• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS. A. Hubungan Intertekstual Novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Karya Cok Sawitri Dengan Naskah Kidung Tantri Kĕdiri Terjemahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS. A. Hubungan Intertekstual Novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Karya Cok Sawitri Dengan Naskah Kidung Tantri Kĕdiri Terjemahan"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

39

BAB IV

ANALISIS

A. Hubungan Intertekstual Novel Tantri Perempuan yang Bercerita Karya Cok Sawitri Dengan Naskah Kidung Tantri Kĕdiri Terjemahan

Revo Arka Giri Soekatno

Analisis rumusan masalah pertama dalam penelitian ini adalah hubungan intertekstual dari kedua objek penelitian. Untuk menghubungkan kedua objek sastra digunakan prinsip vraisemblable milik Jonathan Culler, yakni prinsip integrasi antara satu teks dengan teks atau genre yang lain. Dengan mengintegrasikan (menghubungkan) kedua teks dapat diketahui makna teks semaksimal mungkin. Untuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat. Adapun tingkat kelima tidak diterapkan dalam analisis ini dikarenakan pada tingkat kelima berhubungan dengan proses kreatif pengarang, yakni Cok Sawitri. Jadi, tingkat kelima dalam lima tingkat atau langkah kerja vraisemblable tidak diterapkan, sehingga tingkat pertama hingga keempat yang akan digunakan untuk menganalisis rumusan masalah pertama dalam penelitian ini.

1. Teks Tantri Perempuan yang Bercerita Diambil Langsung dari Cerita Lisan di dalam Masyarakat Bali

Teks Tantri Perempuan yang Bercerita mengisahkan tentang seorang perempuan bernama Ni Diah Tantri yang mendongeng untuk menyadarkan

(2)

commit to user

perilaku buruk seorang raja bernama Eswaryadala. Dikisahkan seorang raja bernama Eswaryadala dari negeri Patali Nagantun, ia sedang mengalami kekhawatiran dan kecemasan yang berlebihan, sehingga membuatnya menderita penyakit susah tidur. Untuk menghibur diri, sang raja diberi persembahan gadis cantik dan perawan setiap malamnya. Awalnya hal itu hanya untuk menghibur diri, namun lama-kelamaan sang raja terhasut oleh para abdi kerajaan. Persembahan gadis perawan dan cantik setiap malamnya kepada sang raja menjadi sebuah kebiasaan yang sulit untuk dihentikan. Melalui para prajurit yang disebut sebagai Sang Setia, mereka menculik para gadis cantik dan perawan setiap harinya untuk dipersembahkan kepada raja. Hal tersebut tergambar dalam dialog Bandeswarya dan putrinya, Ni Diah Tantri.

...“Berbulan-bulan rupanya, beberapa prajurit pilihan diperintahkan mengambil gadis-gadis dari berbagai pelosok. Setiap malam dipersembahkan kepada Baginda, awalnya bertujuan menghibur, lalu candu asmara ini lama-kelamaan menjadi kegelisahan baru,” (Sawitri, 2011: 13).

Sang Setia yang disumpah hanya untuk mengabdi kepada raja tersebut tidak benar-benar tahu apa yang dilakukannya benar atau salah. Yang mereka tahu hanyalah menempatkan raja sebagai segalanya. Sebagai prajurit, Sang Setia dalam pikiran mereka selalu ditanamkan kalimat bahwa “apapun yang terjadi di dalam istana, harus diterima dengan tulus bahwa tak semua keagungan dicapai dengan jalan yang agung!” (Sawitri, 2011: 2).

Mahapatih Bandeswarya menyadari keanehan yang terjadi di dalam istana dan menganggap, bahwa tindakan seperti itu adalah salah. Apalagi banyak gadis-gadis yang dijadikan selir tanpa dipublikasikan ke hadapan rakyat, mereka adalah korban penculikan dan penyekapan. Banyak pula di antara mereka adalah anak

(3)

commit to user

dari pejabat dan abdi kerajaan sendiri. Ni Diah Tantri yang mendengar permasalahan yang terjadi di istana tersebut merelakan diri untuk dipersembahkan kepada Eswaryadala. Sebagai ayah, Mahapatih Bandeswarya pun awalnya sulit menerima permintaan anaknya tersebut, namun pada akhirnya Bandeswarya rela mempersembahkan putrinya demi keselamatan negeri Patali Nagantun.

Eswaryadala yang menerima persembahan putri Bandeswarya pun awalnya ragu, tapi pada akhirnya ia menerima dengan senang hati karena sebenarnya ia sudah menyukai Ni Diah Tantri sejak dahulu. Namun, hasratnya tersebut tidak pernah ia utarakan kepada Mahapatih Bandeswarya karena ia sudah menganggap Mahapatih sebagai ayahnya dan Ni Diah Tantri sebagai adiknya sendiri. Ni Diah Tantri memiliki misi untuk mengembalikan ketenangan hati dan kewibawaan sang raja serta menyadarkan raja dari kelalimannya. Ni Diah Tantri menceritakan cerita fabel berbingkai dari kitab sastra agama Hindu untuk memberikan sebuah nasihat secara tidak langsung kepada sang raja. Dari setiap cerita binatang yang diceritakan oleh Ni Diah Tantri memiliki pesan moral tersendiri.

Cerita berbingkai tersebut berkisah tentang persahabatan sapi dari dewata bernama Nandaka dengan seekor singa yang juga raja hutan bernama Candapinggala. Mereka berdua pada akhirnya mati karena diadu domba oleh Sambada, seekor anjing pemburu (patih Candapinggala). Ni Diah Tantri mencoba menyadarkan raja agar lebih cermat dan tidak terpengaruh oleh pejabat-pejabat dengan berbagai hasutannya yang bisa merusak diri sang raja beserta seluruh negeri Patali Nagantun. Hingga sang raja pun sadar akan kesalahan yang telah ia lakukan berkat kecerdasan Ni Diah Tantri dalam mendongeng dan mengajarkan

(4)

commit to user

kitab sastra agama Hindu kepadanya. Pada akhirnya, raja Eswaryadala pun mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada semua perempuan yang menjadi korban penculikan dan penyekapan. Eswaryadala juga membebaskan semua gadis yang ia tahan dan membebaskan Ni Diah Tantri dari ikatan persembahan (Sawitri, 2011).

Novel Tantri Perempuan yang Bercerita tersebut jika dibaca oleh masyarakat Bali atau masyarakat penganut agama Hindu – Budha, sebagian besar dari mereka tidak akan merasa asing dengan kisah dalam novel tersebut. Hal ini dikarenakan teks sastra yang diciptakan Cok Sawitri tersebut berasal dari cerita lisan masyarakat Bali, yakni cerita klasik Tantri. Cerita Tantri sudah dikenal lama oleh masyarakat Bali, menurut I Nyoman Dharma Putra (2012: 189)

kisah Tantri sudah beredar lama di Bali, paling tidak sejak 1728, ketika Ida Pedanda Ketut Pidada menggubah Kidung Tantri Nandhaka-harana. Di Jawa dan daerah lain di Indonesia, Tantri juga populer dalam dunia cerita rakyat. Fragmen Tantri muncul dalam ukiran-ukiran candi. I Made Pasek, seorang guru dari Singaraja, menerbitkan buku Ni Dyah Tantri, tahun 1915. Buku ini diterbitkan penerbit Belanda di Batavia dalam huruf Bali, digunakan sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah dasar di Bali waktu itu. Cerita Tantri dalam masyarakat Bali sudah sangat dikenal dan populer.

Seperti pendapat Putra tersebut, bahwa kepopuleran cerita Tantri bahkan dijadikan sebagai bahan ajar di sekolah. Hal tersebut juga diperkuat oleh pendapat Soekatno (2013: 1) yang mengatakan bahwa popularitas cerita Tantri di antara masyarakat Bali membuat nama “Tantri” menjadi sinonim dengan dongeng hewan atau fabel. Bahkan dongeng hewan yang tidak ada hubungannya dengan “Tantri” misalnya cerita “Kancil” yang ternama, bisa juga disebut cerita “Tantri”.

(5)

commit to user

Cerita Tantri sudah dikenal sebagai cerita rakyat yang menjadi ciri khas dari masyarakat Bali. Bahkan tidak hanya masyarakat Bali, namun juga masyarakat Jawa penganut agama Hindu. Hal tersebut terbukti dengan adanya ukiran candi yang menggambarkan beberapa adegan di dalam cerita Tantri seperti, Candi Mendut (Magelang, Jawa Tengah) yang memperlihatkan salah satu adegan di dalam cerita Kidung Tantri Kĕdiri, yakni seorang raja dan seorang abdi dalem bertubuh cebol yang menunggui lampu. Kemudian di dalam ukiran Candi Sojiwan (Prambanan, Jawa Tengah) menggambarkan adegan seorang wanita dan seorang raja serta adegan lembu dan singa yang bertarung mirip dengan salah satu bagian cerita di dalam naskah Kidung Tantri Kĕdiri, yakni pertarungan antara Nandaka dan Candapinggala (Soekatno, 2013: 26 – 27).

Inspirasi dari novel Tantri Permpuan yang Bercerita karya Cok Sawitri berasal dari sastra klasik, yakni cerita Tantri. Cerita Tantri merupakan turunan atau gubahan dari sebuah naskah dari India, yakni naskah Pañcatantra. Pañcatantra ditulis menggunakan huruf Sanskerta pada awal abad Masehi. Pada dasarnya, naskah tersebut merupakan kumpulan cerita yang disebut sebagai nitisastra (ilmu akhlak) atau arthasastra (ilmu dunia) (Fang, 2011: 339). Artinya, naskah tersebut pada awalnya mempunyai tujuan untuk mengajarkan kebaikan dengan cara yang menyenangkan, yakni dengan mendongeng. Fang menyebutkan (2011: 339) bahwa, Pañcatantra mengisahkan tentang seorang raja bernama Amarsaki dari kota Mahilaropya, India Selatan. Ia memiliki tiga orang putra yang tidak mau menuntut ilmu sehingga mereka menjadi dungu dan bodoh. Kemudian datanglah seorang Brahmana, Visnusarman namanya. Brahmana tersebut kemudian berjanji akan mengajarkan dharma selama enam bulan kepada ketiga

(6)

commit to user

putra raja tersebut. Ia memberi sebuah pengajaran dengan menceritakan lima cerita binatang yang di dalamnya disisipkan cerita pula. Oleh karenanya, naskah ini berjudul Pañcatantra yang secara harafiah bisa diartikan sebagai “lima ajaran” (Soekatno, 2013: 21).

Naskah Pañcatantra, dalam proses penurunanya mengalami banyak penyalinan, penyaduran dan penerjemahan ke dalam banyak bahasa lainnya, sehingga muncul banyak versi dan variasi dari cerita Pañcatantra. Menurut seorang sarjana Jerman, versi asli Pañcatantra telah hilang (Fang, 2011: 338). Meskipun versi aslinya telah hilang, namun naskah Pañcatantra sudah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, sehingga karya sastra ini banyak mengalami perubahan-perubahan dalam proses alihbahasa dan penggubahan ke dalam banyak genre. Menurut Soekatno (2013: 21 – 22), Pañcatantra yang bentuk aslinya ditulis dalam bahasa Sanskerta ini, mungkin adalah salah satu karya sastra kuna yang paling luas penyebarannya dan paling banyak diterjemahkan serta digubah di seluruh dunia selain Alkitab. Ada kurang lebih 200 versi dalam 50 bahasa. Versi-versi ini tersebar dari Indonesia di ujung Timur sampai Islandia di ujung Barat Dunia Lama.

Dari banyak versi Pañcatantra, di Indonesia cerita tersebut dikenal dengan sebutan cerita Tantri. Di Indonesia cerita Tantri ini mirip dengan Kisah 1001 Malam yang mengisahkan seorang raja yang menikahi gadis cantik setiap malamnya (Soekatno, 2013: 23). Tapi yang jelas, dalam penelitian ini tidak akan mencari asal usul naskah cerita Tantri bahkan lebih lanjut mencari keaslian dari cerita Tantri. Karena konteks interteks dalam ilmu sastra hanya menghubungkan teks dengan teks lain atau genre lain untuk menemukan kreativitas pengarang

(7)

commit to user

dalam menulis karya sastra dari imajinasi hipogramnya. Termasuk dalam penelitian ini, penulis tidak akan menjelaskan lebih lanjut dari mana asal cerita Tantri ini hingga turunan versi yang mana yang digunakan dalam menulis cerita Tantri yang berada di Indonesia.

Secara jelas, di Indonesia naskah Pañcatantra tersebar dan ditulis menggunakan beberapa bahasa seperti, bahasa Melayu, Jawa, Madura, dan Bali (Soekatno, 2013: 21). Dengan beberapa versi judul seperti, Tantri Kāmandaka, Tantri Dĕmung, Tantri Kĕdiri, Kidung Tantri Nandhaka-harana, Ni Dyah Tantri, dan lain sebagainya. Namun secara garis besar, ciri khas cerita Tantri sama dengan yang lainnya, yakni ceritanya dikisahkan dalam bentuk cerita berbingkai. Tokoh utamanya sama, yakni Tantri dan Eswaryadala (Eswaryapala pada versi Tantri Kĕdiri) di negri Patali Nagantun (Pataliputra pada versi Tantri Kĕdiri) dengan garis cerita utama Tantri mendongeng kepada Eswaryadala tentang cerita berbingkai dunia fabel untuk menyadarkan perilaku buruk Eswaryadala yang menginginkan gadis perawan dan cantik setiap harinya. Salah satu keistimewaan lainnya adalah bahwa cerita-cerita ini berhubungan dengan binatang-binatang, seperti sapi, singa, burung, kera, anjing dan lain sebagainya.

Ciri khas lainnya dalam cerita Tantri di Indonesia adalah cerita berbingkai yang terdapat di dalam naskah pada dasarnya sama, hanya saja urutan ceritanya berbeda-beda. Putra menambahkan (2012: 191) bahwa, tiap-tiap cerita memiliki hubungan naratif, dengan moral cerita yang kurang lebih sama, yakni mutlaknya karma bagi orang loba, karma buat orang yang tidak bisa balas budi, dan penipu-daya. Walaupun dalam banyak cerita terbukti bahwa „pengetahuan penting dalam memecahkan masalah, menyelamatkan jiwa‟, pada akhirnya kalau pengetahuan

(8)

commit to user

digunakan secara licik, orang yang bersangkutan akan ditimpa kemalangan juga setimpal dengan kelicikan yang diperbuat.

Dari banyaknya versi cerita Tantri yang ada di Indonesia terdapat satu naskah klasik dari Bali yang menggunakan aksara Jawa Kuna dalam penulisannya, yakni Kidung Tantri Kĕdiri. Kidung Tantri Kĕdiri adalah gubahan dari teks prosa Jawa Kuna Tantri Kāmandaka. Naskah Kidung Tantri Kĕdiri ini lah yang menjadi teks hipogram novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri. Kepopuleran cerita Tantri di dalam masyarakat penganut agama Hindu, khususnya masyarakat Bali yang begitu inspiratif membuat Cok Sawitri merekonstruksi cerita tersebut ke dalam bentuk yang lebih modern, yakni ke dalam sebuah novel. Sebelumnya, cerita Tantri muncul dalam bentuk kidung, kakawin, dan prosa (gancaran), seperti halnya Kidung Tantri Kĕdiri yang menjadi hipogram karya Cok Sawitri.

Dengan kreativitas dan inovasi baru, Cok Sawitri menciptakan sebuah karya yang diambil dari cerita lisan yang ada di dalam masyarakat. Cerita lisan yang kemudian ditulis ke dalam bentuk sastra klasik tersebut memiliki banyak variasi, salah satunya adalah Kidung Tantri Kĕdiri. Tantri Perempuan yang Bercerita merupakan transformasi dari bentuk kidung dari cerita Tantri Kĕdiri. Karya Cok Sawitri tampil dalam bentuk novel berbahasa Indonesia yang diterbitkan tahun 2011. Menurut Putra, karya ini menjadi media baru bagi kisah klasik Tantri untuk beredar di ruang baru, yang target pembacanya adalah pembaca novel sastra Indonesia (Putra, 2012: 190).

(9)

commit to user

2. Teks Tantri Mengikuti Konvensi dan Tunduk Dengan Tradisi serta Kultural Masyarakat Hindu Bali

Novel Tantri Perempuan yang Bercerita diciptakan oleh Cok Sawitri yang merupakan bagian dari masyarakat Bali. Cok Sawitri sebagai wakil masyarakat Bali menciptakan sebuah teks sastra yang diambil dari cerita rakyat yang terdapat di masyarakat Bali, yakni cerita klasik Tantri. Begitu juga Kidung Tantri Kĕdiri yang merupakan naskah dari Bali, tapi ditulis menggunakan aksara Jawa Kuna. Kedua teks sastra tercipta di lingkungan masyarakat pemeluk agama Hindu, sehingga apa yang terdapat di dalam teks mewakili masyarakat penganut agama tersebut. Kedua teks secara sadar mengikuti konvensi dan tunduk oleh kebudayaan dan tradisi masyarakat penganut agama Hindu, khususnya masyarakat Bali.

Keseluruhan cerita dari kedua teks secara sekilas dapat dipahami bahwa kedua teks mengikuti tradisi dan kultural masyarakat Bali. Kebudayaan dari masyarakat Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama yang mereka percayai, yakni agama Hindu. Meskipun secara keseluruhan kedua teks sama-sama tunduk kepada kebudayaan agama Hindu, namun secara lebih jelas letak dari „ketundukan‟ kedua teks terhadap kultural masyarakat Bali terlihat pada cerita binatang yang ada di dalam cerita. Cerita binatang atau di Indonesia juga dikenal dengan fabel tersebut disisipkan ke dalam teks sastra Tantri bertujuan untuk mengajarkan kebaikan yang terdapat di dalam ajaran dharma. Disitulah letak dari ketundukan kedua teks oleh tradisi dan kultural masyarakat Bali.

(10)

commit to user

a) Penyebaran kebudayaan Hindu di masyarakat Jawa dan Bali

Secara singkat kita perlu mengetahui dari mana asal dan perkembangan agama Hindu di Indonesia. Hal ini dirasa penting, karena menyangkut kebudayaan yang termuat di dalam teks Tantri sebagai objek kajian dalam penelitian ini. Menurut Bosch dalam penelitiannya (1974: 21) menyatakan, bahwa pengaruh agama Hindu dibawa oleh „sarjana agama‟ seperti, golongan alim ulama, golongan sastra dan filsafat, serta ahli-ahli kitab suci dari India yang menyebarkan ajaran tersebut di kepulauan Indonesia, yakni Jawa, Bali, Sumatera dan Malaka. Masih menurut Bosch (1974: 27), bahwa awal abad Masehi memang Hindu sudah dikenal di Indonesia, namun kekuasaan agama Hindu menjadi surut akibat berjayanya ajaran Budhaisme. Pada abad ke – 4 hingga abad ke – 6 agama Hindu kembali mengalami perkembangan berkat kekuasaan yang dipegang oleh tokoh-tokoh besar selama dinasti Gupta berkuasa. Maka, rakyat dari atas sampai bawah telah masuk ke dalam cengkeramannya dan telah direbutnya kembali daerah-daerah yang dahulu diduduki oleh Budhisme.

Agama Hindu yang masuk ke Indonesia terpecah menjadi golongan-golongan atau sekte-sekte tertentu. Di Jawa dan Bali khususnya, menganut sekte yang disebut Ҫaiva-Siddānta (Bosch, 1974: 28). Ajaran Ҫaiva-Siddānta merupakan bentuk Hinduisme yang bukan menjadi sebuah agama rakyat. Ҫaiva-Siddānta sejak dari dulu merupakan suatu ajaran rahasia yang hanya diturunkan lisan dengan tiada putus-putusnya dari guru ke murid. Mereka yang mengatahuinya biasanya termasuk golongan Brahmana dan barulah setalah bertahun-tahun mempelajari kitab-kitab suci dan mempunyai pengetahuan teoritis

(11)

commit to user

yang mendalam, si calon dapat menerima sakramen pentasbihan pendeta dari tangan ayah rohaniyahnya, yaitu pendeta Brahmana (Bosch, 1974: 28 – 29).

Meskipun dalam penelitian Bosch (1974) tersebut tidak menyebutkan perbedaan ajaran Hindu antara masyarakat Jawa dan Bali. Bagaimana penyebaran lebih detail ajaran Hindu di masyarakat Jawa dan Bali, lebih dahulu manakah Jawa atau Bali atau keterkaitan ajaran agma Hindu di antara dua wilayah tersebut. Hal ini dikarena dalam penelitian Bosch (1974) tersebut selalu menyebut kedua wilayah, Jawa dan Bali dalam satu kalimat untuk menjelaskan masuknya agama Hindu dalam kedua wilayah tersebut. Namun, melalui penelitian terdahulu oleh Fitria Pratiwi3 (2012) yang telah meneliti Tantri Perempuan yang Bercerita menulisan tentang awal mula masuknya agama Hindu di Bali yang dipengaruhi oleh budaya Jawa. Fitria Pratiwi (2012: 52 – 53) mengatakan dalam tesisnya, bahwa setelah kerajaan Bali Kuno dikalahkan di bawah pasukan Majapahit oleh komando Gajah Mada (1265 Saka atau 1343 M) mulailah masuk agama Hindu Jawa. Saat Majapahit mengalami keruntuhan, datanglah Dang hyang Nirartha, seorang pendeta Hindu dari Majapahit yang meneguhkan kembali nilai-nilai Hindu Jawa di Bali, yaitu dengan mengakulturasikan nilai-nilai animisme dan dinamisme Bali dengan Hindu Jawa di Bali, salah satu cirinya yaitu dengan bentuk sesajian (banten) saat upacara keagamaan digelar.

Seperti yang dikatakan oleh Soekatno, bahwa cerita Tantri bisa membantu kita memahami agama Hindu – Budha, terutama manifestasi agama Hindu –

3

Fitria Pratiwi adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Tesisnya yang berjudul “Rekonstruksi Maskulinitas Dalam Tantri:

Perempuan yang Bercerita Karya Cok Sawitri”(2012), peneliti gunakan sebagai data sekunder

(12)

commit to user

Budha di Jawa pada masa lampau dan agama Hindu pada masa sekarang (Soekatno, 2013: 2). Naskah Kidung Tantri Kĕdiri memang ditulis menggunakan huruf Jawa Pertengahan, namun naskah tersebut berasal dari Bali dan mengikuti ajaran dan kebudayaan Hindu. Sama halnya dengan novel karya Cok Sawitri, Tantri Perempuan yang Bercerita yang diambil dari kisah klasik cerita Tantri juga mengikuti ajaran dan kebudayaan agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Bali.

b) Sistem kasta dalam masyarakat Bali

Masyarakat di Bali sebagai penganut agama Hindu mengenal adanya sistem kasta. Sebuah sistem dalam kehidupan sosial yang membedakan antar golongan keluarga berdasarkan keturunan. Menurut Bosch (1974: 26), bahwa seorang adalah orang Hindu karena kelahiran, sebagaimana seseorang adalah orang Yahudi karena lahir dari orang tua Yahudi. Mengapa peneliti perlu membahas atau menyangkutkan sistem kasta di masyarakat Bali dalam penelitian ini? Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah dalam penulisannya kedua teks Tantri mengikuti tradisi kasta seperti masyarakat Bali saat ini. Karena bagaimanapun secara realita kekayaan kebudayaan masyarakat Bali yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia lainnya, salah satunya adalah sistem kasta tersebut.

Berbicara tentang kasta dalam masyarakat Bali, dikenal istilah triwangsa atau tiga tingkatan kasta yang berlaku di Bali diadaptasi dari sistem kasta Hindu. Menurut Fitria Pratiwi (2012: 45).

Ketiga tingkatan itu adalah Brahmana, Ksatria, dan Wesia. Brahmana merupakan kasta tertinggi yang dimiliki oleh keturunan pedanda (orang yang bertaggung jawab atas agama). Ksatria merupakan kasta bagi para

(13)

commit to user

keturunan raja, pejabat, dan keluarganya, termasuk pengurus subak4 yang mempunyai peranan menentukan pemerintahan. Wesia, yaitu keturunan para pedagang dan orang yang terlibat dalam kegiatan kesejahteraan rakyat. Adapun kasta terendah, atau dapat dikatakan tidak memiliki kasta, adalah kasta untuk keturunan pendatang, yakni kasta sudra. Para sudra adalah mereka yang tidak memiliki tanah dan klan di daerah tempat mereka tinggal, sehingga harus bekerja menjadi buruh tani.

Adapun dalam kedua teks Tantri dalam penelitian ini Kidung Tantri Kĕdiri tetap mengikuti sistem sosial dari ajaran Hindu ini. Adapun novel Tantri Perempuan yang Bercerita, „memberontaki‟ konvensi sistem sosial kasta dalam masyarakat Hindu Bali.

Pada awal cerita teks Kidung Tantri Kĕdiri misalnya, ada penyebutan tentang kasta ksatria dan sudra, seperti yang tergambar dalam dialog berikut.

...Seolah-olah heranlah Sri Eswaryapala melihat sifat ksatrianya pada saat itu. Beliau memerintah dengan berkuasa. Sebab terlihat sebagai satu-satunya penguasa dunia di istana. Segala perintahnya dilaksanakan. Begitulah beliau dikenal sebagai Eswaryapala oleh seluruh dunia... . (Pupuh I baris 4 b – 5 a, 2009: 79)

Dari dialog di atas dapat dilihat bahwa Eswaryapala disebut sebagai seorang ksatria, kasta dari keturunan raja yang memimpin sebuah negara. Seperti halnya sistem sosial kasta yang telah dijelaskan sebelumnya dalam agama Hindu yang menyatakan bahwa kasta ksatria merupakan kasta bagi para keturunan raja, pejabat, dan keluarganya, termasuk pengurus subak yang mempunyai peranan menentukan pemerintahan. Lalu penyebutan kaum sudra, seperti tergambar dalam dialog berikut.

... Maka sekarang beliau melihat perkawinan antar sudra. Sungguh ramai dan indah segala perhiasannya. Mereka diiringkan oleh keluarga dan sanak saudara, yang sangat bergembira. Sungguh sesak, sedangkan yang menonton sama-sama gembira dan girang memuji-muji perhiasan mereka.

4 Subak merupakan institusi pertanian, ekonomi, dan keagamaan yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu di Bali (Pratiwi, 2012: 48).

(14)

commit to user

Mereka saling bermain*, bernafsu dan tidak sabar melihat. Semua orang laki dan perempuan yang melihat para mempelai yang sedang bercubitan, jatuh cinta. (Pupuh I baris 5 b – 6 b, 2009: 79)

Ilustrasi di atas menjelaskan bahwa Eswaryapala melihat perkawinan antar kasta sudra yang sepertinya sangat membahagiakan, sehingga membuatnya ingin menikah setiap harinya. Kata pernikahan „antar kasta sudra‟ di sini mengisyaratkan tentang hukum pernikahan di masyarakat Hindu Bali, bahwa apabila ingin menikah harus dengan orang yang memiliki kasta yang sama atau setara. Hal ini perlu disinggung sedikit mengingat masyarakat Bali menganut sistem patriarkal, yakni sosok laki-laki dalam sebuah keluarga sangat penting dan diagungkan. Sistem patriarkal tersebut tentunya akan mempengaruhi kehidupan dalam sosial-budaya masyarakat Hindu Bali, terutama kaitannya dengan pandangan masyarakat Bali terhadap wanita. Yang kemudian akan memunculkan isu ketidakadilan gender yang kini sering digaungkan oleh masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Bali. Permasalahan tersebut kemudian mempengaruhi ideologi Cok Sawitri sebagai pengarang novel Tantri Perempuan yang Bercerita dalam merekonstruksi cerita klasik Tantri.

Selain kasta ksatria dan sudra yang muncul dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri, kasta brahmana juga disertakan, seperti yang tergambar dalam dialog.

Maka adalah seorang brahmana dahulu kala yang miskin. Ia selalu berbuat kebajikan, beryoga dengan mulia serta melaksanakan puja dan brata. Ia <bersamadi> mendatangkan turunnya Dewa dengan memusatkan <pikirannya> mencoba mengadakan hubungan dengan Dewa secara murni. Ia berusaha mendapatkan anugerah, kasih Tuhan Yang memberikannya rezeki, sarana menjadi bahagia. Semua doanya dikabulkan. Tidak lama kemudian ia memperoleh seekor sapi jantan yang berkualitas sempurna. (Pupuh I baris 103 b – 104 a, 2009: 128 – 129)

(15)

commit to user

Cerita berbingkai dalam teks Tantri Kĕdiri memiliki banyak cerita tentang seorang pendeta beserta kebaikan perilakunya. Dalam penyebutan pendeta tersebut kebanyakan menggunakan kata brahmana, seperti dalam sistem kasta Hindu, bahwa brahmana merupakan orang yang bertanggung jawab atas agama. Contohnya seperti dialog di atas.

Adapun di dalam teks Tantri Perempuan yang Bercerita tidak menyebutkan kaum sudra dan brahmana seperti dalam teks Tantri Kĕdiri. Adapun menyertakan kaum brahmana, yakni kisah tentang pendeta seperti brahmana Dharmaswami sama halnya dengan teks Tantri Kĕdiri. Tetapi, penyebutan pendeta di novel Cok Sawitri bukan menggunakan brahmana melainkan bhagawan. Enggannya Cok Sawitri menggunakan istilah-istilah kasta dalam karyanya tentu memiliki alasan tersendiri. Misalnya dari penjelasan sebelumnya, bahwa masyarakat Bali menganut sistem patriarkal, sehingga kehadiran sosok laki-laki lebih diutamakan dari pada perempuan. Mengingat Cok Sawitri merupakan sastrawan Bali yang gemar mengangkat isu feminis, sehingga hal ini mempengaruhi penulisan setiap karyanya termasuk dalam novelnya Tantri Perempuan yang Bercerita. Adanya sistem kasta di Bali mengakibatkan adanya ketidakadilan gender bagi kaum perempuan di Bali, sehingga Cok Sawitri ingin menghilangkan sistem kasta tersebut di dalam karyanya.

c) Nilai-nilai agama Hindu yang terdapat di dalam cerita Tantri

Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Menurut Putri, bahwa kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi

(16)

commit to user

mengenai hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan sesama manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud. Masyarakat Hindu Bali juga percaya dengan ajaran hukum karma phala, dalam ajaran hukum karma phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan (Putri, 2012).

Cerita binatang dalam Tantri memuat nilai-nilai agama Hindu tentang adanya hukum karma pahala atau sebab-akibat dalam segala tindakan seperti, mutlaknya karma bagi orang loba, karma bagi orang yang tidak bisa balas budi, tipu daya (baik itu tipu daya dalam hal baik atau tidak baik), dan balasan bagi orang yang berbuat baik, yakni surga. Salah satu contoh yang mengajarkan hukum karma karena sikap loba terdapat pada bagian kisah tentang matinya seekor burung Baka (bangau) karena sifat lobanya dalam cerita fabel kedua teks tantri, berikut ringkasan ceritanya.

Dikisahkan di sebuah kolam terdapat berbagai macam ikan dan makhluk hidup air lainnya. Seekor burung bangau, Baka namanya tergoda untuk menyantap semua ikan yang ada di dalam kolam tersebut. Kemudian ia memiliki siasat, ia berpura-pura menjadi seekor burung pertapa yang menjadi pendeta dan mendekati penghuni kolam tersebut. Akhirnya, seluruh ikan yang ada di kolam tersebut telah percaya dengan kemuliaan dan sikap baik burung Baka yang setiap hari mengajarkan ilmu dharma kepada mereka. Mereka tidak tahu bahwa

(17)

commit to user

sebenarnya hal itu hanyalah sandiwara burung Baka. Untuk mengakhiri kesandiwaraan, si burung Baka tiba-tiba mengatakan kepada seluruh penghuni kolam bahwa ia mendengar ada kelompok manusia (nelayan) yang akan menjaring ikan-ikan di dalam kolam tersebut. Kemudian timbul kepanikan dan kesedihan di antara penghuni kolam tersebut. Dengan penuh kelicikan Baka menawarkan diri sebagai transportasi untuk memindahkan seluruh ikan-ikan tersebut ke sebuah telaga yang pernah ia lihat sebelumnya. Akhirnya, seluruh ikan telah ia terbangkan menggunakan mulut dan kedua cakarnya. Terakhir, ada tiga ekor ikan yang tersisa dan seekor kepiting. Kepiting itu meminta diangkut juga karena merasa tidak bisa hidup tanpa saudara-saudaranya yang lain, yakni ikan-ikan tersebut. Pada akhirnya, kepiting itu bergelantung di leher si burung Baka meggunakan kedua capitnya. Dari kejauhan si kepiting melihat seperti tumpukan tulang ikan di atas batu. Si kepiting curiga, bahwa burung Baka ini memakan teman-temannya. Ternyata dugaannya benar tulang-tulang yang dilihatnya adalah tulang dari teman-temannya. Tanpa ampun, si kepiting mencapit leher burung Baka itu hingga putus dan akhirnya tewas (Sawitri, 2011: 112 – 121).

Kisah kelobaan burung Baka ini dijadikan sebagai ilustrasi sampul depan dari novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri. Melalui cerita tentang kelobaan burung Baka hingga menemui ajalnya dalam teks sastra Tantri tersebut, mengajarkan pembaca agar tidak berlebihan dan menjaga keseimbangan. Hakikatnya seperti penjelasan di atas, bahwa dalam ajaran Hindu menjaga keseimbangan dan harmonisasi itu sangat penting untuk mencapai kehidupan yang bahagia. Jika, seseorang memiliki sifat loba atau ingin memiliki lebih

(18)

commit to user

menggunakan cara licik maka, hukum karma pala atau sebab akibat akan berlaku. Si burung Baka berbuat tidak baik, sehingga ia mendapat ganjaran yang tidak baik pula.

3. Teks Tantri Perempuan yang Bercerita Mengikuti Konvensi Genre Teks

Kidung Tantri Kĕdiri

Teks Tantri Perempuan yang Bercerita sebagai bentuk transformasi dari Kidung Tantri Kĕdiri mengikuti konvensi genre dari Kidung Tantri Kĕdiri, yaitu cerita berbingkai. Cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya disisipkan cerita-cerita lain (Fang, 1993: 1). Menurut Liaw Yock Fang (1993: 1) cerita berbingkai memiliki ciri-ciri: a) Biasanya seorang tokoh atau lebih bercerita dan giliran tokoh dalam cerita itu bercerita pula, misalnya untuk membuktikan kebenaran kata-katanya. b) Dalam cerita sisipan mungkin ada cerita sisipan lagi, sehingga pada akhirnya cerita berbingkai biasanya menjadi panjang dan luas sekali. c) Dalam cerita berbingkai, binatang-binatang selalu diberi sifat manusia.

Meskipun, Cok Sawitri mengikuti genre Kidung Tantri Kĕdiri dalam menyusun teks Tantri Perempuan yang Bercerita, yakni dengan genre cerita berbingkai. Namun, urutan cerita berbingkai karya Cok Sawitri berbeda dengan urutan cerita berbingkai yang terdapat di dalam Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno, terlebih urutan cerita fabel yang ada di dalam cerita. Walaupun, urutan cerita berbingkai kedua teks berbeda dan ada beberapa cerita fabel yang ditambahi atau dikurangi, namun secara esensi cerita berbingkai yang terdapat di dalam kedua teks hampir sama. Dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri terdapat 30 potongan cerita binatang. Adapun dalam Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok

(19)

commit to user

Sawitri terdiri dari 29 bagian cerita dalam daftar isi yang di dalamnya terdapat 30 cerita binatang. Kedua teks memiliki 27 cerita yang sama dari total 30 cerita yang ada dari masing-masing teks.

Tentu perbedaan dalam menyusun cerita berbingkai dari kedua teks memiliki tujuan dan maksud sendiri dari sang penulis atau sang penyadur. Namun yang terpenting adalah esensi utama dari cerita berbingkai terutama cerita fabel di dalam kedua teks sastra tidak berbeda jauh. Perbedaan dan persamaan cerita berbingkai dari kedua teks dapat dilihat sebagai berikut.

1) Bingkai utama

Dari bingkai utama kedua teks sama-sama menceritakan kehidupan tokoh utama, yakni Tantri dan Eswaryapala. Eswaryapala adalah seorang raja yang meminta persembahan gadis cantik setiap harinya. Kemudian Tantri bersedia dipersembahkan kepada Eswaryapala melalui ayahnya sendiri, Mahapatih Bandeswarya dengan tujuan untuk mengajarkan nitisastra agama Hindu kepada Eswaryapala, agar Eswaryapala berhenti meminta persembahan gadis cantik setiap harinya. Untuk menghentikan kelaliman Eswaryapala Tantri mendongeng cerita fabel berbingkai yang tidak habis diceritakan dalam satu malam kepada raja Eswaryapala. Cerita fabel berbingkai tersebut berasal dari kitab sastra agama Hindu. Melalui dongeng Tantri tersebut Eswaryapala berhenti meminta persembahan gadis cantik setiap hari.

Yang membedakan dari kedua teks mengenai bingkai utama ini adalah jika di dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri bagian bingkai utama langsung mengisahkan tentang raja Eswaryapala yang menginginkan untuk dinikahkan dengan gadis

(20)

commit to user

cantik setiap harinya agar ia memperoleh kebahagiaan. Setelah itu dikisahkan karena wanita cantik di lingkungan istana telah habis, maka Bandeswarya mempersembahkan anaknya Dyah Tantri untuk dijadikan isteri oleh raja. Adapun di dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita bingkai utama awalnya menceritakan tentang prajurit Sang Setia yang selalu tunduk dan patuh kepada atasan. Prajurit Sang Setia inilah yang menculik dan membawa gadis cantik dan perawan setiap malamnya ke hadapan sang raja. Sang raja memiliki penyakit susah tidur karena dia selalu merasa khawatir dan cemas memikirkan negaranya. Oleh karena itulah, Punggawa Istana mempersembahkan gadis cantik dan perawan setiap harinya. Awalnya hal itu hanya untuk menghibur diri, namun lama-kelamaan sang raja terhasut oleh para abdi kerajaan, sehingga hal itu menjadi sebuah kebiasaan.

Ni Diah Tantri yang mengetahui berita itu dari ayahnya Bandeswarya, dengan suka rela merelakan dirinya dipersembahkan kepada raja Eswaryadala untuk dijadikan isteri. Tantri mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan negara Patali Nagantun dari hukum karma Sang Hyang Widi karena memiliki raja yang suka menikah. Selain itu, Tantri juga ingin menyadarkan kelaliman Eswaryadala dan menyelamatkan para gadis korban persembahan para Punggawa Istana. Awalnya Eswaryadala ragu menerima persembahan Bandeswarya, karena Bandeswarya sudah dianggap ayah dan Tantri dianggapnya sebagai adik sendiri. Namun, rasa sayang dan ketertarikannya kepada Tantri yang selama ini dipendamnya tak mudah dibendung. Eswaryadala pun menerima persembahan Tantri untuk dijadikan isterinya.

(21)

commit to user

Berbeda dari kaya hiogramnya yang memiliki kesamaan cerita „Kisah 1001 malam‟ yang mengisahkan seorang gadis yang mendongeng kepada seorang raja agar berhenti meminta dinikahkan setiap harinya. Karya Cok Sawitri lebih menekankan cerita seorang perempuan yang menyadarkan raja dari sikap lalimnya, hingga akhirnya sang raja mengakui kesalahannya. Hal tersebut tidak terlepas dari daya kreativitas Cok Sawitri dalam merekonstruksi novelnya dari karya hipogramnya. Perbedaan lainnya dalam bingkai utama kedua teks ini adalah dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri Eswaryapala langsung menggelar pesta pernikahannya dengan Tantri. Adapun di dalam novel karya Cok Sawitri tersebut Eswaryadala belum menikahi Tantri karena janjinya untuk mendengarkan dongeng dari Tantri hingga selesai.

2) Skema perbedaan naratologi dalam cerita berbingkai kedua teks Bagan 2

Skema naratologi dalam Kidung Tantri Kĕdiri

Bingkai Utama Cerita Binatang

Nandakaprakarana

1. Srigala dan genderangnya (Tertipu Tipuan Suara-suara) 2. Dua Burung Betet Meniru Pengasuhnya

3. Sepasang Angsa dan Kura-Kura 4. Dua Ekor Kutu I

5. Kelobaan Burung Baka (Bangau)

6. Sekelompok Burung Pemakan Daging dan Sepasang Burung Pemakan Buah

(22)

commit to user 8. Singa dan Kawan-Kkawannya

9. Burung Kedidi Mengalahkan Dewa Samudera 10. Kisah Kera dan Pemburu

11. Sang Brahmana, Si Pandai Emas dan Tiga Hewan

12. Wanari Anti, Seekor Kera yang Ingin Menjadi Bidadari dan Dewa

13. Dua Penyadap Tuak yang Menghakimi Kera-Kera 14. Macan yang Dihidupkan Pendita

15. Kepiting Baik dan Sang Pendita 16. Kera dan Burung-Burung Manyar 17. Kera Dungu yang Membunuh Pangeran

18. Si Gajah yang Sok Berkuasa, Dikalahkan Lima Hewan Lemah 19. Sang Hyang Indra dan Kematian Burung Betetnya

20. Kura-Kura Mengalahkan Garuda dalam Perlombaan

21. Kisah Seorang Pemburu yang Menginginkan Susu tanpa Memerahnya

22. Burung Pelatuk dan Harimau 23. Singa dan Hutan

24. Gagak, Ular, dan Busana Pangeran

25. Hewan Lima Sekawan yang Saling Menolong 26. Ular dan Tikus

27. Kisah Batur Taksa, Penjahat yang Tidak Bisa Mengelakkan Takdirnya 28. Kisah Tiga Ikan yang Berbeda

29. Kambing yang Menakuti Harimau

(23)

commit to user Bagan 3

Skema naratologi dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita

S

Bingkai Utama

Sang Setia

Pemburu Gadis

Kasmaran

Bingkai Cerita Fabel (Nandaka, Candapinggala dan Sambada)

1. Tertipu Tipuan Suara-suara 2. Burung Atat Meniru Pengasuhnya 3. Sepasang Angsa dan Kura-Kura 4. Dua Ekor Kutu

5. Kelobaan Burung Bangau

6. Sekelompok Burung Pemakan Daging dan Sepasang Burung Pemakan Buah 7. I Cewagara, Tentara yang Melihat Kera Menari di Tengah Laut

8. Kejelekan Tingkah Laku Singa

9. Burung Tinil Mengalahkan Dewa Samudera 10. Kisah Pemburu Kejam I Papaka dan Kera 11. Sang Pendita, Si Pandai Emas dan Tiga Hewan

12. Wanari Anti, Seekor Kera yang Ingin Menjadi Bidadari dan Dewa 13. Dua Penyadap Tuak yang Menghakimi Kera-Kera

14. Macan yang Dihidupkan Pendita 15. Kepiting Baik dan Sang Pendita

(24)

commit to user

Dari kedua skema di atas dapat dilihat perbedaan dan juga persamaan urutan cerita berbingkai yang terdapat di dalam kedua teks. Judul-judul cerita di atas tidak sama dengan judul yang disusun oleh pengarang novel dan penerjemah Kidung Tantri Kĕdiri. Namun, peneliti sesuaikan dengan kondisi yang ada untuk mengetahui hubungan intertekstual di antara kedua teks. Selain itu agar pembaca lebih mengerti dimana letak perbedaan dan persamaan urutan cerita di antara kedua teks. Banyak persamaan urutan dan jumlah cerita yang terdapat dalam

16. Kera dan Burung Sangsiah 17. Kisah Keburukan Kera

18. Kera Dungu yang Membunuh Pangeran 19. Kera Nakal yang Menipu Ayam Jantan

20. I Lutung, Kera Hitam yang Tak Tahu Balas Budi 21. Kambing yang Menakuti Harimau

22. Si Gajah yang Sok Berkuasa, Dikalahkan Lima Hewan Lemah 23. Sang Hyang Indra dan Kematian Burung Betetnya 24. Kura-Kura Mengalahkan Garuda dalam Perlombaan

25. Kisah Seorang Pemburu yang Menginginkan Susu tanpa Memerahnya 26. Burung Gagak dan Pohon Kepuh

27. Gagak, Ular, dan Busana Pangeran 28. Kisah Tiga Ikan yang Berbeda

29. Kisah Batur Taksa, Penjahat yang Tidak Bisa Mengelakkan Takdirnya 30. Sang Raja Arya Dharma yang Mengenal Bahasa Hewan

(25)

commit to user

kedua teks. Ada pun perbedaannya tidak banyak, perbedaan urutan cerita berbingkai antara kedua teks seperti berikut.

a. Dari urutan cerita 1 – 16 kedua teks memiliki urutan yang sama. Adapun urutan cerita 17 – selesai mengalami sedikit perbedaan dengan pengurangan dan penambahan cerita. Dari urutan 1 – 16 tersebut memang sama, namun hanya mengalami sedikit perbedaan pada nama tokoh yang terdapat di dalam cerita, seperti: 1) Jika di dalam teks Tantri Kĕdiri bagian 3 menceritakan kisah burung betet, maka di dalam teks Tantri Perempuan yang Bercerita disebutkan burung atat. 2) Kemudian jika di dalam cerita Tantri Kĕdiri bagian 5 menceritakan seekor kutu dan kepinding, si kutu bernama Syasa Adapun si kepinding bernama Candila. Adapun di dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita di bagian 5 mengisahkan dua ekor kutu yang disebut I Titih dan I Tuma, si I Tuma bernama I Sadaka dan I Titih bernama Candila. 3) Ada juga beberapa sosok manusia yang memiliki kisah sama, namun nama tokohnya berbeda, seperti jika di dalam Tantri Kĕdiri tentara yang melihat seekor kera menari di tengah laut bernama Sewanggara, maka di dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita dinamai I Cewagara. Lalu dua orang penyadap tuak dalam Tantri Kĕdiri bernama Surada dan Walacit Adapun di dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita bernama I Welacit dan I Surada.

b. Pada urutan cerita ke – 17 dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita diceritakan mengenai keburukan sifat kera yang di dalamnya memiliki tiga kisah keburukan sifat kera, yakni 1. Kera dungu yang membunuh pangeran, 2. Kera nakal yang menipu I Keker si ayam jantan, 3. I Lutung,

(26)

commit to user

kera hitam yang tak tahu balas budi. Adapun di dalam teks Tantri Kĕdiri keburukan sifat kera itu hanya diceritakan dalam satu bagian saja, yakni kera dungu yang membunuh pangeran. Jadi, kisah kera nakal yang menipu I Keker si ayam jantan dan I Lutung, kera hitam yang tak tahu balas budi merupakan tambahan sendiri oleh Cok Sawitri sebagai pengarang novel Tantri Perempuan yang Bercerita.

c. Penambahan dan penghilangan cerita fabel dalam kedua teks terjadi pada beberapa bagian cerita, seperti: 1) Di atas sudah dijelaskan sedikit penambahan dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengenai kisah keburukan sifat kera yang mengalami dua penambahan bagian cerita. Kemudian penambahan cerita dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita yang lainnya adalah kisah kasiapa kepuh, yakni cerita pohon kepuh dan burung gagak. 2) Yang dihilangkan oleh Cok Sawitri terkait teks Tantri Kĕdiri dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita adalah „singa dan hutan‟ serta „hewan lima sekawan yang saling menolong‟, kisah ini berkaitan dengan cerita gajah yang sok berkuasa, sehingga dikalahkan lima hewan lemah. Lalu cerita ular dan tikus yang menceritakan kisah si ular yang tak tahu balas budi.

d. Selain penambahan dan pengurangan cerita binatang dalam cerita berbingkai antara kedua teks juga terdapat perbedaan dalam urutan cerita. Seperti yang telah disinggung di atas bahwa pada urutan cerita 17 – selesai kedua teks memiliki urutan cerita yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat di dalam skema yang telah digambarkan di atas.

(27)

commit to user

Meskipun skema persamaan dan perbedaan urutan cerita berbingkai di atas memiliki kekurangan, yakni sisipan cerita-cerita fabel di dalam cerita berbingkai terlihat kurang jelas. Namun, setidaknya kedua skema di atas memberikan gambaran awal kepada pembaca bahwa Cok Sawitri memang mengikuti konvensi genre teks Tantri Kĕdiri menggunakan cerita berbingkai dalam menulis novelnya Tantri Perempuan yang Bercerita, tapi Cok Sawitri tidak melakukan imitasi secara serta merta. Maksudnya, Cok Sawitri tidak melakukan peniruan struktur teks secara keseluruhan, melainkan ia memasukkan ideologi dan otoritasnya pribadi dalam membuat novel Tantri Perempuan yang Bercerita yang disesuaikan dengan perkembangan zaman di dalam masyarakat saat karya itu ditulis. Cok Sawitri menempatkan beberapa cerita di tempat yang berbeda dengan cerita binatang yang terdapat di dalam teks Tantri Kĕdiri. Selain itu, Cok Sawitri juga melakukan penambahan dan pengurangan dalam menyusun cerita fabel yang ditulisnya. Persamaan dan perbedaan tersebut merupakan daya kreativitas Cok Sawitri dalam mengubah sebuah karya sastra yang telah ada.

4. Novel Tantri Perempuan yang Bercerita Mengutip Secara Implisit Maupun Eksplisit dari Teks Kidung Tantri Kĕdiri

Teori intertekstual menjelaskan tentang hubungan antar teks, bahwa tidak ada teks sastra yang benar-benar mandiri. Setiap teks sastra itu merupakan mosaik kutipan-kutipan, penyerapan dan transformasi dari teks-teks yang lain. Begitu pula novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Karya sastra yang ditulis oleh Cok Sawitri tersebut merupakan bentuk transformasi dari kutipan dan penyerapan dari teks-teks lain. Kutipan-kutipan itu dilakukan baik secara implisit maupun

(28)

commit to user

eksplisit, baik dikutip langsung dari teks yang telah ada maupun dari konteks sosial budaya yang berada di luar teks yang melingkupinya.

Novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengutip beberapa bagian cerita, kalimat, alur, bunyi dialog dan lainnya yang terdapat di dalam teks Tantri Kĕdiri secara implisit maupun eksplisit dengan menyesuaikan konteks sosial budaya yang ada di dalam masyarakat Bali saat ini. Novel Tantri Perempuan yang Bercerita menyerap kutipan-kutipan teks Tantri Kĕdiri secara implisit seperti pada cerita berbingkai, baik pada bingkai utama pada tokoh utamanya, yakni kehidupan Ni Diah Tantri dan Eswaryadala maupun cerita berbingkai pada cerita fabel yang terdapat di dalamnya. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengikuti konvensi genre dalam teks Tantri Kĕdiri dengan konsep cerita berbingkai. Hal tersebut juga merupakan salah satu kutipan, dan penyerapan teks-teks lain. Karena isi cerita berbingkai dari novel Tantri Perempuan yang Bercerita tersebut sama dengan isi cerita berbingkai yang terdapat di dalam naskah Tantri Kĕdiri. Contohnya pada bagian awal cerita berbingkai pada cerita fabel, pertemuan antara Nandaka, Candapinggala dan Sambada, yang membuat Sambada mengadu domba Nandaka dan Candapinggala hingga mengakibatkan keduanya mati.

Dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita dikisahkan awal dongeng Ni Diah Tantri kepada raja Eswaryadala menceritakan tentang seorang Bhagawan Dharmaswami yang melakukan tapa brata kemudiaan dianugrai seekor sapi jantan bernama Nandaka oleh Sang Hyang Widi. Seperti pada cuplikan adegan di bawah ini.

(29)

commit to user

Dahulu kala, ada seorang pandita miskin bernama Bhagawan Dharmaswami. Walaupun miskin, pandita itu sungguh teguh melakuakan tapa brata (pengendalian perilaku). Setiap pagi tak pernah ia luput melakukan Surya Sevana (memuja matahari di pagi hari). Oh, Dewa Surya yang pemurah, selalu mencatat dengan seksama keteguhan hati sang pandita. Hingga suatu hari dari langit terdengar suara... . (Sawitri, 2011: 29).

“Hai pandita yang teguh hati, kuberi engkau seekor lembu... .” Bhagawan Dhawmaswami dengan semangat memberi lembu itu nama Nandaka (Sawitri, 2011: 30 – 31).

...Hari ke hari hingga memasuki hitungan yang kelima belas, Bhagawan Dharmaswami mulai berpikir-pikir, mulai meras kerepotan mengurus Nandaka, “Dahulu, guruku, Dhang Guru Wasista dianugerahi seekor lembu putih lembu betina, yang diberi nama Nandini. Lembu itu pemurah, sebab dari susunya, Dhang Guru Wasista bisa meminta apa saja! Bukan air susu saja yang dapat diperah dari susu Nandini, segala keperluan Dhang Guru terpenuhi oleh perahan susu itu. Sebaliknya, aku sekarang dianugerahi lembu jantan. Ah, pejantan macam ini, apa gunanya?... .” (Sawitri, 2011: 32).

...Diceritakan kini di pagi hari, Bhagawan Dharmaswami mengajak Nandaka ke hutan, memondonginya kayu-kayu bakar, hingga gelap tiba barulah kembali ke Pasraman. Keesokan harinya Nandaka memondong kayu-kayu bakar itu ke pasar terdekat. Begitu seterusnya setiap hari, Bhagawan Dharmaswami mengajak Nandaka berjualan kayu bakar ke pasar. ... Begitulah ceritanya dalam sekejap mata, tak terpikirkan oleh akal sehat, Bhagawan Dharmaswami menjadi pandita yang sangat kaya raya (Sawitri, 2011: 33 – 34).

Kutipan-kutipan pada novel Tantri Perempuan yang Bercerita tersebut merupakan penyerapan dari teks Kidung Tantri Kĕdiri. Seperti yang tergambar dalam naskah berikut.

Maka adalah seorang brahmana dahulu kala yang miskin. Ia selalu berbuat kebajikan, beryoga dengan mulia serta melaksanakan puja dan brata. Ia <bersamadi> mendatangkan turunnya Dewa dengan memusatkan <pikirannya> mencoba mengadakan hubungan dengan Dewa secara murni. Ia berusaha mendapatkan anugerah, kasih Tuhan Yang memberikannya rezeki, sarana menjadi bahagia (Pupuh I baris 103 b, 2009: 127).

Semua doanya dikabulkan. Tidak lama kemudian ia memperoleh seekor sapi jantan yang berkualitas sempurna (Pupuh I baris 104 a, 2009: 129).

(30)

commit to user

Ialah bernama Nandaka yang sempurna, warnanya hitam indah. Betul-betul anugerah Sang Hyang Widi (Pupuh I baris 104 b, 2009: 129).

“Lho apakah alasannya saya dibebani seperti ini?” Begitu pikirnya dalam hati akan anugerah Sang Hyang Widi. “Ini mustahil, sebab dulu orang-orang bijaksana semua dianugerahiNya sapi betina. Seperti <contohnya> bagawan Wasista yang dianugerahi* lembu sang Nandini. Keistimewaannya adalah susunya (Pupuh I baris 105 a, 2009: 129).

Nah yang ini apa maksudnya?” Begitu katanya dalam hati. Lalu kemudian si Nandaka dimuati dengan kayu-kayu dibawa ke hutan Andakawana. Sekembalinya mendapatkan kayu, dijual dan menjadi beras. Beras yang bertambah dijual lagi menjadi emas. Emas dipakainya membeli barang dagangan (Pupuh I baris 105 b, 2009: 129).

Begitulah cara ia berdagang. Berputar-putar sehari-harinya membuat bertambah hartanya (Pupuh I baris 106 a, 2009: 129).

Setelah beberapa waktu lamanya maka semakin bertambahlah para hamba pelayan dan pedatinya. Apalagi sapi-sapinya beribu-ribu jumlahnya (Pupuh I baris 106 b, 2009: 129).

Maka rezeki daripada sang brahmana ada di mana-mana. Ia menemukan keberuntungan. Semakin bertambahlah harta benda serta sapi-sapinya, menjadi banyak. Maka ia pun sungguh telah mencapai tujuannya (Pupuh II baris 1 a, 2009: 131).

Begitulah awal cerita asal mula keberadaan Nandaka. Kemudian cerita dilanjutkan dengan kisah sang bangsawan dan rombongannya yang ingin berdagang di ibu kota, sehingga ia mempersiapkan semua dagangan dan rombongan yang dibawanya. Ia harus melewati hutan Malawa yang dikenal menyeramkan dengan banyak binatang buas dan perampok, sehingga ia harus bergegas. Setelah melewati hutan Malawa rombongan Bhagawan Dharmaswami itu pun beristirahat dan membangun tenda. Namun, Bhagawan Dharmaswami menyadari bahwa sapi Nandaka dan dua orang pelayannya belum sampai di tempat peristirahatan, sehingga ia kembali ke hutan Malawa untuk mencari Nandaka. Setelah itu sang Bhagawan Dharmaswami pun kebingungan melihat Nandaka yang sedang sekarat di tengah hutan.

(31)

commit to user

Dalam teks Tantri Perempuan yang Bercerita berisi seperti gambaran berikut.

Dengan kesal Nandaka menggerutu di hati. “Duh, beginikah sikap seorang brahmana yang bergelar Bhagawan Dharmaswami? Puah! Ah, sungguh tak layak gelar itu. Sebab tak sedikit pun sikap Bhagawan Dharmaswami menunjukkan sikap pejalan dharma! Namanya saja Dharmaswami! Tetapi sifat dan perilakunya sungguh jauh dari kedharmaan! Bhagawan itu terlalu loba, moha, murka, mada, tidak sedikit pun ingat nasibnya di masa lalu. Sifat-sifat serakah, kebingungan, pemarah, dan mabuk kekayaan sudah menguasai dirinya... .” (Sawitri, 2011: 40).

Adapun isi cerita dalam teks hipogramnya, yakni Kidung Tantri Kĕdiri seperti berikut.

“Ia dianggap Dharmaswami* di dunia, <padahal> sungguh papa perbuatannya. Tidak tahu berterima kasih. Dulu waktu ia masih miskin, kasihan sekali dia. Lalu aku ditaruhi barang dagangan, ia pergi berniaga, aku memuat kayu-kayu (Pupuh II baris 13 a, 2009: 139).

Ia dulu berjualan kayu, lalu terlihat menjadi beras dibawa ke daerah tengah. Berasnya terlihat bertambah menjadi emas yang tak bisa dihitung adanya. Dan lagi lembu-lembunya dua, tiga. <Sekarang> genapnya ada seratus, duaratus (Pupuh II baris 13 b, 2009: 139).

Bahkan sekarang ini hampir seribu, penuh dengan harta bendanya. Tetapi aku tidak diberinya sedikitpun <kesempatan>, berjalan-jalan, bersantai-santai sedikitlah supaya agak terang hatiku. Malah aku sendiri dimuati dagangan, dipegangnya erat-erat dan dikatakan bahwa aku sudah terlatih dan kuat untuk membawa barang dagangan besar! (Pupuh II baris 14 a, 2009: 139).

Apa itu Dharmaswami? Kalau perbuatannya begitu Papaswami* namanya!” Maka begitulah pikiran Nandaka (Pupuh II baris 14 b, 2009: 139).

Kemudian cerita dalam kedua teks sastra ini menceritakan bahwa Nandaka tetap berpura-pura seakan sebentar lagi ia akan menemui ajalnya. Ia sudah tak sudi mengikuti Bhagawan Dharmaswami yang memperlakukannya dengan tidak baik dan tidak tahu budi tersebut. Dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita kemudian gambaran cerita selanjutnya seperti pada dialog berikut.

(32)

commit to user

Lalu Bhagawan Dharmaswami memangil dua pelayannya, “Hei, Palet dan kau Wipe, si kusir akan menggendong sebagian isi pedati, sebagian lagi akan kutarik dengan kudaku, kalian berdua jagalah Nandaka di sini. Andai nanti dia sadar, kembali membaik segera pondongi punggungnya kayu bakar sekuat-kuat yang mampu dia gendong, jika dia mati, siapa tahu ada pemburu ataukah peladang yang melewati jalan ini, siapa saja mereka, tawarkan daging Nandaka. Jangan ragu, jual saja! Kalau ternyata mereka tidak mau beli, kalian berikan saja dagingnya kepada siapa saja yang lewat. Kalau tidak ada yang lewat, nasib si Nandaka untuk dibakar! Bakar dia, biarkan menjadi abu... .” (Sawitri, 2011: 43).

Kutipan tersebut dalam Kidung Tantri Kĕdiri tergambar dalam dialog berikut.

Adalah hambanya dua orang cebol namanya Sinet dan Teka. Maka berkatalah sang brahmana: “Wahai dua hambaku orang cebol, berbaik hatilah dan tungguilah sang Nandaka. Apabila* ia hidup, bawalah ke Udyani Malawa dan muatlah* semua barang dagangan yang kalian lihat (Pupuh II baris 16 a, 2009: 141).

Jika ia mati, bakarlah oleh kalian. Memang sudah sengsara*. Sedangkan barangbarangnya masing-masing berikanlah kepada orang yang lewat di hutan. Akan berbahagia aku jika diberikan kepada seorang pandita atau orang-orang yang mewakilinya* dengan tujuan supaya berhasillah perjalananku (Pupuh II baris 16 b, 2009: 141).

<Tetapi sekarang jika hidup>, usahakan barang-barang dagangan yang mulia, terutama emas, supaya dibawa ke tempatku. Tetapi apabila dimuat di pedati dan barangnya tidak muat, tunggulah dan jagalah barangku oleh kalian berdua (Pupuh II baris 17 a, 2009: 141).

Cerita kedua teks berlanjut, kedua pelayan itupun memutuskan untuk meninggalkan Nandaka di hutan karena tidak mungkin ia bisa bertahan hidup. Lagipula kedua pelayan tersebut takut akan ancaman yang mungkin terjadi di tengah hutan Malawa tersebut. Oleh karenanya, mereka membuat sebuah siasat. Dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita di ceritakan oleh Cok Sawitri sebagai berikut.

“Ayolah, kita kumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya. Tumpuk-tumpuk kayu bakar sebanyak-banyaknya. Tumpuk-Tumpuk-tumpuk kayu bakar ini memanjang, lalu melingkari tubuh Nandaka, jejerkan seukuran tubuhnya,

(33)

commit to user

tumpukan yang paling ujung letakkan di dekat tubuh Nandaka. Nanti, kita bakar dari ujung yang lain, yang terjauh dari Nandaka, sebab tidaklah dibenarkan membakar makhluk yang masih hidup, itu dosa yang sungguh tak terampunkan, disebut upadarwa. Nah, jika dari ujung kita bakar, api akan menjalar perlahan menuju Nandaka. Pastilah saat api tiba ditumpukan kayu terakhir, Nandaka sudah meregang nyawa. Ayo sekarang kita kumpulkan kayu kering... .” (Sawitri, 2011: 44).

Adapun dalam teks hipogram novel Cok Sawitri tersebut, yakni Kidung Tantri Kĕdiri tergambar adegan seperti berikut.

... “Coba kamu menimbun kayu dan menyulut api sampai berkobar meletup-letup dan asapnya kelihatan dari jauh. Maka itulah akan menjadi buktimu kalau kamu sudah membakar bangkai si lembu.” (Pupuh II baris 20 b, 2009: 143).

Begitulah ujar si Teka. Segeralah ki Sinet menimbun kayu dan berkata: “Ditaruh di mana kayu ini? Si Nandaka kubakar.” Si Teka lalu menjawab: “Jangan begitu. Itu dilarang oleh tradisi. Itu namanya gohatyā* bung (Pupuh II baris 21 a, 2009: 143).

Sama dengan membunuh seorang brahmana artinya. Nah kalau mau menumpuk kayu, tempatnya agak jauhan ya. Lalu sulutlah apinya. Jika sudah membara, tinggalkan. Maka siasat kita sudah mulai.” (Pupuh II baris 21 b, 2009: 143).

Maka ki Teka berkata: “Sinet, coba datangi tempat Nandaka dan lepas tali-talinya semua. Jangan ada yang tertinggal, termasuk penopangnya*.” Maka segeralah semua dilepas (Pupuh II baris 22 a, 2009: 143).

Jadi, begitulah siasat yang dilakukan kedua pelayan Bhagawan Dharmaswami meninggalkan Nandaka dan membuatnya seolah-olah Nandaka telah meninggal. Kemudian mereka menemui sang Bhagawan Dharmaswami dan melaporkan bahwa Nandaka telah dibakar. Setelah Nandaka ditinggalkan oleh kedua pelayan tersebut larilah ia ke tengah hutan mencari makan dan tempat tinggal. Hingga akhirnya Nandaka bertemu segerombolan anjing yang menyerangnya. Mereka adalah pasukan raja hutan, seekor singa yang bernama Candapinggala. Grombolan anjing itu dipimpin oleh seekor patih bernama Sambada.

(34)

commit to user

Suatu hari mereka diperintahkan oleh Candapingala untuk berburu hewan lainnya di dalam hutan. Hingga akhirnya mereka menemukan Nandaka binatang yang belum pernah mereka temui sebelumnya di dalam hutan Malawa. Mereka pun segera menyerang Nandaka sebagai hewan buruan mereka. Nandaka dengan gusar melawan pasukan anjing itu dan mereka pun terluka karena srudukan dan tendangan Nandaka. Pasukan anjing itu kemudian melaporkan kejadian itu kepada Candapinggala dan Sambada, sehingga Sambada pun marah melihat keadaan pasukannya. Setelah itu Candapinggala ditemani oleh Sambada melihat langsung makhluk seperti apa yang telah melukai pasukannya, maka bertemulah Candapinggala dan Sambada dengan Nandaka. Potongan adegan itu tergambarkan dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita sebagai berikut.

... raja hutan Malawa itu menyapa Sang Nandaka, “Wahai, Tuan, Siapakah Anda? Binatang jenis apakah Anda? Dari manakah asal Anda? Kalau boleh tahu, siapakah nama Anda? Sungguh, saya kagum dengan penampilan Anda, demikian berwibawa, gemuk hitam dan gagah perkasa! Sulit bagi saya mencari perumpamaan untuk memuji penampilan Anda... .” (Sawitri, 2011: 70).

... “oh ho! Baiklah, seperti yang Anda tanyakan, sekarang dengaranlah dengan baik-baik apa yang akan hamba sampaikan sebagai jawaban. Nama hamba Nandaka, putra dari Sang Arjuna dan Dewi Surabi. Hamba ini, cucu jauh dari Ida Bhagawan Sahasra Walikia. Masa kanak hamba digembalakan oleh Batara Guru. Lama hamba diberi kesempatan menjadi abdi beliau... .” (Sawitri, 2011: 72).

Adapun dalam teks hipogram novel Cok Sawitri tersebut, yakni Kidung Tantri Kĕdiri tergambar adegan seperti berikut.

... Kemudian ia disapa oleh sang Raja Margasatwa: “Aduh hewan apakah anda ini? Dan siapa sebutan nama anda, serta dari manakah anda asalnya dan mau ke mana? Apakah maksud anda datang ke sini? Apakah rencana anda sahabatku?* (Pupuh III baris 11 b, 2009: 167).

“Sungguh terpencil ini <hutan> Udyani Malawa, tempat saya. Sungguh heran saya melihat keadaan anda baru saja datang mengembara di hutan

(35)

commit to user

ini untuk pertama kalinya sepertinya tidak ada yang sama. Apakah anda tak tahu bahwa saya adalah sang Candapinggala yang dianggap sebagai raja, Raja Margasatwa.” (Pupuh III baris 12 a, 2009: 167).

“Tidak lain sayalah yang menguasai kehidupan semua margasatwa yang berada di hutan ini. Makanya sungguh-sungguh berilah saya tahu, mohon maaf.” Maka jawab sang Nandaka: “Ah artinya Tuan sungguh-sungguh Raja Margasatwa.” (Pupuh III baris 12 b, 2009: 167).

“Maka dengan izin anda, yang termashyur wahai Tuan Candapinggala yang memiliki bala tentara serigala semuanya, ketahuilah saya adalah putra sang Aruna dari Surabi sebagai istrinya. Maka mereka ini ayah dan ibu saya.” (Pupuh III baris 13 a, 2009: 167).

“Saya dianggap cucu Bagawan Sasra Walikilya. Saya Nandaka, wahana Batara Parameswara (Pupuh III baris 13 b, 2009: 167).

Begitulah kisah awal mula pertemuan Nandaka, Candapinggala dan Sambada yang membawa Candapinggala ingin berteman dengan Nandaka, sehingga membuat Sambada mengadu domba keduanya hingga menyebabkan kematian bagi keduanya. Cerita antara Nandaka, Candapinggala dan Sambada ini merupakan tonggak terpenting dalam cerita Tantri karena cerita ini merupakan bagian nitisastra dari kitab sastra agama Hindu yang mengajarkan dharma. Selain itu dari cerita ketiga tokoh binatang inilah kemudian muncul beberapa cerita sisipan lainnya, sehingga menyebabkan cerita Tantri ini sebagai cerita berbingkai. Jadi, kehadiran dari cerita Nandaka, Candapinggala dan Sambada ini sangatlah penting dan tidak bisa dihilangkan. Oleh karena itu, Cok Sawitri dalam menulis novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengutip isi cerita berbingkai kisah binatang yang terdapat di dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri.

Dari penggambaran adegan dan dialog dari kedua teks tersebut, maka dapat dilihat bahwa memang Cok Sawitri mengutip dan menyerap teks Kidung Tantri Kĕdiri ke dalam karya transformasinya, yakni Tantri Permpuan yang Bercerita secara implisit, meskipun kata-kata dan bahasanya tidak sama. Namun

(36)

commit to user

secara signifikasi (pemaknaan), dapat dilihat bahwa memang novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengutip beberapa bagaian cerita yang terdapat di dalam teks Tantri Kĕdiri. Bahkan alur cerita yang digunakan dalam Tantri Kĕdiri diikuti oleh Tantri Perempuan yang Bercerita.

Sedikit perbedaan bahasa maupun gaya penceritaan dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita dengan Kidung Tantri Kĕdiri dikarenakan Cok Sawitri tidak hanya mengutip teks secara implisit saja melainkan juga secara eksplisit. Pengutipan teks secara eksplisit maksudnya mengutip teks tidak hanya apa yang ada di dalam teks lain, baik itu dari segi bahasa, cerita, alur dan lain sebagainya. Namun juga mengutip apa yang ada di luar teks, seperti konteks sosial budaya yang ada di dalam masyarakat pemilik dari cerita tersebut. Mengingat bahwa jangkauan dari kajian interteks yang sangat luas, sehingga hubungan intertekstual tidak hanya bisa dihubungkan antara teks dengan teks saja, melainkan juga bisa antara teks dengan hal yang lainnya seperti, karya seni, drama, sejarah, budaya dan lain sebagainya.

Begitu juga dengan novel Tantri Perempuan yang Bercerita, isi ceritanya tidak hanya mengutip teks Kidung Tantri Kĕdiri secara imlisit. Namun, novel Tantri Perempuan yang Bercerita ini juga melakukan pengutipan secara eksplisit terhadap konteks sosial budaya yang ada di masyarakat Bali. Salah satu contohnya adalah mengangkat isu yang sedang berkembang di masyarakat Bali, seperti masalah ketidakadilan gender. Sebelumnya telah disinggung sedikit tentang isu ketidakadilan gender terkait adanya sistem sosial dalam masyarakat Hindu Bali,

(37)

commit to user

yakni sistem kasta dan patriarkal. Adanya kedua prinsip tersebut membuat posisi wanita di masyarakat Hindu Bali dianggap kurang penting.

Dengan adanya sistem kasta di masyarakat Hindu Bali membuat wanita Bali tidak bisa bebas menentukan pilihan, salah satu contohnya dalam hal pernikahan. Di Bali wanita diharuskan menikah dengan kasta yang sama. Jika dia menikah dengan kasta yang lebih rendah dari kasta keluarganya, maka ia harus rela meninggalkan keluarganya selamanya. Berbeda dengan laki, apabila laki-laki menikah dengan wanita berbeda kasta, ia tidak diharuskan meninggalkan keluarga atau kastanya. Wanita Bali selalu harus hidup dalam kungkungan para laki-laki, seperti yang dijelaskan oleh Pratiwi (2012: 51), bahwa saat perempuan masih kecil dan hidup bersama orang tuanya ia harus menuruti perintah ayahnya. Saat perempuan Bali menikah, ia harus menuruti perintah dan mengabdi kepada suaminya, dan saat suaminya meninggal perempuan Bali harus menuruti perintah anak laki-lakinya.

Ketidakadilan gender tersebut membuat wanita Bali tidak memiliki kebebasaan dan seakan dibungkam untuk tidak mengeluarkan pendapat. Hal itu kemudian mempengaruhi ideologi Cok Sawitri dalam merekonstruki novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Rekonstruksi tersebut salah satunya ia lakukan kepada kedua tokoh utamnya, yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala. Ni Diah Tantri digambarkan sebagai sosok yang cerdas dan berani dalam berpendapat melalui dongengnya kepada raja Eswaryadala. Pada akhir cerita, Eswaryadala pun dibuat sebagai sosok laki-laki yang jantan dengan mengakui kesalahannya dan

(38)

commit to user

meminta maaf serta membebaskan tokoh Tantri untuk menentukan pilihannya sendiri.

Cerita Tantri Perempuan yang Bercerita beserta tokoh utama wanitanya, yakni Ni Diah Tantri direkonstruksi dengan mengikuti ideologi Cok Sawitri sebagai salah satu sastrawan Bali yang giat mengangkat isu feminisme dalam karyanya. Jadi, secara otomatis novel Tantri Perempuan yang Bercerita yang ia hasilkan memiliki prespektif berbeda dari cerita Tantri klasik yang pernah ada. Novel Tantri Perempuan yang Bercerita secara implisit mengutip teks Kidung Tantri Kĕdiri dan secara eksplisit menggunakan isu feminisme untuk diselipkan ke dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Hal ini membuktikan bahwa Cok Sawitri menggunakan otoritasnya sendiri sebagai pengarang yang merekonstruksi sebuah cerita klasik ke dalam novel modern disesuaikan dengan pemaknaan dan prespektif dari pengetahuan dirinya pribadi.

(39)

commit to user

B. Rekonstruksi Tokoh Utama, Ni Diah Tantri dan Eswaryadala oleh Cok Sawitri dalam Novel Tantri Perempuan yang Bercerita

Terhadap Kidung Tantri Kĕdiri Terjemahan Soekatno

Rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam novelnya Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap naskah Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno terletak pada struktur cerita novel. Struktur tersebut meliputi alur cerita, latar cerita dan terutama penokohan. Melalui ketiga unsur tersebut, maka dapat dilihat bentuk rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri terhadap karya hipogramnya. Namun untuk melihat rekonstruksi tersebut, perlu diperlihatkan terlebih dahulu mimesis atau peniruan yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam karyanya terhadap naskah Kidung Tantri Kĕdiri sebagai hipogramnya. Cok Sawitri melakukan tiruan atau lebih tepatnya tetap mempertahankan struktur utama cerita Tantri Kĕdiri karena dianggap masih relevan dengan kondisi sosial budaya masyarakat Bali saat ini. Mimesis yang dilakukan Cok Sawitri terhadap karya hipogramnya antara lain adalah cerita fabel, seloka atau puisi, dan struktur cerita.

Pada akhirnya, struktur cerita Tantri Kĕdiri yang ditiru oleh Cok Sawitri melahirkan creatio atau kreativitas. Alur cerita Tantri Kĕdiri memiliki kronologi yang runtut dan kisah antara manusia dengan cerita bingkai binatang terpisah, sedangkan Cok Sawitri mencampurkan cerita manusia dengan cerita binatang untuk mendukung karakter tokoh utamnya. Kemudian Cok Sawitri lebih detail dalam menggambarkan latar cerita. Karakter tokoh utama, yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala di Tantri Perempuan yang Bercerita digambarkan berbeda oleh

Gambar

Ilustrasi di atas menjelaskan bahwa Eswaryapala melihat perkawinan antar  kasta sudra yang sepertinya sangat membahagiakan, sehingga membuatnya ingin  menikah  setiap  harinya

Referensi

Dokumen terkait