mengikuti pelatihan ini diharapkan peserta pelatihan petugas pendaftar mampu: 1. Menjadi petugas pendaftar Cagar Budaya yang kompeten.

2. Menjadi pelatih petugas pendaftar di Kabupaten/Kota (training of trainer).

C. Deskripsi Singkat

Modul ini merupakan bahan ajar yang berisi tentang pengenalan Cagar Budaya, pendaftaran Cagar Budaya, pendokumentasian Cagar Budaya, dan pengisian formulir pendaftaran Cagar Budaya.

D. Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran dalam pelatihan ini dilakukan dengan cara pemaparan teori, diskusi, alat peraga serta praktek di dalam dan di luar ruangan.

(2)

2

MODUL I

(3)

3

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki kekayaan warisan budaya yang tak ternilai harganya, tersebar di seluruh wilayah Indonesia, baik yang berupa benda (tangible) maupun yang tak benda (intangible). Warisan budaya benda (tangible) yang memiliki nilai penting perlu dilestarikan dan ditetapkan sebagai Cagar Budaya.

Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010, Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Sebagai salah satu kekayaan budaya, Cagar Budaya harus dikelola dengan tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan dan pemanfaatannya dalam rangka memajukan kebudayaan nasional dan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Pengelolaan Cagar Budaya masih memiliki banyak permasalahan, baik dalam penamaan, penghitungan, pengidentifikasian, maupun pengklasifikasiannya.

Pengertian dan kriteria Cagar Budaya perlu dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan (Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, dan setiap orang). Oleh karena itu, perlu disusun sebuah panduan atau modul untuk kegiatan pelatihan Pendaftaran Cagar Budaya.

1.2 Tujuan

Penyusunan modul ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang pengertian dan kriteria Cagar Budaya sesuai dengan amanat Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2010 kepada peserta pelatihan.

1.3 Metode

- Ceramah dan diskusi.

1.4 Sarana

Laptop, LCD, dan alat Peraga

1.5 Waktu

(4)

4

BAB 2

PENGERTIAN DAN KRITERIA CAGAR BUDAYA 2.1 Pengertian Cagar Budaya

Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang tidak memenuhi kriteria cagar budaya, tetapi memiliki arti khusus bagi masyarakat atau bangsa Indonesia, dapat diusulkan sebagai Cagar Budaya melalui proses penelitian. Arti khusus tersebut dapat merupakan simbol pemersatu, kebanggaan, dan jati diri bangsa, atau yang merupakan suatu peristiwa luar biasa berskala nasional atau dunia (contoh: Monumen Nasional di Jakarta, Monumen Lubang Buaya di Jakarta, kapal terdampar akibat peristiwa tsunami di Banda Aceh, dan lain-lain).

2.2 Tujuan Pelestarian Cagar Budaya

Pelestarian Cagar Budaya bertujuan:

1. melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia; 2. meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya; 3. memperkuat kepribadian bangsa;

4. meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan

5. mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional.

2.3 Jenis dan Kriteria Cagar Budaya

Berdasarkan jenisnya, Cagar Budaya dapat dibagi menjadi: 1. Benda Cagar Budaya

2. Bangunan Cagar Budaya 3. Struktur Cagar Budaya 4. Situs Cagar Budaya 5. Kawasan Cagar Budaya

2.3.1 Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik

bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

Kriteria:

1. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih. Penentuan umur 50 tahun berdasarkan:

a. angka tahun yang tertera pada benda yang bersangkutan; b. keterangan sejarah yang berasal dari sumber tertulis atau lisan;

(5)

5 2. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun.

Contoh:

kapak batu, candrasa, gaya seni arca yang mewakili masa tertentu (Gaya Singasari, Gaya Majapahit, Gaya Mataram Kuno, Gaya Bali Kuno), sepeda onthel, alat komunikasi radio, perabotan rumah tangga (lemari es dari kaleng, setrika arang)

Kapak Batu dan Beliung Arca

3. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.

a. Benda yang memiliki arti khusus bagi sejarah, misalnya tandu Panglima Besar Soedirman, bendera merah putih yang dikibarkan saat Proklamasi, benda yang digunakan oleh tokoh adat/daerah.

Biola yang digunakan Wage Rudolf Soepratman untuk memainkan

(6)

6 b. Benda yang memiliki arti khusus bagi ilmu pengetahuan, misalnya kincir air sebagai penggerak alat penumbuk kopi, baling-baling tradisional pengusir unggas, pintu air/tembuku untuk pembagian air dalam sistem subak.

c. Benda yang memiliki arti khusus bagi pendidikan, misalnya batu sabak sebagai alat tulis, alat hitung tradisional, wayang yang digunakan dalam penyuluhan.

d. Benda yang memiliki arti khusus bagi agama, misalnya lontar berisi mantra-mantra suci, kitab suci yang digunakan pertama kali dalam penyebaran agama tertentu di daerah tertentu, nisan dari tokoh penyebar agama pertama di daerah tertentu, arca, pratima di Bali.

Contoh: Batu Kunci pada Candi sebagai bukti pengetahuan Teknik Sipil masyarakat pendukung Candi tersebut.

Contoh: Fragmen relief Candi yang menceritakan kisah kebajikan dapat menjadi sumber pendidikan bagi masyarakat masa kini dan masa depan.

Contoh: Genta yang umumnya digunakan pada upacara keagamaan Hindu-Buddha, bahkan di beberapa tempat sering ditemukan di situs-situs megalitik.

(7)

7 e. Benda yang memiliki arti khusus bagi kebudayaan, misalnya perangkat musik

tradisional, pusaka (pakaian, senjata, kereta) di keraton/pura/istana.

4. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Misalnya , naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, wayang, kain tradisional, keris.

5. berupa benda alam dan/atau benda buatan manusia yang dimanfaatkan oleh manusia, serta sisa-sisa biota yang dapat dihubungkan dengan kegiatan manusia dan/atau dapat dihubungkan dengan sejarah manusia.

Contoh: sisa-sisa manusia dan binatang, tumbuh-tumbuhan; kapak batu, arca, menhir, peti kubur batu, tulang belulang di pemakaman kuno, cangkang kerang yang digunakan sebagai perhiasan, cangkang kerang sisa makanan.

Contoh: Keris sebagai pusaka keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

yang melambangkan

kebudayaan masyarakat Yogyakarta.

Keterangan:

(a) ukiran (hulu/pegangan keris), (b) wilah (bilah keris), dan (c) wrangka (sarung keris).

Contoh: Naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian Bangsa Indonesia.

Contoh: Fosil Homo Erectus di Sangiran dapat dihubungkan dengan sejarah manusia.

(8)

8 6. bersifat bergerak atau tidak bergerak.

Benda yang bersifat bergerak atau tidak bergerak, misalnya mata uang, perhiasan, keris, kapak batu, guci, wadah tembikar, nekara perunggu, arca, menhir, dan sarkofagus.

Beliung sebagai contoh Benda Cagar Budaya Bergerak

7. merupakan kesatuan atau kelompok.

Contoh: lingga yoni, menhir dan kelompok menhir, umpak batu, arca dalam sistem perdewaan tertentu, nisan dan jirat.

Menhir adalah batu tegak berlatar tradisi megalitik yang merupakan objek pemujaan serta umumnya ditancapkan dalam posisi berdiri sebagai contoh Benda Cagar Budaya tidak Bergerak.

Contoh: Lingga (a) dan Yoni (b) umumnya adalah dua benda yang dapat dipisahkan namun merupakan kesatuan. Lingga dan Yoni melambangkan Dewa Siwa dan

Dewi Parwati, umumnya

dihubungkan dengan keberadaan sebuah Candi.

(a)

(9)

9 Dalam melakukan identifikasi cagar budaya, benda dapat diamati berdasarkan periode/masa benda itu berasal, bahan pembuatan, dan fungsi.

1. Periode/masa.

Periode/masa dapat dibagi menjadi:

a. Masa Prasejarah: sebelum ada bukti tertulis.

Contoh: kapak perimbas, beliung, manik-manik, moko, kapak upacara, perhiasan dari logam, gerabah.

b. Masa Klasik Hindu-Buddha: masa pengaruh kebudayaan dari India (abad IV – XV M)

Contoh: arca, peripih, prasasti, lingga, yoni, gerabah, perhiasan, mata uang. c. Masa Islam: masa pengaruh kebudayaan Islam (abad XII – XIX M).

Contoh: batu nisan, Al qur’an, mihrab, keramik, gerabah, senjata.

d. Masa Kolonial: Masa Kolonial diawali dengan mulai masuknya bangsa – bangsa Eropa ke wilayah nusantara seperti Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang (abad XVI-XX M).

Contoh: meriam, senapan, pakaian prajurit, perabot rumah tangga, patung, prasasti, mata uang, alat musik.

e. Masa Kemerdekaan: dari masa kemerdekaan.

Contoh: tandu Jenderal Soedirman, naskah proklamasi, bendera pusaka, kendaraan kenegaraan, biola W.R Supratman.

Proses penentuan periodisasi Cagar Budaya membutuhkan kajian tersendiri, maka penjelasan periodisasi pada Modul ini dibuat sebagai pengantar. Penentuan periodisasi minimal dilakukan oleh Petugas Verifikator Data dan lebih baik oleh Tim Ahli Cagar Budaya.

2. Bahan

Bahan benda dilihat berdasarkan bahan utamanya dandibagi menjadi: a. Batu : kapak, arca, beliung, prasasti, manik-manik.

b. Tanah : tembikar, materai tanah liat, stupika tanah liat, celengan, alat rumah tangga, bagian puncak atap bangunan. c. Kaca : perhiasan, alat rumah tangga,,

d. Kulit : alat musik, bagian alat/ sarung pisau, wayang, kostum penari

e. Kain : perlengkapan upacara adat

f. Kertas : teks proklamasi

g. Gading/Tanduk : perhiasan, peralatan

h. Daun : naskah tradisional/lontar, lontara

i. Kayu : patung, alat – alat rumah tangga, senjata, peti mati. j. Logam : nekara, senjata, perhiasan, arca, uang.

k. Tulang/Gigi : mata panah, perhiasan, wadah.

l. Campuran : bilah keris beserta sarung dan hulu/pegangannya, senjata, wadah, lukisan.

(10)

10 3. Fungsi

Fungsi dapat dibagi menjadi:

a. Sakral: Benda cagar budaya yang masih atau pernah difungsikan oleh

pendukungnya untuk keperluan keagamaan atau kepercayaan, alat-alat upacara agama

Contoh: keris, genta upacara, perhiasan, gerabah, arca, menhir, kapak upacara.

b. Profan: Benda Cagar budaya yang dimanfaatkan untuk kepentingan sehari- hari. Misalnya benda cagar budaya untuk alat rumah tangga, alat kerja, dll.

Contoh: periuk, tungku, kapak, perhiasan, kendaraan, gerabah, pipisan.

2.3.2 Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau

benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.

Kriteria:

a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih; Penentuan umur 50 tahun berdasarkan:

I. angka tahun yang tertera pada bangunan yang bersangkutan; II. keterangan sejarah yang berasal dari sumber tertulis atau lisan.

Tasbih adalah perlengkapan keagamaan dan dapat digunakan sebagai kalung dan dijumpai antara lain pada tradisi agama Islam, Katholik, Yahudi, Hindu, dan Buddha.

Teko sebagai contoh Benda Cagar Budaya yang dimanfaatkan untuk kepentingan sehari-hari.

Prasasti Angka Tahun Pembangunan pada Bangunan Museum Sono Boedoyo, Yogyakarta.

(11)

11 b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;

contohnya: Gaya bangunan Candi Mataram Kuno di Jawa Tengah, Gaya bangunan kolonial yang mewakili masa tertentu (gaya art deco, indis, rumah-rumah di Kawasan Pecinan), Rumah tradisional (tongkonan, jabu, joglo, rumah limas, rumah gadang, rumah panjang).

c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.

I. Bangunan yang memiliki arti khusus bagi sejarah, misalnya rumah proklamator, rumah pengasingan tokoh negara, bangunan suci yang terkait sejarah suatu daerah (candi, masjid, gereja, pura).

II. Bangunan yang memiliki arti khusus bagi ilmu pengetahuan, misalnya Candi Borobudur dan Prambanan merepresentasikan kemajuan teknik arsitektur, teknik sipil, seni, sistem kepercayaan dan filosofi masyarakat pada masanya.

Prasasti pada bangunan Museum Sono Boedoyo, Yogyakarta memiliki angka tahun yang dapat digunakan untuk penentuan umur bangunan.

Contoh: Gaya Arsitektur Bangunan Kolonial memiliki ciri-ciri tertentu yang dapat

menunjukkan umur bangunan

tersebut.

Contoh:

Bangunan Museum Sumpah

Pemuda, Jakarta memiliki arti khusus bagi sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa.

Contoh:

Candi Prambanan merepresentasikan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat Jawa Tengah pada abad IX M.

(12)

12 III. Bangunan yang memiliki arti khusus bagi pendidikan, misalnya bangunan

Stovia, sekolah Boedi Oetomo, sekolahTaman Siswa, Museum Nasional.

IV. Bangunan yang memiliki arti khusus bagi agama, misalnya candi, masjid, gereja, pura, kelenteng.

V. Bangunan yang memiliki arti khusus bagi kebudayaan, misalnya Candi Jawi merepresentasikan filosofi masyarakat pada masanya, Masjid Kudus merepresentasikan akulturasi kebudayaan Hindu dan Islam, dan Sendang Duwur di Lamongan merepresentasikan akulturasi kebudayaan Hindu dan Islam.

Contoh:

Gedung Museum Kebangkitan

Nasional dahulu adalah Sekolah Dokter Pribumi yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial. Gedung tersebut adalah bukti bahwa pendidikan adalah faktor utama kebangkitan bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Contoh:

Masjid Kudus merepresentasikan akulturasi kebudayaan Hindu dan Islam.

Foto: Tropenmuseum (public domain) Contoh:

Bangunan Masjid Istiqlal memiliki arti khusus bagi agama, karena selain fungsinya sebagai tempat ibadah, masjid ini juga dirancang oleh Frederich Silaban yang adalah seorang penganut agama Kristen. Hal tersebut merupakan wujud toleransi beragama di Indonesia.

(13)

13 d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Misalnya: Candi Borobudur, masjid, gereja, pura, kelenteng, keraton, bangunan Indis.

e. berunsur tunggal atau banyak.

Bangunan berunsur tunggal adalah bangunan yang dibuat dari satu jenis bahan dan tidak mungkin dipisahkan dari kesatuannya. Misalnya: punden berundak, dan candi.

Bangunan berunsur banyak adalah bangunan yang dibuat dari lebih dari satu jenis bahan dan dapat dipisahkan dari kesatuannya. Misalnya: masjid, gereja, pura, kelenteng.

Candi Angsa, Prambanan Jawa Tengah sebagai contoh bangunan yang dibuat dari satu jenis bahan dan tidak mungkin dipisahkan dari kesatuannya.

Istana Merdeka Republik Indonesia memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa karena merupakan simbol kenegaraan,

Foto: http://travel.wikinut.com

Masjid sebagai contoh bangunan yang dibuat dari lebih dari satu jenis bahan dan dapat dipisahkan dari kesatuannya.

(14)

14 f. berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam.

Bangunan yang tidak terikat dengan formasi alam kecuali yang menjadi tempat kedudukannya. Misalnya: candi, masjid, gereja, pura, kelenteng, keraton bangunan hunian, bangunan publik.

Bangunan yang menyatu dengan formasi alam adalah struktur yang dibuat di atas tanah atau pada formasi alam lain baik separuh atau keseluruhan. Misalnya: Candi Ceta di Karanganyar Jawa Tengah, Candi Ratu Boko Yogyakarta, Candi Ijo Yogyakarta, Pura Besakih Karangasem Bali.

Dalam melakukan identifikasi cagar budaya, bangunan dapat diamati berdasarkan periode/masa bangunan itu berasal, bahan pembuatan, dan fungsi.

1. Periode/masa.

Periode/masa dapat dibagi menjadi: c. Masa Prasejarah

Contoh: -

d. Masa Klasik Hindu-Buddha

Contoh: Candi Borobudur di Magelang, Candi Prambanan di Yogyakarta, Pura Meru Cakranegara NTB, Gapura Paduraksa Bajang Ratu Trowulan. e. Masa Islam

Contoh: Pura Taman Lingsar NTB, Masjid dan Menara Kudus di Jawa Tengah, Istana Maimun di Medan, Istana Kasepuhan dan Kanoman di Cirebon.

f. Masa Kolonial

Contoh: Gereja Tua Asei Papua, Gereja Protestan Kupang NTT, Gereja Tua Sejiram Kalimantan Barat, Rumah Tradisional Bubungan Tinggi Kalimantan Selatan.

g. Masa Kemerdekaan

Contoh: Monumen Nasional, Gedung Pola, Gelora Bung Karno.

Proses penentuan periodisasi Cagar Budaya membutuhkan kajian tersendiri, maka penjelasan periodisasi pada Modul ini dibuat sebagai pengantar. Penentuan periodisasi

Candi Gunung Kawi di Bali adalah contoh bangunan yang menyatu dengan formasi alam.

(15)

15 minimal dilakukan oleh Petugas Verifikator Data dan lebih baik oleh Tim Ahli Cagar Budaya.

2. Bahan

Bahan bangunan dapat dibagi berdasarkan komponen utamanya menjadi:

a. Batu: Candi Plaosan di Jawa Tengah, Gua Gajah di Bali, Petirtaan Jalatunda di Jawa Timur .

b. Bata: Candi Bata di Padang Lawas Sumatera Utara, Pura Maospahit Denpasar Bali.

c. Kayu: Rumah Adat (Rumah Adat Kudus, Rumah Adat Tongkonan, Toraja, Rumah Adat Bugis, Makassar, Rumah Gadang Silinduang Bulan di Batusangkar, Rumah Panjang Suku Dayak, Rumah Tradisional Bali .

3. Fungsi

Fungsi dapat dibagi menjadi:

a. Sakral: Bangunan Cagar Budaya yang masih atau pernah difungsikan oleh pendukungnya untuk keperluan keagamaan atau kepercayaan. Contoh: Candi, Masjid, Pura, Kelenteng

b. Profan: Bangunan Cagar Budaya yang dimanfaatkan untuk kehidupan sehari- hari.

Contoh: Rumah tinggal, Istana, Bangunan Publik (Stasiun, Kantor, Rumah Sakit, Sekolah)

2.3.3 Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau

benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.

Kriteria:

a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih; Penentuan umur 50 tahun berdasarkan:

1) angka tahun yang tertera pada struktur yang bersangkutan;

2) keterangan sejarah yang berasal dari sumber tertulis dan/atau lisan. b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;

contohnya: Candi Tikus di Trowulan, Petirthaan Payak di Yogyakarta, Candi-Candi di Muara Jambi, Gua Gajah Bedulu di Bali, Petirthaan Belahan di Jawa

Contoh: Bangunan Stasiun Solojebres, Jawa Tengah yang berfungsi sebagai bangunan profan yaitu sarana perhubungan.

(16)

16 Timur, Tirtha Empul di Bali, Jembatan Kota Intan di Jakarta, Kanal di Muara Jambi,

c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.

1) Struktur yang memiliki arti khusus bagi sejarah, misalnya punden berundak, Candi, Monumen Peringatan Tsunami di Aceh.

2) Struktur yang memiliki arti khusus bagi ilmu pengetahuan, misalnya punden berundak, terowongan saluran irigasi, landasan pesawat Sekutu di Pulau Morotai, Kanal di Muara Jambi, Kolam Segaran di Trowulan.

3) Struktur yang memiliki arti khusus bagi pendidikan, misalnya punden berundak, Batu Lompat di Nias.

Contoh: Kolam Segaran di Trowulan memiliki arti khusus untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi tata kota pada masa Majapahit Kuno (Abad XIV).

Contoh: Struktur Jembatan Merah Surabaya memiliki arti khusus bagi sejarah perjuangan bangsa.

Foto: http://panduanwisata.com

Contoh: Batu Lompat di Nias memiliki arti khusus mengenai pendidikan kedewasaan bagi masyarakat pendukungnya.

(17)

17 4) Struktur yang memiliki arti khusus bagi agama, misalnya punden berundak, Candi Sukuh di Jawa Tengah, Candi-Candi di Muara Jambi, Candi Muara Takus di Riau, Petirthaan Belahan di Jawa Timur.

5) Struktur yang memiliki arti khusus bagi kebudayaan, misalnya Punden Berundak di Lebak Sibeduk Banten, Batu Lompat di Nias.

d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Misalnya: Candi Borobudur, Candi-candi di Gunung Penanggungan, Monumen Pembebasan Irian Barat.

e. berunsur tunggal atau banyak.

Struktur berunsur tunggal adalah struktur yang dibuat dari satu jenis bahan dan tidak mungkin dipisahkan dari kesatuannya.

Misalnya: punden berundak di Lebak Sibeduk, Punden Berundak Pangguyangan di Jawa Barat, Candi Borobudur, Candi Sukuh, Sumur Jobong di Trowulan, Batu Lompat di Nias, jalan setapak menuju Candi Gunung Kawi di Tampak Siring Bali.

Struktur berunsur banyak adalah struktur yang dibuat dari lebih dari satu jenis bahan dan dapat dipisahkan dari kesatuannya.

Misalnya: Jembatan Kota Intan di Jakarta, Jembatan Ampera di Palembang, Rel Trem di Kota Tua Jakarta.

Contoh: Monumen Pembebasan Irian Barat, Jakarta sebagai simbol peringatan perjuangan kemerdekaan Irian Barat memiliki nilai penguatan kepribadian bangsa.

Foto: http://srimpet.wordpress.com

Contoh: Punden Berundak adalah struktur yang dibuat dari satu jenis bahan dan tidak mungkin dipisahkan dari kesatuannya .

Contoh: Jembatan Kota Intan, Jakarta merupakan contoh struktur yang dibuat dari lebih dari satu jenis bahan dan dapat dipisahkan dari kesatuannya.

(18)

18 Dalam melakukan identifikasi cagar budaya, struktur dapat diamati berdasarkan periode/masa struktur itu berasal, bahan pembuatan, dan fungsi.

1. Periode/masa

Periode/masa dapat dibagi menjadi: a. Masa Prasejarah

Contoh: Punden berundak Pangguyangan di Jawa Barat, Bukit Kerang di

Aceh.

b. Masa Klasik Hindu–Buddha

Contoh: Stupa di Muara Takus, Stupa Sumberawan di Malang, Sumur Jobong di Trowulan, Kolam Segaran di Trowulan.

c. Masa Islam

Contoh: Makam Troloyo di Trowulan, Makam Fatimah binti Maimun di Gresik, Kolam Tasik Ardi di Banten Lama.

d. Masa Kolonial

Contoh: Makam Belanda (Kerkhof) di Tanah Abang Jakarta, Tugu Masuknya Injil di Papua

e. Masa Kemerdekaan

Contoh: Taman Makam Pahlawan di Margarana Bali, Monumen Yogya Kembali.

Proses penentuan periodisasi Cagar Budaya membutuhkan kajian tersendiri, maka penjelasan periodisasi pada Modul ini dibuat sebagai pengantar. Penentuan periodisasi minimal dilakukan oleh Petugas Verifikator Data dan lebih baik oleh Tim Ahli Cagar Budaya.

2. Bahan

Bahan struktur dapat dibagi berdasarkan komponen utamanya menjadi: a. Batu : Punden Berundak, Candi (yang tidak memiliki ruang; Borobudur,

Stupa Sumberawan di Malang, Stupa Glagah di Yogyakarta, Stupa di Pura Pegulingan Bali), Petirtaan Jalatunda di Trowulan.

b. Tanah : Candi-candi di Batu Jaya Karawang, Sumur Jobong dan Susunan Bata di Trowulan, Kolam Segaran di Trowulan, Kolam Talago Rajo di Muara Jambi.

c. Kayu : Jembatan Kota Intan di Jakarta.

(19)

19 3. Fungsi

Fungsi dapat dibagi menjadi:

a. Sakral: Struktur Cagar Budaya yang masih atau pernah difungsikan oleh pendukungnya untuk keperluan keagamaan atau kepercayaan. Contoh: Stupa di Pura Pegulingan Bali, Candi-candi di Muara Jambi.

b. Profan: Struktur Cagar Budaya yang dimanfaatkan untuk kehidupan sehari- hari.

Contoh: Bukit Kerang di Aceh, Sumur Jobong di Trowulan, Kolam

Karanganyar di Palembang, Bendungan Situ Gintung di Tangerang Selatan.

Contoh: Stupa di Pura Pegulingan Bali berfungsi sakral sebagai sarana peribadatan.

Contoh: Jembatan Kota Intan Jakarta berfungsi profan yakni sebagai sarana transportasi dan perhubungan.

(20)

20

Contoh: Situs Ratu Boko, Yogyakarta mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya dan menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu.

2.3.4 Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang

mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.

Kriteria:

Lokasi dapat ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya apabila:

a. mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya; dan

b. menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu.

Dalam melakukan identifikasi cagar budaya, situs dapat diamati berdasarkan periode/masa situs itu berasal, dan fungsi.

1. Periode/masa

Periode/masa dapat dibagi menjadi: a. Masa Prasejarah

Contoh: Situs Leang Bua di Flores, Situs Megalitik Lembah Bada di Sulawesi Tengah, Situs Megalitik Tinggihari di Sumatera Selatan.

b. Masa Klasik Hindu – Buddha

Contoh: Situs Kutai Purba di Kalimantan Timur, Situs Padang Lawas di Sumatera Utara.

c. Masa Islam

Contoh: Situs Keraton Buton, Situs Banten Lama, Situs Kompleks Makam Kandang Meuh di Aceh, Situs Keraton Plered di Yogyakarta, Istana dan Masjid Pasir Balengkong di Kalimantan Timur.

d. Masa Kolonial

Contoh: Situs Benteng Oranje di Ternate, Situs Pasar Lorong Saudagar di Sumatera Barat, Situs Benteng Vastenburg di Solo,

Situs Penjara Boven Digul di Papua e. Masa Kemerdekaan

Contoh: Lapangan IKADA (Lapangan Banteng) di Jakarta, Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit) di Surabaya.

(21)

21 Proses penentuan periodisasi Cagar Budaya membutuhkan kajian tersendiri, maka penjelasan periodisasi pada Modul ini dibuat sebagai pengantar. Penentuan periodisasi minimal dilakukan oleh Petugas Verifikator Data dan lebih baik oleh Tim Ahli Cagar Budaya.

2. Fungsi

Fungsi dapat dibagi menjadi: a. Sakral

Situs Cagar Budaya yang masih atau pernah difungsikan oleh pendukungnya untuk keperluan keagamaan atau kepercayaan.

Contoh: Situs Gua Harimau di Sumatera Selatan, Situs Candi Sewu di Jawa Tengah, Gua Gajah di Bali.

b. Profan

Situs Cagar Budaya yang dimanfaatkan bukan untuk kepentingan keagamaan atau kepercayaan.

Contoh: Situs pemukiman Ratu Boko di Yogyakarta, Situs Sukadiri di Banten, Situs Benteng Rotterdam di Makassar, Situs Prasejarah Leang- Leang di Sulawesi Selatan, Situs Gilimanuk, Bali.

Contoh: Situs Goa Gajah di Bali berfungsi sakral sebagai sarana peribadatan.

Contoh: Situs Benteng Vredeburg Yogyakarta berfungsi profan sebagai sarana pertahanan dan keamanan.

(22)

22

2.3.5 Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar

Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

Kriteria:

Satuan ruang geografis dapat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya apabila: a. mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan; b. berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling sedikit 50 (lima

puluh) tahun;

c. memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;

d. memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan ruang berskala luas;

e. memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan

f. memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau endapan fosil.

Contoh: Kota Tua Yogyakarta memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

(23)

23 Dalam melakukan identifikasi cagar budaya, kawasan dapat diamati berdasarkan periode/masa kawasan itu berasal, dan juga fungsi.

1. Periode/masa

Periode/masa dapat dibagi menjadi: a. Masa Prasejarah

Contoh: Kawasan Sangiran di Jawa Tengah, Kawasan Maros – Pangkep di Sulawesi Selatan, Kawasan Pati Ayam di Kebumen, Kawasan Megalitik Lore di Sulawesi Tengah, Kawasan Seni Cadas di Teluk Berau Papua Barat.

b. Masa Klasik Hindu – Buddha

Contoh: Kawasan Trowulan, Kawasan Muara Jambi, Kawasan Muara Takus di Riau, Kawasan Pura Besakih, Bali.

c. Masa Islam

Contoh: Kawasan Kota Gede di Yogyakarta, Kawasan Banten Girang, Kawasan Istana Qadriyah Kesultanan Pontianak, Kawasan Pegayaman di Bali.

d. Masa Kolonial

Contoh: Kawasan Kota Tua Medan, Kawasan Kota Tua Semarang,

Kawasan Kota Tua Padang, Kawasan Benteng-Benteng Otanaha, Ulupahu, dan Otahia di Gorontalo, Kawasan Pertambangan Sawahlunto di Sumatera Barat, Kawasan Pelabuhan/Pabean Buleleng. e. Masa Kemerdekaan.

Contoh: Kawasan Pengasingan Bung Karno di Ende NTT, Kawasan

Monumen Nasional Jakarta, Kawasan Pengasingan Tokoh-tokoh kemerdekaan di Banda Maluku.

Proses penentuan periodisasi Cagar Budaya membutuhkan kajian tersendiri, maka penjelasan periodisasi pada Modul ini dibuat sebagai pengantar. Penentuan periodisasi minimal dilakukan oleh Petugas Verifikator Data dan lebih baik oleh Tim Ahli Cagar Budaya.

Contoh: Daerah Aliran Sungai Kali Cemoro di Desa Krikilan, sebagai bagian dari Kawasan Sangiran memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau endapan fosil sehingga dapat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya.

(24)

24 2. Fungsi

Fungsi dapat dibagi menjadi: a. Sakral

Kawasan Cagar Budaya yang masih atau pernah difungsikan oleh pendukungnya untuk keperluan keagamaan atau kepercayaan.

Contoh: Kawasan Percandian Muara Jambi, Candi-candi di lereng Gunung Penanggungan Jawa Timur. Kawasan Percandian DAS Pakerisan di Bali.

b. Profan

Kawasan Cagar Budaya yang dimanfaatkan untuk kegiatan sehari-hari. Contoh: Kawasan Manusia Purba Sangiran,

Kawasan Pemukiman Kuno di Trowulan, Kawasan Banten Lama

c. Campuran

Kawasan Cagar Budaya yang dimanfaatkan untuk keperluan keagamaan dan kehidupan sehari-hari.

Contoh: Pada Kawasan Kota Tua terdapat bangunan keagamaan, bangunan publik, dan bangunan hunian.

(25)

25

Referensi

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya - Vademekum Benda Cagar Budaya

- Metode Penelitian Arkeologi - Album Peninggalan Purbakala - Ancient Indonesian Art

- Katalog Koleksi Museum Nasional

- Laporan-Laporan Penelitian Arkeologi dan Jurnal-Jurnal Penelitian Arkeologi - Kamus Arkeologi Jilid 1 dan 2

- Sejarah Nasional Indonesia I sampai VI - Sejarah Kebudayaan Indonesia I sampai VII

Referensi

Dokumen terkait

Melalui kegiatan presentasi kelompok, siswa dapat mengkomunikasikan hasil diskusi tentang sikap kebersamaan dalam perbedaan kegemaran di rumah dengan percaya diri..

Berdasarkan uraian tersebut kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam

335 Ni Wayan Rati, S.Pd., M.Pd 197612142009122002 Pendidikan Guru Sekolah Dasar 2013 Penerapan Iptek Pendampingan Penyusunan Lembar Kerja Siswa (LKS) Siaga Bencana Berbasiskan

Dengan menggunakan EVA sebagai alat ukur kinerja yang menjadi dasar dalam pemberian kompensasi bonus, hambatan dalam mengevaluasi keberhasilan suatu proyek atau

Pada fenomena yang terjadi pada tahun 2008 dan 2009 bertentangan dengan teori yang ada, dimana menurut dimana menurut (Tjiptono Darmadji dan Hendy M, 2006:195)

orangtua mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya dari tenaga kesehatan, perawat memperkenalkan anggota timnya yang merawat bayinya, menjelaskan apa yang menjadi

Konfigurasi dengan superposisi phasa STR-TSR pada tinggi pengukuran 1 meter, 5 meter dan 10 meter menghasilkan kerapatan fluks magnet lebih tinggi dibandingkan

Keberadaan DuPont Crop Protection yang bergerak dalam industri bahan kimia perlindungan tanaman atau pestisida, dimulai sebagai mitra bisnis di Indonesia pada tahun 1975