• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembagian wilayah administrasi pemerintahan di Indonesia berdasarkan Pasal 18 Bab VI Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya menegaskan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang. Daerah Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi dan Daerah Provinsi dibagi dalam daerah yang lebih kecil, dengan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa.

Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Konstruksi perwilayahan yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menempatkan Provinsi sebagai Wilayah Administrasi sekaligus sebagai Daerah Otonom, sedangkan pada Kabupaten dan Kota hanya semata-mata Daerah Otonom. Pengaturan sedemikian ini berarti bahwa antara Provinsi dengan Kabupaten dan Kota ada keterkaitan satu sama lain, keterkaitan ini baik dalam arti status kewilayahan maupun dalam sistem dan prosedur penyelenggaraan pemerintahan karena Kabupaten dan Kota penyusunannya dilandasi oleh Wilayah Negara, yang diikat sebagai Wilayah Provinsi

Perencanaan pengembangan wilayah yang didukung kuat oleh perencanaan tata ruang yang akurat, pertumbuhan dan pemerataan dalam bentuk keseimbangan pengembangan antar dan intra wilayah serta keberlanjutan pengembangan akan mewujudkan pengembangan wilayah yang optimal. Pengembangan wilayah merupakan usaha untuk mengoptimalisasikan seluruh potensi wilayah guna mewujudkan tujuan pembangunan. Potensi tersebut berupa potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan yang saling berinteraksi dalam satu sistem. Pengembangan wilayah yang tidak memperhatikan keseimbangan sektoral

(2)

maupun wilayah dan cenderung mengeksploitasi wilayah pendukung akan menyebabkan masalah diseconomic of scale, yaitu munculnya penurunan produktivitas akibat kenaikan biaya produksi langsung seperti tuntutan kenaikan upah, kenaikan harga faktor produksi ataupun masalah manajemen, biaya sosial yang harus ditanggung seperti peningkatan pelayanan umum misalnya kesehatan, transportasi, pendidikan, dan keamanan (Anwar,1996).

Pemekaran wilayah sebagai salah satu upaya pengembangan daerah merupakan hasil dari identifikasi, inventarisasi, analisis dan implementasi yang nyata dari perencanaan wilayah. Pertimbangan dalam upaya pemekaran wilayah adalah seberapa besar pertumbuhan wilayah, perkembangan wilayah yang berlanjut, pemerataan wilayah, penataan ruang, dan tingkat pelayanan fasilitas sosial ekonomi.

Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 129 Tahun 2000 Tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah maka pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan Daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat; percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi; percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; percepatan pengelolaan potensi daerah; peningkatan keamanan dan ketertiban; dan peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah. Daerah yang dibentuk berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut : kemampuan ekonomi; potensi daerah; sosial budaya; sosial politik; jumlah penduduk; luas daerah; dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah

UN ESCAP (1979) menyatakan bahwa sasaran pengembangan perdesaan adalah memperluas jangkauan sektor pelayanan untuk meningkatkan produksi, kesempatan kerja, serta pelayanan kebutuhan sektor perumahan, pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu usaha pokok perencanaan dan perumusan kebijaksanaan seringkali berpusat pada pengambilan keputusan tentang apa yang harus dialokasikan, dan di mana, hingga mampu melayani daerah belakang (hinterland) dan wilayah pengaruh (zone of influence) secara efisien untuk menunjang pengembangan wilayah.

(3)

Hal ini memerlukan usaha pemilihan lokasi-lokasi untuk mengkonsentrasikan aktivitas dan sumber-sumber daya pada beberapa tingkat hirarkhi yang berbeda-beda, sesuai dengan kondisi setempat karena segala macam kegiatan dan sumber-sumber daya tidak bisa ditempatkan begitu saja di mana-mana.

Sebelum tahun 1995 di Kabupaten Wonogiri terdapat 22 kecamatan, namun pada tahun 1995 jumlah kecamatan yang ada menjadi 24 (bertambah 2 kecamatan, yaitu : Kecamatan Karangtengah dan Kecamatan Paranggupito yang sebelumnya merupakan kecamatan perwakilan) serta 1 kecamatan perwakilan Puhpelem. Berdasarkan SK Gubernur Jateng No 138/104/ 1984 tertanggal 23 Mei 1984 dan Perda Nomor: 3 Tahun 2002 secara yuridis Kecamatan Puhpelem dikukuhkan sebagai Perwakilan Kecamatan Bulukerto.

Berdasarkan pengukuhan SK Gubernur Jateng No 138/104/ 1984 dan Perda Nomor: 3 Tahun 2002 tersebut maka enam dari 16 desa/ kelurahan milik Kecamatan Bulukerto seluas 27,64 km2, yaitu satu kelurahan (Giriharjo), dan lima desa (Puhpelem, Sukorejo, Nguneng, Tengger dan Golo) secara administratif kewenangannya dilimpahkan ke Kecamatan perwakilan Puhpelem. Tanggal 6 Juli 2002 jumlah kecamatan di Kabupaten Wonogiri bertambah menjadi 25 karena diresmikannya kecamatan perwakilan Puhpelem sebagai kecamatan baru.

Pembentukan perwakilan kecamatan untuk dipersiapkan menjadi kecamatan baru merupakan upaya peningkatan pelayanan pada masyarakat, memacu pengembangan dan percepatan pembangunan wilayah, serta sebagai alternatif menyiapkan daerah pengganti, setelah Wonogiri kehilangan 51 desa potensial di enam kecamatan yang menjadi Waduk Gadjah Mungkur. Selain itu juga berperan dalam rangka mempercepat implementasi otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.

Kecamatan Puhpelem secara geografis terletak di ujung timur laut Wonogiri dan berada di segitiga lintas perbatasan strategis Kabupaten Magetan dan Ponorogo (Jawa Timur) dengan Wonogiri (Jawa Tengah). Daerah ini tumbuh menjadi wilayah potensial pengembangan pertanian (padi dan jagung), perkebunan (rambutan, petai

(4)

dan cengkih), peternakan (peternakan sapi) dan perdagangan. Bentuk fisiografis Kecamatan Puhpelem yaitu daerah pegunungan dan berbukit-bukit dengan penggunaan lahan terdiri dari tanah sawah, tegal, permukiman, dan tanah hutan negara. Pola permukiman yang ada sekarang adalah linier mengikuti pola jalan, terkonsentrasi dekat daerah persawahan dan perkebunan, maupun terkonsentrasi pada lokasi yang mempunyai morfologi yang lebih datar dari lokasi sekitar.

Pemekaran kecamatan yang terjadi di Kecamatan Puhpelem merupakan upaya pengembangan lebih lanjut pada sektor ekonomi, sosial, penataan ruang, dan pelayanan sosial-ekonomi kepada masyarakat. Kompleksitas permasalahan pengembangan wilayah khususnya pelayanan sosial ekonomi yang dihadapi oleh Kecamatan Puhpelem sebagai kecamatan baru melatarbelakangi penelitian tentang Perkembangan dan Kondisi Pelayanan di Kecamatan Puhpelem Kabupaten Wonogiri Sebagai Kecamatan Baru.

1.2. Perumusan Masalah

Kecamatan Puhpelem sebagai kecamatan baru secara administrasi merupakan pusat pelayanan sosial ekonomi bagi lima desa dan satu kelurahan. Peran sebagai kecamatan baru tentunya tidak berhenti sampai disitu tetapi juga berperan dalam mengembangkan wilayah secara keseluruhan.

Permasalahan pelayanan yang ada di Kecamatan Puhpelem adalah adanya pusat-pusat pelayanan di Kecamatan Puhpelem yang belum berfungsi dan berperan utuh mempunyai dampak tersendiri bagi pengembangan wilayah. Fungsi pusat-pusat pelayanan di Kecamatan Puhpelem adalah sebagai pusat pendukung kegiatan sosial (pendidikan, kesehatan, kelembagaan) dan ekonomi (pertanian, industri rumah tangga, perdagangan, pariwisata, jasa angkutan). Demikian pula interaksi antara pusat pelayanan dengan daerah belakang (hinterland) dan daerah pengaruhnya (zones of influences) yang kurang maksimal merupakan masalah yang harus diatasi. Oleh karena itu diperlukan pengembangan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan

(5)

pelayanan penduduk perdesaan dan peningkatan mobilitas penduduk untuk memperoleh fasilitas jasa dan kesempatan sosial ekonomi.

Mengingat pentingnya masalah penelitian ini, maka diperlukan perumusan masalah berdasarkan identifikasi dan inventarisasi masalah sehingga pokok permasalahan penelitian ini lebih jelas. Pokok permasalahan dari penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

3. Bagaimana daya layan fasilitas sosial-ekonomi, distribusi fasilitas sosial- ekonomi, dan hirarki pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi di Kecamatan Puhpelem sebagai kecamatan baru ?

4. Bagaimana interaksi antar wilayah dalam menunjang pengembangan pelayanan sosial-ekonomi di kecamatan baru ?

5. Signifikankah hubungan daya layan fasilitas sosial-ekonomi terhadap tingkat perkembangan wilayah di Kecamatan Puhpelem ?

6. Bagaimana rencana arahan pengembangan Kecamatan Puhpelem yang merupakan kecamatan baru disesuaikan fungsinya sebagai pusat pelayanan sosial-ekonomi bagi hinterland dan wilayah sekitar

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang dan perumusan penelitian di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui daya layan fasilitas sosial-ekonomi, distribusi fasilitas sosial- ekonomi, dan hirarki pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi di Kecamatan Puhpelem sebagai kecamatan baru.

2. Menjelaskan interaksi antar wilayah dalam menunjang pengembangan pelayanan sosial-ekonomi di Kecamatan Puhpelem.

3. Mengetahui signifikansi hubungan daya layan fasilitas sosial-ekonomi dengan tingkat perkembangan wilayah di Kecamatan Puhpelem.

(6)

4. Merencanakan arahan pengembangan Kecamatan Puhpelem disesuaikan dengan fungsinya sebagai pusat pelayanan sosial-ekonomi bagi hinterland dan wilayah sekitar.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi yang luas dan jelas tentang pemekaran kecamatan, keterkaitan dan pengaruhnya terhadap tingkat pelayanan sosial ekonomi dalam menunjang pengembangan wilayah.

2. Informasi bagi penentu kebijakan baik pemerintah maupun non pemerintah dalam rangka pengambilan keputusan yang terkait dengan pelayanan dalam rangka pengembangan wilayah.

3. Menerapkan ilmu yang didapat selama kuliah dan menambah pengetahuan praktis di lapangan.

1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Studi Geografi

Geografi sebagai suatu disiplin ilmu berkembang dalam waktu yang lama. Perkembangan disiplin ilmu ini diawali dengan adanya perhatian terhadap dua unsur utama kehidupan, yaitu manusia dan alam tempat hidup manusia. Antara manusia dan alam lingkungannya selalu terdapat interaksi. Pergeseran dalam memandang bentuk, sifat, dan proses dari interaksi merupakan sumber bagi perkembangan disiplin ilmu ini.

Geografi tidak lagi membedakan elemen fisis dan non fisis dalam pendekatannya, akan tetapi lebih ditekankan pada metode analisisnya. Atas dasar sifat ini, maka dikembangkan tiga pendekatan utama, yaitu pendekatan analisis keruangan (spatial analysis), analisis ekologi (ecological analysis) dan analisis kompleks wilayah (regional complex analysis). Dalam pendekatan ini, perpaduan elemen-elemen Geografi merupakan ciri khasnya, karena itu dinamakan Geografi terpadu (Bintarto dan Surastopo, 1979).

(7)

Analisis keruangan merupakan salah satu ciri dari geografi dimana analisis keruangan banyak berhubungan dengan unsur:

1. Jarak baik absolut maupun relatif (social distance)

2. Site dan Situation yang erat hubungannya dengan sifat dan fungsi sebuah desa atau kota.

3. Aksesibilitas yang erat kaitannya dengan topografi dan teknologi yang dimiliki suatu wilayah tertentu (termasuk penduduk yang bermukim didalamnya). Suatu wilayah dengan aksesibilitas yang tinggi akan memiliki tingkat kemajuan yang lebih pesat dibandingkan dengan daerah yang beraksesibilitas rendah.

4. Keterkaitan (conectiveness) dimana besar kecilnya keterkaitan ini banyak menentukan hubungan fungsional diantara beberapa tempat.

5. Pola (pattern) yaitu perulangan fenomena atau gejala tertentu di alam lingkup geosfer.

Studi dalam penelitian ini terkait jarak, site, aksesibilitas, bentuk keterkaitan dan pola antara suatu wilayah sebagai pusat pelayanan dengan hinterland maupun wilayah pengaruhnya.

Analisis ekologi mempelajari interaksi antara manusia dan lingkungannya, sedangkan analisis kompleks wilayah merupakan kombinasi antara analisis keruangan dan analisis ekologi. Dalam analisis kompleks wilayah ini, wilayah-wilayah tertentu didekati dengan pengertian areal differentiation, yaitu suatu anggapan bahwa interaksi antar wilayah akan berkembang karena pada hakekatnya suatu wilayah berbeda dengan wilayah yang lain, oleh karena itu terdapat permintaan dan penawaran antar wilayah tersebut Analisis ini memperhatikan pula penyebaran fenomena tertentu dan interaksi antara variabel manusia dan lingkungannya untuk kemudian dipelajari kaitannya. Dalam hubungan dengan analisis kompleks wilayah ini peramalan wilayah (regional forecasting) dan perencanaan wilayah (regional planning) merupakan aspek-aspek dalam analisis tersebut (Bintarto dan Surastopo, 1979).

(8)

1.5.2. Pemekaran Wilayah

Rondinelli (1983) mengemukakan kesenjangan yang tajam antara kota-kota besar dengan wilayah lain dan terjadinya permasalahan di kota-kota besar tersebut memerlukan suatu pemecahan, yaitu dengan sistem kota-kota menengah yang terpadu, kota-kota kecil (small town) dan pusat-pusat pasar (market centers) yang akan membantu dalam pencapaian pembangunan yang tersebar luas dan mengurangi perbedaan wilayah dan perbedaan antara kota dan desa.

Kota-kota tersebut mempunyai peranan sendiri-sendiri dalam pengembangan wilayah. Salah satunya adalah peranan kota kecil dalam membantu pengembangan wilayah. Kota kecil mempunyai kedudukan yang dapat menghambat arus urbanisasi yang akan masuk ke kota besar/ kota metropolitan sehingga kepadatan di kota besar/ metropolitan berkurang.

Dengan anggapan ini maka perlu disesuaikan antara karakteristik wilayah yang dilayani oleh suatu pusat kota tertentu dengan potensi dan fasilitas kota yang dimiliki saat ini. Potensi tersebut menunjukkan adanya fungsi yang diemban suatu kota pada saat ini. Dalam kaitannya ini kota-kota yang akan dikembangkan secara umum mempunyai fungsi utama sebagai berikut :

1 Sebagai pusat kegiatan yang membentuk suatu wilayah pelayanan tertentu. 2 Sebagai simpul jasa perhubungan yang meliputi kegiatan pengumpulan

produksi serta pemasaran.

3 Sebagai tempat fungsi tertentu yang didasarkan pada suatu kegiatan dominan pada suatu wilayah.

1.5.3. Konsep Analisis Regional

Setiap tahapan dalam pembangunan suatu bangsa biasanya dicirikan oleh pengorganisasian tata ruang (spatial organization) dari kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial yang membawa konsekuensi terhadap kebijakan regional. Peran pusat-pusat pelayanan sosial ekonomi terhadap pengembangan wilayah merupakan bagian dari analisis regional. Menurut Fisher (1975), dua konsep yang digunakan dalam

(9)

analisis regional adalah konsep homogenitas regional (regional homogeneity or commonality) dan konsep heterogenitas regional (regional heterogenity or nodality).

Konsep homogenitas regional memandang suatu daerah sebagai suatu wilayah tata ruang yang mempunyai ciri-ciri khas yang kurang lebih adalah sama (homogen) dan dengan segera dapat dibedakan dari daerah-daerah lain bagi keperluan perencanaan dan kebijaksanaan. Dengan demikian suatu negara dipandang sebagai suatu kumpulan dari perwilayahan daerah-daerah yang berbeda dalam banyak hal. Perbedaan-perbedaan itu dalam garis besarnya dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif, tanpa menghiraukan perbedaan lokasi masing-masing daerah. Dalam pengertian yang lebih abstrak, seringkali dikatakan bahwa dalam pandangan ini, suatu negara dianggap sebagai kumpulan dari titik-titik terpisah yang disebut daerah (a collection of separate points called regions).

Konsep sentralitas regional memandang suatu daerah terutama dari segi organisasi tata ruang (spatial organization) berdasarkan dari berbagai aktivitas dan sumber daya yang ada. Berbeda dangan konsep homogenitas, masing-masing daerah dianggap heterogen (berbeda-beda) dan penekanan diletakkan pada hubungan antara pusat-pusat atau sentra-sentra kegiatan dan sumber-sumber daya dalam tata ruang yang tersebar. Setiap sentra dianggap mempunyai daerah belakang (hinterland) atau lingkupan daerah pengaruh (zones of influence) yang sesuai dengan hirarkhi di dalam dan di luar daerah tersebut. Masalah lokasi dari sentra-sentra ini baik jalur komunikasi dan transportasi antara sentra-sentra tersebut menjadi sangat penting dalam konsep ini.

1.5.4. Pengembangan Pelayanan Sosial-Ekonomi

Teori Central Place yang dikemukakan Christaller dapat dijadikan landasan bagi efisiensi suatu pelayanan. Efisiensi ini untuk memperkecil jarak tempuh dalam memperoleh barang atau jasa sesuai dengan hirakhi pelayanan. Christaller (1933) meletakkan dasar suatu pelayanan dengan mengasumsikan daerah pasar yang bersegi enam. Hal ini merupakan cara yang paling efisien untuk menutupi suatu dataran tanpa

(10)

adanya tampalan dan tanpa adanya celah. Teori ini sesuai untuk pola-pola permukiman pedesaan dimana fungsi kotanya masih terbatas.

Christaller (1933) mengemukakan dua konsep yaitu range (jangkauan) dan treshold (batas). Range yaitu jarak yang diperlukan orang untuk mendapatkan barang kebutuhannya hanya kadang-kadang saja. Jangkauan pasar suatu aktivitas jasa adalah jarak dimana orang bersedia untuk menempuhnya untuk mendapatkan jasa bersangkutan, lebih jauh dari jarak ini, orang yang bersangkutan akan mencari tempat lain yang lebih dekat untuk memenuhi kebutuhan jasa yang lain. Treshold adalah jumlah minimal penduduk yang diperlukan untuk kelancaran dan kesinambungan suplai barang.

Christaller (1933) membedakan teorinya berdasarkan tiga azas, yakni : azas pasar, azas pengangkutan, dan azas pemerintahan. Penjelasan ketiga azas tersebut adalah sebagai berikut :

1. Azas pasar (the marketing or supply principle), dimana setiap pusat tingkat atas akan melayani dua pusat dari tingkat dibawahnya ditambah dengan dirinya sendiri. Struktur ini disebut sebagai heksagonal dengan prinsip atau hirarki K = 3, dimana K menunjuk pada jumlah pusat-pusat dari tingkat bawahnya yang dilayani oleh satu pusat dari tingkat lebih atas. Dengan kata lain dalam struktur ini terdapat satu pusat di tengah yang dikelilingi enam pusat lebih rendah yang terletak pada sudut-sudutnya, yang masing-masing mempunyai sepertiga daerah. Jadi seluruhnya ada 1 + 6 x 1/3 = 3 tempat yang berada dalam daerah, atau K= 3. Prinsip area pasar ini adalah yang paling utama, secara matematis merupakan struktur heksagonal yang paling efisien dan sangat responsif bagi permintaan barang dan jasa.

2. Azas pengangkutan (the transporting principle) yakni struktur heksagonal yang dapat diterapkan pada wilayah-wilayah yang memandang ongkos transportasi sebagai hal penting. Sebaran tempat sentral paling menguntungkan jika terdapat sebanyak mungkin tempat yang penting. Jumlah hendaknya adalah jalan yang pendek dan selurus mungkin. Struktur

(11)

ini digambarkan dengan satu pusat pusat tengah dengan dikelilingi enam pusat lebih rendah yang tidak terletak di titik-titik sudut, melainkan di tengah-tengah jarak antara dua titik sudut heksagonal. Keenam pusat ini separuhnya termasuk daerahnya sendiri dan termasuk daerah tetangganya. Jadi nilai K adalah 1 + 6 x ½ = 4 atau prinsip K = 4

3. Azas pemerintahan (the administrative principle) memiliki dimensi sosio politik yang ditekankan pada ciri terpisahnya masyarakat yang dipaksa supaya bersatu dan sekaligus dilindungi terhadap musuh dari luar. Bentuk idealnya adalah kota besar di tengah-tengah, dikelilingi oleh kota-kota satelit dan daerah tanpa penghuni didaerah penggirannya. Kalau digambarkan maka tempat satu pusat ditengah dengan dikelilingi enam pusat yang lain dititik-titik sudut alam sehingga membentuk tujuh pusat didalam satu heksagonal wilayah pelayanan. Jadi nilai K adalah 1 + 6 x 1 = 7 atau K = 7. Azas pemerintahan berpengaruh jika aspek-aspek non ekonomi yang paling kuat sehingga jaringan-jaringan kota sedang dibentuk oleh keadaan alam yang menguntungkan.

Yahya (1986) mendefinisikan teori central place sebagai teori tentang mengapa dan bagaimana terkonsentrasinya fungsi pelayanan sosial ekonomi pada suatu lokasi tertentu. Atas dasar lokasi dan pola penyebaran permukiman dalam ruang, pada teori central place disimpulkan bahwa cara yang baik untuk menyediakan pelayanan berdasarkan aspek keruangan penduduk, yaitu dengan menempatkan aktivitas yang demikian pada hirarki permukiman yang luasnya meningkat dan lokasinya ada pada simpul-simpul jaringan heksagonal. Demikian seterusnya sehingga terbentuk hirarki daerah-daerah pelayanan secara bertingkat. Jadi lokasi kegiatan yang melayani kebutuhan penduduk itu harus berada pada tempat sentral, yakni tempat yang memiliki pengaruh terhadap hinterlandnya.

Terdapat beberapa macam klasifikasi fasilitas pelayanan sosial-ekonomi. Menurut Conyers (1979), fasilitas pelayanan dapat dibagi menjadi pelayanan sosial

(12)

dan pelayanan ekonomi. Pengelompokkan ini berdasarkan pada pengaruh langsung atau pengaruh nyata dari pelayanan tersebut terhadap penggunanya. Pelayanan yang melibatkan pengaruh sosial sekaligus pengaruh ekonomi dikelompokkan pada pelayanan prasarana (infrastruktur pendukung sosial ekonomi). Pelayanan sosial pada umumnya digunakan untuk menunjukkan berbagai pelayanan yang sebagian atau secara keseluruhan diberikan oleh negara dengan tujuan utama memperbaiki kualitas hidup manusia.

Yahya (1986) mengelompokkan fasilitas pelayanan sosial ekonomi menjadi 6 tipe, yaitu :

1. Pelayanan Sosial, terdiri dari pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan agama.

2. Pelayanan Penyebaran dan Pengumpulan Barang, terdiri dari toko, warung, pasar.

3. Pelayanan Transportasi, terdiri dari kondisi jalan, tempat berhenti, kendaraan umum beroda empat.

4. Pelayanan Penunjang Pengembangan Pedesaan, terdiri dari bank, koperasi, KUD, dsb

5. Pelayanan Administrasi Pemerintah

6. Pelayanan Lain-lain misalnya tukang cukur, bioskop.

1.5.5. Interaksi Keruangan

Konsep interaksi disebut juga konsep gravitasi atau potensi karena memiliki kemiripan dengan hukum gravitasi dari Newton yang postulatnya berbunyi : kekuatan tarik menarik yang potensial antara dua benda meningkat mengikuti produk massanya dan berkurang mengikuti jarak antaranya. Rumus gravitasi Newton tersebut dipergunakan oleh Carrothers (1956) untuk aplikasi interaksi sosial. Dalam rumus gravitasi Carrothers yang telah dimodifikasi menyatakan bahwa kekuatan hubungan ekonomis antara dua tempat berbanding lurus dengan banyaknya penduduk dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara.

(13)

Asumsi dari rumus Carrothers yang dimodifikasi ini adalah interaksi terjadi di dataran yang homogen (homogen dalam topografi, iklim, dan perkembangan ekonominya), dua tempat tersebut sama-sama mudah dicapai oleh penduduk, dan besarnya biaya untuk berpindahnya orang, barang, informasi ditentukan oleh jarak bukan sarana transportasi yang digunakan. Luas sempitnya areal interaksi tergantung kepada hal berikut ini, yaitu :

1. Besar-kecilnya threshold 2. Padat tidaknya suatu wilayah

3. Perbedaan budaya, daya beli penduduk

Menurut Warpani (1980), salah satu perwujudan hubungan antar daerah ialah adanya pertukaran antar daerah yang dapat berwujud barang, uang, maupun jasa. Analisis aliran barang dapat digunakan sebagai salah satu ukuran intensitas hubungan satu daerah dengan daerah lain dimana aspek fisik aliran barang (prasarana perhubungan) mempunyai pengaruh yang sangat besar. Analisis ini lebih baik daripada hanya menggunakan Location Quotient saja. Lebih dari itu, dapat pula diketahui tingkat ketergantungan daerah yang diselidiki pada daerah lain, atau peranan daerah yang diselidiki atas daerah lain yang lebih luas. Analisis aliran barang berguna untuk memperlihatkan pasaran (besaran lainnya) dan juga berguna dalam mengenali perkembangan (identifikasi) potensi sumber daya.

Suatu wilayah tidak hanya merupakan suatu sistem fungsional yang berbeda satu sama lain tetapi juga merupakan jaringan sosial ekonomi, interaksi fisikal, teknologi, kultural, politik, administrasi dan organisasi (Rondinelli, 1985). Sistem jaringan ini terbentuk oleh adanya pergerakan timbal balik yang merupkan kontak masyarakat antar suatu wilayah dengan wilayah lain. Titik pandang kontak masyarakat antar suatu wilayah dengan wilayah lain diletakkan pada ketergantungan antar wilayah. Di dalam hubungan antar wilayah terdapat pola hubungan tertentu meliputi tiga jenis hubungan, yaitu :

1. Hubungan antar central place dengan hinterland-nya

(14)

3. Hubungan antara pusat-pusat di dalam wilayah dengan daerah luar dan disebut interaksi eksternal.

Menurut Rondinelli (1983), tingkat kemudahan mendapatkan fasilitas diukur berdasarkan dua faktor :

Sukar atau mudahnya perjalanan yang harus ditempuh (terkait unsur jarak dan waktu).

Pentingnya fasilitas/fungsi yang dituju. Hal ini ditentukan berdasarkan seringnya kunjungan, rata-rata waktu perjalanan dan prosentase penduduk yang memanfaatkan fungsi tersebut.

Penyaluran pelayanan yang tanpa memperhatikan hubungan antara aksesibilitas penduduk dan struktur sosial atau lingkungan organisasi, memiliki keterbatasan karena mengasumsikan bahwa semua anggota masyarakat mempunyai akses yang sama terhadap pelayanan tersebut, serta mempunyai pengetahuan yang sama tentang pelayanan yang disediakan (Sofian, 1986)

1.5.6. Pengembangan Wilayah

Menurut Huisman (1987), kebijaksanaan pembangunan keruangan di negara sedang berkembang, tidak bisa lepas dari usaha memacu pertumbuhan pusat-pusat pelayanan pedesaan yang dapat menghubungkan daerah pusat/kota dengan daerah pinggir/desa. Masalah pengembangan wilayah (regional development) oleh sementara ahli dianggap sebagai masalah yang ditimbulkan oleh adanya fenomena regional inequality yaitu adanya perbedaan dalam tingkat pertumbuhan dan perkembangan antar daerah serta adanya perbedaan tingkat pendapatan dan tingkat kemakmuran. Perbedaan-perbedaan ini mengakibatkan timbulnya dikotomi (dichotomy) di dalam manifestasi tata ruang yaitu antara daerah (sektor) perkotaan yang modern, dinamis, inovatif, dengan daerah (sektor) pedesaan yang tradisional, statis, dan terbelakang (Soedjito, 1975).

(15)

Usaha-usaha pembangunan harus diarahkan kembali pada pembangunan keruangan yang terintegrasi. Tujuannya adalah kemajuan sistem-sistem pusat pelayanan yang mengkaitkan berbagai aktivitas masyarakat di bidang ekonomi dan sosial. Sistem keruangan harus lebih baik dalam meneruskan pertumbuhan ekonomi dan untuk menambah barang dan jasa (ESCAP, 1979).

“Konsep pengembangan wilayah terpadu” yang dikemukakan oleh USAID, merupakan pengganti konsep ”growth pole” yang tidak menunjukkan keberhasilan di banyak negara berkembang. Wilayah terpadu adalah wilayah yang penduduknya mendapatkan pelayanan dari suatu pusat dengan mudah, hinterland dari pusat tersebut bertampalan dengan hinterland dari pusat-pusat yang lebih kecil, pusat-pusat dari berbagai ukuran saling berkaitan dan masyarakatnya berinteraksi satu sama lain. Tingkat keterpaduan wilayah ini tergantung dari :

3. Tingkat perkembangan dalam hirarki permukiman. 4. Jarak antara pusat-pusat.

5. Kemudahan mendapatkan pelayanan dari pusat lain 6. Keragaman dan besarnya fungsi dalam pusat-pusat.

Prinsip dari konsep ini adalah memperkuat sistem perkotaan nasional, sehingga dapat melayani daerah pedesaan dengan lebih baik. Hal ini dilakukan dengan cara membentuk jaringan kota-kota kecil dan menengah untuk mempercepat perkembangan perdesaan, menciptakan lapangan kerja di luar pertanian serta menyediakan pelayanan (urban function). Salah satu pendekatan yang digunakan dalam konsep ini adalah Urban Function in Rural Development ( UFRD) yang berhasil diujicobakan di Potosi, Bolivia.

Rondinelli (1985) mengungkapkan index tingkat perkembangan wilayah (level of development index) dapat dilihat secara sederhana dalam tiga indikator,yaitu:

1. Karakteristik sosio ekonomi dan demografi diukur melalui pendapatan per kapita , kebutuhan fisik minimum, produk domestik regional bruto, investasi, jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk, jumlah usia

(16)

harapan hidup, tingkat kematian bayi per 1000 penduduk, jumlah fasilitas kesehatan.

2. Kontribusi industri dan produksi pertanian diukur melalui persentase penyerapan tenaga kerja, jumlah perusahaan komersiil, luas total lahan pertanian, produktivitas pertanian, luas lahan sawah, luas lahan pertanian untuk hidup layak.

3. Transportasi diukur melalui kualitas jalan, kepadatan , tipe jalan dan panjang jalan.

1.5.7. Ulasan Penelitian Sebelumnya

Retno Chusniati (1997), judul penelitiannya adalah “Peranan Kota Muntilan dalam Pelayanan Sosial Ekonomi Terhadap Sekitarnya”. Tujuan penelitiannya adalah mengetahui orientasi penggunaan fasilitas sosial ekonomi di Kota Muntilan bagi hinterland serta mengetahui peranan Kota Muntilan dilihat dari kegiatan perdagangan bagi hinterland. Hasil dari penelitian ini adalah fasilitas pelayanan yang mempunyai jenjang tinggi merupakan jenis pelayanan yang paling banyak digunakan oleh penduduk hinterland Kota Muntilan.

Lenny Agustin (1999), dalam penelitiannya yang berjudul “Evaluasi Hirarki Pusat-Pusat Pelayanan Sosial Ekonomi di Kabupaten Bengkulu Selatan” bertujuan untuk mengetahui potensi fisik sosial ekonomi wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan, mengetahui kondisi daya layan dan kebutuhan fasilitas sosial ekonomi, serta arahan pengembangan hirarki pusat pelayanan sosial ekonomi di Kabupaten Bengkulu Selatan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Kota Manna, Bintuhan dan Tais di Kabupaten Bengkulu Selatan dapat berfungsi optimal melayani hinterland-nya. Selain itu jenis kebutuhan fasilitas yang diproyeksikan untuk tahun 2005 yang sangat dibutuhkan di Kabupaten Bengkulu Selatan adalah fasilitas ekonomi, komunikasi, dan pendidikan.

(17)

Rahayu Tri Astuti (2000), judul penelitiannya adalah “Hubungan Fasilitas Pelayanan Sosial Ekonomi dengan Tingkat Perkembangan Wilayah di Kabupaten Banjarnegara”. Tujuan dari penelitiannya untuk mengetahui variasi dan pola keruangan tingkat perkembangan wilayah, mengetahui kondisi fasilitas sosial ekonomi dan signifikansi hubungan dengan tingkat perkembangan wilayah. Hasil dari penelitian ini adalah sebagian besar wilayah Kabupaten Banjarnegara bagian utara mempunyai tingkat perkembangan wilayah rendah dibanding wilayah bagian tengah-selatan, adanya kesenjangan ketersediaan pelayanan sosial ekonomi anatara bagian utara dengan tengah-selatan, dan kondisi fasilitas pelayanan sosial ekonomi mempunyai hubungan yang tidak terlalu kuat dengan tingkat perkembangan wilayah. Berikut tabel 1.1 yang menyajikan perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, yaitu :

(18)

Tabel 1.1 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya

Nama Peneliti

Judul Penelitian Lokasi Penelitian Unit Analisis Teknik analisis Retno Chusniati (1997) Peranan Kota Muntilan dalam Pelayanan Sosial Ekonomi Terhadap Sekitarnya Kota Muntilan Kecamat an 12 Tabel silang antara variabel pengaruh dan terpengaruh 13 Analisis deskriptif analitis Lenny Agustin (1999) Evaluasi Hirarki Pusat-Pusat Pelayanan Sosial Ekonomi di Kabupaten Bengkulu Selatan Kabupaten Bengkulu Selatan Kecamat an 14 Tabel silang dan grafik, skalogram, skoring, klasifikasi, analisis peta dengan SIG Arc Info yang didukung dengan analisis deskriptif kualitatif Rahayu Tri Astuti (2000) Hubungan Fasilitas Pelayanan Sosial Ekonomi dengan Tingkat Perkembangan Wilayah di Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Banjarnega ra Desa 15 Analisis faktor, skalogram, scoring, analisis bivariate corelation. 16 Analisis deskriptif Penelitia n ini (2013) Perkembangan dan Kondisi Pelayanan di Kecamatan Puhpelem Kabupaten Wonogiri Sebagai Kecamatan Baru Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri Kecamat an Puhpele m Metode analisis deskriptif kuantitatif (metode skoring,Gutman Scalling Method,dengan analisis skalogram, analisis bivariate corelation,)

(19)

1.6. Kerangka Pemikiran

Pengembangan pusat pelayanan di Kecamatan Puhpelem sebagai kecamatan baru diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan penduduk perdesaan dan peningkatan mobilitas penduduk untuk memperoleh fasilitas jasa dan kesempatan sosial ekonomi. Pengembangan tersebut harus disesuaikan pula dengan potensi dan fungsi wilayah sebagai pusat pelayanan sosial-ekonomi bagi hinterland dan wilayah sekitar, yaitu di bidang pertanian, industri rumah tangga, perdagangan, pariwisata, dan jasa angkutan.

Pokok permasalahan dari penelitian ini ditekankan kepada empat hal pokok dalam pengembangan pelayanan yaitu : daya layan pelayanan sosial-ekonomi, distribusi pelayanan sosial- ekonomi, dan hirarki pusat pelayanan serta interaksi antar wilayah dalam menunjang pengembangan pelayanan sosial ekonomi. Analisis keempat hal tersebut yang dilengkapi analisis potensi, permasalahan, peluang dan tantangan dapat dijadikan sebagai dasar rencana pengembangan pusat pelayanan di Kecamatan Puhpelem.

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu pertama melakukan deskripsi secara umum terhadap potensi, permasalahan, peluang dan tantangan yang dimiliki oleh Kecamatan Puhpelem dalam pengembangan pelayanan sosial ekonomi terkait dengan kebijakan pemekaran wilayah. Menganalisis potensi wilayah merupakan bagian penting dalam pengembangan pusat pelayanan.

Kedua, menilai kebutuhan fasilitas sosial ekonomi dengan ketersediaan fasilitas sosial ekonomi berdasarkan dinamika penduduk dan dinamika wilayah sehingga diketahui daya layan, distribusi fasilitas sosial ekonomi, serta hirarki pusat pelayanan. Kejelasan hirarki pusat pelayanan akan mempermudah mengetahui mekanisme penjalaran pertumbuhan dan pengembangan dari pusat wilayah ke hinterland.

Ketiga, menilai interaksi antar wilayah untuk menunjang pengembangan pelayanan sosial-ekonomi. Interaksi ini dipengaruhi oleh fungsi dan peran wilayah

(20)

dalam menyokong pelayanan sosial ekonomi di pusat pelayanan, hinterland dan daerah pengaruhnya.

Keempat, mengidentifikasi tingkat perkembangan wilayah sebagai indikasi keberhasilan pembangunan sehingga dapat diproyeksikan kebutuhan pelayanan sosial ekonomi untuk mendukung pengembangan pelayanan kecamatan baru pada tahun mendatang. Kelima, menentukan alternatif arahan pengembangan pelayanan sosial ekonomi Kecamatan Puhpelem sebagai kecamatan baru berdasarkan beberapa analisis. Secara diagramatis kerangka penelitian disajikan dalam gambar 1.1

(21)

Gambar 1.1. Diagram Alir Kerangka Penelitian

Dinamika Penduduk dan Dinamika Wilayah Kecamatan Puhpelem sebagai Kecamatan Baru

Kebutuhan

Pelayanan Fasilitas Sosial-Ekonomi

Fungsi dan Peran Wilayah

Ketersediaan

Pelayanan Fasilitas Sosial- Ekonomi

Pengembangan Pusat Pelayanan Sosial-Ekonomi Kecamatan Baru

Interaksi antara Pusat Pelayanan dengan Hinterland dan Daerah

Pengaruh

Tingkat Perkembangan

Wilayah

Kebutuhan untuk Mendukung Pengembangan Pelayanan Sosial-

Ekonomi Kecamatan Baru Potensi SDA dan SDM Kecamatan Puhpelem

Kebijakan Pemekaran Wilayah di Kecamatan Puhpelem

Daya Layan Fasilitas Sosial Ekonomi

Distribusi Fasilitas Sosial Ekonomi

(22)

1.7. Hipotesis

Berdasarkan pada perumusan masalah, tujuan penelitian dan tinjauan pustaka dapat disusun hipothesis sebagai berikut :

1. Distribusi pelayanan fasilitas sosial ekonomi di Kecamatan Puhpelem masih terkonsentrasi di ibukota kecamatan.

2. Hirarki pusat pelayanan tinggi di Kecamatan Puhpelem terdapat di desa/kelurahan yang mempunyai jumlah penduduk banyak.

3. Semakin dekat jarak antara pusat pelayanan dengan pusat pelayanan yang lain di Kecamatan Puhpelem maka semakin besar interaksi ekonominya. 4. Terdapat hubungan yang signifikan antara daya layan pelayanan

sosial-ekonomi dengan tingkat perkembangan wilayah di Kecamatan Puhpelem.

1.8. Batasan Operasional

Daya Layan adalah kemampuan fasilitas pelayanan yang dimiliki suatu wilayah untuk melayani semua masyarakat yang ada di wilayah tersebut.

Pengembangan wilayah adalah suatu tindakan untuk memanfaatkan sumberdaya dalam suatu wilayah secara optimal sesuai dengan fungsinya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat

Pusat pelayanan adalah suatu tempat tertentu yang terdapat di daerah permukiman inti yang mempunyai sekurang-kurangnya 3 jenis pelayanan yang berbeda, berjarak tidak lebih dari 0,5 km dan tidak dipisahkan oleh batas alam (sungai, lembah, dan sebagainya) yang dapat menjadi hambatan (Yahya, 1986).

Population Treshold adalah jumlah minimum penduduk yang dibutuhkan untuk kegiatan suatu central place, sebelum ia dapat beroperasi secara menguntungkan (Daldjoeni N,1977)

Distance Treshold adalah jarak yang ditolerir oleh penduduk untuk mendapatkan pelayanan barang atau jasa. Jarak barang dipengaruhi oleh : harga, daya tahan barang, fungsi barang, jumlah barang, dan frekuensi pembelian.

(23)

Pelayanan Ekonomi adalah pelayanan yang secara langsung mendukung pada kegiatan ekonomi dan produksi atau keuntungan finansial (R Diah,1996) Pelayanan Sosial adalah pelayanan-pelayanan yang sebagian atau keseluruhan

diberikan oleh pemerintah didukung oleh partisipasi masyarakat dengan tujuan utama meningkatkan status sosial masyarakat (Conyers, 1979)

Pelayanan Infrastruktur adalah pelayanan-pelayanan yang terutama dikelola oleh pemerintah untuk mendukung baik kegiatan sosial maupun ekonomi masyarakat. Garis besar pelayanan yang termasuk kelompok ini adalah administrasi dan kelembagaan, prasarana jalan.

Wilayah adalah sebutan untuk lingkungan di permukaan bumi dalam batas kewenangan pemerintah daerah yang dibatasi oleh wilayah administrasi. Pewilayahan adalah pengkelasan wilayah administrasi dalam kategori tertentu

berdasar kriteria tertentu pula (Huissman dan Stoffers, 1989, dalam Kirti, 2000)

Potensi Wilayah adalah kemampuan dalam suatu wilayah yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk pembangunan mencakup alam dan manusia serta hasil karya manusia itu sendiri (Dirjen Pembangunan Desa, Depdagri, 1987, dalam Khaerani 2001)

Interaksi Keruangan adalah hubungan kaitan, aliran, yang bergerak antar wilayah (Hurst, 1972)

Kecamatan adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat kerja daerah kabupaten dan kota.

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan nasional dan berada di Daerah Kabupaten.

Kelurahan adalah merupakan perangkat Kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Kelurahan, yaitu Lurah.

(24)

Hinterland adalah daerah yang menyediakan bahan-bahan dasar atau kebutuhan pokok untuk kota dan memberikan pengaruh pada kota dan pasar-pasar kota (Winardi, 1969)

Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.(UU No 22 Tahun 1999)

Gambar

Tabel 1.1 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
Gambar 1.1. Diagram Alir Kerangka Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Berbagai dikotomi antara ilmu – ilmu agama Islam dan ilmu – ilmu umum pada kenyataannya tidak mampu diselesaikan dengan pendekatan modernisasi sebagimana dilakukan Abduh dan

Sekolah harus melakukan evaluasi secara berkala dengan menggunakan suatu instrumen khusus yang dapat menilai tingkat kerentanan dan kapasitas murid sekolah untuk

BILLY TANG ENTERPRISE PT 15944, BATU 7, JALAN BESAR KEPONG 52100 KUALA LUMPUR WILAYAH PERSEKUTUAN CENTRAL EZ JET STATION LOT PT 6559, SECTOR C7/R13, BANDAR BARU WANGSA MAJU 51750

Penelitian ini difokuskan pada karakteristik berupa lirik, laras/ tangganada, lagu serta dongkari/ ornamentasi yang digunakan dalam pupuh Kinanti Kawali dengan pendekatan

Dari hasil perhitungan back testing pada tabel tersebut tampak bahwa nilai LR lebih kecil dari critical value sehingga dapat disimpulkan bahwa model perhitungan OpVaR

Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui yang berasal dari fosil yaitu minyak bumi dan batubara. Jawaban

SMK NEGERI 3 BULUKUMBA DAFTAR NILAI SEKOLAH TAHUN PELAJARAN 2013/2014.. UJIAN NAMA SISWA SENI BUDAYA PJO KKPI

Dari area bisnis yang ada, ditemukan beberapa hal menyangkut permasalahan yang ada, yaitu: (1) Pihak manajemen dalam melakukan perencanaan penjualan dan produksi memperoleh data dari