• Tidak ada hasil yang ditemukan

Novel Tantri Perempuan yang Bercerita Mengutip Secara Implisit Maupun Eksplisit dari Teks Kidung Tantri Kĕdiri

Teori intertekstual menjelaskan tentang hubungan antar teks, bahwa tidak ada teks sastra yang benar-benar mandiri. Setiap teks sastra itu merupakan mosaik kutipan-kutipan, penyerapan dan transformasi dari teks-teks yang lain. Begitu pula novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Karya sastra yang ditulis oleh Cok Sawitri tersebut merupakan bentuk transformasi dari kutipan dan penyerapan dari teks-teks lain. Kutipan-kutipan itu dilakukan baik secara implisit maupun

commit to user

eksplisit, baik dikutip langsung dari teks yang telah ada maupun dari konteks sosial budaya yang berada di luar teks yang melingkupinya.

Novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengutip beberapa bagian cerita, kalimat, alur, bunyi dialog dan lainnya yang terdapat di dalam teks Tantri Kĕdiri secara implisit maupun eksplisit dengan menyesuaikan konteks sosial budaya yang ada di dalam masyarakat Bali saat ini. Novel Tantri Perempuan yang Bercerita menyerap kutipan-kutipan teks Tantri Kĕdiri secara implisit seperti pada cerita berbingkai, baik pada bingkai utama pada tokoh utamanya, yakni kehidupan Ni Diah Tantri dan Eswaryadala maupun cerita berbingkai pada cerita fabel yang terdapat di dalamnya. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengikuti konvensi genre dalam teks Tantri Kĕdiri dengan konsep cerita berbingkai. Hal tersebut juga merupakan salah satu kutipan, dan penyerapan teks-teks lain. Karena isi cerita berbingkai dari novel Tantri Perempuan yang Bercerita tersebut sama dengan isi cerita berbingkai yang terdapat di dalam naskah Tantri Kĕdiri. Contohnya pada bagian awal cerita berbingkai pada cerita fabel, pertemuan antara Nandaka, Candapinggala dan Sambada, yang membuat Sambada mengadu domba Nandaka dan Candapinggala hingga mengakibatkan keduanya mati.

Dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita dikisahkan awal dongeng Ni Diah Tantri kepada raja Eswaryadala menceritakan tentang seorang Bhagawan Dharmaswami yang melakukan tapa brata kemudiaan dianugrai seekor sapi jantan bernama Nandaka oleh Sang Hyang Widi. Seperti pada cuplikan adegan di bawah ini.

commit to user

Dahulu kala, ada seorang pandita miskin bernama Bhagawan Dharmaswami. Walaupun miskin, pandita itu sungguh teguh melakuakan tapa brata (pengendalian perilaku). Setiap pagi tak pernah ia luput melakukan Surya Sevana (memuja matahari di pagi hari). Oh, Dewa Surya yang pemurah, selalu mencatat dengan seksama keteguhan hati sang pandita. Hingga suatu hari dari langit terdengar suara... . (Sawitri, 2011: 29).

“Hai pandita yang teguh hati, kuberi engkau seekor lembu... .” Bhagawan Dhawmaswami dengan semangat memberi lembu itu nama Nandaka (Sawitri, 2011: 30 – 31).

...Hari ke hari hingga memasuki hitungan yang kelima belas, Bhagawan Dharmaswami mulai berpikir-pikir, mulai meras kerepotan mengurus Nandaka, “Dahulu, guruku, Dhang Guru Wasista dianugerahi seekor lembu putih lembu betina, yang diberi nama Nandini. Lembu itu pemurah, sebab dari susunya, Dhang Guru Wasista bisa meminta apa saja! Bukan air susu saja yang dapat diperah dari susu Nandini, segala keperluan Dhang Guru terpenuhi oleh perahan susu itu. Sebaliknya, aku sekarang dianugerahi lembu jantan. Ah, pejantan macam ini, apa gunanya?... .” (Sawitri, 2011: 32).

...Diceritakan kini di pagi hari, Bhagawan Dharmaswami mengajak Nandaka ke hutan, memondonginya kayu-kayu bakar, hingga gelap tiba barulah kembali ke Pasraman. Keesokan harinya Nandaka memondong kayu-kayu bakar itu ke pasar terdekat. Begitu seterusnya setiap hari, Bhagawan Dharmaswami mengajak Nandaka berjualan kayu bakar ke pasar. ... Begitulah ceritanya dalam sekejap mata, tak terpikirkan oleh akal sehat, Bhagawan Dharmaswami menjadi pandita yang sangat kaya raya (Sawitri, 2011: 33 – 34).

Kutipan-kutipan pada novel Tantri Perempuan yang Bercerita tersebut merupakan penyerapan dari teks Kidung Tantri Kĕdiri. Seperti yang tergambar dalam naskah berikut.

Maka adalah seorang brahmana dahulu kala yang miskin. Ia selalu berbuat kebajikan, beryoga dengan mulia serta melaksanakan puja dan brata. Ia <bersamadi> mendatangkan turunnya Dewa dengan memusatkan <pikirannya> mencoba mengadakan hubungan dengan Dewa secara murni. Ia berusaha mendapatkan anugerah, kasih Tuhan Yang memberikannya rezeki, sarana menjadi bahagia (Pupuh I baris 103 b, 2009: 127).

Semua doanya dikabulkan. Tidak lama kemudian ia memperoleh seekor sapi jantan yang berkualitas sempurna (Pupuh I baris 104 a, 2009: 129).

commit to user

Ialah bernama Nandaka yang sempurna, warnanya hitam indah. Betul-betul anugerah Sang Hyang Widi (Pupuh I baris 104 b, 2009: 129).

“Lho apakah alasannya saya dibebani seperti ini?” Begitu pikirnya dalam hati akan anugerah Sang Hyang Widi. “Ini mustahil, sebab dulu orang-orang bijaksana semua dianugerahiNya sapi betina. Seperti <contohnya> bagawan Wasista yang dianugerahi* lembu sang Nandini. Keistimewaannya adalah susunya (Pupuh I baris 105 a, 2009: 129).

Nah yang ini apa maksudnya?” Begitu katanya dalam hati. Lalu kemudian si Nandaka dimuati dengan kayu-kayu dibawa ke hutan Andakawana. Sekembalinya mendapatkan kayu, dijual dan menjadi beras. Beras yang bertambah dijual lagi menjadi emas. Emas dipakainya membeli barang dagangan (Pupuh I baris 105 b, 2009: 129).

Begitulah cara ia berdagang. Berputar-putar sehari-harinya membuat bertambah hartanya (Pupuh I baris 106 a, 2009: 129).

Setelah beberapa waktu lamanya maka semakin bertambahlah para hamba pelayan dan pedatinya. Apalagi sapi-sapinya beribu-ribu jumlahnya (Pupuh I baris 106 b, 2009: 129).

Maka rezeki daripada sang brahmana ada di mana-mana. Ia menemukan keberuntungan. Semakin bertambahlah harta benda serta sapi-sapinya, menjadi banyak. Maka ia pun sungguh telah mencapai tujuannya (Pupuh II baris 1 a, 2009: 131).

Begitulah awal cerita asal mula keberadaan Nandaka. Kemudian cerita dilanjutkan dengan kisah sang bangsawan dan rombongannya yang ingin berdagang di ibu kota, sehingga ia mempersiapkan semua dagangan dan rombongan yang dibawanya. Ia harus melewati hutan Malawa yang dikenal menyeramkan dengan banyak binatang buas dan perampok, sehingga ia harus bergegas. Setelah melewati hutan Malawa rombongan Bhagawan Dharmaswami itu pun beristirahat dan membangun tenda. Namun, Bhagawan Dharmaswami menyadari bahwa sapi Nandaka dan dua orang pelayannya belum sampai di tempat peristirahatan, sehingga ia kembali ke hutan Malawa untuk mencari Nandaka. Setelah itu sang Bhagawan Dharmaswami pun kebingungan melihat Nandaka yang sedang sekarat di tengah hutan.

commit to user

Dalam teks Tantri Perempuan yang Bercerita berisi seperti gambaran berikut.

Dengan kesal Nandaka menggerutu di hati. “Duh, beginikah sikap seorang brahmana yang bergelar Bhagawan Dharmaswami? Puah! Ah, sungguh tak layak gelar itu. Sebab tak sedikit pun sikap Bhagawan Dharmaswami menunjukkan sikap pejalan dharma! Namanya saja Dharmaswami! Tetapi sifat dan perilakunya sungguh jauh dari kedharmaan! Bhagawan itu terlalu loba, moha, murka, mada, tidak sedikit pun ingat nasibnya di masa lalu. Sifat-sifat serakah, kebingungan, pemarah, dan mabuk kekayaan sudah menguasai dirinya... .” (Sawitri, 2011: 40).

Adapun isi cerita dalam teks hipogramnya, yakni Kidung Tantri Kĕdiri seperti berikut.

“Ia dianggap Dharmaswami* di dunia, <padahal> sungguh papa perbuatannya. Tidak tahu berterima kasih. Dulu waktu ia masih miskin, kasihan sekali dia. Lalu aku ditaruhi barang dagangan, ia pergi berniaga, aku memuat kayu-kayu (Pupuh II baris 13 a, 2009: 139).

Ia dulu berjualan kayu, lalu terlihat menjadi beras dibawa ke daerah tengah. Berasnya terlihat bertambah menjadi emas yang tak bisa dihitung adanya. Dan lagi lembu-lembunya dua, tiga. <Sekarang> genapnya ada seratus, duaratus (Pupuh II baris 13 b, 2009: 139).

Bahkan sekarang ini hampir seribu, penuh dengan harta bendanya. Tetapi aku tidak diberinya sedikitpun <kesempatan>, berjalan-jalan, bersantai-santai sedikitlah supaya agak terang hatiku. Malah aku sendiri dimuati dagangan, dipegangnya erat-erat dan dikatakan bahwa aku sudah terlatih dan kuat untuk membawa barang dagangan besar! (Pupuh II baris 14 a, 2009: 139).

Apa itu Dharmaswami? Kalau perbuatannya begitu Papaswami* namanya!” Maka begitulah pikiran Nandaka (Pupuh II baris 14 b, 2009: 139).

Kemudian cerita dalam kedua teks sastra ini menceritakan bahwa Nandaka tetap berpura-pura seakan sebentar lagi ia akan menemui ajalnya. Ia sudah tak sudi mengikuti Bhagawan Dharmaswami yang memperlakukannya dengan tidak baik dan tidak tahu budi tersebut. Dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita kemudian gambaran cerita selanjutnya seperti pada dialog berikut.

commit to user

Lalu Bhagawan Dharmaswami memangil dua pelayannya, “Hei, Palet dan kau Wipe, si kusir akan menggendong sebagian isi pedati, sebagian lagi akan kutarik dengan kudaku, kalian berdua jagalah Nandaka di sini. Andai nanti dia sadar, kembali membaik segera pondongi punggungnya kayu bakar sekuat-kuat yang mampu dia gendong, jika dia mati, siapa tahu ada pemburu ataukah peladang yang melewati jalan ini, siapa saja mereka, tawarkan daging Nandaka. Jangan ragu, jual saja! Kalau ternyata mereka tidak mau beli, kalian berikan saja dagingnya kepada siapa saja yang lewat. Kalau tidak ada yang lewat, nasib si Nandaka untuk dibakar! Bakar dia, biarkan menjadi abu... .” (Sawitri, 2011: 43).

Kutipan tersebut dalam Kidung Tantri Kĕdiri tergambar dalam dialog berikut.

Adalah hambanya dua orang cebol namanya Sinet dan Teka. Maka berkatalah sang brahmana: “Wahai dua hambaku orang cebol, berbaik hatilah dan tungguilah sang Nandaka. Apabila* ia hidup, bawalah ke Udyani Malawa dan muatlah* semua barang dagangan yang kalian lihat (Pupuh II baris 16 a, 2009: 141).

Jika ia mati, bakarlah oleh kalian. Memang sudah sengsara*. Sedangkan barangbarangnya masing-masing berikanlah kepada orang yang lewat di hutan. Akan berbahagia aku jika diberikan kepada seorang pandita atau orang-orang yang mewakilinya* dengan tujuan supaya berhasillah perjalananku (Pupuh II baris 16 b, 2009: 141).

<Tetapi sekarang jika hidup>, usahakan barang-barang dagangan yang mulia, terutama emas, supaya dibawa ke tempatku. Tetapi apabila dimuat di pedati dan barangnya tidak muat, tunggulah dan jagalah barangku oleh kalian berdua (Pupuh II baris 17 a, 2009: 141).

Cerita kedua teks berlanjut, kedua pelayan itupun memutuskan untuk meninggalkan Nandaka di hutan karena tidak mungkin ia bisa bertahan hidup. Lagipula kedua pelayan tersebut takut akan ancaman yang mungkin terjadi di tengah hutan Malawa tersebut. Oleh karenanya, mereka membuat sebuah siasat. Dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita di ceritakan oleh Cok Sawitri sebagai berikut.

“Ayolah, kita kumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya. Tumpuk-tumpuk kayu bakar sebanyak-banyaknya. Tumpuk-Tumpuk-tumpuk kayu bakar ini memanjang, lalu melingkari tubuh Nandaka, jejerkan seukuran tubuhnya,

commit to user

tumpukan yang paling ujung letakkan di dekat tubuh Nandaka. Nanti, kita bakar dari ujung yang lain, yang terjauh dari Nandaka, sebab tidaklah dibenarkan membakar makhluk yang masih hidup, itu dosa yang sungguh tak terampunkan, disebut upadarwa. Nah, jika dari ujung kita bakar, api akan menjalar perlahan menuju Nandaka. Pastilah saat api tiba ditumpukan kayu terakhir, Nandaka sudah meregang nyawa. Ayo sekarang kita kumpulkan kayu kering... .” (Sawitri, 2011: 44).

Adapun dalam teks hipogram novel Cok Sawitri tersebut, yakni Kidung Tantri Kĕdiri tergambar adegan seperti berikut.

... “Coba kamu menimbun kayu dan menyulut api sampai berkobar meletup-letup dan asapnya kelihatan dari jauh. Maka itulah akan menjadi buktimu kalau kamu sudah membakar bangkai si lembu.” (Pupuh II baris 20 b, 2009: 143).

Begitulah ujar si Teka. Segeralah ki Sinet menimbun kayu dan berkata: “Ditaruh di mana kayu ini? Si Nandaka kubakar.” Si Teka lalu menjawab: “Jangan begitu. Itu dilarang oleh tradisi. Itu namanya gohatyā* bung (Pupuh II baris 21 a, 2009: 143).

Sama dengan membunuh seorang brahmana artinya. Nah kalau mau menumpuk kayu, tempatnya agak jauhan ya. Lalu sulutlah apinya. Jika sudah membara, tinggalkan. Maka siasat kita sudah mulai.” (Pupuh II baris 21 b, 2009: 143).

Maka ki Teka berkata: “Sinet, coba datangi tempat Nandaka dan lepas tali-talinya semua. Jangan ada yang tertinggal, termasuk penopangnya*.” Maka segeralah semua dilepas (Pupuh II baris 22 a, 2009: 143).

Jadi, begitulah siasat yang dilakukan kedua pelayan Bhagawan Dharmaswami meninggalkan Nandaka dan membuatnya seolah-olah Nandaka telah meninggal. Kemudian mereka menemui sang Bhagawan Dharmaswami dan melaporkan bahwa Nandaka telah dibakar. Setelah Nandaka ditinggalkan oleh kedua pelayan tersebut larilah ia ke tengah hutan mencari makan dan tempat tinggal. Hingga akhirnya Nandaka bertemu segerombolan anjing yang menyerangnya. Mereka adalah pasukan raja hutan, seekor singa yang bernama Candapinggala. Grombolan anjing itu dipimpin oleh seekor patih bernama Sambada.

commit to user

Suatu hari mereka diperintahkan oleh Candapingala untuk berburu hewan lainnya di dalam hutan. Hingga akhirnya mereka menemukan Nandaka binatang yang belum pernah mereka temui sebelumnya di dalam hutan Malawa. Mereka pun segera menyerang Nandaka sebagai hewan buruan mereka. Nandaka dengan gusar melawan pasukan anjing itu dan mereka pun terluka karena srudukan dan tendangan Nandaka. Pasukan anjing itu kemudian melaporkan kejadian itu kepada Candapinggala dan Sambada, sehingga Sambada pun marah melihat keadaan pasukannya. Setelah itu Candapinggala ditemani oleh Sambada melihat langsung makhluk seperti apa yang telah melukai pasukannya, maka bertemulah Candapinggala dan Sambada dengan Nandaka. Potongan adegan itu tergambarkan dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita sebagai berikut.

... raja hutan Malawa itu menyapa Sang Nandaka, “Wahai, Tuan, Siapakah Anda? Binatang jenis apakah Anda? Dari manakah asal Anda? Kalau boleh tahu, siapakah nama Anda? Sungguh, saya kagum dengan penampilan Anda, demikian berwibawa, gemuk hitam dan gagah perkasa! Sulit bagi saya mencari perumpamaan untuk memuji penampilan Anda... .” (Sawitri, 2011: 70).

... “oh ho! Baiklah, seperti yang Anda tanyakan, sekarang dengaranlah dengan baik-baik apa yang akan hamba sampaikan sebagai jawaban. Nama hamba Nandaka, putra dari Sang Arjuna dan Dewi Surabi. Hamba ini, cucu jauh dari Ida Bhagawan Sahasra Walikia. Masa kanak hamba digembalakan oleh Batara Guru. Lama hamba diberi kesempatan menjadi abdi beliau... .” (Sawitri, 2011: 72).

Adapun dalam teks hipogram novel Cok Sawitri tersebut, yakni Kidung Tantri Kĕdiri tergambar adegan seperti berikut.

... Kemudian ia disapa oleh sang Raja Margasatwa: “Aduh hewan apakah anda ini? Dan siapa sebutan nama anda, serta dari manakah anda asalnya dan mau ke mana? Apakah maksud anda datang ke sini? Apakah rencana anda sahabatku?* (Pupuh III baris 11 b, 2009: 167).

“Sungguh terpencil ini <hutan> Udyani Malawa, tempat saya. Sungguh heran saya melihat keadaan anda baru saja datang mengembara di hutan

commit to user

ini untuk pertama kalinya sepertinya tidak ada yang sama. Apakah anda tak tahu bahwa saya adalah sang Candapinggala yang dianggap sebagai raja, Raja Margasatwa.” (Pupuh III baris 12 a, 2009: 167).

“Tidak lain sayalah yang menguasai kehidupan semua margasatwa yang berada di hutan ini. Makanya sungguh-sungguh berilah saya tahu, mohon maaf.” Maka jawab sang Nandaka: “Ah artinya Tuan sungguh-sungguh Raja Margasatwa.” (Pupuh III baris 12 b, 2009: 167).

“Maka dengan izin anda, yang termashyur wahai Tuan Candapinggala yang memiliki bala tentara serigala semuanya, ketahuilah saya adalah putra sang Aruna dari Surabi sebagai istrinya. Maka mereka ini ayah dan ibu saya.” (Pupuh III baris 13 a, 2009: 167).

“Saya dianggap cucu Bagawan Sasra Walikilya. Saya Nandaka, wahana Batara Parameswara (Pupuh III baris 13 b, 2009: 167).

Begitulah kisah awal mula pertemuan Nandaka, Candapinggala dan Sambada yang membawa Candapinggala ingin berteman dengan Nandaka, sehingga membuat Sambada mengadu domba keduanya hingga menyebabkan kematian bagi keduanya. Cerita antara Nandaka, Candapinggala dan Sambada ini merupakan tonggak terpenting dalam cerita Tantri karena cerita ini merupakan bagian nitisastra dari kitab sastra agama Hindu yang mengajarkan dharma. Selain itu dari cerita ketiga tokoh binatang inilah kemudian muncul beberapa cerita sisipan lainnya, sehingga menyebabkan cerita Tantri ini sebagai cerita berbingkai. Jadi, kehadiran dari cerita Nandaka, Candapinggala dan Sambada ini sangatlah penting dan tidak bisa dihilangkan. Oleh karena itu, Cok Sawitri dalam menulis novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengutip isi cerita berbingkai kisah binatang yang terdapat di dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri.

Dari penggambaran adegan dan dialog dari kedua teks tersebut, maka dapat dilihat bahwa memang Cok Sawitri mengutip dan menyerap teks Kidung Tantri Kĕdiri ke dalam karya transformasinya, yakni Tantri Permpuan yang Bercerita secara implisit, meskipun kata-kata dan bahasanya tidak sama. Namun

commit to user

secara signifikasi (pemaknaan), dapat dilihat bahwa memang novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengutip beberapa bagaian cerita yang terdapat di dalam teks Tantri Kĕdiri. Bahkan alur cerita yang digunakan dalam Tantri Kĕdiri diikuti oleh Tantri Perempuan yang Bercerita.

Sedikit perbedaan bahasa maupun gaya penceritaan dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita dengan Kidung Tantri Kĕdiri dikarenakan Cok Sawitri tidak hanya mengutip teks secara implisit saja melainkan juga secara eksplisit. Pengutipan teks secara eksplisit maksudnya mengutip teks tidak hanya apa yang ada di dalam teks lain, baik itu dari segi bahasa, cerita, alur dan lain sebagainya. Namun juga mengutip apa yang ada di luar teks, seperti konteks sosial budaya yang ada di dalam masyarakat pemilik dari cerita tersebut. Mengingat bahwa jangkauan dari kajian interteks yang sangat luas, sehingga hubungan intertekstual tidak hanya bisa dihubungkan antara teks dengan teks saja, melainkan juga bisa antara teks dengan hal yang lainnya seperti, karya seni, drama, sejarah, budaya dan lain sebagainya.

Begitu juga dengan novel Tantri Perempuan yang Bercerita, isi ceritanya tidak hanya mengutip teks Kidung Tantri Kĕdiri secara imlisit. Namun, novel Tantri Perempuan yang Bercerita ini juga melakukan pengutipan secara eksplisit terhadap konteks sosial budaya yang ada di masyarakat Bali. Salah satu contohnya adalah mengangkat isu yang sedang berkembang di masyarakat Bali, seperti masalah ketidakadilan gender. Sebelumnya telah disinggung sedikit tentang isu ketidakadilan gender terkait adanya sistem sosial dalam masyarakat Hindu Bali,

commit to user

yakni sistem kasta dan patriarkal. Adanya kedua prinsip tersebut membuat posisi wanita di masyarakat Hindu Bali dianggap kurang penting.

Dengan adanya sistem kasta di masyarakat Hindu Bali membuat wanita Bali tidak bisa bebas menentukan pilihan, salah satu contohnya dalam hal pernikahan. Di Bali wanita diharuskan menikah dengan kasta yang sama. Jika dia menikah dengan kasta yang lebih rendah dari kasta keluarganya, maka ia harus rela meninggalkan keluarganya selamanya. Berbeda dengan laki, apabila laki-laki menikah dengan wanita berbeda kasta, ia tidak diharuskan meninggalkan keluarga atau kastanya. Wanita Bali selalu harus hidup dalam kungkungan para laki-laki, seperti yang dijelaskan oleh Pratiwi (2012: 51), bahwa saat perempuan masih kecil dan hidup bersama orang tuanya ia harus menuruti perintah ayahnya. Saat perempuan Bali menikah, ia harus menuruti perintah dan mengabdi kepada suaminya, dan saat suaminya meninggal perempuan Bali harus menuruti perintah anak laki-lakinya.

Ketidakadilan gender tersebut membuat wanita Bali tidak memiliki kebebasaan dan seakan dibungkam untuk tidak mengeluarkan pendapat. Hal itu kemudian mempengaruhi ideologi Cok Sawitri dalam merekonstruki novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Rekonstruksi tersebut salah satunya ia lakukan kepada kedua tokoh utamnya, yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala. Ni Diah Tantri digambarkan sebagai sosok yang cerdas dan berani dalam berpendapat melalui dongengnya kepada raja Eswaryadala. Pada akhir cerita, Eswaryadala pun dibuat sebagai sosok laki-laki yang jantan dengan mengakui kesalahannya dan

commit to user

meminta maaf serta membebaskan tokoh Tantri untuk menentukan pilihannya sendiri.

Cerita Tantri Perempuan yang Bercerita beserta tokoh utama wanitanya, yakni Ni Diah Tantri direkonstruksi dengan mengikuti ideologi Cok Sawitri sebagai salah satu sastrawan Bali yang giat mengangkat isu feminisme dalam karyanya. Jadi, secara otomatis novel Tantri Perempuan yang Bercerita yang ia hasilkan memiliki prespektif berbeda dari cerita Tantri klasik yang pernah ada. Novel Tantri Perempuan yang Bercerita secara implisit mengutip teks Kidung Tantri Kĕdiri dan secara eksplisit menggunakan isu feminisme untuk diselipkan ke dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Hal ini membuktikan bahwa Cok Sawitri menggunakan otoritasnya sendiri sebagai pengarang yang merekonstruksi sebuah cerita klasik ke dalam novel modern disesuaikan dengan pemaknaan dan prespektif dari pengetahuan dirinya pribadi.

commit to user

B. Rekonstruksi Tokoh Utama, Ni Diah Tantri dan Eswaryadala