• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN SISTEM PENDUGAAN NILAI FUNGSI HIDROLOGIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDEKATAN SISTEM PENDUGAAN NILAI FUNGSI HIDROLOGIS"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PENDEKATAN SISTEM PENDUGAAN NILAI

FUNGSI HIDROLOGIS

Model Pengendalian Erosi dan Hasil Air Hutan Alam

Yang dimaksud dengan fungsi hidrologis pada penelitian ini adalah fungsi pengendalian erosi dan tata air khususnya kuantitas dan kualitas hasil air. Ekosistem hutan mempunyai hubungan interdependensi diantara komponen-komponen biotis dan abiotis, yang mempengaruhi dinamika ekosistem hutan tersebut. Di dalam ekologi hutan sudah lama digambarkan fungsi ekologis hutan, antara lain Kittredge (1948) membahas tentang pengaruh hutan. Hutan dinyatakan mampu memberikan perlindungan bagi permukaan tanah terhadap pengaruh energi kinetik butir-butir curah hujan, sehingga mengurangi bahaya erosi. Hutan juga memegang peranan penting di dalam siklus hidrologis, melalui pengaruhnya terhadap laju evapotranspirasi, infiltrasi, aliran air di permukaan dan di bawah tanah.

Model fungsi hidrologis dibangun untuk menggambarkan dinamika erosi, hasil air dan kualitasnya pada berbagai kondisi hutan sebagai pengaruh kegiatan penebangan tegakan dengan berbagai intensitas penebangan. Penelitian ini akan memperlihatkan pengaruh pengurangan tutupan tajuk hutan terhadap peningkatan erosi dan hasil air. Pengetahuan ini penting, karena keputusan peningkatan intensitas penebangan untuk meningkatkan nilai ekonomi hasil hutan kayu, potensial akan menimbulkan eksternalitas negatif atau penurunan manfaat ekologis hutan bagi masyarakat luas. Konstruksi model subsistem fungsi hidrologis hutan disajikan pada Lampiran 6.

Model fungsi hidrologis didasarkan atas adanya interaksi antara air hujan, tegakan dan lahan. Pada proses erosi air hujan merupakan unsur yang berperan penting terhadap erosi tanah di daerah tropika. Curah hujan yang jatuh ke atas permukaan tanah akan menimbulkan dispersi butiran tanah, yang kemudian akan diangkut oleh aliran permukaan. Di dalam rumus penghitungan erosi tanah (USLE) faktor pengaruh air ini sebagai erosivitas yang diturunkan dari intensitas hujan maksimum 30 menit. Disamping itu, sifat tanah akan menentukan apakah tanah tersebut mudah atau tidak untuk tererosi, atau erodibilitas. Faktor-faktor

(2)

lain yang berpengaruh adalah panjang dan kemiringan lereng, faktor vegetasi dan konservasi tanah. Selain faktor alam, maka faktor manusia berpengaruh terhadap erosi, yaitu pada faktor vegetasi dan konservasi tanah.

Di dalam pengelolaan hutan faktor iklim (curah hujan) dan tanah adalah dua faktor yang bersifat relatif tetap, tindakan pengelolaan dapat dilakukan terhadap faktor penutupan lahan oleh vegetasi dan beberapa perlakuan terhadap lahan dengan tujuan antara lain memodifikasi panjang dan besar lereng, ataupun menghambat laju aliran permukaan. Kegiatan pengelolaan hutan berupa penebangan tegakan akan menimbulkan pengurangan tutupan tajuk atau celah jatuhnya butir-butir curah hujan ke atas permukaan tanah secara langsung sehingga memperbesar erosi. Seiring perkembangan waktu setelah penebangan terjadi pertumbuhan tegakan yang akan memulihkan tegakan ke kondisi hutan klimaks. Dinamika tegakan ini secara langsung berpengaruh terhadap perkembangan erosi selama proses pertumbuhan ini. Variabel tegakan berupa luas bidang dasar maupun tingkat penutupan tajuk akan diwakili oleh variabel waktu setelah penebangan sebagai variabel penjelas perkembangan besar erosi.

Tabel 10 Model penduga erosi di hutan alam produksi lokasi penelitian

Lokasi Model erosi Fhit R2

Areal tebangan Y =53,7935 Exp(−0,2751X) 41,707 *) 0,954 Jalan sarad Y =144,4324Exp(−0,2402 X) 19,584 *) 0,907 Jalur tanam Y =192,8105Exp(−0.5197 X) 88,516 *) 0,978

*) Uji statistik F ά 5% nyata; Hasil pengolahan data pengukuran erosi di blok TPTJ 1999/2000 (SBK, 2005)

Berdasarkan data hasil pengukuran erosi di lapangan selama tahun 2000-2004, diperoleh model penduga erosi dalam bentuk eksponensial. Tabel 10 menyajikan tiga model penduga erosi di areal bekas penebangan, bekas jalan sarad dan jalur penanaman di blok sistem TPTJ. Secara statistik variabel waktu setelah penebangan (X) mampu secara baik menerangkan besar erosi. Model penduga erosi diaplikasi pada areal TPTI dengan menggunakan angka koreksi 0,775 (jika intensitas tebangan TPTI 100%, maka intensitas penebangan TPTJ 129%). Disamping itu, penduga erosi di jalur tanam digunakan untuk menduga erosi di areal terbuka bersama-sama dengan erosi di jalan sarad pada sistem TPTI.

(3)

Perbandingan erosi berdasarkan data lapangan dan hasil pendugaan oleh model disajikan pada Gambar 9. Penyimpangan antara hasil dugaan dengan aktual lapangan secara rata-rata selama 4 tahun pengamatan relatif kecil lebih kurang 1% (0,07-1,3%). Di dalam aplikasi model penduga erosi ke dalam sistem penilaian fungsi hidrologis perlu pendugaan selama siklus tebang. Oleh karena keterbatasan data yang hanya empat tahun, untuk keperluan ini dilakukan ekstrapolasi sampai siklus tebang.

140 120 Tebangan Data Erosi (ton/h a) 100 Tebangan Model Jl sarad Data 80 Jl sarad Model 60 Tanam Data Tanam Model 40 20 0 1 2 3 4

Waktu setelah penebangan (thn)

Gambar 9 Perbandingan erosi oleh model dan data di lokasi penelitian

Pilihan model penduga yang lain adalah model bentuk logistik, hasil uji statistik sangat nyata. Penentuan pilihan model didasarkan analisis ekstrapolasi. Hasil ekstrapolasi dari model eksponensial menunjukkan erosi dugaan pada tahun 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 masing-masing 18 ton/ha; 4,5 ton/ha; 1,2 ton/ha; 0,3 ton/ha; 0,09 ton/ha; 0,02 ton/ha. Pendugaan erosi model logistik pada tahun-tahun tersebut berturut-turut adalah 22 ton/ha; 14,8 ton/ha; 11,3 ton/ha; 10,6 ton/ha; 10,2 ton/ha. Penurunan laju erosi pada model logistik sangat lambat meskipun kondisi hutan alam bekas tebangan sudah pulih relatif sama dengan hutan primer, sebagaimana ditunjukkan pada dinamika tegakan pada sub bab dinamika tegakan. Berdasarkan pertimbangan hal ini maka pendugaan erosi sampai siklus tebang lebih realistik pada model eksponensial, sehingga digunakan pada model subsistem fungsi hidrologis ini.

(4)

Hasil simulasi intensitas penebangan tegakan pad sub sistem fungsi hidrologis menunjukkan semakin tinggi intensitas penebangan maka erosi semakin besar. Gambar 10 menunjukkan perkembangan erosi setiap intensitas penebangan selama siklus tebang. Intensitas penebangan 100% telah menghilangkan tegakan diameter > 50 cm sebesar 19 btg/ha (75 m3/ha) telah menimbulkan erosi sebesar 46 ton/ha pada tahun pertama setelah penebangan. Erosi pada hutan tanpa penebangan sebesar 2,3 ton/ha, sedangkan hutan yang ditebang dengan intensitas 50% dan 76% masing-masing sebesar 15,2 ton/ha dan 31,5 ton/ha. Besar erosi akan semakin berkurang seiring dengan berjalannya waktu setelah penebangan.

IP adalah intensitas penebangan tegakan

Erosi menurut waktu 50 40 Erosi (ton/h a) IP 0 30 IP 50 IP 76 20 IP 100 10 0 1 5 10 15 20 25 30 35

Waktu setelah penebangan (thn)

Gambar 10 Perkembangan erosi menurut waktu setelah penebangan selama siklus tebang

Total erosi selama siklus tebang masing-masing intensitas penebangan adalah 9,08 ton/ha; 59,92 ton/ha; 123,69 ton/ha dan 181,65 ton/ha. Secara rata-rata erosi pertahun selama siklus tebang tampak tidak terlalu besar erosi yang terjadi di hutan bekas tebangan ini. Masa kejadian erosi yang kritis adalah selama 5-10 tahun setelah penebangan, karena setelah waktu itu erosi relatif sama dengan erosi di hutan alam lainnya. Sebagai komparasi dugaan erosi di hutan alam primer 0,5 ton/ha (Ether, 2001), dan menurut Wiersum (1984) di dalam Chomitz &

(5)

Kumari (1998) erosi di hutan alam berkisar 0,03-6,2 ton/ha (dapat dilihat pada Tabel 2).

Rasio besar erosi di hutan dengan intensitas penebangan 50%, 76% dan 100% terhadap hutan tanpa penebangan (intensitas 0%) adalah 7, 14 dan 20. Intensitas penebangan 100% telah menimbulkan besar erosi sebesar 20 kali erosi di hutan tanpa penebangan. Fungsi intensitas penebangan terhadap erosi total selama siklus tebang dapat dinyatakan dalam bentuk logistik Y = 243,12/{1+27,27 Exp(-0,04X)}, R2=0,99 dimana Y adalah erosi selama siklus tebang (ton/ha) dan X adalah intensitas penebangan (%).

Pengaruh setiap satu persen penebangan untuk masing-masing intensitas penebangan menunjukkan besar kenaikan erosi yang semakin tinggi (erosi rata-rata untuk setiap intensitas penebangan), yaitu pada intensitas 50% , 76% dan 100% masing-masing adalah 11%, 17% dan 19%. Ini berarti resiko eksternalitas negatif erosi semakin tinggi dengan kenaikan intensitas penebangan tegakan untuk memperoleh hasil hutan kayu. Laju erosi untuk setiap persen kenaikan intensitas penebangan mula-mula semakin tinggi yaitu dari kenaikan penebangan sebesar 50% menaikan laju erosi sebesar 1,02 ton/persen penebangan; kenaikan 26% menimbulkan kenaikan erosi dengan laju 2,45 ton/persen penebangan; kemudian kenaikan penebangan 24% menyebabkan erosi dengan laju 2,23 ton/persen penebangan.

Hasil air adalah salah satu keluaran fungsi ekologis hutan melalui proses siklus hidrologis. Siklus hidrologis ini mencakup beberapa komponen atau proses yaitu dari curah hujan, intersepsi, evaporasi dan transpirasi (evapotranspirasi), aliran permukaan (surface run off), infiltrasi dan perkolasi, aliran di bawah permukaan (subsurface storm flow), aliran air tanah (base flow). Secara sederhana peristiwa hidrologis ini digambarkan pada Gambar 11.

Pendekatan neraca air digunakan untuk mengetahui pengaruh pengelolaan lahan maupun hutan. Persamaan neraca air disederhanakan dengan asumsi tidak ada kebocoran, aliran tidak lewat sungai (under flow) dan tidak ada perubahan stok air tanah, sehingga potensi air Q = Pg - Et , dimana Pg adalah curah hujan total, Et evapotranspirasi dan Q adalah aliran sungai. Dengan demikian potensi

(6)

hasil air dari hutan berupa air sungai berasal dari aliran permukaan dan bawah permukaan.

U.S. Geological Survey. URL://http://ga.water.usgs.gov/edu/watercyclehi.html (18 Januari 2008)

Gambar 11. Proses siklus hidrologis yang mempengaruhi hasil air dari hutan Model subsistem fungsi hidrologis untuk mempelajari dinamika hasil air kaitannya dengan kegiatan penebangan dikembangkan dengan menggunakan variabel-variabel curah hujan tahunan, koefisien limpasan atau aliran permukaan, koefisien evapotranspirasi, jangka waktu setelah penebangan dan intensitas penebangan. Penelitian ini tidak mempelajari hidrograf sungai, yang menunjukkan jangka waktu terjadinya aliran puncak dari storm flow atau direct runoff yang merupakan penjumlahan aliran permukaan dan bawah permukaan serta curah hujan yang langsung jatuh ke sungai. Model fungsi hidrologis ini hanya menunjukkan hasil air tahunan, tidak menyangkut distribusi aliran air sungai menurut waktu selama kurun satu tahun, yang berimplikasi pada tidak ada analisis potensi banjir maupun defisit air sungai.

Pada model pengaruh penebangan pada intensitas 100% terhadap besar aliran permukaan dianalogikan dengan aliran permukaan pada hutan bekas tebangan akibat penjarahan tegakan hutan yaitu sebesar 0,41 dan pada hutan masih utuh sebesar 0,13 (Hendrayanto, et al., 2002). Sedangkan menurut LP-IPB (1999) aliran permukaan pada hutan sebesar 0,1 yang digunakan untuk hutan alam masih utuh (tanpa penebangan). Efek penebangan terhadap aliran permukaan diadopsi dan dilakukan penyesuaian dari hasil simulasi hidrologi di Sub DAS

(7)

Karang Mumus Kalimantan Timur, dimana prosentase tutupan hutan di Sub DAS tersebut dianalogkan dengan pengurangan tutupan tajuk hutan akibat penebangan (Handayani & Tjakrawarsa, 2006).

Evapotranspirasi mempengaruhi besar aliran permukaan ataupun sebaliknya. Ketebalan, kerapatan dan besar tajuk tegakan hutan berpengaruh terhadap evapotranspirasi di areal hutan. Semakin besar tutupan tajuk hutan maka aliran permukaan semakin kecil, karena ada peningkatan evapotranspirasi. Moore (1999) melaporkan dampak praktik silvikultur terhadap hidrologi hutan, bahwa apabila tajuk dalam kondisi rapat maka 20% curah hujan dievaporasikan melalui intersepsi tajuk tegakan ke atmosfir . Potensi air di pulau Kalimantan 1.660 mm/thn (58% dari curah hujan) dan evapotranspirasi 1.200 mm/thn atau 42% (Manan, 1976). Evapotranspirasi jenis Shorea pinanga sebesar 1.154 mm/thn atau 33,3% (Pujiharta, 1995), sedangkan LP-IPB (1990) menyatakan evapotranspirasi hutan sebesar 468 mm/thn atau lebih kurang 18%. Data dari Pujiharta digunakan pada model ini sebagai laju evapotranspirasi pada hutan tanpa penebangan, dengan pertimbangan pada hutan SBK jenis shorea dominan. Keterbatasan data tentang dampak penebangan terhadap laju evapotranspirasi, didekati dengan asumsi dampak penebangan linier terhadap laju evapotranspirasi.

Kegiatan penebangan secara mekanis menggunakan alat-alat berat menimbulkan pemadatan tanah, sehingga dapat menghambat laju infiltrasi yang menjadikan peningkatan aliran permukaan. Tabel 11 menunjukkan hasil simulasi intensitas penebangan pada model subsistem fungsi hidrologis, menunjukkan penebangan berdampak pada peningkatan debit (l/det) air sungai. Semakin besar pembukaan tajuk hutan maka akan meningkatkan aliran permukaan yang dapat meningkatkan hasil air. Dampak penebangan terhadap peningkatan debit ini bersifat temporal, karena akan terjadi kenaikan kebutuhan air oleh tegakan tinggal ataupun tumbuhan muda semai atapun tumbuhan bawah lainnya, untuk proses pertumbuhan. Penggunaan air oleh tegakan dan tumbuhan bawah ini, sebagian akan kembali ke atmosfer melalui transpirasi, dan akan mengembalikan tinggi permukaan air tanah (water table) ke kondisi normal. Seiring dengan berjalannya waktu setelah penebangan, debit dari aliran permukaan semakin berkurang sampai

(8)

35 tahun setelah penebangan debit sama dengan debit pada hutan tanpa penebangan.

Tabel 11 Hasil simulasi intensitas penebangan terhadap debit

Waktu (thn) Debit menurut intensitas penebangan (l/det)

IP 0 IP 50 IP 76 IP 100 1 0,67 0,74 0,78 0,81 5 0,67 0,73 0,77 0,80 10 0,67 0,72 0,75 0,78 15 0,67 0,71 0,74 0,76 20 0,67 0,70 0,72 0,73 25 0,67 0,69 0,70 0,71 30 0,67 0,68 0,69 0,69 35 0,67 0,67 0,67 0,67 Debit rata-rata 0,67 0,71 0,73 0,74

Hasil air (m3/ha/thn) 21.161 22.315 24.260 25.193 IP singkatan dari intensitas penebangan

Hasil air rata-rata selama siklus tebang untuk masing –masing intensitas penebangan 0%, 50%, 76% dan 100% adalah 21.161 m3/thn, 22.315 m3/thn, 24.260 m3/thn dan 25.193 m3/thn. Kenaikan hasil air semakin besar dengan kenaikan intensitas penebangan, pada intensitas penebangan 50% sebesar 5%, pada penebangan 76% kenaikan hasil air sebesar 15% dan penebangan 100% menaikan hasil air 19% dibandingkan tanpa penebangan.

Pengelolaan hutan yang ditujukan untuk menghasilkan air, dapat melakukan peningkatan intensitas penebangan agar hasil air naik. Jika pertimbangan keputusan terbatas hanya pada kuantitas hasil air saja, maka pengelolaan hasil air ini mempunyai hubungan positif dengan hasil kayu. Namun demikian penebangan tegakan yang menimbulkan celah tajuk tegakan akan mempengaruhi kualitas air sungai. Oleh karena itu di dalam model fungsi hidrologis ini dimasukan kualitas air, agar dapat menjadi pertimbangan dalam keputusan penebangan.

Kualitas air terpengaruh secara biologis, kimiawi maupun fisik. Komponen kualitas air yang terkait dengan pengelolaan hutan adalah sedimen

(9)

berupa sedimen terlarut (suspended sediment) yang sering juga dikatakan kekeruhan (turbidity) dan bedload sediment, unsur-unsur hara dan toksin. Pada model fungsi hidrologis ini hanya mempelajari kualitas air dari konsentrasi sedimen terlarut akibat penebangan tegakan.

Kualitas air yang dihasilkan oleh hutan akan dipengaruhi oleh kegiatan penebangan tegakan, sebab erosi yang terjadi di lahan blok tebangan akan menjadi sedimen terlarut (mg/l) di air sungai. Butir tanah yang diangkut air aliran permukaan tidak seluruhnya mencapai sungai, sebagian tertinggal di sepanjang lahan yang dilalui aliran air permukaan itu. Faktor yang mempengaruhi adalah luas areal, konfigurasi lahan atau kelerengan lahan, faktor penahan berupa vegetasi dan bentuk perakarannya serta serasah. Pengaruh faktor-faktor ini diukur dengan sediment delivery ratio (SDR) atau rasio angkut sedimen dengan menggunakan variabel luas areal aliran sungai, koefisien kekasaran permukaan Manning dan lereng. Hutan SBK yang berada di Sub DAS Katingan adalah 115.108 ha, dengan proporsi 0,07 kelas lereng 8-15%, 0,78 kelas lereng 15-25%, 0,04 kelas lereng 25-45% dan 0,11 kelas lereng > 45% sehingga lereng rata-rata 20%. Adapun koefisien kekasaran Manning yang digunakan pada model subsistem fungsi hidrologis ini bersumber dari Lu et al. (2003) dalam Poerbandono et al. (2006) pada areal tutupan hutan > 70% koef manning sebesar 0,8.

Penghitungan rasio angkut sedimen di areal penelitian adalah 0,28. Besar rasio angkut sedimen tentunya bersifat spesifik sesuai lokasi setempat. Beberapa data tentang rasio angkut sedimen dapat dijadikan perbandingan kondisi relatif lokasi hutan SBK ini dan kewajaran estimasi angka rasio angkut sedimen ini tanpa memperhatikan kesamaan kondisi faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dokumen Andal PT SBK (1994) menyajikan taksiran rasio angkut sedimen di lokasi hutan SBK sebesar 0,18; dan rasio angkut sedimen di daerah tangkapan Waduk Ir H Juanda Purwakarta 0,23 (Pamungkas, 1993 dalam Supriatna IS, 2007). Hasil simulasi oleh Mc Nulty & Sun terhadap manajemen jalan hutan jelek dan baik menghasilkan rasio angkut sedimen masing-masing 15-36%. Beberapa angka perbandingan rasio angkut sedimen ini menunjukkan hasil penghitungan rasio angkut sedimen di lokasi hutan ini relatif wajar (logis).

(10)

Kualitas air ditentukan oleh debit aliran sedimen, yang menunjukkan besarnya erosi yang terangkut sampai ke sungai, dan besarnya debit air sungai. Berdasarkan simulasi penebangan telah ditunjukkan bahwa erosi meningkat dengan peningkatan intensitas penebangan serta jangka waktu terjadinya erosi yang cukup besar pada tiap-tiap intensitas penebangan selama 5-10 tahun. Oleh karena kualitas air fungsi dari erosi terangkut ke badan air atau sungai, maka kualitas air menurun seiring dengan peningkatan intensitas penebangan. Hasil simulasi pengaruh penebangan terhadap kualitas air disajikan pada Gambar 12.

IP singkatan intensitas penebangan

Perkembangan kualitas air 700 Sedimen terlarut (mg/l) 600 500 IP 0 400 IP 50 300 IP 76 200 IP 100 100 0 1 5 10 15 20 25 30 35

Waktu setelah penebangan (thn)

Gambar12 Perkembangan kualitas air pada berbagai intensitas penebangan tegakan selama siklus tebang

Standar kualitas air mengacu pada ketetapan oleh kementerian lingkungan hidup, Kep.Men KLH No 2/1988 skala kualitas lingkungan baik (0-100 mg/l), sedang (100-250 mg/l), jelek (250-500 mg/l) dan sangat jelek (> 500 mg/l). Pada tahun pertama setelah penebangan kualitas air sangat rendah, pada intensitas penebangan 76 dan 100% kualitas air tergolong sangat jelek, masing-masing 539 mg/l dan 621 mg/l, dan kualitas air akibat penebangan 50% tergolong jelek 274 mg/l. Seiring dengan perjalanan waktu setelah penebangan, kualitas air berangsur-angsur membaik, dengan kecepatan yang berbeda-beda tergantung intensitas penebangan. Penebangan 50% memerlukan waktu tiga tahun untuk mencapai kualitas air baik (99,88 mg/l); kualitas air pada penebangan 76% mencapai standar

(11)

baik pada tahun ke enam setelah penebangan (83,31 mg/l); penebangan 100% kualitas air baik (89,60 mg/l) saat tujuh tahun setelah penebangan.

Di sini terlihat bahwa peningkatan intensitas penebangan yang ditujukan untuk meningkatkan hasil hutan kayu akan membawa resiko peningkatan aliran sungai dengan kualitas air yang rendah. Ini berarti pengelolaan hutan untuk produksi kayu dapat menimbulkan eksternalitas negatif bagi masyarakat di sepanjang aliran sungai tersebut. Eskternalitas negatif peningkatan kekeruhan air terkait dengan penurunan kualitas habitat perairan, mengganggu pencarian makan ikan, penurunan kelayakan air konsumsi rumah tangga atau masyarakat. Oleh karena itu di dalam pengambilan keputusan tingkat produksi kayu bulat harus memperhatikan resiko eksternalitas negatif ini, dengan perbaikan teknik pengelolaan seperti penerapan teknik reduced impact logging maupun teknik konservasi tanah.

Model Pendugaan Nilai Ekonomi Pengendalian Erosi dan Hasil Air

Model pendugaan nilai ekonomi fungsi hidrologis dikembangkan dengan membangun hubungan antara komponen fungsi pengendalian erosi dan hasil air dengan komponen ekonomi. Dinamika komponen fungsi hidrologis dipengaruhi oleh kegiatan penebangan, yang hasilnya akan dinilai melalui metode penilaian ekonomi. Hasil dari fungsi hidrologis yang diduga nilainya adalah nilai erosi dan hasil air (kuantitas dan kualitasnya). Premis yang diajukan adalah peningkatan intensitas penebangan untuk peningkatan nilai hasil hutan kayu membawa resiko kerugian akibat kehilangan atau penurunan nilai fungsi pengendalian erosi dan hasil air yang ditanggung oleh masyarakat.

Pada model subsistem nilai fungsi hidrologis ini, nilai erosi yang diakibatkan oleh kegiatan penebangan dinilai dengan metode biaya pengganti (replacement cost), dan pendugaan nilai hasil air menggunakan metode kontingensi. Konstruksi model subsistem nilai fungsi hidrologis terdiri atas komponen fungsi pengendalian erosi dan hasil air yang dinilai dan komponen-komponen yang ada pada metode penilaian yang digunakan. Variabel-variabel pada pendugaan nilai ekonomi erosi adalah intensitas penebangan, waktu setelah

(12)

penebangan, perkembangan erosi selama siklus, kandungan hara tanah, perkembangan kehilangan unsur-unsur hara selama siklus, prosentase kandungan hara pada pupuk organik atau kimia dan harga pupuk. Varibel-variabel nilai hasil air antara lain intensitas penebangan, waktu setelah penebangan, perkembangan hasil air, perkembangan kualitas air, dan kesediaan membayar atau Willingness to

Pay (WtP) untuk pemanfaatan air. Pengelompokan variabel-variabel ini ke dalam

varibel keadaan, variabel penggerak, konstanta dan lain-lain, telah disajikan pada Tabel 3. Adapun konstruksi model fungsi nilai hidrologis dalam bentuk program stella disajikan pada Lampiran 7.

Di dalam pengelolaan hutan tegakan merupakan aset penting yang keberadaannya harus dipertahankan dengan menerapkan teknik pengelolaan yang didukung oleh pengetahuan tentang karakter ekosistem hutan dan perubahan yang mungkin timbul dari suatu aktivitas pengelolaan. Pemanenan hasil kayu dapat dilakukan dengan tetap menjamin keberadaan tegakan tersebut. Berdasarkan prinsip pemanfaatan secara lestari, pemanenan hasil tidak melebihi produktivitas hutan. Pembukaan hutan oleh kegiatan penebangan menimbulkan erosi tanah, khususnya lapisan atas tanah termasuk bahan-bahan organik berupa serasah. Kehilangan lapisan tanah karena erosi berakibat pada kehilangan unsur-unsur hara atau penurunan kesuburan tanah.

Kehilangan unsur-unsur hara ini berdampak kepada penurunan produktivitas lahan, yang berarti pertumbuhan tegakan akan menurun. Dampak selanjutnya akan mengurangi hasil kayu dari tegakan pada siklus-siklus tebang berikutnya. Dengan demikian peranan hutan terhadap mengendalian erosi adalah mencegah kehilangan nilai ekonomi akibat penurunan hasil kayu dari tegakan maupun hasil hutan non kayu yang berasal dari tegakan, seperti damar, tengkawang dan lain-lain.

Pada penelitian ini nilai ekonomi erosi ini, tidak dinilai dengan metode perubahan produktivitas, karena tidak memiliki data hubungan fungsional antara besar erosi dan perubahan produktivitas lahan. Pendugaan nilai ekonomi menggunakan pendekatan biaya pengganti, yaitu biaya untuk pengadaan pupuk organik dan kimia untuk menyubstitusi unsur-unsur hara yang hilang akibat erosi agar produksi hasil hutan tetap dipertahankan pada kondisi semula. Dampak

(13)

penurunan produksi hasil hutan, berarti kehilangan manfaat ekonomi hasil hutan, atau menjadi biaya yang harus ditanggung, akibat penebangan untuk pemanfaatan hasil hutan kayu.

Kegiatan penebangan dapat meningkatkan debit atau hasil air yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah hilir. Namun demikian nilai air untuk konsumsi rumah tangga masyarakat, bukan saja fungsi dari kuantitas air tetapi juga kualitas air tersebut. Nilai kegunaan air akan menurun apabila kualitas air rendah dan sebaliknya. Oleh karena itu kesediaan membayar adalah fungsi dari kualitas dan kuantitas air. Faktor yang mempengaruhi kuantitas air selain intensitas penebangan adalah iklim atau musim. Pada musim hujan ketersediaan air untuk pemenuhan permintaan masyarakat cukup melimpah dan musim kemarau terjadi penurunan penyediaan air. Pengaruh variabel musim pada penelitian ini dirata-ratakan, karena tidak memiliki data distribusi hasil air menurut waktu atau musim. Pengaruh intensitas penebangan terhadap nilai air dipengaruhi oleh laju kenaikan hasil air dan laju penurunan kesediaan membayar penurunan kualitas air akibat peningkatan konsentrasi sedimen terlarut.

Tabel 12 menunjukkan hasil simulasi intensitas penebangan tegakan terhadap kehilangan unsur-unsur hara akibat erosi, dimana peningkatan laju kehilangan unsur hara yang semakin besar. Unsur-unsur hara yang diidentifikasi adalah karbon, nitrogen, phospor, kalium dan kalsium. Berdasarkan hasil analisis kimia tanah hutan primer di lokasi penelitian adalah C-organik 2,17%; N 0,16%; P-tersedia 2,9 ppm; K(me/100g) 0,15; Ca(me/100g) 0,31; Mg(me/100g) 0,17; Na(me/100g) 0,07 (LP-IPB, 1991), dapat diketahui kandungan unsur hara yang hilang dari setiap massa tanah yang tererosi.

Unsur hara yang hilang terbesar adalah karbon, kedua nitrogen, kalium dan kalsium relatif sama besar dan yang terkecil phospor. Proporsi karbon didalam biomassa tegakan mencapai lebih kurang 50% (Rusolono, 2005), sedangkan nitrogen berperan dalam pembentukan daun yang menjadi media proses fotosintesis untuk pertumbuhan tegakan. Pada analisis pengaruh penebangan terhadap kesuburan tanah, hutan tanpa penebangan (intensitas penebangan 0%) dijadikan sebagai standar, karena hutan tanpa gangguan dianggap memberi manfaat fungsi hidrologis terbaik. Rata-rata kehilangan unsur

(14)

hara akibat kenaikan intensitas penebangan, yang terbesar unsur hara phospor, dengan rasio terhadap tanpa penebangan adalah 15 (kenaikan 1.400%), 36 (kenaikan 3.500%) dan 50 (kenaikan 4.900%) untuk setiap intensitas penebangan yang disimulasikan; sedangkan unsur nitrogen dan lainnya relatif sama yaitu 7 dan 14 serta 20 kali kondisi hara hutan tanpa penebangan.

Tabel 12 Pendugaan erosi, kehilangan unsur hara dan kebutuhan pupuk untuk substitusi hara selama siklus tebang

Intensitas penebangan (%)

Komponen 0 50 76 100

Erosi Selama siklus (ton/ha) 9,08 59,92 123,69 181,65

Pertahun (ton/ha/thn) 0,26 1,71 3,53 5,19

Kehilangan unsur hara (kg/ha)

1. Karbon (C) 197,06 1.300,62 2.684,03 3.941,27

2. Nitrogen (N) 14,52 95,91 197,93 290,60

3. Phospor (P) 0,01 0,15 0,36 0,50

4. Kalium (K) 0,51 3,49 7,24 10,64

5. Kalsium (Ca) 0,54 3,69 7,66 11,27

Total hara (kg/ha) 212,64 1.403,86 2.897,22 4.254,28

Per tahun (kg/ha/thn) 12,2 80,8 166,8 244,9

Kebutuhan substitusi hara (kg/ha) 1. Bahan organik (kg/ha) 394,14 2.601,22 5.368,00 7.882,55

2. Urea (kg/ha) 31,57 208,52 430,20 631,77

3. TSP (kg/ha) 0,11 0,86 1,79 2,62

4. KCl (kg/ha) 1,76 11,71 24,16 35,50

5. CaO (kg/ha) 0,92 6,20 12,77 18,79

Total pupuk (kg/ha) 428,50 2.828,51 5.836,92 8.571,23 Per tahun (kg/ha/thn) 12,24 80,81 166,77 244,9 Kompos (50% C), pupuk urea (45% N), TSP (45% P2O5), KCl (50% K2O), dolomit (40% CaO)

Pendugaan nilai ekonomi erosi dengan pendekatan biaya penggantian, memerlukan analisis kebutuhan pupuk organik seperti pupuk kandang atau kompos, dan pupuk kimia untuk menyubstitusi hara tanah yang hilang tersebut. Pada Tabel 12 di atas pada intensitas penebangan 100% diperlukan substitusi hara oleh bermacam pupuk sebesar 8.571 kg/ha selama siklus tebang. Komparasi

(15)

(rasio) kebutuhan pupuk antar intensitas penebangan yang disimulasikan, sama dengan rasio besar erosi terhadap erosi hutan tanpa penebangan di atas. Proporsi jenis pupuk yang diperlukan terbesar adalah pupuk organik 91,97%, kedua adalah pupuk urea 7,37%; pupuk KCl 0,41%; CaO 0,22%; dan TSP 0,03%.

Nilai nominal (tanpa diskonto) erosi selama siklus tebang untuk intensitas penebangan 0%, 50%, 76% dan 100% adalah Rp (123.000), Rp (809.000), Rp (1.670.000) dan Rp (2.452.000). Apabila pengelolaan di lakukan pada hutan seluas 30 ha, dimana setiap tahun seluruh aktivitas pengelolaan dilakukan di masing-masing blok hutan sesuai dengan jadwal kegiatannya, maka nilai nominal ini merupakan nilai erosi tahunan dari seluruh areal hutan. Nilai erosi rata-rata untuk setiap intensitas penebangan disimulasikan adalah Rp (3.500)/ha/thn; Rp (23.000)/ha/thn; Rp (48.000)/ha/thn dan Rp (70.000)/ha/thn. Nilai kiwari erosi selama siklus tebang akibat intensitas penebangan 100% sebesar Rp (55.000)/ha/thn, penebangan 76% sebesar Rp (37.000)/ha/thn dan penebangan 50% sebesar Rp (18.000)/ha/thn. Nilai pengendalian erosi dan hasil air (perlindungan erosi dan hasil air) disajikan pada Lampiran 8.

Secara empiris kewajaran nilai erosi dampak penebangan ini dilihat melalui komparasi dengan nilai erosi di beberapa lokasi lain. Hasil studi bank dunia (Blakeney J. 1994 di dalam IPB & Dephut, 1999) sebesar $US 1,5/ha/thn (Rp 13.875)/ha/thn. Chomitz & Kumari (1998) melaporkan hasil penilaian pencegahan erosi yang menurunkan manfaat bendungan (gangguan turbin listrik ) di DAS Valdesia Republik Dominika sebesar $US 2.000/ha (Rp 18.500.000/ha); perlindungan dari hutan cadangan Hulu Langat Malaysia $US 1.356/ha (Rp 12.543.000/ha); perlindungan kesuburan tanah di Negeria nilai kiwari $US 8/ha (Rp 74.000/ha); dan erosi di Pantabangan Filipina menghilangkan jasa bendungan sebesar $US 80/ha (Rp 740.000/ha). Disini tampak bahwa nilai fungsi perlindungan erosi di setiap lokasi bersifat spesifik, di samping faktor biofisik hutan juga faktor jenis manfaat yang dinilai. Manfaat perlindungan aset produktif seperti pembangkit listrik akan memberikan nilai yang tinggi. Nilai perlindungan erosi lahan agroforestri (kebun campuran) hasil penelitian Supriatna (2007) dengan metode biaya pengganti kehilangan unsur hara dapat dijadikan pendekatan validasi kewajaran nilai perlindungan erosi hutan alam produksi ini. Nilai

(16)

perlindungan erosi (metode USLE) oleh kebun campuran manggis dibanding penggunaan ladang sebesar Rp 4.060.326/ha. Pada umumnya perhitungan erosi dengan metode USLE sangat tinggi dari erosi aktual, sehingga dilakukan koreksi dengan menggunakan angka rasio estimasi erosi USLE dengan pengukuran erosi lapangan di areal TPTJ 1999/2000 SBK (Ahmad, 2002). Digunakan faktor koreksi 0,05 maka estimasi nilai perlindungan erosi kebun campuran sebesar Rp 203.016/ha. Sedangkan, nilai fungsi perlindungan erosi hutan tanpa penebangan dibandingkan hutan dengan penebangan 50%, 76% dan 100% adalah Rp (175.000)/ha, Rp (393.000)/ha dan Rp (592.000)/ha (nilai perlindungan erosi tahun pertama penebangan).

Dampak erosi akibat penebangan berarti penebangan telah menghilangkan manfaat perlindungan erosi, oleh karena itu nilai erosi di atas tanda negatif. Sebaliknya juga berarti bahwa hutan yang tidak ditebang memberikan manfaat fungsi perlindungan erosi. Analisis dampak intensitas penebangan ataupun fungsi perlindungan erosi didasarkan atas perbandingan intensitas penebangan. Pada Tabel 13 ditunjukkan nilai kiwari kehilangan manfaat fungsi perlindungan erosi antara tanpa penebangan (IP 0) dengan penebangan 100% adalah Rp (1.910.000)/ha. Penebangan minimal yang dipraktikan saat ini oleh pihak pengelola hutan adalah 76%, maka jika penebangan ditingkatkan menjadi 100%, menimbulkan kerugian sebesar Rp (609.000)/ha.

Tabel 13 Nilai kiwari erosi akibat perubahan intensitas penebangan tegakan hutan alam produksi selama siklus

IP 0 IP 50 IP 76 IP 100 Ke Dari (96.000) (630.000) (1.301.000) (1.910.000) IP 0 0 (534.000) (1.205.000) (1.814.000) IP 50 0 (671.000) (1.280.000) IP 76 0 (609.000) IP 100 0

IP singkat intensitas penebangan (%)

Nilai ekonomi air adalah fungsi dari jumlah hasil air dan harga air. Kesediaan membayar (WtP) masyarakat terhadap air adalah fungsi dari suplai (kuantitas) dan kualitas air. Kualitas air diukur dengan tingkat kekeruhan air oleh adanya sedimen terlarut. Pengaruh kuantitas hasil air terhadap kesediaan

(17)

membayar diasumsikan tetap yaitu menggunakan rata-rata pengaruh musim kemarau dan hujan selama setahun. Model kesediaan membayar menggunakan variabel konsentrasi sediment terlarut.

Kesediaan membayar hasil air pada setiap intensitas penebangan terkait dengan perkembangan kualitas air selama jangka waktu setelah penebangan. Kualitas air berangsur-angsur meningkat (konsentrasi sedimen terlarut menurut) seiring pertambahan waktu setelah penebangan), menjadikan kesediaan membayar setiap meter kubik air semakin meningkat. Kesediaan membayar air rata-rata pada hutan tanpa penebangan (sedimen 7 mg/l) selama satu siklus adalah Rp 452/m3, pada intensitas penebangan 50% (44 mg/l) WtP rata-rata Rp 295/m3, pada intensitas penebangan 76% (86 mg/l) adalah Rp 251/m3 dan pada intensitas penebangan 100% (104 mg/l) adalah Rp 230/m3 (Gambar 13). Gambar 13 ini menunjukkan intensitas penebangan yang semakin tinggi akan menurunkan kualitas air yang semakin besar pula, sedangkan kesediaan membayar air akan semakin rendah.

WtP menurut kualitas air 500 400 300 200 100 -7 44 86 104

Sedimen terlarut rata-rata(mg/l)

WtP air rata-rata (Rp/m

3 )

Gambar 13 Hubungan kesediaan membayar rata-rata dan kualitas air rata-rata pada penebangan hutan alam produksi

Hasil simulasi pengaruh penebangan terhadap nilai hasil air menunjukkan bahwa penebangan dapat menimbulkan peningkatan debit (hasil air), tetapi disertai dengan penurunan kualitas air. Peningkatan hasil air pada setiap

(18)

intensitas penebangan lebih rendah dari penurunan kesediaan membayar, sehingga nilai air semakin rendah pada intensitas penebangan yang lebih tinggi. Hasil air selama yang bersumber dari hutan tanpa mengalami gangguan mempunyai nilai tertinggi , yaitu nilai nominal (tanpa diskonto) Rp 3.281.000/ha (nilai kiwari Rp 802.000/ha). Adapun nilai air dari hutan yang terganggu penebangan tegakan dengan intensitas 50% nilai nominal Rp 2.219.000/ha (nilai kiwari Rp 556.000/ha), intensitas 76% nilai nominal Rp 1.925.000/ha (nilai kiwari Rp 488.000/ha). Nilai air terendah bersumber dari hutan dengan intensitas penebangan 100%, nilai nominal Rp 1.794.000/ha (nilai kiwari Rp 462.000/ha). Tabel 14 Perubahan nilai kiwari hasil air pada simulasi berbagai intensitas

penebangan tegakan hutan alam produksi

IP 0 IP 50 IP 76 IP 100 Ke Dari 802.000 556.000 488.000 462.000 IP 0 0 (246.000) (314.000) (341.000) IP 50 0 (68.000) (94.000) IP 76 0 (26.000) IP 100 0

IP singkat intensitas penebangan (%)

Tabel 14 menunjukkan potensi kerugian (nilai kiwari) yang akan ditanggung oleh masyarakat apabila dilakukan penebangan tegakan, karena penurunan nilai air yang dikonsumsi masyarakat tersebut. Tampak bahwa perubahan dari hutan tanpa penebangan (IP 0) kepenggunaan hutan dengan intensitas penebangan 50%, akan menimbulkan kehilangan manfaat penggunaan air sebesar nilai kiwari Rp 246.000/ha. Perubahan pengelolaan hutan tanpa penebangan menjadi pengelolaan hutan dengan intensitas penebangan 100% menimbulkan kehilangan manfaat air sebesar Rp 341.000/ha). Pada pengelolaan hutan alam produksi saat ini oleh pengelola dilakukan penebangan sistem TPTI dengan intensitas minimal 76% memberikan kehilangan manfaat air sebesar Rp 68.000/ha

Nilai fungsi pengendalian erosi dan hasil air, memberikan manfaat ekonomi untuk masyarakat, oleh karena itu untuk menggambarkannya kedua manfaat tersebut dijumlahkan. Nilai nominal (tanpa diskonto) fungsi

(19)

pengendalian erosi dan hasil air dari awal sampai akhir siklus ditunjukkan pada Gambar 14. Nilai pengendalian erosi dan hasil air hutan dengan penebangan 100% selama 11 tahun pertama negatif; hutan dengan penebangan 76% mempunyai nilai negatif selama 10 tahun pertama; hutan dengan penebangan 50% mempunyai nilai negatif selama 7 tahun pertama.

300.000 200.000 Nilai fungsi hidrologis ( R p/ha) 100.000 0 10 13 16 19 22 25 28 31 34 1 4 7 (100.000) 0 (200.000) 50 76 (300.000) (400.000) (500.000) (600.000) (700.000)

Waktu setelah penebangan (thn)

100

Gambar 14 Nilai nominal fungsi pengendalian erosi dan hasil air menurut intensitas penebangan selama siklus tebang

Nilai nominal fungsi hidrologis seiring perjalanan waktu setelah 7-11 tahun setelah penebangan akan positif sampai akhir siklus tebang 35 tahun. Namun demikian kehilangan manfaat khususnya manfaat pengendalian erosi pada 10 tahun pertama pada intensitas penebangan 100% sangat tinggi sehingga total manfaat selama siklus tebang negatif sebesar Rp 658.058/ha. Total nilai nominal fungsi hidrologis hutan tanpa penebangan sampai hutan dengan penebangan intensitas 76% positif, dimana total nilai nominal fungsi hidrologis selama siklus tebang disajikan pada Tabel 15.

Di dalam pengambilan keputusan pengelolaan hutan diperlukan nilai yang dapat diperbandingkan, untuk itu digunakan nilai kiwari, untuk menghindarkan

(20)

perbedaan nilai manfaat uang pada waktu yang berbeda. Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa keputusan penebangan sampai intensitas 50% mengakibatkan nilai pengendalian erosi dan hasil air negatif Rp 75.000/ha. Perubahan fungsi pengendalian erosi dan hasil air dari kondisi hutan tanpa penebangan kepada penebangan sebesar 50% menimbulkan kehilangan manfaat pengendalian erosi dan hasil air yang ditanggung oleh masyarakat sebesar Rp 782.000/ha. Pengelolaan hutan alam produksi yang dipraktikan pengelola hutan saat ini penebangan 76% diduga menimbulkan kehilangan manfaat fungsi pengendalian erosi dan hasil air sebesar Rp 1.520.000/ha.

Tabel 15 Nilai kiwari pengendalian erosi dan hasil air pada berbagai simulasi intensitas penebangan hutan alam produksi

Macam nilai Intensitas penebangan (%)

IP 0 IP 50 IP 76 IP 100

Nilai fungsi hidrologis selama siklus tebang Nilai nominal (Rp/ha) 3.158.000 1.410.000 255.000 (658.000) Nilai kiwari (Rp/ha) 707.000 (75.000) (813.000) (1.449.000)

Perubahan nilai kiwari fungsi hidrologis Ke Dari IP 0 IP 50 IP 76 IP 100 IP 0 0 (782.000) (1.520.000) (2.156.000) IP 50 0 (738.000) (1.374.000) IP 76 0 (636.000) IP 100 0

IP singkat intensitas penebangan (%)

Dari penjelasan di atas bahwa pengetahuan dinamika pengaruh penebangan tegakan terhadap fungsi hidrologis hutan yaitu fungsi pengendalian erosi dan hasil air, dapat dijadikan pertimbangan di dalam pengelolaan hutan alam secara umum dan khususnya hutan alam produksi.

Pengambilan keputusan pengelolaan hutan alam seharusnya mempertimbangkan alternatif peningkatan nilai ekonomi hasil kayu dengan penurunan nilai ekonomi fungsi hidrologis, melalui pengaturan intensitas penebangan tegakan. Nilai kiwari hasil hutan kayu pada intensitas penebangan 50%, 76% dan 100% berturut-turut adalah Rp 1.617.320/ha, Rp 2.458.320/ha dan Rp 3.234.630/ha (Lampiran 5). Peningkatan nilai hasil kayu ini mengakibatkan nilai pengendalian erosi dan hasil air semakin kecil untuk setiap intensitas

(21)

penebangan yang lebih tinggi, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 15 di atas. Nilai kiwari hasil hutan kayu dan fungsi hidrologis pada hutan tanpa penebangan Rp 706.900/ha, pada penebangan intensitas 50%, 76% dan 100% adalah Rp 1.542.700/ha, Rp 1.645.400/ha dan Rp 1.786.000/ha. Dinamika antara nilai ekonomi hasil hutan kayu dengan nilai fungsi pengendalian erosi dan hasil air menurut intensitas penebangan disajikan pada Gambar 15.

Komposisi nilai kiwari nilai guna kayu

181 200 p en g endalia n erosi & ha sil air (% ) 149 150 114 105 100 100 50 36 30 26 0 (5) 0 100 50 ( 76

Gambar 15 Respon nilai ekonomi hasil hutan kayu dan fungsi hidrologis terhadap intensitas penebangan hutan alam produksi

Berdasarkan respon fungsi hidrologis terhadap keputusan penebangan tegakan maka premis peningkatan intensitas penebangan untuk peningkatan nilai hasil hutan kayu membawa risiko kerugian akibat kehilangan atau penurunan nilai pengendalian erosi dan hasil air yang ditanggung oleh masyarakat telah dibuktikan pada penelitian ini.

49) (81) (14) 0 -50 (41) -100 (79) (107) -150 Intensitas penebangan (%)

Gambar

Gambar 9   Perbandingan erosi oleh model dan data di lokasi penelitian
Gambar 10  Perkembangan erosi menurut waktu setelah penebangan selama siklus  tebang
Gambar 11.  Proses siklus hidrologis yang mempengaruhi hasil air dari hutan  Model subsistem fungsi hidrologis untuk mempelajari dinamika hasil air  kaitannya dengan kegiatan penebangan dikembangkan dengan menggunakan  variabel-variabel curah hujan tahunan
Tabel 11  Hasil simulasi intensitas penebangan terhadap debit
+4

Referensi

Dokumen terkait

Menempati kamar hotel sesuai nomor kamar yang sudah ditentukan panitia (1kamar diisi oleh

Penelitian dalam pendidikan tentang guru yang terkait dengan PCK guru masih jarang dilakukan, padahal penelitian tentang bagaimana guru mengatur dan membuat konsep

Tujuh mantri berbahagia, ayo kawan sekarang pergi, karena sudah pasti yang dituju, tidak akan kernana perginya, sekarang oleh kita tentu tertangkap, saat itu

dengan perlakuan pemberian arang dan dosis yang berbeda pada tanah pasir.. menunjukan pengaruh yang

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui tingkat kecemasan responden pre test pada kelompok kontrol yang paling banyak adalah kecemasan sedang yaitu sebanyak 7

Oleh karena itu, penentuan strategi pemasaran harus didasarkan atas analisa lingkungan internal perusahaan melalui analisa keunggulan dan kelemahan perusahaan, serta

Hani Handoko (2000: 47) Pembagian Kerja suatu pernyataan tulis yang menguraikan fungsi, tugas tugas, tanggung jawab, wewenan, kondisi kerja, dan aspek aspek pekerjaan

Nominativ dan Akkusativ. Media yang dilaksanakan dalam bentuk permainan ini sangat sesuai dengan tema ‘Kehidupan Sekolah’. Pembelajaran kosakata dalam bentuk konteks juga