• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Hutan

Hutan dapat didefinisikan sebagai tempat berupa lahan yang luas yang terdiri dari komponen-komponen biotik dan abiotik yang di dalamnya terdapat ekosistem yang saling mempengaruhi satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini setara dengan yang tercantum dalam UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 1 sebagaimana dikutip Sabara (2006) yang mendefinisikan hutan sebagai kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan juga dapat didefinisikan menurut kepentingan para aktor yang memiliki kepentingan atas hutan. Banyak aktor yang memiliki kepentingan atas hutan. Akan tetapi, dalam banyak kasus pengelolaan hutan, aktor-aktor yang berkepentingan hanya dirumuskan dalam tiga aktor, seperti yang dirumuskan oleh Tadjudin (2000), yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Pemerintah mendefinisikan hutan sebagai sebuah karunia Tuhan yang dapat dimanfaatkan dan dilestarikan keberadaannya untuk kesejahteraan masyarakat. Berbeda dengan pemerintah, swasta dan pelaku bisnis mengartikan hutan sebagai komoditas yang dapat menghasilkan uang dan keuntungan yang besar. Masyarakat pun memiliki arti tersendiri mengenai hutan. Masyarakat mengartikan hutan sebagai tempat menggantungkan hidup, sistem perekonomian, dan tempat spiritual yang menghubungkan masyarakat dengan alam, sehingga tercipta keharmonisan antara keduanya.

Hak kepemilikan (property right) adalah klaim yang sah (secure claim) terhadap sumberdaya ataupun jasa yang dihasilkan dari sumber daya tersebut. Hak

(2)

10 kepemilikan juga dapat diartikan sebagai suatu gugus karakteristik yang memberikan kekuasaan kepada pemilik hak (Hartwick dan Olewiler, 1998). Karakeristik tersebut menyangkut ketersediaan manfaat, kemampuan untuk membagi atau mentransfer hak, derajat eksklusivitas dari hak, dan durasi penegakan hak (enforceability) (Perman et al., 1996). Perlu dicermati bahwa meski hak pemilikan menyangkut klaim yang sah, hak tersebut tidak bersifat mutlak. Hak pemilikan sering dibatasi oleh dua hal, yakni hak orang lain dan ketidaklengkapan (incompleteness). Bisa saja kita tidak berhak melakukan penambangan mineral di pekarangan rumah kita, namun pihak lain dapat melakukannya. Ketidaklengkapan hak pemilikan disebabkan oleh mahalnya biaya enforcement. Jika hutan ditebang oleh penebangan illegal, hak Negara atas hutan dibatasi oleh mahalnya mengawasi hutan tersebut dan melakukan penegakan hukum atas tindakan illegal tersebut (Fauzi, 2006)

Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa di dalam sumber daya alam, sebagaimana dijelaskan oleh Bromley (1989) antara sumber daya (resource) dan rezim pemilikan terhadap sumberdaya tersebut harus dibedakan dengan jelas. Satu sumberdaya bisa saja mempunyai berbagai hak pemilikan. Hak pemilikan terhadap sumberdaya alam umumnya terdiri dari (Gibb and Bromley, 1989) : 1. State property dimana klaim pemilikan berada di tangan pemerintah

2. Private property dimana klaim pemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (korporasi)

3. Common property atau Communal property dimana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumberdaya yang dikelola bersama.

(3)

11 Suatu sumberdaya alam bisa saja tidak memiliki klaim yang sah sehingga tidak bisa dikatakan memiliki hak pemilikan. Sumberdaya seperti ini dikatakan sebagai open acces (Grima dan Barkes, 1989). Dengan pemahaman di atas, perbedaan antara hak pemilikan dan akses terhadap sumberdaya semakin jelas.

Dengan mengambil dua contoh tipe akses yang berbeda, yakni akses terbuka (open access) dan akses terbatas (limited access), maka secara umum ada empat kemungkinan kombinasi antara hak pemilikan dan akses yang digambarkan dengan garis penuh.

1. Tipe pertama adalah tipe dimana hak pemilikan berada pada komunal atau Negara dengan akses yang terbatas. Tipe kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumberdaya yang lestari.

2. Tipe kedua adalah dimana sumberdaya dimiliki secara individu (privat) dengan akses yang terbatas. Pada tipe ini karakteristik hak pemilikan terdefinisikan dengan jelas dan pemanfaatan yang berlebihan bisa dihindari. 3. Tipe ketiga adalah kombinasi anatara hak pemilikan komunal dan akses yang

terbuka. Tipe inilah yang dalam perspektif Hardin (1968) akan melahirkan “the tragedy of the common”. Tragedy terjadi karena apa yang dihasilkan dari sumberdaya dalam jangka panjang tidak lagi sebanding dengan apa yang dimanfaatkan oleh pengguna

4. Tipe keempat adalah kombinasi yang sebenarnya jarang terjadi dimana sumberdaya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan terbuka (garis putus). Pengelolaan sumberdaya ini tidak akan bertahan lama karena rentan terhadap intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah sehingga sumber daya akan cepat terkuras habis.

(4)

12 Kepemilikan hutan oleh Negara atau pemerintah, menurut Tadjudin (2000) menggunakan rujukan formal tentang penguasaan sumberdaya hutan di Indonesia yang berdasarkan kepada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam UUD tersebut sudah jelas tersurat bahwa sumberdaya alam hanya dikuasai oleh Negara bukan dimiliki, dan secara tersirat jelas pula bahwa sumberdaya alam adalah sumberdaya publik. Namun, karena konsep sumberdaya merupakan barang publik, maka Negara mengklaim bahwa sumberdaya alam adalah milik Negara, yang pengelolaannya diatur oleh Negara. Peran Negara sangat dominan, selain klaim kepemilikan, aspek pengelolaan dan pengawasan sumberdaya hutan juga diatur oleh pemerintah.

Kepemilikan hutan oleh swasta, hanya sebatas pada hak akses atas sumberdaya hutan. Hak akses ini terdistribusi baik dalam hak milik individual maupun kelompok. Dalam UU Pokok Kehutanan dan peraturan perundang-undangan yang membawahinya, hak akses atas swasta hanya terbatas pada hak penguasaan terhadap sumberdaya hutan, bukan hak memiliki. Terdapat kekuasaan yang besar bagi para pemiliknya dalam mengelola sumberdaya hutan dengan berorientasi pemanfaatan fungsi hutan secara intensif.

2.2. Konservasi Sumberdaya Hutan

Konservasi sumberdaya alam pada hakikatnya adalah upaya pemeliharaan serta pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari dan bijaksana agar dapat digunakan secara berkelanjutan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Wiratno et al. (2004) yang mengemukakan bahwa konservasi adalah pengelolaan kehidupan alam oleh manusia, guna memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya secara

(5)

13 berkelanjutan bagi generasi saat ini, serta memelihara potensinya guna menjamin aspirasi dan kebutuhan generasi yang akan datang. Konsep konservasi modern yaitu pemeliharaan sekaligus juga pemanfaatan keanekaragaman hayati secara bijaksana. Konsep ini didasarkan adanya dua kebutuhan: 1) kebutuhan untuk merencanakan sumberdaya didasarkan pada inventarisasi secara akurat, dan 2) kebutuhan untuk melakukan tindakan perlindungan agar sumberdaya tidak habis. Berdasarkan definisi International Union for Conservation of Nature and Nature Species (IUCN), kawasan konservasi merupakan kawasan daratan dan/atau perairan yang secara khusus diperuntukan bagi perlindungan dan pelestarian kenanekaragaman hayati sumberdaya alam dan budaya (Safitri, 2006)

Sumberdaya alam yang sulit tergantikan karena keberadaannya terbatas membuat Pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya dengan tujuan mewujudkan kelestarian sumberdaya alam serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat mendukung kesejahteraan masyarakat sekaligus menetapkan hukuman bagi pelanggarnya. Lee et al. (2001) mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan terpenting yang mempengaruhi munculnya konservasi di Indonesia, selain UU No. 5 Tahun 1990 terdapat pula Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 mengenai Kehutanan (menggantikan UU No. 5 Tahun 1967) yang memberikan beberapa perubahan dalam kerangka hukum bagi kehutanan salah satunya dengan memberi ketentuan bagi pengelolaan kawasan oleh masyarakat. Undang-undang No 41 Tahun 1999 juga menyebutkan bahwa peraturan konservasi masih berwenang pemerintah pusat. Adapula Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres), dan Keputusan Menteri (Kepmen) yang mengatur berbagai aspek pengelolaan

(6)

14 pelestarian. Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut yaitu: PP No. 15 Tahun 1984, PP No. 28 Tahun 1985, PP No. 18 Tahun 1994, PP No. 68 Tahun 1998, Kepres No. 43 Tahun 1978, dan peraturan lainnya yang terkait dengan pengelolaan pelestarian alam.

Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal konservasi dipengaruhi pula oleh konferensi-konferensi internasional. Wiratno et al. (2004) menyebutkan ada dua konferensi penting yang mempengaruhi kebijakan konservasi di Indonesia. Pertama, World Conservation Strategy tahun 1980, yang menghasilkan sebuah arahan konsep konservasi dunia dengan menghasilkan buku yang berjudul “World Conservation Strategy”. Kedua, Kongres Taman Nasional dan Kawasan Lindung Sedunia ke-III di Bali tahun 1982, yang menghasilkan pembangunan taman nasional di Indonesia sebagai salah satu bentuk kawasan konservasi. 2.3. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 menerangkan tentang penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan perubahan fungsi kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak yang dikelola oleh Perum Perhutani, maka Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) yang luasnya 40.000 hektar berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan luas kawasan 113.357 hektar. Pengelolaan TNGHS berada di bawah Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS).

Wilayah kerja BTNGHS terletak dalam 28 kecamatan, dimana 9 kecamatan di Kabupaten Bogor, 8 kecamatan di Kabupaten Sukabumi dan 11

(7)

15 kecamatan di Kabupaten Lebak. Secara keseluruhan terdapat 108 desa yang sebagian/seluruh wilayahnya berada di dalam dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan TNGHS. Komposisi jumlah penduduk dari 108 desa yang ada di TNGHS terdiri dari: 155.345 jiwa di Kabupaten Sukabumi (Tahun 2006), 296.138 jiwa di Kabupaten Bogor (Tahun 2005) dan 154.892 jiwa di Kabupaten Lebak (Tahun 2005). Berdasarkan survei kampung yang dilakukan oleh GHSNP MP-JICA pada tahun 2005 dan 2007, tercatat ada 348 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS.

Kawasan TNGHS dihuni oleh Masyarakat Kasepuhan yang secara historis penyebarannya terpusat di Kampung Urug, Citorek, Bayah, Ciptamulya, Cicarucub, Cisungsang, Sinar Resmi, Ciptagelar dan Cisitu. Masyarakat Kasepuhan memiliki lembaga adat yang terpisah dari struktur administrasi pemerintahan formal. Masyarakat Kasepuhan memiliki kearifan tradisional dalam pemanfaatan dan konservasi hutan, melalui pembagian wilayah berhutan berdasarkan intensitas pemanfaatan dan tingkat perlindungannya, yaitu: leuweung titipan (hutan titipan), leuweung tutupan (hutan tutupan) dan leuweung sampalan (hutan bukaan). Mereka memiliki pengetahuan etnobotani dan menggunakan tanaman dan tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka berdasarkan pengetahuan tersebut, serta mempertahankan pola pertanian yang mampu melestarikan sumberdaya genetik Padi (Oryza sativa) lokal. Pada saat ini sebagian anggota Masyarakat Kasepuhan mulai meninggalkan kearifan tradisional yang mereka miliki akibat dinamika proses sosial yang terjadi (TNGHS, 2007)

Kemampuan ekonomi masyarakat sekitar TNGHS cenderung rendah, walaupun sebagian besar tidak termasuk dalam kategori rumah tangga miskin.

(8)

16 Secara umum jumlah rumahtangga miskin masyarakat di dalam dan di sekitar TNGHS dalam wilayah Kabupaten Sukabumi berjumlah 15.699 rumahtangga atau 10% dari jumlah rumahtangga (data tahun 2006, tidak termasuk Desa Cianaga). Berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan TNGHS umumnya telah berlangsung sebelum ditetapkannya kawasan tersebut sebagai taman nasional. Beberapa kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di TNGHS yang penting antara lain pemanfaatan lahan untuk pemukiman, budidaya pertanian dan pembangunan infrastruktur (TNGHS, 2007).

2.4. Masyarakat Sekitar Hutan

Masyarakat hutan adalah masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan, yang kehidupan ekonomi, sosial dan budayanya tergantung pada keberadaan sumberdaya hutan. Masyarakat disini tidak sekedar dipandang sebagai tujuan untuk rumahtangga yang dalam konsep ekonomi ditetapkan sebagai sosok yang memiliki fungsi tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi sebesar-besarnya (Tadjudin, 2000)

Menurut Suharjito (2003), masyarakat lokal adalah masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar hutan dan bergantung kepada hutan untuk memenuhi kehidupannya (ekonomi, politik, religius dan lainnya). Kelompok masyarakat ini dapat berupa kumpulan beberapa keluarga atau rumahtangga yang membentuk unit kampung kecil, satu unit desa ataupun istilah lainnya sesuai dengan bahasanya (misalnya Gampong atau Mukim di Aceh; Silimo pada masyarakat Dani di Irian Jaya) sebagai satu kesatuan kehidupan. Masyarakat bukan hanya kumpulan keluarga atau rumah tangga, melainkan ia sebagai satu kesatuan unit

(9)

17 sosio kultural, yakni membangun sistem sosio kultural, tata nilai, norma, aturan, dan pola-pola hubungan sosialnya untuk mencapai tertib sosial (social code).

Masyarakat di sekitar taman nasional merupakan masyarakat tradisional kasepuhan. Masyarakat tersebut memiliki pola kehidupan yang sangat unik dan kearifan lokal untuk mengelola kawasan hutan di sekelilingnya selama puluhan tahun.

2.5. Masyarakat Adat

Keberadaan masyarakat adat hampir tersebar di semua daerah dan Negara termasuk Indonesia. Menurut Sangaji dalam Ningrat (2004) masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang memilki asal-usul leluhur secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Pengertian ini juga serupa dengan apa yang dikemukakan Durning dalam Mitchell yang dikutip oleh Ansaka (2006) yang menyebutkan lima definisi masyarakat adat, antara lain 1) merupakan penduduk asli suatu daerah yang kemudian dihuni oleh sekelompok masyarakat dari luar yang lebih kuat, 2) sekelompok orang yang memiliki bahasa, tradisi, budaya, dan agama yang berbeda dengan kelompok yang lebih dominan, 3) selalu diasosiasikan dengan beberapa tipe kondisi ekonomi masyarakat, 4) merupakan masyarakat pemburu, nomadik, peladang berpindah, dan 5) masyarakat dengan hubungan sosial yang menekankan pada kelompok, pengambil keputusan melalui kesepakatan serta pengelolaan sumberdaya secara kelompok.

Masyarakat adat kasepuhan juga termasuk masyarakat tradisional, seperti yang dikemukakan oleh Suhandi dalam Ningrat (2004) yang mencirikan masyarakat tradisional sebagai berikut:

(10)

18 1. Hubungan atau ikatan masyarakat desa dengan tanah sangat erat

2. Sikap hidup dan tingkah laku yang magis religius 3. Adanya kehidupan gotong royong

4. Memegang tradisi dengan kuat 5. Menghormati para sesepuh

6. Kepercayaan pada pimpinan lokal dan tradisional 7. Organisasi kemasyarakatan yang relatif statis 8. Tingginya nilai sosial

Menurut pengertian di atas, Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi yang mengidentifikasikan diri mereka menjadi masyarakat adat memang termasuk dalam kriteria yang sudah dijelaskan. Seperti yang dipaparkan oleh salah satu tokoh adat kasepuhan yang mendefinisikan Masyarakat Kasepuhan sebagai suatu kelompok masyarakat yang mempunyai asal-usul sejarah yang jelas, berdiam di suatu wilayah geografis tertentu, mempunyai sistem, budaya, politik, sosial, ekonomi, hukum adat, tata nilai, kelembagaan, warga adat, perangkat adat, dan peradilan adat.

2.6. Persepsi

Ma’rat (1981) dalam Zulfarina (2003) mendefinisikan persepsi sebagai proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuannya. Manusia mengamati suatu objek psikologik ini dapat berupa kejadian, ide atau situasi tertentu.

Adapun persepsi dalam pengertian psikologi menurut Sarwono (1999) adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh

(11)

19 informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba, dan sebagainya). Adapun alat untuk memahaminya, yaitu kesadaran kognisi. Dalam persepsi sosial ada dua hal yang ingin diketahui, yaitu keadaan dan perasaan orang lain saat ini, di tempat ini komunikasi non lisan (kontak mata, busana, gerak tubuh dan lain sebagainya) atau lisan dan kondisi yang lebih permanen yang ada di balik segala yang tampak saat ini (niat, sifat, motivasi dan sebagainya) yang diperkirakan menjadi penyebab kondisi saat ini. Selanjutnya, perlu diperhatikan bahwa berbeda dari persepsi pada umumnya, persepsi sosial sangat menggantungkan diri pada komunikasi. Persepsi seseorang tentang sesuatu sangat tergantung pada komunikasi yang terjadi antara keduanya.

Adapun perbedaan persepsi antara satu orang dengan orang lainnya disebabkan oleh lima faktor. Kelima faktor tersebut antara lain: (1) Perhatian (rangsangan yang ada di sekitar kita tidak ditangkap sekaligus, tetapi hanya difokuskan pada beberapa objek saja. Perbedaan fokus antara satu orang dengan orang lainnya akan menyebabkan perbedaan persepsi); (2) Set (harapan seseorang akan rangsangan yang akan timbul misalnya seorang pelari siap di garis start terdapat set bahwa akan terdengar pistol di saat ia harus berlari; (3) Kebutuhan (kebutuhan-kebutuhan sesaat atau yang menetap akan mempengaruhi persepsi orang tersebut; (4) Sistem nilai seperti adat istiadat, kepercayaan yang berlaku dalam suatu masyarakat berpengaruh pula terhadap persepsi; dan (5) Ciri kepribadian misalnya: watak, karakter dan kebiasaan yang mempegaruhi pula persepsi.

Adapun menurut Gandadiputera (1983) dalam Illahi (2000), persepsi masyarakat terhadap lingkungan dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, budaya

(12)

20 dan pendidikan. Pengetahuan hasil proses belajar sebelumnya, aktivitas dan pengalaman individu mempengaruhi persepsinya terhadap sesuatu atau stimulus yang diharapkan

Informasi yang sampai kepada seseorang menyebabkan individu yang bersangkutan membentuk persepsi, dimulai dengan pemilihan atau penyaringannya, kemudian informasi yang masuk tersebut disusun menjadi satu kesatuan yang bermakna, dan akhirnya terjadilah interpretasi pengalaman masa silam yang memegang peranan penting (Asangari 1984 dalam Zulfarina 2003) 2.7. Pendapatan Usahatani

Menurut Soekartawi (2002), usahatani adalah setiap kombinasi yang tersusun (organisasi) dari alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan untuk produksi di lapangan pertanian. Usahatani terdiri dari empat unsur pokok yaitu tanah, tenaga kerja, modal, serta pengelolaan. Usahatani memiliki dua tujuan yaitu memaksimumkan keuntungan atau meminimumkan biaya. Memaksimumkan keuntungan adalah bagaimana mengalokasikan sumberdaya dengan jumlah tertentu seefisien mungkin, untuk memperoleh keuntungan maksimum, sedangkan konsep meminimumkan biaya berarti bagaimana menekan biaya produksi pada tingkat sekecil-kecilnya dalam suatu proses produksi.

Secara umum pendapatan usahatani adalah penerimaan-penerimaan usahatani dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan (Soekartawi, 1986). Pendapatan dapat pula diartikan sebagai balas jasa dari kerjasama faktor-faktor produksi. Balas jasa yang diterima faktor-faktor produksi dihitung untuk jangka waktu tertentu. Jangka waktu tersebut dapat dipilih misalnya satu musim atau satu tahun.

(13)

21 Berkaitan dengan ukuran pendapatan dan keuntungan, Soekartawi et al (1986) mengemukakan beberapa definisi yaitu:

1. Penerimaan tunai usahatani (farm receipt) merupakan nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani.

2. Pengeluaran usahatani (farm payment) merupakan jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani.

3. Pendapatan tunai usahatani (farm net cash flow) merupakan selisih antara penerimaan tunai usahatani dan pengeluaran tunai usahatani.

4. Penerimaan kotor usahatani (gross return) merupakan total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual.

5. Pengeluaran total usahatani (total farm expenses) merupakan nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam produksi termasuk biaya-biaya yang diperhitungkan.

6. Pendapatan bersih usahatani (net farm income) merupakan selisih antara penerimaan kotor usahatani dan pengeluaran total usahatani.

Analisa pendapatan usahatani mempunyai kegunaan bagi petani maupun pemilik faktor produksi. Terdapat dua tujuan utama dalam analisis pendapatan yaitu dapat menggambarkan keadaan sekarang dan keadaan yang akan datang dari perencanaan usahatani. Analisis pendapatan berguna untuk mengukur apakah kegiatan usahatani pada saat ini berhasil atau tidak. Suatu usahatani dikatakan sukses apabila pendapatannya memenuhi syarat sebagai berikut (Soekartawi, 2002) :

(14)

22 1. Cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi termasuk biaya angkut dan biaya administrasi yang mungkin melekat pada pembelian tersebut.

2. Cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan termasuk pembayaran sewa tanah dan pembayaran dana depresiasi

3. Cukup untuk membayar upah tenaga kerja yang disewa

Pendapatan usahatani mempunyai fungsi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan memberikan kepuasan bagi petani untuk melanjutkan kegiatannya sehari-hari dan memberikan kepuasan bagi petani utnuk melanjutkan kegiatannya (Soekartawi, 2002). Dengan demikian, pendapatan usahatani yang didapat akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan cara penggunaannya menentukan taraf hidup petani.

2.8. Penelitian Terdahulu

Dari hasil penelitian Suharni (2010) yang berjudul “ Studi Sosial Ekonomi dan Persepsi Masyarakat Terhadap Rencana Pembangunan Hutan Tanaman Pola Kemitraan (HTPK) PT Arara Abadi Provinsi Riau” didapatkan bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Lubuk Keranji Timur Riau sebelum adanya rencana pembangunan hutan tanaman pola kemitraan (HTPK) pada umumnya adalah baik. Rata-rata pendapatan per kapita masyarakat desa lebih tinggi dari nilai standar garis kemiskinan Sajogyo (Rp. 2.240.000). Hubungan sosial antara masyarakat desa sekitar Hutan Tanaman Pola Kemitraan (HTPK) dan perusahaan secara umum juga berjalan dengan baik. Persepsi Responden terhadap keberadaan Hutan Tanaman Pola Kemitraan (HTPK) menurut skala Likert adalah sedang. Artinya, masyarakat masih ragu untuk menjalankan kemitraan bersama

(15)

23 perusahaan karena belum ada sosialisasi lebih lanjut mengenai keberadaan HTPK maupun rencana pembangunan HTPK bersama masyarakat. Sedangkan persepsi terhadap keberadaan hutan secara umum dapat memberikan manfaat yang nyata bagi kehidupan masyarakat. Penelitian ini tidak mengkaji pendapatan masyarakat sebelum rencana pembangunan HTPK dan perkiraan pendapatan setelah adanya pembangunan HTPK.

Adapun Nurhaeni (2009) dalam penelitian yang berjudul “Implikasi Penunjukan Areal Konservasi terhadap Pengelolaan Hutan dan Luas Lahan. Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak Desa Cirompang, Kec.Sobang, Kab.Lebak, Jawa Barat” mengemukakan bahwa Aksesibilitas masyarakat terhadap hutan saat ini memang terbilang lemah. Masyarakat tidak lagi melakukan penebangan pohon untuk keperluan sehari-hari. Masyarakat hanya menanami lahan garapannya dengan buah-buahan serta tidak mengkonversikannya menjadi areal persawahan. Luas lahan garapan di Desa Cirompang mengalami penurunan akibat penunjukan areal konservasi di lahan garapan mereka. Hal ini berimplikasi terhadap penurunan pendapatan Masyarakat Desa Cirompang.

Amandha (2006) melakukan penelitian yang berjudul “Perubahan Pemanfaatan Hasil Hutan Akibat Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Studi Kasus di Desa Ciasihan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor”. Berdasarkan hasil penelitian tertutupnya akses masyarakat ke hutan menyebabkan menurunnya tingkat pendapatan masyarakat Desa Ciasihan dimana setelah penutupan akses sebesar 33,33% memiliki tingkat pendapatan antara Rp 500.000– Rp 800.000; 30% memiliki tingkat pendapatan antara Rp 250.000-Rp 500.000; dan 16,67% memiliki tingkat pendapatan > Rp 1.200.000.

(16)

24 Aprianto (2008) melakukan penelitian yang berjudul “Komparasi Tradisional Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Dengan Aturan Formal Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak”. Berdasarkan hasil penelitian, kearifan tradisional masyarakat adat membagi pengelolaan hutan atas perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan hutan. Masyarakat Kasepuhan membagi hutan atas hutan tutupan, hutan titipan, dan hutan garapan. Pengelolaan hutan dengan memanfaatkan kearifan tradisional merupakan bentuk pengelolaan hutan yang bijak. Permasalahan adanya masyarakat adat dalam Taman Nasional adalah bagaimana memperlakukan masyarakat adat secara terintregasi dalam pengelolaan Taman Nasional. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pengelolaan hutan oleh Masyarakat Kasepuhan dengan pihak TNGHS. Perbedaan tersebut terjadi dalam pengelolaan hutan di lahan garapan. Masyarakat Kasepuhan membersihkan hutan untuk digunakan sebagai lahan garapan dengan membakar dan menebang kayu. Kayu yang ditebang digunakan untuk kebutuhan membangun rumah dan kayu bakar. Kegiatan ini bagi Masyarakat Adat merupakan adat-istiadat. Tetapi Pihak TNGHS menganggap kegiatan tersebut melanggar hukum konservasi.

2.9. Kebaruan Penelitian

Penelitian ini memiliki persamaan dan juga kebaruan dibandingkan penelitian Suharni (2010), Nurhaeni (2009) dan Amandha (2006). Persamaan penelitian ini dengan penelitian Suharni (2010) yaitu dalam penggunaan metode analisis pendapatan dan analisis persepsi, sedangkan perbedaannya terletak pada rumusan masalah dan kajian pendapatan, dimana penelitian Suharni (2010) menganalisis dampak rencana pembangunan HTPK (Hutan Tanaman Pola

(17)

25 Kemitraan) terhadap kondisi sosial ekonomi. Adapun penelitian ini menganalisis dampak perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) terhadap kondisi sosial ekonomi. Selain itu, Penelitian Suharni (2010) hanya mengkaji pendapatan sebelum rencana pembangunan HTPK. Adapun penelitian ini mengkaji pendapatan sebelum dan sesudah perluasan kawasan TNGHS.

Adapun penelitian Nurhaeni (2009) menganalisis implikasi penunjukan kawasan konservasi dengan metode analisis deskriptif terkait perubahan akses masyarakat terhadap pengelolaan hutan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Nurhaeni (2009) yaitu dalam rumusan masalah yaitu mengkaji dampak perluasan kawasan TNGHS. Perbedaan antara penelitian ini dan penelitian Nurhaeni (2009) adalah dalam metode analisis dan pemilihan lokasi.

Adapun penelitian ini dengan penelitian Amandha (2006) memiliki persamaan yaitu rumusan masalah yang mengkaji dampak perluasan kawasan TNGHS. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Amandha (2006) terletak pada analisis pendapatan dan pemilihan objek penelitian. Penelitian Amandha (2006) hanya mengkaji pendapatan masyarakat setelah terjadi perluasan kawasan TNGHS dan objek penelitian yang dipilih adalah masyarakat lokal. Adapun penelitian ini mengkaji pendapatan sebelum dan sesudah perluasan kawasan TNGHS serta objek penelitian yang dipilih adalah masyarakat adat.

Selanjutnya, penelitian Aprianto (2008) mengkaji komparasi kearifan lokal Masyarakat Kasepuhan dengan aturan formal Pihak TNGHS. Adapun penelitian ini mengkaji pendapatan sebelum dan sesudah perluasan kawasan TNGHS. Persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 1.

(18)

26 Tabel 1. Persamaan dan Perbedaan antara Penelitian “Analisis Dampak Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi dengan Penelitian Sebelumnya

Penelitian Sebelumnya Persamaan Perbedaan

1. Suharni (2010) Metode analisis

pendapatan dan metode analisis persepsi

Rumusan masalah dan pemilihan lokasi 2. Nurhaeni (2009) Rumusan masalah Metode analisis dan

pemilihan lokasi 3. Amandha (2006) Rumusan masalah Metode analisis dan

pemilihan lokasi 4. Aprianto (2006) Objek penelitian Rumusan masalah

Sumber : Penulis (2011)

Referensi

Dokumen terkait

Dan kegiatan ini biasanya merupakan tanggung jawab dari seorang Public Relations dalam suatu perusahaan berkaitan dengan tugasnya dalam membina hubungan yang baik

Dengan sasaran seramai 3000 orang penerima sumbangan untuk BKR tahun 2018, Yayasan Ikhlas bersedia untuk menggerakkan para sukarelawan di lokasi-lokasi terpilih ini dalam

Melalui metode demonstrasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, dari yang sekedar memberikan pengetahuan yang sudah diterima begitu saja oleh peserta didik,

Telekomunikasi (Telkom) Akses Jambi dirasakan menyulitkan calon pelanggan baru dalam proses pelayanan untuk pemasangan telepon, dan modem speedy, selain itu informasi

Dalam islam, konsep pembangunan ekonomi memiliki konsep yang lebih luas dibandingkan dengan pembangunan ekonomi di konvensional walaupun dasar

Kerangka penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi perilaku perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial dimana perilaku perawat terdiri pengetahuan, sikap, keterampilan, dan

Hasil penelitian menunjukan bahwa perbedaan bubu bambu dan bubu paralon pada penelitian ini berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan lobster (Cherax quadricarinatus) dimana

Sebaliknya individu yang memiliki tingkat pe- ngetahuan tentang agama yang rendah akan melakukan perilaku seks bebas tanpa berpikir panjang terlebih dahulu sehingga